• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PEMAMANEN PAMAN PADA MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK TESIS. Oleh MYCELLIA CEMPAKA MZ /LNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TRADISI PEMAMANEN PAMAN PADA MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK TESIS. Oleh MYCELLIA CEMPAKA MZ /LNG"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI PEMAMANEN ‘PAMAN’ PADA MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

TESIS

Oleh

MYCELLIA CEMPAKA MZ 187009021/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

▸ Baca selengkapnya: wawan pergi ke rumah paman wawan berangkat pukul 08 lama perjalanan 2 jam pada pukul berapa wawan sampai di rumah paman

(2)

TRADISI PEMAMANEN ‘PAMAN’ PADA MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh

MYCELLIA CEMPAKA MZ 187009021/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

(3)

Judul Tesis : TRADISI PEMAMANEN ‘PAMAN’ PADA

MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH

TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Mycellia Cempaka Mz Nomor Pokok : 187009021

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.) (Dr. Dardanila, M.Hum)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP) (Dr.T.Thyrhaya Zein, M.A)

Tanggal Lulus: 25 Januari 2021 Telah diuji pada

Tanggal: 25 Januari 2021

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (...) Anggota : Dr. Dardanila, M.Hum (...)

Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D (...) Prof. Pujiati, M.Soc. Sc, Ph.D (...) Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. (...)

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

TRADISI PEMAMANEN ‘PAMAN’ PADA MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

Dengan ini penulis nyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Linguistik pada Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku.

Medan, Januari 2021 Penulis,

Mycellia Cempaka

(6)

i

TRADISI PEMAMANEN ‘PAMAN’ PADA MASYARAKAT GAYO ALAS DI ACEH TENGGARA : KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK

Abstrak

Penelitian ini berjudul Tradisi Pemamanen „paman‟ pada Masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara Provinsi Aceh : Kajian Antropolinguistik.

Tujuan dalam penelitian ini adalah: untuk mendeskripsikan tradisi pemamanen pada Khezeki (khitan) di masyarakat Alas di Aceh Tenggara dan yang dikenal dengan Adat Siempat pekhkakhe atau Siempat Perkara khususnya pada tradisi Khezeki (Khitan) yang merupakan inti yang diuraikan dalam penelitian ini dan membahas hal hal yang berkaitan dengan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi pemamanen ‟paman‟.

Mendefenisikan tradisi pemamamen (ontologis), pelaksanaan tradisi pemamanen (epistemologis) dan pelestarian budaya (aksiologis). Konsep yang digunakan dalam penelitian adalah Antropolinguistik. Penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus etnografi yang dilakukan dengan mewawancarai narasumber secara langsung. Adapun hasil penelitian ini adalah; (1) performansi; pada tradisi tebekhas, titah pekhintah, mhagah, sabhungen silime lime, penyambutan tuan pemamanen, ngekhane dan njagai, (2) struktur teks terdapat pada tradisi ngekhane dengan shalawat Nabi atau sambutan pada saat pembukaan sebagai penyampaian maksud dalam acara yang diselenggarakan, dan (3) kearifan lokal Tradisi pemamanen „paman‟ pada Masyarakat Alas di Aceh Tenggara mencakup 5 kearifan lokal yakni; Gotong royong, saling menghargai, rasa Syukur, kerukunan, dan kesopanan.

Kata Kunci : Antropolinguistik, Tradisi Pemamanen, performansi, struktur teks dan kearifan lokal.

(7)

ii

THE TRADITION OF PEMAMANEN 'PAMAN' IN GAYO ALAS COMMUNITIES IN ACEH TENGGARA: ANTROPOLINGUISTIC STUDY

Abstract

This research is entitled “Uncle” Pemamanen Tradition in Gayo Alas Community in Aceh Tenggara, Aceh Province: Anthropolinguistic Study.

The objectives of this research are: to describe the tradition of harvesting in Khezeki (circumcision) in the Alas community in Aceh Tenggara and what is known as Adat Siempat pekhkakhe or Siempat Perkara especially in the Khezeki (circumcision) tradition which is the core outlined in this study and discusses matters related to customs related to the tradition of harvesting 'uncle'. Defining pemamamen tradition (ontology), implementing the pemamanen tradition (epistemology) and cultural preservation (axiology).

The concept used in the research is Anthropolinguistics. Descriptive research using qualitative methods with ethnographic case study approach carried out by interviewing sources directly. The research results found (1) performance; in the tebekhas tradition, the commandment of pekhintah, mhagah, sabhungen silime lime, welcoming the master pemamanen, ngekhane and njagai, (2) the text structure is contained in the ngekhane tradition, and (3) local wisdom The tradition of "uncle" pemamanen in the Alas Community in Aceh Tenggara includes 5 local wisdoms, namely;

Mutual cooperation, mutual respect, gratitude, harmony, and politeness.

Keywords: Anthropolinguistics, Pemamanen Tradition, performance, text structure and local wisdom.

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Linguistik pada Program Studi Linguistik ( Kajian Antropolinguistik) Universitas Sumatera Utara.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. Muryanto Amin, S Sos, M Si, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku Dekan dan Sekretaris Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP., selaku Ketua Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., selaku pembimbing I yang telah memotivasi dan memberikan dukungan serta arahan dari awal sampai selesainya penulisan tesis ini.

5. Dr. Dardanila, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah memotivasi dan memberikan dukungan serta arahan dari awal sampai selesainya penulisan tesis ini.

6. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membangun guna kesempurnaan tesis ini.

7. Prof. Pujiati, M.Soc. Sc, Ph.D., selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membangun guna kesempurnaan tesis ini.

