• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN KOLOSTRUM TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 0 6 BULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERIAN KOLOSTRUM TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 0 6 BULAN"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN KOLOSTRUM TERHADAP KEJADIAN DIARE

PADA BAYI USIA 0 – 6 BULAN

Siti Aminah1

Abstract:The wrong behavior about colostrums such as wasted the yellow breast feed until the white breast feed was shown, because they have afraid their babies have diarrhea, making the babies became weak to get the diarrhea. The research objective was determining the correlation between colostrums giving with diarrhea incident for 0 – 6 months babies in the Puskesmas Rejowinangun Trenggalek 2010.

The research design was analytic correlation research. The population was all 0 – 6 months babies in the Puskesmas Rejowinangun Trenggalek amunt 216 babies, using purposive sampling to get 85 babies. The Instruments was questioner and analyzed by spearman rank.

The colostrum giving for 0 – 6 months babies almost all of them was given colostrums, and the diarrhea imcident on 0 – 6 months babies known almost of respondent haven’t diarrhea incident. There was correlation between colostrums giving with diarrhea incident for 0 – 6 months babies with the correlation strengths was very strong.

For the research field was suggested in actively for improving the health education and counseling about the breastfeed giving in early, and the mother was suggested to participate on health education and counseling, the result than became the behavior base.

Keywords : Colostrum Giving, Diarrhea Incident

Latar belakang

Masa bayi adalah masa yang sangat penting dalam siklus kehidupannya, khususnya pada usia 0 – 6 bulan karena pada masa ini bayi harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu pada masa ini bayi juga memasuki masa tumbuh kembang. Untuk membantu mempertahankan daya tahan tubuh serta untuk menunjang tumbuh kembangnya, bayi membutuhkan makanan sebagai faktor penunjangnya. Makanan yang paling ideal adalah Air Susu Ibu (ASI), (Indah. JS : 2003).

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein laktose dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah payudara ibu sebagai makanan utama bagi bayi, ASI menurut stadium laktasi terdiri dari kolostrum, ASI transisi, dan ASI matur, (Soetjiningsih : 1997). Kolostrum merupakan ASI yang diproduksi beberapa saat setelah bayi lahir sampai hari ke-3 atau ke-4, warnanya lebih kuning dan lebih kental daripada ASI. Kolostrum akan merangsang pembentukan daya tahan tubuh sehingga berfungsi pula sebagai imunisasi aktif dan pasif, (Arikunto :2002).

(2)

2

Kolostrum mengandung antibodi, salah satu antibodi yang ada dalam kolostrum adalah immunoglobulin A atau IgA zat ini akan melapisi saluran pencernaan bayi, khususnya usus halus bayi yang masih sangat rentan terhadap infeksi karena belum mencapai tahap perkembangan yang sempurna. Lapisan yang dibentuk oleh IgA ini menjadi semacam benteng pertahanan yang kebetulan masuk dalam saluran pencernaannya. Adanya lapisan pelindung tersebut akan membuat sel-sel kuman penyakit kesulitan untuk menembus dinding saluran pencernaan. Apalagi ditambah dengan adanya lisozim yaitu enzim yang bertugas menghancurkan dan memakan sel bakteri yang juga terdapat dalam kolostrum. Di dalam setetes kolostrum terdapat lebih dari 1 juta sel darah yang disebut makrofaq atau big eiters yang berfungsi untuk memakan substansi atau zat yang berukuran relatif besar. Zat pelindung lainnya yang terdapat dalam kolostrum adalah faktor bifidus yaitu sejumlah vitamin dan zat nutrisi yang dihasilkan oleh bakteri lactobacillus bifidus yaitu bakteri yang tergolong baik untuk melindungi usus bayi dari peradangan atau bakteri yang ditimbulkan akibat infeksi oleh sejumlah bakteri dari golongan coli atau streptococcus, (Arief :2000).

Berbagai kelebihan kolostrum tersebut sangat dianjurkan pada ibu untuk memberikan kolostrum segera setelah kelahiran bayinya, dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan (morbidity) pada bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, dan jamur. Di Indonesia masih banyak dijumpai kebiasaan-kebiasaan yang salah mengenai kolostrum yaitu dengan menyusui bayinya bila Air Susu Ibu sudah berwarna putih dan cairan yang kental berwarna kuning dibuang karena dianggap menyebabkan sakit perut.

Oleh karena itu sebelum susu matur (ASI) keluar, bayi diberi makanan pengganti seperti air gula dan madu, (Arief M,1999). Akibat kurangnya pemahaman tersebut, maka sangat merugikan kesehatan bayi. Karena bayi yang mendapatkan ASI khususnya kolostrum 5 – 10 kali kemungkinannya untuk terkena infeksi saluran pencernaan, dan menurunkan kemungkinan terkena infeksi telinga tengah (otitis media), (Iskandar W, 2002). Hal itu dikarenakan sistem kekebalan tubuh bayi masih belum optimal sedangkan zat kekebalan atau daya tahan tubuh dari kolostrum tidak ia dapatkan. Oleh karena itu kolostrum sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan bayi.

Berdasar data Dinas kesehatan Kabupaten Trenggalek pada tahun 2007 tercatat 1347 (15,7%) dari total 8.601 bayi pernah mengalami diare, sedangkan di Puskesmas Rejowinangun tercatat 58 (13,4%) kasus bayi diare dari total 432 bayi. Menurut hasil survey pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek pada tanggal 30 Juni – 01 Juli 2008 didapatkan jumlah bayi usia 0-6 bulan yang pernah diare sejumlah 7 bayi , dengan perincian 2 bayi sakit (28%) pernah mendapatkan kolostrum dan 5 bayi sakit (72%) tidak mendapatkan kolostrum, dengan alasan dari sebagian besar ibu mengatakan bahwa air susu yang pertama keluar itu warnanya agak kekuningan dan kotor, sehingga mereka tidak memberikan kepada bayinya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kejadian diare pada bayi yang berusia 0-6 bulan yang mendapatkan dan yang tidak mendapatkan kolostrum.

(3)

Pemberian Kolostrum Terhadap Kejadian Diare Pada BayiUsia 0-6 Bulan (Siti Aminah)

3 Bahan dan Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis penelitian inferensial. Berdasarkan tempat penelitian termasuk jenis penelitian lapangan. Berdasarkan cara pengumpulan data termasuk jenis penelitian survey. Berdasarkan ada atau tidak adanya perlakuan termasuk jenis penelitian expost facto (mengungkap fakta). Berdasarkan waktu pengumpulan data termasuk jenis penelitian cross sectional. Berdasarkan sumber data termasuk jenis penelitian primer. Berdasarkan tujuan penelitian termasuk analitik korelasional.

Populasi penelitian ini adalah seluruh bayi yang berusia 0-6 bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek. Sampel yang digunakan adalah bayi yang berkunjung atau datang ke Puskesmas Rejowinangun Trenggalek pada saat penelitian dilakukan.

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling dimana pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang diketahui sebelumnya. Maka dalam hal ini yang menjadi sampel adalah bayi dengan usia 0-6 bulan baik diberi kolostrum maupun tidak diberi kolostrum yang berkunjung atau datang ke Puskesmas Rejowinangun Trenggalek pada saat penelitian dilakukan.

Variabel bebas (independent variabel) merupakan variabel penyebab atau variabel yang mempengaruhi variabel terikat (Notoatmodjo, 2005 : 70). Sebagai variabel bebas ( X) : Pemberian Kolostrum. Sedangkan variabel terikat (dependent variabel) merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas atau variabel

independen (Notoatmodjo, 2005 : 70). Sebagai variabel terikat ( Y ) : Kejadian Diare.

Pemberian Kolostrum adalah pemberian air susu ibu yang pertama kali keluar dengan warna agak kekuningan dan kotor kepada bayinya mulai hari ke-1 sampai hari ke-3 atau ke-4 pada waktu pemberian ASI pertama yang diungkapkan dengan kuesioner menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi diberi kolostrum kode 1 dan tidak diberi kolostrum kode 2.

Kejadian diare pada bayi usia 0 – 6 bulan adalah sakit diare yang pernah dialami bayi pada waktu tertentu dengan meliputi pernah buang air besar lembek atau cair 3 kali atau lebih dalam 24 jam yang diungkapkan dengan kuesioner menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi ada kejadian kode 1 dan tidak ada kejadian kode 2.

