• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan pendidikan Agama Katolik bagi penghayatan nilai-nilai ke Charitasan siswa kelas VIII tahun ajaran 2014/2015 SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan pendidikan Agama Katolik bagi penghayatan nilai-nilai ke Charitasan siswa kelas VIII tahun ajaran 2014/2015 SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan."

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN

NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN

2014/2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN

Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta selatan cenderung membosankan dan penghayatan terhadap nilai-nilai ke Charitasan masih kurang khususnya karakter Charitas yang dimiliki peserta didik yang menjadi kekhasan sekolah,seperti; kegembiraan, kesederhanaan, cinta kasih, persaudaraan. Sekolah Charitas mengalami kesulitan untuk mengajak peserta didik rendah hati dan disiplin diri. Sedangkan bentuk kegiatan yang mendukung PAK bagi pengembangan iman peserta didik cukup banyak, oleh karena itu peserta didik membutuhkan pendampingan dalam pendidikan iman secara formal. Bertitik tolak dari kenyataan, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan yang ditanamkan sekolah melalui Pendidikan Agama Katolik.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah peranan PAK bagi peserta didik dan usaha apa untuk meningkatkan pentingnya PAK bagi peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas, Lebak Bulus Jakarta selatan. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Berdasarkan pengisian Skala Likert dari peserta didik, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tujuan PAK membantu peserta didik mencapai kematangan hidup sebagai orang kristiani menurut pola hidup Yesus Kristus. Dengan adanya PAK di sekolah diharapkan agar peserta didik dapat peka pada rahmat Allah dan tekun menanggapi sehingga peserta didik semakin beriman. PAK berperanan dalam pendidikan iman secara holistik yakni mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik. Ada hubungan PAK dan nilai-nilai ke Charitasan, keduanya merupakan nilai-nilai yang di wartakan Yesus Kristus untuk menghadirkan Kerajaan Allah. PAK mendukung penghayatan nilai-nilai ke Charitasan bagi peserta didik. Namun yang masih menjadi hambatan peserta didik suasana cinta kasih dan pengampunan, di karenakan peserta didik kurang memahami dan menghayati nilai-nilai kasih dalam hidup sehari-hari.

(2)

ABSTRACT

THE ROLE OF CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION FOR THE CHARITAS VALUES APPRECIATION OF EIGHT GRADE STUDENTS ACADEMIC

YEAR 2014/2015 OF SMP CHARITAS LEBAK BULUS, SOUTH OF JAKARTA

The title was chosen based on writer’s concern on the implementation of

Catholic Religious Education in SMP Charitas Lebak Bulus, South of Jakarta. The implementation of Catholic Religious Education tends to be boring. The Students’ appreciation of Charitas values such as joyfulness, simplicity, charity, and brotherhood are also lacking. Charitas School faces the difficulty to engage the students to be humble and discipline, whereas there are a lot of activities that

support Catholic Religious Education for students’ faith growth. Students need the

formal guidance for faith education. Based on the fact, this thesis is aimed to help the students in appreciating the Charitas values that are thought in the school through Catholic Religious Education.

The major problems in this thesis are the role of Catholic Religious Education for the students and what efforts to increase the important of Catholic Religious Education for the students in appreciating the Charitas values in SMP Charitas, Lebak Bulus South of Jakarta. To analyze the problems, accurate data is needed. Based on the Likert Scale filled by the students, the research result shows that the purpose of Catholic Religious Education is to help the students to reach

the life maturity as Christians based on the Jesus Christs’ life examples. The

implementation of Catholic Religious Education in the school is aimed to help the students to be more aware of God grace and be zealous in responding it to be more devoted. Catholic Religious Education has the role in the faith education

holistically, that is to develop students’ knowledge, attitude and behavior. There is

a relation between Catholic Religious Education and Charitas values. Both are values that Jesus Christ proclaimed to reveal the Kingdom of God. Catholic Religious Education supports the appreciation of Charitas values for the students. However, the hindrance for the students are charity and forgiveness. This is because the students lack of the understanding and appreciation of charity values in daily life.

(3)

PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN

NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN

2014/2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN.

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Kristina Suparti

NIM: 101124018

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada

Tuhan Yesus dan Bunda Mariayang telah menyertaiku selama ini, dan kepada

Kongregasi suster-suster Santo Fransiskus Charitasyang penuh perhatian dan cinta

(7)

MOTTO

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakanAnak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya

kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal “ ( Yoh 3: 16)

Penyerahan Kepada Bunda Maria

Oh Bunda yang manis segala pekerjaan, penderitan, roh dan hatiku,

kupersembahkan kepadamu.

Terimalah pujian, hormat dan cinta dari hambamu yang lemah ini

Persembahkanlah ini kepada Yesus, Puteramu dan Penyelamatku.

Hati Maria yang manis jadilah keselamatanku . Amin

(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN

NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN

2014/2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN

Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta selatan cenderung membosankan dan penghayatan terhadap nilai-nilai ke Charitasan masih kurang khususnya karakter Charitas yang dimiliki peserta didik yang menjadi kekhasan sekolah,seperti; kegembiraan, kesederhanaan, cinta kasih, persaudaraan. Sekolah Charitas mengalami kesulitan untuk mengajak peserta didik rendah hati dan disiplin diri. Sedangkan bentuk kegiatan yang mendukung PAK bagi pengembangan iman peserta didik cukup banyak, oleh karena itu peserta didik membutuhkan pendampingan dalam pendidikan iman secara formal. Bertitik tolak dari kenyataan, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan yang ditanamkan sekolah melalui Pendidikan Agama Katolik.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah peranan PAK bagi peserta didik dan usaha apa untuk meningkatkan pentingnya PAK bagi peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas, Lebak Bulus Jakarta selatan. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Berdasarkan pengisian Skala Likert dari peserta didik, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tujuan PAK membantu peserta didik mencapai kematangan hidup sebagai orang kristiani menurut pola hidup Yesus Kristus. Dengan adanya PAK di sekolah diharapkan agar peserta didik dapat peka pada rahmat Allah dan tekun menanggapi sehingga peserta didik semakin beriman. PAK berperanan dalam pendidikan iman secara holistik yakni mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik. Ada hubungan PAK dan nilai-nilai ke Charitasan, keduanya merupakan nilai-nilai yang di wartakan Yesus Kristus untuk menghadirkan Kerajaan Allah. PAK mendukung penghayatan nilai-nilai ke Charitasan bagi peserta didik. Namun yang masih menjadi hambatan peserta didik suasana cinta kasih dan pengampunan, di karenakan peserta didik kurang memahami dan menghayati nilai-nilai kasih dalam hidup sehari-hari.

(11)

ABSTRACT

THE ROLE OF CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION FOR THE CHARITAS VALUES APPRECIATION OF EIGHT GRADE STUDENTS ACADEMIC

YEAR 2014/2015 OF SMP CHARITAS LEBAK BULUS, SOUTH OF JAKARTA

The title was chosen based on writer’s concern on the implementation of

Catholic Religious Education in SMP Charitas Lebak Bulus, South of Jakarta. The implementation of Catholic Religious Education tends to be boring. The Students’ appreciation of Charitas values such as joyfulness, simplicity, charity, and brotherhood are also lacking. Charitas School faces the difficulty to engage the students to be humble and discipline, whereas there are a lot of activities that

support Catholic Religious Education for students’ faith growth. Students need the

formal guidance for faith education. Based on the fact, this thesis is aimed to help the students in appreciating the Charitas values that are thought in the school through Catholic Religious Education.

The major problems in this thesis are the role of Catholic Religious Education for the students and what efforts to increase the important of Catholic Religious Education for the students in appreciating the Charitas values in SMP Charitas, Lebak Bulus South of Jakarta. To analyze the problems, accurate data is needed. Based on the Likert Scale filled by the students, the research result shows that the purpose of Catholic Religious Education is to help the students to reach

the life maturity as Christians based on the Jesus Christs’ life examples. The

implementation of Catholic Religious Education in the school is aimed to help the students to be more aware of God grace and be zealous in responding it to be more devoted. Catholic Religious Education has the role in the faith education

holistically, that is to develop students’ knowledge, attitude and behavior. There is

a relation between Catholic Religious Education and Charitas values. Both are values that Jesus Christ proclaimed to reveal the Kingdom of God. Catholic Religious Education supports the appreciation of Charitas values for the students. However, the hindrance for the students are charity and forgiveness. This is because the students lack of the understanding and appreciation of charity values in daily life.

(12)

KATA PENGANTAR

Limpah syukur dan terimakasih atas Rahmat dan penyertaan Tuhan dalam

seluruh perjalanan hidup peneliti hingga saat ini, secara khusus saat memulai

menulis dan menyelesaikan skripsi dengan judul “ Peranan Pendidikan Agama

Katolik bagi Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan Siswa Kelas VIII Tahun

Ajaran 2014/2015 SMP Charitas, Jakarta Selatan”, sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir dalam bentuk

skripsi ini ditulis berdasarkan keprihatinan dalam diri penulis terhadap

penghayatan nilai-nilai ke Charitasan peserta didik SMP Charitas. Penulis ingin

melihat sejauh mana peranan PAK bagi penghayatan nilai-nilai ke Charitasan

Dalam penulisanskripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak

dengan caranya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberi

dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga karya ini bisa terselesaikan.

Untuk itu penulis menghaturkan limpah syukur dan terimakasih kepada:

1. Drs. F.X Heryatno Wono Wulung., S.J., M.Ed., selaku Kepala Program

Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

2. Dra.Y.Supriyati.,M.Pd, selaku dosen pembimbing utama skripsi.

Terimakasih atas waktu, kesabaran, pemikiran serta arahan dan bimbingan

yang diberikan dari awal penulisan hingga terselesainya skripsi ini.

Terimakasih ibu , peneliti belajar ketabahan, ketegaran dan ketelitian dari

ibu.

(13)

4. Bapak P.Banyu Dewa HS, S.Ag, M.Si., selaku dosen wali yang terus

menerus setia mendampingi penulis sampai selesainya penulisan skripsi

ini. Sosok seorang bapak yang baik hati, sabar, sederhana dan penuh

pengertian.

5. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan

membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

6. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh

karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini.

7. Para siswa SMP Charitas, Jakarta yang telah membantu, memberi

semangat dan dukungan kepada penulis dengan memberi masukkan

informasi untuk kelengkapan materi skripsi ini.

8. Sr.M.Reinelda, FCh. Kepala sekolah SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta.

Dengan terbuka, ramah dan perhatian,murah senyum, mengijinkan dan

menerima saya untuk melakukan penelitian di sekolah.

9. Sr.M.Clementine,FCh. Pimpinan komunitas suster-suster Charitas

Tamansiswa, yang banyak memberi informasi dan membagikan

pengalamannya.

10.Para suster Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas, secara khusus

komunitas Serafim-Yogyakarta, atas doa, cinta kasih, kepercayaan dan

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

(16)

G. Sistematika Penulisan………..8

BAB II. LANDASAN TEORI ...9

A. Pendidikan Agama Katolik ………...9

1. Pengertian Pendidikan ……….9

2. Pengertian pendidikan Agama Katolik ……….10

3. Tujuan Pendidikan Agama Katolik ………...12

4. Sifat dan Arah PAK ……….14

B. Guru Agama Katolik ... 17

C. Kongregasi Suster-suster santo Fransiskus Charitas ………...18

1. Sejarah Kongregasi suster Santo Fransiskus Charitas …………..18

2. Sejarah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan ………20

3. Situasi Umum SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan …….23

4. Keadaan Peserta didik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan………28

a. Isi ke Charitasan………...28

b. Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas LebakBulus,JakartaSelatan………..30

D. Hubungan PAK dan penghayatan nilai-nilai ke Charitasan SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan ………36

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38

1. Jenis Penelitian ………..38

2. Metode Penelitian ………..38

3. Tempat dan waktu Penelitian ………39

4. Responden Penelitian ………39

5. Definisi Operasional ………..40

6. Variabel Penelitian……….41

7. Instrument penelitian ………42

A. Hasil Penelitian ... 43

B. Pembahasan Hasil Penelitian ...51

C. Keterbatasan Peneliti ...55

D. Refleksi Kateketis Hasil Penelitian ...56

BAB IV.IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KE CHARITASAN BERBASIS

(17)

A. Pendidikan ke Charitasan Fransiskus Charitas ……….... 60

B. Implementasi dalam PAK ……….67

BAB V. PENUTUP……… ………90

A. kesimpulan ………... ..90

B. Saran ………... .93

DAFTAR PUSTAKA ……….. ..94

(18)

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Yak: Yakobus

Luk: Lukas

Yoh: Yohanes

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic) , diundangkan oleh

Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

C. Singkatan lain:

PAK : Pendidkan Agama Katolik

KBBI : Kamus BesarBahasa Indonesia

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

KOMKAT : Komisi Kateketik

KAJ : Keuskupan AgungJakarta

SEKAFI : Sekretariat KeluargaFransiskan Indonesia

PKC : Pendidikan Kurikulum Charitas

CFM : Charitas FriendlyMatch

LDK : Latihan Kepemimpinan Dasar

KKM : Kriteria KetuntasanMinimal

KTSP : KurikulumTingkat Satuan Pembelajaran

JABODETABEK : Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi

UNESCO : United Nations Educational scientific and Cultural

Organization

(19)
(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan dalam era globalisasi menuntut berbagai perubahan pendidikan

yang bersifat mendasar. Misalnya, perubahan dari pandangan kehidupan

masyarakat lokal ke masyarakat global, perubahan dari kohesi sosial menjadi

partisipasi demokratis, perubahan dari pertumbuhan, bahkan perubahan dalam

dunia pendidikan. Abad ke-21 ini, UNESCO memaknai pendidikan dengan

merumuskan visi dasar pendidikan yang sekaligus memuat pendidikan nilai-nilai

dan merupakan sasaran hasil yang disarankan dicapai dalam praksis pendidikan.

Visi dasar tersebut mencakup empat pilar dasar pendidikan, yaitu belajar

mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup

dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri

(learning to be) (Djokopranoto, 2011: 90-91). Visi, makna, dan tujuan seperti

yang dirumuskan dan disarankan UNESCO tersebut bersifat universal sehingga

kita dapat menggunakan dalam memajukan pendidikan.

Selain itu, pendidikan juga dimaknai sebagai suatu proses belajar seumur

hidup. Bahkan, hal ini dipandang sebagai suatu budaya yang harus dikembangkan,

terutama yang berkaitan dengan pendidikan nilai dan sikap. Ki Hajar Dewantara

menegaskan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan

bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh

(21)

yang sangat strategis. Artinya, anak dibantu dan distimulasi agar dirinya

berkembang menjadi pribadi yang dewasa secara utuh (Aqib, 2011: 8).

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa realitas senantiasa menampilkan

berbagai hal yang sangat bertentangan dengan harapan semua orang, seperti yang

telah dipaparkan tentang pendidikan. Dengan kata lain, berbagai masalah yang

berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya masalah yang berkaitan dengan

kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Selain itu, proses modernisasi

yang semakin cepat melanda negara dan bangsa kita, bahkan telah masuk dalam

seluruh bidang kehidupan masyarakat. Modernisasi dapat menjadi peluang untuk

membangun hidup yang lebih baik, tetapi juga dapat merusak karakter seseorang.

Bahkan, modernisasi pun merebak dan mematikan perkembangan kaum muda dan

peserta didik. Mereka menjadi santai, malas, bersikap instan, meniru kehidupan

kebarat-baratan. Kehadiran berbagai alat teknologi memungkinkan setiap orang

semakin tidak peduli terhadap sesama di sekitarnya. Berbagai permasalahan di

atas, tentunya mengancam perkembangan hidup masyarakat pada umumnya dan

anak-anak pada khususnya. Anak-anak menjadi putus sekolah dan mengalihkan

hidupnya pada budaya hedonisme dan kriminalitas yang menyebabkan mereka

semakin sulit dalam mencari makna hidup.

Berbagai permasalahan di atas, tentunya menimbulkan pertanyaan,

bagaimana membentengi anak-anak terhadap bahaya-bahaya yang mungkin tidak

dapat dihindarkan itu? Bagaimana nilai-nilai luhur dapat tetap berkembang dalam

situasi demikian? Peneliti beranggapan bahwa berbagai permasalahan dan

(22)

iman anak. Pendidikan nilai adalah pengenalan, penanaman, dan pengembangan

nilai-nilai dalam diri seseorang. Pendidikan iman itu pertama-tama harus dimulai

dan ditanamkan serta dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, tempat dan

lingkungan dimana anak mulai mengenal dan mengembangkan iman. Karena itu,

orang tua memiliki kewajiban pertama dan utama dalam memberikan pendidikan

dan penghayatan iman kepada anak-anaknya. Namun demikian, orang tua lebih

mempercayakan anaknya kepada para katekis dan guru agama di sekolah, karena

alasan kesibukan dengan pekerjaan yang banyak. Bahkan, negara juga mempunyai

kewajiban untuk mendukung, membantu dan menjaga serta memfasilitasi agar

pendidikan iman bisa terlaksana dengan baik sesuai dengan iman masing-masing

(Mohamad Nuh, 2013: 1). Dengan kata lain, pendidikan iman yang hidup justru

harus diberikan di rumah, dengan contoh perbuatan nyata. Orang tua sangat

berperan dalam mendidik anak-anak dengan semangat religiusitas ini.

Dengan demikian, pendidikan iman mempunyai peran dan tempat yang

utama. Meskipun perkembangan hidup beriman pertama-tama merupakan karya

Allah yang menyapa dan membimbing anak menuju kesempurnaan hidup

berimannya, manusia bisa membantu perkembangan hidup beriman anak dengan

menciptakan situasi yang memudahkan semakin erat dan mesranya hubungan

anak dengan Allah. Pendidikan iman tidak dimaksudkan untuk mencampuri

secara langsung perkembangan hidup beriman anak yang merupakan suatu

misteri, tetapi untuk menciptakan situasi dan iklim kehidupan yang membantu

(23)

Karena itu, bentuk pelaksanaan pendidikan iman sebagai kelanjutan dari

pendidikan dan penghayatan iman yang diberikan oleh orang tua di rumah adalah

pendidikan iman secara formal di sekolah yang sering disebut sebagai Pendidikan

Agama Katolik (PAK). PAK merupakan salah satu realisasi tugas dan perutusan

untuk menjadi pewarta dan saksi kabar Gembira Yesus Kristus. PAK di sekolah

sering dirumuskan dengan perkembangan pengetahuan, sikap, dan tindakan

berpegang pada nilai-nilai dan moral. PAK bukan merupakan kepentingan Gereja

saja, tetapi juga kepentingan Negara, sehingga pemerintah mengaturnya dalam

Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan

Gereja mempertimbangkan dalam rangka pewartaan. Lebih dari itu, peran PAK

bukan soal mengetahui mana yang benar atau yang salah, tetapi mengetahui dan

melakukannya, seperti dikatakan oleh Santo Yakobus: “Sebab seperti tubuh tanpa

roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati”

(Yak. 2: 26). Hal ini dimaknai secara praktis bahwa PAK tidak hanya menambah

wawasan keagamaan, tetapi mengasah “keterampilan beragama” dan mewujudkan

sikap beragama bagi peserta didik. Sikap beragama yang utuh dan berimbang,

mencakup hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan

sesama serta lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya

berkembang dalam satu sisi atau satu segi saja. Hal ini berarti belajar bukanlah

sekedar untuk tahu, melainkan dengan belajar seseorang menjadi tumbuh dan

berubah serta mengubah keadaan.

Sekolah Menengah Pertama Charitas Lebak Bulus Jakarta Selatan

(24)

mata pelajaran yang lebih memprioritaskan penghayatan akan nilai-nilai ke

Charitasan, SMP ini telah menambah jam pelajaran pada setiap mata pelajaran,

tetapi hasil yang dicita-citakan belum maksimal atau kurang memuaskan. Hal ini

disebabkan karena banyak peserta didik menganggap PAK membosankan dan

kurang menarik sehingga peserta didik masih ada yang mencontek, terlambat

sekolah, persaingan antar peserta didik, kurang disiplin, pergaulan bebas yang

membahayakan siswa, dan terjadinya kesalahpahaman melalui tutur kata yang

kurang baik. Selain itu, peserta didik berasal dari keluarga yang sangat sibuk,

taraf ekonomi yang variatif, karakter orang tua yang beragam, waktu untuk anak

sangat kurang, sehingga kecenderungan peserta didik membuat keonaran atau

masalah yang merugikan diri peserta didik itu sendiri, juga pihak sekolah dan

keluarga.

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa PAK sangat berperanan dalam

meningkatkan iman dan penghayatan nilai-nilai ke Charitasan peserta didik

Sekolah Menengah Pertama Charitas Lebak Bulus Jakarta Selatan. Dengan

demikian, tingkah laku, sikap, dan nilai-nilai ke Charitasan seperti kegembiraan,

sederhana, cintakasih dan persaudaraan sesungguhnya mencerminkan hadirnya

Kerajaan Allah di dunia. Karena itu, penulis mengambil judul: “PERANAN

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN

NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN 2014/

2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN’’ sebagai

(25)

pendidikan yang lebih baik, khususnya pendidikan SMP Charitas Lebak Bulus

Jakarta Selatan.

B. Identifikasi masalah

Identifikasi ini dimaksudkan sebagai penegasan batas-batas permasalahan,

sehingga cakupan penelitian tidak keluar dari tujuannya. (Azwar., 1997:28)

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini

dapat di identifikasikan sebagai berikut: PAK di sekolah dianggap kurang

penting dan membosankan pada hal itu pembentukan pribadi peserta didik

dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan. Kendala dalam penghayatan

nilai-nilai ke Charitasan misalnya kegembiraan, sederhana, cintakasih dan

persaudaraan. kurang disiplin, terjadinya kesalahpahaman melalui tutur kata

yang kurang baik serta peserta didik tersebut berasal dari keluarga yang

sangat sibuk, kurang perhatian dari orang tua sehingga peserta didik membuat

masalah di sekolah. Selain itu beragam masalah, menjadi kendala dalam

pelaksanaan PAK. Di SMP Charitas disajikan juga pengetahuan tentang ke

Charitasan di harapkan PAK mendukung nilai-nilai ke Charitasan.

C. Batasan Masalah

Penulis menyadari bahwa topik tersebut sangat luas dan berbagai

keterbatasan yang ada, maka penelitian ini akan dibatasi pada Peranan

Pendidikan Agama Katolik bagi Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan

siswa Kelas VIII Tahun Ajaran 2014/ 2015 SMP Charitas Lebak Bulus,

(26)

D.Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah

tersebut, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Apa arti Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Menengah Pertama

Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan

2. Bagaimana peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan ?

3. Apa peranan PAK dalam penghayatan nilai-nilai ke Charitasan bagi

peserta didik kelas VIII SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan?

E.Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Mengetahui sejauh mana peserta didik kelas VIII menghayati nilai-nilai

ke Charitasan yang ada di sekolah SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta,

Selatan

2. Apa peranan PAK dan nilai-nilai ke Charitasan bagi peserta didik kelas

VIII SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta, Selatan

F. Manfaat Penelitian

Penelitian tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1.Menambah wawasan yang luas secara teoritis tentang peranan PAK di

Sekolah bagi peserta didik kelas VIII SMP Charitas Lebak Bulus,

(27)

2. Menumbuhkan minat peserta didik SMP kelas VIII dalam mengikuti

mata pelajaran PAK serta kegiatan-kegiatan rohani sehingga peserta

didik semakin memiliki iman yang mendalam.

3. Para pendamping memperoleh sumbangan dalam mendampingi peserta

didik dan mampu menghayati nilai-nilai ke Charitasan SMP Charitas

Lebak Bulus.

4. Peserta didik SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta semakin memahami

dan menyadari pentingnya peranan Pendidikan Agama Katolik bagi

penghayatan nilai-nilai hidup sehari-hari.

G. Sistematika Penulisan

BAB 1 : Pendahuluan, dalam hal ini penulis menguraikan tentang latar

belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan permasalahan,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika dan penulisan skripsi

BAB II : Landasan teori ,

BAB III : Metodologi penelitian menguraikan objek penelitian, variabel

penelitian, metode penelitian dan metode analisis data

BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Agama Katolik

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan

potensi peserta didik yang meliputi potensi intelektual, sikap atau perilaku, dan

keterampilan. Selain itu, pendidikan juga merupakan aktifitas terencana yang

diselenggarakan melalui keluarga yang disebut pendidikan non formal dan melalui

pendidikan formal di sekolah-sekolah. Tentunya, pendidikan berperan untuk

membentuk manusia muda yang utuh dan integrasi (Driyakara, 1980; 16).

Sedangkan, Lawrence Cermin dalam Groome, (2010;29) mengartikan pendidikan

sebagai usaha sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk menyampaikan,

menimbulkan atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai,

keahlian-keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.

Alfred North Whitehead dalam Groome,(2010;30) mengartikan pendidikan

adalah bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan;

prestasi-prestasi yang paling lengkap dari pelbagai kegiatan yang mengekspresikan

potensi-potensi makhluk hidup ketika berhadapan dengan lingkungannya yang

sebenarnya. Karena itu, pendidikan mewajibkan pendekatan holistik terhadap

manusia yang memperhatikan seluruh seni kehidupan, serta potensi-potensi

peserta didik dalam konteks lingkungan sosial. Hal ini dipertegas oleh para

(29)

pada intelektualisme yang sempit, hanya urusan pikiran, akan tetapi pendidikan

menekankan pikiran yang sehat, tubuh yang sehat, dan kebajikan-kebajikan yang

berkembang. Pendidikan yang baik harus bersifat kognitif, afektif, dan tingkah

laku. Hal senada pun ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK. 795),

demikian:

Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggung jawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial (KWI, 2011: 230).

Pernyataan KHK di atas menunjukkan bahwa pendidikan adalah kata kunci

dalam setiap usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan

demikian, pendidikan adalah proses pengangkatan manusia muda sampai

sedemikian tingginya sebagai manusia dan membudayakan diri. Jadi, pendidikan

adalah kegiatan yang fundamental bagi manusia. Dengan kata lain, pendidikan

adalah suatu proses pendewasaan; dalam arti kemampuan untuk mengarahkan diri

secara mandiri dan bertanggung jawab. Seluruh proses pendidikan tersebut

merupakan bimbingan ke arah kemandirian diri sendiri dan kemandirian dalam

masyarakat (Djokopranoto, 2011: 90-91).

2. Pengertian Pendidikan Agama Katolik

Umat Kristen telah menjadi ciptaan baru dan disebut putra-putri Allah

berkat kelahiran dari air dan Roh Kudus. Karena itu, semua orang Kristen berhak

(30)

peserta didik untuk memperteguh iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa sesuai dengan ajaran katolik. Tentunya, usaha tersebut juga tetap

memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan

antar umat beragama di tengah masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan

persatuan nasional (Mohamad Nuh, 2013: 2). Mary Boys dalam Heryatno,

(2008;22) mengartikan PAK merupakan suatu cara (jalan) membuka peluang

selebar-lebarnya bagi para peserta didik agar sampai kepada kekayaan tradisi.

Mangunwijaya dalam Heryatno, (2008; 16) memaparkan bahwa hakikat

dasar PAK adalah sebagai komunikasi iman. PAK itu bukan pengajaran agama

melainkan komunikasi pengalaman beriman. Sebagai komunikasi iman, PAK

menekankan sifatnya yang praktis dan selalu mengarah pada perkembangan.

Dengan kata lain, PAK menjadi mediasi perkembangan iman yang berlangsung

secara terus menerus. Dengan demikian, PAK merupakan pendidikan yang bervisi

spiritual (Heryatno, (2008: 16).

Pengertian PAK dapat dipahami sebagai proses pendidikan iman yang

diselenggarakan oleh Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan untuk

membantu peserta didik agar semakin beriman kepada Tuhan Yesus Kristus,

sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah sungguh terwujud di tengah-tengah hidup

peserta didik. Pendidikan iman katolik di sekolah merupakan salah satu usaha

untuk memampukan peserta didik berinteraksi (berkomunikasi), memahami,

menggumuli dan menghayati iman. Karena itu, dengan kemampuan berinteraksi

(31)

didik semakin diperteguh. Dengan demikian, tujuan PAK dapat tercapai dengan

baik.

3. Tujuan Pendidikan Agama Katolik

Setiap lembaga pendidikan tentunya berusaha dengan segala upaya untuk

mengembangkan pendidikan ke arah yang lebih baik. Tujuan pembangunan dalam

bidang pendidikan adalah mengembangkan kemampuan akal budi. Sedangkan,

berdasarkan misinya, sekolah menumbuhkan kemampuan memberikan penilaian

yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh

generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata-nilai,

menyiapkan peserta didik untuk mengelola sikap jujur, memupuk kerukunan, dan

mengembangkan sikap saling memahami (Djokopranoto, 2011: 90-91). Tujuan

PAK adalah membantu peserta didik mencapai kematangan hidup sebagai orang

kristiani menurut pola Yesus Kristus Ef 4 :13. (Heryatno, 2008: 86).

Selain itu, tujuan PAK menurut Heryatno Wono Wulung (2008: 24),

sebagai berikut:

a. Tujuan Pendidikan iman yang bersifat Holistik. Artinya, sesuai dengan

kepentingan peserta didik. PAK bertujuan mengembangkan secara utuh dan

serentak segi kognitif, afektif, dan psikomotorik hidup peserta didik. Dengan

kata lain, perkembangan pengetahuan dan melaksanakannya sungguh

menyatu. Peserta didik mengetahui secara benar, berarti melaksanakannya

dengan berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan moral. Dengan demikian,

PAK juga mengarah kepada aktualisasi potensi diri dan perkembangan iman

(32)

b. Demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Tujuan ini merupakan visi

dasar, arah utama, dan pusat acuan untuk mengukur tercapai tidaknya PAK.

Hal ini berdasar pada pemahaman bahwa Kerajaan Allah merupakan

tindakan Allah sendiri. Dengan kata lain, Allah yang setia dan penuh

belaskasih, menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Seluruh Sabda

dan karya Yesus merupakan perwujudan hadirnya Kerajaan Allah, sehingga

dapat dikatakan Kerajaan Allah itu Kerajaan Kristus. Kristus menjadi ahli

waris dan menuntut dari kita sebuah sikap yang positif kepada siapa pun

seperti yang di kehendaki-Nya sendiri bahwa kita harus saling mengasihi

(Yoh. 15: 13). Tujuannya, agar semua orang mengalami damai dan

sejahtera. Karena itu, tujuan PAK menjadi sakramen kehadiran Allah terus

diperjuangkan dan diwujudkan melalui kesaksian hidup.

c. Tujuan PAK demi perkembangan dan kedewasaan iman. Fowler dalam

Heryatno, (2008: 80) mengatakan bahwa perkembangan iman di dalam

dunia pendidikan sangat penting. Sedangkan, Groome (2008: 31)

menjelaskan bahwa iman merupakan poros kehidupan, yang menyangkut

visi dan nilai hidup yang menggerakan seseorang untuk menanggapi realitas

yang transenden. Iman dapat dipahami sebagai keterampilan seseorang

untuk memaknai realitas hidup. Iman menekankan kesatuan tiga elemen,

yaitu pemahaman, emosi, dan moral. Iman itu inti hidup manusia, lebih

personal dan mendalam. James Fowler dalam Heryatno, (2008: 31)

mengatakan bahwa “pendidikan agama katolik harus betul-betul

(33)

meyakini, mempercayai dan melaksanakan kehendak Allah. Iman

bersentuhan dengan inti hidup manusia. Maka dengan adanya PAK di

sekolah diharapkan agar peserta didik dapat semakin peka pada rahmat

Allah yang dilimpahkan kepadanya dan tekun menanggapi rahmat itu

sehingga peserta didik semakin beriman. Sebagai mahluk rasional, manusia

menggunakan akal budi untuk makin beriman, maka itu iman memiliki

aspek kognitif yang membuat masuk akal.

Dengan demikian, arah PAK membantu peserta didik untuk semakin

meyakini nilai-nilai kekayaan Gereja. Peranan PAK membantu peserta didik

untuk mengenali dan meyakini belaskasih dan kesetiaan Allah yang menyatu

dalam hidup Yesus Kristus dan terus berkarya melalui Roh Kudus. Tugas PAK

untuk meningkatkan kepercayaan total peserta didik kepada Allah, dengan cara

memupuk relasi dari hati ke hati antara hidup peserta didik dengan kepedulian

terhadap sesama; semakin peserta didik percaya kepada Tuhan, maka peserta

didik juga semakin beriman.

4. Sifat dan Arah Pendidikan Agama Katolik

Pendidikan harus memiliki sifat dan arah pendidikan yang jelas, agar semua

komponen pendidikan, khususnya para peserta didik dapat mengetahui tujuan

proses pendidikan yang mereka pelajari. Vanlith dan Driyakara dalam Heryatno,

( 2008: 13-14) menyatakan bahwa arah PAK adalah memperkembangkan

humanisme Kristiani supaya peserta didik dapat menjadi pelaku-pelaku perubahan

(34)

arah PAK adalah untuk memperjuangkan humanisme sosial. Artinya, pendidikan

dipahami sebagai mediasi atau jalan ke arah transformasi sosial.

Sisi lain, PAK yang bervisi spiritual secara konsisten berusaha

memperkembangkan jati diri atau inti hidup seseorang ke dalam diri anak didik.

PAK pun memperkembangkan rasa, kepekaan hati, imaginasi, serta dimensi sosial

hidup manusia. PAK tidak hanya bersifat kognitif, tetapi memberi ilham untuk

menghadapi kenyataan hidup masa sekarang dan masa depan. PAK menekankan

kebijaksanaan dan keutamaan, scholae non scholae sed vitae.artinya dalam

kegiatan belajar mengajar yang terpenting bukan sekolahnya tetapi kualitas

hidupnya. Hal ini perlu disadari bahwa dalam perkembangan hidup peserta didik

tidak sekali jadi tetapi seumur hidup. PAK mengusahakan perkembangan diri

secara terus menerus, from the womb to the tomb (perkembangan iman yang

berlangsung sepanjang hayat) dalam Heryatno, (2008: 15)

Sisi lain, Groome (1991: 11-14) membedakan sifat dasar PAK atas tiga

jenis, antara lain:

1. Ontologis: Dasar pendidikan yang bersifat ontologis, maksudnya dalam

kegiatannya, manusia itu sebagai subjek bukan objek. Memperlakukan peserta

didik sebagai subjek bukan objek dalam PAK. Hal ini berarti PAK secara

serentak memperkembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan secara seimbang

memperkembangkan kognitif (head) rasa dan simpati, hati (heart), tangan

yang bergerak dan berbuat (hands) rumah: rasa aman, percaya diri dan saling

(35)

2. Transenden: Dasar kegiatan yang bersifat Transenden, bertolak dari keadaan

konkret dan mengarah pada perkembangan secara hakiki demi hidup peserta

didik. Perkembangan peserta didik melampaui perkembangan sebelumnya.

3. Politis: Dasar kegiatan yang bersifat politis berarti pendidikan mendorong

peserta didik untuk peduli dan aktif terlibat di dalam masalah sosial di

sekitarnya demi transformasi sosial.

Selain itu, Groome Thomas (1991: 11-14) memaparkan fungsi-fungsi

pendidikan, yakni (a) membentuk (to form), (b) informasi (to inform) untuk

mengkomunikasikan kekayaan ilmu dan kebijaksanaan hidup peserta didik, dan

(c) memperjelas artinya untuk memberdayakan peserta didik bagi perkembangan

diri sendiri (to transform). Artinya, suasana yang ada dalam PAK harus dijiwai

oleh Roh cinta kasih dan kebebasan Injili. Berarti, suasananya baik, karena

suasana yang baik dapat menjadi guru yang baik pula. Maksudnya, dari suasana

baik itu suasana yang dijiwai oleh roh cinta kasih dan kebebasan Injili terwujud di

dalam suasana kelas yang memperkembangkan keterkaitan, perhatian, dan

kebersamaan. Suasana yang membuat peserta didik merasa diterima, diteguhkan,

dan diberdayakan untuk semakin berkembang. Akibatnya, suasana kelas sungguh

menggembirakan dan perlu diusahakan. PAK dipahami sebagai seni yang

membutuhkan persiapan, keheningan, dan kontemplasi untuk membiarkan Roh

bekerja sendiri dalam diri guru PAK juga peserta didik itu sendiri.

B.Guru Agama Katolik.

Guru PAK sangat berperan dalam proses belajar mengajar, juga bisa

(36)

mewujudkan figur yang sungguh memiliki jiwa sebagai yang berasal dari Allah,

karena jiwa yang beriman menunjukkan kesejatian hidup seorang guru (Moore,

1992). Jiwa merupakan segi yang menghidupkan, mengembangkan, dan

mendorong manusia untuk memiliki kerinduan kepada Allah, serta penuh

perhatian kepada saudara-saudaranya. Karena itu, sesuai dengan hakikat PAK

yang bervisi spiritual maka semua pendidik perlu memelihara atau memberi

makan jiwanya. Jiwa juga diberi makan supaya manusia tidak menjadi zombie

(mayat hidup). kalau lalai, jiwa manusia dapat “hilang” atau bahkan mati,

akibatnya muncul berbagai tindakan kekerasan, anarki, ketergantungan, dan

penyembahan berhala. Pemeliharaan (memberi makan jiwa) bukan hanya tugas

religius tetapi termasuk panggilan dan tugas para pendidik.(Moore, 1992) Dengan

demikian, para guru khususnya guru agama katolik tidak dapat meremehkan,

sebaliknya harus menghormati dan memperhatikan jiwa peserta didik.

Beberapa kemampuan / ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang

Pembina katekese umat atau guru agama katolik, Yosef Lalu,( 2007 : 96) sebagai

berikut:

1. Kemampuan / ketrampilan berkomunikasi dan berelasi

a. Seorang guru agama katolik memiliki kemampuan berkomunikasi dan

berelasi sehingga mampu mengumpulkan, menyatukan, mengarahkan

peserta didik sampai kepada tindakan nyata.

b. Kemampuan / keterampilan mengungkapkan diri, berbicara dan

(37)

c. Kemampuan / keterampilan menciptakan suasana yang memudahkan

peserta didik untuk mengungkapkan diri dan mendengarkan pengalaman

peserta didik yang lain

2. Kemampuan / keterampilan berefleksi

Dalam PAK, komunikasi yang dikembangkan komunikasi iman.

Komunikasi iman bukan hanya sekedar informasi, melainkan suatu kesaksian

iman. Maka seorang guru agama katolik adalah seorang yang menyadari dan

mampu memberi kesaksian tentang pengalaman imannya. seorang guru agama

katolik harus dilatih untuk ; 1) mampu / terampil menemukan nilai-nilai

manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari, 2) mampu / terampil menemukan

nilai-nilai kristiani dalam Kitab Suci, ajaran gereja dan tradisi kristiani lainnya, 3)

mampu / terampil memadukan nilai-nilai kristiani dengan nilai-nilai manusiawi

dalam pengalaman hidup sehari-hari.

C. Kongregasi suster Santo Fransiskus Charitas

1. Sejarah Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas

Pada tanggal 1 Desember 1834 dari rumah sakit Breda, Moeder Theresia

Saelmaekers mendirikan rumah cabang di Oosterhout. Dengan tindakan tersebut

Moeder Theresia Saelmaekers meletakan dasar untuk kongregasi baru yang

bernama “Charitas”. Moeder Theresia Saelmaekers menjadi Pemimpin Umum

yang pertama. Moeder Theresia Saelmaekers bersama dua suster yang telah

berprofesi dan seorang Novis, secara diam-diam berangkat ke Steenbergen pada

(38)

Moeder Theresia Saelmaekers mendirikan pusat baru Charitas Kristiani dan

Steenbergen menjadi pusat kongregasi. Semangatnya yang kuat dan mendalam

telah menjiwai Moeder Theresia Saelmaekers, sehingga semangat itu terungkap

dalam cita-cita hidupnya dan para susternya.

“ Dalam kegembiraan, kesederhanaan, dan terutama dalam cintakasih

menolong orang lain seraya berdoa dan mengurbankan diri, menampakan

kegembiraan hidup diantara orang sakit dan yang berkekurangan”

Moeder Theresia Saelmaekers memilih Anggaran Dasar Ordo Ketiga Reguler

Santo Fransiskus Asisi untuk kongregasi Charitas karena kegembiraan,

kesederhanaan, dan penghayatan kemiskinan merupakan ciri khas Anggaran

Dasar itu. Doa dan meditasi beserta mati raga sebagai unsur-unsur dasar hidup

Fransiskan. Kepercayaan kepada Tuhan kokoh tak tergoyahkan berdasarkan iman

yang mendalam dan sederhana, iman itu jugalah yang mendorong Maria Yang

Terkandung Tanpa Noda untuk menjawab dengan “Fiat”. Maka kongregasi ini

diletakkan dibawah perlindungan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda dikenal

dengan nama “ Suster-suster Charitas”.

Berdoa dan berkarya adalah semboyan Ibu Pendiri. Kongregasi Suster

Charitas semakin berkembang hingga memerlukan tempat yang lebih luas dan

lebih leluasa untuk perkembangan tersebut. Pada tanggal 17 Juli 1905 pusat

Kongregasi dipindahkan ke Roosendal, sedang Steenbergen sebagai cabang. Pada

tanggal 9 Juli 1926, atas permintaan Pimpinan Imam-imam Hati Kudus Yesus

(SCJ) di Palembang, para suster Charitas Roosendaal, mulai berkarya di

(39)

pertolongan, para suster Charitas juga mengembangkan Kongregasi dengan

menerima calon dari Indonesia.

Dalam waktu lebih kurang 65 Tahun, cabang Kongregasi di Indonesia semakin

berkembang baik dalam karya maupun jumlah anggota. Sedang di Nederland

sendiri panggilan hidup membiara sendiri semakin berkurang dan sebagian besar

anggotanya telah menjadi tua, oleh karena itu suster-suster Kongregasi Charitas

regio Indonesia mengajukan permohonan ke Roma untuk menjadi Kongregasi

Mandiri di bawah reksa Uskup Palembang. Permohonan tersebut mendapat

tanggapan baik dari Roma dan mendapat jawaban melalui Dekret yang

dikeluarkan di Roma tanggal 18 Mei 1991

Berdasarkan Dekret tersebut maka Kongregasi Regio Indonesia mengambil

nama “Suster Santo Fransiskus Charitas” yang berpusat di Palembang. Setelah

melalui proses pembicaraan maka kemandirian diresmikan pada tanggal 1

Desember 1991 bertepatan dengan peristiwa berdirinya rumah cabang pertama di

Oosterhout oleh moeder Theresia Saelmaekers yang menjadi dasar untuk

Kongregasi baru yang bernama “Charitas”.

2. Sejarah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan

Pada tahun 1979, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ

mempersilahkan Kongregasi Fransiskanes Charitas membantu Keuskupan Agung

Jakarta ( KAJ ) wilayah selatan untuk mengelola sekolah katolik khususnya di

(40)

Tanggal 16 Juli 1979 merupakan awal tahun ajaran baru sejarah sekolah Charitas

di Jakarta dengan 2 ( dua ) grup yaitu TKK bertempat di Jalan Cerme, Cipete

Selatan dan 2 ( dua ) kelas untuk kelas 1 SD meminjam tempat di SD Pangudi

Luhur Jln. H. Nawi,

Pada awal mulanya dengan jumlah peserta didik sebanyak 73 peserta

didik, menempati kelas / lokal gedung SD Charitas siang hari, mulailah langkah

awal pendidikan SMP Charitas dengan jumlah tenaga pendidik sebanyak 9

(sembilan) orang dan 1 (satu) orang tata usaha. pendidikan lanjutan tingkat

pertama di bawah asuhan Yayasan Pendidikan Charitas.

Memasuki tahun kedua unsur pemerintahan mulai memberikan

sumbangan dan perhatian besar, khususnya instansi terkait yaitu Kantor

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ( Depdikbud ) DKI Jakarta pada tanggal

1 Agustus 1986 mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Ijin Operasional Sekolah

No. SP.592/I01.1A/I.86 sebagai landasan hukum hadirnya SMP Charitas. Tahun

ajaran 1987/1988 merupakan awal sejarah baru siswa kelas 3 mengikuti ujian

EBTA/EBTANAS menggabung di SMP Negeri 85 Pondok Labu sebagaimana

tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan ( Depdikbud ) DKI Jakarta No. Kep. 40/I01.A1/I/88 tanggal 20

Februari 1988, dan untuk pertama kalinya lulus 100 % dengan NEM ( Nilai

EBTANAS Murni ) yang pantas disyukuri, karena tidak mengecewakan orang

tua/wali peserta didik.

Pada tanggal 24 September 1988 gedung SMP Charitas yang berlokasi di

(41)

Jakarta Selatan diresmikan oleh Bapak Drs. Soegijo selaku Kepala Kantor

Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan propinsi DKI Jakarta atas

nama Gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu seluruh Staf Dewan Guru dan

Karyawan serta seluruh peserta didik SMP Charitas berpindah tempat proses

belajar mengajarnya, dari gedung SD Charitas di Pondok Labu ke gedung

berlantai 3 ( tiga ) di Lebak Bulus sampai dengan sekarang.

Perkembangan peserta didik memasuki tahun ke-4 semakin besar

jumlahnya dan hal tersebut dikarenakan tambahnya kepercayaan masyarakat

terhadap pendidikan di Sekolah Katolik. Sejalan dengan perkembangannya, pihak

instansi terkait, dalam hal ini Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan DKI Jakarta, kembali melakukan pemeriksaan dan pengamatan

langsung terhadap jalannya KBM ( Kegiatan Belajar Mengajar) dan kewenangan

tenaga pengajar serta sarana prasarana pendukung proses KBM ternyata

memenuhi syarat, maka dengan SK Kepala Kantor Wilayah Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan propinsi DKI Jakarta No. 515/I01/I01.G/U/1989

pada EBTANAS tahun 1988/1989 diberikan kewenangan dapat

menyelenggarakan EBTA/EBTANAS mandiri. Tahun 1989/1990 mengajukan

permohonan akreditasi sekolah kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta, dan setelah dilakukan pemeriksaan /

penelitian oleh suatu tim akreditasi pada tanggal 6 Nopember 1989, SMP Charitas

jenjang status akreditasinya adalah “ DISAMAKAN “ sebagaimana tertuang

dalam SK Kepala Kanwil Depdikbud DKI Jakarta No. 72A/I01/U/1990 tanggal

(42)

Sekolah Nomor Dp. 020823 tanggal 08 November 2011 SMP Charitas

terakreditasi “A” dengan nilai 93. (Charitas Christi Urget Nos 1996:145)

Sejak berdirinya SMP Charitas tanggal 16 Juli 1985 sampai dengan tahun

ajaran 2013/2014 jumlah siswa yang mengenyam pendidikan sebanyak 2.958

peserta didik dan telah meluluskan sebanyak 3.469 peserta didik . Visi dan Misi

sekolah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan sebagai berikut a) VISI:

Menjadi pribadi yang cerdas, disiplin, dan peduli dalam kasih persaudaraan. b)

MISI: (1) Mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan sosial

secara harmonis. (2) mengembangkan pribadi yang memiliki daya juang, dan

semangat kompetitif. (3) membudayakan sikap hidup disiplin. (4) mewujudkan

kepedulian terhadap sesama dan lingkungan sekitar dalam kasih persaudaraan.

( Panduan dan Program Pemelajaran SMP Charitas 2015 : 7).

Visi dan Misi ini akan di implementasikan dan di kembangkan kepada peserta

didik yang terwujud dalam kegiatan konkrit pada bab IV.

3. Situasi Umum SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan

SMP Charitas, sekolah ini terakreditasi A, yang beralamatkan di Jalan

Mawar Indah 75, Lebak Bulus Cilandak, Jakarta Selatan. Ada pun nama Yayasan

sekolah ini adalah Yayasan Pendidikan Charitas. Yayasan Pendidikan Charitas-

Jakarta menaungi sekolah mulai dari jenjang KB- TK- SD-SMP- hingga SMA.

SMP Charitas Jakarta berdiri sejak tahun 1985 dan didirikan oleh Kongregasi

suster-suster Santo Fransiskus Charitas. SMP Charitas merupakan rumah

(43)

landasan cinta kasih dan keteladanan sebagaimana motto Charitas:“In Omnibus

Charitas”(Kasih dalam segalanya).

Para pendidik mendidik peserta didik dengan berlandaskan cintakasih

dan kegembiraan.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan, SMP Charitas

memiliki tenaga pendidik yang sah, berpengalaman dan pada setiap kesempatan

mengikuti pelatihan maupun peningkatan keterampilan dan pengetahuan tentang

pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.

Yayasan pendidikan Charitas menyelenggarakan pendidikan dengan berpegang

teguh pada Azas Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip iman katolik (Panduan

dan Program Pemelajaran SMP Charitas 2014:3) dalam mendampingi peserta

didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh

menyeluruh dengan berlandaskan semangat pengabdian yang tulus ikhlas, cinta

kasih, berani, tegas dan berwibawa untuk menghadapi tantangan masa depan

dengan hati yang damai menuju cita-cita mulia yang mampu memberi keharuman

di bumi persada Indonesia.

Program pendidikan Charitas diberikan secara menyeluruh Holistic

Education dengan cara yang kreatif, menyenangkan dan berbasis pada

pengembangan kecerdasan ganda Multiple Intellegences. Kegiatan belajar

mengajar dikembangkan dalam lingkungan yang menyenangkan dan nyaman serta

lebih ditekankan pada proses (active learning) dan bukan pada penjejalan materi.

Lima pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh

(44)

1. Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Belajar untuk memahami dan menghayati (learning to know).

3. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif (learning to do),

4. Belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), membangun dan menemukan

jati diri melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan

menyenangkan,

5. Belajar untuk menjalani kehidupan bersama (learning to live together) dan

berguna bagi orang lain.

Sekolah Charitas melaksanakan kurikulum holistik karakter berbasis

Fransiskus Charitas.

Peserta didik yang lulus dari SMP Charitas memiliki kompetensi sebagai

berikut: Mampu menunjukkan sikap gembira, sederhana, dan cinta kasih dalam

kehidupan sehari-hari, mampu menunjukkan kecakapan yang tinggi dalam

berbahasa Indonesia dan bahasa inggris secara aktif maupun pasif, mempunyai

kecakapan yang tinggi dalam mengakses dan mengolah informasi dari buku

bacaan, media massa, internet dan masyarakat, menunjukkan bersikap disiplin,

jujur, bertanggung jawab, kerja sama, bersaudara dan memiliki rasa kepedulian

sosial, menunjukkan kemampuannya untuk mengekspresikan diri melalui

berbagai cara, media dan bentuk kesenian.

Menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan terlibat dalam upaya

pelestarian lingkungan, mematuhi semua aturan sosial yang berlaku di lingkungan

dimana ia berada atas dasar pemahaman untuk kepentingan bersama,

(45)

remaja, menghayati imannya sendiri dan tetap menghormati perbedaan pemeluk

iman yang berbeda (pluralisme), menunjukkan kemampuan belajar akademis yang

kuat, bernalar dan berbudaya.

Strategi pengembangan pembentukan jati diri (character building) meliputi;

semangat kegembiraan, semangat kesederhanaan, dan kerendahan hati, semangat

cinta kasih, kepedulian sosial, dan persaudaraan, etika komunikasi, sopan,

tanggung jawab, komitmen, sikap yang visioner, kerja keras, daya juang, kreatif,

inovatif,dan interpreneur (kewirausahaan). Dalam Pendidikan Kurikulum

Charitas (PKC) syarat dengan nilai-nilai karakter ke-charitasan, bahkan 18 nilai

karakter yang dicanangkan oleh pemerintah sudah ditanamkan jauh sebelum

pendidikan karakter lebih ditekan kan di sekolah-sekolah. Pendidikan Kurikulum

Charitas (PKC) juga mempunyai jam khusus tersendiri. Sesungguhnya

pendidikan karakter juga sudah masuk dalam PKN (Pendidikan

Kewarganegaraan). Bentuk kegiatan yang ada untuk membantu perkembangan

karakter peserta didik, yaitu Charitas Friendly Match (CFM) kegiatan ini sudah

menjadi program tahunan sekolah SMP Charitas dan dilakukan selama satu

minggu, dan setiap bulan oktober yang diselenggarakan disekolah SMP Charitas

dengan mengundang semua sekolah yang ada di Jakarta selatan baik sekolah

katolik maupun sekolah negeri. Yang menjadi panitia adalah peserta didik sendiri

dari pencarian dana sampai pada semua kegiatan terlaksana. Dalam setiap bagian

ada pendamping untuk mengarahkan peserta didik. Selain itu ada kegiatan lain

yaitu adanya Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) yang diadakan setiap satu

(46)

SMP Charitas hanya menyelenggarakan pelajaran Agama Katolik, yang harus

diikuti oleh seluruh peserta didik SMP Charitas, sebagaimana telah disetujui oleh

para orangtua peserta didik dalam surat pernyataan dan ditanda tangani diatas

meterai 6000. Kegiatan belajar mengajar diawali dan diakhiri dengan doa secara

Katolik dan dipimpin oleh salah satu peserta didik Katolik, semua peserta didik

wajib mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh sekolah; rekoleksi, retret,

seminar dll. Bentuk kegiatan peserta didik yang berkaitan dengan pembinaan

iman di sekolah antara lain retret, rekoleksi, pendalaman iman, doa dan

renungan singkat setiap hari sebelum pelajaran dimulai, mendoakan doa

St.Fransiskus Assisi yaitu doa damai setiap hari selasa setelah renungan, jalan

salib setiap hari Jumaat selama masa Prapaskah, pengakuan dosa masa Adven dan

Prapaskah, misa sekolah setiap jumaat pertama satu bulan sekali, meditasi 15

menit sebelum memulai pelajaran agama, jam perwalian dua minggu sekali

selama 45 menit, serta perayaan hari-hari besar agama di rayakan dan di beri

perhatian, contohnya kalau hari raya Idul Fitri di sekolah dipasang ketupat, kalau

hari raya Shincia membagi angpao, bila hari raya Natal membuat gua bersama dan

lain-lain. Berdasarkan data yang ada hasil pelajaran agama katolik umumnya

mencapai KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang ditetapkan dalam tahun

pelajaran berlangsung KKM 75. Berdasarkan data yang diperoleh, agama yang

dianut peserta didik sangat plural, berdasarkan data yang ada jika diprosentasikan

49,49 % beragama Katolik, 44,44% beragama Kristen, 1,01 % beragama Islam,

(47)

4. Keadaan peserta didik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan

Peserta didik SMP Charitas dari latar belakang yang berbeda-beda,

agamanya pun beragam, namun situasi soial baik. Secara umum orang tua

peserta didik SMP Charitas berasal dari suku Jawa, namun peserta didik

sebagian besar lahir dan di besarkan di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang, Bekasi (JABODETABEK).

Adapun tata tertib bagi peserta didik SMP Charitas, selama kegiatan belajar

mengajar (KBM) berlangsung, peserta didik wajib menggunakan seragam yang

ditentukan oleh sekolah, pakaian seragam diatur sesuai hari yang telah

ditentukan. Bel masuk kelas pukul 06.55 WIB untuk persiapan doa bersama.

Pelajaran dimulai pukul 07.00 s.d 13.45WIB kecuali hari Sabtu libur.

Sikap dan perilaku peserta didik harus bersikap hormat, sopan dan bertutur

kata yang baik terhadap guru, suster, pegawai sekolah, serta sesama peserta didik,

menciptakan suasana damai dan tenteram, menjauhkan diri dari pertengkaran dan

permusuhan, wajib mengikuti upacara bendera pada hari yang sudah ditentukan

dan hari besar lainnya yang sudah ditentukan sekolah, wajib melaksanakan 5 S

(Senyum, Sapa,Salam, Salaman, Sopan).

a. Isi ke Charitasan SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan

Peserta didik mendapatkan pelajaran khusus tentang ke Charitasan yang dikemas

dalam mata pelajaran pendidikan karakter ke Charitasan (PKC) dalam satu

minggu ada 6 (enam ) jam pertemuan, untuk kelas 8 (delapan) dilaksanakan

(48)

guru khusus yang mengampu mata pelajaran pendidikan ke Charitasan.

Pendidikan ke Charitasan ini diberikan pada 2 (dua) semester yaitu semester

ganjil dan semester genap, untuk semester ganjil peserta diajak untuk memahami

dan meneladani spiritualitas Santo Fransiskus Asisi pelindung Kongregasi Suster

Fransiskus Charitas serta pelindung sekolah Charitas ( Pendidikan Holistik

berbasis Karakter Fransiskus Charitas : 2008 ) Sementara untuk semester genap,

peserta diajak untuk memahami dan meneladani Moeder Theresia Saelmaekers

pendiri Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas. Charitas berasal dari bahasa

latin yang berarti kasih. Kasih itu sabar, sabar menanggung segala sesuatu, kasih

itu murah hati, tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Sebagaimana

semboyan sekolah SMP Charitas “ In Omnibus Charitas” (Kasih Allah dalam

segalanya).

Hal demikian ada dalam Konstitusi dan Statuta Umum Kongregasi Suster Santo

Fransiskus Charitas. (Konstitusi dan Statuta Umum 2004)

Charitas berarti berbuat baik kepada orang lain demi kebaikan yang

dilayani tanpa membuat orang lain merasa berhutang budi.(Konstitusi 2004 :102).

Pernyataan Konstitusi ini bahwa dalam melakukan perbuatan baik kepada orang

lain semata-mata demi kebaikan orang yang dilayani tanpa mengharapkan

imbalan. Melakukan perbuatan baik didasari oleh kasih, hal inilah yang dihayati

oleh para suster Santo Fransiskus Charitas dan ditawarkan oleh peserta didik

(49)

dalam kurikulum pendidikan yakni kurikulum holistik karakter berbasis

Fransiskus Charitas.

Adapun isi ke Charitasan yaitu; semangat pertobatan Santo Fransiskus Asisi ,

hidup dalam kegembiraan sebagaimana Santo Fransiskus selalu gembira, rendah

hati, sederhana, cinta kasih, pengampunan. Inilah yang juga menjadi semangat

Moeder Theresia Saelmaekers dalam hidup dan pelayanannya serta para suster

Santo Fransiskus Charitas. Isi dari ke Charitasan tersebut yang menjadi ke khasan

sekolah SMP Charitas yaitu mendidik peserta didik dengan cinta kasih.

b. Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas Lebak Bulus,

Jakarta Selatan

Sering terdengar bahwa pendidikan dan proses pemilikan nilai ternyata tak

diperhitungkan di dalam kurikulum sekolah. Meskipun demikian kenyataannya

pembatinan nilai tetap terjadi lewat sekolah, asrama, masyarakat. Seperti halnya

dengan sekolah SMP Charitas yang menganggap pembatinan nilai-nilai hidup

cukup penting dan mengajak peserta didik untuk menghayati nilai-nilai tersebut

dalam hidup sehari-sehari. Dalam pendidikan Agama Katolik di sekolah peserta

didik diajak untuk membatinkan nilai- nilai hidup Yesus Kristus melalui refleksi

dan dalam hidup sehari-hari, pembatinan nilai terjadi dalam pergumulan,

penghayatan, pengalaman hidup nyata dalam sikap dan perbuatan sehari-hari.

Nilai adalah sesuatu yang dipandang dalam kehidupan manusia, yang

mempengaruhi sikap hidupnya (Nasir., 2013; 64) pandangan hidup merupakan hal

yang penting dan hakiki bagi manusia, dengan pandangan hidupnya manusia

(50)

setiap manusia memiliki pandangan hidup yang membuat manusia tahu akan arah

hidup dan ada hal yang harus dihayati dalam hidupnya sehari-hari sehingga dapat

mempengaruhi perilakunya maupun sikap hidupnya.

Nilai berarti sesuatu yang penting yang berharga, di mana orang rela

menderita, mengorbankan yang lain, membela, dan bahkan rela mati demi

nilai tersebut. (Darminta, 2006 : 24).

Pernyataan tentang nilai ini memberi arti atau tujuan dan arah hidup

menjadi sesuatu yang berharga sampai orang rela mengurbankan yang lain,

membela, memperjuangkan bahkan rela mati demi sebuah nilai maupun sesuatu

yang berharga dalam hidup. Nilai menyediakan motivasi-motivasi, kita

memperjuangkan nilai karena ada motivasi-motivasi tertentu.

Nilai- nilai bergerak berlandaskan tiga tempat pijakan; kepala, hati, dan

tangan. (Darminta., 2006 : 25 ) pertama nilai-nilai bergerak di kepala (head)

dalam kepala orang menangkap bahwa sesuatu layak dan dengan demikian, secara

intelektual orang yakin atas layak dan pentingnya sesuatu itu. Kedua , nilai-nilai

perlu mendarat di hati (heart ) orang sendiri tidak hanya menangkap bahwa

sesuatu layak dan penting untuk dimiliki, tetapi hati perlu juga dikenai dan

dipengaruhi oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut dibatinkan. Dan ketiga, nilai harus

mendarat ditangan (hand ). Apabila seluruh pribadi kita terlibat pada nilai yang

diyakini, otak, hati, maka nilai akan mengantar kita kepada keputusan dan

tindakan. Dengan demikian, nilai-nilai adalah penggerak utama dalam hidup kita

Gambar

Tabel 4.1     Tujuan PAK, (N=60)
Tabel 6.3  Data    Kegiatan yang mendukung PAK (N= 60)
Tabel 7.4    Peran guru PAK (N=60)
Tabel 9.6  Hubungan PAK dan ke  Charitasan  (N= 60)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Ada perbedaan hasil belajar antara sis- wa yang mendapat model DCKC dengan mo- del bersafari pada pembelajaran menulis cerpen siswa kelas XII SMA Kebon Dalem Semarang. Hal

Dalam mengumpulkan data atau informasi diperlukan, menggunakan teknik korelasional yang dilakukan dengan cara pembagian kuesioner kepada karyawan BNI yang sedang mengikuti

Dikatakan face bend jika bending dilakukan sehingga permukaan las mengalami tegangan tarik dan dasar las mengalami tegangan tekan (gambar 4.4)

Kekuatan korelasi secara statistik adalah 0.696 yang menunjukkan hubungan yang kuat antara intensitas kebisingan mesin dan tingkat stres pada pekerja pabrik

Hasil data dengan menggunakan TNM berhasil menurunkan tingkat kebisingan menjadi dibawah baku tingkat yang diperbolehkan yaitu sebesar 55 dB(A) dengan menggunakan

Variabel Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) secara parsial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap Pertumbuhan Laba yang ditunjukkan dengan nilai t hitung

[r]

Hal ini menjadi tantangan bagi pustakawan perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kualitasnya dan selalu meng- update ilmu pengetahuan dan ketrampilan.Sebagai