BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai merupakan pelengkap bumbu masakan yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat walapun produk ini bukan merupakan kebutuhan pokok.
Dewasa ini cabai untuk dikonsumsi tidak hanya dimakan segar, tetapi sudah
banyak diolah menjadi berbagai produk olahan Pada awalnya, penyebaran cabai
pertama kalidilakukan oleh hewan bangsa burung dan tumbuh di hutan tanpa
perawatan, tetapi sekarang sudah bermunculan perusahaan-perusahaan benih
cabai. Tanaman cabai pun sudah mulai ditanam dengan perawatan intensif
(Tarigan dan Wahyu, 2003).
Menurut Muharlis (2007), cabai merupakan produk hortikultura sayuran yang
digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu cabai besar, cabai kecil dan cabai hias.
Di antara ketiga jenis cabai tersebut, cabai besar merupakan jenis cabai yang
paling banyak diperdagangkan dalam masyarakat. Cabai merah terdiri dari cabai
merah besar dan cabai merah keriting. Cabai merah besar memiliki permukaan
lebih halus dibandingkan cabai merah keriting. Sedangkan cabai merah keriting
memiliki rasa lebih pedas dibandingkan cabai merah besar.
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang
banyak digemari masyarakat Indonesia. Ciri dari jenis sayuran ini rasanya pedas
dan aromanya khas, sehingga bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan
selera makan. Permintaan cabai menunjukkan indikasi yang terus meningkat
yang mantap. Seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai
merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan.
Karena merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat, maka cabai akan
terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional. Pola permintaan
cabai relatif tetap sepanjang waktu, sedangkan produksi berkaitan dengan musim
tanam. Maka dari itu pasar akan kekurangan pasokan kalau masa panen raya
belum tiba. Dalam kesempatan seperti ini beruntung bagi petani yang dapat
memproduksi cabai sepanjang tahun. Fenomena ini perlu dicermati oleh petani
yang ingin berbisnis cabai (Prajnanta, 1999).
Cabai merupakan produk hortikultura sayuran yang digolongkan ke dalam tiga
kelompok yaitu cabai besar, cabai kecil dan cabai hias. Diantara ketiga jenis cabai
tersebut, cabai merah merupakan jenis yang paling banyak diperdagangkan dalam
masyarakat. Cabai merah terdiri dari cabai merah besar dan cabai merah keriting.
Cabai merah besar memiliki kulit permukaan yang lebih halus dibandingkan cabai
merah kerititng, sedangkan cabai merah keriting memiliki rasa lebih pedas
dibandingkan cabai merah besar (Sari, 2009).
Sumatera Utara menjadi provinsi yang memproduksi cabai terbesar kedua pada
tahun 2013 di Indonesia. Produksi cabai besar di Sumatera Utara pada tahun 2014
yaitu sebesar 147.812 ton atau turun sebesar 14.121 ton dibanding periode
sebelumnya yaitu pada tahun 2013 dengan total produksi sebesar 161.933 ton.
Berikut disajikan tabel produksi cabai di Indonesia tahun 2013 sampai tahun
Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Cabai Besar Menurut Provinsi, 2013-2014
Sumatera Utara 161933 147812 -14121 (-)8,72
Jawa Tengah 145037 167795 22758 15,69
Lainnya 454995 505708 50713 11,14
TOTAL 1012879 1074611 61732 6,09
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
Di provinsi Sumatera Utara, daerah yang menjadi sentra produksi cabai merah
ada tiga, yaitu Kabupaten Batubara, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo.
Di antara ketiga sentra produksi cabai tersebut, Kabupaten Karo merupakan
daerah dengan luas panen dan produksi yang paling tinggi pada tahun 2012
hingga tahun 2014. Berikut disajikan tabel luas panen, produksi dan rata-rata
produksi cabai di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 sampai tahun 2014.
Tabel 1.2 Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Cabai Besar Menurut Kabupaten/ Kota Sentra, Tahun 2012-2014
Sumber : Badan Pusat Statistik Sumut, 2015
Persentase produksi cabai besar pada tahun 2014 menurut wilayah di 3 (tiga)
kabupaten sentra (Karo, Batu Bara, dan Simalungun) sebesar 61,16 persen dan di
kabupaten/kota lainnya sebesar 38,84 persen. Selama periode 2012–2014,
produksi tertinggi terjadi di Kabupaten Karo pada tahun 2012 sebesar 50.734 ton,
sedangkan di tahun 2014 produksi tertinggi di kabupaten yang sama sebesar
33.635 ton. Luas panen tertinggi juga terjadi pada tahun 2012 di Kabupaten Karo,
yaitu seluas 6.224 hektar, sedangkan luas panen tertinggi tahun 2014 juga terjadi
di Kabupaten Karo seluas 4.663 hektar.
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa produktivitas cabai di Kabupaten Karo
lebih kecil dibanding Kabupaten lainnya. Produktivitas cabai merah Kabupaten
Karo pada tahun 2012, 2013 dan 2014 masing-masing adalah sebesar 8,41 ton/ha,
7,09 ton/ha dan 7,21 ton/ha. Menurut Pracaya (2000), tanaman cabai merah jika
dibudidayakan secara intensif bisa mencapai produksi 15-20 ton/ha.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengaruh input produksi (pupuk, pestisida, tenaga kerja dan bibit)
terhadap hasil produksi cabai merah di daerah penelitian?
2. Bagaimana tingkat efisiensiinput produksi (pupuk, pestisida, tenaga kerja dan
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh input produksi (pupuk, pestisida, tenaga kerja
dan bibit) terhadap hasil produksi cabai merah di daerah penelitian.
2. Untuk menganalisis tingkat efisiensi penggunaan input produksi (pupuk,
pestisida, tenaga kerja dan bibit) padausahatani cabai merah di daerah
penelitian.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan informasi bagi petani untuk meningkatkan produksi serta
mengembangkan usahataninya.
2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah maupun lembaga lainnya dalam
mengambil kebijakan khususnya dalam penggunaan faktor produksi cabai
merah yang efisien.
3. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan