• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 092013003 BAB VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 092013003 BAB VII"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

T ujuh

Perilaku Sosial Orang Mbatakapidu

Kehidupan Sosial Orang M batakapidu

Sejak kedatangan penulis pada tahun 2011 silam dan 2014 masih

terlintas dengan jelas di benak akan nilai-nilai gotong royong yang

sangat kental dalam rutinitas orang M batakapidu, baik gotong royong

dengan tetangga, keluarga terdekat, kelompok tani, penyuluh

pertanian lapangan maupun pemerintah desa.

Berikut akan dipaparkan beberapa hal terkait dengan relasi orang

M batakapidu dengan program pemerintah maupun LSM , hubungan

kekerabatan, dinamika organisasi warga

dan kelembagaan adat.

Dari Ketergantungan M enuju Kemandirian

Pemerintah mulai masuk dengan bantuannya sejak tahun 1996

lewat program IDT. Di sini pemerintah mengalokasikan dana buat desa

dan pihak desa tinggal melakukan musyawarah terkait dengan

peruntukkan dana tersebut. Dahulu pemerintah sediakan bahan-bahan

(pengadaannya oleh pemerintah), sedangkan usulan berasal dari

masyarakat desa M batakapidu. M ulai tahun 2000-an sampai saat ini

desa M batakapidu banyak bekerja sama dengan instansi terkait dan

LSM seperti GTZ, W VI, BP4K, YPM , PNPM M andiri dan lembaga

lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Terkait dengan hal ini, bapak Antonius Umbu Ndai

1

menyebut:

“Pada periode tahun 2001-2002 masuk bantuan beras dari W VI dan GTZ. Satu kepala keluarga mendapatkan beras 50 Kg dari W VI, sedangkan bantuan dari GTZ diberikan saat kami kerjakan bendungan di Kalihi. Setiap bulan kami terima

(2)

beras dari GTZ dan disertai juga dengan bantuan dari W VI. Akibatnya banyak orang yang tidak kerja kebun lagi. Bantuan ini membuat warga semakin bergantung kepada bantuan LSM . Ekstrimnya yaitu jagung yang ada di lumbung langsung diberikan untuk babi. Jika dalam satu rumah tangga terdapat 2 atau 3 kepala keluarga maka asumsinya mereka akan mendapatkan mendapatkan beras yang banyak. Oleh karena dimanja oleh LSM maka banyak orang yang tidak mau kerja, sehingga kebun-kebun banyak ditumbuhi kayu kopi dan gamal dan warga semakin malas untuk mengolahnya. Akhirnya mulai tahun 2009 hampir semua kebun warga sudah menjadi hutan lantoro gum dan gamal, tentu ini membuang tenaga. Di sini mereka bangga karena lagi miliki banyak beras, tetapi kebun diabaikan. Sampai ada warga yang menyebut lebih baik batu yang digunakan untuk titi jagung (watu pianangu dan kalambaru) dibuang saja. Namun setelah beras tersebut telah habis maka warga mulai merasa kelaparan dan warga mulai beramai-ramai bersihkan kebun mereka”.

Dari penuturan bapak Antonius Umbu Ndai tergambar bahwa

dalam periode tersebut masyarakat terlalu terlena dengan bantuan

yang datang, sehingga mereka menjadi malas dan lupa akan tanggung

jawab utama mereka untuk mengolah lahan. Hal inilah yang

seharusnya menjadi bahan perenungan bagi orang M batakapidu untuk

belajar dari pengalaman-pengalaman masa silam, sehingga bapak

Bimbu W ohangara

2

menyebut:

“Sebaiknya kita sebagai orang Mbatakapidu mulai merenung untuk sadar diri bahwa saya miskin, percaya diri bahwa saya mampu, menganggap bantuan dari pihak lain sebagai pelengkap atau perangsang dan merasa diri mempunyai modal dasar seperti tenaga, tanah, bibit atau benih dan modal uang sesuai dengan kemampuan”.

M otivasi pembangunan yang disebutkan oleh informan di atas

membuat orang M batakapidu mulai sadar akan keberadaannya,

(3)

sehingga M akambombu (2013 : 8 - 9) dan dikonfirmasi lagi oleh bapak

Yacob Tanda

3

yang menyebut:

“Setelah program ini (DMPM DS) berjalan selama 1 tahun hasilnya sudah mulai nampak. Jika pada beberapa tahun sebelum pada sekitar bulan Desember, Januari dan Februari ada banyak warga yang datang ke kantor desa untuk memanfaatkan keberadaan lumbung pangan (beras), tetapi sejak bulan Desember 2011, Januari dan Februari 2012 hampir jarang masyarakat yang datang untuk meminta bantuan dari lumbung pangan. Ini merupakan indikator bahwa saat ini tingkat kecukupan pangan di tengah-tengah masyarakat sedang berada dalam kondisi aman, sehingga tidak banyak warga yang datang membeli beras dari lumbung pangan”.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 27. Bangunan Lumbung Desa di M batakapidu

Dari penuturan bapak Yacob Tanda dan temuan M akambombu

tergambar bahwa tingkat ketergantungan (

dependency)

orang

M batakapidu sudah semakin menurun. Dengan kata lain, adanya

kesadaran secara komunal yang membuat orang Mbatakapidu sedikit

demi sedikit terlepas dari ketergantungan. Hal ini sejalan dengan

(4)

pendapat Blomstrom dan Hettne (dalam Budiman, 1995 : 96 - 97)

menyebut pembangunan akan terjadi melalui proses alamiah (internal)

yang memang ada di tengah masyarakat.

Dalam relasinya dengan program pemerintah dan LSM , bapak

Hina Kapu Enda

4

menyebut:

“Saat ini jika ada bantuan dari pemerintah daerah maupun lembaga swadaya masyarakat yang masuk di desa maka kami selalu mensikapinya secara positif. Tidak ada satupun kegiatan yang ditolak. Masyarakat terlibat dalam program-program tersebut. Pihak pemerintah desa berembuk dengan masyarakat terhadap segala program yang masuk. Apabila ada bantuan yang masuk maka masih didiskusikan melalui musyawarah antara pemerintah desa dan segenapelemen masyarakat, sehingga semuanya menjadi transparan dan akuntabel. Dengan kata lain, semua kegiatan akan disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang M batakapidu”.

Bapak Bimbu W ohangara

5

juga menyebut:

“Hubungan kerja sama antara orang M batakapidu, PPL dan LSM berjalan dengan harmonis. Apabila ada program dari mereka maka selalu kerja sama dengan pemerintah desa dan masyarakat. Kalau ada sosialisasi dari mereka maka pemerintah desa akan secara langsung mengkonfirmasi masyarakat lewat undangan secara formal maupun informal”.

Dari sisi lembaga

supporting,

bapak Ishak Sitaniapessy

6

menyebut:

“Kalau aspek ekonomi kami fokus di Gapoktan dengan melakukan pelatihan, penguatan jaringan, pol-pola jaringan dan sebagainya. Kalau tenun ikat di Gapoktan sudah sampai ke Korea Selatan. Saat ada pameran di sana maka lewat KEHATI membawa kain hasil tenun ke sana lalu laku 10 dan sisa 2 lembar. Selama ini tidak ada benturan dengan keberterimaan orang M batakapidu, karena saat kembangkan

(5)

segala sesuatu kami memulainya dengan kearifan lokal dari orang M batakapidu. Artinya justru kami kembangkan nilai-nilai lokal yang sudah ada misalnya arisan rumah seng dan

pawandangu7. Yang menjadi persoalan sekarang adalah

bagaimana orang M batakapidu mampu me-manage waktu. Persoalan utama adalah dalam hal me-manage waktu untuk mulai kerja jam 06 pagi dan jam 10 sudah selesai kerja dari kebun. Kaum ibu-ibu jauh lebih bagus dalam hal administrasi, seperti pengelolaan dana peruntukkan dana dan dalam melakukan pawandangu ibu-ibu sangat gesit dalam mengorganisir anggota masyarakat yang lainnya. Dalam hal

pawandangu, masing telah membawa bekal masing-masing dari rumah ke kebun, sehingga kegiatan gotong royong ini tidak membutuhkan dana yang sangat besar”.