8. Para Dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

(9)

iv

9. Staf Administrasi Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara khususnya Nila dan Mila yang telah melengkapi kebutuhan akademik selama memperoleh pendidikan.

10. Orang Tuaku tercinta Ir. Munzir dan Salimah Wijaya Amd yang selalu mensupport baik dalam arahan, dukungan moral, spiritual, dan pengorbanan yang luar biasa sampai terselesaikannya tesis ini.

11. Anakku tercinta dan kebanggaanku Al.Abizar (Be) yang selalu menjadi penyemangat disaat lelah hingga selesainya tesis ini.

12. Kepada Raffles, ST, Hendra Jid S.Pd, dan Oriza saudara- saudaraku yang senantiasa mendoakan dan memberi semangat.

13. Teman- teman dan sahabat S-2 Program Studi Linguistik yang sudah membantu penulis dalam mencari referensi, memberikan semangat dan dukungan.

Medan, Januari 2021

Mycellia Cempaka Mz

(10)

v

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Mycellia Cempaka Mz

Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh, 17 November 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat : Desa Darussalam, Kecamatan Bukit tusam, Kabupaten Aceh Tenggara

Email : mycelliacempaka@gmail.com

II. Pendidikan Formal

1. SD Negeri 6 Tanah Merah 2. SMP Negeri Perisai 3. SMA Negeri 1 Bambel

4. SI Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara III. Riwayat Pekerjaan

1. Guru di SMP Negeri 1 Bambel 2. Guru di PAUD Cempaka Putih

(11)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1,1 Latar Belakang ... 1

1,2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.4.2 Manfaat Praktis ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI .... 15

2.1 Pengantar ... 15

2.2 Kajian Pustaka ... 15

2.3 Konsep ... 20

2.3.1 Tradisi Pemamanen ... 20

2.3.2 Performansi ... 22

2.3.3 Struktur teks ... 23

2.3.4 Kearifan Lokal ... 25

2.4 Landasan Konsep ... 26

2.4.1 Pendekatan Antropolinguistik... 26

2.4.1.1 Ko-teks dalam Konsep Antropolinguistik ... 30

2.4.1.2 Teks dalam Konsep Antropolinguistik... 31

2.4.1.3 Konsep dalam Konsep Antropolinguistik ... 35

2.4.2 Kearifan Lokal ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

3.1 Penelitian Kualitatif ... 46

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.3 Data dan Sumber Data ... 51

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.5 Teknik Analisis Data ... 54

3.6 Keabsahan Data ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Paparan Data ... 59

4.1.1 Performansi Tradisi Pemamanen ‘paman’ ... 59

4.1.1.1 Tradisi Adat Tebekhas ... 59

4.1.1.2 Tradisi Adat Titah Pekhintah ... 63

4.1.1.3 Tradisi Adat Mbagah ... 64

(12)

vii

4.1.1.4 Tradisi Adat Penyambutan Tuan Pemamanen ... 66

4.1.1.5 Sabhungen Slimi- lime (Bahan Dasar Makan Sirih) ... 68

4.1.1.6 Tradisi Adat Budaya Ngekhane ... 69

4.1.1.7 Tradisi Adat Njagai... 70

4.2 Struktur Teks Tradisi Pemamanen ... 72

4.2.1 Tradisi Pemamanen ... 72

4.2.1.1 Analisis Struktur Teks pada Tradisi Pemamanen ... 72

4.3 Kearifan Lokal ... 79

4.3.1 Kearifan Lokal pada Tradisi Pemamanen ‘paman’ ... 79

4.3.1.1 Kearifan Gotong Royong ... 85

4.3.1.2 Kearifan Rasa Syukur ... 86

4.3.1.3 Kearifan Kerukunan ... 86

4.3.1.4 Kearifan Kesopanan ... 86

4.3.1.5 Kearifan Saling Menghargai ... 87

4.4 Pembahasan ... 88

4.4.1 Performansi pada tradisi pemamanen ‘paman’ ... 89

4.4.2 Struktur Teks pada tradisi pemamanen ‘paman’ ... 91

4.4.3 Kearifan Lokal pada tradisi pemamanen ‘paman’ ... 91

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 93

5.1 Simpulan ... 93

5.2 Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(13)

viii

DAFTAR TABEL

NO. Judul Halaman

2.1 Analisis Antropolinguistik ... 29

4.1 Performansi Adat Tebekhas ... 59

4.2 Kegiatan Adat Tebekhas ... 61

4.3 Performansi Adat Titah Pekhintah ... 63

4.4 Kegiatan Titah Pekhintah ... 63

4.5 Performansi Mbagah ... 64

4.6 Kegiatan Mbagah ... 65

4.7 Performansi Penyambutan Tuan Pemamanen ... 66

4.8 Kegiatan Penyambutan Tuan Pemamanen ... 67

4.9 Performansi Sabhungen Silime-lime ... 68

4.10 Kegiatan Sabhungen Silime- lime ... 69

4.11 Performansi Adat dan Budaya Ngekhane ... 70

4.12 Kegiatan Adat dan Budaya Ngekhane ... 70

4.13 Performansi Sunat Rasul dan Njagai ... 70

4.14 Kegiatan Sunat Rasul dan Njagai ... 71

4.15 Struktur Teks Tradisi Pemamanen ... 73

4.16 Kearifan Lokal pada Tradisi Pemamanen ... 79

(14)

ix

DAFTAR GAMBAR

NO. Judul Halaman

1.1 Sketsa Tarombo ... 6

2.1 Proceeding International Conference ... 40

3.1 Analisis Data Miles dan Huberman... 47

3.2 Peta Lokasi Penelitian... 50

4.1 Kegiatan Tebekhas ... 62

4.2 Penyambutan Tuan Pemamanen ... 66

4.3 Pelaksanaan Sunat Rasul dan Njagai ... 70

(15)

x

DAFTAR LAMPIRAN

NO. Judul Halaman

1.Pedoman wawancara dengan narasumber ... 95

2. Narasumber ... 96

3. Data Penelitian ... 97

4. Gambar Hidangan yang di bawa saat Tebekhas ... 107

5. Gambar Kegiatan saat Peseujuk ... 109

6. Gambar Kampil berisikan Sabhungen Silime- lime ... 111

7. Gambar Kasukh ( tilam/alas duduk) dan tempat duduk ... 112

8. Defenisi Istilah ... 114

(16)

1 BAB I 1.1 Latar Belakang

Agama Islam di daerah Aceh khususnya Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh maupun di daerah lainnya di anut dengan budayanya masing masing yang memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan.

Islam merupakan agama yang diturunkan bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk satu golongan atau pun suku bangsa. Al Quran diturunkan untuk menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia. Ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia yang memiliki budaya yang bermacam macam. Islam dianut dengan budaya lokal. Khususnya Aceh tepatnya di Tanah Gayo Alas Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh dikenal dengan adat yang dapat diterima oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Akulturasi Islam dengan budaya lokal di Kabupaten Aceh Tenggara, dapat dilihat bahwa Islam sangat akomodatif dalam menerima budaya lokal, sehingga dapat ditemukan adanya budaya lokal menjadi budaya Islam. Aceh tepatnya di Tanah Gayo Alas Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh merupakan sebuah daerah yang multicultural, multi etnik, agama, ras dan golongan.

Kemajemukan budaya antara satu wilayah dengan wilayah lain di Aceh Tenggara mengantarkan kepada perbedaan. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang hidup di dalam alam fikiran sebagian besar masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup. Kemajemukan budaya atau adat istiadat dalam konteks masyarakat merupakan pengertian yang majemuk pula, pengertian kebudayaan itu sendiri bergantung pada aspek kehidupan masyarakat secara teoritis yang dianggap pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat

(17)

2

(Faisal Ali, 2013;1). Membahas sisi sisi budaya Aceh khususnya Aceh Tenggara, tentu komitmennya tidak terlepas dari nilai wujud sejarah Gayo adalah salah satu etnis yang mendiami dataran tinggi Gayo yang berada di wilayah tengah Provinsi Aceh. Suku yang tergolong dalam ras Proto Melayu (Melayu Tua) ini diperkirakan berasal dari India dan mulai datang ke Tanoh Gayo sekitar 2.000 tahun sebelum MasehiSelain itu, Gayo juga dikenal dengan etnis yang memiliki beragam budaya dan tradisi yang sebagian diantaranya masih digunakan oleh masyarakat yang berada di wilayah tengah provinsi berjuluk Serambi Mekkah itu.

Secara administratif, sebelum pemekaran wilayah banyak terjadi di Indonesia, suku Gayo menjadi penduduk mayoritas di dua kabupaten di wilayah tengah dan tenggara, yaitu Aceh Tengah dan Aceh Tenggara dan ”khang Alas” atau kala Alas yang telah diabadikan dalam buku yang dikarang oleh seorang dari bangsa Belanda yang bernama Radermacher (1781:8) merupakan penduduk lembah Alas sudah bermukim di tanoh Alas sejak lama sebelum pemerintahan Kolonial Belanda masuk di Indonesia. Selanjutnya sejarah catatan masuknya Islam di tanah Alas dapat dilihat pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) jelas bahwa penduduk Alas sudah ada dengan menganut kepercayaan animisme serta masih bersifat nomaden.

Menurut Iwabuchi (1994:10) Sejarah raja yang pertama sekali bermukim di Tanah Alas yang terdapat di desa Batu Mbulan adalah seorang Raja yang bernama Raja Lambing bermarga Solin di Papak (Dairi), keturunan dari Raja Lontung atau dikenal dengan cucu dari Guru Tatea Bulan dari Samosir, Tanah Batak. Tatea Bulan adalah saudara kandung dari Raja Sumba atau Sumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah orang tuanya Raja Bor Bor dan Raja Lontung.

Raja Lontung mempunyai sembilan orang anak yang dikenal dengan Lontung: Sia si Sada Inang (artinya Lontung: beranak sembilan orang dengan satu ibu, yaitu tujuh laki-laki dan dua perempuan. Salah satu dari dua anak perempuannya menikah dengan marga Sihombing dan yang satunya lagi menikah dengan marga Simamora, di kedua marga ini dalam adat Alas adalah Pekhanak bekhunen, atau Boru dalam bahasa Batak Toba, atau Anak Beru dalam istilah adat Karo.

(18)

3

Kemudian anak Raja Lontung yang laki-laki jumlahnya tujuh orang tersebut, berturut-turut dari yang tertua hingga yang paling muda, yaitu: Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar.

Siregar dikenal dengan siampuan atau payampulan, sesampunen atau yang bungsu (bahasa Alas). Pandiangan adalah orang tuanya dari Datu Ronggur di Samosir lalu pindah ke Pakpak, Dairi. Datu Ronggur ini mempunyai seorang anak yang lahir di Pakpak Dairi yang bernama Datu Sarang Banua yang punya keturunan Raja Butuha dan Raja Lambing. Raja Lambing bermarga Solin. Raja Lambing migrasi ke Tanah Karo dan kemudian pada akhir tahun 1200 masehi lagi bermigrasi ke Tanah Alas, sekarang Kabupaten Aceh Tenggara (Akbar, 2006:4).

Menurut Kreemer (1922: 64) kata „Alas‟ berasal pada nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing) yang merupakan keturunan dari pada Raja Pandiangan di Tanah Batak, di mana di desa paling tua di Tanah Alas yakni Desa atau Kute Batoe Mboelan kemudian nama desa ini berubah ejaannya menjadi Batu Mbulan (Kepres No. 57 Tahun 1972). Selanjutnya Raja Lambing yang merupakan keturunan dari Raja Pandiangan di Tanah Batak menurut Iwabuchi (1994:10). Raja Lambing juga merupakan moyang dari merga Selian di Tanah Alas dan Sebayang di Tanah Karo. Raja Lambing sendiri merupakan anak kedua abangnya tertua adalah Raja Butuha di Dairi dan saudara sepupu mereka dalam Tarombo adalah Raja Enggang yang hijrah ke Tanah Alas dan ke Kluet (Aceh Selatan), selanjutnya keturunannya serta pengikutnya ialah merga Pinim dan Pinem. Di dalam itu Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo pada wilayah dari Tigabinanga, Perbesi, Kuala, Kuta Gerat, dan sampai Gugung Kabupaten Karo disana keturunannya serta pengikutnya adalah merga Sebayang.

Pada abad ke 12 Raja Lambing diperkirakan hijrah dari Tanah Karo menuju ke Tanah Alas di Tanah Alas Raja Lambing keturunannya serta pengikutnya adalah merga Selian yang bermukim di Desa Batu Mbulan. Raja Lambing Selian ini di Tanah Alas juga bermukim di sekitar hutan blok Muara Lawe Sikap, desa Batu Mbulan (Akbar dan Sri Kartini, 2006:4; Iwabuchi, 1994:10, Sebayang, 1975:73). Raja Lambing memiliki empat orang anak dan satu anak perempuan yang sangat cantik dengan nama panggilannya Tjang (kawin dengan Datuk Raja

(19)

4

Dewa) dan tiga anaknya laki-laki yaitu Raja Lelo (Raja Lele) yang bermukim di Ngkeran. Raja Adeh merupakan orang Kertan moyangnya serta pengikutnya, yang ketiga adalah Raja Kaye yang keturunannya bermukim di Batu Mbulan. Raja Lambing telah memilki keturunan ke 27 yang bermukim di berbagai wilayah, baik di tanah Alas, ibu kota Propinsi Aceh, Medan (Tanjung Merawa), Alor Star Kedah di Malaysia, maupun tempat lainnya diwilayah Tanah Alas hingga tahun 2000 (Effendy, 1960: 36; sebayang 1986 :17).

Setelah beberapa tahun Raja Lambing memberikan kerajaannya kepada menantunya Raja Dewa, suami dari Tjang (Cang) Raja Lambing pergi mencari saudara sepupu nya Raja Enggang (nenek monyang marga Pinem atau Pinim) ke Keluwat (Kluet). Beliau menetap di sana sampai wafat dan kuburannya pun di Kluet, Aceh Selatan. Setelah sekian lama, keturunannya dari Tanah Alas datang ke Kluet untuk menjiarahi kuburan dari pada Raja Lambing, atas kesepakatan keturunannya di Kluet, maka kuburannya digali dan bagian kepala kuburan itu dibawa dan dikuburkan lagi di Batu mbulan Tanah Alas yang berada di wilayah Kecamatan Babussalam, Kutacane (Sebayang, 1975:74; Iwabuchi, 1994:14;

Akbar dan Sri Kartini, 2006:4). Setelah berusia“senja” Datuk Raja Dewa yang berasal dari keluarga besar Kerajaan Pagaruyung menyerahkan tampuk kerajaan yang diterimanya dari mertuanya Raja Lambing kepada putranya bernama Alas yang bermarga Selian (Iwabuchi, 1994:13). Bukti situs sejarah kerajaan Alas ini jelas adanya, di dalam wilayah hutan blok Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan, saat ini dalam Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara (Akbar dan Sri Kartini, 2006:5). Kerajaan ini merupakan satu-satunya kerajaan yang terkenal maka dari itu seluruh wilayah dikuasai sepenuhnya oleh Raja bernama Alas dengan marga Selian, sehingga pendatang yang hendak menuju ke wilayah ini menyebutnya dengan: “ke Tanoh Alas”, oleh sebab itu penduduknya di sebut juga Suku Bangsa Alas atau orang Alas dan ada pula yang menyebutnya dengan khang Alas atau Kalak Alas (Akbar dan Sri Kartini, 2006:4; Iwabuchi, 1994:12).

Datuk Raja Dewa merupakan seorang Ulama yang masih memegang budaya maternalistik dari Minangkabau, sehingga putranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan marga ibunya, Selian, yaitu marga kakek

(20)

5

dari pihak ibunya, keturunan Raja Lambing Selian (Iwabuchi, 1994:10; Akbar dan Sri Kartini 2006:4, Effendy, 1969:27). Sehingga nama lengkapnya adalah Raja Alas Selian, yang dikenal hanya panggilanya Alas (Wawancara dengan H. M.

Yacob Pagan, H. Ismail Selian, T. M. Aman, Undin Selian, dan Mat Gule, 1999).

Untuk lebih memudahkan memahami asal muasal dari Raja Lambing yang mana nenek moyang dari suku Alas sendiri, pada tahun 2000 dimuat sebuah Tarombo yang dikutip dari H. Muhammad Ya‟cob Pagan dkk. Bapak Alm. H Yacub adalah seorang Kepala Mukim atau salah satu Tokoh adat Suku Bangsa Alas serta Tokoh Agama yang sering mencurahkan berbagai karyanya dalam bentuk tulisan dan semasa hidupnya pernah menjadi Pengurus LAKA beliau sangat aktif membantu penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Thalib Akbar, M.Sc. (Alumni KSU, Manhattan USA) yang merupakan salah satu narasumber yang membantu penulis dalam penelitian tradisi pemamanen ini dan Dr. Akifumi Iwabuchi. MA dari USA.

(21)

6

Tarombo Selian - Pandiangan, Asal Muasal Raja Lambing.(dikutip dari: H.M.

Ya‟cob Pagan dkk, Tahun 2000, dimodifikasi).

GURU TATEA BULAN RAJA SUMBA

Raja Uti SARIBU RAJA Limbong Sagala Raja Silau Raja

RAJA LONTUNG Raja Borbor

Sihombing (boru/Pekhanakbekhunen) Sihombing (boru/Pekhanakbekhunen)

Sinaga Situmorang PANDIANGAN Nainggolan Simatupang Aritonang Siregar DATU RONGGUR

Guru Solandason

DATU SARANG BANUA

(lahir di Dairi/Sidikalang) Raja Parhutala

SOLIN

Raja Humirtap Raja Sonang RAJA LAMBING

Pande Suhut Nihuta Samosir Pakpahan Gultom Sitinjak Sebayang SELIAN Karo/KutacaneKutacane/Kluet

Harianja

Gambar 1. 1 Sketsa Tarombo

(22)

7

Sebelum masuknya Agama Islam ke Tanah Alas upacara dalam kehidupan adat dan adat istiadat Alas ada tiga, yaitu: Langkah (adat kelahiran/turun mandi), Pertemuan (adat Kawin), dan Maut (adat meninggal dunia). Adat Tiga Perkara ini mirip dengan adat istiadat Melayu di Malaysia dan adat suku Sipirok dari Tapanuli Selatan yang berdomisili di Kampung Melayu (Kecamatan Babussalam, Aceh Tenggara) dan adat suku Minang di Kampung Tarandam di kota Kutacane.

Tidak ada adat antat taruh (Sunat Rasul naik kuda diarak secara massal) (Iwabuchi, 1994:10; Akbar dan Sri Kartini 2006:4, Effendy, 1969:27).

Tradisi di atas bukanlah adat bagi mereka hingga saat ini. Ada hal yang sangat menarik perhatian kita dari kesepakatan antara putra Raja Lambing (Raja Adéh, Raja Léle dan Raja Kaye) sebagai silih (iparnya Raja Dewa) dengan keponakan kandung mereka, yaitu Putra Raja Dewa sendiri bernama Raja Alas pada tahun 1348 (Iwabuchi, 1994; Effendy, 1969:7) bahwa “syi‟ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh Suku Bangsa Alas di Kertan, Batumbulan dan Ngkeran, tetapi adat istiadat Alas yang dipunyai oleh Raja Lambing Selian yang dibawa dari Tanah Karo tetap dipakai bersama”. Maka dengan persetujuan Raja Alas, yaitu menerima usulan dari paman-pamanya.

Diantaranya Bulang Bulu (sorban) dan Bogok (kalung keemasan) merupakan pakaian dan asesoris dalam acara adat Alas sampai sekarang. Sehingga dari itu Suku Bangsa Alas berprinsip: “nggeluh nikandung adat, mate nikandung hukum”, artinya hidup dikandung adat, mati dikandung hukum Islam, maka damailah kehidupan adat dan adat istiadat yang tetap berakar pada Syari‟at Islam hingga sekarang (Akbar dan Sri Kartini, 2006: 5-6). Oleh karena itu jelas asimilasi antara kehidupan adat dan adat istiadat dengan ajaran Islam sesuai antropolgi budaya dan adat istiadat Suku Bangsa Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Sehingga seluruh suku bangsa Alas adalah resmi meninggalkan kepercayaan perbegu menjadi pemeluk agama Islam hingga sekarang (Sebayang, 1975:73; Iwabuchi, 1994; Akbar dan Sri Kartini, 2006:5).

Setelah Suku Bangsa Alas (Raja Adéh, Raja Léle dan Raja Kaye) keturunan serta pengikutnya memeluk Agama Islam mulai tahun 1348 (Effendy, 1969:7), maka seluruh suku bangsa Alas yang laki-laki wajib berkhitan atau Sunat Rasul

(23)

8

dan perempuan nipejelisken (khitan putri). Sehingga ada anggapan bahwa siapa saja orang Alas yang tidak sunat Rasul berarti bukan suku Bangsa Alas. Sunat Rasul pada awal orang Alas baru masuk Islam pada tahun 1348 di duga banyak yang mengalami infeksi berat oleh berbagai bakteri patogen yang menyebabkan akhirnya mereka tidak sedikit yang meninggal dunia, terutama yang bermarga Pale Dese dimana dapat terlihat situs kuburan mereka di daerah pengunungan sebelah barat Lembah Alas, mulai dari hutan blok Muara Lawe Sikap hingga ke Terutung Kute dan Kuta Ujung, sekarang dalam wilayah Kecamatan Darul Hasanah. Ketika sunat rasul mulai dilaksanakan di Tanah Alas belum dikenal yang namanya peralatan medis, sterilisasi, obat bius, dan antiseptik. Bahkan antibiotika belum dikenal sama sekali di Dunia, apalagi oleh Suku Bangsa Alas.

Antibiotika baru ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming (Fitriana, 2013:1).

“Pisau” berkhitan yang digunakan oleh mudhim (ahli khitan di Tanah Alas) adalah selimakh (sembilu bambu), dan “antiseptiknya” adalah abu dapur, yang diambil dari ujung arang kayu bakar yang sudah menjadi abu. Menurut beberapa informan yang ditanya mendalam bahwa dahulu orang tua di tanah Alas memberikan telur rebus bebek atau telur ayam yang tidak menetas. Ternyata dalam telur yang tidak menetas ini terdapat banyak immunoglobulin-G-nya yang berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan parogen tertentu, misalnya virus dan bakteri patogen tertentu. Kerap sekali berkhitan menyebabkan pada kematian akibat peristiwa mengeluarkan darah berlebihan (blooding), hal ini dianggap sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup generasi muda yang harus berkhitan. Besar dugaan sebagian masyarakat kematian berkhitan akibat gangguan “roh jahat”, maka untuk mengusirnya dibuatlah acara ritual khusus berkhitan religius megis untuk setiap Pesenatken atau upacara adat Alas untuk berkhitan. Dengan demikian bagi pihak yang dikhitan banyak yang ketakutan dimana mengikuti Sunat Rasul sering berakhir dengan maut. Berkhitan waktu itu merupakan tradisi baru di kalangan Suku Bangsa Alas. Untuk memberi pasu-pasu (meningkatkan spirit berkhitan), maka dibuatlah acara adat “pemamanen” yang cukup meriah yang digadang-gadangkan, yaitu yang berkhitan menjadi raja sehari, berpakaian adat, dan diarak naik kuda dari rumah paman (wali ibunya

(24)

9

disebut dengan istilah (pemamanan) dimana paman dan kerabat menyumbangkan uang tunai sebagai pelawat (uang bawaan), atau dikenal dengan Rial Mekhancap kata orang Alas bagian selatan Tanah Alas atau Tembage kata orang Alas bagian Utara, lengkap dengan makanan adat dan minuman air tebu manis atau minuman lainnya yang dibawa oleh pihak paman yang berkhitan. Selanjutnya informasi yang ditemukan dari beberapa narasumber dalam penelitian ini bahwa acara adat pemamanen merupakan “penghormatan terakhir” kepada yang berkhitan, pada awal-awal berhitan dahulunya sering berakhir dengan kematian.

Sehingga Acara adat Sunat Rasul ini dimunajatkan kepada Allah agar yang disunat rasulkan selamat dan sehat, luput dari maut, maka disebut dengan istilah Khezeki (Rejeki), artinya panjang umur dan murah rezeki, dan adat ini hingga sekarang menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat adat Alas secara genetik. Maka sebab itu tradisi Sunat Rasul menjadi salah satu adat terpenting orang Alas dalam hubungannya dengan agama Islam untuk mengikuti Sunah Rasullullah Muhammad SAW yang sangat diagungkan oleh masyarakat Alas sejak tahun 1348 dan hingga sekarang adat Sunat Rasul ini merupakan komponen kedua terpenting dalam kehidupan adat dan adat istiadat Langkah, Khezeki, Pertemuan, Maut hingga sekarang (Wawancara mendalam dengan: H. M. Yacob Pagan; H. Ismail Selian; T.M. Aman, Undin Selian, H. M. Nurdin Beruh, 1999).

Sejak itu, adat Tiga Perkara (langkah, pertemuan dan maut) berubah menjadi adat Siempat Perkhkare (Siempat Perkara), yaitu Langkah, Khezeki, Pekhtemunen, maut dalam kehidupan adat dan adat istiadat Suku Bangsa Alas hingga sekarang.

Maka dikenal susunan kehidupan adat dan adat istiadat Alas dengan sebutan Langkah, Khezeki, Pekhtemunen, Maut kodratnya dari Tuhan, melaksanakan adatnya manusia.

Adat Langkah (adat lahikh hingga mbabhe bhe lawe atau dikenal dengan adat turun mandi) merupakan acara Adat terhadap seorang bayi baru lahir hingga Turun Mandi; Rezeki atau pesenatken, yaitu: Acara Adat Sunat Rasul yang berakar dari Islam, Pekhtemunen merupakan acara adat perkawinan (pertemuan, yaitu: mulai adat pergaulan muda-mudi, kawin, dan adat berusaha untuk membina meningkatkan taraf hidup keluarga dan masyarakat untuk menunjang perhelatan

(25)

10

adat istiadat dan Maut merupakan Adat kalak Nadingken atau adat kepatenen (meninggal dunia, termasuk pembagian harta waris dan adat menjalankan wasiat sipewaris dan sebagainya) atau pelaksanaan acara adat fardhu kifayah bagi yang Suku Bangsa Alas yang meninggal dunia.

Dalam adat Siempat pekhkakhe atau Siempat Perkara di khususkan pada tradisi Khezeki (Sunat Rasul) inilah inti yang akan diuraikan dalam penelitian ini.

Selanjutnya akan dibahas hal hal yang berhubungan dan berkaitan dengan adat istiadat yang masih hidup dan berkembang pada masyarakat Alas di Aceh Tenggara. Dalam ilmu budaya, disalah satu pihak manusia ialah pencipta kebudayaan, sedangkan di pihak lain kebudayaan ialah “menciptakan”

sekelompok manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan itu, terjalinnya hubungan timbal balik yang begitu erat serta kepaduan antara manusia dan kebudayaan.

Di kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang begitu unik dan terhormat.

Selain unsur budaya, bahasa digunakan sebagai sarana terpenting di dalam pewarisan, perkembangan serta penyebarluasan budaya. Kajian yang berhubungan dengan bahasa begitu luas, karena bahasa digunakan dalam semua kegiatan manusia. Selanjutnya linguistik menunjukkan bahwa adanya pergerakan serta perkembangan menuju kajian yang sifatnya multidisiplin, antropologi linguistik salah satunya. Kajian mengenai bahasa dalam budaya khususnya masyarakat Alas di Aceh Tenggara, hidup, tumbuh serta berkembang di dalam sebuah kebudayaan.

Budaya yang artinya akal budi manusia serta bukti perjuangan manusia terhadap dua komponen yang berpengaruh kuat antara alam dan zaman. Terbuktinya kejayaan hidup manusia dalam menanggulangi berbagai masalah serta kesukaran dalam penghidupannya untuk tercapainya kebahagian serta keselamatan di awal lahirnya bersifat damai dan aman.

Suku Alas ialah suku asli yang mendiami wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, Indonesia yang disebut dengan istilah „ukhang Alas‟

atau „kalak Alas‟ serta tempat tinggalnya disebut „Tanoh Alas‟. (Iwabuchi, 1994:10; Akbar dan Sri Kartini 2006:4, Effendy, 1969:27). Selanjutnya kata pemamanen sendiri dalam istilah erat hubungannya dengan kata „paman‟ yang

(26)

11

artinya memuliakan wali dan jika kita artikan secara harfiah „pemamanen‟ ialah memberi makan wali, menghargai wali hal tersebut asal dari tradisi pemamanen, pada tiga ratus tahun lalu adat dan budaya sudah ada namun tidak berbentuk tulisan melainkan dari mulut kemulut yang mana adat dan budaya ini bukan dibuat buat melainkan warisan dari nenek moyang dan meneruskan apa adanya dan dilestarikan agar tidak menghilang terkikis atau beradaptasi dengan budaya lain.

Zaman dahulu yang disebut dengan si metue atau zaman sekarang disebut tokoh adat yang ditunjuk disetiap desa ada beberapa orang yang mengetahui dibidang adat istiadat dan budaya. Baik itu dalam acara pesta, hari hari besar, penerimaan tamu, acara keagamaan. Sebuah tanggung jawab yang diberikan kepada „paman‟ dalam melaksanakan segala keperluan dalam acara yang akan direncanakan baik itu dalam menyiapkan dana acara, ketersediaan kuda, bahkan hingga mewujudkan keinginan dari adik atau kakak perempuannya.

Dahulu tradisi berupa prosesi khitanan yang dilakukan kepada anak laki laki. Marwah setiap paman dipertaruhkan untuk kesuksesan acara; Turun mandi, Khitanan, Pernikahan dan Kematian. Dimana acara pemamanen khususnya pesenatken (khitan) dan Pekhtemunen (pernikahan) sang paman memberikan atau menyewakan tunggangan kuda, pakaian adat (mesikhat) kepada anggota keluarga keponakan yang dipergunakan pada saat acara puncak yang mana tradisi ini bagian dari tradisi pemamanen. Selanjutnya pada acara pemamanen dalam acara turun mandi dan kematian disini sang paman tidak menyiapkan kuda karena acaranya bersifat berkumpul makan bersama dan berdoa bersama hingga acara berakhir. Dengan adanya budaya masyarakat Alas di Aceh Tenggara menganggap bahwa pemamanen sebagai tanda untuk masyarakat Alas untuk berdoa/

bershalawat Nabi, berkumpul, kompak dan melakukan semua adat istiadat dan mereka merasakan bahwa mereka saling gotong royong atau saling bahu membahu. Pertanyaan serta masalah kritis dapat diajukan pula sebagai pusat kajian lebih dalam yaitu, tradisi pemamanen „paman‟ sebagai budaya, lalu apa saja yang tetap dibudayakan, bagaimana kajian bentuk, kebernialaian serta keberlanjutannya dalam tradisi pemamanen „paman‟? Pada kegiatan tradisi

(27)

12

Pemamanen „paman‟ hadir berikut rombongan handai tolan, kerabat, saudara dalam jumlah yang banyak dan semua ikut memberikan sumbangan pelawat (uang) dan benda, untuk bekal hidup adik/ kakak pekhanakbekhunen (anak malu) yang menyelenggarakan Khezeki (Khitan) ini yang merupakan dampak sosial ekonomi dari kegiatan Pemamanen „paman‟ (wawancara Bapak Arsyad).

Sibarani (2012: 112) menyatakan kearifan lokal ialah kebijaksanaan yang pengetahuan aslinya suatu masyarakat berawal dari nilai luhur tradisi budaya akan mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Apabila kearifan lokal dipusatkan pada nilai budaya maka dapat diartikan dengan cara yang berbeda yaitu kearifan lokal ialah nilai budaya lokal serta dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dengan arif dan bijaksana.

Tradisi Pemamanen „paman‟ di Aceh Tenggara sebagai Pelestarian Khazanah Budaya, diharapkan menjadi salah satu wujud kontribusi saya kepada kota tempat saya bermukim sekarang. Saya berharap bahwa hasil penelitian yang saya lakukan dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota untuk menghimbau masyarakat selalu melestarikan budaya warisan dari nenek moyang dan meneruskan apa adanya dan dilestarikan agar tidak menghilang terkikis atau beradaptasi dengan budaya lain. Menanamkan perilaku serta budaya yang baik merupakan salah satu kunci untuk membentuk kepribadian sebagai penerus. Oleh karena itu saya mengambil judul Tradisi pemamanen „paman‟ saya berharap bahwa masyarakat di Aceh Tenggara khususnya sebagai penerus masih mengenal budaya daerahnya. Saya berharap sebagai penerus masih bisa menikmati budayanya, dengan terus melestarikan tradisi ini agar yang meneruskan budaya ini memiliki kepribadian yang baik pula, dengan tidak meninggalkan budaya-budaya lokal yang baik dari daerahnya.

