• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANG BANGUN ALAT PENGUKUR KESEGARAN IKAN MENGGUNAKAN SENSOR INFRARED ERIK MUNANDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RANCANG BANGUN ALAT PENGUKUR KESEGARAN IKAN MENGGUNAKAN SENSOR INFRARED ERIK MUNANDAR"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ERIK MUNANDAR

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

RANCANG BANGUN ALAT PENGUKUR KESEGARAN IKAN MENGGUNAKAN SENSOR INFRARED

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2012

Erik Munandar C54062378

(3)

Menggunakan Sensor Infrared. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan HENRY M. MANIK.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan September 2011. Pembuatan, perancangan dan uji coba dilakukan di Workshop Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan untuk membuat instrumen pengukuran kesegaran ikan secara real time dengan penampilan data digital serta tampilan yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa. Selain itu, alat ini dapat mempermudah dalam penentuan kesegaran ikan.

Alat yang dirancang merupakan sistem elektronik yang mengukur perubahan kesegaran ikan menggunakan sensor infrared. Hasil pengukuran

infrared dikondisikan dengan suhu pada saat pengukuran, melalui rangkaian

penguatan sinyal (Op-Amp) dan diproses dalam mikrokontroller untuk

ditampilkan dalam LCD serta data yang diperoleh dapat disimpan pada Mikro SD. Hasil uji coba alat mencakup pengukuran panjang gelombang (λ) infrared, intensitas pantulan infrared terhadap perubahan suhu lingkungan serta

pengukuran pantulan infrared pada ikan nila dan ikan lele dan pengukuran suhu pada ikan nila dan ikan lele. Hasil pengkuran λ diperoleh λ yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan sekitar 525 nm dan 690 nm. Pengukuran infrared terhadap perubahan suhu lingkungan diperoleh nilai R2=0.68 dengan λ = 780 nm. Hasil pengujian pantulan infrared dengan λ = 780 nm dan suhu pada ikan nila diperoleh pada masa 12 jam setelah ikan nila dimatikan terjadi penurunan nilai pantulan yang signifikan dengan pola pantulan infrared yang menurun selama masa pengukuran. Hasil pengujian pantulan infrared dengan λ = 780 nm dan suhu pada ikan lele terjadi penurunan nilai pantulan infrared selama masa pengukuran tetapi tidak terdapat penurunan yang signifikan.

Nilai pantulan infrared pada ikan nila dan ikan lele memiliki perbedaan. Nilai pantulan infrared pada ikan nila lebih rendah yaitu berkisar antara 47-105(digital number) sedangkan pada ikan lele 65-136 (digital number). Ikan nila lebih mudah mengalami kemunduran mutu yaitu masa 12 jam setelah pematian ikan nila sudah mulai mengeluarkan cairan dari dalam tubuhnya sedangkan pada ikan lele belum terjadi. Ikan lele baru mengeluarkan cairan ketika melewati masa 24 jam setelah pematian.

(4)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(5)

SKRIPSI

Sebagai salah satu sarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ERIK MUNANDAR

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(6)

INFRARED Nama Mahasiswa : Erik Munandar Nomor Pokok : C54062378

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Utama Anggota

Prof. Dr.Indra Jaya, M.Sc NIP. 1961041 198601 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Tanggal Lulus : 5 Januari 2012

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003

Dr. Henry M Manik, S.Pi, M. T NIP. 1961041 198601 1 002

(7)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Rancang Bangun Alat Pengukur Kesegaran Ikan

Menggunakan Sensor Infrared” dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada :

1. Kedua orang tua beserta keluarga besar yang selalu memberikan dukungan, doa dan nasihat yang tiada hentinya kepada penulis

2. Prof. Dr. Indra Jaya dan Dr. Henry M. Manik, S.Pi, M.T. selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

3. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. selaku Pembimbing Akademik selama penulis menuntut ilmu di Departemen ITK-IPB

4. Dr. Sugeng Heri Suseno, S.Pi, M.Sc. seleku dosen penguji tamu pada sidang ujian akhir.

5. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas ilmu dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

6. Muhammad Iqbal, S.Pi, M.Si, Rizqi Rizaldi,S.IK, Aldo Fansuri, S.IK atas bantuan dan semangat yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

7. Teman-teman seperjuangan ITK 43 dan seluruh warga ITK.

8. Seluruh Anggota MIT (Marine Instrumentation and Telemetry) yang selalu memberikan dukungan.

(8)

penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.

Bogor, Januari 2012

(9)

ii Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1.Latar Belakang ... 1 1.2.Tujuan ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1. Sensor . ... 3 2.2. Sensor Infrared ... 5 2.2. Catu Daya ... 7 2.3. Baterai ... 8 2.4. Mikrokontroller ... 10 2.5. Kesegaran Ikan ... 12 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Desain Kerja ... 18

3.4. Penentuan Panjang Gelombang... 19

3.5. Rancangan Alat ... 19

3.6. Kalibrasi Infrared terhadap Suhu ... 27

3.7. Prosedur Pengujian... 27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Hasil Rancang Bangun ... 29

4.2. Hasil Uji Panjang Gelombang ... 36

4.3. Hasil Uji Koreksi Pantulan Infrared terhadap Suhu ... 37

(10)

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49 5.1. Kesimpulan ... 49 5.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA ... 50 LAMPIRAN ... 51 RIWAYAT HIDUP ... 63

(11)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Standar Nilai Pengukuran Kesegaran Ikan Nila Merah ... 15

2. Daftar Alat Yang Digunakan ... 16

3. Daftar Bahan Yang Digunakan ... 17

(12)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Interactance setup for online measurements ... 6

2. Konfigurasi Pin DS1820 ... 7

3. Diagram alir Perancangan Alat Pengukur Kesegaran Ikan ... 18

4. Susunan Infrared ... 19

5. Rangkaian Infrared ... 20

6. Sistem Pengukuran Kesegaran Ikan ... 20

7. Rangkaian Penguat Sinyal... 21

8. Rangkaian dasar DS1820 ... 22

9. Rangkaian LCD 2x16 ... 22

10. Rangkaian Mikrokontroller ... 23

11. Rancangan Program yang diunduh pada mikrokontroller ... 24

12. Dimensi Alat Kontrol (mm) (A.) tampak atas (B.) tampak samping (C.) tampak depan ... 25

13. Tampilan pegangan (mm) (A.) tampak depan (B.) tampak samping ... 26

14. Dimensi bagian Probe dalam (mm) (A.) tampak samping ... 26

15. Desain alat pengukur kesegaran ikan ... 29

16. Unit display ... 30

17. Unit sensor ... 35

18. Konektor ... 36

19. Grafik uji panjang gelombang ... 37

20. Hubungan suhu terhadap pantulan infrared ... 38

21. Perubahan infrared dan suhu terhadap waktu ... 39

22. Hubugan pantulan infrared pada ikan nila terhadap waktu ... 43

23. Hubugan pantulan infrared pada ikan lele terhadap waktu ... 45

(13)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data pengukuran kalibrasi infrared terhadap suhu... 53

2. Daftar pengujian infrared pada ikan lele ... 54

3. Daftar pengujian infrared pada ikan nila ... 57

4. Kondisi sampel ikan nila pada awal pengukuran ... 59

5. Kondisi sampel ikan lele pada awal pengukuran ... 59

6. Kondisi sampel ikan nila pada masa 12 jam setelah pematian ... 60

7. Kondisi sampel ikan lele pada masa 12 jam setelah pematian ... 60

8. Kondisi sampel ikan nila pada akhir pengukuran ... 61

9. Kondisi sampel ikan lele pada akhir pengukuran ... 61

10. Hasil uji coba pada ikan nila ... 62

(14)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor perikanan cukup potensial dalam meningkatkan jumlah ekspor lndonesia ke mancanegara sebagai salah satu sumber devisa. Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar dan diperkirakan potensi lestari perikanan mencapai 6,7 juta ton/tahun. Namun dari keseluruhan, hanya termanfaatkan sebesar 59% (Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, 2009). Pemanfaatan total produksi perikanan di Indonesia sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar (43,1%), beku (30,4%), pengalengan (13,7%) dan dalam bentuk olahan lain (12,8%) (Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, 2009). Ikan segar lebih banyak di konsumsi dibandingkan jenis hasil olahan lainnya.

Keberhasilan ekspor komoditi perikanan sangat dipengaruhi oleh mutu ikan hasil tangkapan oleh nelayan yang salah satunya dicirikan oleh tingkat kesegaran ikan tersebut. Pemeriksaan mutu ikan segar untuk ekspor biasanya hanya dilakukan secara manual. Pemeriksaan mutu ikan juga dapat dilakukan melalui analisis mikrobiologi dan kimiawi tetapi cara ini kurang efektif karena membutuhkan waktu lama dan yang dianalisis hanya contoh-contoh ikan. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengukur mutu ikan secara cepat guna memperoleh ikan yang masih tinggi mutunya. Beberapa metode yang baik telah digunakan untuk mengukur mutu kesegaran ikan diantaranya organoleptik, TVB, TPC, pH(Nurjanah, 2004),pengukuran tahanan listrik (Tunas, 2001), Serta pengukuran dengan menggunakan metode akustik (Ramadhan, 2006).

