• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alih Kode Bahasa Sunda Ke Bahasa Indonesia Di Desa Petapahan Jaya Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alih Kode Bahasa Sunda Ke Bahasa Indonesia Di Desa Petapahan Jaya Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep yang digunakan ialah alih kode dan masyarakat di Desa Petapahan Jaya.

2.1.1 Alih Kode

Indonesia memiliki bahasa Indonesia dan ragam bahasa daerah, dengan begitu kita mengetahui bahwa orang-orang telah mampu berbahasa lebih dari satu bahasa. Seseorang yang akan menggunakan lebih dari satu bahasa tentu disebabkan keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain secara mudah.

Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa di dalam masyarakat dwibahasawan, artinya di dalam masyarakat dwibahasawan hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa yang digunakan pada kegiatan sehari-hari, tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur lain. Seseorang dapat menjadi individu bilingual bukan melalui pengajaran dan pembelajaran formal melainkan melalui interaksi langsung dengan kelompok etnik lain yang memiliki bahasa yang berbeda dengan orang itu Fishman (dalam Rahardi, 2010:10).

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain Suwito (dalam Rahardi, 2010:24).

(2)

7

Menurut KBBI (2008:885) masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Masyarakat di desa Petapahan Jaya menggunakan bahasanya sesuai dengan asal daerah masyarakat tersebut. Bahasa yang ada di desa ini berjumlah delapan bahasa. Delapan bahasa yang ada terdiri atas delapan suku yaitu: suku Aceh yang berjumlah 15 orang, suku Batak 255 orang, suku Melayu berjumlah 25 orang, suku Minang berjumlah 20 orang, suku Sunda berjumlah 520 orang, Jawa berjumlah 1.804 orang, Madura berjumlah 10 orang, dan terakhir adalah suku Banjar yang berjumlah 11 orang. Maka, jumlah keseluruhan penduduk di desa Petapahan Jaya berjumlah 2.710 orang yang terdapat 12 RT dan 5 RW. Awalnya dihuni pada tahun 1984 yang penduduknya sebagian besar berasal dari Rokan dan pulau Jawa.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik menurut Chaer dan Leonie (2004:2) merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang memunyai kaitan sangat erat. Sosiologi merupakan kajian mengenai manusia di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik merupakan kajian baik berupa fonem, morfem, kata, dan kalimat. Pemakaian bahasa yang dipakai tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik saja, tetapi didukung oleh faktor nonlinguistik juga, antara lain faktor-faktor sosial misalnya, status sosial, tingkat pendidikan, umur, dan jenis kelamin.

(3)

8

seseorang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak dipandang lagi sebagai bahasa individu melainkan merupakan suatu kelompok sosial.

Dengan demikian sosiolinguistik merupakan suatu kajian dengan objek penelitian hubungan pemakaian bahasa di dalam masyarakat penuturnya. Seperti rumusan yang dikatakan oleh Fishman (dalam Chaer dan Leonie 2004:7) bahwa dalam sosiolinguistik akan memengaruhi bahasa dan pemakaiannya yaitu terdiri dari: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan masalah apa. 2.1.3 Alih Kode

Kontak yang terjadi terus-menerus antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung mengakibatkan gejala kebahasaan yang disebut alih kode. Alih kode menurut Chaer dan Leonie (2004:107) adalah suatu peristiwa pergantian bahasa, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau ragam resmi ke ragam santai.

Kode dapat didefenisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya memunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang, penutur, relasi penutur, dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada (Rahardi, 2010:25). Sama halnya Suwito (dalam Rahardi, 2010:25) mengatakan bahwa kode merupakan salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Memperkuat mengenai kode, maka penulis mengutip pendapat sarjana Linguistik seperti Harimurti Kridalaksana (1984:102):

1. Lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode.

(4)

9

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kode merupakan jenis varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat disesuaikan dengan situasi pada setiap suku yang ada. Sedangkan alih kode adalah pertukaran dari satu bahasa ke bahasa lain, atau pertukaran dari satu variasi bahasa ke variasi bahasa lain dalam bahasa yang sama. 2.2.2.1 Jenis-jenis Alih Kode

Suwito dalam Chaer (2004:114) membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode internal dan alih kode ekternal.

1. Alih kode internal adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri. Misalnya, bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.

2. Alih kode eksternal adalah alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Misalnya, bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Jenis alih kode menurut Spolsky (1998:50) yaitu alih kode metaforis. Merupakan alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik pembicaraan. Misalnya jika A dan B adalah teman satu kuliah, awalnya mereka menggunakan ragam bahasa resmi dalam diskusi perkuliahan. Setelah diskusi selesai mereka kemudian mengganti topik pembicaraan mengenai kos, karena kebetulan mereka adalah teman satu kos. Pergantian topik ini memengaruhi pergantian bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah. Kebetulan A dan B tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Pada contoh ini terjadi perubahan topik dari urusan perkuliahan berubah menjadi masalah kos sehingga termasuk alih kode.

