• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN BAHAYA AMBLESAN DI DAERAH KARST KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMETAAN BAHAYA AMBLESAN DI DAERAH KARST KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

M1O-06

PEMETAAN BAHAYA AMBLESAN DI DAERAH KARST KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL,

PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

C. P. Widyaningtyas1, Doni Prakasa Eka Putra1*

1Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, Tel. 0274-513668,*Email:putra_dpe@yahoo.com

Diterima 9 September 2014

Abstrak

Kecamatan Semanu merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Fenomena karst banyak dijumpai di wilayah kecamatan ini, selain bukit kerucut, sinkholes sangat umum dijumpai pada baik di batugamping segar ataupun lapuk. Proses pembentukan sinkholes secara teori dapat memicu terjadinya amblesan lahan dan membahayakan manusia ataupun properti/konstruksi teknik diatas ataupun sekitarnya. Di daerah penelitian diketahui bahwa terdapat telaga yang mengering akibat adanya amblesan yang disebabkan oleh adanya sinkhole didasar telaga tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan zona bahaya amblesan akibat dari keberadaan sinkhole. Untuk mencapai tujuan tersebut, observasi lapangan dan evaluasi data sekunder dilakukan untuk mengumpulkan data morfologi, litologi, kelurusan geologi, dan keberadaan sinkholes serta kejadian amblesan yang sudah ada. Korelasi antara keberadaan sinkhole dengan morfologi, litologi serta kelurusan geologi dilakukan untuk memahami faktor pengontrol yang berpengaruh terhadap keberadaan amblesan/

sinkhole. Untuk menentukan parameter yang paling berpengaruh, evaluasi Analytic Hierarchy Process dilakukan yang hasilnya menunjukkan bahwa faktor jenis litologi lebih berperanan dibandingkan dengan jarak terhadap kelurusan geologi dan faktor morfologi (kelerengan). Hasil bobot metode AHP ini kemudian digunakan untuk membuat peta bahaya amblesan dengan metode overlay. Berdasarkan cara ini, daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga zona tingkat bahaya amblesan, yaitu (1) zona tingkat tinggi dengan probabilitas amblesan sebesar 33,8% per km2, (2) zona tingkat sedang dengan probabilitas amblesan sebesar 23% per km2, dan (3) zona tingkat rendah dengan probabilitas amblesan sebesar 18,5% per km2. Diharapkan dengan adanya peta bahaya amblesan ini, perencanaan wilayah dan pembangunan konstruksi teknik di daerah penelitian memperhatikan zona-zona bahaya amblesan yang ada.

Kata Kunci: Amblesan, Karst, Gunungkidul, Analytic Hierarchy Process

Latar Belakang

Amblesan tanah sebagai permasalahan geologi dapat terjadi secara alamiah atau disebabkan oleh pengaruh aktivitas manusia. Salah satu pemicu alamiah terjadinya amblesan tanah adalah proses pelarutan batuan bawah permukaan oleh air yang umum terjadi pada batuan karbonat (batugamping, dolomit), endapan garam dan gypsum (Allen, 1984). Permasalahan amblesan tanah yang disebabkan oleh pengaruh aktivitas manusia umumnya berkembang dalam jangka waktu yang lama dan berkaitan erat dengan proses pengambilan airtanah pada akuifer yang tersusun oleh litologi endapan alluvial, fluvial dan estuary (Poland, 1970 dalam Foley, dkk, 2009). Baik secara alamiah atau pengaruh aktivitas manusia, kecepatan dan tingkat amblesan dikontrol oleh kondisi litologi, iklim, vegetasi dan waktu serta dipicu oleh beberapa proses seperti pelarutan batuan, erosi mekanik bawah permukaan, kompresi atau kompaksi, pengaliran airtanah, getaran, hidrokompaksi dan penyusutan (Allen, 1984, Glopper dan Ritzema, 1994).

(2)

Kecamatan Semanu (Lihat Gambar 1) dan Rongkop di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu daerah dengan morfologi karst yang tersusun oleh litologi batugamping. Di kedua kecamatan ini, kejadian amblesan umum terjadi pada musim hujan. Pemetaan bahaya dan risiko amblesan lahan di wilayah karst Gunung Kidul khususnya di Kecamatan Rongkop telah dilakukan oleh Putra, dkk, 2011.

Pada penelitian Putra, dkk, 2011, pemetaan bahaya amblesan dilakukan dengan empat parameter yaitu elevasi, kelerengan, jenis litologi dan jarak dari kelurusan geologi (lineament). Metode overlay dilakukan pada empat parameter tersebut dengan bobot terbesar diberikan kepada jarak terhadap kelurusan (58%), diikuti oleh jenis litologi (23%), kelerengan (13%) dan elevasi (6%) berdasarkan bobot yang ditentukan menurut metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Berkaitan dengan hal ini, paper ini mencoba menguji apakah bobot parameter yang diaplikasikan pada pembuatan peta bahaya amblesan di Kecamatan Rongkop akan sama dengan yang di Kecamatan Semanu dengan menggunakan metode pembobotan yang sama melalui metode AHP. Selain itu, dengan adanya peta bahaya amblesan diharapkan penelitian ini dapat memberikan arahan pengembangan wilayah berbasis bencana geologi yang tepat untuk wilayah Kecamatan Semanu, Gunung Kidul, Yogyakarta.

Studi Pustaka dan Dasar Teori

Fisiografi daerah penelitian menurut Van Bemmelen (1949), termasuk ke dalam zona fisiografi Pegunungan Selatan. Dimana daerah penelitian termasuk dalam satuan dataran tinggi meliputi daerah Gading, Wonosari, Playen, hingga Semanu. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Surakarta - Giritontro, daerah penelitian termasuk dalam Formasi Wonosari yang secara umum tersusun atas batugamping terumbu, kalkarenit, dan kalkarenit tufan, dengan hubungan stratigrafi yang menjemari dengan bagian atas dari Formasi Oyo (Surono, dkk, 1992). Selain itu, menurut Van Bemmelen (1949), secara umum Pegunungan Selatan ini dikontrol oleh empat pola arah kelurusan geologi yaitu arah NE-SW, N-S, NNW-SE dan E-W. Keberadaan batugamping dan kelurusan, seperti yang dijelaskan sebelumnya diperkirakan mempengaruhi kemunculan dan pola penyebaran amblesan di daerah penelitian.

Poland dan Davis (1986) menyatakan bahwa amblesan pada batugamping diakibatkan karena proses pelarutan batugamping oleh air secara terus menerus sehingga celah berkembang menjadi rongga, dimana apabila bagian atas dari rongga terlalu lemah, keruntuhan atau amblesan di permukaan akan terjadi. Waltham, dkk, (2005) menyebutkan bahwa kejadian amblesan di daerah karst berkaitan dengan proses pembentukan sinkhole.

Proses pembentukan Sinkhole dapat dibagi menjadi enam genesa yaitu; solution sinkhole, collapse sinkhole, dropout sinkhole, buried sinkhole, caprock sinkhole, dan suffosion sinkhole (Waltham, dkk, 2005).

Gambar 2 menunjukkan ke-enam genesa proses pembentukan sinkhole di daerah karst.

Pada gambar ini jelas terlihat bahwa solution sinkhole dan collapse sinkhole tidak memiliki litologi atau endapan penutup diatas batugamping, sedangkan tipe proses pembentukan sinkhole lainnya berkaitan dengan adanya lapisan penutup diatas batugamping yang dapat tersusun dari hasil pelapukan batugamping itu sendiri atau jenis litologi yang lain (Waltham, dkk, 2005). Penjelasan Poland dan Davis (1986) mengenai amblesan di batugamping sesuai untuk kasus amblesan pada proses pembentukan solution sinkhole dan collapse sinkhole, sedangkan pada genesa sinkhole lainnya berkaitan erat dengan jenis lapisan penutup dan proses pengisian celah atau rongga oleh litologi penutup tersebut.