(15)

Dengan adanya pengembangan dalam pengukuran kesegaran ikan dengan menggunakan infrared yang dilakukan dari pengadopsian pada pengukuran kesegaran susu dan daging sapi.Pengukuran Menggunakan infrared ini lebih memiliki waktu yang relatif singkat dan mudah untuk digunakan. Penggunaan

infrared lebih sering digunakan untuk menentukan kesegaran susu dan daging

sapi dimana penggunaan untuk industri yang cukup besar. Infrared yang

digunakan adalah infrared yang memiliki panjang gelombang pendek atau Near Infrared (NIR).

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang instrumen pengukur kesegaran ikan dengan menggunakan sensor infrared sebagai detektor.

(16)

3

2.1. Sensor

Sensor adalah perangkat yang mengubah fenomena fisik menjadi sinyal elektronik. Sensor menerima rangsangan dan meresponnya dengan perubahan sinyal listrik dan merupakan jembatan antara dunia sebenarnya dengan perangkat elektronik (Sarwono, et al, 1992).

Sensor merupakan bagian dari satu sistem yang lebih besar yang memiliki rangkaian pengondisi sinyal dan bermacam-macam pemrosesan sinyal analog atau digital. Setiap sensor memiliki karakteristik tertentu. Karakter ini menentukan baik buruknya sebuah sensor pada aplikasi tertentu. Karakter ini pula menentukan rangkaian yang digunakan sebagai penyangga sensor. Beberapa karakter penting diantaranya (Carr, 1993):

1. Transfer Function

Transfer Function merupakan hubungan fungsi antara sinyal masukan

fisik dan sinyal keluaran elektris. Biasanya, hubungan ini digambarkan sebagai grafik antara sinyal masukan dan keluaran.

2. Sensitivitas

Sensitivitas merupakan rasio antara perubahan kecil dalam sinyal elektris

terhadap perubahan kecil pada sinyal fisik dan dapat diekspresikan sebagai fungsi turunan Transfer Function terhadap sinyal fisik. Satuan yang biasa digunakan adalah volt/Kelvin, milivolt/kilopascal. Contoh, sebuah

termometer akan memiliki sensitivitas tinggi apabila perubahan suhu kecil di lingkungan akan mengakibatkan perubahan tegangan yang

(17)

tinggi. Karena perubahan tegangan yang signifikan memudahkan pengamatan terhadap sinyal elektris.

3. Span atau Dynamic Range

Rentang masukan sinyal fisik yang bisa dikonversi ke dalam bentuk sinyal elektris. Sinyal fisik diluar rentang ini diperkirakan memiliki akurasi yang sangat rendah. Satuan yang digunakan antara lain kelvin, pascal, newton. 4. Accuracy atau Uncertainty

Merupakan perkiraan kesalahan terbesar antara sinyal keluaran sebenarnya dan sinyal keluaran ideal. Accuracy merupakan istilah kualitatif, berbeda dengan uncertainty yang bersifat kuantitatif. Contoh, sebuah sensor memiliki akurasi yang lebih tinggi ketika uncertainty sebesar 1% dibandingkan dengan uncertainty 3%.

5. Hysteresis

Beberapa sensor tidak kembali ke nilai semula ketika terjadi rangsangan naik atau turun. Besarnya kesalahan yang diperkirakan dalam kuantitas yang diukur merupakan Hysteresis

6. Nonlinearity

Terkadang juga disebut linearity, merupakan penyimpangan maksimum dari Transfer Function linear terhadap Dynamic Range.

7. Noise

Beberapa sensor menghasilkan noise bersamaan dengan sinyal keluaran. Beberapa kasus menunjukkan noise pada sensor lebih kecil dibandingkan dengan noise pada rangkaian elektronik selanjutnya.

(18)

2.2. Sensor Infrared

Sensor infrared merupakan sensor yang mampu menghasilkan gelombang

infrared sebagai detektor yang akan direspon dari objek. Menurut Sarwono et al.

(1992) berdasarkan panjang gelombangnya Infrared dibagi kedalam 3 jenis yaitu : 1. Infrared jarak dekat

Infrared Jarak dekat merupakan infrared yang bekerja pada panjang

gelombang 0.75 µm – 1.5 µm atau lebih dikenal dengan Near-Infrared (NIR). 2. Infrared jarak menengah

Infrared jarak menengah merupakan infrared yang bekerja pada panjang

gelombang 1.5 µm – 10 µm. 3. Infrared jarak jauh

Infrared jarak jauh merupakan infrared yang bekerja pada panjang

gelombang 10 µm – 100 µm.

Boknæs et al. (2002) melakukan pendugaan kesegaran cairan dan fillet ikan cod dingin dengan mengukur nilai spectrometer dari gelombang pendek

infrared (Near Infrared (NIR)). Pengujian NIR dilakukan dengan menggunakan

panjang gelombang spectrum 1,000 - 2,222 nm.

Uddin et al. (2002) mengaplikasikan NIR panas tubuh ikan dengan menggunakan nilai spectrum 1100 - 2500 nm dan pada tahun 2005 melakukan pengujian kesegaran pada kamboko gel dengan menggunakan NIR.

Sivertsen et al. (2010) melakukan pengukuran kesegaran ikan cod (Gadus

morhua) menggunakan NIR dengan panjang gelombang 400-2500 nm dan

resolusi spectral 0,5 nm dimana rancangan alat yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

Gambar 1. Interactance setup for online measurements. (Sivertsen et al, 2010) Sensor suhu merupakan sensor yang mendeteksi rangsangan suhu dan merubahnya menjadi sinyal listrik. Ada enam gejala fisik benda yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengukuran suhu, yaitu: pemuaian zat cair, padat, ataupun gas; perubahan tahanan listrik; perubahan dalam gaya gerak listrik; pancaran gelombang elektromagnetik dari permukaan suatu benda; perubahan frekuensi dari permukaan suatu benda; perubahan frekuensi dari permukaan suatu benda dan kecepatan reaksi kimia (Griffiths, 1976). Sensor suhu merupakan alat yang berfungsi untuk mengindera perubahan suhu lingkungan suatu zat tertentu (padat, cair, gas). Sensor suhu yang baik adalah sensor yang memiliki respon yang peka terhadap perubahan suhu sekecil mungkin.

Sensor suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah sensor suhu digital jenis DS1820 (Gambar 2).Sensor suhu ini mampu mendeteksi suhu dengan kisaran -55 - 125 oC. Tingkat akurasi sensor suhu ini adalah ± 0.5 oC pada kisaran -10 - 85 oC. Kecepatan pembacaan data maksimal 750 ms (DS1820, 2010).

(20)

Gambar 2. Konfigurasi Pin DS1820 (DS1820, 2010)

2.2. Catu Daya

Setiap perangkat elektronik memerlukan sumber tenaga untuk bekerja. Sumber tenaga terdiri dari dua jenis yaitu tegangan searah (DC) dan tegangan bolak-balik (AC). Setiap komponen elektronika umumnya membutuhkan sumber tenaga dari tegangan searah (DC). Pada tegangan AC untuk mendapatkan tegangan DC diperlukan converter disebut konverer AC/DC.

Tegangan DC sudah memiliki tegangan yang sesuai dengan komponen akan tetapi masih memerlukan penyesuaian besarnya kebutuhan tegangan sehingga masih dibutuhkan konverter yang disebut konverter DC/DC. Sistem yang dirancang bersifat portable sehingga sumber yang digunakan adalah tegangan searah (DC). Salah satu sumber DC yaitu baterai yang akan digunakan dengan sistem konverter DC/DC.

2.3. Baterai

Baterai merupakan alat yang mengonversi energi kimia dalam bahan aktif yang terkandung didalamnya langsung menjadi energi listrik melalui reaksi reduksi oksidasi (Linden, 2002). Reaksi oksidasi ( redoks) adalah proses

(21)

berkurangnya bilangan oksidasi (reduksi) suatu zat dan terjadi penambahan bilangan oksidasi pada zat lainnya (Park, 1988).

Terdapat dua jenis baterai yaitu baterai primer dan baterai sekunder. Baterai primer adalah baterai yang tidak dapat secara efektif diisi ulang. Baterai tipe ini hanya bisa dipakai sekali. Kelebihan baterai ini adalah murah, biasanya ringan, memiliki waktu penyimpanan yang lama, kepadatan energi yang cukup baik, serta tidak perlu perawatan. Baterai sekunder adalah baterai yang energinya bisa diisi ulang kekondisi semula. Cara pengisiannya adalah dengan mengalirkan arus berbalik arah terhadap arus ketika penghabisannya. Terdapat dua aplikasi utama baterai sekunder. Pertama adalah sebagai penyimpan energi, dihubungkan dengan alat elektronik dan diisi menggunakan sumber energi utama. Kedua adalah baterai sekunder yang digunakan sebagai sumber utama pada sebuah alat. Lalu diisi ulang ketika energinya habis.

2.4. Mikrokontroler

Mikrokontroleradalah rangkaian elektronik atau chip yang sangat terintegrasi untuk membuat sebuah alat kontrol. Biasanya terdiri dari CPU (Central Processing Unit), RAM (Random Access Memory), sebagian bentuk ROM (Read Only Memory), IO (Input/Output) port, dan timers.

