• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Studi Pada Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Studi Pada Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Di setiap periodisasi kepemerintahan pastinya akan dituntut peningkatan terhadap pelayanan publik yang lebih berkualias dan proses pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga pemerintah sebagai pengelola pelayanan publik harus mampu menunjukkan performa kinerja yang baik dalam mewujudkan prinsip-prinsip good governance.

Bila ditelusuri mengenai karakteristik good governance, terdapat beberapa kesamaan da tuntutan serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi , rule of law, transparancy, accountability, consensus. Dari segi masing-masing tersebut

good geovernance dapat melakukan koordinasi yang baik dan integritas , professional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan good governance dalam penyelengaraan kekuasaan pemerintah negara

merupakan tantangan sendiri.

(2)

dalam upaya penerapan koordinasi yang baik dan integritas , professional serta etos kerja dan moral yang tinggi dalam pemebrian pelayanan publik.

Negara Indonesia secara eksplisit mulai mengimplementasikan konsep akuntabilitas melalui Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan dilatarbelakangi keinginan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab disamping untuk mengetahui kemampuan instansi pemerintahan dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Hal ini muncul berdasarkan pengalaman dan pengamatan sejarah birokrasi Indonesia yang selama ini belum menunjukkan kondisi prima sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi penyebab utama ketidakberhasilan kinerja birokrasi dalam upaya menuju good governance. Sejak munculnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan, kinerja instansi pemerintah semakin menjadi sorotan dan masyarakat mulai banyak menuntut nilai yang diperoleh atas pelayanan yang diberikan.

(3)

hanya satu kota. Adapun 104 lainnya mendapat nilai CC. Selain itu sebanyak 253 kabupaten/kota mendapat nilai C, dan masih ada 76 kabupaten/kota yang nilainya D. Sebanyak 56 kabupaten/kota tidak belum bisa dievaluasi, karena tidak ada data atau tidak membuat laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) dan penetapan kinerja (PK).

Kota Pematangsiantar memperoleh nilai D atas hasil evaluasi Sistem akuntabilitas kinerja pemerintah (SAKIP) oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), hal ini menjadi bahan evaluasi dan pelajaran ke depan. Jika dikonversikan ke dunia akademik, berarti Pemko Siantar dinyatakan tidak lulus.

Selain kota Pematangsiantar, kabupaten/kota lain yang nilainya D dalah Karo, Labuhan Batu, Nias Barat, Nias Utara dan Humbang Hasundutan (Humbahas). Sementara, yang mendapat nilai C (agak kurang) adalah Asahan, Dairi, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat, Nias, Nias Selatan, Padang Lawas, Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Kota Binjai, Kota Tanjung Balai dan Gunung Sitoli. Sedangkan yang mendapat nilai CC (cukup baik/memadai) hanya empat, yakni Pakpak Barat, Kota Medan, Kota Sibolga dan Tebingtinggi. ( http://www.metrosiantar.com/2014/01/30/120997/evaluasi-akuntabilitas-kinerja-pemerintah-pemko-siantar-nilai-d/)

(4)

memperkuat penerapan akuntabilitas kinerja, mutlak diperlukan kebijakan yang mengintegrasikan sistem perencanaan, sistem penganggaran dan sistem akuntabilitas kinerja itu sendiri. Peraturan perundangan yang memayungi, lanjut Wiharto, sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Namun peraturan perlaksanaannya, seperti dalam hal aplikasi Renstra, Renja dan RKA, ternyata tidak selalu menggunakan nomenklatur maupun pengertian yang sama, serta tidak

selalu ada keterhubungan.

Salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang turut wajib memberikan laporan akuntabilitas kinerjanya adalah Dinas Kebersihan Kota Pematangsintar yang bertanggung jawab atas penyelenggara urusan pelayanan umum di bidang kebersihan, termasuk pengelolaan sampah Kota Pematangsiantar. Penanganan kebersihan dan sampah selalu menjadi permasalahan pelik di setiap daerah. Hal itu disebabkan karena kebersihan lingkungan secara langsung terkontaminasi kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu peningkatan pelayan pemerintah untuk penanganan kebersihan lingkungan kota Pematangsiantar.