Penelitian ini menggunakan alat bantu kuesioner, dan wawancara dimana data diambil dikumpulkan setelah penelitian melakukan wawancara dengan responden, dan setelah itu memberikan kuesioner dan disetujui oleh responden. Kemudian responden mengisi kuesioner sesuai dengan pilihan yang telah disediakan.Tempat penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rejowinangun Kecamatan Trenggalek Kabupaten Trenggalek dan dilaksanakan pada bulan : Januari 2010.Peneliti mengumpulkan data dengan cara menanyakan kepada responden selanjutnya data tersebut dikelompokkan ke dalam tabel. Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan variabel pemberian kolostrum dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan. Uji statistik yang digunakan adalah spearman rank, karena kedua variabel memiliki skala data ordinal.

(4)

4

Hasil Penelitian 1. Data Umum a. Umur

Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa usia ibu responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 hampir setengah dari responden berusia antara 20-35 tahun, yaitu 41 ibu responden (48%).

b. Pendidikan

Berdasarkan diagram tersebut diketahui bahwa pendidikan ibu responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 hampir setengah dari responden berpendidikan SMP, yaitu 32 ibu responden (38%).

c. Pekerjaan

Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa pekerjaan ibu responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 sebagian besar dari responden sebagai ibu rumah tangga, yaitu 63 ibu responden (74%).

d. Status Paritas

Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa status paritas responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 hampir setengah dari responden adalah anak ke 2, yaitu 41 responden (48%). 41 48% 23 27% 21 25% 20 - 35 tahun > 35 tahun < 20 tahun 41 48% 23 27% 21 25% Kedua Lebih dari 2 Pertama 19 22% 32 38% 29 34% 5 6% SD SMP SMA PT 63 74% 16 19% 4 5% 2 2% IRT Petani Swasta PNS

(5)

Pemberian Kolostrum Terhadap Kejadian Diare Pada BayiUsia 0-6 Bulan (Siti Aminah)

5 2. Data Khusus

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pemberian Kolostrum Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010

No. Kategori f %

1 Ya 65 76,47

2 Tidak 20 23,53

Jumlah 85 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2010

Berdasarkan tabel diatas bahwa responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 memberikan kolostrum, yaitu 65 responden (76,47%).

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Kejadian Diare Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 No. Kategori f % 1 Tidak Ada Kejadian Diare 75 76,47 2. Ada Kejadian Diare 10 23,53 Jumlah 85 100

Sumber : Data Primer Penelitian 2010

Berdasarkan Tabel di atas bahwa responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 tidak ada kejadian diare, yaitu 75 responden (76,47%).

Tabel 3 Tabulasi Silang Hubungan Antara Pemberian Kolostrum Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Usia 0-6 bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010

Sumber : Data Primer Penelitian 2010

Hasil analisa data dengan menggunakan spearman rank diperoleh hasil nilai Rho hitung adalah 0,769 dengan P-Value = 0,000 pada taraf signifikan () 5%. Karena P-Value < , maka H0 ditolak dan H1 diterima yang

berarti ada hubungan antara pemberian kolostrum dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 dengan koefisien korelasional 0,769 maka hubungan antara pemberian kolostrum dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan yang sangat kuat. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis terhadap data diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Pemberian Kolostrum Pada Bayi

Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010

Pemberian kolostrum pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 hampir seluruhnya responden di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 memberikan kolostrum,

Pe mbe rian Kol ustr um

Kejadian Diare Total Ada Kejadian Tidak Ada Kejadian n % n % n % Tid ak 10 11,8 10 11,8 20 23,5 Ya 0 0 65 76,5 65 76,5 Tot al 10 11,8 75 88,2 85 100 Rho hitung = 0,769 P-Value = 0,00

(6)

6

yaitu 65 responden (76,47 %).

Menurut Notoatmodjo (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah motivasi. Motivasi seseorang muncul untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga (74%) sehingga ibu merasa memberikan ASI adalah kepentingan yang harus dipenuhi, hal ini mengingat sangat gencarnya iklan layanan masyarakat tentang pentingnya pemberian ASI sedini mungkin. Keinginan ibu untuk menjadikan anaknya sehat menjadikan ibu rumah tangga yang memang ridak dibebani pekerjaan selain urusan rumah tangga menjadikan ibu lebih terpacu untuk memberikan ASI secara dini. Hal ini juga terkait dengan manfaat ASI diantaranya adalah untuk meringankan beban ekonomi keluarga seiring dengan meningkatnya harga kebutuhan termasuk harga susu formula. Sebagai ibu rumah tangga, melakukan pengaturan keuangan keluarga merupakan kewajibannya termasuk dalam hal melakukan penghematan, dan hal ini dapat dicapai dengan memberikan ASI sedini mungkin. 2. Kejadian Diare pada bayi usia 0-6

bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010

Kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 bahwa sebagian besar tidak ada kejadian diare yaitu sejumlah 75 responden (76,47 %).

Menurut Wilson (2007), Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat.

Diare sering disebabkan karena infeksi yang disebabkan oleh higinitas diri dan lingkungan bayi yang tidak diperhatikan, misalnya dibiarkan main di tanah, mal arbsobi, misalnya susu formula yang tidak bisa diserap oleh bayi sehingga menyebabkan terjadinya diare, makanan misalnya susu formula yang tidak dikelola dengan baik misalnya susu formula yang sudah lama diberikan lagi. Banyaknya kejadian diare disebabkan dasar pendidikan sebagian besar orang tua masih merupakan pendidikan dasar (SD dan SMP) sehingga sulit memahami informasi tentang pencegahan diare. Pencegahan diare pada bayi dan anak dapat dilakukan dengan melaksanakan cuci tangan sebelum bersentuhan dengan bayi, memberikan makanan yang masih segar dan diolah secara benar, pengelolaan hygiene lingkungan dan diri serta para pengasuhnya dengan baik.

3. Hubungan Antara Pemberian Kolostrum Dengan Kejadian Diare pada bayi usia 0-6 bulan di

Puskesmas Rejowinangun

Trenggalek Tahun 2010

Hasil analisa data dengan menggunakan spearman rank diperoleh hasil nilai Rho hitung adalah 0,769 dengan P-Value = 0,000 pada taraf signifikan () 5%. Karena P-Value < , maka H0 ditolak dan H1 diterima yang

berarti ada hubungan antara pemberian kolostrum dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Tahun 2010 dengan hubungan yang sangat kuat.

Menurut Pramono (2008), Kolostrum mengandung antibodi, salah satu antibodi yang ada dalam kolostrum adalah immunoglobulin A atau IgA zat ini akan melapisi saluran pencernaan bayi, khususnya usus halus bayi yang

(7)

Pemberian Kolostrum Terhadap Kejadian Diare Pada BayiUsia 0-6 Bulan (Siti Aminah)

7 masih sangat rentan terhadap infeksi

karena belum mencapai tahap perkembangan yang sempurna.

Pemberian kolostrum akan membawa dampak pada peningkatan daya tahan tubuh sehingga setiap infeksi yang masuk ke dalam saluran cerna dapat diatasi dengan baik. Selain itu kandungan IgA akan membentuk lapisan yang menjadi semacam benteng pertahanan yang kebetulan masuk dalam saluran pencernaannya. Adanya lapisan pelindung tersebut akan membuat sel-sel kuman penyakit kesulitan untuk menembus dinding saluran pencernaan. Apalagi ditambah dengan adanya lisozim yaitu enzim yang bertugas menghancurkan dan memakan sel bakteri yang juga terdapat dalam kolostrum. Hal ini akan menyebabkan daya tahan bayi semakin baik dan sulit mengalami infeksi.

Simpulan

1. Masih adanya kejadian diare diakibatkan oleh karena terjadinya malabsorbsi atau higienitas yang kurang dilakukan oleh ibu.

2. Pemberian kolostrum sejak dini pada bayi 0-6 bulan mampu mengurangi kejadian diare di wilayah kerja , Puskesmas Rejowinangun Trenggalek 2010.

Saran

Bagi ibu-ibu yang mempunyai bayi usia 0-6 bulan diharapkan mampu memberikan kolostrum sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, M. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius FKUI.

Arief, M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius FKUI.

Arikunto,Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta : Rineka Cipta.