Bagian-bagian utama dari mikrokontroler antara lain : 1. CPU

Merupakan jantung utama dari mikrokontroler. Bagian ini mengambil instruksi di memori program, mengolahnya, lalu mengeksekusi perintah tersebut. CPU itu sendiri terdiri dari registers, arithmetic logic unit (ALU),

(22)

2. Memori Program

Tempat menyimpan perintah-perintah yang berbentuk program. Untuk mengakomodasi program berukuran besar, memori program dapat dipartisi menjadi memori program internal dan memori program eksternal pada beberapa jenis mikrokontroler. Memori program biasanya bersifat

non-volatile dan berupa tipe EEPROM, Flash, Mask ROM atau OTP (one-time

programmable).

3. RAM

Digunakan oleh mikrokontroler untuk menyimpan data. CPU menggunakan RAM untuk menyimpan variabel yang disusun bertumpuk (stack). Stack tersebut digunakan CPU untuk menyimpan alamat kembali suatu perintah setelah melewati sub rutin atau panggilan interrupt.

4. Pembangkit Clock

Mikrokontroler mengeksekusi program dari memori program berdasarkan kecepatan tertentu. Kecepatan ini ditentukan oleh frekuensi dari pembangkit

clock. Pembangkit clock bisa berupa rangkaian internal RC-oscillator atau

sebuah pembangkit eksternal seperti kristal quartz, sirkuit resonansi LC, atau bahkan sebuah sirkuit RC. Ketika mikrokontroler diberikan tegangan,

oscillator langsung beroperasi.

5. Port Serial

Merupakan port yang digunakan mikrokontroler untuk berkomunikasi dengan perangkat eksternal lain dengan hubungan serial. Port ini dapat dioperasikan pada kecepatan transfer data tertentu. Ada dua jenis serial port, synchronous dan asynchronous. Data synchronous memerlukan sinyal clock dalam setiap

(23)

bit sebagai informasi waktu, sedangkan asynchronous tidak memerlukan sinyal clock.

6. Port I/O Digital

Port yang digunakan untuk berkomunikasi dengan perangkat luar lain. Berbeda dengan port serial yang mentransfer data 1 bit dalam waktu tertentu, data dalam port I/O digital ditransfer sebagai byte secara paralel. Akan tetapi, secara software bisa diemulasikan untuk menerima data serial.

7. Port I/O Analog

Masukan sinyal analog dilakukan melalui ADC (analog-to-digital converter) sehingga menjadi sinyal digital yang dapat diproses di mikrokontroler. Contoh aplikasi ADC adalah untuk mendapatkan nilai dari sensor suhu, tekanan, cahaya, dsb. Perubahan teganganyang dihasilkan sensor tersebut akan dibaca oleh ADC. Keluaran sinyal analog dilakukan dengan melalui

digital-to-analog converter (DAC). Biasanya DAC digunakan untuk

melakukan kontrol terhadap motor, menghasilkan suara, dsb.

2.5. Kesegaran Ikan

Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki tahapan penurunan mutu ikan. Secara umum penurunan mutu ikan terdiri dari empat tahap yaitu hiperaemia (pre-rigor), rigor mortis, autolisa dan penyerangan bakteri.

Kemunduran mutu ikan setiap fase bergantung terhadap waktu dan jenis ikan. Tingkatan kesegaran ikan adalah tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan

(24)

sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Menurut Hadiwiyoto (1993) kesegaran ikan dapat digolongkan menjadi 4 kelas mutu, yaitu :

1. Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima)

Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian, sehingga semua organ tubuhnya baik daging, mata maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar. Secara fisik ikan masih memiliki mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah dan jernih, sayatan daging merah cemerlang. 2. Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced)

Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti saat kondisi pertama. Kondisi ikan secara fisik yaitu, bola mata agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun agak lunak bila ditekan.

3. Ikan yang kesegarannnya sudah mulai mundur

Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan. Secara fisik kondisi ikan memiliki bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging agak lunak.

4. Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk)

Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Daging ikan pada kondisi ini sudah lunak dengan sayatan daging tidak cemerlang, bola mata cekung, insang berubah warna menjadi coklat tua, sisik mudah lepas, dan sudah menyebar bau busuk.

(25)

Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar, sehingga disukai oleh konsumen. Penanganan dan sanitasi yang baik sangat diperlukan untuk tetap menjaga kesegaran ikan, makin lama berada di udara terbuka maka makin menurun kesegarannya. Alasalvar dan Taylor (2002) menyatakan bahwa umumnya ada dua metode yang tersedia untuk memperkirakan kesegaran ikan, yaitu sensor dan non-sensor. Metode sensor tergantung pada indera manusia dengan pengecualian pendengaran dan digunakan dalam industri perikanan untuk menilai kualitas dengan penglihatan , peraba/sentuhan (tekstur), bau dan rasa. Metode non-sensor adalah metode objektif yang digunakan untuk menentukan kesegaran ikan dan kualitas ikan yang temasuk dalam metode lain.

Menurut Hadiwiyanto (1997) ada 7 parameter fisik yang menandakan kesegaran ikan yaitu :

1.Kenampakan luar

a. Cerah, tidak suram (segar) karena perubahan biokimiawi belum terjadi, metabolisme dalam tubuh ikan masih normal.

b.Makin lama menjadi suram warnanya, berlendir sebagai akibat berlangsungnya proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikrobia.

2.Kelenturan daging ikan

a.Ikan segar dagingnya cukup lentur, apabila dibengkokkan akan kembali kebentuk semula.

b.Kelenturan ini disebabkan belum terputusnya benang-benang daging. c.Pada ikan yang telah busuk, sudah banyak benang-benang daging yang

(26)

3.Keadaan mata

a.Ikan Segar, biasanya menonjol ke luar, cerah. b.Ikan Busuk, cekung, masuk ke dalam rongga mata. 4.Keadaan daging

a.Ikan segar, dagingnya kenyal, jika ditekan dengan jari telunjuk/ibu jari, maka bekasnya akan segera kembali.

b. Daging ikan masih banyak cairan, sehingga daging masih kelihatan basah, permukaan tubuh belum terdapat lendir.

c.Setelah beberapa jam daging ikan menjadi kaku.

d. Kerusakan terjadi pada benang-benang daging, timbul tetes-tetes air akhirnya daging kehilangan tekstur kenyalnya.

5.Keadaan insang dan sisik

a.Ikan segar, insang berwarna merah cerah, sisik melekat.

b.Ikan tidak segar, insang menjadi coklat gelap, dan sisiknya mudah lepas dari tubuhnya.

c.Insang merupakan pusat darah mengambil O2 dari dalam air. Kematian

ikan dapat menyebabkan peranan darah (hemoglobin) berhenti, darah teroksidasi sehingga warnanya berubah menjadi merah gelap.

6.Keadaan Ruas Badan/Ruas Kaki

a. Parameter ini biasanya digunakan pada hasil perikanan yang beruas-ruas, misalnya udang, lobster, kepiting, rajungan, dan lain-lain.

b.Keadaan segar, ruas badan/kaki masih kuat, tidak mudah putus. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ikan (mutu) dikaitkan dengan kesegaran dan kerusakan ikan menurut Ramadhan (2006) diantaranya:

(27)

1. Daerah Penangkapan

Jumlah dan jenis mikrofloranya (lingkungan), adanya cemaran pada daerah-daerah tertentu, memungkinkan mempengaruhi cita rasa daging ikan.

2. Metode/cara penangkapan dan pendaratan ikan

Jarak pengangkutan dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan. 3. Cara penanganan pasca tangkap hasil perikanan

Peralatan yang digunakan, penggunaan bahan-bahan pendingin (es), cara penyimpanan, pengangkutan, dan lain-lain.

5. Keadaan cuaca/suhu

Ikan nila merah merupakan ikan air tawar yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Di Indonesia dikembangkan pada tahun 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan diversifikasi komoditi perikanan dan pemenuhan kebutuhan protein hewani (Warta Mina, 1990 dan Techner, 1993).

Ikan nila merah yang dijual di pasar umumnya diletakkan di atas wadah/meja pada suhu ruang. Ikan harus habis terjual dalam waktu 12 jam, sehingga ikan yang dijual relatif sedikit dengan keuntungan yang kecil. Hal ini disebabkan karena penurunan mutu ikan yang sangat cepat.

Menurut Nurjanah (2004) batasan nilai kesegaran ikan nila merah berdasarkan kemunduran ikan dapat dilihat dalam Tabel 1. Masa setiap fase memiliki perbedaan waktu dengan nilai Total Vibrio Count (TVB), Total Plate

(28)

Tabel 1. Standar Nilai Pengukuran Kesegaran Ikan Nila Merah No Fase Waktu ( Jam ) TVB mg N/100 g TPC Kol/g pH 1 Pre rigor 2 Jam 18,67 – 20 3,4 x 104 – 6,3 x 104 6,7 2 Rigor Mortis 10 Jam 20-24

2,2 x 10

4

- 3,7 x 10

5

6,2-6,60 3 Post rigor > 10 jam > 24 > Log 5 7,2

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan sudah tersebar luas di Indonesia. Kebutuhan lele konsumsi dalam negeri terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin populernya lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Perkembangan produksi ikan lele selama 5 tahun terakhir menunjukkan hasil sangat signifikan yaitu sebesar 21,82% per tahun dari 69.386 ton pada Tahun 2005 menjadi 145.099 ton pada Tahun 2009 dan pada tahun 2010 mencapai 270.600 ton (peikanan-budidaya. KKP, 2010). Peluang ekspor lele dalam bentuk fillet mulai terbuka untuk pasar Amerika dan Eropa. Lele sudah dijadikan komoditi ekspor (DKP, 2006).

(29)

16

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan

September 2011. Kegiatan penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu pembuatan alat dan uji coba alat. Pembuatan dan uji coba alat dilakukan di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Table 2 : Table 2. Daftar alat yang digunakan

No Nama Alat Fungsi

1 Seperangkat Komputer dengan sistem operasi Windows XP

Merancang perangkat keras dan lunak serta pengolahan data

2 Solder listrik 45 watt Menyolder antar komponen 3 Multimeter Digital Sanwa CD Mengukur voltase, hambatan dan

koneksi komponen80

4 Gerinda Listrik Memotong pipa PVC

5 Cutter Memotong acrylic

6 Obeng Membuka dan memasang baut

7 CodeVisionAVR 2.04.4a Membuat firmware dan mengunduh

firmware ke mikrokontroller

8 Penggaris Mengukur panjang

9 Amplas Menghaluskan cassing

10 STK 500 Memprogram ATMega 8535

11 Bor Listik Melubangi casing

12 EAGLE 5.10 Membuat desain rangkaian

13 Microsoft Excel 2010 Mengolah data hasil perekaman

14 Lem Alteco Merekatkan casing

15 AutoCad 2008 Membuat desain rancangan cassing 16 Google SketchUp 7 Membuat desain rancangan cassing

(30)

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Daftar bahan yang digunakan

No Nama Bahan Jumlah

1 Acrilic ( 3 mm, 1x 1 m) 1 buah 2 Sensor Infrared Transmitter 3 buah

3 Sensor Suhu 1 buah

4 Sensor Infrared Recivier 3 buah

5 Pipa PVC (d 3/4 inch ) 1 buah

6 Pipa PVC (d 3 inch ) 1 buah

7 Modul Mikrokontroller ATMega 8535 1 buah

8 Jack Konektor 8 pin 2 buah

9 Kabel ( 8 in 1 ) 1.5 meter

10 Resistor 220 Ω 10 buah

11 Resistor 10 KΩ 20 buah

12 Trimpod 10 KΩ 1 buah

13 Female Header 10 pin 2 buah

14 Female Header 2 pin 5 buah

15 Female Header 1 pin 5 buah

16 Pin Header 2 x 20 2 buah

17 Pin Header 1 x 20 2 buah

18 LCD 2x16 1 buah

19 Ikan Nila 1 Kg

20 Ikan Lele 1 Kg

21 Baterai Alkaline kotak 9 volt 2 buah

22 Sakelar 1 buah

3.3. Desain Kerja

Pembuatan alat pengukur kesegaran ikan memiliki tahapan diperlihatkan pada Gambar 3. Pembuatan alat dimulai dari rancang bangun instrumen yang dilanjutkan dengan perancangan elektronik dan rancangan software. Pengujian dilakukan dua kali, uji pertama untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran dengan program yang dibuat. Setelah pengujian pertama berhasil dilanjutkan dengan penyesuaian seluruh perangkat elektronik dengan desain casing alat dilanjutkan dengan ujicoba kembali kinerja alat yang dibuat.

(31)

Gambar 3. Diagram alir Perancangan Alat Pengukur Kesegaran Ikan

3.4. Penentuan Panjang Gelombang

Penentuan panjang gelombang dilakukan untuk melihat panjang

gelombang yang baik untuk mengukur kesegaran ikan. Pengukuran ini dilakukan

Selesai Mulai Persiapan Perumusan Perancangan Memenuhi Perancangan Model Elektronik Perancangan Model Sofware Ya Uji Coba Ya Perancangan Elektronik, Sofware dan Model Desain

Perancangan Model Desain

Penyesuaian Tidak

(32)

dengan menggunakan sampel ikan nila. Ikan nila yang telah dimatikan akan dilakukan pengukuran panjang gelombang menggunakan alat ukur NIR (near

infrared) . Pengukuran ini dilakukan pada tiga bagian tubuh ikan, yaitu bagian

mata, bagian perut dan bagian ekor. Sebagai asumsi yaitu perbedaan kadar air pada setiap bagain tubuh ikan tersebut untuk melihat panjang gelombang berapa yang memberikan perubahan pantulan yang nyata pada setiap bagian ikan.

3.5. Rancangan Alat

Alat pengukur kesegaran ikan terbagi kedalam tiga sistem rancangan yaitu, sistem elektronik, sistem software dan sistem desain.

3.5.1. Sistem Elektronik

Alat pengukuran kesegaran ikan ini dirancang berdasarkan system

scanning (pemindaian). Sensor infrared yang digunakan akan disusun secara

vertikal yang dengan kombinasi dimana receiver berada ditengah 2 transmitter seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Susunan infrared

Tx adalah sensor transmitter Rx adalah sensor receiver (infrared)

Pada rangkain sensor (Gambar 5) dimana sensor memiliki sumber tegangan 5 volt dari baterai. Rangkaian ini dihubungkan dengan rangkaian pengurang tegangan dan penguat tegangan guna memperoleh rentang keluaran hasil yang lebih besar.

Tx

Tx Rx

(33)

Gambar 5. Rangkain Infrared

Penyusunan tersebut untuk memperoleh luasan area yang terpindai lebih luas sehingga hasil yang diperoleh memiliki tingkatan kepercayaan yang cukup besar.

Gambar 6. Sistem pengukuran kesegaran ikan

Radiasi sinar infrared (E) yang ditransmisikan oleh sensor infrared (C) akan menembus lapisan daging ikan dan dihamburbalikan oleh daging ikan (B). Energi hambur balik ini yang akan diterima oleh fotodioda (D) sebagai receiver, perubahan hambur balik yang diterima pada saat mengenai ikan diukur seperti yang ditunjukan pada Gambar 6. Dengan adanya perubahan tektur daging yang

A. Probe Sensor B. Ikan/Daging Ikan C. IR Transmitter D. IR Recivier E. Radiasi Infrared F. Sensor Suhu A B C D E C A B C F Depan Samping

(34)

terus menurun akan mengakibatkan perubahan nilai hambur balik yang diterima oleh sensor.

Sinyal penerimaan yang diperoleh dikondisikan dengan rangkaian penguat sinyal (Gambar 7). Hasil Pengkondisian yang diperoleh dikonversi kedalam sinyal digital pada mikrokontroller melalui proses ADC. Proses ADC terdapat pada Port A dalam AT Mega 32.

Gambar 7. Rangkaian penguat sinyal.

Sensor DS1820 merupakan sensor digital yang dapat digunakan untuk mengukur suhu di setiap rak ikan. Sensor ini memiliki tiga kaki yaitu GND, Vcc, dan out. Agar nilai dari sensor stabil, maka pada rangkaian (Gambar 7)

ditambahkan resistor sebagai pull up sebesar 1 kΩ. Sensor memiliki satu keluaran dimana nilainya akan berubah sesuai suhu yang dideteksi. Keluaran dari sensor ini sudah dalam bentuk digital sehingga tidak harus dikonversi lagi.

(35)

Gambar 8. Rangkaian dasar DS1820

Alat pengukur kesegaran ikan yang dikembangkan memiliki tampilan hasil menggunakan LCD 2x16 karakter. LCD ini terhubungkan dengan

mikrokontroller pada Port B sebagai output hasil pengukuran. Rangkaian LCD dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 9. Rangkaian LCD 2x16

Alat ini memiliki bagian kontrol sebagai pengatur sistem yang ada didalamnya. Mikrokontroller sebagai pusat pengaturan alat adalah tipe ATMega 32 yang memiliki empat port sebagai keluaran. Keempat port keluaran tersebut terhubung kedalam empat bagian sistem elektronik.

Bagian Port A terhubung dengan bagian sensor sebagai inputan ADC. Port B terhubung dengan LCD sebagai tampilan hasil pengukuran yang ditunjukkan

(36)

oleh alat. Pada bagian ini, alat menampilkan hasil berupa nilai ADC. Nilai suhu serta nilai kesegaran ikan sebagai hasil pengolahan alat. Pada Port C terhubung dengan sensor suhu untuk mengukur seberapa besar suhu yang ada saat

pengukuran. Rangkaian sistem ini dapat dilihat ada gambar 9 dibawah ini.

Gambar 10. Rangkaian Mikrokontroller

3.5.2. Sistem Perangkat Lunak

Perangkat lunak yang terdapat dalam mikrokontroller disebut firmwire. Sistem Perangkat lunak ini dibuat menggunakan software CodeVision AVR dengan bahasa pemograman yang digunakan adalah bahasa C. Firmware yang telah dibuat diunduh ke mikrokontroller dengan Atmel AVRProg (AVR910).

(37)

Alur program kerja dari alat yang dibuat ditunjukan pada Gambar 11.

Gambar 11. Rancangan program yang diunduh pada mikrokontroller

Inisialisasi Mikrokontroller Deklarasi Fungi Deklarasi Variabel Konfigurasi Mikrokontroller Inisalisasi Variabel Terdapat sensor ?