(5)

10

Adapun faktor-faktor terjadinya alih kode menurut Abdul Chaer (Chaer dan Leonie 2004:108)

1. Pembicara atau penutur 2. Pendengar atau lawan tutur

3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga 4. Perubahan dari formal ke informal

5. Pergantian topik pembicaraan

Selain hal lima di atas yang secara umum dikemukakan, maka ada faktor lain terjadinya alih kode. Terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia menurut Widjajakusumah 1981 (Chaer dan Leonie 2004:112) yaitu:

1. Kehadiran orang ketiga

2. Perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis 3. Beralihnya suasana bicara

4. Ingin dianggap “terpelajar” 5. Ingin menjauhkan jarak

6. Menghindarkan adanya bentuk kasar dan bentuk halus dalam bahasa Sunda 7. Mengutip pembicaraan orang lain

8. Terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia 9. Mitra berbicaranya lebih muda

10.Berada di tempat umum

11.Menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda 12.Beralihnya media/sara bicara

2.1.4 Bilingualisme

(6)

11

bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Menentukan seseorang itu bilingual atau tidaknya, maka ada batasan-batasan mengenai bilingualisme yang dikemukakan oleh beberapa pakar.

Menurut Blommfield bilingualisme adalah Native like control of two languages yang berarti adalah penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa.

Bilingualisme yang dikatakan oleh Bloomfield ini dipandang merupakan salah satu tingkat yang paling tinggi. Sedangkan Weinreich (dalam Umar, 1993:8) yang mengatakan kedwibahasaan dibatasi sebagai praktek pemakaian dua bahasa secara bergantian, tetapi batasan tidak disyaratkan tingkat penguasaannya.

Berbeda dengan Haugen 1961 (Chaer dan Leonie, 2004:86) mengatakan “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Maksudnya tidak perlulah dwibahasaan menggunakan kedua bahasanya, cukuplah ia mengetahui kedua bahasa itu. Dengan begitu bahwa bilingualisme yaitu kemampuan memahami, mengerti dengan dua bahasanya yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua. Sedangkan yang dimaksud dengan memahami dan mengerti merupakan suatu keadaan seseorang menguasai bahasanya paling rendah atau pada tahap mengenal saja sudah dapat disebut dengan bilingualisme, dengan begitu peneliti lebih memfokuskan pendapat Haugen.

2.3 Tinjauan Pustaka

Adanya tinjauan pustaka ini maka penulis berusaha untuk mencari sumber-sumber lainnya yang termasuk ke dalam penelitian ini, di antaranya:

Sugihana (2004) dalam tesisnya yang berjudul Alih Kode Penutur Bahasa Karo Kelurahan Sempakata Kecamatan Medan Selayang. Teori yang digunakan

(7)

12

terhadap ayah, ibu dengan anak. Hasil yang didapat ialah bahwa pengguna bahasa Karo pada umumnya digunakan pada usia 21 sampai 50 tahun dan pengguna bahasa Indonesia pada usia 8 sampai 20 tahun.

Apriani (2009) yang berjudul Bilingualisme pada Masyarakat Simalungun di Kecamatan Pematang Raya. Teori yang digunakan yaitu teori bilingualisme menurut

Haugen. Hasil dalam penelitian yang dilakukan yaitu bahwa faktor penyebab terjadinya bilingualisme di Desa Sondi Raya dikarenakan perpindahan penduduk, rasa nasionalisme, perkawinan campuran, pendidikan, kemudian pada pemakaian bahasa Simalungun dan bahasa Indonesia terjadi karena adanya lawan bicara, situasi sosial pembicaraan yaitu situasi formal dan situasi nonformal kemudian topik pembicaraan.

Sinaga (2009) yang berjudul Alih Kode Antara bahasa Indonesia dan bahasa Arab di Pondok Pesantren Al-Husna. Teori yang digunakan ialah teori

sosiolinguistik dan alih kode. Situasi lingkungan memengaruhi mereka dapat berbahasa Arab sehingga dominan menggunakan bahasa Arab. Adapun hasil skripsi ini karena adanya orang ketiga, pokok pembicaraan, suasana peristiwa, saluran pemakaian bahasa, terpengaruh oleh lawan bicara, merasa kurang jika tidak berbahasa Arab terhadap teman, mengutip pembicaraan dari peristiwa bicara lain, lebih akrab jika mempergunakan bahasa Arab, ketidakmampuan menguasai kode tertentu, kurangnya penguasaan diri, pengaruh frase basa-basi, pepatah, dan peribahasa.

Sari (2011) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode Penutur Bahasa Pesisir di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhan Batu Utara. Teori yang

(8)

13

topik pembicara, perubahan dari formal ke informal dan jenis alih kode terbagi atas tingkat tutur ngoko ( tidak ada rasa segan), tingkat tutur krama (sopan santun antara sang penutur dengan lawan tutur), dan tingkat tutur madya (sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah).

Referensi

Dokumen terkait

Location Feature Model Location Feature Model Source Feature Source Feature Semantic Location Model Semantic Location Model Location Description Model Location Description

Lastly, 3D model allows more semantic annotations to be presented, it The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences,

bagi para sopir/juru mudi untuk peningkatan keselamatan penumpang.. 1

The Location of Semantic Reference is aggregated by the Semantic Reference Object, which is realized by the Semantic Absolute Location with information of a Semantic

-KANTOR PERPUSTAKAAN DAN

The first method detects the beacon frames send out by mobile devices, laptops and other Wi-Fi enabled devices in range using Libelium Meshlium Xtreme monitors

Output : Terlaksananya Kegiatan perjalanan dinas dalam rangka CPCL, Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan peningkatan Produksi pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.

For dense reconstruction semi-global matching is used and it is shown in section 5 how redundant stereo information can be used to automatically filter matching errors and