ABSTRAK
PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN
NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN
2014/2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN
Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta selatan cenderung membosankan dan penghayatan terhadap nilai-nilai ke Charitasan masih kurang khususnya karakter Charitas yang dimiliki peserta didik yang menjadi kekhasan sekolah,seperti; kegembiraan, kesederhanaan, cinta kasih, persaudaraan. Sekolah Charitas mengalami kesulitan untuk mengajak peserta didik rendah hati dan disiplin diri. Sedangkan bentuk kegiatan yang mendukung PAK bagi pengembangan iman peserta didik cukup banyak, oleh karena itu peserta didik membutuhkan pendampingan dalam pendidikan iman secara formal. Bertitik tolak dari kenyataan, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan yang ditanamkan sekolah melalui Pendidikan Agama Katolik.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah peranan PAK bagi peserta didik dan usaha apa untuk meningkatkan pentingnya PAK bagi peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas, Lebak Bulus Jakarta selatan. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Berdasarkan pengisian Skala Likert dari peserta didik, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tujuan PAK membantu peserta didik mencapai kematangan hidup sebagai orang kristiani menurut pola hidup Yesus Kristus. Dengan adanya PAK di sekolah diharapkan agar peserta didik dapat peka pada rahmat Allah dan tekun menanggapi sehingga peserta didik semakin beriman. PAK berperanan dalam pendidikan iman secara holistik yakni mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik. Ada hubungan PAK dan nilai-nilai ke Charitasan, keduanya merupakan nilai-nilai yang di wartakan Yesus Kristus untuk menghadirkan Kerajaan Allah. PAK mendukung penghayatan nilai-nilai ke Charitasan bagi peserta didik. Namun yang masih menjadi hambatan peserta didik suasana cinta kasih dan pengampunan, di karenakan peserta didik kurang memahami dan menghayati nilai-nilai kasih dalam hidup sehari-hari.
ABSTRACT
THE ROLE OF CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION FOR THE CHARITAS VALUES APPRECIATION OF EIGHT GRADE STUDENTS ACADEMIC
YEAR 2014/2015 OF SMP CHARITAS LEBAK BULUS, SOUTH OF JAKARTA
The title was chosen based on writer’s concern on the implementation of
Catholic Religious Education in SMP Charitas Lebak Bulus, South of Jakarta. The implementation of Catholic Religious Education tends to be boring. The Students’ appreciation of Charitas values such as joyfulness, simplicity, charity, and brotherhood are also lacking. Charitas School faces the difficulty to engage the students to be humble and discipline, whereas there are a lot of activities that
support Catholic Religious Education for students’ faith growth. Students need the
formal guidance for faith education. Based on the fact, this thesis is aimed to help the students in appreciating the Charitas values that are thought in the school through Catholic Religious Education.
The major problems in this thesis are the role of Catholic Religious Education for the students and what efforts to increase the important of Catholic Religious Education for the students in appreciating the Charitas values in SMP Charitas, Lebak Bulus South of Jakarta. To analyze the problems, accurate data is needed. Based on the Likert Scale filled by the students, the research result shows that the purpose of Catholic Religious Education is to help the students to reach
the life maturity as Christians based on the Jesus Christs’ life examples. The
implementation of Catholic Religious Education in the school is aimed to help the students to be more aware of God grace and be zealous in responding it to be more devoted. Catholic Religious Education has the role in the faith education
holistically, that is to develop students’ knowledge, attitude and behavior. There is
a relation between Catholic Religious Education and Charitas values. Both are values that Jesus Christ proclaimed to reveal the Kingdom of God. Catholic Religious Education supports the appreciation of Charitas values for the students. However, the hindrance for the students are charity and forgiveness. This is because the students lack of the understanding and appreciation of charity values in daily life.
PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN
NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN
2014/2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN.
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Kristina Suparti
NIM: 101124018
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Tuhan Yesus dan Bunda Mariayang telah menyertaiku selama ini, dan kepada
Kongregasi suster-suster Santo Fransiskus Charitasyang penuh perhatian dan cinta
MOTTO
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakanAnak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal “ ( Yoh 3: 16)
Penyerahan Kepada Bunda Maria
Oh Bunda yang manis segala pekerjaan, penderitan, roh dan hatiku,
kupersembahkan kepadamu.
Terimalah pujian, hormat dan cinta dari hambamu yang lemah ini
Persembahkanlah ini kepada Yesus, Puteramu dan Penyelamatku.
Hati Maria yang manis jadilah keselamatanku . Amin
ABSTRAK
PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN
NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN
2014/2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN
Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta selatan cenderung membosankan dan penghayatan terhadap nilai-nilai ke Charitasan masih kurang khususnya karakter Charitas yang dimiliki peserta didik yang menjadi kekhasan sekolah,seperti; kegembiraan, kesederhanaan, cinta kasih, persaudaraan. Sekolah Charitas mengalami kesulitan untuk mengajak peserta didik rendah hati dan disiplin diri. Sedangkan bentuk kegiatan yang mendukung PAK bagi pengembangan iman peserta didik cukup banyak, oleh karena itu peserta didik membutuhkan pendampingan dalam pendidikan iman secara formal. Bertitik tolak dari kenyataan, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan yang ditanamkan sekolah melalui Pendidikan Agama Katolik.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah peranan PAK bagi peserta didik dan usaha apa untuk meningkatkan pentingnya PAK bagi peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas, Lebak Bulus Jakarta selatan. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Berdasarkan pengisian Skala Likert dari peserta didik, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tujuan PAK membantu peserta didik mencapai kematangan hidup sebagai orang kristiani menurut pola hidup Yesus Kristus. Dengan adanya PAK di sekolah diharapkan agar peserta didik dapat peka pada rahmat Allah dan tekun menanggapi sehingga peserta didik semakin beriman. PAK berperanan dalam pendidikan iman secara holistik yakni mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik. Ada hubungan PAK dan nilai-nilai ke Charitasan, keduanya merupakan nilai-nilai yang di wartakan Yesus Kristus untuk menghadirkan Kerajaan Allah. PAK mendukung penghayatan nilai-nilai ke Charitasan bagi peserta didik. Namun yang masih menjadi hambatan peserta didik suasana cinta kasih dan pengampunan, di karenakan peserta didik kurang memahami dan menghayati nilai-nilai kasih dalam hidup sehari-hari.
ABSTRACT
THE ROLE OF CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION FOR THE CHARITAS VALUES APPRECIATION OF EIGHT GRADE STUDENTS ACADEMIC
YEAR 2014/2015 OF SMP CHARITAS LEBAK BULUS, SOUTH OF JAKARTA
The title was chosen based on writer’s concern on the implementation of
Catholic Religious Education in SMP Charitas Lebak Bulus, South of Jakarta. The implementation of Catholic Religious Education tends to be boring. The Students’ appreciation of Charitas values such as joyfulness, simplicity, charity, and brotherhood are also lacking. Charitas School faces the difficulty to engage the students to be humble and discipline, whereas there are a lot of activities that
support Catholic Religious Education for students’ faith growth. Students need the
formal guidance for faith education. Based on the fact, this thesis is aimed to help the students in appreciating the Charitas values that are thought in the school through Catholic Religious Education.
The major problems in this thesis are the role of Catholic Religious Education for the students and what efforts to increase the important of Catholic Religious Education for the students in appreciating the Charitas values in SMP Charitas, Lebak Bulus South of Jakarta. To analyze the problems, accurate data is needed. Based on the Likert Scale filled by the students, the research result shows that the purpose of Catholic Religious Education is to help the students to reach
the life maturity as Christians based on the Jesus Christs’ life examples. The
implementation of Catholic Religious Education in the school is aimed to help the students to be more aware of God grace and be zealous in responding it to be more devoted. Catholic Religious Education has the role in the faith education
holistically, that is to develop students’ knowledge, attitude and behavior. There is
a relation between Catholic Religious Education and Charitas values. Both are values that Jesus Christ proclaimed to reveal the Kingdom of God. Catholic Religious Education supports the appreciation of Charitas values for the students. However, the hindrance for the students are charity and forgiveness. This is because the students lack of the understanding and appreciation of charity values in daily life.
KATA PENGANTAR
Limpah syukur dan terimakasih atas Rahmat dan penyertaan Tuhan dalam
seluruh perjalanan hidup peneliti hingga saat ini, secara khusus saat memulai
menulis dan menyelesaikan skripsi dengan judul “ Peranan Pendidikan Agama
Katolik bagi Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan Siswa Kelas VIII Tahun
Ajaran 2014/2015 SMP Charitas, Jakarta Selatan”, sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir dalam bentuk
skripsi ini ditulis berdasarkan keprihatinan dalam diri penulis terhadap
penghayatan nilai-nilai ke Charitasan peserta didik SMP Charitas. Penulis ingin
melihat sejauh mana peranan PAK bagi penghayatan nilai-nilai ke Charitasan
Dalam penulisanskripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak
dengan caranya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga karya ini bisa terselesaikan.
Untuk itu penulis menghaturkan limpah syukur dan terimakasih kepada:
1. Drs. F.X Heryatno Wono Wulung., S.J., M.Ed., selaku Kepala Program
Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.
2. Dra.Y.Supriyati.,M.Pd, selaku dosen pembimbing utama skripsi.
Terimakasih atas waktu, kesabaran, pemikiran serta arahan dan bimbingan
yang diberikan dari awal penulisan hingga terselesainya skripsi ini.
Terimakasih ibu , peneliti belajar ketabahan, ketegaran dan ketelitian dari
ibu.
4. Bapak P.Banyu Dewa HS, S.Ag, M.Si., selaku dosen wali yang terus
menerus setia mendampingi penulis sampai selesainya penulisan skripsi
ini. Sosok seorang bapak yang baik hati, sabar, sederhana dan penuh
pengertian.
5. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.
6. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh
karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam
penulisan skripsi ini.
7. Para siswa SMP Charitas, Jakarta yang telah membantu, memberi
semangat dan dukungan kepada penulis dengan memberi masukkan
informasi untuk kelengkapan materi skripsi ini.
8. Sr.M.Reinelda, FCh. Kepala sekolah SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta.
Dengan terbuka, ramah dan perhatian,murah senyum, mengijinkan dan
menerima saya untuk melakukan penelitian di sekolah.
9. Sr.M.Clementine,FCh. Pimpinan komunitas suster-suster Charitas
Tamansiswa, yang banyak memberi informasi dan membagikan
pengalamannya.
10.Para suster Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas, secara khusus
komunitas Serafim-Yogyakarta, atas doa, cinta kasih, kepercayaan dan
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Batasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
G. Sistematika Penulisan………..8
BAB II. LANDASAN TEORI ...9
A. Pendidikan Agama Katolik ………...9
1. Pengertian Pendidikan ……….9
2. Pengertian pendidikan Agama Katolik ……….10
3. Tujuan Pendidikan Agama Katolik ………...12
4. Sifat dan Arah PAK ……….14
B. Guru Agama Katolik ... 17
C. Kongregasi Suster-suster santo Fransiskus Charitas ………...18
1. Sejarah Kongregasi suster Santo Fransiskus Charitas …………..18
2. Sejarah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan ………20
3. Situasi Umum SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan …….23
4. Keadaan Peserta didik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan………28
a. Isi ke Charitasan………...28
b. Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas LebakBulus,JakartaSelatan………..30
D. Hubungan PAK dan penghayatan nilai-nilai ke Charitasan SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan ………36
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38
1. Jenis Penelitian ………..38
2. Metode Penelitian ………..38
3. Tempat dan waktu Penelitian ………39
4. Responden Penelitian ………39
5. Definisi Operasional ………..40
6. Variabel Penelitian……….41
7. Instrument penelitian ………42
A. Hasil Penelitian ... 43
B. Pembahasan Hasil Penelitian ...51
C. Keterbatasan Peneliti ...55
D. Refleksi Kateketis Hasil Penelitian ...56
BAB IV.IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KE CHARITASAN BERBASIS
A. Pendidikan ke Charitasan Fransiskus Charitas ……….... 60
B. Implementasi dalam PAK ……….67
BAB V. PENUTUP……… ………90
A. kesimpulan ………... ..90
B. Saran ………... .93
DAFTAR PUSTAKA ……….. ..94
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Yak: Yakobus
Luk: Lukas
Yoh: Yohanes
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
KHK: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic) , diundangkan oleh
Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983
C. Singkatan lain:
PAK : Pendidkan Agama Katolik
KBBI : Kamus BesarBahasa Indonesia
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
KOMKAT : Komisi Kateketik
KAJ : Keuskupan AgungJakarta
SEKAFI : Sekretariat KeluargaFransiskan Indonesia
PKC : Pendidikan Kurikulum Charitas
CFM : Charitas FriendlyMatch
LDK : Latihan Kepemimpinan Dasar
KKM : Kriteria KetuntasanMinimal
KTSP : KurikulumTingkat Satuan Pembelajaran
JABODETABEK : Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi
UNESCO : United Nations Educational scientific and Cultural
Organization
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan dalam era globalisasi menuntut berbagai perubahan pendidikan
yang bersifat mendasar. Misalnya, perubahan dari pandangan kehidupan
masyarakat lokal ke masyarakat global, perubahan dari kohesi sosial menjadi
partisipasi demokratis, perubahan dari pertumbuhan, bahkan perubahan dalam
dunia pendidikan. Abad ke-21 ini, UNESCO memaknai pendidikan dengan
merumuskan visi dasar pendidikan yang sekaligus memuat pendidikan nilai-nilai
dan merupakan sasaran hasil yang disarankan dicapai dalam praksis pendidikan.
Visi dasar tersebut mencakup empat pilar dasar pendidikan, yaitu belajar
mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup
dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri
(learning to be) (Djokopranoto, 2011: 90-91). Visi, makna, dan tujuan seperti
yang dirumuskan dan disarankan UNESCO tersebut bersifat universal sehingga
kita dapat menggunakan dalam memajukan pendidikan.
Selain itu, pendidikan juga dimaknai sebagai suatu proses belajar seumur
hidup. Bahkan, hal ini dipandang sebagai suatu budaya yang harus dikembangkan,
terutama yang berkaitan dengan pendidikan nilai dan sikap. Ki Hajar Dewantara
menegaskan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh
yang sangat strategis. Artinya, anak dibantu dan distimulasi agar dirinya
berkembang menjadi pribadi yang dewasa secara utuh (Aqib, 2011: 8).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa realitas senantiasa menampilkan
berbagai hal yang sangat bertentangan dengan harapan semua orang, seperti yang
telah dipaparkan tentang pendidikan. Dengan kata lain, berbagai masalah yang
berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya masalah yang berkaitan dengan
kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional. Selain itu, proses modernisasi
yang semakin cepat melanda negara dan bangsa kita, bahkan telah masuk dalam
seluruh bidang kehidupan masyarakat. Modernisasi dapat menjadi peluang untuk
membangun hidup yang lebih baik, tetapi juga dapat merusak karakter seseorang.
Bahkan, modernisasi pun merebak dan mematikan perkembangan kaum muda dan
peserta didik. Mereka menjadi santai, malas, bersikap instan, meniru kehidupan
kebarat-baratan. Kehadiran berbagai alat teknologi memungkinkan setiap orang
semakin tidak peduli terhadap sesama di sekitarnya. Berbagai permasalahan di
atas, tentunya mengancam perkembangan hidup masyarakat pada umumnya dan
anak-anak pada khususnya. Anak-anak menjadi putus sekolah dan mengalihkan
hidupnya pada budaya hedonisme dan kriminalitas yang menyebabkan mereka
semakin sulit dalam mencari makna hidup.
Berbagai permasalahan di atas, tentunya menimbulkan pertanyaan,
bagaimana membentengi anak-anak terhadap bahaya-bahaya yang mungkin tidak
dapat dihindarkan itu? Bagaimana nilai-nilai luhur dapat tetap berkembang dalam
situasi demikian? Peneliti beranggapan bahwa berbagai permasalahan dan
iman anak. Pendidikan nilai adalah pengenalan, penanaman, dan pengembangan
nilai-nilai dalam diri seseorang. Pendidikan iman itu pertama-tama harus dimulai
dan ditanamkan serta dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, tempat dan
lingkungan dimana anak mulai mengenal dan mengembangkan iman. Karena itu,
orang tua memiliki kewajiban pertama dan utama dalam memberikan pendidikan
dan penghayatan iman kepada anak-anaknya. Namun demikian, orang tua lebih
mempercayakan anaknya kepada para katekis dan guru agama di sekolah, karena
alasan kesibukan dengan pekerjaan yang banyak. Bahkan, negara juga mempunyai
kewajiban untuk mendukung, membantu dan menjaga serta memfasilitasi agar
pendidikan iman bisa terlaksana dengan baik sesuai dengan iman masing-masing
(Mohamad Nuh, 2013: 1). Dengan kata lain, pendidikan iman yang hidup justru
harus diberikan di rumah, dengan contoh perbuatan nyata. Orang tua sangat
berperan dalam mendidik anak-anak dengan semangat religiusitas ini.
Dengan demikian, pendidikan iman mempunyai peran dan tempat yang
utama. Meskipun perkembangan hidup beriman pertama-tama merupakan karya
Allah yang menyapa dan membimbing anak menuju kesempurnaan hidup
berimannya, manusia bisa membantu perkembangan hidup beriman anak dengan
menciptakan situasi yang memudahkan semakin erat dan mesranya hubungan
anak dengan Allah. Pendidikan iman tidak dimaksudkan untuk mencampuri
secara langsung perkembangan hidup beriman anak yang merupakan suatu
misteri, tetapi untuk menciptakan situasi dan iklim kehidupan yang membantu
Karena itu, bentuk pelaksanaan pendidikan iman sebagai kelanjutan dari
pendidikan dan penghayatan iman yang diberikan oleh orang tua di rumah adalah
pendidikan iman secara formal di sekolah yang sering disebut sebagai Pendidikan
Agama Katolik (PAK). PAK merupakan salah satu realisasi tugas dan perutusan
untuk menjadi pewarta dan saksi kabar Gembira Yesus Kristus. PAK di sekolah
sering dirumuskan dengan perkembangan pengetahuan, sikap, dan tindakan
berpegang pada nilai-nilai dan moral. PAK bukan merupakan kepentingan Gereja
saja, tetapi juga kepentingan Negara, sehingga pemerintah mengaturnya dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan
Gereja mempertimbangkan dalam rangka pewartaan. Lebih dari itu, peran PAK
bukan soal mengetahui mana yang benar atau yang salah, tetapi mengetahui dan
melakukannya, seperti dikatakan oleh Santo Yakobus: “Sebab seperti tubuh tanpa
roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati”
(Yak. 2: 26). Hal ini dimaknai secara praktis bahwa PAK tidak hanya menambah
wawasan keagamaan, tetapi mengasah “keterampilan beragama” dan mewujudkan
sikap beragama bagi peserta didik. Sikap beragama yang utuh dan berimbang,
mencakup hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan
sesama serta lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya
berkembang dalam satu sisi atau satu segi saja. Hal ini berarti belajar bukanlah
sekedar untuk tahu, melainkan dengan belajar seseorang menjadi tumbuh dan
berubah serta mengubah keadaan.
Sekolah Menengah Pertama Charitas Lebak Bulus Jakarta Selatan
mata pelajaran yang lebih memprioritaskan penghayatan akan nilai-nilai ke
Charitasan, SMP ini telah menambah jam pelajaran pada setiap mata pelajaran,
tetapi hasil yang dicita-citakan belum maksimal atau kurang memuaskan. Hal ini
disebabkan karena banyak peserta didik menganggap PAK membosankan dan
kurang menarik sehingga peserta didik masih ada yang mencontek, terlambat
sekolah, persaingan antar peserta didik, kurang disiplin, pergaulan bebas yang
membahayakan siswa, dan terjadinya kesalahpahaman melalui tutur kata yang
kurang baik. Selain itu, peserta didik berasal dari keluarga yang sangat sibuk,
taraf ekonomi yang variatif, karakter orang tua yang beragam, waktu untuk anak
sangat kurang, sehingga kecenderungan peserta didik membuat keonaran atau
masalah yang merugikan diri peserta didik itu sendiri, juga pihak sekolah dan
keluarga.
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa PAK sangat berperanan dalam
meningkatkan iman dan penghayatan nilai-nilai ke Charitasan peserta didik
Sekolah Menengah Pertama Charitas Lebak Bulus Jakarta Selatan. Dengan
demikian, tingkah laku, sikap, dan nilai-nilai ke Charitasan seperti kegembiraan,
sederhana, cintakasih dan persaudaraan sesungguhnya mencerminkan hadirnya
Kerajaan Allah di dunia. Karena itu, penulis mengambil judul: “PERANAN
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK BAGI PENGHAYATAN
NILAI-NILAI KE CHARITASAN SISWA KELAS VIII TAHUN AJARAN 2014/
2015 SMP CHARITAS LEBAK BULUS, JAKARTA SELATAN’’ sebagai
pendidikan yang lebih baik, khususnya pendidikan SMP Charitas Lebak Bulus
Jakarta Selatan.
B. Identifikasi masalah
Identifikasi ini dimaksudkan sebagai penegasan batas-batas permasalahan,
sehingga cakupan penelitian tidak keluar dari tujuannya. (Azwar., 1997:28)
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini
dapat di identifikasikan sebagai berikut: PAK di sekolah dianggap kurang
penting dan membosankan pada hal itu pembentukan pribadi peserta didik
dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan. Kendala dalam penghayatan
nilai-nilai ke Charitasan misalnya kegembiraan, sederhana, cintakasih dan
persaudaraan. kurang disiplin, terjadinya kesalahpahaman melalui tutur kata
yang kurang baik serta peserta didik tersebut berasal dari keluarga yang
sangat sibuk, kurang perhatian dari orang tua sehingga peserta didik membuat
masalah di sekolah. Selain itu beragam masalah, menjadi kendala dalam
pelaksanaan PAK. Di SMP Charitas disajikan juga pengetahuan tentang ke
Charitasan di harapkan PAK mendukung nilai-nilai ke Charitasan.
C. Batasan Masalah
Penulis menyadari bahwa topik tersebut sangat luas dan berbagai
keterbatasan yang ada, maka penelitian ini akan dibatasi pada Peranan
Pendidikan Agama Katolik bagi Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan
siswa Kelas VIII Tahun Ajaran 2014/ 2015 SMP Charitas Lebak Bulus,
D.Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah
tersebut, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Apa arti Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Menengah Pertama
Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan
2. Bagaimana peserta didik dalam menghayati nilai-nilai ke Charitasan ?
3. Apa peranan PAK dalam penghayatan nilai-nilai ke Charitasan bagi
peserta didik kelas VIII SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan?
E.Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Mengetahui sejauh mana peserta didik kelas VIII menghayati nilai-nilai
ke Charitasan yang ada di sekolah SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta,
Selatan
2. Apa peranan PAK dan nilai-nilai ke Charitasan bagi peserta didik kelas
VIII SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta, Selatan
F. Manfaat Penelitian
Penelitian tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1.Menambah wawasan yang luas secara teoritis tentang peranan PAK di
Sekolah bagi peserta didik kelas VIII SMP Charitas Lebak Bulus,
2. Menumbuhkan minat peserta didik SMP kelas VIII dalam mengikuti
mata pelajaran PAK serta kegiatan-kegiatan rohani sehingga peserta
didik semakin memiliki iman yang mendalam.
3. Para pendamping memperoleh sumbangan dalam mendampingi peserta
didik dan mampu menghayati nilai-nilai ke Charitasan SMP Charitas
Lebak Bulus.
4. Peserta didik SMP Charitas Lebak Bulus Jakarta semakin memahami
dan menyadari pentingnya peranan Pendidikan Agama Katolik bagi
penghayatan nilai-nilai hidup sehari-hari.
G. Sistematika Penulisan
BAB 1 : Pendahuluan, dalam hal ini penulis menguraikan tentang latar
belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika dan penulisan skripsi
BAB II : Landasan teori ,
BAB III : Metodologi penelitian menguraikan objek penelitian, variabel
penelitian, metode penelitian dan metode analisis data
BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Agama Katolik
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan
potensi peserta didik yang meliputi potensi intelektual, sikap atau perilaku, dan
keterampilan. Selain itu, pendidikan juga merupakan aktifitas terencana yang
diselenggarakan melalui keluarga yang disebut pendidikan non formal dan melalui
pendidikan formal di sekolah-sekolah. Tentunya, pendidikan berperan untuk
membentuk manusia muda yang utuh dan integrasi (Driyakara, 1980; 16).
Sedangkan, Lawrence Cermin dalam Groome, (2010;29) mengartikan pendidikan
sebagai usaha sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk menyampaikan,
menimbulkan atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai,
keahlian-keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.
Alfred North Whitehead dalam Groome,(2010;30) mengartikan pendidikan
adalah bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan;
prestasi-prestasi yang paling lengkap dari pelbagai kegiatan yang mengekspresikan
potensi-potensi makhluk hidup ketika berhadapan dengan lingkungannya yang
sebenarnya. Karena itu, pendidikan mewajibkan pendekatan holistik terhadap
manusia yang memperhatikan seluruh seni kehidupan, serta potensi-potensi
peserta didik dalam konteks lingkungan sosial. Hal ini dipertegas oleh para
pada intelektualisme yang sempit, hanya urusan pikiran, akan tetapi pendidikan
menekankan pikiran yang sehat, tubuh yang sehat, dan kebajikan-kebajikan yang
berkembang. Pendidikan yang baik harus bersifat kognitif, afektif, dan tingkah
laku. Hal senada pun ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK. 795),
demikian:
Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggung jawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial (KWI, 2011: 230).
Pernyataan KHK di atas menunjukkan bahwa pendidikan adalah kata kunci
dalam setiap usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan
demikian, pendidikan adalah proses pengangkatan manusia muda sampai
sedemikian tingginya sebagai manusia dan membudayakan diri. Jadi, pendidikan
adalah kegiatan yang fundamental bagi manusia. Dengan kata lain, pendidikan
adalah suatu proses pendewasaan; dalam arti kemampuan untuk mengarahkan diri
secara mandiri dan bertanggung jawab. Seluruh proses pendidikan tersebut
merupakan bimbingan ke arah kemandirian diri sendiri dan kemandirian dalam
masyarakat (Djokopranoto, 2011: 90-91).
2. Pengertian Pendidikan Agama Katolik
Umat Kristen telah menjadi ciptaan baru dan disebut putra-putri Allah
berkat kelahiran dari air dan Roh Kudus. Karena itu, semua orang Kristen berhak
peserta didik untuk memperteguh iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan ajaran katolik. Tentunya, usaha tersebut juga tetap
memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan
antar umat beragama di tengah masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan
persatuan nasional (Mohamad Nuh, 2013: 2). Mary Boys dalam Heryatno,
(2008;22) mengartikan PAK merupakan suatu cara (jalan) membuka peluang
selebar-lebarnya bagi para peserta didik agar sampai kepada kekayaan tradisi.
Mangunwijaya dalam Heryatno, (2008; 16) memaparkan bahwa hakikat
dasar PAK adalah sebagai komunikasi iman. PAK itu bukan pengajaran agama
melainkan komunikasi pengalaman beriman. Sebagai komunikasi iman, PAK
menekankan sifatnya yang praktis dan selalu mengarah pada perkembangan.
Dengan kata lain, PAK menjadi mediasi perkembangan iman yang berlangsung
secara terus menerus. Dengan demikian, PAK merupakan pendidikan yang bervisi
spiritual (Heryatno, (2008: 16).
Pengertian PAK dapat dipahami sebagai proses pendidikan iman yang
diselenggarakan oleh Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan untuk
membantu peserta didik agar semakin beriman kepada Tuhan Yesus Kristus,
sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah sungguh terwujud di tengah-tengah hidup
peserta didik. Pendidikan iman katolik di sekolah merupakan salah satu usaha
untuk memampukan peserta didik berinteraksi (berkomunikasi), memahami,
menggumuli dan menghayati iman. Karena itu, dengan kemampuan berinteraksi
didik semakin diperteguh. Dengan demikian, tujuan PAK dapat tercapai dengan
baik.
3. Tujuan Pendidikan Agama Katolik
Setiap lembaga pendidikan tentunya berusaha dengan segala upaya untuk
mengembangkan pendidikan ke arah yang lebih baik. Tujuan pembangunan dalam
bidang pendidikan adalah mengembangkan kemampuan akal budi. Sedangkan,
berdasarkan misinya, sekolah menumbuhkan kemampuan memberikan penilaian
yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh
generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata-nilai,
menyiapkan peserta didik untuk mengelola sikap jujur, memupuk kerukunan, dan
mengembangkan sikap saling memahami (Djokopranoto, 2011: 90-91). Tujuan
PAK adalah membantu peserta didik mencapai kematangan hidup sebagai orang
kristiani menurut pola Yesus Kristus Ef 4 :13. (Heryatno, 2008: 86).
Selain itu, tujuan PAK menurut Heryatno Wono Wulung (2008: 24),
sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan iman yang bersifat Holistik. Artinya, sesuai dengan
kepentingan peserta didik. PAK bertujuan mengembangkan secara utuh dan
serentak segi kognitif, afektif, dan psikomotorik hidup peserta didik. Dengan
kata lain, perkembangan pengetahuan dan melaksanakannya sungguh
menyatu. Peserta didik mengetahui secara benar, berarti melaksanakannya
dengan berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan moral. Dengan demikian,
PAK juga mengarah kepada aktualisasi potensi diri dan perkembangan iman
b. Demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Tujuan ini merupakan visi
dasar, arah utama, dan pusat acuan untuk mengukur tercapai tidaknya PAK.
Hal ini berdasar pada pemahaman bahwa Kerajaan Allah merupakan
tindakan Allah sendiri. Dengan kata lain, Allah yang setia dan penuh
belaskasih, menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus. Seluruh Sabda
dan karya Yesus merupakan perwujudan hadirnya Kerajaan Allah, sehingga
dapat dikatakan Kerajaan Allah itu Kerajaan Kristus. Kristus menjadi ahli
waris dan menuntut dari kita sebuah sikap yang positif kepada siapa pun
seperti yang di kehendaki-Nya sendiri bahwa kita harus saling mengasihi
(Yoh. 15: 13). Tujuannya, agar semua orang mengalami damai dan
sejahtera. Karena itu, tujuan PAK menjadi sakramen kehadiran Allah terus
diperjuangkan dan diwujudkan melalui kesaksian hidup.
c. Tujuan PAK demi perkembangan dan kedewasaan iman. Fowler dalam
Heryatno, (2008: 80) mengatakan bahwa perkembangan iman di dalam
dunia pendidikan sangat penting. Sedangkan, Groome (2008: 31)
menjelaskan bahwa iman merupakan poros kehidupan, yang menyangkut
visi dan nilai hidup yang menggerakan seseorang untuk menanggapi realitas
yang transenden. Iman dapat dipahami sebagai keterampilan seseorang
untuk memaknai realitas hidup. Iman menekankan kesatuan tiga elemen,
yaitu pemahaman, emosi, dan moral. Iman itu inti hidup manusia, lebih
personal dan mendalam. James Fowler dalam Heryatno, (2008: 31)
mengatakan bahwa “pendidikan agama katolik harus betul-betul
meyakini, mempercayai dan melaksanakan kehendak Allah. Iman
bersentuhan dengan inti hidup manusia. Maka dengan adanya PAK di
sekolah diharapkan agar peserta didik dapat semakin peka pada rahmat
Allah yang dilimpahkan kepadanya dan tekun menanggapi rahmat itu
sehingga peserta didik semakin beriman. Sebagai mahluk rasional, manusia
menggunakan akal budi untuk makin beriman, maka itu iman memiliki
aspek kognitif yang membuat masuk akal.
Dengan demikian, arah PAK membantu peserta didik untuk semakin
meyakini nilai-nilai kekayaan Gereja. Peranan PAK membantu peserta didik
untuk mengenali dan meyakini belaskasih dan kesetiaan Allah yang menyatu
dalam hidup Yesus Kristus dan terus berkarya melalui Roh Kudus. Tugas PAK
untuk meningkatkan kepercayaan total peserta didik kepada Allah, dengan cara
memupuk relasi dari hati ke hati antara hidup peserta didik dengan kepedulian
terhadap sesama; semakin peserta didik percaya kepada Tuhan, maka peserta
didik juga semakin beriman.
4. Sifat dan Arah Pendidikan Agama Katolik
Pendidikan harus memiliki sifat dan arah pendidikan yang jelas, agar semua
komponen pendidikan, khususnya para peserta didik dapat mengetahui tujuan
proses pendidikan yang mereka pelajari. Vanlith dan Driyakara dalam Heryatno,
( 2008: 13-14) menyatakan bahwa arah PAK adalah memperkembangkan
humanisme Kristiani supaya peserta didik dapat menjadi pelaku-pelaku perubahan
arah PAK adalah untuk memperjuangkan humanisme sosial. Artinya, pendidikan
dipahami sebagai mediasi atau jalan ke arah transformasi sosial.
Sisi lain, PAK yang bervisi spiritual secara konsisten berusaha
memperkembangkan jati diri atau inti hidup seseorang ke dalam diri anak didik.
PAK pun memperkembangkan rasa, kepekaan hati, imaginasi, serta dimensi sosial
hidup manusia. PAK tidak hanya bersifat kognitif, tetapi memberi ilham untuk
menghadapi kenyataan hidup masa sekarang dan masa depan. PAK menekankan
kebijaksanaan dan keutamaan, scholae non scholae sed vitae.artinya dalam
kegiatan belajar mengajar yang terpenting bukan sekolahnya tetapi kualitas
hidupnya. Hal ini perlu disadari bahwa dalam perkembangan hidup peserta didik
tidak sekali jadi tetapi seumur hidup. PAK mengusahakan perkembangan diri
secara terus menerus, from the womb to the tomb (perkembangan iman yang
berlangsung sepanjang hayat) dalam Heryatno, (2008: 15)
Sisi lain, Groome (1991: 11-14) membedakan sifat dasar PAK atas tiga
jenis, antara lain:
1. Ontologis: Dasar pendidikan yang bersifat ontologis, maksudnya dalam
kegiatannya, manusia itu sebagai subjek bukan objek. Memperlakukan peserta
didik sebagai subjek bukan objek dalam PAK. Hal ini berarti PAK secara
serentak memperkembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan secara seimbang
memperkembangkan kognitif (head) rasa dan simpati, hati (heart), tangan
yang bergerak dan berbuat (hands) rumah: rasa aman, percaya diri dan saling
2. Transenden: Dasar kegiatan yang bersifat Transenden, bertolak dari keadaan
konkret dan mengarah pada perkembangan secara hakiki demi hidup peserta
didik. Perkembangan peserta didik melampaui perkembangan sebelumnya.
3. Politis: Dasar kegiatan yang bersifat politis berarti pendidikan mendorong
peserta didik untuk peduli dan aktif terlibat di dalam masalah sosial di
sekitarnya demi transformasi sosial.
Selain itu, Groome Thomas (1991: 11-14) memaparkan fungsi-fungsi
pendidikan, yakni (a) membentuk (to form), (b) informasi (to inform) untuk
mengkomunikasikan kekayaan ilmu dan kebijaksanaan hidup peserta didik, dan
(c) memperjelas artinya untuk memberdayakan peserta didik bagi perkembangan
diri sendiri (to transform). Artinya, suasana yang ada dalam PAK harus dijiwai
oleh Roh cinta kasih dan kebebasan Injili. Berarti, suasananya baik, karena
suasana yang baik dapat menjadi guru yang baik pula. Maksudnya, dari suasana
baik itu suasana yang dijiwai oleh roh cinta kasih dan kebebasan Injili terwujud di
dalam suasana kelas yang memperkembangkan keterkaitan, perhatian, dan
kebersamaan. Suasana yang membuat peserta didik merasa diterima, diteguhkan,
dan diberdayakan untuk semakin berkembang. Akibatnya, suasana kelas sungguh
menggembirakan dan perlu diusahakan. PAK dipahami sebagai seni yang
membutuhkan persiapan, keheningan, dan kontemplasi untuk membiarkan Roh
bekerja sendiri dalam diri guru PAK juga peserta didik itu sendiri.
B.Guru Agama Katolik.
Guru PAK sangat berperan dalam proses belajar mengajar, juga bisa
mewujudkan figur yang sungguh memiliki jiwa sebagai yang berasal dari Allah,
karena jiwa yang beriman menunjukkan kesejatian hidup seorang guru (Moore,
1992). Jiwa merupakan segi yang menghidupkan, mengembangkan, dan
mendorong manusia untuk memiliki kerinduan kepada Allah, serta penuh
perhatian kepada saudara-saudaranya. Karena itu, sesuai dengan hakikat PAK
yang bervisi spiritual maka semua pendidik perlu memelihara atau memberi
makan jiwanya. Jiwa juga diberi makan supaya manusia tidak menjadi zombie
(mayat hidup). kalau lalai, jiwa manusia dapat “hilang” atau bahkan mati,
akibatnya muncul berbagai tindakan kekerasan, anarki, ketergantungan, dan
penyembahan berhala. Pemeliharaan (memberi makan jiwa) bukan hanya tugas
religius tetapi termasuk panggilan dan tugas para pendidik.(Moore, 1992) Dengan
demikian, para guru khususnya guru agama katolik tidak dapat meremehkan,
sebaliknya harus menghormati dan memperhatikan jiwa peserta didik.
Beberapa kemampuan / ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang
Pembina katekese umat atau guru agama katolik, Yosef Lalu,( 2007 : 96) sebagai
berikut:
1. Kemampuan / ketrampilan berkomunikasi dan berelasi
a. Seorang guru agama katolik memiliki kemampuan berkomunikasi dan
berelasi sehingga mampu mengumpulkan, menyatukan, mengarahkan
peserta didik sampai kepada tindakan nyata.
b. Kemampuan / keterampilan mengungkapkan diri, berbicara dan
c. Kemampuan / keterampilan menciptakan suasana yang memudahkan
peserta didik untuk mengungkapkan diri dan mendengarkan pengalaman
peserta didik yang lain
2. Kemampuan / keterampilan berefleksi
Dalam PAK, komunikasi yang dikembangkan komunikasi iman.
Komunikasi iman bukan hanya sekedar informasi, melainkan suatu kesaksian
iman. Maka seorang guru agama katolik adalah seorang yang menyadari dan
mampu memberi kesaksian tentang pengalaman imannya. seorang guru agama
katolik harus dilatih untuk ; 1) mampu / terampil menemukan nilai-nilai
manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari, 2) mampu / terampil menemukan
nilai-nilai kristiani dalam Kitab Suci, ajaran gereja dan tradisi kristiani lainnya, 3)
mampu / terampil memadukan nilai-nilai kristiani dengan nilai-nilai manusiawi
dalam pengalaman hidup sehari-hari.
C. Kongregasi suster Santo Fransiskus Charitas
1. Sejarah Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas
Pada tanggal 1 Desember 1834 dari rumah sakit Breda, Moeder Theresia
Saelmaekers mendirikan rumah cabang di Oosterhout. Dengan tindakan tersebut
Moeder Theresia Saelmaekers meletakan dasar untuk kongregasi baru yang
bernama “Charitas”. Moeder Theresia Saelmaekers menjadi Pemimpin Umum
yang pertama. Moeder Theresia Saelmaekers bersama dua suster yang telah
berprofesi dan seorang Novis, secara diam-diam berangkat ke Steenbergen pada
Moeder Theresia Saelmaekers mendirikan pusat baru Charitas Kristiani dan
Steenbergen menjadi pusat kongregasi. Semangatnya yang kuat dan mendalam
telah menjiwai Moeder Theresia Saelmaekers, sehingga semangat itu terungkap
dalam cita-cita hidupnya dan para susternya.
“ Dalam kegembiraan, kesederhanaan, dan terutama dalam cintakasih
menolong orang lain seraya berdoa dan mengurbankan diri, menampakan
kegembiraan hidup diantara orang sakit dan yang berkekurangan”
Moeder Theresia Saelmaekers memilih Anggaran Dasar Ordo Ketiga Reguler
Santo Fransiskus Asisi untuk kongregasi Charitas karena kegembiraan,
kesederhanaan, dan penghayatan kemiskinan merupakan ciri khas Anggaran
Dasar itu. Doa dan meditasi beserta mati raga sebagai unsur-unsur dasar hidup
Fransiskan. Kepercayaan kepada Tuhan kokoh tak tergoyahkan berdasarkan iman
yang mendalam dan sederhana, iman itu jugalah yang mendorong Maria Yang
Terkandung Tanpa Noda untuk menjawab dengan “Fiat”. Maka kongregasi ini
diletakkan dibawah perlindungan Maria Yang Terkandung Tanpa Noda dikenal
dengan nama “ Suster-suster Charitas”.
Berdoa dan berkarya adalah semboyan Ibu Pendiri. Kongregasi Suster
Charitas semakin berkembang hingga memerlukan tempat yang lebih luas dan
lebih leluasa untuk perkembangan tersebut. Pada tanggal 17 Juli 1905 pusat
Kongregasi dipindahkan ke Roosendal, sedang Steenbergen sebagai cabang. Pada
tanggal 9 Juli 1926, atas permintaan Pimpinan Imam-imam Hati Kudus Yesus
(SCJ) di Palembang, para suster Charitas Roosendaal, mulai berkarya di
pertolongan, para suster Charitas juga mengembangkan Kongregasi dengan
menerima calon dari Indonesia.
Dalam waktu lebih kurang 65 Tahun, cabang Kongregasi di Indonesia semakin
berkembang baik dalam karya maupun jumlah anggota. Sedang di Nederland
sendiri panggilan hidup membiara sendiri semakin berkurang dan sebagian besar
anggotanya telah menjadi tua, oleh karena itu suster-suster Kongregasi Charitas
regio Indonesia mengajukan permohonan ke Roma untuk menjadi Kongregasi
Mandiri di bawah reksa Uskup Palembang. Permohonan tersebut mendapat
tanggapan baik dari Roma dan mendapat jawaban melalui Dekret yang
dikeluarkan di Roma tanggal 18 Mei 1991
Berdasarkan Dekret tersebut maka Kongregasi Regio Indonesia mengambil
nama “Suster Santo Fransiskus Charitas” yang berpusat di Palembang. Setelah
melalui proses pembicaraan maka kemandirian diresmikan pada tanggal 1
Desember 1991 bertepatan dengan peristiwa berdirinya rumah cabang pertama di
Oosterhout oleh moeder Theresia Saelmaekers yang menjadi dasar untuk
Kongregasi baru yang bernama “Charitas”.
2. Sejarah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Pada tahun 1979, Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ
mempersilahkan Kongregasi Fransiskanes Charitas membantu Keuskupan Agung
Jakarta ( KAJ ) wilayah selatan untuk mengelola sekolah katolik khususnya di
Tanggal 16 Juli 1979 merupakan awal tahun ajaran baru sejarah sekolah Charitas
di Jakarta dengan 2 ( dua ) grup yaitu TKK bertempat di Jalan Cerme, Cipete
Selatan dan 2 ( dua ) kelas untuk kelas 1 SD meminjam tempat di SD Pangudi
Luhur Jln. H. Nawi,
Pada awal mulanya dengan jumlah peserta didik sebanyak 73 peserta
didik, menempati kelas / lokal gedung SD Charitas siang hari, mulailah langkah
awal pendidikan SMP Charitas dengan jumlah tenaga pendidik sebanyak 9
(sembilan) orang dan 1 (satu) orang tata usaha. pendidikan lanjutan tingkat
pertama di bawah asuhan Yayasan Pendidikan Charitas.
Memasuki tahun kedua unsur pemerintahan mulai memberikan
sumbangan dan perhatian besar, khususnya instansi terkait yaitu Kantor
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ( Depdikbud ) DKI Jakarta pada tanggal
1 Agustus 1986 mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Ijin Operasional Sekolah
No. SP.592/I01.1A/I.86 sebagai landasan hukum hadirnya SMP Charitas. Tahun
ajaran 1987/1988 merupakan awal sejarah baru siswa kelas 3 mengikuti ujian
EBTA/EBTANAS menggabung di SMP Negeri 85 Pondok Labu sebagaimana
tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan ( Depdikbud ) DKI Jakarta No. Kep. 40/I01.A1/I/88 tanggal 20
Februari 1988, dan untuk pertama kalinya lulus 100 % dengan NEM ( Nilai
EBTANAS Murni ) yang pantas disyukuri, karena tidak mengecewakan orang
tua/wali peserta didik.
Pada tanggal 24 September 1988 gedung SMP Charitas yang berlokasi di
Jakarta Selatan diresmikan oleh Bapak Drs. Soegijo selaku Kepala Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan propinsi DKI Jakarta atas
nama Gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu seluruh Staf Dewan Guru dan
Karyawan serta seluruh peserta didik SMP Charitas berpindah tempat proses
belajar mengajarnya, dari gedung SD Charitas di Pondok Labu ke gedung
berlantai 3 ( tiga ) di Lebak Bulus sampai dengan sekarang.
Perkembangan peserta didik memasuki tahun ke-4 semakin besar
jumlahnya dan hal tersebut dikarenakan tambahnya kepercayaan masyarakat
terhadap pendidikan di Sekolah Katolik. Sejalan dengan perkembangannya, pihak
instansi terkait, dalam hal ini Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan DKI Jakarta, kembali melakukan pemeriksaan dan pengamatan
langsung terhadap jalannya KBM ( Kegiatan Belajar Mengajar) dan kewenangan
tenaga pengajar serta sarana prasarana pendukung proses KBM ternyata
memenuhi syarat, maka dengan SK Kepala Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan propinsi DKI Jakarta No. 515/I01/I01.G/U/1989
pada EBTANAS tahun 1988/1989 diberikan kewenangan dapat
menyelenggarakan EBTA/EBTANAS mandiri. Tahun 1989/1990 mengajukan
permohonan akreditasi sekolah kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta, dan setelah dilakukan pemeriksaan /
penelitian oleh suatu tim akreditasi pada tanggal 6 Nopember 1989, SMP Charitas
jenjang status akreditasinya adalah “ DISAMAKAN “ sebagaimana tertuang
dalam SK Kepala Kanwil Depdikbud DKI Jakarta No. 72A/I01/U/1990 tanggal
Sekolah Nomor Dp. 020823 tanggal 08 November 2011 SMP Charitas
terakreditasi “A” dengan nilai 93. (Charitas Christi Urget Nos 1996:145)
Sejak berdirinya SMP Charitas tanggal 16 Juli 1985 sampai dengan tahun
ajaran 2013/2014 jumlah siswa yang mengenyam pendidikan sebanyak 2.958
peserta didik dan telah meluluskan sebanyak 3.469 peserta didik . Visi dan Misi
sekolah SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan sebagai berikut a) VISI:
Menjadi pribadi yang cerdas, disiplin, dan peduli dalam kasih persaudaraan. b)
MISI: (1) Mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan sosial
secara harmonis. (2) mengembangkan pribadi yang memiliki daya juang, dan
semangat kompetitif. (3) membudayakan sikap hidup disiplin. (4) mewujudkan
kepedulian terhadap sesama dan lingkungan sekitar dalam kasih persaudaraan.
( Panduan dan Program Pemelajaran SMP Charitas 2015 : 7).
Visi dan Misi ini akan di implementasikan dan di kembangkan kepada peserta
didik yang terwujud dalam kegiatan konkrit pada bab IV.
3. Situasi Umum SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan
SMP Charitas, sekolah ini terakreditasi A, yang beralamatkan di Jalan
Mawar Indah 75, Lebak Bulus Cilandak, Jakarta Selatan. Ada pun nama Yayasan
sekolah ini adalah Yayasan Pendidikan Charitas. Yayasan Pendidikan Charitas-
Jakarta menaungi sekolah mulai dari jenjang KB- TK- SD-SMP- hingga SMA.
SMP Charitas Jakarta berdiri sejak tahun 1985 dan didirikan oleh Kongregasi
suster-suster Santo Fransiskus Charitas. SMP Charitas merupakan rumah
landasan cinta kasih dan keteladanan sebagaimana motto Charitas:“In Omnibus
Charitas”(Kasih dalam segalanya).
Para pendidik mendidik peserta didik dengan berlandaskan cintakasih
dan kegembiraan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan, SMP Charitas
memiliki tenaga pendidik yang sah, berpengalaman dan pada setiap kesempatan
mengikuti pelatihan maupun peningkatan keterampilan dan pengetahuan tentang
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
Yayasan pendidikan Charitas menyelenggarakan pendidikan dengan berpegang
teguh pada Azas Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip iman katolik (Panduan
dan Program Pemelajaran SMP Charitas 2014:3) dalam mendampingi peserta
didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh
menyeluruh dengan berlandaskan semangat pengabdian yang tulus ikhlas, cinta
kasih, berani, tegas dan berwibawa untuk menghadapi tantangan masa depan
dengan hati yang damai menuju cita-cita mulia yang mampu memberi keharuman
di bumi persada Indonesia.
Program pendidikan Charitas diberikan secara menyeluruh Holistic
Education dengan cara yang kreatif, menyenangkan dan berbasis pada
pengembangan kecerdasan ganda Multiple Intellegences. Kegiatan belajar
mengajar dikembangkan dalam lingkungan yang menyenangkan dan nyaman serta
lebih ditekankan pada proses (active learning) dan bukan pada penjejalan materi.
Lima pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh
1. Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Belajar untuk memahami dan menghayati (learning to know).
3. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif (learning to do),
4. Belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), membangun dan menemukan
jati diri melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan,
5. Belajar untuk menjalani kehidupan bersama (learning to live together) dan
berguna bagi orang lain.
Sekolah Charitas melaksanakan kurikulum holistik karakter berbasis
Fransiskus Charitas.
Peserta didik yang lulus dari SMP Charitas memiliki kompetensi sebagai
berikut: Mampu menunjukkan sikap gembira, sederhana, dan cinta kasih dalam
kehidupan sehari-hari, mampu menunjukkan kecakapan yang tinggi dalam
berbahasa Indonesia dan bahasa inggris secara aktif maupun pasif, mempunyai
kecakapan yang tinggi dalam mengakses dan mengolah informasi dari buku
bacaan, media massa, internet dan masyarakat, menunjukkan bersikap disiplin,
jujur, bertanggung jawab, kerja sama, bersaudara dan memiliki rasa kepedulian
sosial, menunjukkan kemampuannya untuk mengekspresikan diri melalui
berbagai cara, media dan bentuk kesenian.
Menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan terlibat dalam upaya
pelestarian lingkungan, mematuhi semua aturan sosial yang berlaku di lingkungan
dimana ia berada atas dasar pemahaman untuk kepentingan bersama,
remaja, menghayati imannya sendiri dan tetap menghormati perbedaan pemeluk
iman yang berbeda (pluralisme), menunjukkan kemampuan belajar akademis yang
kuat, bernalar dan berbudaya.
Strategi pengembangan pembentukan jati diri (character building) meliputi;
semangat kegembiraan, semangat kesederhanaan, dan kerendahan hati, semangat
cinta kasih, kepedulian sosial, dan persaudaraan, etika komunikasi, sopan,
tanggung jawab, komitmen, sikap yang visioner, kerja keras, daya juang, kreatif,
inovatif,dan interpreneur (kewirausahaan). Dalam Pendidikan Kurikulum
Charitas (PKC) syarat dengan nilai-nilai karakter ke-charitasan, bahkan 18 nilai
karakter yang dicanangkan oleh pemerintah sudah ditanamkan jauh sebelum
pendidikan karakter lebih ditekan kan di sekolah-sekolah. Pendidikan Kurikulum
Charitas (PKC) juga mempunyai jam khusus tersendiri. Sesungguhnya
pendidikan karakter juga sudah masuk dalam PKN (Pendidikan
Kewarganegaraan). Bentuk kegiatan yang ada untuk membantu perkembangan
karakter peserta didik, yaitu Charitas Friendly Match (CFM) kegiatan ini sudah
menjadi program tahunan sekolah SMP Charitas dan dilakukan selama satu
minggu, dan setiap bulan oktober yang diselenggarakan disekolah SMP Charitas
dengan mengundang semua sekolah yang ada di Jakarta selatan baik sekolah
katolik maupun sekolah negeri. Yang menjadi panitia adalah peserta didik sendiri
dari pencarian dana sampai pada semua kegiatan terlaksana. Dalam setiap bagian
ada pendamping untuk mengarahkan peserta didik. Selain itu ada kegiatan lain
yaitu adanya Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) yang diadakan setiap satu
SMP Charitas hanya menyelenggarakan pelajaran Agama Katolik, yang harus
diikuti oleh seluruh peserta didik SMP Charitas, sebagaimana telah disetujui oleh
para orangtua peserta didik dalam surat pernyataan dan ditanda tangani diatas
meterai 6000. Kegiatan belajar mengajar diawali dan diakhiri dengan doa secara
Katolik dan dipimpin oleh salah satu peserta didik Katolik, semua peserta didik
wajib mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh sekolah; rekoleksi, retret,
seminar dll. Bentuk kegiatan peserta didik yang berkaitan dengan pembinaan
iman di sekolah antara lain retret, rekoleksi, pendalaman iman, doa dan
renungan singkat setiap hari sebelum pelajaran dimulai, mendoakan doa
St.Fransiskus Assisi yaitu doa damai setiap hari selasa setelah renungan, jalan
salib setiap hari Jumaat selama masa Prapaskah, pengakuan dosa masa Adven dan
Prapaskah, misa sekolah setiap jumaat pertama satu bulan sekali, meditasi 15
menit sebelum memulai pelajaran agama, jam perwalian dua minggu sekali
selama 45 menit, serta perayaan hari-hari besar agama di rayakan dan di beri
perhatian, contohnya kalau hari raya Idul Fitri di sekolah dipasang ketupat, kalau
hari raya Shincia membagi angpao, bila hari raya Natal membuat gua bersama dan
lain-lain. Berdasarkan data yang ada hasil pelajaran agama katolik umumnya
mencapai KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang ditetapkan dalam tahun
pelajaran berlangsung KKM 75. Berdasarkan data yang diperoleh, agama yang
dianut peserta didik sangat plural, berdasarkan data yang ada jika diprosentasikan
49,49 % beragama Katolik, 44,44% beragama Kristen, 1,01 % beragama Islam,
4. Keadaan peserta didik di SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Peserta didik SMP Charitas dari latar belakang yang berbeda-beda,
agamanya pun beragam, namun situasi soial baik. Secara umum orang tua
peserta didik SMP Charitas berasal dari suku Jawa, namun peserta didik
sebagian besar lahir dan di besarkan di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi (JABODETABEK).
Adapun tata tertib bagi peserta didik SMP Charitas, selama kegiatan belajar
mengajar (KBM) berlangsung, peserta didik wajib menggunakan seragam yang
ditentukan oleh sekolah, pakaian seragam diatur sesuai hari yang telah
ditentukan. Bel masuk kelas pukul 06.55 WIB untuk persiapan doa bersama.
Pelajaran dimulai pukul 07.00 s.d 13.45WIB kecuali hari Sabtu libur.
Sikap dan perilaku peserta didik harus bersikap hormat, sopan dan bertutur
kata yang baik terhadap guru, suster, pegawai sekolah, serta sesama peserta didik,
menciptakan suasana damai dan tenteram, menjauhkan diri dari pertengkaran dan
permusuhan, wajib mengikuti upacara bendera pada hari yang sudah ditentukan
dan hari besar lainnya yang sudah ditentukan sekolah, wajib melaksanakan 5 S
(Senyum, Sapa,Salam, Salaman, Sopan).
a. Isi ke Charitasan SMP Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Peserta didik mendapatkan pelajaran khusus tentang ke Charitasan yang dikemas
dalam mata pelajaran pendidikan karakter ke Charitasan (PKC) dalam satu
minggu ada 6 (enam ) jam pertemuan, untuk kelas 8 (delapan) dilaksanakan
guru khusus yang mengampu mata pelajaran pendidikan ke Charitasan.
Pendidikan ke Charitasan ini diberikan pada 2 (dua) semester yaitu semester
ganjil dan semester genap, untuk semester ganjil peserta diajak untuk memahami
dan meneladani spiritualitas Santo Fransiskus Asisi pelindung Kongregasi Suster
Fransiskus Charitas serta pelindung sekolah Charitas ( Pendidikan Holistik
berbasis Karakter Fransiskus Charitas : 2008 ) Sementara untuk semester genap,
peserta diajak untuk memahami dan meneladani Moeder Theresia Saelmaekers
pendiri Kongregasi Suster Santo Fransiskus Charitas. Charitas berasal dari bahasa
latin yang berarti kasih. Kasih itu sabar, sabar menanggung segala sesuatu, kasih
itu murah hati, tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Sebagaimana
semboyan sekolah SMP Charitas “ In Omnibus Charitas” (Kasih Allah dalam
segalanya).
Hal demikian ada dalam Konstitusi dan Statuta Umum Kongregasi Suster Santo
Fransiskus Charitas. (Konstitusi dan Statuta Umum 2004)
Charitas berarti berbuat baik kepada orang lain demi kebaikan yang
dilayani tanpa membuat orang lain merasa berhutang budi.(Konstitusi 2004 :102).
Pernyataan Konstitusi ini bahwa dalam melakukan perbuatan baik kepada orang
lain semata-mata demi kebaikan orang yang dilayani tanpa mengharapkan
imbalan. Melakukan perbuatan baik didasari oleh kasih, hal inilah yang dihayati
oleh para suster Santo Fransiskus Charitas dan ditawarkan oleh peserta didik
dalam kurikulum pendidikan yakni kurikulum holistik karakter berbasis
Fransiskus Charitas.
Adapun isi ke Charitasan yaitu; semangat pertobatan Santo Fransiskus Asisi ,
hidup dalam kegembiraan sebagaimana Santo Fransiskus selalu gembira, rendah
hati, sederhana, cinta kasih, pengampunan. Inilah yang juga menjadi semangat
Moeder Theresia Saelmaekers dalam hidup dan pelayanannya serta para suster
Santo Fransiskus Charitas. Isi dari ke Charitasan tersebut yang menjadi ke khasan
sekolah SMP Charitas yaitu mendidik peserta didik dengan cinta kasih.
b. Penghayatan nilai-nilai ke Charitasan di SMP Charitas Lebak Bulus,
Jakarta Selatan
Sering terdengar bahwa pendidikan dan proses pemilikan nilai ternyata tak
diperhitungkan di dalam kurikulum sekolah. Meskipun demikian kenyataannya
pembatinan nilai tetap terjadi lewat sekolah, asrama, masyarakat. Seperti halnya
dengan sekolah SMP Charitas yang menganggap pembatinan nilai-nilai hidup
cukup penting dan mengajak peserta didik untuk menghayati nilai-nilai tersebut
dalam hidup sehari-sehari. Dalam pendidikan Agama Katolik di sekolah peserta
didik diajak untuk membatinkan nilai- nilai hidup Yesus Kristus melalui refleksi
dan dalam hidup sehari-hari, pembatinan nilai terjadi dalam pergumulan,
penghayatan, pengalaman hidup nyata dalam sikap dan perbuatan sehari-hari.
Nilai adalah sesuatu yang dipandang dalam kehidupan manusia, yang
mempengaruhi sikap hidupnya (Nasir., 2013; 64) pandangan hidup merupakan hal
yang penting dan hakiki bagi manusia, dengan pandangan hidupnya manusia
setiap manusia memiliki pandangan hidup yang membuat manusia tahu akan arah
hidup dan ada hal yang harus dihayati dalam hidupnya sehari-hari sehingga dapat
mempengaruhi perilakunya maupun sikap hidupnya.
Nilai berarti sesuatu yang penting yang berharga, di mana orang rela
menderita, mengorbankan yang lain, membela, dan bahkan rela mati demi
nilai tersebut. (Darminta, 2006 : 24).
Pernyataan tentang nilai ini memberi arti atau tujuan dan arah hidup
menjadi sesuatu yang berharga sampai orang rela mengurbankan yang lain,
membela, memperjuangkan bahkan rela mati demi sebuah nilai maupun sesuatu
yang berharga dalam hidup. Nilai menyediakan motivasi-motivasi, kita
memperjuangkan nilai karena ada motivasi-motivasi tertentu.
Nilai- nilai bergerak berlandaskan tiga tempat pijakan; kepala, hati, dan
tangan. (Darminta., 2006 : 25 ) pertama nilai-nilai bergerak di kepala (head)
dalam kepala orang menangkap bahwa sesuatu layak dan dengan demikian, secara
intelektual orang yakin atas layak dan pentingnya sesuatu itu. Kedua , nilai-nilai
perlu mendarat di hati (heart ) orang sendiri tidak hanya menangkap bahwa
sesuatu layak dan penting untuk dimiliki, tetapi hati perlu juga dikenai dan
dipengaruhi oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut dibatinkan. Dan ketiga, nilai harus
mendarat ditangan (hand ). Apabila seluruh pribadi kita terlibat pada nilai yang
diyakini, otak, hati, maka nilai akan mengantar kita kepada keputusan dan
tindakan. Dengan demikian, nilai-nilai adalah penggerak utama dalam hidup kita