Hal ini yang kemudian dipertegas oleh ibu Bomba Pihu

8

dengan

menyebut:

“Kami lakukan kegiatan pawandangu dengan anggota kelompok sebanyak 11 orang, di mana kegiatan sudah harus dimulai dari jam 07 pagi dan berakhir jam 12 siang”.

Dari penuturan bapak Hina Kapu Enda, Bimbu W ohangara,

Ishak Sitaniapessy dan ibu tergambar bahwa seiring dengan

berjalannya waktu, orang M batakapidu mengalami tranformasi dari

ketergantungan menuju kemandirian dan semakin dipertahankannya

nilai komunal seperti seperti gotong royong. Hal ini sejalan dengan

pandangan Gandhi yang menyebut perlunya semangat swadesi

(kemandirian) dalam sebuah proses pembangunan dan juga sejalan

dengan temuan Sugianto (2011 : 260) yang menyebut nilai komunal

gotong-royong yang berasal dari penghayatan spiritual mereka, yang

menjadi

dasar

pijak

masyarakat

M ondo

dalam

melakukan

pembangunan.

7 Kerjasama diantara masyarakat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu seperti parahu omangu, tanam jagung, panen jagung dan sebagainya

(6)

M andara: Antara Silaturahmi dan M enjembatani Kebutuhan

M endengar kata

mandara

mungkin sangat tidak asing dibenak

dan ditelinga orang Sumba khususnya bagi orang M batakapidu.

M andara

sudah mulai didengungkan sejak jaman dahulu, tetapi

sebenarnya apa makna yang terkadung dibalik istilah ini? Apakah

hanya untuk mempertemukan kebutuhan ataukah jauh dari pada itu

terkandung nilai-nilai komunal yang bersifat sosial (kekerabatan)?

Oleh karena itu, secara lebih jelas dan detail akan disampaikan oleh

beberapa informan berikut:

Bapak Alexander Victor Umbu Retangu

9

menyebut:

M andara merupakan nilai-nilai lokal peninggalan leluhur.

M adara mempunyai makna untuk mempererat hubungan kekerabatan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang saling berjauhan tempat tinggalnya (masih satu klan atau keluarga dekat). Artinya, ketika sebuah keluarga akan berkunjung ke rumah keluarganya yang jauh maka mereka akan membawa semacam pembawaan berupa bahan makanan maupun barang-barang-barang seperti sarung, kain,

mamuli, lulu amahu dan sebagainya. Ketika hendak pulang maka sang tuan rumah akan memberikan pembalasan berupa pemberian berupa bahan makanan dan sebagainya. Ini bukan karena adanya hubungan sebab akibat, tetapi karena merupakan sebuah keharusan bagi si tuan rumah. Konsekuensi logis dari pertemuan keluarga ini semakin mempererat tali silaturahmi di antara mereka. Namun, saat ini mandara sudah di salah artikan. Artinya, ada orang pemalas yang memanfaatkan moment mandara dengan cara pergi dengan tujuan bertamu di keluarganya yang jauh. Contoh: mungkin pertama akan diberikan 2 karandi jagung, tetapi yang kedua pasti tidak akan diberi seperti yang pertama karena si pemberi akan berkata bahwa orang ini hanya lontang-lanting atau tidak mau berusaha. Istilahnya

umbu tundu lindingu artinya walaupun hanya sejengkal luas kebun yang kita miliki maka kita harus berupaya keras untuk mengolahnya, sehingga kita tidak hidup dengan

pandiamangu (meminta-minta)”.