Waltham, dkk, (2005) menjelaskan bahwa jika lapisan penutup merupakan endapan atau tanah yang kohesif seperti lempung, maka amblesan yang terjadi kemungkinan bertipe dropout sinkhole, sedangkan jika lapisan penutup tersusun atas endapan pasiran, maka

(3)

RI CRCI

1

max

  n CI

n

max

amblesan yang terjadi bertipe suffosion sinkhole. Namun jika litologi yang mengalami amblesan merupakan lapisan batuan lain maka proses pembentukan sinkhole disebut caprock sinkhole. Buried sinkhole terjadi lebih karena adanya proses pembebanan dan kompaksi yang dialami oleh endapan penutup secara perlahan dan waktu yang lama.

Perbedaan proses amblesan pada lapisan litologi/endapan/tanah penutup dipengaruhi oleh beberapa faktor pengontrol yaitu; kandungan lempung, ketebalan lapisan kompresibel, kandungan material organik, densitas dan kondisi airtanah (Glopper dan Ritzema, 1994).

Metodologi

Sesuai dengan tujuan penelitian, metode yang digunakan untuk pengambilan data meliputi evaluasi peta topografi dan Digital Elevation Model (DEM), observasi kondisi morfologi, observasi jenis litologi, evaluasi kelurusan geologi berdasarkan data Digital Elevation Model (DEM) dan observasi persebaran amblesan dan/atau sinkholes yang termanifestasi dalam bentuk morfologi gua, luweng dan telaga. Selanjutnya berdasarkan data-data tersebut, dilakukan evaluasi menggunakan metode AHP untuk mengetahui bobot pengaruh dari setiap parameter yaitu morfologi(kelerengan), jenis litologi dan kelurusan geologi terhadap terjadinya amblesan dan/atau sinkhole. AHP dapat dipergunakan untuk berbagai macam hal dalam bidang teknologi, ekonomi, dan problema social-politik (Dai et al., 2001). Metoda ini adalah metoda yang tepat untuk penentuan pembobotan parameter. Pada dasarnya AHP adalah pendekatan yang bersifat mutli-obyektif, multi-kriteria yang memanfaatkan matrik perbandingan. Pada pembuatan matrik perbandingan ini, setiap faktor diberi skala dengan kisaran relatif 1-9, nilai ini tergantung nilai kepentingan (lihat Tabel 1).

Ketika suatu faktor pada sumbu vertikal lebih penting daripada sumbu horisontal, nilai faktor ini adalah 1-9, sebaliknya jika faktor pada sumbu horizontal lebih penting daripada faktor di sumbu vertical maka nilainya akan berkisar antara 1/9 – 1. Dengan menggunakan perhitungan matrik, maka nilai eigen yang paling besar akan memiliki nilai-nilai eigenvector yang akan mewakili bobot faktor. Nilai eigenvector ini kemudian dijumlahkan, dan bobot-bobot faktor diperoleh dengan membagi nilai eigenvector faktor dengan nilai total eigenvector (Dai, et al., 2001). Pada penelitian ini, bobot parameter/faktor pengontrol amblesan ditentukan terlebih dahulu secara relatif arti kepentingannya dengan mengkorelasikan keberadaan amblesan/sinkhole dengan klas/zona setiap parameter.

Parameter yang digunakan sebagai faktor pengontrol amblesan adalah morfologi, litologi dan kelurusan geologi atau lineament. Dari total 28 data lokasi amblesan/sinkhole yang didapatkan di lapangan, 15 data yang dipilih secara acak digunakan untuk penentuan bobot parameter yang digunakan dan sisanya digunakan untuk proses validasi.

Untuk menentukan apakah bobot-bobot tersebut konsisten dam obyektif, perhitungan Consistency Ratio diperlukan. Nilai Consistency Ratio (CR) < 0.1 menunjukkan bahwa bobot-bobot tersebut sudah tepat (Saaty, 1977 dalam Dai, et al., 2001). Dimana CR ini dihitung dengan rumusan sebagai berikut:

Dimana:

CI : Indeks konsistensi

: : Nilai eigenvalue maksimum n : Jumlah parameter

RI : Indeks random (lihat Tabel 2)

(4)

Setelah bobot setiap parameter didapatkan dengan nilai indeks konsistensi yang terkecil, peta bahaya amblesan dibuat dengan metoda overlay dengan memanfaatkan perangkat lunak sistem informasi geografis. Untuk memastikan kesesuaian zona bahaya amblesan yang dihasilkan dari hasil overlay, dilakukan perbandingan antara klas bahaya amblesan dengan jumlah amblesan dan/atau sinkhole yang didapatkan di lapangan.

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Geologi Dan Keberadaan Amblesan/Sinkhole

Berdasarkan hasil evaluasi peta topografi, DEM, dan pengamatan langsung di lapangan.

satuan morfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan kelerengan, yaitu : (1) satuan datar-landai (kelerengan < 20o), (2) satuan agak curam (kelerengan 20o-40o) dan (3) satuan curam (kelerengan > 40o). Dengan mengeplotkan 15 data amblesan/sinkhole pada peta morfologi, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara klas kelerengan tersebut dengan keberadaan amblesan/sinkhole, dimana semakin landai kelerengan semakin banyak lokasi amblesan/sinkhole yang ditemukan (lihat Gambar 3). Menurut Gambar 3 dapat disimpulkan bahwa hampir 67% amblesan/sinkhole muncul di satuan lereng datar-landai, 27% berasosiasi dengan satuan lereng acak curam dan sisanya berada pada satuan lereng curam.

Berdasarkan pada hasil obervasi di lapangan, secara umum litologi penyusun di daerah penelitian adalah perselingan batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Di satuan lereng datar-landai, umumnya kondisi batuan sudah mengalami pelapukan membentuk tanah/endapan berukuran lempung hingga pasir dengan fragmen-fragmen batugamping berukuran 1-10 cm. Di lain pihak, pada satuan lereng curam umum dijumpai batugamping segar. Dalam kaitannya dengan proses kejadian amblesan/sinkhole, dapat diprediksi bahwa kejadian amblesan/sinkhole di zona batugamping segar akan berkaitan dengan solution dan collapse sinkhole, sedangkan pada batugamping lapuk yang membentuk lapisan penutup, kejadian amblesan/sinkhole berkaitan dengan empat genesa sinkhole yang lain.

Pengeplotan antara 15 data amblesan/sinkhole dengan zona batugamping segar dan lapuk menunjukkan bahwa hampir 67% amblesan/sinkhole berada di zona batugamping lapuk dan sisanya pada batugamping segar (lihat Gambar 4).

Untuk membuat korelasi antara keberadaan amblesan/sinkhole dengan kelurusan geologi, zonasi jarak dari kelurusan yang ada di daerah penelitian dibuat dengan sistem informasi geografis. Dasar pembagian jarak dari kelurusan diambil dari hasil penelitian Braathen dan Grabielsen (2000) dalam Ganerod, dkk, 2008, dimana pada jarak kurang dari 200 m dari sesar merupakan batas zona pengaruh sesar dengan ditandai oleh jumlah retakan yang semakin padat ke arah sesar (1-100 retakan/meter), sedangkan pada jarak >

200 m, jumlah retakan akan sangat berkurang hanya sekitar 0-2 retakan/meter. Berdasarkan hal ini, zonasi jarak kelurusan di daerah penelitian dibagi menjadi tiga zona yaitu; (1) jarak dari kelurusan < 200 m, (2) jarak dari kelurusan 200-400 m dan (3) jarak dari kelurusan >

400 m. Pengeplotan 15 data amblesan/sinkhole dengan pembagian zona ini berkorelasi positif, dimana secara berurutan hampir 67% keberadaan amblesan/sinkhole berasosiasi dengan zona jarak dari kelurusan < 200 m dan hamper 27% berasosiasi dengan zona jarak dari kelurusan 200-400 m serta sisanya berasosiasi dengan zona jarak dari kelurusan > 400 m (lihat Gambar 5).

Penentuan Bobot Faktor Pengontrol Amblesan

Penentuan zona bahaya amblesan dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan bobot parameter atau faktor pengontrol keberadaan amblesan/sinkhole dengan metode AHP.