(5)

penunjang pariwisata di daerah sekitarnya, Kota Pematangsiantar memiliki 8 hotel

berbintang, 10 hotel melati dan 268 restoran.

semakin tingginya pertambahan penduduk dan meningkatnya aktivitas kehidupan masyarakat di Kota Pematangsiantar berakibat semakin banyak timbunan sampah yang jika tidak dikelola secara baik dan teratur bisa menimbulkan berbagai masalah, bukan saja bagi pemerintah daerah tetapi juga bagi seluruh masyarakat. (Data Badan Penanganan Statistik Kota Pematangsiantar, 2013)

Sejalan dengan aktivitas penduduk, sampah di Kota Pematangsiantar dapat bersumber dari perdagangan, perindustrian, pemukiman, perkantoran, rumah sakit, dan sebagainya sehingga jenis sampah yang timbul juga bervariasi. Pada tahun 2013, Kota Pematangsiantar dengan jumlah penduduk 236.947 jiwa, menghasilkan sampah sebanyak 587 m3/hari, dengan jumlah sampah yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 493 m3/hari. Sehingga banyaknya sampah yang belum terangkut ke TPA adalah 94 m3/hari. Jika dihitung per bulan, maka dapat dipastikan timbulan sampah baik yang diangkut maupun yang tidak terangkut ke TPA semakin banyak. (Data Badan Penanganan Statistik Kota Pematangsiantar, 2013)

(6)

yang salah satu program kerjanya adalah peningkatan sarana dan prasarana kebersihan.

Dari beberapa uraian di atas tampak bahwa dinas kebersihan sebagai instansi pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam mencapai visi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar”.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian kondisi dan uraian di atas yang disajikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Implementasi

Kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) pada

Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar?

I.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) di Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar 2. Untuk mengetahui bagaimana kendala-kendala atau hambatan dalam

(7)

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan

dalam melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar dalam rangka peningkatan akuntabilitas kinerja instansi.

3. Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi sumbangan ilmiah, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).

I.5 Kerangka Teori

(8)

Berdasarkan rumusan di atas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.

I.5.1 Kebijakan Publik

I.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan multi interpretasi. Sebagai contoh, James Anderson dalam memberi makna kebijakan sebagai perilaku aktor dalam bidang kegiatan tertentu. Pengertian di atas sangat luas dan bisa diartikan bermacam-macam, misal, sang “aktor” dapat berupa individu atau organisasi; dapat pemerintah maupun non pemerintah. Demikian pula istilah “kegiatan tertentu” bisa diartikan kegiatan administratif, politis, ekonomis, dan lain-lain. Di samping itu, bentuk kegiatannya pun luas dan multi interpretasi misalnya dapat berupa pencapaian tujuan, perencanaan, program, dan sebagainya.

(9)

Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan yang dapat digunakan, salah satunya merupakan definisi mengenai kebijakan publik yang diberikan oleh Robert Eyeston (Subarsono 2005:2). Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya”. Batasan lain diberikan oleh Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Definisi kebijakan publik dari Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan organisasi swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.

Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama Dunn (1994) mengatakan proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

(10)

merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dari berbagai uraian di atas dan sejalan dengan pendapat dari Jones ,1977 (Hesel Nogi Tangkilisan 2002:2-3) bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen :

1. Goals atau tujuan yang diinginkan

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan 3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan

4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan , membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program

5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau skunder).

Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (public policy) seperti yang telah dikemukan di awal, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah proses pelaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan (goals) yang berdampak demi kepentingan seluruh masyarakat.

I.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

(11)

1. Tahap penyusunan agenda. Dalam tahapan ini para pejabat memilih dan mengangkat permasalahan publik yang dinilai paling penting dan dimasukkan ke dalam agenda kebijakan.

2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah disusun dalam agenda kebijakan didefiniskan untuk kemudian dicari pemecahan yang terbaik . 3. Tahap adopsi kebijakan yaitu dengan melakukan adopsi terhadap salah

satu kebijakan yang dianggap baik dengan dukungan mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan. Program kebijakan yang telah ditentukan sebagai alternatif terbaik bagi pemecahan masalah dilaksanakan oleh badanbadan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia .

(12)

Dalam pandangan Ripley, 1985 (dalam Subarsono, 2005 : 11) untuk tahapan kebijakan digambarkan sebagai berikut :

Hasil

Gambar 1.1 Tahapan Kebijakan Publik

Dengan demikian setiap kebijakn selalu melewati proses analisa dan pengujian sebelum akhirnya diputuskan untuk ditetapkan dan diimplementasikan

(13)

untuk memecahkan sebuah permasalahab public. Sehingga dalam penerapan kebijakan baru dapat menjadi lebih bermanfaaat dan kebijakan tersebut lebih baik dan lebih berhasil.