(7)

Senada dengan penuturan bapak Alexander Victor Umbu

Retangu, maka Yacob Tanda

10

juga menyebut:

“Kami orang M batakapidu mengenal konsep mandara.

M andara sudah secara turun temurun dilakukan oleh orang M batakapidu. Tindakan ini dilakukan untuk mengunjungi keluarga dan menjembatani kebutuhannya. Saat berkunjung maka kita akan bawa garam, ru menggitu (pucuk daun lontar) dan sebagainya, yang kemudian akan dibalas dengan makanan dan sebagainya. Kalau pergi ke rumah ana kawini

(saudari perempuan) maka kita biasanya membawa kaindan akan dibalas dengan ternak oleh saudari perempuannya. W alaupun nilai tukarnya tidak seimbang, tetapi inilah nilai-nilai lokal yang perlu dilestarikan. Jika padukan dengan kunjungan kekeluargaan ini masih bisa ditolerir, tetapi kalau kita mengarah pada sistem individualistis maka tidak akan nampak nilai kekerabatan. Di sini memang mempertemukan kebutuhan dengan kebutuhan, tetapi yang paling menonjol adalah tali silaturahmi (kekerabatan). Dalam konsep mandara

harus dihindari adanya unsur bisnis, sehingga tidak akan ada unsur perhitungan”.

Hal ini pun dipertegas oleh bapak Umbu Ngguti Nggandung

11

dengan menyebut:

“Pada tahun 70-80an dan sampai saat ini kami sering melakukan mandara. Saya bawa garam sebagai pembawaan waktu itu ketika saya hendak berkunjung ke rumah keluarga. Saat saya hendak pulang dari berkunjung, saya diberi jagung oleh keluarga yang saya kunjungi. M emang kalau mau dinilai maka tidak akan seimbang antara pembawaan saya bawa dengan yang saya terima. Namun inilah budaya yang harus dilestarikan. Yang paling utama dari kunjungan ini sebenarnya adalah mempererat tali silaturahmi antara keluarga”.

Dari penuturan bapak Alexander Victor Umbu Retangu, Yacob

Tanda dan Umbu Ngguti Nggandung tergambar bahwa secara agregat

pengejawantahan dari

mandara

adalah untuk menjembatani hubungan

kekerabatan atau mempererat tali silaturahmi di antara masyarakat

(8)

lokal tradisional, sedangkan sisanya secara parsial untuk menjembatani

kebutuhan. Hal ini sejalan dengan temuan Jacqueline Vel (2010) dalam

penelitiannya di desa Lawonda, yang menyebut dinamika sosial yang

berbasis kekerabatan telah berakar di dalam cara berpikir dan perilaku

budaya yang masih ada sampai sekarang.

Dinamika Organisasi W arga

M akambombu

(2013:

13)

menyebut

pencapaian

desa

M batakapidu dalam beberapa tahun terakhir tidak lepas dari dinamika

berbagai kelembagaan desa yang ada saat ini, terutama kelembagaan

desa yang berada di luar struktur pemerintah desa. Peran

kelembagaan-kelembagaan yang ada ini sangat besar pengaruhnya

dalam menggerakkan pembangunan desa, salah satunya adalah

Gapoktan. Kelompok ini merupakan gabungan dari beberapa kurang

lebih 24 kelompok-kelompok tani. Setiap kelompok tani memiliki

keanggotaan sebanyak 10 - 25 anggota, sehingga jumlah keseluruhan

anggota Gapoktan mencapai lebih kurang 466 orang. Aktivitas

kelompok Gapoktan selain fokus pada pertanian namun ada beberapa

kelompok dalam gapoktan yang bergerak dibidang usaha lainnya.

Kelompok ini adalah KW T yang memiliki usaha tenun ikat.