Harsono.1999. Kesehatan Anak Untuk Perawat,Petugas Penyuluhan Kesehatan,dan Bidan di Desa. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Indah, JS. 2003. ASI Ekslusif, Hak setiap Anak. (Internet) Bersumber dari <file://F:\JK\indosiar dot com - PEDULI KASIH.htm>.

Pramono. 2008. Diare Pembunuh Balita Nomer Satu. (Internet) Bersumber dari <file://F:\Tempo Interaktif-id.htm>.

Iskandar,Wahidin.2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.

M.N,Bustam.2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan .Ed Revisi. Jakarta. Rineka Cipta

Nursalam.2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

1

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kadiri Kediri

(8)

HUBUNGAN ANTARA PRE EKLAMSIA DENGAN BAYI BERAT

LAHIR RENDAH (BBLR)

Kun Ika N.R1

Abstract:Low birth weight (LBW) was a problem that give huge contribution

on perinatal mortality. LBW has 40 times higher on neonatal mortality. Once of a LBW factor was pre eclamp. This research objective was determining the correlation between pre eclamp with LBW in Gambiran Hospital City of Kediri 2009. This was an analytic correlation research. The population was all partum mothers in the Gambiran Hospital City of Kediri 2009 amount 412 people, with purposive sampling to get 137 person as research sample. The instrument was check list an the result was analyzed by spearman rank. The research result shown almost all of respondents in Gambiran Hospital City of Kediri 2009 haven’t pre eclamp amount 116 persons and almost all of respondents in Gambiran Hospital City of Kediri 2009 have normal birth weight (without LBW), amount 115 person. There was correlation between pre eclamp with LBW in Gambiran Hospital City of Kediri 2009. Base on those results it was suggested to the correlation between pre eclamp with LBW in Gambiran Hospital City of Kediri for counseling and health education giving about preventing the pre eclamp on pregnancy.

Keywords : LBW, Pre Eclamp

Latar Belakang

Badan kesehatan dunia (WHO) sangat mendukung negara-negara anggota untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal. Sesuai dengan komitmen global Indonesia menetapkan target penurunan AKI menjadi 75% dari kondisi tahun 1990 sebesar 390/100.000 menjadi 125/100.000 kelahiran hidup pada 2015 (BPS, 2003)

Kematian perinatal akibat komplikasi pre eklampsia di negara maju lebih rendah dibandingkan dengan negara berkembang. Di negara berkembang dilaporkan bahwa berkisar antara 42,2 % sampai dengan 50 % sebab kematian perinatal karena

komplikasi pre eklampsia dikarenakan terjadinya hipoksia intra interin dan prematuritas. Penyebab kematian perinatal paling utama adalah karena trias asfiksia 49% - 69%,infeksi 24%-34%,prematuritas dan Bayi Berat Lahir

Rendah (BBLR) 15%-20%

(Manuaba,1998).

Hasil studi pendahuluan insiden terjadinya BBLR dari 10 bayi yang lahir di RSUD Gambiran Kediri didapatkan 6 bayi (60%) karena pre eklampsia, 2 bayi (20%) karena status sosial ekonomi rendah,1 bayi (10%) karena usia ibu kurang dari 20 tahun,dan 1 bayi (10%) karena perdarahan. Sedangkan insiden terjadinya ibu bersalin dengan pre eklampsia di RSUD Gambiran Kediri pada bulan Januari s/d Juni 2009

(9)

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

9 sebesar 23,3 % dari seluruh ibu bersalin

di RSUD Gambiran Kediri.

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) menurut World Health Organization (WHO) adalah bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram,yang diukur dalam 24 jam pertama kelahiran (WHO, 2006). Berdasarkan Pregnancy Nutrition Surveillance System (PNSS) BBLR atau Low Birth Weight (LBW) dikategorikan Moderately Low Birth Weight (MLBW) apabila berat lahir antara 1500 - < 2500 gram dan Very Low Birth Weight (VLBW) apabila berat lahir < 1500 gram (CDC,1995).

Menurut Berhman (1998) ada hubungan yang kuat antara kelahiran bayi prematur maupun IUGR dengan status sosial ekonomi rendah, kurang gizi, anemia, penyakit ibu, toksemia gravidarum, perawatan antenatal yang kurang adekuat, adiksi obat, komplikasi obstetri dan riwayat insufisiensi reproduksi ibu. Menurut Dowshens (2000) kondisi yang memungkinkan kelahiran prematur dan keterlambatan pertumbuhan janin antara lain karena anaya kehamilan ganda, kelainan struktur mulut rahim dan rahim, pendarahan, hipertensi karena kehamilan ibu baik karena preeklampsiaa maupun eklamsi dan faktor usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun. Menurut Ben-Zion (1994) komplikasi potensial preklamsi yang dapat terjadi pada janin meliputi prematuritas, insufisiensi utero plasenta, retardasi pertumbuhan intra uterin (IUGR) dan kematian janin intra uterin.

BBLR masih merupakan masalah karena memberikan kontribusi untuk kematian perinatal, (76%) meninggal pada jam pertama kelahiran dan lebih dari dua pertiga meninggal pada minggu pertama kehidupan .BBLR memiliki risiko 40 kali lebih tinggi

untuk kematian neonatal di bandingkan bayi yang lahir dengan berat normal,5 kali memiliki risiko kematian pada masa postneonatal dan kecenderungan risiko akan menetap seperti keterlambatan pada perkembangan kognitif, mengalami masalah perkembangan dan kecenderungan sakit pada masa anak-anak (Depkes,2003). Berdasarkan konseptual framework penyebab kematian janin neonatal (40-80%) disebabkan oleh BBLR dan merupakan determinan kematian pada kondisi bayi asfikasi dan trauma lahir,infeksi,cacat lahir dan lainnya (Aulia, 2004)

Upaya yang dilakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak untuk menghadapi masalah tersebut, khususnya ibu hamil untuk memeriksakan keadaan ibu dan janin secara rutin yang diikuti dengan pendeteksian secara dini masalah-masalah selama kehamilan, pemeriksaan kehamilan untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat serta menghasilkan bayi yang sehat (Depkes RI, 2003).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pre eklampsia dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) di RSUD Gambiran Kota Kediri.

Bahan Dan Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis penelitian inferensial. Berdasarkan cara pengumpulan data termasuk jenis penelitian survey. Berdasarkan ada atau tidak ada perlakuan teramasuk jenis penelitian expost facto (mengungkap fakta). Berdasarkan waktu pengumpulan data termasuk jenis penelitian case control. Berdasarkan sumber data

(10)

10

termasuk jenis penelitian analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional (Notoadmodjo, 2002).

Besar sampel untuk penelitian ini adalah 137. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling dimana pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang diketahui sebelumnya.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan catatan medik rumah sakit secara retroperspektif dan LPD.

Analisa data menggunakan metode signifikasi dengan spearman rank. Rho xy hitung dibandingkan dengan rho tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima. Analisa yang digunakan menggunakan program komputer sehingga pengambilan kesimpulan analisa adalah jika P-Value ≤ α maka H0 ditolak dan H1 diterima dan untuk P-Value > α maka H0 diterima dan H1 ditolak. Pada penelitian ini nilai α adalah 5%.

Hasil Penelitian 1. Data Umum a. Usia

Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa hampir seluruh responden berusia antara 20-35 tahun yaitu sebanyak 107 responden (78%).

b. Karakteristik ANC

Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa keteraturan dalam pelaksanaan ANC responden hampir seluruhnya adalah teratur yaitu sebanyak 108 responden (79%).

c. Pekerjaan

Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa pekerjaan responden sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 96 responden (70%).