I.5.2 Implementasi Kebijakan

I.5.2.1 Pengertian Implementasi

Dalam perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Dalam kaitan ini seperti dikemukakan oleh Wahab (1997 : 51), menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

Menurut Nugroho (2006 : 31), Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program.

(14)

kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya, keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasikan dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.

Dengan demikian tahapan implementasi ini merupakan bentukmewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.

I.5.2.2 Model Implementasi kebijakan

A. Model Van Meter dan Van Horn (1975)

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn menjelaskan bahwa kebijakn dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan. Variabel-variabel tersebut yaitu :

1. Standar dan sasaran kebijakan

(15)

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finasial dan waktu menjadi perhitungan dalam keberhasilan implementasi kebiijakan.

3. Komunikasi dan Penguatan Aktifitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.

4. Karakteristik Agen Pelakasana

Mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik

(16)

bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Diposisi Implementor

Disposisi implementor ini mencakup 3 hal penting yaitu : a. respon implementor terhadap kebijakan untuk melaksanakan kebijakan; b. kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; c. intensitas disposisi implementor, yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

B. Model Merilee S. Grindle

Marilee S. Grindle (1980) memberi pemahaman bahwa studi implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Grindle juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementabilty dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan khususnya yang menyangkut implementor, penerima kebijakan, dan arena konflik yang mungkin terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan Grindle menentukan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada program yang telah dirancang dan pembiayaan ysng cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi :

1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan. 2. Jenis manfaat yang dihasilkan

(17)

4. Kedudukan pembuat kebijakan 5. Siapa pelaksana program 6. Sumber daya yang dilibatkan

Isi sebuah kebijakan akan menunjukan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambil keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan sejumlah kecil unit pengambil kebijakan. Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan terdiri dari :

1. Kekuasaan kepentingan dan strategi actor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana

C. Model Mazmanian dan Sabatier. (1983)

Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan pulik adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangka analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier .(dalam Wahab, 1997 : 125)mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:

1. Karakteristik dari masalah, imdikatornya adalah :

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan b. Tingkat kemajukan dari kelompok sasaran

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan 2. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah :

(18)

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis

c. Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institute

pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan

3. Variabel lingkungan, indikatornya adalah :

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi b. Dukungan public terhadap suatu kebijakan

c. Sikap dari kelompok pemilih

d. Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor

D. Model George Edwards III

Menurut Edward III, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah pembuatan kebijakan anatara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalh yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekali pun kebijakan itu diimplentasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplemenatsikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

(19)

1. Komunikasi

Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan perintahtersebut dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat. Secara umum Edwards membahas tiga indicator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni :

a. Tranmisi, yaitu komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi, yaitu adanya salah pengertian yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

b. Kejelasan, yakni komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijkan harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua.

c. Konsistensi, yakni perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. 2. Sumber Daya

(20)

daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya financial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumber daya mempengaruhi implementasi kebijakan adalah :

a. Staf. Sumber daya utama implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai. Kegagalan sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. b. Imformasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai

dua bentuk, yakni pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kapatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.

c. Fasilitas. Fasilitas fisik merupaka factor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel, dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas penukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

(21)

pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4. Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikantrhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya rincian tugas dan prosedur pelayanan menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Selain itu struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utamadari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut dengan Standar Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, yaitu : a. Berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang

terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar.

(22)

I.5.2.3 Model Implementasi Yang Digunakan

Dalam penelitian ini penulis memilih beberapa variebel yang menurut Edwards III (dalam Wahab, 1997 : 125) yang dianggap mempengaruhi, antara lain :

1. Komunikasi.

Yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari kebijkan dapat disosialisasikan secar baik sehingga menghindari adanya distorsi atas keijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat peolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah sesungguhnya.

2. Sumber Daya.

(23)

3. Kecenderungan-kecenderungan (Disposisi).

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

(24)

sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang sudah dicantumkan dalam guideline program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapa pun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana haruslah menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks.struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadiam dalam kebijakan secara cepat dan efektif.