Terkait dengan temuan M akambombu, maka ibu Korlina Konda

Ngguna

12

menyebut:

“KW T ini berdiri tanggal 1 Januari 2000. Kami sebenarnya hanya sub kelompok tenun ikat dari KW T Tappa W alla Baddi, karena ibu M arlina selaku ketua KW T di desa pindah ke Alor ikut suaminya, maka KW T tersebut menjadi vaccum karena krisis kepemimpinan. M elihat kondisi tersebut membuat kami menjadi induk KW T tersebut. Awalnya kami melakukan usaha tenun ikat yang terdiri dari 4 orang anggota. Kebetulan keterampilan saya adalah menenun. Rata-rata kain dan sarung yang kami jual seharga Rp 1.000.000,- sehingga secara ekonomis sulit dijangkau oleh pembeli yang notabene daya belinya rendah. Anggota kami terkadang mengeluh karena seringkali kain ini belum laku terjual (perputaran uang menjadi sangat rendah). Kalau kain

(9)

atau sarung yang pakai wanteks (pewarna kimia) cepat laku terjual di pasaran, karena banyak masyarakat yang akan membawanya ke acara kematian dan peminangan. Kalau sarung motif paminni buatta yang ada gambar dan polos harganya mencapai Rp 800.000,- sedangkan motif patola ratu

yang gambarnya banyak maka harganya Rp 1.000.000,-. Selang satu tahun kami melakukan aktivitas ini, ternyata ada ada apresiasi dari ibu-ibu lainnya di mana mereka mau bergabung menjadi anggota di KW T ini. Oleh karena kita dapat hasil yang cukup baik maka kami buat kegiatan lagi seperti simpan pinjam. Kami memiliki 5 macam kegiatan. Ada bidang pekarangan, pertanian, peternakan kecil dan arisan tabungan anak. Kalau arisan ini kami mulai lakukan sejak tahun 2005. Hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut kita tabung untuk masa depan anak. Hampir semua anggota kami termasuk saya sendiri berpendidikan rendah, sehingga berangkat dari hal ini maka kami mulai berpikir agar nasib anak kami ke depan tidan seperti kami para orang tua. Dengan demikian, anak akami akan dapat mengenyam pendidikan lewat dukungan dana arisan tersebut. Sekarang kami sudah 24 orang anggota yang aktif. I ni atas kesadaraan masing-masing dari anggota. Siapapun yang mau belajar dengan kami maka kami selalu membuka diri untuk belajar bersama. Setelah itu kami bentuk UBSP dengan modal 10.000 masing-masing anggota, bunganya 500 per bulan dan sampai sekarang kegiatan ini semakin berkembang di mana modal semakin meningkat. Secara agregat yang paling menonjol dari semua kegiatan di setiap bulan adalah UBSP, karena penyetorannya cepat dan tidak macet, contohnya dengan jalan menjual aneka jeni sayuran segar dan sebagainya. M odal swadaya kami sudah mencapai Rp 26.000.000,-. Pada tahun 2013 kami dapat penghargaan dari kick andy (M etro tv) di mana selepas acara tersebut kami diberi dana apresiasi sebesar Rp 100.0000.000,-. Kemudian kami tampil di acara

(10)

karena kelompok ini merupakan kelompok yang kami dampingi”.

Dalam menjalankan kegiatannya, KW T

Tappawalla Baddi

selalu

menginventarisir kegiatan yang kemudian dirangkum dalam tabel 17

berikut.

Tabel 17. Kegiatan KW T

Dari penuturan ibu Korlina Konda Ngguna dan tabel ini

tergambar adanya nilai-nilai kerja keras, kesederhanaan, kebersamaan

(solidaritas) dan loyalitas yang membuat KW T ini tetap eksis dan

berhasil dalam menjalankan kegiatan di KW T. Hal ini senada dengan

temuan Bellah (1992) yang menyebut kemakmuran hanya dapat

dicapai ketika seseorang atau komunitas memegang teguh dan

mengejawantahkan nilai ketekunan, kerja keras, bersungguh-sungguh,

rajin, jujur, loyal dan bertanggungjawab.

Dinamika Kelembagaan Adat

(11)

Katinahu, M barapapa, Kokur Pandak, Kahiku dan Kihi. Artinya di desa

ini terdapat suku sangat heterogen. Namun di antara suku yang satu

dengan suku lainnya masih saling terkait dalam hubungan

kekerabatan, seperti karena adanya perkawinan beda suku dan

sebagainya.

Eksistensi dari suku-suku ini hendaknya terakomodir dalam

sebuah wadah atau lembaga yang terstruktur dan terorganisir, sehingga

bapak Yacob Tanda

13

menyebut:

“Kelembagaan adat secara struktural organisatoris baru dicanangkan. W acananya sudah ada dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengumpulkan semua suku yang ada guna membentuk kelembagaan adat. Kerja sama antara suku tetap berjalan selama ini. Kelembagaan adat ini dibuat untuk melihat efektifitas kegiatan budaya dalam proses pembangunan perdesaan, tepatnya dalam hal mengalokasikan sumber daya”.

Senada dengan hal ini, bapak Bimbu W ohangara

14

menyebut:

“Lembaga adat di desa ini belum terorganisir secara terstruktur, tetapi masih dalam bentuk yang informal. Artinya ada orang yang ditokohkan dalam satu suku. Orang ini yang jadi panutan dalam satu suku untuk mengatur segala kegiatan keseharian yang sedang dilangsungkan di desa”.

Dipertegas oleh bapak Hina Kapu Enda

15

dengan menyebut:

“Kemarin kami sudah bentuk sebuah panitia adat, tetapi bukan lembaga adat secara organisatoris. Hal ini kami lakukan ketika lakukan musyawarah adat terkait dengan ketua (C. R. Ngunju Awang), wakil ketua (Tunga Retangu) dan sekretaris (Alexander V. U. Retangu). Kita menyepakati bersama agar bagaimana kita bersihkan paraingu

M batakapidu. Secara umum kami masih akan berembuk dengan semua suku yang ada untuk segera membentuk kelembagaan adat yang terstruktur secara organisatoris”.

(12)

Hal ini juga sejalan dengan temuan M akambombu (2013 : 14 -

15) yang menyebut:

“Kendatipun kelembagaan adat di M batakapidu tidak memiliki memiliki struktur dalam pemerintah desa namun dalam praktek kesehariannya peran dari lembaga cukup dominan. Kelembagaan sesungguhnya dikendalikan oleh tokoh-tokoh adat yang mana peran mereka akan nampak dalam forum-forum adat perkawinan dan kematian. Pemerintah desa (kades) sendiri berkeinginan untuk menata kelembagaan sebagian bagian dari upaya pelestarian dan revitalisasi nilai-nilai budaya. Revitalisasi ini bertujuan untuk melakukan beberapa penyesuaian dengan perkembangan masyarakat terkini. M isalnya ketentuan hewan untuk adat perkawinan dan jumlah hewan atau ternak yang akan disembelih pada saat upacara kematian. Seperti dengan kehadiran kelembagaan adat yang ada saat ini dipakai oleh kepala desa untuk menggerakkan kegiatan ketahanan pangan. Sebagai contoh untuk mendistribusikan berbagai bantuan atau program yang ada dilakukan dengan cara memberikannya melalui pimpinan-pimpinan suku dengan catatan jumlah sumber dayanya banyak, tetapi jika program atau bantuan tersebut tidak cukup maka sistem distribusinya dilakukan dengan cara unit perkampung, karena satu kampung bisa terdiri dari beberapa suku yang mendiaminya. Contoh: distribusi program PLTS, di mana satu unit bisa digunakan oleh beberapa rumah tangga. Hal ini cukup meredam potensi-potensi terjadinya kecemburuan sosial antar suku atau antar kampung”.

(13)

barang publik di daerah pedesaan, termasuk yang mempengaruhi

keselamatan dan keamanan setempat. Dalam penelitiannya, Brick

berhasil mengembangkan teori yang menjelaskan empat kondisi yang

memfasilitasi pemerintahan lokal yang efektif yaitu sumber-sumber

independen lokal dari pendapatan, pemisahan otoritas lokal,

checks

dan

balances

antara otoritas dan kehadiran pemain veto ekonomi.

Temuan Brick dipertegas oleh pandangan Berger (dalam

Bouman, 1982 : 54)

yang menyebut sangat diperlukan hadirnya sebuah

lembaga adat sebagai bentuk-bentuk perbuatan dalam hubungan

kelompok yang dilestarikan oleh kultur dan transfer kultur, sehingga

menyebabkan perbuatan manusia ditekan oleh pola tertentu dan

dipaksakan bergerak melalui jalan yang dianggap sesuai dengan

keinginan masyarakat.

Dibalik Sebuah Ketokohan

Fenomena pembangunan yang terjadi di desa M batakapidu

ternyata juga disebabkan oleh faktor ketokohan desa yang digerakkan

oleh visi pembangunan yang bertumpu pada sumber daya lokal.

Kepala desa M batakapidu merupakan seorang pemimpin yang kreatif

dan inovatif dalam menjalankan pembangunan di desa (M akambombu

2013 : 15). Terlepas dari itu semua, sebenarnya dalam ketokohannya,

sang kepala desa menganut nilai-nilai lokal tertentu. Hal inipun

dibenarkan oleh bapak Yacob Tanda

16

selaku kepala desa M batakapidu

yang menyebut:

“Setiap kegiatan pembangunan yang dlakukan di sini selalu berasal dari nilai-nilai lokal yang dianut masyarakat. Sebagai seorang kepala desa saya selalu menanamkan nilai kerja keras dan kedisiplinan kepada seluruh masyarakat. Apalagi dalam konteks masyarakat M batakapidu yang sangat kental dengan nilai komunal gotong-royong. Nilai kerja keras saya kombinasikan dengan nilai komunal yang ada, sehingga menghadirkan semangat kerja yang mendukung proses pembangunan di M batakapidu. Nilai kerja keras dan kedisiplinan ini sudah mulai tertanam sejak saya kecil,

(14)

karena saya dibesarkan di lingkungan lokal tradisional yang menjunjung tinggi etos kerja”.

Hal inipun dipertegas oleh bapak Lukas R. M alo

17

selaku kepala

BP4K Kota W aingapu yang menyebut:

“Kepala desa M batakapidu merupakan figur yang disiplin dan pekerja keras, sehingga beliau menjadi panutan bagi orang M batakapidu. Kondisi inilah yang membuat orang M batakapidu menjadi sadar akan tanggungjawabnya. Artinya kepala desa telah memberikan contoh-contoh yang baik sebelum mengkoordinir masyarakat dalam proses pembangunan”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda dan Lukas R. M alo

tergambar bahwa ketokohan dari kepala desa M batakapidu ternyata

disebabkan oleh nilai kerja keras dan kedisiplinan yang selalu

dipraktekkan dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala desa.

Nilai-nilai ini berkolaborasi dengan Nilai-nilai komunal yang dimiliki oleh orang

M batakapidu, sehingga hal inilah yang mendukung pembangunan di

desa M batakapidu. Hal ini diperkuat oleh hasil pengamatan penulis

tepatnya pada tahun 2011 saat melakukan kuliah kerja nyata di

M batakapidu, di mana setiap hari bapak kepala desa sudah berada di

kebun desa sejak jam 06 pagi untuk membuat bedengan dan menyiram

sayur. Artinya penulis dan rekan-rekan maupun masyarakat pada

waktu itu akan merasa bersalah atau ada beban moral ketika tidak

berbuat apa-apa saat kepala desa sudah berada di kebun. M elihat situasi

ini, penulis dan rekan-rekan langsung ke kebun desa untuk membantu

kepala desa, sedangkan masyarakat langsung turun ke kebun untuk

bekerja mengolah kebun mereka masing-masing.

