• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan Irigasi Existing_Ok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pendahuluan Irigasi Existing_Ok"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN DAN KONDISI EKSISTING

JARINGAN IRIGASI TERSIER

Kerjasama

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN

MASYARAKAT UNIVERSITAS SYIAH KUALA

Dengan

DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN

HORTIKULTURA ACEH

Tahun 2016

(2)

KATA PENGANTAR

Aceh telah ditetapkan sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional pada Pemerintah Jokowi-Jusuf Kala untuk memenuhi dan menjaga ketahanan pangan nasional dan lokal. Pemerintah Aceh memiliki komitmen untuk meningkatkan produksi padi di wilayahnya sehingga sasaran pemenuhan pangan ke depan bisa tercapai.

Pengelolaan air irigasi dari hulu (upstream) sampai dengan hilir (downstream) memerlukan sarana dan prasarana irigasi yang memadai. Rusaknya atau tidak tersedianya salah satu bangunan-bangunan irigasi akan mempengaruhi kinerja sistem yang ada, sehingga mengakibatkan efisiensi dan efektifitas irigasi menurun serta menurunnya produktivitas lahan usahatani.

Permasalahan utama dalam pengelolaan irigasi di Aceh berkaitan dengan jaringan tersier (jaringan yang mensuplai air ke lahan sawah) masih terkendala dan belum mencukupi. Jaringan tersier ini menjadi suatu faktor yang menentukan keberhasilan produksi padi karena keberadaan jaringan ini berhubungan langsung dengan petak sawah para petani.

Respon Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura untuk mengatasi permasalahan kondisi jaringan irigasi tersier sangat penting. Oleh karena itu, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Aceh melakukan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Syiah Kuala untuk Mengalisis Kebutuhan dan Kondisi Eksisting Jaringan Irigasi Tersier.

Laporan pendahuluan ini memuat Pendahuluan, Ruang Lingkup Pekerjaan, Tinjauan Pustaka, Metodologi dan Progres Kegiatan. Diharapkan laporan pendahuluan dapat menyediakan laporan awal tentang Kebutuhan dan Kondisi Eksisting Jaringan Irigasi Tersier. Saran dan masukan yang konstruktif dari semua pihak sangat diharafkan untuk penyempurnaan laporan pendahuluan ini.

(3)

Daftar Isi ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR --- i

DAFTAR ISI --- ii

DAFTAR TABEL --- iii

DAFTAR GAMBAR --- iv

BAB I PENDAHULUAN --- 1

1.1. Latar Belakang --- 1

1.2. Maksud dan Tujuan --- 3

1.3. Sasaran dan Manfaat --- 3

BAB II RUANG LINGKUP PEKERJAAN --- 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA --- 5

3.1. Acuan Normatif --- 5

3.2. Klasifikasi Jaringan Irigasi --- 9

3.2.1. lrigasi Sederhana --- 10

3.2.2. Jaringan irigasi semiteknis --- 11

3.2.3. Jaringan irigasi teknis --- 12

3.3. Pengelolaan Jaringan Irigasi --- 14

3.4. Operasi dan Pemeliharaan Jaringan irigasi --- 15

3.4.1. Operasi Jaringan Irigasi --- 15

3.4.2. Pemeliharaan jaringan irigasi --- 15

3.4.3. Kelembagaan Pengelolaan Irigasi --- 16

BAB IV METODOLOGI --- 18

4.1. Lokasi Kegiatan --- 18

4.2. Tahapan Kegiatan --- 18

4.2.1. Persiapan dan Pengumpulan Data Sekunder --- 18

4.2.2. Penyusunan Rencana Kerja --- 18

4.2.3. Pengumpulan Data --- 19

4.2.4. Tabulasi, Kompilasi dan Analisis Data --- 19

4.2.5. Penyusunan Laporan --- 19

4.2.6. Ekspose/Seminar Hasil dan Finalisasi Kajian --- 19

4.2.7. Jadwal pelaksanaan --- 20

BAB V PROGRES PEKERJAAN --- 21

5.1. Pengumpulan Data Primer --- 21

5.2. Tabulasi dan Kompilasi Data --- 22

(4)

Daftar Tabel iii

DAFTAR TABEL

Tabel. 3.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi --- 9

Tabel. 4.1. Kelompok dan Uraian Kegiatan --- 18

Tabel. 4.2. Kondisi Saluran Irigasi Berdasarkan Kewenangan di Aceh --- 19

Tabel. 4.3. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan --- 20

Tabel. 5.1. Indikator Kuantitatif Kondisi --- 21

Tabel. 5.2. Indikator Deskripsi Kondisi Bangunan Sipil dan Lining --- 21

Tabel. 5.3. Indikator Deskripsi Kondisi Pintu --- 21

Tabel. 5.4. Indikator Deskripsi Kondisi Tanggul Saluran --- 22

(5)

Daftar Gambar iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar. 3.1. Jaringan Irigasi Sederhana --- 11 Gambar. 3.2. Jaringan Irigasi Semi Teknis --- 12 Gambar. 3.3. Jaringan Irigasi Teknis --- 14

(6)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air adalah sumber daya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup semua makhluk hidup. Air juga sangat diperlukan untuk kegiatan industri, perikanan, pertanian dan usaha-usaha lainnya. Dalam penggunaan air sering terjadi kurang hati-hati dalam pemakaian dan pemanfaatannya sehingga diperlukan upaya untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air melalui pengembangan, pelestarian, perbaikan dan perlindungan. Dalam pemanfaatan air khususnya lagi dalam hal pertanian, dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan serta pengembangan wilayah, Pemerintah Indonesia melakukan usaha pembangunan di bidang pengairan yang bertujuan agar dapat langsung dirasakan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air (Priyonugroho,2014).

Aceh telah ditetapkan sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional pada Pemerintah Jokowi-JK dalam rangka memenuhi dan menjaga ketahanan pangan nasional dan lokal. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh harus serius dalam upaya meningkatkan produksi padi di wilayahnya sehingga sasaran pemenuhan pangan kedepan bisa tercapai.

Untuk meningkatkan produksi padi tersebut secara teknis dapat dilakukan secara ekstensifikasi dan intensifikasi. Namun, hal yang terpenting dari keduanya adalah tersedianya sumber air dan jaringan irigasi yang memadai sebab air merupakan faktor penentu keberhasilan usahatani padi sawah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan produktivitas lahan yang sangat signifikan antara lahan beririgasi dan lahan tadah hujan.

Irigasi adalah menyalurkan air yang perlu untuk pertumbuhan tanaman ke tanah yang diolah dan mendistribusinya secara sistematis (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak (PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi).

Pengelolaan air irigasi dari hulu (upstream) sampai dengan hilir (downstream) memerlukan sarana dan prasarana irigasi yang memadai. Sarana dan prasarana tersebut dapat berupa: bendungan, bendung, saluran primer dan sekunder, boks bagi, bangunan-bangunan ukur, dan saluran tersier serta saluran tingkat usaha tani (TUT). Rusaknya atau tidak tersedianya salah satu bangunan-bangunan irigasi akan mempengaruhi kinerja sistem yang ada, sehingga mengakibatkan efisiensi dan efektifitas irigasi menurun serta menurunnya produktivitas lahan usahatani.

(7)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 2 Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi mengamanatkan bahwa tanggung jawab pengelolaan jaringan irigasi tersier sampai ke tingkat usahatani dan jaringan irigasi desa menjadi hak dan tanggung jawab petani, yang terhimpun dalam wadah perkumpulan petani pemakai air (P3A) sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa kewenangan pengembangan/ rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usahatani menjadi kewenangan dan tanggung jawab instansi tingkat Kabupaten/Kota yang menangani urusan pertanian.

Luas Daerah irigasi di Provinsi Aceh adalah 390.518 Ha yang terdiri dari 1.499 Daerah Irigasi (DI) yang terdiri dari Lintas Kabupaten/Kota dan Utuh Kabupaten/Kota berdasarkan kewenangannya (Dinas Pengairan Aceh, 2016). Kondisi saluran irigasi di Aceh berdasarkan kewenangan dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kewenangan yaitu: 1) Kewenangan pusat dengan luas baku 101.622 Ha dan luas fungsional 87.903 Ha, 2) Kewenangan provnsi dengan luas baku 65.409 Ha dan luas fungsional 28.975 Ha, dan 3) Kewenangan Kabupaten/Kota denga luas baku 196.261 Ha dan luas fungsional 104.018 Ha. Selanjutnya kondisi saluran irigasi berdasarkan kewenangan yaitu: 1) Kewenangan pusat dalam kondisi baik 785 km (65,67 %), rusak sedang 322 km (26,92 %), dan rusak berat 89 km (7,42 %), 2) Kewenangan provinsi dalam kondisi baik 418 km (99,26 %), rusak sedang 178 km (25,2 %) dan rusak berat 110 km (15,54 %)., dan 3) Kewenangan kabupaten/kota dalam kondisi baik 908 km (51,59 %), rusak sedang 440 km (25,03 %) dan rusak berat 411 km (23,38 %).

Bangunan irigasi berdasarkan kewenangan di Aceh terdiri dari: 1) Kewenangan pusat dengan luas baku 101.622 Ha dan luas fungsional 87.903 Ha, 2) Kewenangan provinsi dengan luas baku 65.409 Ha dan luas fungsional 28.975 Ha. Selanjutnya kondisi bangunan irigasi dapat dikelompokkan yaitu: 1) Kewenangan pusat dengan kondisi baik 2.316 buah (69,20 %) dan kondisi rusak 1.031 buah (30,80 %), 2) Kewenangan provinsi dengan kondisi baik 894 buah (65,30 %) dan kondisi rusak 475 buah (34,70 %), dan (3) Kewenangan kabupaten/kota dengan kondisi baik 2.508 buah(50,48 %) dan kondisi rusak 2.460 buah (49,52 %).

Uraian sebelumnya memberikan informasi bahwa ketersediaan irigasi di Aceh sudah cukup luas dan panjang, namun dilihat dari rasio jaringan irigasi relatif masih rendah, yaitu 61,32% tahun 2014 dan meningkat menjadi 65,23% tahun 2015. Tahun 2016 Pemerintah Aceh menargetkan meningkat ratio jaringan irigasi menjadi 70,45 persen (Dinas Pengairan Aceh, 2016). Rasio rasio jaringan irigasi adalah perbandingan antara panjang saluran irigasi dengan luas lahan budidaya pertanian.

(8)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 3 Sungguhpun rasio jaringan irigasi di Aceh terus meningkat, namun fakta di lapangan terjadi banyak kendala sehingga pengelolaan jaringan irigasi tidak optimal. Air irigasi yang diharapkan oleh para petani tidak tersedia tercukupi untuk mengairi sawah-sawah mereka. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain (1) terbatas debit andalan di beberapa daerah irigasi, (2) Terdapat beberapa daerah irigasi yang tidak berfungsi secara optimal; (3) pembangunan jaringan irigasi, terutama jaringan tersier (jaringan yang mensuplai air ke lahan sawah) masih terkendala dan belum mencukupi, dan lain-lain. Jaringan tersier ini menjadi suatu faktor yang menentukan keberhasilan produksi padi karena keberadaan jaringan ini berhubungan langsung dengan petak sawah para petani.

Persoalan di lapangan ketersedia dan kondisi jaringan irigasi tersier tersebut masih terbatas dan sederhana sehingga menjadi kendala dalam menyalurkan air ke lahan usahatani padi di Aceh. Sejauh ini belum tersedia data secara konkrit berapa jumlah jaringan tersier yang ada di Aceh, dan bagaimana kondisinya serta berapa kebutuhan jaringan tersier tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang identifikasi jumlah dan kondisi serta kebutuhan irigasi tersier di Aceh.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari kajian ini adalah untuk mengevaluasi jaringan irigasi tersier dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas lahan sawah di Aceh sehingga mencapai sasaran Aceh sebagai salah satu lumbung padi nasional. Tujuan dari kajian ini adalah (1) mengidentifikasi jumlah dan kondisi (eksisting) salurah irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh, dan (2) menghitung dan menganalisis jumlah kebutuhan irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh.

1.3. Sasaran dan Manfaat

Sasaran dari kegiatan ini adalah teridentifikasinya jumlah dan kondisi saluran irigasi tersier saat ini di Wilayah Timur Aceh dan diketahui kebutuhan saluran irigasi tersier di wilayah tersebut. Manfaat kajian ini adalah dapat menjadi informasi mendasar bagi dinas teknis (SKPA/SKPK) dan petani (kelompok tani) serta stakeholder lainnya dalam menyusun program/kegiatan untuk merehabilitasi dan atau membuat baru saluran irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh sesuai kebutuhannya. Jika kebutuhan irigasi tersier sudah tercukupi maka diharapkan produksi dan produktivitas usahatani sawah di Wilayah Timur Aceh dapat meningkat sehingga berdampak pada peningkatan supplai padi Aceh.

(9)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 4

BAB II

Ruang Lingkup Pekerjaan

Ruang lingkup analisis kebutuhan dan kondisi eksisting jaringan irigasi tersier Aceh meliputi:

1. Mengumpulkan data sekunder tentang luasan sawah, jumlah jaringan irigasi primer, sekunder, dan tersier serta kondisinya (eksisting) di Wilayah Timur Aceh. 2. Mengumpulkan dan menganalisis data primer melalui survei lapang tentang

kondisi eksisting jaringan irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh.

3. Menghitung dan menganalisis kebutuhan jaringan irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh.

4. Membuat laporan hasil kajian analisis kebutuhan dan kondisi eksisting jaringan irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh.

(10)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 5

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Acuan Normatif

Pelaksanaan kegiatan Analisis Kebutuhan dan Kondisi Eksisting Jaringan Irigasi Tersier yang dilakukan pada tahun 2016 ini mengacu kepada standar-standar teknis yang berlaku. Rujukan yang digunakan pada pelaksanaan ini adalah:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi;

2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 79/Permen/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Kesesuaian Lahan pada Komoditas Tanaman Pangan;

3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Permen/OT.140/2/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai Melalui Program Perbaikan Jaringan Irigasi dan Sarana Pendukungnya Tahun Anggaran 2015;

4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permen/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permen/OT.140/9/2012 tentang Perlindungan, Pemeliharaan, Pemulihan serta Peningkatan Fungsi Lahan Budidaya Holtikultura;

6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 06/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Sumber Air dan Bangunan Pengairan;

7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10/PRT/M/2015 tentang Rencana dan Rencana Teknis Tata Pengaturan dan Tata Pengairan;

8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 12/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi; 9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor

14/PRT/M/2015 tentang Kriteria Penetapan Status Daerah Irigasi;

10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/PRT/M/2015 tentang Komisi Irigasi;

11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/PRT/M/2015 tentang Iuran Eksploitasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengairan.

(11)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 6 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 32 / PRT / M / 2007 Tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi mendefinisikan hal-hal penting yang berkaitan dengan Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi sebagai berikut:

1. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

2. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.

3. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.

4. Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

5. Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkap yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi.

6. Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya. 7. Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri

atas saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.

8. Jaringan irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri atas saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya.

9. Petak irigasi adalah petak lahan yang memperoleh air irigasi.

10. Petak tersier adalah kumpulan petak irigasi yang merupakan satu kesatuan dan mendapatkan air irigasi melalui saluran tersier yang sama.

11. Penyediaan air irigasi adalah penentuan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air untuk suatu daerah irigasi yang didasarkan waktu, jumlah, dan mutu sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya.

12. Pembagian air irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder.

13. Pemberian air irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier.

(12)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 7 14. Penggunaan air irigasi adalah kegiatan memanfaatkan air dari petak tersier

untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan.

15. Pembuangan air irigasi selanjutnya disebut drainase adalah pengaliran kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu.

16. Perkumpulan petani pemakai air yang selanjutnya disebut P3A adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. 17. Gabungan petani pemakai air yang selanjutnya disebut GP3A adalah

kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.

18. Induk perkumpulan petani pemakai air yang selanjutnya disebut IP3A adalah kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi.

19. Komisi irigasi kabupaten/kota adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah kabupaten/kota, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada kabupaten/kota.

20. Komisi irigasi provinsi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah provinsi, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, wakil pengguna jaringan irigasi pada provinsi, dan wakil komisi irigasi kabupaten/kota yang terkait.

21. Komisi irigasi antarprovinsi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah kabupaten/kota yang terkait, wakil komisi irigasi provinsi yang terkait, wakil perkumpulan petani pemakai air, dan wakil pengguna jaringan irigasi di suatu daerah irigasi lintas provinsi.

22. Pengelolaan jaringan irigasi adalah kegiatan yang meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.

23. Operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.

24. Hak guna air untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air dari sumber air untuk kepentingan pertanian.

(13)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 8 25. Rencana tata tanam detail yang selanjutnya disebut dengan RTTD adalah

rencana tata tanam yang menggambarkan rencana luas tanam pada suatu daerah irigasi dan terperinci per petak tersier.

26. Rencana tata tanam golongan yang selanjutnya disebut RTTG adalah rencana tata tanam yang menggambarkan rencana luas tanam pada suatu daerah irigasi, belum terperinci per petak tersier sehingga yang terlihat hanya total rencana luas tanam per daerah irigasi.

27. Debit andalan adalah debit perhitungan ketersediaan air berdasarkan probabilitas 80 persen terjadinya debit sungai.

28. Golongan vertikal adalah cara penentuan waktu awal pemberian air (awal tanam) secara bersamaan pada petak tersier dari hulu ke hilir dalam suatu saluran sekunder dengan tenggang waktu pemberian air antargolongan, biasanya antara 10 sampai dengan 15 hari.

29. Golongan horisontal adalah cara penentuan waktu pemberian air (awal tanam) secara bersamaan pada petak tersier yang berada di bagian hulu dari saluran sekunder yang berlainan dan diteruskan pada periode berikutnya ke petak tersier yang berada di bagian hilirnya dengan tenggang waktu pemberian air antargolongan, biasanya antara 10 sampai dengan 15 hari. 30. Golongan tersebar adalah cara penentuan waktu awal pemberian air (awal

tanam) secara bersamaan pada petak tersier yang telah ditentukan dan tersebar pada satu daerah irigasi dengan tenggang waktu pemberian air antargolongan, biasanya antara 10 sampai dengan 15 hari.

31. Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya.

32. Pengamanan jaringan irigasi adalah upaya menjaga kondisi dan fungsi jaringan irigasi serta mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan terhadap jaringan dan fasilitas jaringan, baik yang diakibatkan oleh ulah manusia, hewan, maupun proses alami.

33. Pemeliharaan rutin adalah usaha untuk mempertahankan kondisi dan fungsi jaringan yang dilaksanakan setiap waktu.

34. Pemeliharaan berkala adalah usaha untuk mempertahankan kondisi dan fungsi jaringan yang dilaksanakan secara berkala.

35. Perbaikan adalah usaha untuk mengembalikan kondisi dan fungsi saluran dan/atau bangunan irigasi secara parsial.

36. Perbaikan darurat adalah kegiatan penanggulangan yang berupa perbaikan dan bersifat darurat akibat suatu bencana agar saluran dan/atau bangunan dapat segera berfungsi.

(14)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 9 37. Penggantian adalah usaha untuk mengganti seluruh atau sebagian komponen

prasarana fisik, fasilitas, dan peralatan jaringan irigasi.

38. Inventarisasi jaringan irigasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data jumlah, dimensi, jenis, kondisi, dan fungsi seluruh aset irigasi serta data ketersediaan air, nilai aset jaringan irigasi, dan areal pelayanan pada setiap daerah irigasi. 39. Perencanaan pemeliharaan adalah suatu proses perancangan pemeliharaan

jaringan irigasi sebelum pelaksanaan pemeliharaan dimulai yang meliputi inspeksi, survei, desain, dan penyusunan program.

40. Inspeksi rutin adalah pemeriksaan jaringan irigasi yang dilakukan secara rutin setiap periode tertentu (10 atau 15 hari sekali) untuk mengetahui kondisi jaringan irigasi.

41. Penelusuran jaringan adalah kegiatan pemeriksaan bersama dengan P3A dari hulu sampai ke hilir untuk mengamati kondisi dan fungsi jaringan irigasi dengan periode 6 bulanan pada saat pengeringan dan awal musim hujan atau sesuai dengan kebutuhan.

3.2. Klasifikasi Jaringan Irigasi

Berdasarkan cara pengaturan pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas, jaringan irigasi dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan yaitu : 1) Irigasi Sederhana, 2) Irigasi Semiteknis dan 3) Irigasi Teknis. Klasifikasi jaringan irigasi tersebut disajikan pada Tabel 3.1. Selanjutnya ketiga tingkatan tersebut diperlihatkan pada Gambar 3.1, 3.2 dan 3.2.

Tabel. 3.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi

Jenis Teknis Klasifikasi jaringan irigasi Semiteknis Sederhana

1 Bangunan Utama Bangunan permanen Bangunan permanen atau

semi permanen

Bangunan sementara

2 Kemampuan bangunan dalam mengukur dan

mengatur debit Baik Sedang Jelek

3 Jaringan saluran Saluran irigasi dan pembuang terpisah

Saluran irigasi dan pembuang tidak sepenuhnya terpisah Saluran irigasi dan pembuang jadi satu

4 Petak tersier Dikembangkan sepenuhnya

Belum dikembangkan atau densitas bangunan tersier jarang Belum ada jaringan terpisah yang dikembangkan 5 Efisiensi secara keseluruhan

Tinggi 50 – 60 % (Ancar-ancar) Sedang 40 – 50% (Ancar-ancar) Kurang < 40% (Ancar-ancar

(15)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 10

Jenis Teknis Klasifikasi jaringan irigasi Semiteknis Sederhana

6 Ukuran Tak ada batasan Sampai 2.000 ha Tak lebih dari 500 ha

7 Jalan Usaha Tani Ada ke seluruh areal Hanya sebagian areal Cenderung tidak ada

8 Kondisi O & P

- Ada instansi yang

menangani

- Dilaksanakan

teratur

Belum teratur Tidak ada O & P

Sumber: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2010

Dalam konteks Standarisasi Irigasi ini, hanya irigasi teknis saja yang ditinjau. Bentuk irigasi yang lebih maju ini cocok untuk dipraktekkan di sebagian besar pembangunan irigasi di Indonesia.

Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan adanya empat unsur fungsional pokok, yaitu:

a. Bangunan-bangunan utama (headworks) di mana air diambil dari sumbernya, umumnya sungai atau waduk,

b. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak tersier,

c. Petak-petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan kolektif, air irigasi dibagi-bagi dan dialirkan kesawah- sawahdan kelebihan air ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier;

d. Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran-saluran alamiah.

3.2.1. lrigasi Sederhana

Di dalam irigasi sederhana, pembagian air tidak diukur atau diatur, air lebih akan mengalir ke saluran pembuang seperti yang disajikan pada Gambar 3.1. Para petani pemakai air itu tergabung dalam satu kelompok jaringan irigasi yang sama, sehingga tidak memerlukan keterlibatan pemerintah di dalam organisasi jaringan irigasi semacam ini. Persediaan air biasanya berlimpah dengan kemiringan berkisar antara sedang sampai curam. Oleh karena itu hampir-hampir tidak diperlukan teknik yang sulit untuk sistem pembagian airnya.

Jaringan irigasi yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi memiliki kelemahan-kelemahan yang serius. Pertama-tama, ada pemborosan air dan, karena pada umumnya jaringan ini terletak di daerah yang tinggi, air yang terbuang itu tidak selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih subur. Kedua, terdapat banyak penyadapan yang memerlukan lebih banyak biaya lagi dari penduduk karena setiap desa membuat jaringan dan pengambilan sendiri-sendiri. Karena

(16)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 11 bangunan pengelaknya bukan bangunan tetap/permanen, maka umurnya mungkin pendek.

Sumber: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2010.

Gambar. 3.1. Jaringan Irigasi Sederhana 3.2.2. Jaringan irigasi semiteknis

Perbedaan satu-satunya antara jaringan irigasi sederhana dan jaringan semiteknis adalah bahwa jaringan semiteknis ini bendungnya terletak di sungai lengkap dengan bangunan pengambilan dan bangunan pengukur di bagian hilirnya. Mungkin juga dibangun beberapa bangunan permanen di jaringan saluran. Sistem pembagian air biasanya serupa dengan jaringan sederhana seperti yang disajikan pada Gambar 3.2.

Pengambilan air dipakai untuk melayani/mengairi daerah yang lebih luas dari daerah layanan pada jaringan sederhana. Oleh karena itu biayanya ditanggung oleh lebih banyak daerah layanan. Organisasinya akan lebih rumit jika bangunan tetapnya berupa bangunan pengambilan dari sungai, karena diperlukan lebih banyak keterlibatan dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum.

(17)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 12

Sumber: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2010.

Gambar. 3.2. Jaringan Irigasi Semi Teknis 3.2.3. Jaringan irigasi teknis

Salah satu prinsip dalam perencanaan jaringan teknis adalah pemisahan antara jaringan irigasi dan jaringan pembuang/pematus. Hal ini berarti bahwa baik saluran irigasi maupun pembuang tetap bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, dari pangkal hingga ujung. Saluran irigasi mengalirkan air irigasi ke sawah-sawah dan saluran pembuang mengalirkan air lebih dari sawah-sawah ke saluran pembuang alamiah yang kemudian akan diteruskan ke laut seperti yang disajikan pada Gambar 3.3.

Petak tersier menduduki fungsi sentral dalam jaringan irigasi teknis.Sebuah petak tersier terdiri dari sejumlah sawah dengan luas keseluruhan yang idealnya maksimum 50 ha, tetapi dalam keadaan tertentu masih bisa ditolerir sampai seluas 75 ha. Perlunya batasan luas petak tersier yang ideal hingga maksimum adalah agar pembagian air di saluran tersier lebih efektif dan efisien hingga mencapai lokasi sawah terjauh.

(18)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 13 Permasalahan yang banyak dijumpai di lapangan untuk petak tersier dengan luasan lebih dari 75 ha antara lain:

a. Dalam proses pemberian air irigasi untuk petak sawah terjauh sering tidak terpenuhi.

b. Kesulitan dalam mengendalikan proses pembagian air sehingga sering terjadi pencurian air,

c. Banyak petak tersier yang rusak akibat organisasi petani setempat yang tidak terkelola dengan baik.

Semakin kecil luas petak dan luas kepemilikan maka semakin mudah organisasi setingkat P3A/GP3A untuk melaksanakan tugasnya dalam melaksanakan operasi dan pemeliharaan. Petak tersier menerima air di suatu tempat dalam jumlah yang sudah diukur dari suatu jaringan pembawa yang diatur oleh Institusi Pengelola Irigasi.

Pembagian air di dalam petak tersier diserahkan kepada para petani. Jaringan saluran tersier dan kuarter mengalirkan air ke sawah. Kelebihan air ditampung di dalam suatu jaringan saluran pembuang tersier dan kuarter dan selanjutnya dialirkan ke jaringan pembuang primer.

Jaringan irigasi teknis yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas adalah cara pembagian air yang paling efisien dengan mempertimbangkan waktu merosotnya persediaan air serta kebutuhan-kebutuhan pertanian.

Jaringan irigasi teknis memungkinkan dilakukannya pengukuran aliran, pembagian air irigasi dan pembuangan air lebih secara efisien. Jika petak tersier hanya memperoleh air pada satu tempat saja dari jaringan (pembawa) utama, hal ini akan memerlukan jumlah bangunan yang lebih sedikit di saluran primer, eksploitasi yang lebih baik dan pemeliharaan yang lebih murah dibandingkan dengan apabila setiap petani diizinkan untuk mengambil sendiri air dari jaringan pembawa. Kesalahan dalam pengelolaan air di petak-petak tersier juga tidak akan mempengaruhi pembagian air di jaringan utama.

Dalam hal-hal khusus, dibuat sistem gabungan (fungsi saluran irigasi dan pembuang digabung). Walaupun jaringan ini memiliki keuntungan tersendiri, dan kelemahan-kelemahannya juga amat serius sehingga sistem ini pada umumnya tidak akan diterapkan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari jaringan gabungan semacam ini adalah pemanfaatan air yang lebih ekonomis dan biaya pembuatan saluran lebih rendah, karena saluran pembawa dapat dibuat lebih pendek dengan kapasitas yang lebih kecil.

Kelemahan-kelemahannya antara lain adalah bahwa jaringan semacam ini lebih sulit diatur dan dioperasikan sering banjir, lebih cepat rusak dan menampakkan pembagian air yang tidak merata. Bangunan-bangunan tertentu di dalam jaringan tersebut akan memiliki sifat-sifat seperti bendung dan relatif mahal.

(19)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 14

Sumber: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2010.

Gambar. 3.3. Jaringan Irigasi Teknis 3.3. Pengelolaan Jaringan Irigasi

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007, disebutkan bahwa jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkap yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi. Ada beberapa jenis jaringan irigasi yaitu:

1. Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan bagi-sadap, dan bangunan pelengkapnya.

2. Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi- sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.

3. Jaringan irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri atas saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya.

(20)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 15 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 menyebutkan bahwa Pengelolaan Jaringan Irigasi adalah kegiatan Operasi dan Pemeliharaan serta rehabilitasi jaringan irigasi di Daerah Irigasi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 menjelaskan tentang kewenangan pengelolaan irigasi utama (primer dan sekunder) menjadi wewenang tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan ketentuan:

1. Daerah Irigasi (DI) dengan luas diatas 3000 ha menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat,

2. Daerah Irigasi (DI) antara 1000 ha 3000 ha menjadi kewenangan pemerintah provinsi, dan

3 . Daerah Irigasi (DI) lebih kecil dari 1000 ha sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten, sedangkan jika berada pada lintas kabupaten maka menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Jaringan tersier sepenuhnya merupakan tanggung jawab organisasi petani (P3A).

3.4. Operasi dan Pemeliharaan Jaringan irigasi 3.4.1. Operasi Jaringan Irigasi

Operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun system golongan, menyusun rencana pembagian air, melakukan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau dan mengevaluasi. Agar operasi jaringan dapat dilaksanakan dengan baik harus tersedia data pendukung antara lain:

1. Peta Wilayah Kerja Pengelolaan Irigasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawab. 2. Peta Daerah Irigasi dengan batas daerah irigasi dan plotting saluran induk dan

saluran sekunder, bangunan air, lahan irigasi serta pembagian golongan.

3. Skema Jaringan Irigasi yang menggambarkan saluran induk dan saluran sekunder, bangunan air dan bangunan lainnya yang ada disetiap ruas dan panjang saluran, petak tersier dengan data debit rencana, luas petak, kode golongan yang masing-masing dilengkapi dengan nomenklatur.

3.4.2. Pemeliharaan jaringan irigasi

Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya melalui kegiatan perawatan, perbaikan, pencegahan dan pengamanan yang harus dilakukan secara terus menerus. Adapun jenis pemeliharaan jaringan irigasi terdiri dari:

(21)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 16 1. Pengamanan jaringan irigasi.

Pengamanan jaringan irigasi merupakan upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan jaringan irigasi yang disebabkan oleh daya rusak air, hewan atau manusia guna mempertahankan fungsi dari jaringan irigasi tersebut.

2. Pemeliharaan rutin.

Pemeliharaan rutin merupakan kegiatan perawatan dalam rangka mempertahankan kondisi jaringan irigasi yang dilaksanakan secara terus menerus tanpa ada bagian konstruksi yang diubah atau diganti.

3. Pemeliharaan berkala

Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang dilaksanakan secara berkala yang direncanakan dan dilaksanakan oleh dinas yang membidangi irigasi dan dapat bekerja sama dengan P3A/GP3A/IP3A secara swakelola berdasarkan kemampuan lembaga tersebut dan dapat pula dilaksanakan dengan kontraktual.

4. Perbaikan darurat.

Perbaikan darurat dilakukan akibat bencana alam dan atau kerusakan berat akibat terjadinya kejadian luar biasa (seperti pengrusakan/ penjebolan tanggul, longsoran tebing yang menutup jaringan, tanggul putus dan lain-lain) dan penanggulangan segera dengan konstruksi tidak permanen agar jaringan irigasi tetap berfungsi.

3.4.3. Kelembagaan Pengelolaan Irigasi

Menurut PP No. 20 Tahun 2006, untuk menjamin terwujudnya tertib pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun pemerintah maka dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi yang meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air dan komisi irigasi. Selanjutnya, partisipasi perkumpulan petani pemakai air dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, sudah diatur pada pasal 26 dan pasal 27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi sebagai berikut:

1. Partisipasi masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diwujudkan mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi.

2. Partisipasi masyarakat petani dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran, gagasan, waktu, tenaga, material dan dana.

3. Partisipasi masyarakat petani dilakukan secara perseorangan atau melalui perkumpulan petani pemakai air.

(22)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 17 4. Partisipasi masyarakat petani didasarkan atas kemauan dan kemampuan

masyarakat petani serta semangat kemitraan dan kemandirian.

5. Partisipasi masyarakat petani dapat disalurkan melalui perkumpulan petani pemakai air di wilayah kerjanya.

6. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/ kota sesuai dengan kewenangannya mendorong partisipasi masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi untuk meningkatkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab guna keberlanjutan sistem irigasi.

Upaya pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, sudah diatur pada pasal 28 dan pasal 29 Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Beberapa hal penting yang dapat dipetik dari kedua pasal tersebut diantaranya:

1. Pemerintah kabupaten/kota melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air.

2. Pemerintah kabupaten/kota menetapkan strategi dan program pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air berdasarkan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi.

3. Pemerintah provinsi memberikan bantuan teknis kepada pemerintah kabupaten/ kota dalam pemberdayaan dinas atau instansi terkait di bidang irigasi dan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, serta dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi berdasarkan kebutuhan pemerintah kabupaten/kota.

4. Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat memberi bantuan kepada perkumpulan petani pemakai air dalam melaksanakan pemberdayaan.

5. Pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya :

a. Melakukan penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat petani.

b. Mendorong masyarakat petani untuk menerapkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan, sumber daya, dan kearifan lokal.

c. Memfasilitasi dan meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang irigasi.

d. Memfasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan teknologi dalam bidang irigasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(23)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 18

BAB IV

METODOLOGI

Mengingat banyaknya jumlah irigasi tersier di Aceh serta keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, maka kajian analisis kebutuhan dan kondisi eksisting jaringan irigasi tersier Aceh dibatasi hanya pada irigasi tersier yang ada di Wilayah Timur Aceh. 4.1. Lokasi Kegiatan

Lokasi penelitian dilakukan di 8 kabupaten/kota yang mewakili kondisi jaringan tersier irigasi Wilayah Timur Aceh adalah sebagai berikut:

1. Kabupaten Aceh Besar (Blang Bintang) 2. Kabupaten Pidie (D.I Baro Raya) 3. Kabupaten Pidie Jaya (D.I Mereudu) 4. Kabupaten Biruen (D.I Peudada) 5. Kabupaten Aceh Utara (D.I Pase) 6. Kota Lhokseumawe

7. Kabupaten Aceh Timur (D.I Jambo Reuhat) 8. Kabupaten Aceh Tamiang (D.I Keuteungga) 4.2. Tahapan Kegiatan

4.2.1. Persiapan dan Pengumpulan Data Sekunder

Pada tahap ini dilakukan persiapan studi yang meliputi: (1) koordinasi dengan instansi/lembaga terkait, (2) penyamaan persepsi dan pembekalan diantara sesama tim peneliti, (3) pengumpulan data (sekunder dan primer), dan (4) pengumpulan peta rupa bumi, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, peta administrasi, dan peta irigasi dan jaringannya (primer, sekunder, dan tersier).

4.2.2. Penyusunan Rencana Kerja

Penyusunan rencana kerja dilakukan untuk memudahkan konsultan mengapresiasi pelaksanaan teknis kegiatan secara terukur dan terjadwal. Berdasarkan lingkup kegiaan yang tertera di KAK dan Kontrak Kerja, rencana pelaksanaan kegiatan Analisis Kebutuhan dan Kondisi Eksisting Jaringan Irigasi Tersier disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel. 4.1. Kelompok dan Uraian Kegiatan

No Kelompok Uraian Kegiatan

1 Kegiatan A Persiapan dan Mobilisasi Tim,

2 Kegiatan B Inventarisasi Lapangan, Pengumpulan Data dan Peta, Informasi Mengenai Kondisi Umum Pekerjaan

(24)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 19

No Kelompok Uraian Kegiatan

4 Kegiatan D Penyusunan rencana dan program usulan perbaikan menuju peningkatan kinerja pengelolaan irigasi partisipatif

5 Kegiatan E Penyusunan Laporan

6 Kegiatan F Pertemuan konsultasi masyarakat dan diskusi dengan stakeholder

4.2.3. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode survei. Pengumpulan data primer (lapangan) dilaksanakan dengan observasi dan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan ketua kelompok tani. Pengumpulan data sekunder berupa peta-peta utama dan pendukung yang diolah dengan memanfaatkan teknologi Geographical Information System (GIS) serta informasi dari instansi terkait. Untuk mendapatkan data primer dilakukan survei lapangan ke 8 kabupaten/kota di Wilayah Timur Aceh. Data sekunder tentang kondisi saluran irigasi disajikan pada Tabel 4.2. Tabel. 4.2. Kondisi Saluran Irigasi Berdasarkan Kewenangan di Aceh

No Kewenangan

luas

Kuantitas

Kondisi Saluran

Baku Fungsional Baik Rusak Sedang Rusak Berat

(Ha) (Ha) (Km) (%) (Km) (%) (Km) (%) 1 Kewenangan Pusat 101.622 87.903 1.195 km 785 65,67 322 26,92 89 7,42 3.347 bh 2 Kewenangan Provinsi 65.409 28.975 705 km 418 59,26 178 25,2 110 15,54 1.369 bh 3 Kewenangan kab/kota 196.261 104.018 1.760 km 908 51,59 440 25,03 411 23,38 4.968 bh

Sumber : Dinas Pengairan Aceh, 2016

4.2.4. Tabulasi, Kompilasi dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode diskriptif kuantitatif. Selanjutnya, untuk memperkuat analisis kuantitatif tersebut ditunjang oleh analasis kualitatif berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat di lokasi penelitian.

4.2.5. Penyusunan Laporan

Laporan kajian analisis kebutuhan dan kondisi eksisting jaringan irigasi tersier terdiri dari 3 (tiga) laporan, yaitu: 1). Laporan Pendahuluan, 2). Laporan Antara dan 3). Laporan Akhir sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

4.2.6. Ekspose/Seminar Hasil dan Finalisasi Kajian

Setelah draft laporan hasil studi selesai dikerjakan, dilakukan ekspose hasil studi, sebelum laporan tersebut dicetak/difinalkan. Ekspose/seminar hasil studi dilakukan dengan menyertakan para pihak terkait dari tingkat provinsi dan di beberapa kabupaten/kota yang mewakili Wilayah Timur Aceh.

(25)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 20 4.2.7. Jadwal pelaksanaan

Kegiatan dilaksanakan selama enam bulan mulai bulan Mei sampai dengan November 2016 dengan kegiatan : (a) persiapan dan penyusunan instrumen kajian, (b) pengumpulan data skunder, (c) survey lapangan, (d) tabulasi dan analisis data, (e) penulisan draft laporan, (f) Seminar dan (g) Perbaikan laporan akhir. Perincian jadwal kegiatan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel. 4.3. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

NO. URAIAN PEKERJAAN Bulan

JUNI JULI AGT SEP OKT NOV

1. Persiapan

2. Survei awal dan pengumpulan data sekunder

3. Laporan pendahuluan

4. Pengambilan data lapangan (Observasi, wawancara dan FGD)

5. Analisis Peta (GIS)

6. Tabulasi, kompilasi dan analisis data

8. Laporan antara

9. Ekspose/seminar hasil kajian

(26)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 21

BAB V

PROGRES PEKERJAAN

5.1. Pengumpulan Data Primer

Progres pekerjaan sampai saat adalah pengumpulan data sekunder dan data primer dar masing-masing Daerah Irigasi yang menjadi sasaran survey. Seluruh anggota Tim mengevaluasi 8 (delapan) Derah Irigasi di Pantai Timur Aceh yaitu :

1. Kabupaten Aceh Besar (Blang Bintang) 2. Kabupaten Pidie (D.I Baro Raya) 3. Kabupaten Pidie Jaya (D.I Mereudu) 4. Kabupaten Biruen (D.I Peudada) 5. Kabupaten Aceh Utara (D.I Pase) 6. Kota Lhokseumawe

7. Kabupaten Aceh Timur (D.I Jambo Reuhat) 8. Kabupaten Aceh Tamiang (D.I Keuteungga)

Selanjutnya, Indikator yang digunakan digunakan adalah angka kuantitatif % untuk menentukan tingkat kerusakan masuk katagori mana kondisi suatu aset ini dapat dilihat seperti Tabel 5.1.

Tabel.5.1. Indikator Kuantitatif Kondisi

Tingkat kerusakan Katagori Kondisi

0 % - 20 % Baik

20 % - 40 % Rusak Ringan

40 % - 80 % Rusak Sedang

80 % - 100 % Rusak Berat

Sumber: Permen PU No. 13/PRT/M/2012

Selain itu juga dapat dipergunakan indikator yang didasarkan atas deskripsi kerusakan, hal ini bisa dilihat seperti Tabel 5.2, 5.3 dan 5.4.

Tabel.5.2. Indikator Deskripsi Kondisi Bangunan Sipil dan Lining

No. Kondisi Kerusakan (salah satu atau semuanya)

1 Baik Retak Rambut

2 Rusak Ringan Retak lebar, tergerus, terkelupas, dan lapuk

3 Rusak Sedang Terlihat besi penulangan, berongga, melendut atau melengkung, bergeser dari tempat semestinya, miring dari seharusnya tegak, sebagian bangunan turun elevasinya, dan terjadi aliran air di bawah pondasi

4 Rusak Berat Seluruh bangunan turun elevasinya dan bangunan roboh

Sumber : Permen PU No. 13/PRT/M/2012

Tabel.5.3. Indikator Deskripsi Kondisi Pintu

No. Kondisi Kerusakan (salah satu atau semuanya)

1 Baik Karatan ringan

(27)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 22

No. Kondisi Kerusakan (salah satu atau semuanya)

3 Rusak Sedang Berlubang dan bocor, karatan berat, batang pengangkat patah, hilang roda / stang pegangan, hilang gigi-gigi pengangkat, Mesin pengangkat rusak,dan mesin pengangkat terbakar

4 Rusak Berat Pintu hancur

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 13/PRT/M/2012

Tabel.5.4. Indikator Deskripsi Kondisi Tanggul Saluran

No. Kondisi Kerusakan (salah satu atau semuanya)

1 Baik Rembes

2 Rusak Ringan Bocor kecil, bocor besar, tergerus dasar dan talud, dan rusak akibat ulah manusia/hewan

3 Rusak Sedang Longsor kearah dalam, longsor kearah luar, dan muka tanggul turun

4 Rusak Berat Tanggul jebol

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 13/PRT/M/2012

Tabel.5.5. Indikator Fungsi Aset

Tingkat kerusakan Katagori Kondisi

0 % - 20 % Baik

20 % - 40 % Kurang

40 % - 80 % Buruk

80 % - 100 % Tidak Berfungsi

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 13/PRT/M/2012

5.2. Tabulasi dan Kompilasi Data

Data yang dikumpulkan dan diperoleh dari lapangan di tabulasi dan dikopilasi untuk menjadi bahan di dalam laporan antara. Temuan dan kendala yang diperoleh di lapangan didiskusikan di internal tim dan disampaikan kepada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura untuk memperoleh masukan.

(28)

Analisis kebutuhan dan kondisi eksisting Jaringan irigasi tersier 23

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pengairan Aceh, 2016. Rencana Kerja Dinas Sumberdaya Air, Aceh.

Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2010. Standar Perencanaan Irigasi Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP - 01.

Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 79/Permen/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Kesesuaian Lahan pada Komoditas Tanaman Pangan.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Permen/OT.140/2/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai Melalui Program Perbaikan Jaringan Irigasi dan Sarana Pendukungnya Tahun Anggaran 2015.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permen/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permen/OT.140/9/2012 tentang Perlindungan, Pemeliharaan, Pemulihan serta Peningkatan Fungsi Lahan Budidaya Holtikultura. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 06/PRT/M/2015 tentang

Eksploitasi dan Pemeliharaan Sumber Air dan Bangunan Pengairan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10/PRT/M/2015 tentang Rencana dan Rencana Teknis Tata Pengaturan dan Tata Pengairan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 12/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015 tentang Kriteria Penetapan Status Daerah Irigasi.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/PRT/M/2015 tentang Komisi Irigasi.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/PRT/M/2015 tentang Iuran Eksploitasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengairan.

Priyonugroho, A., 2014. Analisis Kebutuhan Air Irigasi (Studi Kasus Pada Daerah Irigasi Sungai Air Keban Daerah Kabupaten Empat Lawang), Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Vol.2.No.3, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang.

Referensi

Dokumen terkait

Agar suatu pabrik berjalan dengan baik di samping tersedianya alat-alat proses yang lengkap dan bahan baku yang dipergunakan, diperlukan juga tenaga kerja guna menjalankan proses

LAJU PERTUMBUHAN MENURUN DENGAN BERTAMBAHNYA UKURAN TUBUH (UMUR) DAN UMUR MEMPENGARUHI KEBUTUHAN ENERGI...

Kontribusi adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh Peserta melalui Pemegang Polis kepada Kami, sehubungan dengan diadakannya Sertifikat Asuransi, yang bersifat sekali bayar

Tulisan ilmiah merupakan hasil pemikiran bersifat ilmiah tentang disiplin ilmu tertentu yang disusun secara sistematis, benar, logis, utuh, dan bertanggung jawab, serta

Sebaliknya bila R semakin besar (semakin jauh dari muatan) maka kuat medan listrik semakin kecil dan jarak antara garis juga semakin jauh. G) Berdasarkan program awal pada poin

Dalam grand design pengembangan perpustakaan digital Pustaka Bogor tersebut digambarkan bahwa dalam pengembangannya diperlukan satu kesatuan dukungan dari lima elemen utamanya,

Pengujian regresi berganda dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel X (Bauran pemasaran jasa Hotel Posters, yang terdiri dari produk, harga, tempat