Ambil Data Suhu Ambil data ADC

Tulis LCD Inisialisasi Sensor

Format Data (.txt)

Parsing Data

Tulis file data.txt (No, ADC, Suhu)

Mulai

Selesai

Tidak

(38)

3.5.3. Sistem Cassing

Alat pengukur kesegaran ikan ini dibagi menjadi dua bagian utama yaitu bagian control dan bagian probe sensor.

1. Bagian Kontrol

Bagian ini merupakan tempat perangkat elektronik yang berhubungan dengan pengolahan data dari sensor dan power supply yang digunakan seperti

baterai. Bagian alat memiliki dua bagian yaitu bagian badan dan bagian pegangan. Pada bagian badan terdapat LCD yang menampilkan hasil

pengukuran. Dibagian dalam terdapat tempat penyimpanan baterai dan soket SD card untuk merekam data yang diperoleh. Secara keseluruhan dimensi alat ini seperti yang terlihat pada Gambar 12 dan Gambar 13.

Gambar 12. Dimensi Alat Kontrol dalam (mm) (A.) tampak atas (B.) tampak samping (C.) tampak depan

A

B

(39)

Gambar 13. Tampilan pegangan dalam (mm) (A.) tampak depan (B.) tampak samping

2. Bagian Probe Sensor

Bagian ini merupakan tempat keseluruhan sensor infrared dan sensor suhu.

Probe sensor akan secara langsung berhubungan dengan objek yang akan diukur.

Secara jelas dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Dimensi Bagian Probe dalam (mm) (tampak samping). A

B A

(40)

3.6. Kalibrasi Infrared terhadap Suhu

Kalibrasi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perubahan suhu terhadapa hasil pengukuran pantulan inframerah yang diterima. Pantulan ini dilakukan dengan mengukur sebuah bidang yang memiliki tingkatan kekuatan pantulan yang sama dan tetap dalam hal ini digunakan lantai keramik putih. Pengukuran dilakukan selama 24 jam untuk melihat sejauh mana pengaruh suhu yang terjadi pada siang hari dan malam hari terhadap pantulan yang diterima. Setelah diperoleh akan ditentukan regresi atau hubungan dari suhu dan pantulan inframerah.

3.7. Prosedur Uji Coba Alat

Pengujian alat dilakukan sebanyak 3 perlakuan terhadap dua jenis sampel ikan yang digunakan yaitu ikan nila merah dan lele. Perlakuan tersebut yaitu pengujian Ikan secara whole atau ikan utuh seperti biasa, Pengujian skin on atau bagian ikan fillet luar atau sebelah sisik ikan dan terakhir pengujian skin less atau bagian ikan fillet dalam. Pengujian tersebut berdasarkan kepada kondisi umum ikan yang ada dipasaran.

Pengujian whole dilakukan pada ikan utuh seperti biasa. Setelah ikan dimatikan langsung dilakukan pengkuran pantulan inframerah di bagian tengah badan ikan. Pengukuran ini dilakukan selama 48 jam dengan pencatatan setiap satu jam disertai dengan pencatatan suhu yang diperoleh.

Pengujian skin on dilakukan dengan terlebih dahulu memillet ikan yang telah dimatikan. Kemudian bagian sisik ikan (jika masih terdapat) dihilangkan, pada bagian inilah dilakukan pengukurun tingkatan pantulan inframerah di bagian

(41)

tengah fillet daging ikan. Pengukuran ini dilakukan selama 48 jam dengan pencatatan setiap satu jam disertai dengan pencatatan suhu yang diperoleh.

Pengujian skin less dilakukan dengan terlebih dahulu memillet ikan yang telah dimatikan. Kemudian bagian dalam daging ikan diperlihatkan, pada bagian inilah dilakukan pengukuran tingkatan pantulan inframerah di bagian tengah fillet daging ikan. Pengukuran ini dilakukan selama 48 jam dengan pencatatan setiap satu jam disertai dengan pencatatan suhu yang diperoleh.

(42)

29

Penelitian ini menghasilkan sebuah alat pengukur kesegaran ikan yang diberi nama Infrared Fish Freshness Instrumen -1 (IFFI-1). IFFI-1 berfungsi untuk mengukur kesegaran ikan secara real time degan tampilan digital display (LCD). Pengujian dilakukan untuk melihat seberapa jauh tingkat respon dan fungsi alat dalam mengukur kesegaran ikan. Data yang diperoleh ditampilkan dalam LCD dan disimpan dalam SD card.

4.1. Hasil Rancang Bangun

Desain yang dipergunakan merupakan hasil dari perancangan pembuatan alat yang menjadi cetak biru (Blue print ) dalam pembuatannya. Adapun bentuk desain alat yang dirancang seperti yang terlihat pada Gambar 15. Terdiri dari tiga bagian yaitu Unit display, Unit Sensor dan Konektor.

Gambar 15. Desain alat pengukur kesegaran ikan Unit display

Unit Sensor

(43)

Unit Display

Unit display merupakan bagian yang menampilkan hasil dari pengukuran yang dilakukan oleh unit sensor. Unit display terdiri dari beberapa bagian, yaitu Mikrokontroller sebagai pemroses data, Modul MMC sebagai perekam atau media penyimpan data ke SD card LCD sebagai penampil data, Baterai sebagai input catu daya (Gambar 16).

Gambar 16. Unit display

Unit display ini terbagi menjadi dua bagian yang terpisah antara bagian baterai dengan modul MMC dan bagian Mikrokontroller dengan LCD. Pemisahan ini dilakukan guna mempermudah pada saat pemasangan SD card serta pergantian

LCD Saklar Pin konektor Baterai Modul MMC Mikrokontroller LCD

(44)

baterai jika dayanya telah habis tanpa mengganggu bagian mikrokontroller dan LCD.

Proses yang terjadi pada bagian unit display ini berupa distribusi data dan distribusi daya. Ketika saklar ditekan, akan terjadi distribusi daya pada seluruh perangkat dari baterai yang ada di bagian ini. Ketika semua telah terhubung maka sensor pada unit sensor akan langsung bekerja kemudian data yang diperoleh akan diproses pada mikrokontroller. Mikrokontroller akan melakukan 2 proses yaitu proses penyimpanan data yang direkam langsung di SD card serta data yang akan ditampilkan pada LCD. Proses yang terjadi ada mikrokontroller akan dijelaskan melalui jalur programannya.

Pada Program mikrokontroller dibutuhkan penginisialisasian

mikrokontroller yang meliputi jenis mikrokontroller, komunikasi antar muka 1

wire. CodeVision memiliki beberapa program bawaan sehingga tidak perlu semua

program ditulis kembali. Pemanggilan program tersebut dilakukan dengan memberikan perintah untuk digunakan (include), berikut ini adalah kode programnya.

Selain penginisialisasian diperlukan pendeklarasian variabel yang digunakan dalam proses pengolahan data hasil pengukuran yang dilakukan oleh sensor infrared dan sensor suhu ds1820, berikut ini adalah kode program yang dituliskan dalam pendeklarasian variable program.

#include <mega32.h #include <1wire.h> #include <ds1820.h> #include <lcd.h> #include <stdio.h> #include <delay.h> #include <stdlib.h> #include <ff.h> #include <sdcard.h>

(45)

Secara garis besar program mikrokontroller terbagi menjadi dua bagian yaitu proses pengambilan data dan proses penyimpanan data serta menampilkan data.

a. Proses pengambilan data

Data yang diukur pada alat ini adalah data hasil pantulan infrared dan data suhu. Data pantulan infrared diambil menggunakan ADC sedangkan data suhu diperoleh melalui antar muka 1 wire. Berikut ini program yang digunakan.

Nilai ADC akhir yang diperoleh merupakan hasil dari rata-rata 3 masukan sensor infrared yang diperoleh dan telah mengalami kalibrasi dengan suhu. Data suhu yang diperoleh berupa hasil suhu dalam derajat celcius karena sensor

DS1820 sudah memiliki keluaran digital serta dengan menggunakan antarmuka 1

wire akan langsung diperoleh hasilnya.

for (i=0;i<ds1820_devices;) {temp=ds1820_temperature_10(&ds1820_rom_codes[i][0]); hasil1=read_adc(0); hasil2=read_adc(1); hasil3=read_adc(2); hitung=hasil1+hasil2+hasil3; hitung=hitung/3; adc=hitung-1024 adc=adc*r; #define ADC_VREF_TYPE 0x40

unsigned int read_adc(unsigned char adc_input); #define MAX_DS1820 8

unsigned char ds1820_devices;

unsigned char ds1820_rom_codes[MAX_DS1820][9]; #define T1_OVF_FREQ 100

#define T1_PRESC 1024L

#define T1_INIT (0x10000L-(_MCU_CLOCK_FREQUENCY_/(T1_PRESC*T1_OVF_FREQ))) char buffer[100];

char filename[30]; char lcd_buffer[33];

(46)

b. Proses Penyimpanan data serta menampilkan data

Penyimpanan data tidak dapat dilakukan secara langsung oleh

mikrokontroller, akan tetapi diperlukan beberapa pengaturan terlebih dahulu. Karena file memori yang digunakan dalam format FAT maka diperlukan penginisialisasian file sistem FAT. Berikut ini kode program yang digunakan.

Dalam penyimpanan data diperlukan pembuatan file data yang akan disimpan, berikut ini program untuk pembuatan file data.

Penyimpanan data yang diakukan pada file baru dilakukan dengan mengisi file tersebut dari data yang kita peroleh. Berikut ini adalah kode pengisian file yang telah dibuat dengan data yang kita peroleh.

void file_baru(void) {

unsigned char ulang; status_create=0; for(ulang=0;ulang { reset_filename(); file_IFFI(); if ((res=f_open(&file,filename,FA_CREATE_NEW))==FR_OK)status_create=1; else status_create=0; if(status_create==1) { if ((res=f_close(&file))==FR_OK)status_create=1; else status_create=0; } if(status_create==1)break; } } void inisialisasi_fat(void) { for(;;) { if ((res=f_mount(0,&fat))==FR_OK) { break; } else { error(res); } } }

(47)

Selain menyimpan data yang diperoleh, alat ini juga menampilkan secara langsung hasil pengukuran dengan menggunakan LCD. Berikut ini adalah kode program dalam menampilkan data yang diukur di LCD.

Perintah printf tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pada saat penampilan data suhu diberikan tanda “Suhu” pada hasil tampilan, sedangkan pada hasil ADC akan terdapat tanda “adc” pada hasil pengukuran untuk membedakan nilai yang

ditampilkan pada layar LCD.

void isi_file(void) { unsigned ulang; status_tulis=0; reset_filename(); file_IFFI(); display_status(filename); for(ulang=0;ulang { if ((res=f_open(&file,filename,FA_WRITE))==FR_OK)status_tulis=1; else status_tulis=0; if(status_tulis==1) { if ((res=f_lseek(&file,finfo.fsize))==FR_OK)status_tulis=1; else status_tulis=0; } if(status_tulis==1) { if ((res=f_write(&file,buffer,panjangdatammc+1,&nbytes))==FR_OK)status_tulis=1; else status_tulis=0; } if(status_tulis==1) { if ((res=f_close(&file))==FR_OK)status_tulis=1; else status_tulis=0; } if(status_tulis==1)break; delay_ms(500); } printf("Suhu%-u=%-i.%-u\xdfC\n\r",++i,temp/100,temp%100) lcd_puts(lcd_buffer1); printf("%3-uadc\n\r",adc); lcd_puts(lcd_buffer);

(48)

Unit Sensor

Unit ini terdiri atas sensor infrared dan sensor suhu serta pin konektor sebagai penghubung. Bagian yang terdapat sensor infrared diberikan warna hitam atau gelap guna menghindari sinar infrared dari luar yang dapat mempengaruhi hasil pembacaan sensor. Selain itu, penempatan sensor suhu yang berdekatan guna memperoleh kondisi suhu yang sebenarnya pada saat pengukuran. Hal ini

dikarenakan nilai pantulan sensor infrared dipengaruhi perubahan suhu . Bagian-bagian dari unit ini dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Unit Sensor

Konektor atau penghubung yang digunakan menggunakan kabel yang memiliki 8 isi kabel yang berbeda warna dengan panjang 1.5 m dan konektor sendiri menggunakan 8 pin konektor sesuai dengan kabel yang digunakan. Penggunaan ini disesuaikan dengan kebutuhan dimana pin 1,2 dan 3 merupakan masukan dari tiga infrared receiver. Pin 5 merupakan masukan dari sensor suhu,

Infrared Transmitter Infrared Receiver Sensor suhu Pin Konektor

(49)

pin 6 merupakan Vcc untuk sensor suhu, pin 7 merupakan Vcc untuk sensor

infrared dan pin 8 merupakan ground dari semuanya (Gambar 18).

Gambar 18. Konektor

4.2. Hasil Uji Panjang Gelombang

Uji panjang gelombang dilakukan untuk melihat panjang gelombang yang baik dalam mengukur kesegaran ikan. Pengukuran dilakukan pada tiga bagian pada tubuh ikan yaitu bagian mata, insang dan ekor. Berdasarkan grafik yang diperoleh dapat dilihat terdapat 2 panjang gelombang dengan kekuatan pantulan yang siginifikan yaitu berada pada panjang gelombang sekitar 525 nm dan pada panjang gelombang sekitar 690 nm. Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat pengukur NIR. Panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan yaitu pada panjang gelombang 525 nm dan pada panjang gelombang 690 nm seperti yang terlihat pada Gambar 19.

1 2 3 1 2 3 8 3 6 5 4 7

(50)

Gambar 19. Grafik uji panjang gelombang

4.3. Korelasi Pantulan Infrared terhadap Suhu

Infrared akan dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan. Hubungan

dari perubahan pantulan infrared terhadap suhu dapat dilihat pada Gambar 20. Hubungan suhu terhadap pantulan infrared memiliki regresi I=2.718*T+55.09, R2=0.68 untuk infrared 1 dan I=2.017*T+95.81, R2=0.68 untuk infrared 2. Sehingga perubahan nilai pantulan sebesar 2 digital number dari perubahan nilai suhu yang terjadi.

400 425 450 475 500 525 550 575 600 625 650 690 725 750 775 800 825 850 875 900 925 950 975 1,000 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Mata Perut Ekor Lo g ( 1 /R ) Panjang Gelombang, λ (nm)m)

(51)

Gambar 20. Hubungan suhu terhadap pantulan infrared a. infrared 1 b. infrared 2

I = intensitas pantulan T= temperature

Perubahan suhu lingkungan mampu memberikan pengaruh yang nyata terhadap pantulan infrared. Hal ini dapat diliat dari nilai R2 pada infrared 1 sebesar 0.68 dan pada infrared 2 memiliki nilai 0.68. Sehingga pengaruh yang

24.4 24.6 24.8 25 25.2 25.4 25.6 120 121 122 123 124 125 126 Temperatur ( Celsius ) In te n s it a s ( D ig it a l N u m b e r) I =2.718*T+ 55.09 R²=0.6814 24.4 24.6 24.8 25 25.2 25.4 25.6 144 145 146 147 148 149 Temperature ( Celsius ) In te n s it a s ( D ig it a l N u m b e r ) I = 2.017*T + 95.81 R² = 0.6804 a b

(52)

diberikan oleh perubahan suhu. Pengaruh nilai keterkaitan ini bergantung terhadap sensitifitas dari sensor Infrared itu sendiri.

Perubahan pantulan infrared dilihat berdasarkan waktu pengukuran, pantulan memiliki pola perubahan yang mirip dengan perubahan suhu, hal ini dapat dilihat pada Gambar 21. Waktu yang dilihat disesuaikan dengan perubahan siang dan malam yang terjadi selama dua hari pengukuran.

Gambar 21. Perubahan infrared dan suhu terhadap waktu dengan panjang gelombang 780 nm

Pola pantulan infrared memiliki bentuk yang sama dengan pola perubahan suhu. Kondisi siang hari pada saat suhu mengalami peningkatan,diikuti dengan peningkatan intensitas pantulan infrared. Begitu pula sebaliknya, pada malam hari dimana suhu lingkungan mengalami penurunan, hal ini diikuti dengan penurunan intensitas pantulan infrared. Perubahan siang dan malam yang berpengaruh

120 121 122 123 124 125 126 D ig it a l N u m b e r 144 145 146 147 148 149 D ig it a l N u m b e r 13.00 1.00 13.00 1.00 12.00 24.0 24.5 25.0 25.5 26.0 Waktu (jam) C e ls iu s IR1 IR2 Suhu 20 September 2011 22 September 2011

(53)

terhadap perubahan suhu disamping adanya pengaruh jumlah cahaya luar dengan sendirinya akan memberikan perbedaan intensitas pantulan infrared secara keslruhan perubahan nilai suhu dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.4. Hasil Pantulan Infrared Pada Ikan Nila dan Ikan Lele

Uji coba pantulan untuk ikan nila dan ikan lele dilakukan melalui 3 perlakuan yaitu ikan utuh (Full), fillet ikan nila Skin On dan fillet ikan nila Skin

Less. Secara umum intensitas pantulan mengalami penurunan untuk setiap jenis

ikan dan setiap perlakuan yang diberikan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 22.

Hasil Pengujian Patulan Pada Ikan Nila

Pengujian pada ikan nila dibagi kedalam tiga perlakuan. Perlakuan tersebut berdasarkan pada kondisi umum ikan yang ditemukan dipasar pada saat penjualan. Pola dari setiap perlakuan yang diberikan pada ikan nila berhubungan erat dengan keadaan ikan itu sendiri diantaranya :

A. Pola Pantulan Pada Ikan Nila Whole

Ikan utuh (Whole) yang diukur secara langsung tanpa adanya perlakuan khusus sebelumnya. Penurunan pantulan terjadi seiring dengan penurunan laju mutu dengan nilai pantulan yang lebih kecil. Pola penurunan mutu ikan nila dimana pada kondisi 2 jam pertama setelah pematian yang merupakan masa pre-rigor bagi kan nila merah (Nurjanah, 2004), pada masa tersebut terjadi penurunan intensitas pantulan infrared, seperti pada Gambar 22. Akan tetapi, penurunan intensitas pantulan ini tidak terlalu signifikan, hal ini dikarenakan kondisi ikan masih dalam keadaan masih segar (Lampiran 4).