Hal ini sejalan dengan temuan Sugianto (2011 : 333) yang

menyebut kombinasi antara nilai kesatria dalam kepemimpinan Tu’a

Golo berkolaborasi dengan nilai komunal gotong royong dan kerja

keras yang pada akhirnya mendukung pembangunan di kampung

(15)

M ondo. Berikut adalah gambar pola hubungan antara nilai-nilai yang

dianut oleh kepala desa dan masyarakat M batakapidu dalam

pembangunan.

Pembangunan yang terjadi di M batakapidu salah satunya

disebabkan oleh faktor ketokohan kepala desa yang menganut nilai

kerja keras dan kedisiplinan yang kemudian mengkoordinir

masyarakat yang notabene menjunjung tinggi nilai gotong royong

untuk perpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembangunan.

Kolaborasi inilah yang membuat munculnya semangat untuk

membangun di desa M batakapidu. Hal ini diperkuat juga dengan

motivasi pembangunan untuk perenungan yang dijunjung tinggi oleh

kepala desa selaku fasilitator seperti (1) merasa diri dipercaya; (2)

komitmen atau tekad untuk berbuat; (3) merasa bersalah jika tidak

melaksanakan tugas dan (4) kerja sama dengan pihak lain.

Gambar 28. Pola Hubungan Antara Nilai-Nilai yang Dianut oleh Kepala Desa dan Masyarakat Mbatakapidu dalam Pembangunan

Kepala Desa  Kerja Keras  Disiplin

Masyarakat

Gotong Royong

Pembangunan

(16)

Kesimpulan

Relasi antara orang M batakapidu dengan program pemerintah

dan LSM dari masa ke masa menggambarkan semakin tingginya

kesadaran secara komunal masyarakat untuk merespon segala

program-program yang masuk ke desa, karena orang M batakapidu menganggap

bantuan dari pihak lain sebagai perangsang untuk mengembangkan

segala potensi yang ada di desa M batakapidu.

M andara

dimaknai sebagai sarana untuk mempererat hubungan

kekerabatan atau tali silaturahmi antara keluarga yang satu dengan

keluarga lainnya serta untuk menjembatani kebutuhan. Tentu temuan

ini berbeda dengan temuan Palekahelu (2010 : 214) yang menyebut

mandara

sebagai tindakan untuk mengatasi ketidakpastian dan

ketidakamanan pangan.

Eksistensi dari organisasi atau kelembagaan warga di desa

M batakapidu seperti KW T tidak terlepas dari

kekompakan, solidaritas

dan kerja keras yang tertanam dalam jiwa masing-masing anggota

kelompok. Hal inilah yang membuat KW T ini menjadi sorotan baik di

level lokal, regional maupun nasional.

Belum adanya kelembagaan adat yang terstruktur secara

organisatoris akan mampu memicu terjadinya kesenjangan sosial di

tengah masyarakat seperti dalam hal pengalokasian sumberdaya, hak

kepemilikan (

individual

maupun

communal property

)

dan sebagainya.

Gambar

Gambar 27. Bangunan Lumbung Desa di Mbatakapidu
Tabel 17. Kegiatan KWT
Gambar 28. Pola Hubungan Antara Nilai-Nilai yang Dianut oleh Kepala

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

[r]

APAC INTI CORPORA Bawen, Semarang berdasarkan SNI 7231:2009 tentang Metode Pengukuran Intensitas Kebisingan di Tempat Kerja dan hubungannya pada perubahan nilai ambang

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

Praktik Pengalaman Lapangan meliputi semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sabagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran Bandung. 10) SMAN I Tarogong Kidul sebagai juara 2 olimpiade IPS tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Universitas

 Hak istimewa orang Melayu,Islam sebagai agama persekutuan dan Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa kebangsaan menjadi prasyarat penerimaan hak kewarganegaraan oleh etnik

Hasil penelitian ini terdiri atas hasil pra tindakan dan hasil pelaksanaan tindakan. Pada saat pra tindakan peneliti melakukan tes awal tentang materi prasyarat yaitu materi