(5)

Penelitian Putra, dkk, 2011, menunjukkan bahwa faktor jarak terhadap kelurusan/struktur geologi lebih berpengaruh dibanding dengan jenis litologi dan morfologi. Perhitungan CR dengan mempertimbangkan hal ini memberikan hasil CR maksimal sebesar 4,7%. nilai CR yang paling baik didapatkan dengan parameter litologi mendapat skala kepentingan cukup (3) terhadap parameter jarak terhadap kelurusan dan skala kepentingan cukup kuat (5) terhadap parameter kelerengan. Sedangkan parameter jarak terhadap kelerengan mendapat skala kepentingan sedikit lebih berpengaruh (2) terhadap parameter kelerengan.

Selanjutnya, skala kepentingan berkebalikan (1/n) berlaku untuk parameter jarak terhadap kelerengan terhadap litologi sebesar 1/3. Parameter kelerengan memiliki nilai 1/5 terhadap litologi, dan parameter kelerengan terhadap jarak terhadap kelurusan mempunyai nilai 1/2.

Penjabaran dari penilaian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 di atas, selanjutnya tiap kolom sub parameter dijumlahkan secara vertikal yang kemudian digunakan sebagai pembagi pada tahap normalisasi matriks. Tiap baris pada matriks perbandingan berpasangan tersebut dibagi dengan nilai jumlah masing–

masing kolom, sehingga, didapatkan matriks perbandingan berpasangan ternormalisasi kerentanan. Tahap selanjutnya, menghitung lambda maksimal dengan menjumlahkan hasil perkalian tiap bobot parameter dengan jumlah dari masing – masing kolom . Setelah diperoleh nilai maksimal eigenvalue, nilai CI dihitung didapatkan hasil 0.27%, dan kemudian nilai CR didapatkan sebesar 0.47% (lihat Tabel 4).

Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa bobot tertinggi dari parameter pengontrol keberadaan amblesan/sinkhole adalah parameter litologi (65%), parameter distance to lineament of valley (23%), dan bobot terendah pada parameter kelerengan (12%). Dibandingkan dengan hasil penelitian Putra, dkk, 2011, terdapat perbedaan urutan kepentingan faktor pengontrol yang tentu saja hal ini dapat terjadi mengingat banyak sekali hal yang berperanan pada proses pembentukan sinkhole.

Bahaya Amblesan Di Daerah Penelitian

Penentuan zona bahaya amblesan di daerah penelitian kemudian dilakukan dengan melakukan evaluasi overlay pada sistem informasi geografis dengan memberikan skor dan bobot pada masing-masing parameter pengontrol seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Nilai hasil overlay kemudian dibagi berdasarkan distribusi normal ke dalam tiga kategori, yaitu kerentanan amblesan rendah, kerentanan amblesan sedang dan kerentanan amblesan tinggi, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Dari Gambar 6 dapat dilihat penyebaran masing-masing zona-zona kerentanan atau bahaya amblesan. Zona kerentanan amblesan rendah ini memiliki pelamparan yang paling kecil, yaitu sekitar 10% dari total luas daerah penelitian. Secara umum, zona kerentanan rendah ini berasosiasi dengan litologi berupa batugamping segar, dengan kemiringan lereng lebih dari 40o, serta berada jauh dari kelurusan ((>400 meter). Sekitar 60% dari total luas daerah penelitian termasuk ke dalam zona kerentanan amblesan sedang. Zona kerentanan sedang ini berasosiasi litologi batugamping yang masih segar dan atau sedikit lapuk dengan kelerengan agak curam (20o - 40o), dan berjarak 200 – 400 meter dari kelurusan. Sedangkan zona kerentanan amblesan tinggi menempati kurang lebih 30% luas daerah penelitian dan berasosiasi dengan litologi lapukan batugamping, kelerengan datar- landai (<20o) dan berada dekat dengan kelurusan (<200 meter).

Untuk menguji kesesuaian zona bahaya amblesan ini dengan keberadaan amblesan/sinkhole yang sudah ada dilakukan penampalan seluruh 28 data amblesan/sinkhole yang didapatkan pada saat obervasi lapangan (lihat Gambar 6). Uji kesesuaian dilakukan dengan cara menghitung probabilitas keberadaan per luasan zona bahaya. Tabel 6 menunjukkan tabulasi probabilitas ini dan pada tabel ini dapat dilihat bahwa probabilitas keberadaan amblesan semakin besar akan didapatkan pada zona

(6)

kerentanan/bahaya amblesan tinggi, sehingga terdapat kesesuaian yang sangat baik antara zonasi kerentanan/bahaya amblesan dengan kemungkinan adanya kejadian amblesan di daerah penelitian.

Kesimpulan

Faktor pengontrol keberadaan amblesan/sinkhole di daerah penelitian dipengaruhi secara berurutan oleh jenis litologi (65%), jarak dari kelurusan (23%) dan kelerengan (12%), dimana bobot pengaruh faktor-faktor ini tidak dapat diaplikasikan secara langsung untuk memprediksi keberadaan amblesan/sinkhole pada wilayah-wilayah karst yang lain oleh karena selain faktor geologi terdapat beberapa faktor pemicu seperti iklim (termasuk curah hujan), kondisi kedalaman airtanah, getaran (termasuk gempa) dan sebab lain yang belum dibahas pada penelitian ini.

Zona kerentanan/bahaya amblesan yang dihasilkan pada penelitian sesuai dengan kejadian atau keberadaan amblesan/sinkhole yang dapat diamati dilapangan, dimana kemungkinan kejadian amblesan di zona bahaya tinggi sebesar hampir 34%, pada zona bahaya sedang adalah 23% dan pada zona bahaya rendah hamper sebesar 19% dari luasan masing-masing zona tersebut. Diharapkan dengan adanya peta bahaya amblesan ini, perencanaan wilayah dan pembangunan konstruksi teknik di daerah penelitian memperhatikan zona-zona bahaya amblesan yang ada.

Daftar Pustaka

Allen, A.S., 1984. Types of Land Subsidence, in: Poland, J.F., (ed.), Guidebook to Studies of Land Subsidence due to Groundwater Withdrawal, Studies and Report in Hydrology, UNESCO, p.133-141.

Dai, F.C., Lee, C.F., Zhang, X.H., 2001. GIS-Based Geo-Environmental Evaluation for Urban Land-use Planning: A Case Study, Engineering Geology, Elsevier, Vol.61, Issue 4, p.257-271.

Glopper, R.J., dan Ritzema, H.P., 1994. Land Subsidence, in: Ritzema, H.P., (ed.) Drainage Principles and Applications, International Institute for Land Reclamation and Improvement, The Netherlands, p.477-510.

Foley, D., McKenzie, G.D., dan Utgard, R.O., 2009. Investigations in Environmental Geology, 3rd ed, Pearson Prentice-Hall, New Jersey.

Poland J. F., dan Davis G. H., 1986. Subsidence of the land surface in the Tulare Wasco, Delano and Los Banos-Kettlement city areas, San Joaquim Valley, American Geophysical Union Trans, California.

Putra, D.P.E., Setianto, A., Keokhampui, K., dan Fukuoka, H., 2011. Land Subsidence Risk Assessment in Karst Region, Case Study: Rongkop, Gunung Kidul, Yogyakarta-Indonesia, Mittelungen zur Ingenieurgeologie und Hydrogeologie, Heft 104, Lehrstuhl fuer Ingenieurgeologie und Hydrogeologie RWTH Aachen, p.39-49.

Saaty, T.L., 1980. The Analytic Hierarchy Process, McGraw-Hill, New York.

Surono, Toha.B., dan Sudarno, 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta -Giritontro, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Van Bemmelen, R.W.,1949. The Geology of Indonesia, Vol.1A, Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam.

Waltham T., Bell F., dan Culshaw M., 2005. Sinkholes and Subsidence: Karst and Cavernous Rocks in Engineering and Construction, Paris Publishing, Chichester, UK.

(7)

Tabel 1. Nilai skala perbandingan faktor (Saaty, 2008, dengan modifikasi) Intensitas

Kepentingan

Definisi Deksripsi

1 Nilai kepentingan sama Masing-masing parameter memiliki proporsi pengaruh yang sama

2 Nilai kepentingan sedikit lebih berpengaruh

3 Nilai kepentingan cukup Salah satu parameter sedikit lebih berpengaruh

4 Nilai kepentingan cukup plus

5 Nilai kepentingan cukup kuat Salah satu parameter lebih berpengaruh daripada yang lain

6 Nilai kepentingan cukup kuat plus

7 Nilai kepentingan kuat Salah satu parameter lebih berpengaruh kuat daripada yang lain

8 Nilai kepentingan sangat kuat

9 Nilai kepentingan sangat ekstrim Salah satu parameter sangat berpengaruh daripada yang lain

Tabel 2. Nilai Random Index (RI) berdasarkan jumlah faktor (Saaty, 2008)

n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Random

Index 0 0 0.25 0.89 1.11 1.25 1.35 1.4 1.45 1.49

Tabel 3. Matrik perbandingan berpasangan untuk evaluasi bobot pada metode AHP Parameter Litologi Jarak terhadap

kelurusan Kelerengan

Litologi 1.00 3.00 5.00

Jarak terhadap kelurusan 1/3 1.00 2.00

Kelerengan 1/5 1/2 1.00

Sum 1.53 4.50 8.00

Tabel 4. Matrik perbandingan berpasangan ternormalisasi untuk evaluasi bobot

Parameter Normalisasi Sum Bobot Parameter

Litologi 0.65 0.67 0.63 1.94 65%

Jarak terhadap

kelurusan 0.22 0.22 0.25 0.69 23%

Kelerengan 0.13 0.11 0.13 0.37 12%

Sum 1.00 1.00 1.00 3.00 100%

max eigenvalue 3.0054 n = 3

consistency index (CI) 0.27%

consistency ratio (CR) 0.47%

(8)

Tabel 5. Skor dan bobot masing-masing parameter untuk evaluasi overlay

Parameter Klas Skor Bobot

Litologi Batugamping lapuk 1

Batugamping segar 2 65%

Jarak terhadap kelurusan

<200 m 1

200 – 400 m 2 23%

>400 m 3

Kelerengan

<20o 1

20o– 40o 2 12%

>40o 3

Tabel 6. Hubungan keberadaan amblesan/sinkhole dengan zona kerentanan amblesan di daerah penelitian

Tingkat kerentanan land subsidence

Luasan (km2) Jumlah titik amblesan/sinkholes

Probabilitas (% per km2)

Rendah 10,8 2 18,5

Sedang 65,0 15 23,1

Tinggi 32,5 11 33,8

Gambar 1. Peta daerah penelitian di Kecamatan Semanu, Gunung Kidul, Yogyakarta

(9)

Gambar 2. Proses-proses amblesan yang berkaitan dengan proses pembentukan sinkhole (Waltham,dkk,2005).

Gambar 3. Zonasi kelerengan di daerah penelitian

(10)

Gambar 4. Zonasi batuan di daerah penelitian

Gambar 5. Zonasi jarak dari kelurusan di daerah penelitian

(11)

Gambar 6. Peta kerentanan atau bahaya amblesan di daerah penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar orang bersepeda di atas jelas terlihat bahwa jalan yang dilalui sepeda Dari gambar orang bersepeda di atas jelas terlihat bahwa jalan yang dilalui sepeda selalu

-Kegiatan patroli terpadu hari ini adalah Anjangsana, dan Penyadartahuan masyarakat tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar, dan menemukan lahan yang berpotensi

Tiga bentuk pewartaan tersebut di atas saling berhubungan satu sama lain. Pewartaan aktual Gereja masa kini berdasarkan dan merupakan kesinambungan dari pewartaan

Melalui analisa terhadap hasil pengolahan data berupa hidden pattern yang terbaca pada masing-masing kriteria yang diperoleh dapat diketahui bahwa aspek harga

• Dalam hubungannya dengan manusia lain, perlu adanya aturan sopan santun atau tata cara dalam pergaulan yang disebut

Dalam kondisi persaingan bisnis yang semakin ketat, hal utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah masalah kualitas layanan kepada pelanggan agar dapat tetap bertahan,

Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-undang Perlindungan Anak (UU-PA) memandatkan bahwa pemerintah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan

Adapun dalam sebuah skripsi yang sudah berlalu, ada dua karya dari mahasiswa Tafsir Hadis IAIN Sunan Ampel Surabaya yang telah mengangkat permasalahan berkenaan