107 78% 16 12% 14 10% 20 – 35 tahun Kurang dari 20 tahun Lebih dari 35 tahun 108 79% 29 21% Teratur Tidak Teratur 96 70% 19 14% 16 12% 6

4% Ibu Rumah Tangga Petani

Swasta

Pegawai Negeri atau TNI

(11)

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

11 d. Status Gravida

Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa status gravida responden sebagian besar adalah 1 yaitu sebanyak 80 responden (58%). 2. Data Khusus

a. ASI

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang ASI di RSUD Gambiran Kota Kediri Tahun 2009 No. Kategori f % 1 Tidak Pre Eklamsi 116 84,67 2 Pre Eklamsi Ringan 11 8,03 3 Pre Eklamsi Berat 10 7,30 Jumlah 137 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2009

Berdasarkan Tabel 1 nampak bahwa hampir seluruhnya responden di RSUD Gambiran Kota Kediri tahun 2009 tidak ada kejadian pre eklamsi, yaitu 116 orang (84,67 %).

b. Terjadinya Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Terjadinya Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Gambiran Kota Kediri Tahun 2009

No. Kategori F %

1 Normal 115 83,94

2 BBLR 22 16,06

Jumlah 137 100,00

Sumber : Data Primer Penelitian 2009

Berdasarkan Tabel 2 nampak bahwa hampir seluruhnya responden di RSUD Gambiran Kota Kediri tahun 2009 adalah normal (tidak terjadi BBLR), yaitu 115 orang (83,94%) dan 22 responden (16,06%) BBLR.

c. Hubungan Antara Pre Eklampsia Dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Tabel 3 Tabulasi Silang Antara Pre Eklampsia Dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Kejadian Pre Eklampsi Pre Ekl amp si BBLR Total BBLR Normal n % n % n % Tid ak Pre Ekl amp si 8 5,8 108 78,8 116 84,7 Pre Ekl amp si 5 3,6 6 4,4 11 8,0 80 58% 50 37% 6 4% 1 1% 1 2 3 4

(12)

12 Rin gan Pre Ekl amp si Ber at 9 6,6 1 0,7 10 7,3 Tot al 22 16,1 115 83,9 137 100, 0 Z-hitung = 0,583 P-Value = 0,000  = 5% Sumber : Data Primer Penelitian 2009

Berdasarkan tabel 3 nampak bahwa untuk responden yang tidak mengalami pre eklamsi, sebagian besar berat badan lahirnya normal, yaitu 108 orang (78,8%), sedangkan pada responden yang mengalami pre eklamsi ringan, berat badan lahir normal, yaitu 6 orang (4,4%) dan responden yang mengalami pre eklamsi sedang, berat badan lahirnya rendah, yaitu 9 orang (6,6%).

Hasil analisa data dengan menggunakan spearman rank diperoleh hasil nilai rho hitung hitung adalah 0,583 dengan P-Value = 0,000 pada taraf signifikan () 5%. Karena P-Value < , maka H0 ditolak dan H1 diterima

yang berarti ada hubungan antara pre eklampsia dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) di RSUD Gambiran Kota Kediri Tahun 2009 dengan kuat hubungan sedang.

Pembahasan

1. Kejadian Pre Eklampsia di RSUD Gambiran Kota Kediri Tahun 2009

Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden di RSUD Gambiran Kota Kediri tahun 2009 tidak ada kejadian pre eklamsi, yaitu 116

orang (84,67 %) dan sebagian kecil diantaranya mengalami pre eklampsi ringan yaitu 11 responden (8,0%) dan preeklampsi berat 10 responden (7,3%). Pola konsumsi yang tidak dikendalikan merupakan salah satu penyebab terjadinya pre eklampsi, menurut Suririnah (2007), pola konsumsi yang tidak terkendali pada ibu hamil menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah yang dapat menyebabkan terjadinya pre eklampsi maupun eklampsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga, yaitu 96 responden (70%), sebagai ibu rumah tangga kesibukan ibu cukup padat untuk mengurus keluarganya sehingga pola konsumsi ibu jarang yang berlebih akibatnya kejadian pre eklampsi jarang terjadi. Selain karena pekerjaan ibu, keteraturan ibu dalam melaksanakan ANC menyebabkan kondisi kesehatan ibu selalu terpantau sehingga terjadinya pre eklampsi dapat dicegah.

Menurut Saifuddin (2006), faktor utama yang menyebabkan terjadinya pre eklampsi adalah usia ibu, terutama pada ibu yang berusia > 35 tahun. Ibu hamil usia > 35 tahun rentan mengalami penyulit kehamilan terutama terkait dengan kenaikan tekanan darahnya yang merupakan penyebab terjadinya pre eklampsi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia antara 20 – 35 tahun sehingga kecil kemungkinan ibu menderita pre eklampsi.

(13)

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

13 2. Terjadinya Bayi Berat Lahir

Rendah (BBLR) Di RSUD

Gambiran Kota Kediri Tahun 2009

Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya responden di RSUD Gambiran Kota Kediri tahun 2009 adalah normal (tidak terjadi BBLR), yaitu 115 orang (83,94%).

Kejadian BBLR sangat tergantung dengan kondisi ibu diantaranya adalah usia ibu. Salah satu penyebabnya adalah usia ibu yaitu pada usia diluar masa reprodukstif aktif (20 – 35 tahun), pada masa usia < 20 tahun atau > 35 tahun kemungkinan terjadinya BBLR cukup besar (Mochtar, 1998).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia antara 20 – 35 tahun atau dalam masa reproduktif aktif sehingga kemungkinan ibu mengalami terjadinya BBLR menjadi kecil. Hal ini menyebabkan sebagian besar responden tidak mengalami BBLR, selain itu posisi ibu sebagai ibu rumah tangga menyebabkan ibu memiliki waktu yang cukup banyak untuk memperhatikan kehamilannya sehingga kemungkinan terjadinya penyulit kehamilan dapat diminimalkan, termasuk diantaranya terjadinya BBLR. 3. Hubungan Antara Pre Eklampsia

Dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Gambiran Kota Kediri Tahun 2009

Hasil analisa data dengan menggunakan spearman rank diperoleh hasil nilai rho hitung hitung adalah 0,583 dengan P-Value = 0,000 pada taraf signifikan () 5%. Karena P-Value < , maka H0 ditolak dan H1 diterima

yang berarti ada hubungan antara pre eklampsia dengan bayi berat lahir

rendah (BBLR) di RSUD Gambiran Kota Kediri Tahun 2009 dengan kuat hubungan sedang.

Pada ibu dengan preeklampsia terjadi perubahan fisiologi patologi diantarnya perubahan pada plasenta dan uterus yaitu menurunnya aliran darah ke plasenta yang mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin terganggu. Pada hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin sampai mati janin karena kekurangan oksigen. Sedangkan tonus uterus dan kepekaan terhadap rangsangan pada preeklampsia dan eklamsi mudah terjadi partus prematurus (Prawirohardjo, 2002).

Pada kejadian di RSUD Gambiran Kota Kediri, Pre eklampsi seringkali menyebabkan terjadinya BBLR karena menyebabkan persalinan yang prematur. Kejadian pre eklampsi akan mendorong terjadinya disfungsi pada plasenta maupun pada uterus sehingga dapat mendorong terjadinya persalinan prematur, selain itu diet pada ibu hamil yang menderita pre eklampsi akan menurunkan jumlah konsumsi makanan akibatnya asupan nutrisi janin juga berkurang. Kombinasi antara menurunnya fungsi uterus dan penurunan jumlah konsumsi nutrisi inilah yang memicu terjadinya BBLR pada ibu hamil penderita pre eklampsi.

Hasil penelitian menungjukkan bahwa status gravida responden sebagian besar adalah 1 yaitu sebanyak 80 responden (58%) dengan usia saat hamil pada masa reproduktif aktif yaitu 20 – 35 tahun (78%).

Menurut Mochtar (1998), pada masa reproduktif aktif maka kemungkinan terjadinya pre eklampsi kecil, karena pre eklampsi sering disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penurunan fungsi degeneratif tubuh.

(14)

14

maka sebagian besar responden tidak mengalami pre eklampsi akibatnya terjadinya efek ikutan dari pre eklampsi misalnya IUGR tidak terjadi, namun sebaliknya pada respnden yang mengalami pre eklampsi kemungkinan akan mengalami efek ikutan pre eklampsi misalnya terjadinya gangguan pada pertumbuhan janin sehingga terjadinya peningkatan resiko terjadinya BBLR. Sedangkan ditinjau dari gravida responden, kehamilannya adalah kehamilan pertama sehingga dalam melakukan pemeriksaan ANC biasanya rutin dan setiap keluhan karena ANC yang dilakukan adalah teratur maka akan segera tertangani (Budiarto, 2002)

Simpulan

Adanya Preeklampsia dapat menyebabkan terjadinya kejadian BBLR, hal ini di akibatkan oleh karena adanya disfungsi plasenta dan uterus faktor lain yang mempengaruhi juga adalah kurangnya asupan diet pada ibu yang pre eklampsia sehingga berkontribusi terjadinya BBLR.

Saran

Bagi ibu-ibu supaya pergi konsul, terutama yang beresiko mengalami Eklampsia di harapkan juga para petugas kesehatan mampu memberikan gambaran yang jelas pada pasien yaitu tentang dampak bila ada ibu yang mengalami Eklampsia.

DAFTAR PUSTAKA

Aulia, A. 2004. Hubungan Antara Preeklamsi Dengan Bayi Berat Lahir Rendah Di Unit Swadana Daerah Gihabat-Cimahi Tahun 2002-2003. Bandung laporan Tugas Akhir Program DIV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Bagian Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Info Medika.

Biro Pusat Statistik. 2003. Indonesia Demographic and Health Survey 2002-2003. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Cunningham, Mac Donald, Gant. 1995. Obstetric Williams. Jakarta: EGC. Depkes. 2003. Standart Pelayanan

Kesehatan. Jakarta: Departamen Kesehatan.

Dowshens, S; Dkk. 2000. Panduan Kesehalan Balita: Petunjuk Lengkap Untuk Orangtua. Jakarta: Erlangga. Hamilton, M. 1995. Dasar-dasar

Keperawatan Maternitas. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Manuaba, I, B, G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Mochtar, R. 1998. Synopsis Obstetric.Jilid 1. Jakarta: EGC.

(15)

Jurnal Ilmiah Perawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012

15 Notoadmodjo, S. 2002. Metodologi

Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku Petunkuk Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Prawirohardjo.

1

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Kadiri Kediri

1

Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kadiri Kediri

(16)

PERILAKU PEMAKAIAN KONDOM DENGAN KEJADIAN

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Gretta Hapsari Amalya1

Abstract:The high incidence of STDs caused by WPS are doing a lot of irregularities in the prevention and treatment of STIs, for example, would not wear a condom every time sexual intercourse, while suffering from sexually transmitted infections continue to serve the guests and if the pain did not want to take medicine the doctor. This study wanted to prove whether there is a relationship between behavior and the use of condoms and willingness to serve guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut Tulungagung District. This study is a correlational analytic studies using cross-sectional approach and the ex post facto. Population studies on the localization of the entire WPS District Kaliwungu Ngunut Tulungagung and the number of samples selected 65 people WPS with purposive sampling technique. Variable measured is the behavior of condom use and willingness to serve the guests as the independent variable, dependent variable while the incidence of STIs. The results obtained most of the respondents did not use condoms, as many as 42 respondents (64.62%) and almost all of the respondents are willing to serve guests, as many as 37 respondents (88.1%). While the incidence of STIs, the majority of respondents infected with STIs, as many as 34 respondents (52.31%).

Statistical test used in this study is chi square. Condom use behavior is obtained p-value 0.000 <0.05, so that proves there is a connection between the behavior of condom use with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut Tulungagung District. While the willingness to serve the guests get the p-value 0.035 <0.05, so that proves there is a relationship between willingness to serve guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut Tulungagung District.

Keywords : Condom, Serving Customers, STI incidence

Latar Belakang

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara alat kelamin dengan alat kelamin (genito-genital), atau anus dengan alat kelamin (ano-genital) sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit kelamin ini tidak terbatas pada daerah alat kelamin (ekstra genital) (FK UI, 1989).

Selama dekade terakhir ini insiden IMS cukup cepat meningkat di berbagai negeri di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Pada saat ini IMS termasuk Human Immunodeficiency Virus / Aquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) sudah tersebar secara luas (pandemic) yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, IMS menimbulkan permasalahan yang cukup besar karena

(17)

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (Gretta Hapsari A)

17 terbatasnya sumber daya manusia dan

dana. Kegagalan menemukan dan mengobati IMS pada stadium dini dapat menimbulkan komplikasi serius dan berbagai gejala sisa, pada ibu antara lain berupa infertilitas, kehamilan ektopik, infeksi daerah pelvis, kanker saluran reproduksi, pada waria berupa kanker daerah anogenital dan pada bayi berupa kelahiran prematur, lahir mati, serta infeksi baik pada neonatus maupun pada bayi, termasuk infeksi konginetal. Keadaan tersebut ikut menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Disamping itu IMS diketahui juga mempermudah penularan HIV yang selanjutnya dapat berkembang menjadi AIDS dengan tingkat kematian yang tinggi. Saat ini di Indonesia, prevalensi IMS termasuk HIV/AIDS belum akurat, disebabkan sistem pencatatan dan pelaporan kasus masih jauh dari lengkap. Hal ini disebabkan karena, banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena belum ada undang-undang yang mengharuskan melaporkan setiap kasus baru IMS yang baru ditemukan (kecuali HIV/AIDS) serta fasilitas diagnostik yang ada sekarang ini kurang sempurna sehingga sering kali terjadi salah diagnosis dan penanganannya (Depkes RI, 1999).

Banyak kasus yang asimtomatik (tanpa gejala yang khas) terutama penderita wanita. Meskipun demikian program pencegahan dan pemberantasan infeksi menular seksual harus diberi prioritas yang tinggi. Hal ini disebabkan IMS membawa konsekuensi mempermudah penularan HIV/AIDS Sedangkan infeksi klamidia, ulkus, gonorhoe, uretritis non gonorhoe, sifilis, dan trikomoniasis dapat meningkatkan resiko penularan HIV antara 2 – 9 kali. Penderita IMS dengan ulkus genital mempunyai resiko 2 – 5 kali dibanding penderita tanpa ulkus (Depkes RI, 1999).

Saat ini di Indonesia prevalensi gonore dan klamedia tertinggi di Asia. Hasil Surveilen Terpadu Biologis Perilaku (STPB, 2007) khusus pada wanita pekerja seks terus meningkat. Prevelansi HIV pada 9 provinsi 6%-16%. gonore 15,8%-43,9%, klamidia 20,2%-55%, sifilis 1%-17%. Di Jawa Timur terdapat 19.963 penderita IMS. Di Kabupaten Tulungagung sejumlah 1.214 orang menderita IMS, dengan kasus gonoroe 43 (3,5%), suspec gonoroe 3 (0,24%), servicitis 183 (15%), uretritis 327 (26,9%), tricomoniasis 12 (0,9%), ulkus mole 1 (0,08%), herpes genital 10 (0,82%), kandidia 50 (4,1%), dan 183 orang menderita HIV/AIDS (Dinkes Tulungagung, 2010).

Di Kabupaten Tulungagung terdapat 2 lokalisasi wanita pekerja seks (WPS) yang menampung 825 WPS, salah satu lokalisasi tersebut adalah lokalisasi Kaliwungu yang berada di Kecamatan Ngunut. Dari data yang ada di lokalisasi Kaliwungu terdapat 215 WPS, 52 mucikari dan 52 wisma.

Berdasarkan data hasil pemeriksaan pada WPS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tahun 2008-2010 didapatkan bahwa jumlah WPS yang menderita IMS pertahunnya semakin meningkat.

Berdasarkan tingginya angka kejadian IMS disebabkan karena banyak WPS yang melakukan penyimpangan dalam upaya pencegahan dan pengobatan terhadap IMS, di lokalisasi Kaliwungu Kec. Ngunut Tulungagung misalnya tidak mau memakai kondom tiap kali melakukan hubungan seksual, saat menderita IMS tetap melayani tamu, bila sakit tidak mau minum obat dokter, minum obat antibiotik yang dibeli dari toko. Dari hasil wawancara dengan 10 WPS masih ditemui 6 WPS (60%), tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan alasan tamu

(18)

18

menolak menggunakan kondom, 2 WPS (20%) tetap melayani tamu walaupun sedang menderita IMS dengan alasan tamu banyak, 2 WPS (20%) minum obat yang dibeli dari toko saat menderita IMS dengan alasan kalau periksa ke dokter mahal. Saat ini di Indonesia prevalensi IMS dipandang kurang akurat karena sistem pencatatan dan pelaporan yang belum lengkap, selain itu juga disebabkan karena banyaknya lokalisasi liar yang belum terjamah oleh pelayanan kesehatan. Sehingga banyak kasus yang belum terlaporkan, disamping itu banyak kasus yang belum terdeteksi. Belum ada kebijakan kusus yang mengharuskan pelaporan terhadap penemuan kasus IMS. Serta fasilitas diagnosis yang ada sekarang kurang sempurna, sehingga seringkali terjadi salah diagnosis dan penanganannya (Depkes RI, 1999).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran IMS, antara lain faktor biologis: faktor umur dan faktor jenis kelamin, selain itu faktor lingkungan, pendidikan, agama, perilaku, sosial ekonomi juga bisa mempengaruhi penyebaran IMS. Bila para WPS mengetahui cara pencegahan IMS, dan memahami tentang perilaku yang dapat memicu terjadinya IMS, mengerti tentang akibat yang ditimbulkan oleh penderita IMS dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan, akan mempermudah tenaga kesehatan dalam usaha penurunan insiden dan prevalensi IMS tersebut.

Prinsip utama dari

pengendalian/pencegahan IMS adalah memutuskan mata rantai penularan IMS dan mencegah berkembangnya IMS serta komplikasinya. Pencegahan secara tepat dan penanganan secara dini IMS bisa disembuhkan dengan baik. Yang penting sekali untuk diingat adalah bentuk dan gejala awal yang menjadi tanda IMS. Bila merasakan tanda gejala

IMS, sebaiknya perlu diwaspadai kemungkinan adanya infeksi IMS. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain: tidak melakukan hubungan seksual pada saat menderita IMS, tidak berganti pasangan, menggunakan kondom setiap hubungan seksual. Yang lebih penting dari semua itu adalah menjaga nilai moral, agama, etika, dan norma kehidupan bermasyarakat, karena dengan moral dan etika yang baik kita akan terhindar dari gangguan atau penyakit yang akan membawa kita dalam masalah serius (Setiawan, 2007).

Sudah banyak usaha pemerintah untuk memberantas dan mengurangi kejadian IMS. Kegiatan ini dilakukan oleh tim pencegahan infeksi menular seksual Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung dan Puskesmas Ngunut yang berupa pemeriksaan berkala, penyuluhan tentang pemakaian kondom yang benar. Disamping itu juga dilakukan pembagian kondom secara cuma-cuma dan pengobatan bagi para Wanita Pekerja Seks baik yang menderita IMS maupun yang tidak menderita IMS melalui Program Pengobatan Presumtif Berkala (PPB). Kegiatan tersebut dilakukan setiap bulan, sedangkan untuk pemeriksaan Serology Test Syphilis Deficiency dan Gonorhoe dilakukan setiap 5 bulan sekali. Namun demikian masih banyak ditemui WPS yang tidak menggunakan kondom saat melayani tamu, masih melayani tamu, walaupun sedang menderita IMS, dan perilaku WPS itu terbukti bisa membuat prosentase kasus tetap tinggi. Oleh karenanya harus diupayakan suatu usaha yang dianggap mempunyai daya ungkit yang cukup tinggi, untuk memutuskan mata rantai dan meminimalkan penyebaran kasus tersebut.

Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, dipandang sangat perlu untuk

(19)

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (Gretta Hapsari A)

19 meningkatkan pengetahuan,

ketrampilan dibidang lain, sikap, keyakinan, perilaku, tingkat kepatuhan dan tindakan untuk mengurangi perilaku berisikonya. Bahkan diharapkan dengan perubahan perilakunya bisa mencegah terjadinya penularan terhadap semua kasus Infeksi Menular Seksual. Karena WPS adalah kelompok yang paling potensial untuk terjadinya penularan,meskipun jumlah mereka relatif sedikit, karena mereka merupakan pelaku utama terhadap penularan dan penyebaran Infeksi Menular Seksual. Karena program pencegahan terhadap Infeksi Menular Seksual merupakan salah satu tugas bidan di wilayah Puskesmas Ngunut dan juga merupakan upaya untuk mendukung tercapainyan Millenium Developematianment Goals (MDG’s) untuk mengatasi kematian ibu dan bayi serta mengendalikan penyakit HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku seksual dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) pada WPS di Lokalisasi.

Bahan Dan Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam berbagai perspektif yaitu berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis penelitian kasus, berdasarkan tempat penelitian termasuk jenis lapangan, berdasarkan waktu pengumpulan data termasuk jenis rancangan crossectional, berdasarkan ada tidaknya perlakuan termasuk jenis expost facto (mengungkap fakta) penelitian, berdasarkan pengumpulan data termasuk jenis observasional, berdasarkan sumber data termasuk jenis primer, berdasarkan tujuan penelitian termasuk analitik korelasional.

Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh WPS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung tahun 2010 dengan jumlah 215 orang.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel dapat ditentukan dengan rumus: = − − − ( −1) + 2. . = 215 – (1,96)2 – 0,5 – 0,5 = , , = 64,5 = dibulatkan menjadi 65 responden Keterangan:

n = perkiraan jumlah sampel N = perkiraan besar populasi

Z = nilai standar normal untuk d = 0,05 (1,96)

P = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%

q = I P (100% – P)

d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)

(dikutip dari Zainudin M, 2000)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua variabel, yaitu:

1. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah perilaku pemakaian kondom dan kesediaan melayani tamu WPS.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian IMS.

(20)

20

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Check list pada WPS di lokalisasi Kaliwungu Ngunut Tulungagung 2. Kuisioner.

3. Data calon responden yaitu wanita pekerja seks yang hadir pada saat jadwal pemeriksaan

4. Sarana yang dibutuhkan untuk pemeriksaan in spekulo, meliputi: kamar periksa, bed gynekologi, lampu penerangan, meja, kursi, selimut/kain penutup, MnO4 (cairan

sublimat) pada tempatnya, kapas, speculum, kapas lidi, kaca objek, larutan NaCl fisiologis (0,9%), sarung tangan, larutan chlorin.

Instrument penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan semua variabel bebas yaitu perilaku penggunaan kondom dengan kuisioner, infeksi menular seksual dengan melakukan pemeriksaan, sedang kesediaan dengan cara observasi. Penelitian ini dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung dilaksanakan pada tanggal 14 September 2010.

Untuk mencari ada tidaknya hubungan antara perilaku pemakaian kondom dan kesediaan melayani tamu pada WPS dengan kejadian IMS dilokalisasi Kaliwungu kecamatan Ngunut Tulungagung tahun 2010 dengan menggunakan uji chi kuadrat.

Hasil Penelitian 1. Data Umum a. Umur

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada diagram diatas menunjukkan bahwa dari total 65 responden sebagian besar responden berumur 20-35 tahun, yaitu sebanyak 39 responden (60%).

b. Pendidikan

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada diagram diatas menunjukkan bahwa dari total 65 responden sebagian besar dari responden berpendidikan SD, yaitu sebanyak 35 responden (54%). 2 Resp (3%) 39 Resp (60%) 24 Resp (37%) < 20 th 20-35 th > 35 th 35 Resp. (54%) 27 Resp. (41%) 3 Resp. (5%) 0% SD SMP SMA PT

(21)

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (Gretta Hapsari A)

21 c. Berdasarkan lama menjadi WPS Di

Lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulung Agung

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada diagram diatas menunjukkan bahwa dari total 65 responden hampir setengah dari responden telah menjadi WPS lebih dari 2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden (42%).

2. Data Khusus

a. Perilaku Pemakaian Kondom

Tabel 1 Hasil tabulasi perilaku pemakaian kondom No Pemakai an Kondom Jumlah Prosentase 1 Ya 23 35.38 2 Tidak 42 64.62 Jumlah 65 100

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 1 didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden tidak memakai kondom, yaitu sebanyak 42 responden (64,62%) dan 23 responden (35,38%) memakai kondom.

b. Kesediaan Melayani Tamu WPS Tabel 2 Hasil tabulasi kesediaan

melayani tamu No Kesediaan melayani tamu Jumlah Pro sent ase 1 Tidak bersedia melayani tamu 5 11.9 2 Bersedia melayani tamu 37 88.1 Jumlah 42 100

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 2 didapatkan dari total 42 responden yang tidak memakai kondom, hampir seluruhnya dari responden bersedia melayani tamu, yaitu sebanyak 37 responden (88, 1%). c. Kejadian IMS

Tabel 3 Hasil tabulasi kejadian IMS

No Kejadian IMS Ju ml ah Prosentase 1 Tidak Terinfeksi 31 47.69 2 Terinfeksi 34 52.36 Jumlah 65 100

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 3 didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden terinfeksi IMS, yaitu sebanyak 38 responden (58,46%). 12 Resp (18%) 26 Resp (40%) 27 Resp (42%) < 1 th 1-2 th > 2 th

(22)

22

Tabulasi Silang Antar Variabel

a. Tabulasi silang Perilaku Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS Tabel 4 Tabulasi Silang Perilaku

Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada tabel 4 didapatkan bahwa dari total 65 responden, hampir setenganya dari responden tidak memakai kondom dan terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak 32 responden (49,23%).

b. Tabulasi silang Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS

Tabel 5 Tabulasi Silang Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS N o Kesedi aan Melay ani Tamu Kejadian IMS Total Tidak Terinfeksi Terinfeksi J m l % Jml % Jml % 1 Tidak berse dia 4 9,52 1 2,38 5 11, 9 2 Berse dia 10 23,81 27 64,28 37 88, 1 Juml ah 14 33,3 28 66,67 42 100

Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010

Hasil penelitian pada tabel 5 didapatkan bahwa dari total 42 responden yang tidak memakai kondom, sebagian besar dari responden

bersedia melayani tamu dan terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak 28 responden (66,67%).

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 < 0.05, sehingga HO ditolak dan H1

diterima, berarti “ada hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”. Hasil Uji Statistik Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS

Tabel 6 Hasil Uji Statistik Chi Square Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS Value df Asy mp. Sig. (2-side d) E xa ct Si g. (2 -si de d) Ex act Sig . (1-sid ed) Pearson Chi-Square 5.562(b ) 1 .018 Continuity Correction(a) 3.434 1 .064 Likelihood Ratio 5.282 1 .022 Fisher's Exact Test .0 35 .03 5 Linear-by-Linear Association 5.430 1 .020 N of Valid Cases 42

a Computed only for a 2x2 table

b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.67.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 < 0.05, sehingga HO ditolak dan H1

diterima, berarti “ada hubungan antara kesediaan melayani tamu dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”.

N o Peril aku Pema kaian Kond om Kejadian IMS Total Tidak Terinfeksi Terinfeksi Jml % ml J % J m l % 1 Ya 17 26. 15 6 9.23 2 3 35. 38 2 Tida k 10 15. 38 32 49.23 4 2 64. 62 Juml ah 27 41. 54 38 58.46 6 5 10 0.0 0

(23)

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (Gretta Hapsari A)

23 Pembahasan

1. Perilaku Pemakaian Kondom Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden tidak memakai kondom, yaitu sebanyak 42 responden (64,62%).

Kondom adalah suatu karet yang tipis, berwarna atau tak berwarna , dipakai untuk menututpi zakar yang tegang sebelum dimasukkan ke dalam vagina sehingga mani tertampung di dalamnya dan tidak masuk vagina. Dengan demikian mencegah terjadinya pembuahan. Kondom yang menutupi zakar juga berguna untuk mencegah penyakit kelamin.

Ada banyak alasan pria tidak mau pakai kondom karena merasa kesakitan dan terluka saat memakainya. Hal itu membuat tujuan penggunaan kondom gagal dan risiko penyakit menular meningkat. Untuk itu, pria sebaiknya pakai ukuran kondom yang sesuai dengan ukuran alat kelaminnya. Selain itu pemakaian kondom menyebabkan sakit dan tidak pas, itulah alasan sebagian pria yang tidak mau memakai kondom. Pemakaian kondom yang tidak tepat memang bisa merobek kondom atau membuat kondom terlepas sehingga mengurangi hasrat seksual pasangan.

Kondom yang pas sebaiknya dipilih pria agar risiko yang tidak diinginkan bisa dicegah. Pria diketahui tidak suka membeli kondom ukuran kecil dan sedang karena merasa percaya diri dengan ukuran alat kelaminnya. Tapi sebagian pria juga tidak sadar bahwa kondom yang mereka beli justru kekecilan.

Faktor lain yang menyebabkan pria enggan menggunakan kondom

dikarenakan kondom juga mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya: menganggu kenyamanan bersenggama, selalu harus memakai kondom yang baru, selalu harus ada persediaan, kadang ada yang tidak tahan (alergi) terhadap karetnya, tingkat kegagalannya tinggi jika terlambat memakainya, sobek bila memasukkannya tergesa-gesa.

Pria dengan kondom yang tidak pas akan cenderung melepas kondomnya sebelum acara seks selesai dan akhirnya tujuan pemakaian kondom pun gagal. Kondom yang tidak pas mempunyai dampak bisa berakibat fatal jika kondom terlepas atau robek.

Kesadaran pria memakai kondom perlu dibarengi dengan kesadaran yang tinggi pula akan ancaman berbagai penyakit seperti gonnore, clamydia, sifilis, HIV dan lainnya.

2. Kesediaan Melayani Tamu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 42 responden yang tidak memakai kondom hampir seluruhnya dari responden bersedia melayani tamu, yaitu sebanyak 37 responden (88,1%).

Kesediaan menerima pengaruh fihak lain itu biasanya tidak berasal dari hati kecil seseorang akan tetapi lebih merupakan cara untuk sekedar memperoleh reaksi positif seperti pujian, dukungan, simpati dan semacamnya sambil menghindari hal – hal yang dianggap negatif. Tentu saja perubahan perilaku yang terjadi dengan cara seperti itu tidak akan dapat bertahan lama dan biasanya hanya tampak selama pihak lain menyadari akan perubahan sikap yang ditunjukkan. Kesediaan WPS melayani tamu memang pekerjaan mereka menuntuk

(24)

24

untuk melayani tamu. Adapun ada sebagian kecil responden yang tidak mau melayani tamu, mungkin dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi fisik mereka, kesehatan, mood, ataupun faktor lain sehingga pada saat penelitian ada sebagian kecil yang menyatakan tidak melayani tamu.

Hasil penelitian pada diagram 5.1 didapatkan hampir setengah dari responden berumur diatas 35 tahun. Dimana pada umur tersebut seorang wanita sudah mengalami penurunan fungsi organ seksual, sehingga secara fisik akan mudah lelah. Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ada sebagian responden yang tidak melayani tamu.

3. Kejadian IMS

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden terinfeksi IMS, yaitu sebanyak 34 responden (52,31%).

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah suatu infeksi yang sebagian besar penularanya melalui hubungan seksual. Hubungan seksual tidak hanya dilakukan secara kelamin, mulut dengan kelamin, dan tangan dengan alat kelamin, sehingga kelainan yang timbul akibat penyakit ini tidak terbatas pada alat kelamin saja, tetapi dapat juga pada daerah di luar alat kelamin (ekstra genital). Tanda-tandanya juga bias pada mata, mulut, saluran pencernaan, hati, otak, dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B yang menular lewat hubungan seks tetapi penyakitnya tidak dapat dilihat dari kelaminnya, artinya alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya membawa bibit

penyakit ini. Kalau kita berhubungan seks dengan orang tersebut, kita dapat tertular walaupun hanya sekali (Dirjen PPM dan PL, 2004).

IMS bisa terjadi disebabkan oleh beberapa perilaku seks antara lain: sering berganti pasangan seksual, mempunyai lebih dari satu pasangan seksual, hubungan seks dengan pasangan yang tidak dikenal (WPS), masih terus berhubungan seks walaupun dengan keluhan IMS, tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan pasangan berisiko tinggi.

Infeksi Menular Seksual disebabkan oleh kurang lebih 20-50 mikroorganisme yang terdiri atas bakteri, parasit, jamur dan virus termasuk HIV (FKUI, 2003).

IMS seringkali tidak menampakkan gejala, terutama pada wanita. Namun ada pula IMS yang menunjukkan gejala umum sebagai berikut : 1) Keluarnya cairan dari vagina, penis atau dubur yang berbeda dari biasanya, 2) Rasa perih, nyeri atau panas saat kencing atau setelah kencing, atau menjadi sering kencing, 3) Adanya luka terbuka, luka basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut (nyeri ataupun tidak), 4) Tumbuh seperti jengger ayam atau kutil di sekitar alat kelamin, 5) Gatal di sekitar alat kelamin, 6) Terjadi pembengkakan kelenjar limfa yang terdapat pada lipatan paha, 7) Pada pria, kantung pelir menjadi bengkak dan nyeri, 8) Pada wanita, sakit perut bagian bawah yang kambuhan (tetapi tidak ada hubungannya dengan haid), 9) Mengeluarkan darah setelah berhubungan seks, dan 10) Secara umum merasa tidak enak badan atau demam.

(25)

Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (Gretta Hapsari A)

25 4. Hubungan Perilaku Pemakaian

Kondom dengan Kejadian IMS Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 < 0.05, sehingga HO ditolah dan H1

diterima, berarti “ada hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”.

Kejadian IMS berhubungan dengan perilaku kesehatan, yaitu dimana transaksi seksual atau aktivitas seksual antara WPS dengan pelanggannya berlangsung dengan tidak aman dan tidak terlindungi dari berbagai macam penularan IMS. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok yaitu respon dan stimulus atau perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat positif (pengertian, persepsi, dan sikap) mampu bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis), sehingga apabila seseorang memahami pola perilaku seksual sehingga dampaknya adalah angka kejadian IMS akan menurun.

Perjalanan IMS berawal dari adanya penderita IMS, baik yang menimbulkan gejala maupun yang bersifat asimtomatis, melakukan interaksi yang intens dengan manusia lainnya yang tidak menderita IMS. Interaksi tersebut salah satunya adalah interaksi seksual (sexual interaction), dimana hubungan seksual yang terjadi antara penderita IMS dengan pasangan seksnya yang tidak menderita IMS berlangsung tidak aman. Hal tersebut bisa berupa pola hubungan seksual yang tidak sewajarnya, misalnya melalui anus (anal intercourse), ataupun hubungan seksual yang tidak terlindungi yaitu tanpa penggunaan kondom sebagai barier yang dimiliki oleh partner seksualnya.

Hasil penelitian pada tabel 5.4 didapatkan bahwa dari total 65

responden, hampir setenganya dari responden tidak memakai kondom dan terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak 32 responden (49,23%).

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada orang-orang yang berperilaku seksual berisiko tinggi, hanya kurang dari 1 orang yang tertular IMS pada kelompok pengguna kondom. Secara medis dan epidemiologis diketahui bahwa akan terjadi penurunan penularan IMS pada para pengguna kondom. Dari studi tersebut juga diketahui bahwa kondom efektif mencegah IMS.

Bila digunakan secara benar dan konsisten, kondom mempunyai peranan penting dalam kesehatan masyarakat, khususnya dalam pencegahan IMS, termasuk HIV dan Hepatitis B. Penggunaan kondom yang baik akan mengurangi risiko terinfeksi penyakit tersebut, bagi mereka yang tidak mampu berpuasa seks.

Kondom memiliki fungsi double protection yaitu selain untuk mencegah penularan IMS juga dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi. Hingga saat ini kondom merupakan alat kontrasepsi yang paling efektif untuk mengurangi risiko penularan penyakit seksual. Bahkan vasektomi atau pemotongan saluran sperma pada pria pun tidak mampu mencegah IMS.

Orang yang sudah mengetahui dirinya terinfeksi IMS harus tetap menggunakan kondom walaupun sudah divasektomi untuk mencegah penularan IMS pada pasangannya, kecuali IMS-nya sudah diobati dan sembuh. Meski demikian, angka penggunaan kondom pada masyarakat Indonesia masih rendah.

Pengetahuan dan penyebaran informasi tentang kondom masih sangat rendah sehingga orang belum menggunakannya secara tepat. Kegagalan kondom lebih sering disebabkan pemakainya tidak

(26)

26

menggunakannya dengan benar, dan bukan karena mutu kondom itu sendiri.

Mengingat bahwa tidak ada obat atau intervensi lain dalam pencegahan IMS, maka penggunaan kondom secara konsisten dalam berhubungan seksual merupakan cara pencegahan penularan IMS yang paling efektif selain dengan cara abstain seks.

5. Hubungan Kesediaan Melayani Tamu dengan Kejadian IMS

Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 < 0.05, sehingga HO ditolak dan H1

diterima, berarti “ada hubungan antara kesediaan melayani tamu dengan kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung”.

WPS adalah orang yang bekerja dengan memperdagangkan seksual. IMS adalah penyakit infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Banyak kasus yang asimtomatik terutama pada penderita wanita, kurangnya kesadaran dari para WPS dan mahalnya biaya pengobatan yang menyebabkan para WPS mengobati sendiri penyakitnya. Kesediaan melayani tamu saat sakit IMS berhubungan dengan perilaku kesehatan, dimana aktifitas seksual antara WPS dengan pelanggannya berlangsung tidak aman dan tidak terlindungi.

Dalam semalam, WPS biasa melayani empat sampai lima tamu, dan hampir semuanya tidak menggunakan kondom. Hasil penelitian pada diagram 5.3 menunjukkan bahwa dari total 65 responden hampir setengah dari responden telah menjadi WPS lebih dari 2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden (42%), sehingga dengan pelayanannya terhadap tamu yang terhitung sudah sering tersebut, didukung dengan sebagian besar responden tidak

menggunakan kondom, maka penularan IMS sangat rentan sekali terjadi.

Terjadinya penularan IMS melaui mukosa kulit tubuh yang terbuka, misalnya pada mukosa dinding vagina, konjungtiva mata, dinding anus atau rektum, permukaan kulit yang terbuka. Kemudian bakteri tersebut akan berpindah tempat pada manusia sehat lainnya, berkembang biak, melakukan metatase atau penyebaran ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah. Pada keadaan lanjut setiap hubungan seksual yang dilakukan akan membuahkan penderita IMS baru, dan akan seperti itu seterusnya jika tidak tertangani dengan baik. Mobilitas yang tinggi dari para WPS akan mempercepat penyebarluasan IMS yang juga melibatkan masyarakat berisiko rendah seperti ibu rumah tangga dan lainnya, yang dijembatani oleh para pelanggan WPS.

Simpulan

Tingginya angka kejadian IMS di karenakan pengunjung yang tidak memakai kondom dan kesediaan WPS dalam melayani tamu meskipun tamu tersebut tidak memakai kondom.

Saran

Disarankan bagi WPS agar meningkatkan kesadaran untuk memakai kondom karena mampu mengurangi kejadian IMS.

Dan untuk petugas kesehatan setempat agar sering mengadakan penyuluhan kesehatan tentang pentingnya menghindari penyakit infeksi yang penularannya terjadi lewat hubungan seksual yang sering berganti pasangan.

Gambar

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pemberian  Kolostrum Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di  Puskesmas Rejowinangun Trenggalek  Tahun 2010
Tabel 2  Distribusi  Frekuensi  Terjadinya Bayi Berat Lahir  Rendah  (BBLR)  di  RSUD  Gambiran  Kota  Kediri  Tahun 2009
Tabel  1  Hasil  tabulasi  perilaku  pemakaian kondom  No  Pemakai an  Kondom  Jumlah  Prosentase  1  Ya  23  35.38  2  Tidak  42  64.62  Jumlah  65  100
Tabel 6   Hasil  Uji  Statistik  Chi  Square  Kesediaan  Melayani  Tamu  dengan  Kejadian IMS    Value  df  Asy mp
+7

Referensi

Dokumen terkait

Arus kas operasi adalah kegiatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah aktivitas penghasil utama pendapatan perusahaan dan aktivitas lain yang bukan merupakan

kemandirian, hasil belajar di setiap akhir siklus, dan kinerja guru dalam pembelajaran.. Instrumen pengambil data dirinci tabel

Tepat w aktu, informasi yang diterima harus tepat pada waktunya, sebab informasi yang usang (terlambat) tidak mempunyai niali yang baik, sehingga bila digunakan sebagai dasar

Dengan demikian diharapkan mereka siap untuk bersaing dengan sumber daya manusia atau tenaga kerja dari negara lainnya ketika besok pada tahun 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN

Berdasarkan nilai RMSEP, fungsi peragam yang relevan untuk pemodelan kalibrasi pengukuran konsentrasi kurkumin pada daerah identifikasi spektra infra merah dengan pendekatan

nafkah masa tunggu istri yang tertalak ba’in kubra&gt; dalam keadaan hamil , maka penulis melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, namun

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pemerolehan acqusition bahasa adalah suatu teori siasat yang dimiliki dan dibutuhkan oleh anak-anak untuk

Pengertian metode observasi menurut para ahli, merupakan tekhnik pengumpulan data, di mana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk