PROCEEDING
SEMINAR
NASIONAL
iM..brogun
Karakter
Kota
Berbasis
Lokalitas"
ARCHITECTURE EVENT
2OI4
lJrvt"-U".gun
Karakter
Kota
Berbasis
Lokalitas"
Reviewer
ili.
iLit
Srimuda Pitana', ST, M'Trop'Arch;;.
il;.
r{utut-ingdvah
Nurul^landayani" sT'MT
Dr. B.i{eru
Santoru Soemarno', ST' M'App'ScEditor
TriJoko
Daryanto., ST,MT
Erwin HerlianDiterbitkan
oleh:J";;;;;
Gitektur
Fakultas Teknik Universitas Sebelas MaretJl.lr.
Sutami 36A
Surakarta 57126Telp/fax (0271) 643666 Email: arsitek@uns.ac'id
Februari 2014
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
By*t"!"r3#::il"'":,t"?
karya tulisini
dalam bentuk apapun dan cara apapun tanpaijin
daripenerbit
E
I
I
I
:;
Daftar lsi
Daftar
Isi
Cover
.Penerbit
Sambutan
Kata Pengantar
Penyelenggara
Daftar Isi
Pembicara
Kunci
Yuke Ardhiati
Kota dan Monad Lokalitas Berbasis Inti Jiwa Seni
Gede Kresna
Membangun Karakter Kota dengan Lokalitas
Titis Srimuda Pitana
Membangun Karakter Kota dengan Bahasa Ibu Arsitektur Nusantara
Subtema
I
: Kebijakan Pembangunan Kota dalam MembangunKarakter Kota
Berbasis Lokalitas
Mirtha
Firmansyah
l-l
Arahan Pengendalian LokasiRawan Kecelakaan Lalu Lintas Kota Surabaya
Berdasarkan Faktor Hambatan Samping (Studi Kasus: Koridor Jalan Ahamad Yani) l
ii
lll
v
vi
vii
ll
ji'
2.
a J.
Rizqiyah Safitri Juwito
Penataan Reklame padaKoridor Jalan Garuda Mas di Pabelan
Luluk Mawardah
InteraksiTaman dan Kampung Sebagai Simbol Kota Humanis
(Studi Kasus: Taman Kunang-Kunang, Penjaringansari- Kota Surabaya)
Hardi Utorno
Identifikasi Kawasan Produktif Sebagai Penyangga Distrik Sentra Bisnis
(Kasus: Koridor Jalan Senopati
-
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan) Sudarmawan Julvonopembacaan E,ksistensi Wong
Cilik
dalam Wujud Arsitektur Kota Surakarta SebagaiKontribusi Pengetahuan Falsafah dar-r Kalakter Pembangunan Kota Surakarta
l-13
t-23
1-31
l-39
4.
8.
9.
10.
ScrninarNasional Universitas Sebelas Marct Surakana, Arch Event 2014 i
Manbangun Karakter Koto Berbasis Lokalitas tsBN 978{02-l 4983-0-9
6.
Yunita A. SabtalistaKenyamanan Termal Sistem FAC (Floor
Air
Conditioner) dan CAC (Ceil'ingAirConditioner) dalam Unit Apartemen
7.
Na{i'ahSoli*fidt
Kampung dalam Perkembangan Arsitektur Kota Jakarta
Sukarnen
Manajemen Penggunaan Lahan untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan
di Kawasan Jalan Mayar
Kertorjo
Raya SurabayaJoko
.S:
.Keuntungan Eko logis Men gangkat Kampung Pan ggung/Super Kam pun g
di Bantaran Sungai Ciliwung (Lap Penelitian)
Safina Sofia
Rehabilitasi Bekas Lahan Tambang dengan Pendekatan Pariwisata
(Srudi Kasus: Telaga NgiPik)
Soedwiwahjono
Kota Solo: Arrifak Yang Berubah
M.
Syaom BarlianaUrbanitas dan Pendidikan Budaya Berkota Warga Surabaya
Hardiyati
Membangun Kota Surakarta Kedepan Berbasis Kampung
Yodi Danusastro
Konservasi Budaya Lokal dalam Sistem Penilaian Kawasan Hijau,
Studi Kasus dalam Pengembangan Kota Baru
Punto Wijayanto
Pelestarian Pusaka Pasca-Bencana di Kota Gede
SriYuwanti
Menggali Potensi Lokal dan Karakter Khas Kota Sebagai Input Bagi Perencanaan
Pembangunan Kota dan Pengembangan Daya Tarik Wisata
l-49
l-59
r-71
l-83
l-l0l
1-l I
I
l-t23
l-129
t-137 l-147 l-159 irii
I Itl
I tl _r-t ,ir' I rl i Ill.
12. 13. 14. 15. 16.Muhammar Khamdevi
Floating City: A Locality Based Solulion Beside
Sea lVall Developnrcnl Area in Jakartq Bcrv
r-173
Lancl Reclamationfor Future Giant 17.
Seminar Nasional Universitas Sebelas Maret Surakana. Arch Event 2014 1 Membangun Karakter Kota Berbasis Lokalitas
tsBN 978-602-l 4983-0-9
18.
Murtanti Jani RahayuPeran PKL dalam Proses Penataan Berbasis Partisipatif di Kota Surakarta
19.
Tri Joko DaryantoEvaluasi Penataan Reklame Berbasis Elemen Citra Kota Surakarta
(Studi Kasus: Kawasan Jalan Slamet Riyadi)
t-t85
l-r95
Subtema 2 : Peran Komunitas dalam Membangun
Karakter
Kota Berbasis Lokalitas20.
Nur EndahNuffida
2-l
Pendampingan Arsitektural KampungiKemasan Gresik Sebagai
Daerah Wisata Arsitektur
21.
Choirur RoziqinPen gemban gan Urb an F arm ing B erbasi s Lokal itas
Studi Kasus: Kompleks Perumahan Marinir, Gunungsari Surabaya
22.
Franky,LiauwKearifan Lokal yang Mampu Bersaing
23.
Siti SujatiniModel Ruang Terbuka Publik Berkelanjutan Berbasis Masyarakat Pengguna
di Jakarta
24.
Sherly AsrianyKajian Kualitas Ruang Publik pada Permukiman PERUMNAS Panakkukang
25.
Agung WahyudiPeran Serta Masyarakat dalam Menciptakan Perumahan Ber"Arsitektur"
Betawi di Setu Babakan
26.
Hari Yuliarso2-9
2-t7
2-25
2-35
2-43
2-53
Partisipasi Penghuni dalam Membentuk Tata Ruang Permukiman Warga Terdampak
Erupsi Merapi Tahun 2010 di Hunian Tetap Batur Desa Kepuharjo Sleman
DIY
Subtema 3 : Sejarah dan
Arsitektur Kota
dalam MembangunKarakter
KotaBerbasis Lokalitas
Tutur Lussetyowati
Studi Perkembangan Permukiman Daerah Rarva di Kota Palembarrg
3-l
Seminar Nasional Universitas Sebelas Maret Surakana , Arch Evenr 20 | 4 i Membangun Karakter Kota Berbasis Lokalitas
ISBN 978-602-r 4983-0-9
28.
Johannes AdiyantoKe_Genius_an Masyarakat Jawa dalam Penentuan Lokasi Berhuni
29.
Etty R. KridarsoIdentifikasi Fasade Hunian pada Lingkungan Industri Rumah Tangga
(Kasus: Kampung Kauman
-
Pekalongan, Jawa Tengah)30.
Udjianto PawitroMengenal Potensi 'Arsitektur Kota' Skala Kawasan Untuk Mendukung
Kota yang Berkarakter (Stu4i Kasus: Kawasan Jalan Braga
-
Kota Bandung)31.
OlgaNauliKomala
3-39Perkembangan Kampung Kota dan Peranannya dalam Pembentukan Karakter Jogia
(Studi Kasus: Kampung Kota di Jakarta)
32.
NuryantoPengembangan Model Desain Rumah Ramah Gempa di Desa Jayapura
'
Kec. Cigalontang, Tasikmalaya Berbasiskan Lokalitas Arsitektur Tradisional Sunda33.
E.Kerisnanto
3-61Penggunaan Elemen
Air
Untuk Memperkuat Karakter pada Ruang Terbuka Kota34.
HanifBudirnan
3-69Landscape and Arranging Character of Ciyt Space Case: City of Yog,,akarto
35.
HusnulHidayat
3-77Konteks Ekologi Kota Tepian Sungai dalam Perspektif Lokalitas Bahan Bangunan
3-il
3-21
3.29
3-47
3-85
3-95
3-107
36.
Iwan PurnamaPengaruh Keraton dalam Arsitektul Kota Cirebon (Penerapan Elemen Gapura
dalam Lansekap Bangunan)
37.
Rakhmat HaditaKonsep Konservasi Kampung Lama Karangpoh Gresik dalam Dinamika
Perkembangan Zannan
38.
Broto W. SulistyoPendekatan Beautifika,si Potensi Lokal dalam Kawasan Pusaka
-,r
l
Seminar Nasional Univcrsios Scbdas Marct Sunkana , Arch Evenr 2014 i Membangun Karakter Kota Bcrbrsis lnkalitas
lsBN 97E{02-r4983-G9
39.
I Nyoman Teguh PrasidhaKar&ristik
Arsitektur Kawasan Koridor Ulang-Alik Kota Depok(Studi Kasus: Koridor Jalan Margonda Raya dan Kawasan Stasiun Citayam)
40.
Titin
FatimahS€jardt Kawasan Pecinan Pancoran-Glodok dalam Konteks Lokalitas
,'
Kampung Kota Jakarta3-n7
,j"-Seminar Nasional UniVersitas Sebelas Maret Suraka(a . Arch Event 201 4 Membangun
*'*o':"[iii*H:
B5;1il:;
MEMBANGUN
KARAKTER KOTA
DENGAN BAHASA
IBU ARSITEKTUR
NUSANTARA')
Dr.
Titis SrimudaPilanu,
ST, M.Trop-4rch2) !Abstrak
Mitos globalisasi yang lahir dari diskursus yang dibangun oleh masyarakat pendukungnya menjadi alasan untuk menentukan standart kemuliaan kualitas hidup dan peradaban manusia dalam melakukan pembangunan yang
lazim
dijadikan indikator keberlangsungan modernisasi suatu wilayah kota. Oleh karena itu, tulisan ini ditujukan untuk memahami pentingnya penggunaan bahasaibu
arsitektur dalam membangun karakter kota yang melipfri tiga hal. Pertama, adanya tekanan modemitasglobal kehidupan budaya modern atas arsitektur Nusantara yang senantiasa menjaga keseimbangan, kesejajaran, bahkan keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin,
kesejalrteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan. Keduq wacana kearifan
lokal yang menjadi dasar pengembangan arsitektur Nusantara untuk menjadi bahasa
ibu dalam berarsitekfur. Ketiga, arsitektur Nusantara sepatutnya diarahkan kepada
upaya meftbangun ruang kesadaran baru masyarakat Nusantara untuk membangun wacana banr sebagai "arsitektur masa depan" dalam pembangunan karakter kota yang
sejajarptau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Baral.
Kata kunci : karakter kota. kearifan lokal. arsitektur Nusantara
I.
PENDAHULUAN
Pembangunan lazim dijadikan indikator keberlangsungan modemisasi suatu wilayah kota. Dalam hal ini, modernisme sebagai 'struktur perasaan' melibatkan harapan, perubahan,
ambiguitas, resiko, dan revisi kronis atas pengetahuan.
Ini
semua diperkuat oleh proses sosialdan
budaya
diferensiasi,komodifikasi, individualisasi,
rasionalisasi, urbanisasi, danbirokratisasi (Barker, 2000:140). Sejalan dengan
ini,
negara (pemerintah) memasuki periode yang menggulirkan modemisasi dalam kerangka pembangunan. Oleh karena itu, tidak dapatdihindari modernitas telah merebut konsensus masyarakat untuk menyesuaikan pola pikir dan
tindakannya dengan kondisi kekinian.
Dalam logika
Giddens(2001:xiv), kaum
modernis berpandangan bahwa dengansemakin berkembangnya
ilmu
dan teknologi, dunia seharusnya menjadilebih
stabil dantertib.
Ini
berarti kaum modernis berkeyakinan bahwa segala permasalahan kehidupan di dunia dapat teratasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut mereka, semakin manusia mampu memahamidunia dan
dirinya
sendiri
secara rasional, semakin dapat manusiamembentuk sejarah untuk tujuan hidupnya. Bahkan menurut Lubis (2006:51), modernisasi yang menekankan pentingnya peran
ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi instrumen dalam proses humanisasi sehinggailmu
pengetahuan dan teknologi diyakini dapat menjadialat
untuk
rneningkatkan harkatdan
martabat manusia. Malahanbagi
kaum
modernis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap mampu rnengendalikan dunia sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menjajah dan mengatasi kesadaran manusia. Oleh karenaitu,
menurut Giddens(2001:xvi),
apabila perkembanganilrnu
pengetahuan dan ')Disampaikan dalam Seminar Nasional "Membangun Karakter Kota Berbasis Lokalitas" yang diselenggarakan^.
oleh Jurusan Arsitektur UNS, tanggal 15 Februari 2014') Staff Pengajar Prodi Arsitektur, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknrk Universitas Sebeias Maret Surakarla
ti tisJ)ita n a @ya hoo com
o * *.,ii'li lil
i;l
xlJffi::,I,::1"""..teknologi
ini
tidak
dibarengi dengan respons dan strategi yang tepat maka tidak jaranglceduanya justru mempunyai dampak yang sebaliknya.
Mitos
globalisasi
yang
lahir dari
diskursusyang
dibangun
oleh
masyarakat pendukungnya menjadi alasanuntuk
menentukan standart kemuliaan kualitashidup
danperadaban manusia. Apalagi ketika seluruh proses sosial dan budaya yang menjadi mesin penggerak modernisasi dirasakan fungsional untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat
kota untuk
mewujudkancita-cita
kemajuanyang
diidam-idamkan. Artinya, modenitas bukan saja menawarkan pesona kualitas kehidupan yang lebih baik, melainkanjuga
menjadi
kebutuhandan
kepentingan masyarakatkota
dalam kerangka persaingan ekonomi danpolitik
yang didialogkan dengan bidang-bidang kehidupanlainny4
termasuk dalam berarsitektur. Lokalitas dan moralitas yang menjadi unsur pembentuk karakter suatuwilayah
menjadi terabaikandan
digantikanoleh
standart-standartnilai
universal yang mendunia. Ruangtidak lagi
menjadi ikatan ingatankolektif
penghuninya, bahkan manusia menjadi teralinasi dalam ruang hidup materialnyaDalam kondisi yang
memprihatinkanini,
arsitektur
Nusantarabegitu
lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, karenaitu
harus berhadapan dengan arsitektur modem, sebagaimana positivisme mengafirmasi kebenaran sebagai 'paradoksal'. Kebenaran modelini
pada kenyataan telah merebut kesadaran bahwa arsitektur Nusantara sebagai senitradisional kuno karena eksistensinya begitu terikat pada masa.lalu. Sebaliknya, arsitektur modern karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera manusia yang selalu menghedaki yang serba baru termasuk dalam bidang seni rancang bangun. Apalagi selera itu memang sejalan dengan kodrat manusia yang selalu bergerak maju ke masa depan. Dengan
demikian, arsitektur
modem
berhasil
membangun kesadaranbaru dan
mendominasi kesadaran kearsitekturan Nusantara yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan Nusantara berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya modern berasal.Keberterimaan
diri
disebut sebagai arsitektur tradisionalini
menjadikan masyarakatpemiliknya
menjadi
masyarakattradisional
yang
terkesanstatis dan
sulit
menerimaperubahan, bahkan sering dipandang sebagai masyarakat terbelakang. Akibatnya,karya-karya adiluhung arsitektur Nusantara cenderung dimaknai sebagai objek kajian masa
lalu
yang menyimpan romantisme kearifan lokal. Kegagalan dalam membangun karakter kota-kota di Nusantara dengan berbasispada lokalitas
dan
mengembangkan wacanajati diri
ini mengantarkan makna adiluhung arsitektur Nusantara hanya pada kebanggaan masa lalu yanglambat
laun
akan
membawanl,a pada kematian metafisika arsitektur Nusantara. Oleh karenanya, pembahasan dalam makalahini
diarahkan pada duahal, yaitu
(l)
diskursus arsitektur Nusantara dalam membangun ruang kesadaran manusia; (2) berarsitektur denganbahasa
ibu
arsitektur Nusantara;dan
(3)
rnembangun karakterkota
dengan arsitekturNusantara.
II.
DISKURSUS
ARSITEKTUR NUSANTARA
DALAM
MEMBANGUN
RUANG
KESADARAN MANUSIA
Diskursus dalam
ilmu
dan praktck sosial rnerupakan jaringan praktek pengetahuan dan kekuasaan.White
(Foucault, 2007:xiv) nrengatakanbdrwa
apa yang dilakukan ataudibahas dalarn diskursus, seperti
lanu
[cr-lacii clengan yang lain adalah selalu keherrdak dankekuasaan. Foucault (2001:143-144) rrcricsrtsliAn hahrva ketika sebrrah wacana dilahirkan,
Titis Srimuda Pilana
maka diskursus sebenarnya sudah
dikontrol,
diseleksi, diorganisasi,dan
didistribusikan kembali menurut kemauan pembuatnya karena wacana tersebut dikonstruksikan berdasarkan tata-aturan {episteme) tertentu.Oleh
karenaitu,
kebenaranmemiliki
mata rantai dengan sistem kekuasaan, dimana bahasa sebagai diskursus, bukan semata-mata mempersoalkan ucapan dan/atau tulisan, tetapi semua pemyataan kultural karena keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuantertentu. Sebagaimana bahasa arsitektural
yang
bukan hanya mempersoalkangaris
danbidang, bahkan bukan hanya mempersoalkan kaidah trinitas Marcus
Vitruvius Pollio
yang merupakan sintesa antara kekuatan(durability
ataufirmitas),
kegunaan (convinience atau utilitas), dan keindahan (beauty atau venustas), melainkan lebih pada ekspresi kehendak dan kekuasaan yang berada di dalam ruang k8sa&iran manusia.Dalam ruang kesadaran manusia, kehendak dan kekuasaan
ini
adalah refleksi dari hasrat manusia. Manusia dengan hasratnya telah mengembangkan arsitektur menjadi ilmurancang bangun tidak hanya dibatasi oleh ruang dan gatra (sesuatu yang tampak terwujud) atau garis dan bidang. Akap tetapi, arsitektur telah berkembang menjelajahi ruang kesadaran manusia
jauh
ke relung-relung keindahan yang kemudian, diposisikan menjadinilai
ideal.Nilai
keindahan inilah bahasa manusia yang disampaikan dengan media arsitektur (Pitana,20ll).
Malahan Merleau-Ponty mengatakan bahwa berarsitektur adalah berbahasa manusia dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun bentuk dan komposisinya. Begitulah bahasa arsitektur selalu menghadirkan nilai keindahan dengan penuh kejujuran dankewajaran, sebagaimana diungkapkan
oleh
ThomasAquinas,
'pulchrumsplendor
est veritatis', 'keindahan adalah pancaran kebenaran' (Mangunwijaya,1992:9-10).Dewasa
ini
kaum
modernistelah
mampu mengumandangkan modernisasi untuk mengubah kesadaran dunia dalam berarsitektur, segalanilai
keindahan, institusi, kondisiinternal, serta
tradisi yang
dianggap menghambat pembangunanmenttju dunia
modern dan/atauyang
menyertainya harus direkonstruksi atau dirombakmenjadi
sesuatu yang modern. Praktik-praktik berarsitektur semacamini
tampak begitu jelas dan terasadi
dalam masyarakat, khususnyadalam
pembangunankota,
dimana
batas-batassosial
budaya masyarakat semakin luasdan
kabur, perubahan karakter kornunitas semakin mencolok, ikatan-ikatan tradisional semakin melemah karena otonomi individu-individu semakinkuat-Selain
itu,
nilai-nilai
tradisional
yang
merupakanacuan
kebudayaangenerik
harus didekonstruksikan dan tawar-menawar terhadapnilai-nilai
yang berlaku rnenjadikan setiapindividu
dalam suatu
masyarakatmemiliki
banyak
pilihan
dalam
menentukan sikap hidupnya.Dalam arsitektur, "ruang" lazirn diidentikkan dengan 'lvadah tempat berlangsungnya suatu kegiatan'. Artinya, manusia dalam berkegiatan (beraktivitas)
tidak
akan pernah lepasdari
keberadaan ruang sebagai wadah kegiatannya. Persoalannya, seberapajauh
manusia menyadari eksistensi dan memaknai ruang tersebut dalarn kehidupannya agar segala tindakan atau keputusannya adalah dianggap tepat? Oleh karenaitu,
tnanttsia harus tetap menjalin keselarasan dengan ruangnya untuk selalu mendekatkan kebenaran.l-lal
ini
menunjukkan bahwa kesadaran terhadap ruang menjadi suatu yang sangat penting bagi manusia. Sebagaicontoh, manusia Jawa yang menjadi bagian
dari
trasyarakat Nr-rsantara rneyakini bahwaantara
"wadah"
dengan
"isi"
diperlukan
adany'a keseirrbangan. kesejajaran, bahkan(
.."*,,llTr;i;'l
fJ#l::
Li:x,,,,,,.keterpaduan sehingga tercipta ketenteraman batin, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam
hidup dan kehidupan.
" III.
BERARSITEKTUR
DENGAN BAHASAIBU ARSITEKTUR NUSANTARA
Sebagai makhluk berkesadaran, manusia tahu bahwa
ia
mengetahui sesuatu tentang s€suatu.Ini
dibuktikan
dengan kemampuanberpikir dan
berkomunikasiyang dimiliki.
Berpikir
adalah berkata-kata dalamhati
sendiridan
berkomunikasi adalah berkata-kata antarsubjek. Mengingat kedua kegiatan ini merupakan tindak tutur dengan menekankan padapenggunaan kata-kata sehingga kegiatan semacam
ini
tidak
dimungkinkan tanpa bahasa.Begitulah dengan bahasa, manusia bisa saling memahami dan mewujudkan pengertian d! antara sesamanya. Kesalingpengertian
dan
pemahamaninilah yang
dimaksud dengankesadaran dan
di
dalamnya bdfrasa menjadi alat danwujud
kesadaranitu
sendiri. Ketikabahasa diterima menjadi wujud kesadaran kolektif masyarakat manusia, maka manusia sudah
menciptakan wacana di dalam dunianya sendiri (Ricoeur, 2002:17).
Pengandaian arsitektur sebagai bahasa sama halnya menjadikan arsitektur sebagai teks
budaya yang harus dibaca untuk dapat diungkap makna yang dikandungnya. Oleh karenany4 persoalan arsitektur bukan hanya berhenti pada persoalan geometris, penciptaan ruang, dan
menghuninya, melainkan lebih pada wacana atau diskursus yang hendak disampaikan dalam
dimensi "kekinian" yang
disebut dengan "kemenjadian" (becoming);bukan
hanya ada(biing),namun juga mengada (beings).
Sebagai
realitas
ciptaan, arsitektur
Nusantara merupakankarya
masterpiece,adiluhung,
dan
sophisticatedjika
dipandang
dari
aspek
filosofis,
kaidah-kaidah keseimbangan antarafungsi
dan konstruksi,klimatologi,
kepadatan penggunadan
area,komposisi bahan, proporsi, tampilan, garis tegas ornamen, sampai makna warna.
Hal
ini menunjukkan bahwa arsitektur Nusantara menjadi produk kebudayaan yang sarat kearifanlokal,
bersifatobjektif;
dan karenanya teramati.Ini juga
sebabnya arsitektur Nusantaramemiliki
kemampuan berkomunikasi melalui tandagrafis
(srgr)
yang melekat padanya.Dalam artian
bahwa tanda-tandagrafis (slgn)
arsitekturalyang
membangun arsitektur Nusantara adalah makna denotatif dan konotatif menurut sandi-sandi (codes). Apabila nilai simbolisme arsitektur Nusantara terletak pada caranya menyampaikan maknadari
wujud suatu bangtrnan yang mengandung bobot ekspresi (signtfer) dan bobot makna (signified), maka bobot ekspresi yang dimaksudkan tercermin pada perwujudan arsitekturnya. Bobot ekspresiini
rneliputi
ruangdan
permukaannya (facade), sedangkanbobot
rnakna yang dimaksud adalah tnedia yang berisi muatan atau pesan yang hendak disampaikan.Menurut Spradley (1972:4) sistem kategori dari setiap kebudayaan didasarkan pada
simbol-simbol
tertentu. Dengan demikian,
pengertian
kebudayaansebagai
sistempengetahuan adalah kenyataan bahwa kebudayaan hanya berhubungan dengan
hal
yang subjektif,, sedangkan tindakan sosial serta benda material yangobjektif
merLrpakan hasilseperangkat per-rgetahuan
atau
kebudayaan.Di
sini
terdapat pernisahantegas
antarakebudayaan dan hasil kebudayaan. Jadi, apabila arsitektur Nusantara adalah realitas ciptaan, maka arsitektur Nusantara adalah hasil kebudayaan Nusantara yang bersifat objektif teramati. Seltrentara itr.r, kebudal'aan Nusantara merupakan kategori-kategori yang digu.nakan untuk menyoftir dan rnengklasifikasikan peugtilzunan tentang aristektur Nusantara
I'ang
bersifat subjektit-.Oleh
karcnanva. kel'lrdayaan NLrsrutara adalalr -ja-uatnraknl
dannilai
rnanusiaTitis Srimuda Pitana
Nusantara yang dikomunikasikan
melalui
simbol.Simbol
yang dimaksud dalamhal
ini adalahkearifan
lokal
yang
diekspresikanmelalui
arsitektur,
sedangkan kebudayaan Nusantara adalah sistem simbol itu sendiri.Dalam arsitektur Nusantar4 simbol kearifan lokal yang melekat adalah sesuatu yang
memiliki
nilai
fungsional dan bersifat hidup. Mengingat pada dasarnyasimbol
arsitektur Nusantara mengandaikan bahwa perwujudan yangterpilih
adalah formulasi yang paling baik tentang sesuatu yangrelatif tidak