Berikut ini gambar model Edward III :

Gambar 1.2 Model Implementasi Edward III

Komunikasi

Sumber daya

Disposisi

Implementasi

(25)

I.5.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja Intansi Pemerintah (SAKIP)

Saat ini pembahasan mengenai akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan tugasnya sudah menjadi bahan analisis masyarakat dalam menilai perkembangan dan mengetahui pencapaian kinerja pemerintah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa warga negra dan pemerintah memiliki tanggungjawab yang hal tersebut dijadikan kebutuhan universal.

Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003), akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Dari materi di atas dapat ditarik empat materi kunci yaitu sebagai berikut:

Pertama, karena merupakan kewajiban, akuntabilitas pada dasarnya

(26)

dengan hak dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif. Ketiga, pelaksanaan kewajiban ditujukan kepada seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif yang karena jabatannya memperoleh hak dan kewenangan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian akuntabilitas dapat bersifat perorangan, kelompok, atau organisasional. Keempat, akuntabilitas yang dilakukan oleh seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah pejabat yang berwenang dan atau pemegang saham.

Menurut Sedarmayanti (2003 : 69) akuntabilitas dinyatakan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/ pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwewenang untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Sebagai perwujudan pelakasanan tata kepemerintahan yang baik sebbagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 Tentang Penyelengraaan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) , serta UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Di mana sejak bergeraknya reformasi, berbbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menjadikan penyelenggara (pemegang kebijakan) menjadi lebih akuntaBel kepada pihak yang mempercayainya.

(27)

dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Perpres ini batu loncatan atas pentingnya penyelenggaraan pemerintah yang berkinerja dan akuntabel. Pemerintah yang berkinerja yang tidak hanya diukur dari keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program kerjanya, akan tetapi yang lebih penting ialah bagaimana seluruh kebijakan, program dan kegiatan tersebut dapat dirasakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Pengertian akuntabilitas kinerja dalam perpres ini adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan malalui alat pertanggungjawaban secara periodik.

Dalam Permenpan dan RB Nomor 35 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian kinerja, Pelaporan kinerja , dan Tata Cara Reviue Atas Laporan Kinerja Intansi Pemerintah disebutkan bahwa SAKIP merupakan sistem manajamen pemerintah yang berfokus pada peningkatan akuntabilitas dan sekaligus peningkatan kinerja berorientasi pada hasil (result oriented government). SAKIP ini kemudian diimplentasikan secara “self Assesment” oleh

masing-masing instansi pemerintah. Ini berarti instansi pmerintah tersebut merencanakan sendiri, melaksanakan, mengukur dan memantau kinerjanya sendiri serta meaporkannya sendiri kepada insansi yang lebih tinggi.

(28)

Intansi Pemerintah (LAKIP) supaya diketahui tingkat pencapaian sasarann ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran visi, misi, dan strategi instansi pemerintah.

Pemberlakuan SAKIP ini juga tidak lepas dari nilai kemanfaatan yang diharapkan, antara lain:

1. Menjadikan isntansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya.

2. Terwujudnya transparansi instansi pemerinah.

3. Terwujudnya partisipiasi masyarakat dalam pelakasanaan pembangunan nasional.

4. Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Dengan acuan dari Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, terdapat prinsip-prinsip pelaksanaan SAKIP yang secara proporsional yaitu:

1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan.

2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(29)

4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang diperoleh.

5. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.

6. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Selain prinsip tersebut, pelaksanaan SAKIP haruslah lebih efektif dengan menguatkan komitmen dalam mengerjakan apa yang menjadi visi dan misi organisasi dan konsisten dalam pengawasan, pengendalian, dan penilaian terhadapa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Berkenaan dengan ruang lingkup SAKIP, dikemukakan bahwa SAKIP yang dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah sebagai bahan pertanggungjawabannya kepada presiden, adalah semua kegiatan instansi pemerintah yang memberi kontribusi bagi pencapaian visi dan misinya. Kegiatan yang menjadi perhatian utama mencakup:

1. Tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah 2. Program kerja yang menjadi isu nasional

3. Aktivitas yang dominan dan vitas bagi pencapaian visi dan misi instansi pemerintah.

Berkaitan dengan penerapan manajemen berbasis kinerja, dibutuhkan keahlian pimpinan intansi pemerintah untuk mendukung terlaksananya manajemen kinerja yaitu :

(30)

2. Pimpinan mendorong dibangunnya perangkat dan pelatihan agar diterapkannya anggaran berbasis kinerja di instansinya.

3. Tugas-tugas diarahakan pada pencapaian kinerja organisasi agartujuan organisasi dapat segera tercapai.

4. Pegawai dan organisasi yang telah mencapai kinerja dengan baik perlu diberikan penghargaan agar mendorong pegawai dam organisasi terus bekerja dengan baik.

5. Pemimpin instansi pemerintah mendukung dilakukannya evaluasi kinerja di instansinya secara terus menerus agar dapat dipantau perkembangan kinerjanya.

Selanjutnya, dalam kegiatan pengendalian disebutkan bahwa dalam upaya untukmemantau pencapaian kinerja instansi pemerintah, pemimpin intsnasi pemerintah harus melakukan :

1. Terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan.

2. Terlibat dalam pengukuran dam pelaopran hasil yang dicapai. 3. Secara berkala mereviu kinerja dibandingan rencana.

4. Pada tingkat kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis kecenderungan dan mengukur hasil dibandingkan dengan target anggaran, perkiraan dan kinerja periode lalu.

Hal ini sejalan dengan tahapan yang telah ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(31)

2. Merumuskan visi, misi,faktor-faktor kunci keberhasilan, tujuan, sasaran dan strategi instansi pemerintah

3. Merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan berpedoman pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional dan vital bagi pemcapaian visi dan misi instansi pemerintah.

4. Memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan seksama.

5. Mengukur pencapaian kinerja dengan:

a. Perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target b. Perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya

c. Perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-negara lain

atau dengan standar internasional

d. Membandingkan capaian berjalan dengan tahun-tahun sebelumnya

e. Membandingkan kumulatif pencapaian kinerja dengan target selesainya rencana strategis

6. Melakukan evaluasi kinerja dengan : a. Menganalisis hasil pengukuran kinerja b. Menginterpretasikan data yang diperoleh

c. Membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi intansi pemerintah.

(32)

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap akhir, informasi yang teremuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi yang berkesinambungan.

I.6 Defenisi Konsep

Menurut Singarimbun (1995 : 33), Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep maka peneliti akan bisa memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di dalam penelitian. Oleh sebab itu, untuk lebih memperjelas pemahaman dalam tulisan ini yang menjadi definisi konsep dalam tulisan ini adalah :

1. Implementasi Kebijakan adalah proses pelaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan (goals) yang berdampak demi kepentingan seluruh masyarakat. Implementasi kebijakan ini diterapkan dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinttah atau SAKIP disesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014. Berikut ini model kebijakan yang digunakan dalam penelitian :

1) Komunikasi. Penyampaian informasi yang efektif tentang kebijakan SAKIP yang akan dilaksanakan terhadap pegawai Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar.

(33)

3) Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) merupakan respon berupa penerimaan atau penolakan terhadap kebijakan SAKIP yang diterapkan.

4) Struktur birokrasi meliputi Prosedur kerja (Standart Operating Procedures = SOP) dan fragmentasi.

Gambar

Gambar 1.1 Tahapan Kebijakan Publik
Gambar 1.2 Model Implementasi Edward III

Referensi

Dokumen terkait

Sistem ini menangani kegiatan penerimaan pegawai yang meliputi proses-proses : pemeriksaan kelengkapan surat lamaran, pengelompokan sesuai posisi yang ditawarkan, pengiriman

Amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , menyatakan bahwa Renja SKPD disusun sebagai penjabaran Rensta SKPD untuk jangka waktu 1 (satu)

ketidakpastian lainnya, maupun karena faktor perubahan teknologi yang tidak sebagus pada dekade 1970 dan 1980an. Sistem produksi pangan yang demikian, baik di sektor hulu maupun

Sehingga kami simpulkan bahwa dokumen pengadaan dan adendum yang diupload di lpse.kemenag.go.id sudah dianggap jelas dan bisa diterima5. Selanjutnya peserta calon

Universitas Negeri

melakukan pendampingan di gugus sesuai alokasi jam pendampngan yang telah ditentukan (3 jam/180 menit/IN). 4) Seluruh guru pendamping belum melakukan pendampingan di gugus

C_1 Pemberdayaan Pemuda Karangtaruna Dalam Rancang Bangun Sistem e-Commerce melalui Pemanfaatan Akses Informasi Jaringan Pita Lebar Indonesia Berbasis Web-GIS untuk Peningkatan

aktivitas pembelajaran menekankan pada perumusan masalah dan bagaimana proses/prosedur dilakukan, bukan hanya hasil. 4) Seluruh guru belum dapat memahami. aktivitas