• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. Bahasa merupakan sarana penyampaikan pesan. Sastra menyampaikan. penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra sehingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. Bahasa merupakan sarana penyampaikan pesan. Sastra menyampaikan. penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra sehingga"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Bahasa Figuratif dalam Stilistika 1. Pengertian Stilistika

Bahasa merupakan sarana penyampaikan pesan. Sastra menyampaikan pesan secara indah. Oleh karena itu, bahasa dan sastra merupakan dua hal berkaitan erat. Sementara itu, ilmu tentang bahasa dalam sastra disebut stilistika. Secara sederhana, stilitistika dimaknai sebagai ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra sehingga bahasa merupakan bahan utama kajian stilistika.

Kajian stilistika akan selalu terkait dengan bahasa secara menyeluruh terhadap sastra khususnya, meskipun sebenarnya stilistika dapat ditujukan pada beberapa ragam penggunaan bahasa yang tidak terbatas pada sastra saja. Pengkajian terhadap stilistika akan membantu pemahaman terhadap

(2)

karya sastra sekaligus menyadarkan bahwa pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai sarana mengungkapkan makna.

Analisis stilistika karya sastra berfungsi untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi dan maknanya. Analisis stilistika berusaha mengganti subjektivitas dan impresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang lebih objektif dan ilmiah.

Secara etimologis stylistic berkaitan dengan style. Arti style adalah gaya. Oleh karena itu, stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra (Sayuti via Jabrohim, 2001: 172).

Stile merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu style. Pada hakikatnya, stile merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri di pihak lain juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya sastra.

Stile merupakan cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seseorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981:190-1) via (Nurgiyantoro, 2009: 276). Stile

(3)

ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain. 2. Bahasa Figuratif dalam Stilistika

Wujud unsur stile dalam stilistika terdiri atas: unsur lesikal, unsur gramatikal, retorika, dan kohesi. Retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf, 2007: 1).

Retorika berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang menyangkut masalah pilihan kata, kata ungkapan, struktur kalimat, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan dan lain-lain yang semuanya disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan.

Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya (Nurgiyantoro, 2009: 295).

Retorika terbagi atas pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan. Unsur stile yang berwujud retorika sebagaimana dikemukakan Abrams (1981: 193) via Nurgiyantoro (2009: 296) meliputi bahasa figuratif (figurative language) dan wujud pencitraan (imagery).

3. Unsur Bahasa Figuratif a. Pemajasan

(4)

Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menunjuk pada makna harafiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.

Dalam memahami bahasa kias, kadang-kadang memerlukan perhatian yang khusus untuk menangkap pesan pengarang. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan, dengan demikian merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yaitu penyimpangan makna.

Keraf (2007), via Nurgiyantoro (2005: 298) membedakan gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya retoris adalah gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang mengandung unsur kelangsungan makna. Sebaliknya, gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya.

Pemilihan dan penggunaan bentuk kiasan bisa saja berhubungan dengan selera, kebiasaan, kebutuhan, dan kreativitas pengarang. Bentuk-bentuk pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah bentuk perbandingan atau persamaan, yaitu yang

(5)

membandingkan sesuatu dengan yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang berupa ciri fisik, sifat, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya.

b. Penyiasatan Struktur

Keefektifan sebuah wacana sangat dipengaruhi oleh bangunan struktur kalimat secara keseluruhan, bukan semata-mata oleh sejumlah bangunan dengan gaya tertentu. (Nurgiyantoro, 2009: 300).

Pembicaraan tentang struktur kalimat sebagai bagian retorika lebih ditujukkan pada bangunan struktur kalimat yang menonjol, yaitu bentuk penyimpangan yang sengaja disusun secara demikian oleh penulisnya untuk memperoleh efek tertentu, khususnya efek estetis. Bentuk penyimpangan tersebut lebih dikenal dengan penyiasatan struktur.

Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat. Salah satu gaya yang banyak digunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentuk kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk lainnya, antara lain: repetisi, anafora, polisindenton, pertanyaan retoris, paradoks, tautologi, pleonasme, dan enumerasi.

4. Jenis Bahasa Figuratif

Nurgiyantoro (2009: 296) menyatakan bahwa pembedaan bahasa figuratif sejalan dengan pembagian Keraf (2007: 124-145) yang

(6)

membedakan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan langsung tidaknya makna. Oleh karena itu, pembahasan penjelasan tentang jenis bahasa figuratif mengambil pendapatnya Keraf (2007). Menurut Keraf (2007: 113-115), secara umum gaya bahasa merupakan sarana yang sengaja atau tidak disengaja ditulis penulis dalam mengekspresikan karyanya. Gaya bahasa yang baik mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

Adapun pembagian gaya bahasa berdasarkan permajasan dan struktur kalimat, sebagai berikut:

a. Jenis Pemajasan 1) Simile

Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. (Keraf, 2007: 138). Gaya bahasa simile dikenal juga dengan istilah gaya bahasa perumpamaan. Gaya bahasa ini mengungkapkan sesuatu dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dan sebagainya.

Contoh: Wajahnya pucat bagaikan bulan kesiangan. Wajah

yang pucat diibaratkan dengan bulan yang kesiangan yang telah puda sinarnya (pucat).

Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau dibandingkan, seperti:

(7)

Bagai air di daun talas Bagai duri dalam daging

2) Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. (Keraf, 2007: 139).

Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, laksana, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsing dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok utama dihilangkan.

Salah satu ciri metafora yaitu dengan hilangnya kata: seperti layaknya, bagaikan, dan sebagainya. Contoh: Jangan menjadi

sampah masyarakat (orang yang tidak berguna). Sampah masyarakat langsung disebutkan tanpa kata penghubung seperti, layaknya, dan sebagainya.

Contoh lain: Generasi muda adalah tulang punggung negara

(generasi muda dianalogikan dengan tulang punggung). 3) Hiperbola

(8)

berlebihan. (Keraf, 2007: 135). Gaya bahasa hiperbola melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Contoh: Suaranya tak kalah dengan guruh yang

berkumandang. Suara guruh sangat keras, sementara suara

manusia sebenarnya tidak sekeras guruh. Akan tetapi, ketika dikatakan suaranya seperti guruh berarti suaranya keras.

Contoh lain: Hatiku hancur mengenang dikau,

berkeping-keping jadinya.

4) Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 2007: 140).

Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbicara seperti manusia. Personifikasi digunakan untuk menghidupkan suasana. Gaya bahasa ini mengungkapkan sesuatu dengan memberikan sifat dan tindak tanduk manusia kepada benda mati atau tidak bernyawa. Seolah-olah benda mati atau tidak bernyawa tersebut seperti manusia.

Contoh: Nyiur melambai di tepi pantai. Biasanya manusia

(9)

Angin mendesah, mengeluh, dan mendesah (Surat Cinta, W.S. Rendra).

5) Hipokronisme

Hipokronisme merupakan gaya bahasa berisi ungkapan atau sapaan yang menunjukkan hubungan karib. Contoh: Boy, ayo kita

berangkat! (panggilan akrab di daerah Melayu). Di daerah Jawa

ada ungkapan Dab sebagai panggilan akrab. Di daerah Jakarta (kota metropolitan) ada ungkapan bro untuk menapa teman akrab. Kata bro berasal dari bahasa Inggris, brother (saudara laki-laki). 6) Alusio

Alusio semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. (Keraf, 2007: 141). Gaya bahasa alusio menggunakan ungkapan yang sudah dikenal dalam masyarakat.

Ungkapan tersebut tidak diselesaikan karena masyarakat sudah mengenalnya. Contoh: Kura dalam perahu (Maksudnya pura-pura tidak tahu). Jika diuraikan:

Kura-kura dalam perahu Pura-pura tidak tahu

Contoh lain: Memberikan barang atau nasihat seperti itu kepadanya, engkau seperti memberikan bunga kepada seekor kera.

(10)

Sinekdoke adalah suatu yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke yaitu semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal yang menyatakan keseleuruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum

pro parte).

a) Contoh sinekdoke pars pro toto: Lima ekor kambing telah

dipotong pada acara itu.(Yang dipotong dalam acara

b) Contoh Sinekdoke totem pro parte: Dalam pertandingan itu

Indonesia menang satu lawan Malaysia.

8) Sarkasme

Sindiran langsung dan kasar. Contoh: Bangsat! Kau

memang pantas mendapatkannya! Gaya bahasa ini terkadang

terucap tanpa sadar saat marah atau emosi.

9) Depersonifikasi

Gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insan. Biasanya memanfaatkan kata-kata: kalau, sekiranya, jikalau, misalkan, bila, seandainya, seumpama. Contoh: Kalau engkau jadi bunga, aku jadi

tangkainya. Contoh: Engkaulah bulanku, pelita malamku.

10) Metonimia

Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama.

(11)

Dengan demikian, metonimia adalah gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata yang menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. (Keraf, 2007: 142).

Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Contohnya: Ibu pergi

ke Jakarta bersama Garuda. Maksudnya Ibu pergi ke Jakarta

menggunakan layanan jasa pesawat udara yang bernama Garuda. Jika ada anak sekolah yang diantar ibunya dengan mobil merek kuda. Bisa dikatakan: Ia pergi ke sekolah naik kuda.

Contoh lain: Ke mana pun ia pergi, ia tak pernah lepas dari Chairil Anwar (Chairil Anwar adalah nama penyair pembaharu angkatan 1945).

11) Antonomasia

Gaya bahasa antonomasia menggunakan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis. Contoh: Si cerewet itu sudah datang! Si Cerewet untuk menggantikan nama Ratna (atau nama yang lain) yang sifatnya cerewet.

Contoh lain adalah: Si Pandir, Si Cerdik, Sang Kancil, dan sebagainya.

12) Ironi

(12)

dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. Contoh: Masih benar teh yang Adik buatkan sampai-sampai semut pun enggan mendekat! (maksudnya pahit).

Gaya bahasa ironi bermaksud menyindir, tapi dengan cara yang halus. Contoh lain: Maaf, Ibu. Tulisan Ibu terlalu besar

sehingga saya tidak dapat membacanya. (Kenyataannya, tulisan

bu guru terlalu kecil.

Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud sebenarnya. (Keraf, 2007: 143)

13) Sinisme

Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia. Keraf (2007: 143) menyebut sinisme adalah ironi ang lebih kasar sifatnya. Contoh Ironi: Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya. Contoh ironi diubah lebih kasar menjadi contoh sinisme, yaitu Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!

(13)

Contoh lain: Memang anda adalah seorang gadis tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. (Contoh ini diambil dari ironi: Saya tahu Ada adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat).

b. Jenis Penyiasatan Struktur 1) Repetisi

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. (Keraf, 2007: 127).

Gaya bahasa ini banyak digunakan oleh penulis prosa. Contoh: Aku sangat menyayangi dan sangat mengasihimu!

Contoh lain: ‖Salah, salah, angin dari sana. Kamu tukar

tempat,‖ teriaknya. (Jalan tak Ada Ujung, Mochtar Lubis).

2) Klimaks

Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. (Keraf, 2007: 124).

Klimaks merupakan pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/ kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/ lebih penting. Contohnya: Saya

(14)

menabung sedikit demi sedikit untuk membiayai haji, mulai dari

lima puluh ribu, seratus ribu, hingga lima ratus ribu rupiah.

Contoh lain: Lalu ia berjalan, mendekat, bersimpuh di

samping makam yang bertahun-tahun ia terlantarkan.

(Rendezvous, Agus Noor).

3) Antitesis

Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata-kata yang berlawanan. Gaya bahasa ini timbul dari kalimat yang berimbang. Contohnya:

a) Mereka sudah kelihangan banyak harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntunganya daripadanya.

b) Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara.

B. Fungsi Bahasa Figuratif

Secara umum, gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar. Maksudnya gaya bahasa dapat membuat pembaca atau pendengar semakin yakin dan percaya terhadap apa yang disampaikan penulis. Selain itu, gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk menciptakan keadaan perasaan hati tertentu. Maksudnya gaya bahasa

(15)

dapat menjadikan pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, misalnya kesan baik atau buruk, senang, tidak enak dan sebagainya setelah mengetahui tentang apa yang disampaikan penulis.

Fungsi gaya bahasa lainnya yaitu sebagai alat untuk memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan. Maksudnya gaya bahasa dapat membuat pembaca atau pendengar terkesan terhadap agasan yang disampaikan penulis atau pembicara.

Dalam karya sastra, gaya bahasa akan memperindah, menghidupkan, menyangatkan, mengejek, mengkonkretkan, memadatkan, dan mengintensifkan karya sastra. Hal ini disebabkan karena bahasa sastra ditulis untuk memperoleh efektivitas pengungkapan sehingga bahasa disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga bahasa sastra tampil dengan sosok yang berbeda bahasa nonsastra. (Nurgiyantoro, 2009: 271).

1. Menurut Burhan Nurgiyantoro

Gaya bahasa sebagai bagian dari unsur instrinsik novel berkaitan erat unsur instrinsik novel lain, yaitu tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan nilai. Mindrop (2005: 58) mengatakan karakterisasi tokoh bisa dilakukan menggunakan gaya bahasa, khususnya simile, metafor, personifikasi, dan simbol. Dengan demikian, gaya bahasa difungsikan untuk memperkuat karakter tokoh.

(16)

Menurut Nurgiyantoro (2009: 296), gaya bahasa bertujuan menentukan kadar kesastraan karya yang bersangkutan. Kadar kesastraan tentang unsur kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan. Selain itu, gaya bahasa diharapkan membangkitkan suasana dan kesan tertentu serta bertujuan mendapatkan tanggapan bahwa kehadiran gaya bahasa mampu menjadikan suatu karya sastra, khususnya novel menjadi lebih hidup dan indah.

2. Menurut Keraf

Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna disebut trope atau figurate of speech, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa yang terkandung dalam ejaan, pembentukkan kata, konstruksi (kalimat, klausa, frasa) atau aplikasi istilah untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Dengan demikian fungsi gaya bahasa yang dimaksud Keraf, sebagai berikut:

a. menjelaskan, b. memperkuat,

c. menghidupkan objek mati, d. menstimulasi asosiasi, e. menimbulkan gelak ketawa, f. untuk hiasan.

(17)

Dari uraian di atas, fungsi gaya bahasa dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dianalisis berdasarkan fungsinya terhadap unsur instrinsik lainnya dalam novel dikaitkan dengan fungsi yang disampaikan Nurgiyantoro dan Keraf.

C. Pembelajaran Sastra dan Materi Pembelajaran Gaya Bahasa Novel 1. Pembelajaran Sastra

Rahmanto (1992, 16-25) menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh dalam beberapa hal, yaitu:

a. membantu keterampilan berbahasa, khususnya keterampilan membaca dan ditambah sedikit keterampilan menulis, menyimak, dan berbicara, b. meningkatkan pengetahuan budaya, yaitu sesuai fungsi sastra untuk

menghapus kesenjangan pengetahuan dari berbagai sumber dan menggalangnya menjadi satu gambaran yang berarti,

c. mengembangkan sifat dan rasa yang mengangkut kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan religious,

d. menunjang pembentukan watak, yang memiliki dua tuntutan yaitu: 1) pengajaran sastra harus membina perasaan yang lebih tajam, 2) pengajaran sastra dapat memberikan bantuan dalam usaha

mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa.

Menurut Endraswara (2002: 28-29) yang penting dalam memilih bahan pengajaran sastra yaitu mempertimbangkan aspek berkut:

(18)

a. Pertimbangan dari subjek didik yang meliputi perkembangan psikologis, pertimbangan lingkungan (daerah tempat tinggal subjek didik, masyarakat tempat mereka hidup, lingkungan orang tua, dan situasi waktu yang melingkupi kehidupan subjek didik).

b. Pertimbangan aspek materi kesastraan, terdiri atas dari : (a) keragaman sastra, (b) latar perkembangan sastra, (c) pertimbangan estetik, (d) pertimbangan kebahasaan, dan (e) pertimbangan kegiatan penunjang apresiasi sastra.

2. Materi Pembelajaran Gaya Bahasa dalam KTSP

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang

(19)

kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian.

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam KTSP, materi gaya bahasa merupakan salah satu bagian dari unsur intrinsik novel. Oleh karena itu, implikasi dari hasil penelitian tentang bahasa figuratif bersifat pengayaan yang akan menambah khazanah pemahaman siswa akan gaya bahasaDi bawah ini adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terkait dengan materi gaya bahasa dan novel.

a. Materi Kelas XI Semester 1 Aspek : membaca Standar Kompetensi :

7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan Kompetensi Dasar :

7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Indonesia/terjemahan b. Kelas XI, Semester 2

Aspek : membaca Standar Kompetensi :

15. Memahami buku biografi, novel, dan hikayat Kompetensi Dasar :

(20)

15.1 Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh

15.2 Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat

c. Kelas XII, Semester 1

Aspek : mendengarkan

Standar Kompetensi : 5. Memahami pembacaan novel Kompetensi Dasar :

5.1 Menanggapi pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan

5.2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel.

3. Novel

Nurgiyantoro (2005: 15) menyatakan novel merupakan karya yang bersifat realistis dan mengandung nilai psikologi yang mendalam sehingga novel dapat berkembang dari sejarah, surat-surat, bentuk-bentuk nonfiksi atau dokumen-dokumen dan secara stilistik menekan pentingnya detail dan bersifat mimesis.

Secara umum, novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai

(21)

alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.

Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka dan yang terpenting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel baik punya fungsi sosial, sedang novel hiburan hanya berfungsi personal.

Adapun ciri-ciri novel yaitu: 1) sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman, 2) bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang, 3) penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri), 4) tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut, 5) Karakter tokoh utama sebagai tokoh statis atau tokoh dinamis.

(22)

Penelitian yang relevan dengan judul penelitian Analisis Bahas Figuratif dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata sebagai alternatif Materi Pembelajaran Gaya Bahasa adalah penelitian dengan judul Gaya Bahasa dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy yang ditulis oleh Siskha Dhewi (Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta).

Dalam penelitiannya, Dhewi membahas tentang jenis gaya bahasa, gaya bahasa yang dominan, dan fungsi gaya bahasa yang terdapat dalam novel yang ditulis Abidah El Khalieqy. Penelitian yang diselesaikan tahun 2006 ini membahas gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya makna (Keraf). Gaya bahasa dalam novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy yaitu hiperbola, personifikasi, simile, metafora, metonimia, asidenton, repetisi, ironi, sinisme, sarkasme, retoris, dan sebagainya.

Adapun fungsi gaya bahasa dalam novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy yaitu: 1) untuk mengkonkretkan sesuatu yang bersifat abstrak, 2) untuk menghidupkan gambaran, 3) untuk memadatkan arti, 4) untuk mengintensifkan pernyataan, 5) untuk menyangatkan sesuatu, 6) untuk mengejek atau menyindir, dan 7) untuk menimbulkan efek keindahan.

Referensi

Dokumen terkait

kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Hubungan Kadar Bilirubin

Berdasarkan rasio polen- ovul yang tampak pada jenis-jenis flora invasif: Rhodomyrtus tomentosa sistem polinasinya mendekati xenogami, Lantana camara, sistem polinasinya

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang yang telah di uraikan di atas maka tujuan dan manfaat dari dilakukannya pengembangan produk ini adalah: (1) mendapatkan produk

keluarga, teman sebaya, lingkungan dengan agresivitas remaja pada siswa XI di. SMK Panca

Layanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok yang

1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah

Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Profesional Guru Terhadap Prestasi Belajar yang Dimediasi oleh Motivasi Belajar Siswa (Studi pada Kelas X Mata Pelajaran

Memasuki hari ke-2 pelaksanaan Kejuaraan Nasional Bridge antar Provinsi ke-54 dikota “sebiduk semare” LubukLinggau, kelas B sudah mnyelesaikan babak penyisihan Tim