populer atautidak dikenali
sebelumnya sebagaisimbol, tetapi hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan,ada. Selama kearifan
lokal
dalam
simbol
arsitektur Nusantaratetap
hidup, berarti
simbol
tersebut adalahekspresi tentang suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Dalam konteks
ini
kearifan lokal lazim dimaknai sebagai bangun pengetahuan yang bersumber darinilai-nilai
dan potensi lokal yang diwacanakan secara lisan dari generasike
generasi yang akhimya disebut kebudayaan tradisional. Namun demikian, harus diakui bahwa kebenarantidak
selalu terdapat pada yang baru (modern), tetapijuga
pada yang tradisional, bahkan kebenaran tersebar pada sepanjang pengalaman manusia, terfragmentasi sesuai dengan ruallg danwaktu
realitas berada, dan bukan hanya ditentukan berdasarkanakal dan
rasional.Sebagaimana perwujudan arsitektur Nusantara yang secara semiotik dikatakan sebagai sarana
komunikasi visual.
Ini
berarti bahwa arsitektur Nusantaramemiliki
bahasa tersendiri dalam membangun komunikasi yang baik dengan subjek-subjek pemakna di luar dirinya.Penganilaian perwujudan arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi
visual)
dalam membangun kesadarankolektif
masyarakatnya memerlukan bahasa yangdikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yanglazim disebut "bahasa ibu". Apabila kearifan lokal menjadi dasar pengembangan arsitektur Nusantara, maka kearifan lokal dapat
dianggap sebagai bahasa ibu arsitektur Nusantara.
IV.
MEMBANGUN KARAKTER KOTA
DENGANARSITEKTI.]R NUSANTARA
Arsitektur Nusantara dengan lokalitasnya begitu lazim diposisikan menjadi arsitektur tradisional, karena itu harus berhadapan dengan arsitektur modem, sebagaimana positivisme
mengafirmasi kebenaran sebagai 'paradoksal'. Kebenaran meta narasi
ini
pada kenyataan telah merebut kesadaran bahwa arsitektur Nusantara sebagai produk budaya kuno karena eksistensinya begituterikat
pada masalalu.
Sebaliknya, arsitektur modem karena sifat kebaruannya sehingga selalu sejalan dengan selera manusia yang selalu menghendaki yangserba baru termasuk dalam bidang seni rancang bangun. Apalagi selera
itu
memang sejalandengan
kodrat
manusiayang
selalu bergerak rnajuke
masa depan. Dengan demikian,arsitektur modem berhasil
membangun kesadaranbaru dan
mendominasi kesadarankearsitekturan Nusantara yang tradisional. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas kearsitekturan dalam pembangunan kota
di
lndonesia berorientasi ke dunia Barat, tempat budaya tnodern berasal. Apabila dominasi kesadaran arsitektur modemini
dibiarkan berkembang semakindalam
di
benak masyarakat Nusantara, maka arsitektur Nusantara akan mengalami kesulitan mengelola kelangsungan hidupnya.Tidak dapat dipungkuri bahrva arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya adalah
realitas ciptaan yang lazimnya dianggap sebaqai produk kebudayaan masa lalu. Kecan'lgihan
visi
budaya kearsitekturan Nusantaratelalr
menjadikarrnya sebagai pr-rncak pervvujudanarsitektur tradisional
yang
nrenrbangl.;.rkln.Akan tetapi,
kebanggaan tcrlrzrdap kary'al
7
0.",")lT;:lli;l
fJi:l:li,in.",,,,
arsitektur tradisional seperti
ini
terkadang menjadi sumber malapetaka arsitektur tradisional itu sendiri. Dengan kebanggaan itu, bisa saja tanpa disadari kemudian, maiyarakat Nusantara membangun sebuah konstruksi mental yang menerima pengetahuan arsitektur tradisional inisebagai kebenaran. Yang dapat dilakukan terhadap sosok kebenaran, tentu sepefti menangani
sebuah pusaka,
yakni
merawat dan menghindarkan pusakaitu dari
perubahan. Keajeganselalu diupayakan dan diperjuangkan, bahkan sampai pada pemaknaan simbol yang melekat. Kondisi
ini
pada akhirnya menjadikan arsitektur Nusantara tidak dipandang sebagai simbol yang hidup karena keberadaannya telahdilingkupi
dan dimatikan oleh mitos-mitos yangdiajegkan.
Oleh karenany4 muncul sikap yang salah
bila
memandang kebudayaan sebagaisistem pengetahuan kemudian, rrrenempatkan arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya hanya
ke
dalamwilayah
arsitektur tradisional yang dibekukan dalam mitos, tanpa boleh dimaknai sebagaiilmu
yang bisa dikembangkan sesuai dengan tuntutanzaman.Ini
sejalandengan usulan Prijotomo
(2008:l)
yang mengusulkan untuk menyebut arsitektur tradisionaldi
Nusantara sebagai "arsitektur Nusantara".Hal ini
lebih dimaksudkan sebagai tandingan terhadap munculnya istilah "arsitektur Barat" yang dianggap lebih modern. Dengan kata lain, arsitektur tradisionaldi
Nusantara adalah arsitekturliyan
(the other) bagi arsitektur Barat.Menurut
Pangarsa(2008:3) dalam
kaitannya dengandunia
pendidikanarsitektur
danperkembangan dunia arsitektur yang mengedepankan kearifan
lokal,
arsitektur Nusantara adalah arsitektur masa depan.Artinya,
sudah saatnya arsitektur Nusantara dilepaskan dari bungkus dan label "arsitektur tradisional" untuk membangun wacana baru sebagai "arsitekturmasa depan yang mampu membangun karakter kota-kota di Indonesia" yang memiliki bahasa
ibu
berupa kearifanlokal
dan yang sejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat.V.
I(ESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik tiga simpulan sebagai berikut.
l)
Dalam tekanan modemitas global kehidupan budaya modern, arsitektur Nusantara dengan kearifan lokalnya harus segera merekonstruksi wacana yang dimainkan dengan mengembangkan pengetahuanatas kuasa
yang
dibangunnya sebagaiarsitektur masa depan yang sarat moralitas untuk tetap menjaga keseimbangan,
kesejajaran,
bahkan
keterpaduan
sehingga
tercipta
ketenteraman
batin,kesejahteraan, dan kemakmuran dalam hidup dan kehidupan.
2)
Dasar
pengembanganarsitektur Nusantara adalah
kearifan
lokal
yang perwujudannya dapat dianalogikan sebagai bahasa arsitektur (sarana komunikasivisual) yang
dikuasai
dan
dipahami
oleh
masyarakat pendukungnya yang selanjutnya dapat dianggap sebagai "bahasa ibu" arsitektur Nusantara.3)
Diskursuskearifan
lokal
sebagai bahasaibu
arsitektur Nusantara sepatutnyadiarahkan kepada upaya rnernbangurl ruang kesadaran baru masyarakat Nusantara untuk dapat nrelepaskan arsitektur Nusantar-a
dari
bungkus dan label "arsitektur tradisional" untuk membangun wacana baru sebagai "arsitektur trasa depan" yangsejajar atau bahkan berani bersaing dengan arsitektur Barat.
It
I
Titis Srimda Pitrna
DAFTAR PUSTAKA
Ffu
$"UhHlU?
[K;"#ff
,*
tut
Meto de:
Karva- katva P ent ing Mictat
F o ucantt'
'2W7.
Or&r of
ThW:
Arlceologillmu-ilmu
Kenon$iaan
Yogyakarta:-iiShF-Pelqiar.
G
atu
Globalisosi MercmbakKehi&quz