(54)

Masa setelah 12 jam pematian, dimana ikan nila telah memasuki tahapan post rigor (Nurjanah, 2004), diikuti dengan penurunan intensitas pantulan yang signifikan, hal ini juga diiringi dengan kondisi ikan yang telah mengeluarkan cairan-cairan atau lendir dalam tubuhnya terutama pada bagian perut ikan (Lampiran 6). Pada saat ini pernafasan aerob berhenti dan oksidasi anaerob menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan hilangnya adenosine triphosphate (ATP) akibat pembusukan otolisis menyebabkan otot menjadi kaku sebagai akibat penggabungan searah

(irreversible association) molekul-molekul myosin dan actin sehingga lendir cepat keluar. Setelah melewati masa 12 jam pematian hingga akhir pengukuran,

intensitas pantulan infrared lebih kecil dibandingkan dengan 12 jam masa awal pematian. Akan tetapi, masih terjadi penurunan intensitas pantulan diiringi dengan terciumnya bau busuk dan lendir yang keluar dari ikan lebih banyak (Lampiran 8). Hal ini dikarenakan lendir mengandung senyawa nitrogen yang sangat besar dan senyawa tersebut menyediakan makanan bagi mikro organisme pencemar ikan yang berasal dari lingkungan sekitar.

B. Pola Pantulan Pada Ikan Nila Skin Less

Ikan Skin Less yang merupakan bagian dalam dari daging ikan pada masa pengujian secara keseluruhan mengalami penurunan intensitas pantulan. Karena bagian ini tidak memiliki lendir atau lapisan lendir maka pada awal pengukuran memiliki itensitas pantulan yang lebih besar.

Pola penurunan intensitas pantulan infrared pada masa awal hingga 2 jam (masa pre-rigor) setelah pematian dari ikan nila merah telah mengalami

(55)

pada masa ini mutu ikan masih dalam keadaan baik. Masa 12 jam setelah pematian terjadi perubahan yang signifikan dari penurunan pantulan intensitas ikan hal ini beriringan dengan masuknya ikan pada masa post rigor yaitu 10 jam setelah pematian awal (Nurjanah, 2004). Setelah melewati masa itu hingga akhir pengukuran intensitas pantulan infrared masih mengalami penurunan seperti pada Gambar 22. Akan tetapi, intensitas perubahannya tidak seperti yang terjadi pada masa memasuki tahapan post rigor.

C. Pola Pantulan Pada Ikan Nila Skin On

Ikan Skin On selama pengukuran secara keseluruhan mengalami penurunan intensitas pantulan infrared. Hal ini seiring dengan laju penurunan mutu ikan. Masa awal hingga 2 jam setelah pematian terjadi penurunan intensitas

infrared, akan tetapi intensitas nilai penurunannya masih kecil. Memasuki masa

12 jam setelah pematian terlihat penurunan intensitas pantulan yang signifikan seperti di Gambar 22, hal ini seiring dengan ikan yang telah memasuki tahapan post rigor (Nurjanah, 2004). Masa ini ikan telah mengeluarkan lendir dari dalam tubuhnya seperti yang terjadi pada ikan nila whole. Masa setelah 12 jam hingga akhir pengukuran intensias pantulan masih mengalami penurunan yang disertai dengan terciumnya bau busuk dari ikan akibat lendir yang keluar lebih banyak dan mengandng banyak senyawa nitrogen.

(56)

Gambar 22. Hubungan pantulan infrared pada ikan nila terhadap waktu dengan panjang gelombang 780 nm

Pola penurunan yang terjadi pada ikan nila secara keseluruhan mengalami penurunan. Penurunan yang signifikan terjadi pada masa 12 jam setelah pematian menunjukan bahwa kemampuan dari sensor yang dimiliki mampu memberikan perbedaan keadaan antara kondisi ikan yang telah memasuki masa tahapan pembusukan atau masa post-rigor

Hasil Pengujian Pada Ikan Lele

Pengujian ikan lele tidak berbeda dengan pengujian ikan nila. Akan tetapi, dari ketiga perlakuan yang diberikan masih belum terlihat perubahan yang

signfikan. Pola yang terjadi dari setiap perlakuan akan bergantung dari perubahan kondisi ikan lele yang diamati diataranya :

A. Pola Pantulan Infrared Pada Ikan Lele Whole

Ikan lele utuh (whole) secara umum memiliki laju penurunan mutu ikan yang dilihat dari penurunan intensitas pantulan infrared lebih relaif stabil. Tetapi intensitas pantulan yang paling besar dari semua pengukuran. Pada masa 12 jam

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 50 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7

Waktu ke- (jam)

IR 2 /I R 1 whole skin less skin on

(57)

pertama warna ikan mulai berubah menjadi lebih gelap (Lampiran 5 dan 7). Akan tetapi, nilai penurunan intensitas pantulan infrared tidak terlalu signifikan.

Masa setelah 12 jam hingga akhir pengukuran penurunan intensitas masih terjadi dan perubahan penurunan intensitas pantulan masih tidak terlalu besar. Hingga akhir penukuran yaitu selama 48 jam penurunan intensitas yang terjadi lebih linear seperti yang terlihat di Gambar 23.

B. Pola Pantulan Infrared Pada Ikan Lele Skin Less

Ikan lele fillet pada bagian Skin Less intensitas penurunan tidak terlalu besar. Akan tetapi, secara umum laju intensitas pantulannya mengalami penurunan. Pola penurunan pada 12 jam setelah pengukuran belum memiliki perubahan yang signifikan, hal dapat disebabkan karena perbedaan dari sifat pantulan yang diberikan oleh ikan lele terdapat infrared. Setelah melewati masa 12 jam pematian, ikan lele skin less mulai mengalami perubahan dari tekstur daging ikannnya menjadi lebih lembut akibat telah terjadi perubahan jaringan penghubung oleh protease endogen. Intensitas pantulan yang dihasilkan masih pada laju penurunan yang sama seperti pada saat 12 jam pematian terlihat pada Gambar 23.

C. Pola Pantulan Infrared Pada Ikan Lele Skin On

Ikan lele Skin on memiliki rentang pantulan yang lebih besar. Awal pengukuran intensitas pantulan memiliki nilai yang lebih besar. Seiring dengan bertambahnya waktu pengukuran dan laju penurunan maka nilai intensitas pantul balik yang diterima juga menurun. Masa 12 jam setelah pematian ikan mulai mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Akan tetapi, penurunan intensitas pantulan yang diterima belum menunjukan perbahan yang signifikan

(58)

seperti di Gambar 23. Setelah melewati masa 12 jam masa pematian sampai pada akhir pengukuran dilakukan, ikan telah mengalami banyak perubahan diataranya perubahan tekstur daging ikan yang menjadi lebih lembek dan mulai tercium bau busuk (Lampiran 9). Perubahan tekstur daging ikan terjadi terutama karena berubahnya jaringan penghubung oleh protease endogen. Pelunakan dan pelembutan daging dikarenakan hilangnya piringan-piringan Z pada sel otot dengan terlepasnya α-actinin, pemisahan actomyosin kompleks, penghancuran dan denaturisasi total jaringan penghubung. Selain itu, pada saat ini terjadi apa yang mengakibatakan peningkatan amoniak sehingga aroma bau tecium. Akan tetapi,jika dilihat dari penurunan intensitas pantulan masih belum menunjukan perubahan yang cukup signfikan.

Gambar 23. Hubungan pantulan infrared pada ikan lele terhadap waktu dengan

panjang gelombang 780 nm

Pola penurunan yang terjadi pada ikan lele secara keseluruhan mengalami penurunan. Akan tetapi, tidak terjadinya perubahan yang signifikan dari intensitas

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 50 1.05 1.1 1.15 1.2 1.25 1.3 1.35 1.4 1.45 1.5

Waktu ke- (jam)

IR 2 /I R 1 whole skin less skin on

(59)

yang diterima dapat disebabkan dari pola penurunan ikan lele sendiri yang berbeda dari ikan nila.

Perbandingan Pengujian Pada Ikan Nila dan Ikan Lele

Pengujian yang dilakukan pada ikan nila dan ikan lele untuk melihat sejauh mana alat mampu mengidentifikasi laju penurunan mutu ikan dari dua spesies yang berbeda yaitu dari keberadaan sisik ikan dan jenis daging ikan itu sendiri yaitu ikan daging putih dan ikan daging merah. Perbandingan dari kedua jenis ikan ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Pantulan Pada Ikan Nila dan Ikan Lele Waktu

Ke- (jam)

Intensitas (Digital Number)

Lele Nila

Whole Less On

Keterangan

Whole Less On

Keterangan

IR1 IR2 IR1 IR2 IR1 IR2 IR1 IR2 IR1 IR2 IR1 IR2

0 104 136 84 108 88 124 - 67 105 87 109 78 105 - 2 95 136 74 105 78 117 masih segar 63 94 72 105 73 95 masih segar 12 93 130 75 105 75 115 warna ikan lebih gelap 60 94 72 104 69 95 mulai mengeluar kan lendir 24 92 132 77 100 75 114 mulai mengeluar kan lender 47 88 65 98 56 98 sudah mengeluar kan bau busuk dan lendir 48 81 124 65 105 73 110 bau busuk sudah tercium daging ikan lebih lembek 47 86 53 92 48 87 bau busuk sudah menyengat dan lendir lebih banyak

Secara garis besar nilai pantulan yang dihasilkan oleh ikan lele memiliki intensitas yang lebih besar dibandingkan hasil pantulan dari ikan nila (lihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3). Ikan lele yang memiliki warna kulit yang lebih

(60)

gelap dibandingkan dari ikan nila, hal ini yang mengakibatkan intensitas pantulan yang diterima dari ikan nila lebih besar.

Perbedaan pengaruh warna ini masih terlihat pada ikan nila Skin on dan ikan lele Skin on. Secara visual daging ikan nila yang berwarna putih akan terlihat sama dengan daging ikan lele. Akan tetapi, ikan lele yang masih memiliki

kandungan daging merah mampu memberikan perbedaan pantulan yang dihasilkan menjadi lebih besar dibandingkan pada ikan nila Skin on.

Perlakuan yang dilakukan pada ikan nila Skin less dan ikan lele Skin less, secara umum memiliki nilai pantulan yang lebih besar diandingkan perlakuan lainnya. Nilai intensitas yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang terlalu besar. Akan tetapi, pada ikan nila memiliki laju perubahan yang signifikan pada saat ikan memasuki tahapan post rigor.

Laju penurunan mutu ikan nila memiliki laju yang lebih cepat

dibandingkan ikan lele. Masa 12 jam awal setelah pematian ikan, pada ikan nila telah terjadi penurunan pantulan yang signifikan akan tetapi pada ikan lele belum terlihat perubahannnya seperti yang terlihat di Gambar 24. Pada masa ini, ikan nilai sudah mulai mengeluarkan lendir sedangkan pada ikan lele hanya perubahan warna yang menjadi lebih gelap. Masa 12 jam pematian hingga akhir

pengukuran, perubahan yang terjadi pada ikan nila lebih cepat seperti munculnya bau pada ikan lebih cepat tercium dibandingkan bau yang tercium dari ikan lele.

(61)

Gambar 24. Perbandingan pantulan pada ikan nila dan ikan lele terhadap waktu dengan panjang gelombang 780 nm

90 110 130 150

Skin Fuel Lele

D ig it a l N u m b e r 50 70 90 110 130 150

Skin Less Lele

D ig it a l N m b e r 19.00 1.00 7.00 13.00 19.00 70 90 110 130 Skin On Lele Waktu D ig it a l N u m b e r 30 50 70 90 110

Skin Fuel Nila

D ig it a l N u m b e r 30 50 70 90 110

Skin Less Nila

D ig it a l N u m b e r 19.00 1.00 7.00 13.00 19.00 30 50 70 90 110 Skin On Nila Waktu D ig it a l N u m b e r IR1 IR2 24 September 2011 24 September 2011 25 September 2011 25 September 2011

(62)

49

5.1. Kesimpulan

Pengukuran kesegaran ikan merupakan aspek yang penting dalam bidang perikanan, karena ikan merupakan komoditi yang high perishable sehingga dalam penanganannya memerlukan waktu yang harus cepat. Alat pengukur tingkat kesegaran ikan yang dikembangkan telah mampu memperlihatkan perubahan nilai pantul balik yang seiring dengan penurunan mutu kesegaran ikan. Alat ini, mampu memberikan hasil pengukuran yang lebih baik untuk ikan nila. Akan tetapi, untuk pengukuran kesegaran ikan lele belum mampu menghasilkan perbedaan yang baik dalam membedakan kesegaran ikan.

5.2. Saran

Dalam pengukuran kesegaran ikan dengan menggunakan infrared perlu penelitian lebih lanjut. Diperlukan penelitian mengenai panjang gelombang yang cocok untuk penentuan panjang gelombang yang tepat. Selain itu, dibutuhkan penelitian tambahan mengenai standar tingkatan kesegaran ikan guna memperoleh kisaran yang tetap dalam penentuan kesegaran ikan

(63)

50

DAFTAR PUSTAKA

Alasalvar, C. and T.Taylor. 2002. Seafood Quality, Technologi And Nutraceutical Application. Springer- Verlag. Berlin.

Boaknæs, N., K.N. Jensen , C.M Andersen. and H. Martens. 2002. Freshness Assesment and Thawed and Chilled Cod Fillet Packed in Modified Atmosphere Using Near-infrared Spectroscopy. Food Science and

Thechnology. 35 : 628-634

Carr, J.J. 1993. Sensor and Circuits. TR Percentice Hail, Englewood Cliffs, New Jersey.

Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. 2009. Pola Pembiayaan Usaha Penangkapan Ikan. (www.bi.go.id) [4 November 2010]

Direktorat Jendaral Perikanan dan Budidaya. 2011. Pengembangan Budidaya Ikan Lele dan Gurame. (www.perikanan-budidaya.kkp.go.id) [19 november 2011]

Ramadhan, D.K. 2006. Uji Kinerja Fish Freshness Instrument (FFI). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Nurjanah, I, Setyaningsih, Sukarno dan M. Muldani. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreocromis sp) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perairan VII(1) :37-43

Okuzumi and Tateo, F. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. National Cooperative Association of Squid Processors. Tokyo Sarwono, Syarief dan Subrata. 1992. Petunjuk Penggunaan Piranti Ukur

Elektronik Untuk Industri Pangan. PAU-Institut Pertanian Bogor. Bogor Septarina, D. G. 1999. Evaluasi Nilai Derajat Keasaman(pH), Daya Hantar Listrik

dan Organoleptik Daging lkan Tuna Segar Pada Berbagai Tingkatan Mutu. Skripsi.Fakulta Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sivertsen, A.H., T. Kimiya., K. Heia. 2010. Automatic freshness assessment of cod (Gadus morhua) fillets by Vis/Nir spectroscopy. Journal of Food Engineering 103 : 317-323

Tunas, S.G. 2001. Uji Performasi Prototipe Instrumen Elektronik Berbasis

Tahanan Listrik Sebagai Alat Pengukur Kesegaran Ikan Tongkol (Euthynnus

affinis). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas

(64)

Uddin, M. S. Ishizaki, E. Okazaki, M. Tanaka. 2002. Near-infrared reflectance spectroscopy for determining end-point temperature of heated fish and shelfish meats. Journal of the Science Of Food and Agriculture 82(3) : 286-292.

Uddin, M., E. Okazaki, M.U. Ahmad, Y. Fukuda, M. Tanaka. 2005. Noninvansive NIR spectroscopy to verify end point temperature of kamaboko gel. Food

(65)
(66)

53 13 25.2 124 147 14 25.2 124 147 15 25.35 124 147 16 25.45 125 148 17 25.45 125 148 18 25.4 125 147 19 25.35 124 147 20 25.3 125 148 21 25.15 124 147 22 25.1 124 147 23 25.1 124 147 0 25 122 146 1 24.9 122 146 2 24.8 121 146 3 24.75 122 145 4 24.65 121 145 5 24.45 122 145 6 24.3 121 145 7 24.4 122 145 8 24.4 122 145 9 24.5 122 146 10 24.7 123 146 11 24.9 124 147 12 25.15 124 147 13 25.5 125 147 14 25.45 125 148 15 25.5 124 147 16 25.65 124 147 17 25.35 123 146 18 25.3 123 146 19 25.35 124 147 20 25.3 123 146 21 25.4 124 147 22 25.3 123 146 23 25.25 123 146 0 25.15 123 146 1 24.65 122 145 2 24.55 121 145 3 24.55 121 145 4 24.5 121 145

(67)

54 8 24.55 123 146 9 24.7 123 146 10 24.75 122 146 11 24.8 123 146 12 25.15 123 146

Gambar

Gambar 1. Interactance setup for online measurements. (Sivertsen et al, 2010)  Sensor suhu merupakan sensor yang mendeteksi rangsangan suhu dan  merubahnya menjadi sinyal listrik
Gambar 2. Konfigurasi Pin DS1820 (DS1820, 2010)  2.2.  Catu Daya
Gambar 3. Diagram alir Perancangan Alat Pengukur Kesegaran Ikan  3.4.   Penentuan Panjang Gelombang
Gambar 4. Susunan infrared
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah siswa memahami masalah yang ada dan sudah mengumpulkan berbagai data, siswa di bimbing guru untuk mencari solusi atau cara penyelesaian yang tepat (membimbing

Identifikasi buah Mangga Gedong Gincu Cirebon berdasarkan citra RGB menggunakan JST mendapatkan akurasi sebesar 66,6% pada epoch 2500 dengan jumlah variasi neuron 2

¾ Subsequent expenditure on an acquired in-process research and development project is accounted for like any cost incurred in the research of development phase of internally

Area yang memisahkan bidang yang dicat dengan bidang yang t idak dilakukan pengecat an disebut border (bat as). Dalam melakukan masking perlu sekali

Tugas Dinas Kesehatan Provinsi  Membuat rencana penyelenggaraan  Membentuk tim penguji provinsi  Membuat surat pengajuan pelaksanaan uji ke unit pembina  Memfasilitasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan keausan akibat beban gelinding-gesek dari perlakuan quench-hardening pada material baja AISI 1065.. Untuk

Indikasi peresepan yang paling banyak adalah untuk prosedur kebidanan dan kandungan, dan walaupun petidin tidak direkomendasikan untuk manajemen nyeri karena

pelanggaran terhadap kode etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada