A. Latar Belakang Masalah
World Health Organization (2009) menunjukan bahwa dari 7,2 milyar
penduduk dunia populasi remaja merupakan populasi yang besar dengan jumlah
mencapai ± 1,2 milyar. Sehingga satu dari lima orang didunia ini adalah remaja.
Menurut Badan Pusat Statistik (2010), penduduk Indonesia sebanyak 237 juta jiwa
dan 26,8% atau 40 juta jiwa adalah remaja berusia 10 sampai 19 tahun.
Berdasarkan Angka Sementara Proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah
penduduk Jawa Tengah pada tahun 2012 tercatat sebesar 33,27 juta jiwa sekitar
13,52 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Masa yang paling rentan bagi kehidupan individu adalah pada masa remaja,
karena pada masa ini individu mengalami krisis identitas. Masa remaja adalah
masa transisi dari anak - anak menuju dewasa. Monks (2002) membedakan masa
remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja
awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir
18 – 21 tahun. Sedangkan menurut Hurlock (2011) remaja adalah mereka yang
berada pada usia 12-18 tahun.
Menurut Santrock (2003) bahwa adolescene diartikan sebagai masa
kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi
remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan
hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar
mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi over acting dan
energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Perubahan ini terutama
disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hormonal. Namun
menurut Hurlock (2011) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap
perubahan emosi pada masa remaja lebih berpengaruh bila dibandingkan dengan
pengaruh hormonal. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu
perkembangan emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan
tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan
keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi ketidaknyamanan
emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang merespon dengan cara defensif,
sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksi yang diberikan
biasanya seperti : agresif dan melarikan diri dari kenyataan.
Selain itu pada masa remaja mereka cenderung melepaskan ikatan dari orang
tua dan beralih pada teman sebaya untuk besosialisasi. Remaja-remaja tersebut
dituntut untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang memiliki karakter
sebayanya yang agresif dan terlibat dalam perilaku agresif sebagai cara untuk
memperoleh pengakuan dari teman sebayanya. Demikian pula bila anggota
kelompok mencoba minum alkohol, obat –obatan terlarang atau merokok, tawuran,
dan sebagainya. Maka cenderung remaja mengikutinya tanpa memperdulikan
akibatnya (Hurlock, 2011).
Dalam berbagai acara liputan kriminal di televisi misalnya hampir setiap hari
selalu ada pemberitaan mengenai tindak kriminalitas dikalangan remaja. Hal ini
cukup meresahkan, dan fenomena ini terus berkembang di masyarakat. Dalam satu
liputan diharian Republika (2007) misalnya dikatakan bahwa diwilayah Jakarta
tidak ada hari tanpa tindakan kekerasan dan kriminalis yang dilakukan remaja.
Tentu saja tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi
mulai dari tawuran antar sekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga
pemerkosaan.
Angka kriminalitas di Jakarta pada 2002 meningkat sebesar 9,86 % jika
dibandingkan tahun 2001 ( Kompas, 2013). Sedangkan harian Republika (2015)
leih berani mengatakan bahwa hamper 40% tindak kriminalitas dilakukan oleh remaja. Data peristiwa agresivitas pada remaja di Jawa Tengah juga mengalami
peningkatan. Data crime indeks Polda Jateng, mencatat selama 2011 terdapat
sebanyak 18 kasus kenakalan remaja, padahal tahun 2010 hanya 10 kasus. Angka
tersebut mengidentifikasi jika agresivitas remaja tahun 2011 agresivitas remaja
akhir tahun 2012 yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
PA) menunjukan angka memprihatikan, sebanyak 82 pelajar tewas dari 147 kasus tawuran sepanjang tahun 2012 ( Kuwado, 2012).
Saripudin (2009) memaparkan faktor yang menjadi pencetus dari agresivitas
remaja adalah faktor biologis dan lingkungan. Salah satunya adalah agresivitas
remaja yang berkaitan dengan keluarga. Seperti halnya banyaknya fenomena
dilingkungan masih banyak dijumpai kasus – kasus agresivitas remaja yang
bertentangan dengan norma yang berlaku yaitu tawuran antar kelompok remaja
salah satu faktor pemicunya perselisihan diantara dua remaja yang melibatkan
kelompoknya masing – masing.
Akibatnya dari tawuran tersebut bisa menyebabkan kejadian fatal yaitu
sampai adanya korban meninggal dunia. Aksi tawuran tersebut semakin hari
semakin mengkhawatirkan. Peristiwa meninggalnya seseorang tidak menjadikan
para remaja menjadi jera, karena tawuran antar siswa terjadi karena budaya
kekerasan mengakar dan karena adanya tekanan masalah dikeluarga, sekolah dan
lingkungan. Dari hal tersebut berakibat ke anak remaja yang melihat para senior,
orang tua, pejabat, dan masyarakat menyukai kekerasan sebagai solusi masalah.
Media masa juga berperan dengan menggencarkan pemberitaan kekerasan. Siswa
menjadi memahami bahwa kekerasan adalah solusi setelah mereka melihat apa
pencarian identitas. Meskipun orang dewasa menganggap tawuran pelajar hal yang memprihatinkan, bagi pelajar, tawuran adalah simbol kebanggaan. (Kompas, 2013)
Menurut Devie (2013) salah satu penyebab utama tawuran kemudian menjadi
tradisi karena adanya perselisihan yang menahun antar-sekolah. Menurut
Metrotvnews (2007) menuliskan bahwa salah satu gejala umum tawuran antar
pelajaran yang dapat ditemui dalam masyarakat adalah agresivitas yang melibatkan
siswa SMA dan siswa SMK. Kompas (2013) juga menyebutkan bahwa tawuran
lebih identik dengan anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK/STM) karna hampir
semua muridnya laki-laki.
Pendapat diatas di dukung dengan adanya data aksi tak terpuji dari pelajar
dua SMK yaitu SMK Cokroaminoto 2 dan SMK Panca Bakti. Ratusan pelajar kedua sekolah itu, Jum’at (19/03) terlibat saling berbalas menggeruduk, dan hampir
terjadi tawuran dan bentrok. Selain kejadian diatas kejadian serupa juga terjadi
pada tahun 2013 yaitu adanya tindakan agresif yang dilakukan siswa SMK
Cokroaminoto 2 kepada siswa SMK Panca Bhakti seperti menantang untuk
berkelahi. selain itu mereka juga membawa barang yang berbahaya seperti kayu
maupun bambu (Banyumasnews, 2010).
Penelitian ini akan dilakukan pada anak usia remaja pertengahan rentang usia
15 - 18 tahun yang bertepatan dengan masa sekolah SMK. Dari data diatas peneliti
memilih akan melakukan penelitian di SMK Panca Bhakti Banjarnegara dan
guru BK ( Bimbingan Konseling ) siswa yang paling banyak melakukan
perlawanan disiplin seperti tidak berangkat sekolah berada pada kelas XI. Peneliti
juga melakukan wawancara kepada 10 siswa, dan peneliti mendapatkan hasil 8
dari 10 anak termasuk agresif seperti mengejek, berkata kasar dan kotor yang
bertujuan melukai orang lain. Dari data tersebut peneliti ingin mengetahui apakah
hubungan fungsi keluarga, teman sebaya dan lingkungan terhadap agresivitas
remaja pada siswa kelas XI di SMK Panca Bhakti Banjarnegara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah
yaitu “Apakah ada hubungan antara fungsi keluarga, teman sebaya dan lingkungan
terhadap agresivitas remaja pada siswa kelas XI di SMK Panca Bhakti Banjarnegara”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
hubungan fungsi keluarga, teman sebaya dan lingkungan terhadap agresivitas
remaja pada siswa kelas XI di SMK Panca Bhakti Banjarnegara.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan karakteristik remaja yaitu umur dan jenis kelamin di
b. Mendeskripsikan fungsi keluarga, teman sebaya dan lingkungan pada
remaja di SMK Panca Bhakti Banjarnegara.
c. Menggambarkan agresivitas remaja pada remaja di SMK Panca Bhakti
Banjarnegara.
d. Menganalisis hubungan antara fungsi keluarga terhadap agresivitas
remaja
e. Menganalisis hubungan teman sebaya terhadap agresivitas remaja
f. Menganalisis hubungan lingkungan terhadap agresivitas remaja.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti
Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah
didapatkan selama proses pendidikan serta guna menambah pengalaman
dalam melakukan penelitian ilmiah.
b. Bagi institusi pendidikan
Sebagai sarana menambah ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi
mahasiswa maupun pendidik.
c. Bagi responden
Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi responden (remaja)
sebagai informasi bahwa agresivitas remaja yang tidak tersalurkan pada
E. Penelitian Terkait
Berdasarkan sepengetahuan peneliti, selama ini belum ada penelitian yang
serupa dengan yang dilakukan oleh peneliti yaitu mengenai hubungan fungsi
keluarga, teman sebaya, lingkungan dengan agresivitas remaja pada siswa XI di
SMK Panca Bhakti Banjarnegara. Tetapi penelitian yang hampir serupa yaitu :
1. Rosqi’ah (2009) berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan
Kenakalan Remaja di SMA Negeri 1 Cilacap. Responden sebanyak 83 siswa,
dengan metode korelasi pendekatan cross sectional. Hasil penelitian
menunjukan pola asuh orang tua demokratis (68,8 %), otoriter (18,3 %), dan
permitif (12,9%), kenakalan remaja sebagian besar termasuk dalam kategori
terisolir (39,85%), neurotik (26,9%), defek moral (18,3%), psikotik (15,1%),
dengan uji chi square terdapat hasil ada hubungan antara pola asuh orang tua
dengan kenakalan remaja (p=0,027). Perbedaan penelitian terdahulu dengan
sekarang adalah dari variabel independent maupun dependent, waktu, tempat
serta pembahasanya. Sedangkan persamaan antara penelitian terdahulu
dengan sekarang yaitu tema tentang remaja dan tingkatan remajanya.
2. Laela Siddiqah (2010) berjudul ”Pencegahan dan Penanganan Perilaku
Agresif Remaja Melalui Pengelolaan Amarah (Anger Management)”.
Penelitian terkait tersebut menguji efektivitas dari program manajemen
kemarahan untuk mengurangi agresi pada remaja berisiko. Melalui
mengelola kemarahan dan menghadapi situasi provokatif tanpa agresi .
Penelitian tersbut menggunakan penelitian eksperimen dimana ada 2
kelompok masing- masing terdiri dari 14 peserta.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada desain
penelitian menggunakan desain kuantitatif sedangkan pada penelitian terkait