Penelitian ini perlu dilaksanakan untuk menyamakan persepsi diantara beberapa narasumber yang berbeda informasinya dalam melaksanakan tradisi pemamanen karena pada kute (desa) memiliki pemahaman yang berbeda, contohnya dalam pemberitahuan hajat (pesta) sebagian besar masyarakat telah mengurang- ngurangi adat yang ada, misalnya dalam Mbhagah (undangan) pemamanen ada yang tidak mengundang pada adat Tebekhas (menyampaikan

(28)

13

hajat) lalu mendapatkan undangan pemamanen, ini merupakan hal yang salah dalam tradisi ini. Adapun dampak positif dari penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi pemamanen di Tanah Alas menjadi budaya yang utuh dan standar dan dampak negatifnya apabila penelitian ini tidak dilaksakan akan melahirkan pemahaman yang berbeda-beda digenerasi yang akan datang.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, kajian ini dipusatkan untuk menganalisis tradisi pemamanen ‟paman‟ di masyarakat Alas Aceh Tenggara. Dalam menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan konsep antropolinguistik.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana tradisi adat pemamanen‟paman‟ pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

1. Bagaimanakah performansi tradisi pemamanen „paman‟ pada tradisi Khezeki (khitan) pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

2. Bagaimanakah struktur teks yang terdapat di tradisi pemamanen „paman‟

pada tradisi Khezeki (khitan) pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

3. Bagaimanakah kearifan lokal tradisi pemamanen‟ paman‟ pada tradisi Khezeki (khitan) pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan performansi tradisi pemamanen „paman‟ pada tradisi Khezeki (khitan) pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

2. Mendeskripsikan struktur teks yang terdapat di tradisi pemamanen „paman‟

pada tradisi Khezeki (khitan) pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

3. Menemukan kearifan lokal pemamanen‟ paman‟ pada tradisi Khezeki (khitan) pada masyarakat Gayo Alas di Aceh Tenggara.

1.4 Manfaat Penelitian

Pada penelitian diatas dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis.

(29)

14

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini memberikan kontribusi terhadap:

1. Memperbanyak khasanah kajian didalam bahasa yang terdapat dalam tradisi pemamanen „paman‟ baik makna serta kearifan lokalnya.

2. Bermanfaat sebagai acuan dalam kajian tradisi pemamanen „paman‟

khususnya masyarakat Alas, agar penelitian ini sebagai masukan dimana dapat memprediksi sejauh apa tradisi pemamanen „paman‟ di masyarakat Gayo Alas di Aceh tenggara.

3. Sebagai awal atau sumber acuan bagi linguis serta peneliti selanjutnya yang memusatkan di bidang budaya dan bahasa, terutama kajian tradisi pemamanen „paman‟ didalam kajian antropolinguistik guna sebagai pemanfaatan bahasa serta pengembangan budaya daerah untuk salah satu sumber kajian baik serta kepentingan keilmuan bahkan pelestariannya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini memberikan manfaat

1. Mengetahui tradisi budaya pemamanen „paman‟ di masyarakat Gayo Alas Aceh Tenggara.

2. Dalam segi bahasa dan budaya Alas merupakan salah satu kekayaan linguistik Indonesia khususnya serta kebudayaan Indonesia umumnya, penelitian ini salah satu dokumentasi bahasa serta budaya Gayo Alas yang bisa gunakan lebih lanjut untuk membangun kekayaan budaya.

3. Sebagai seremoni lanjutan untuk melestarikan adat istiadat, budaya yang mana mulai dihilangkan dan ditinggalkan komunitas pemakainya, dimana dapat terjaga nilai adat serta budaya seperti kearifan lokal guna mempersatukan masyarakat pemakainya.

4. Ikut mengambil bahagian sebagai peserta expo (pameran) Aceh Tenggara setiap tahunnya.

5. 11 Etnis lainnya ikut menyelenggarakan Tradisi Pemamanen „paman‟ di Aceh Tenggara.

(30)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengantar

Penelitian ini menggunakan pendekatan antropolinguistik dimana ada keterkaitan antara bahasa dan budaya (Sibarani 1993). Selanjutnya Duranti dan Folley (2001) mengemukakan bahwa mencermati apa apa yang orang lakukan dengan bahasa beserta ujaran dalam mengkaji kearifan lokal berdasarkan hubungan struktur teks, ko-tek dan konteks dalam suatu peristiwa dan performansi tradisi lokal. Maka dapat ditegaskan pendekatannya melalui performansi, indeksikalitas dan partisipasi. Untuk menjawab ketiga rumusan masalah diatas penelitian tersebut menggunakan pendekatan antropolinguistik serta mendeskripsikan bahasa dan kebudayaan didalam sebuah komunitas.

Pada tradisi pemamanen di masyarakat Gayo Alas Kabupaten Aceh Tenggara terdapat beberapa permasalahan diantaranya; 1. Pemahaman yang berbeda antar tokoh adat dan tokoh Agama, 2. Rangkaian acara tidak utuh, dan 3.

Waktu pelaksanaan yang berbeda–beda.

Untuk menjawab permasalahan di atas penelitian ini mencari narasumber sebanyak- banyaknya yang memiliki persepsi yang sama untuk dijadikan satu ketetapan yang dianggap lebih sempurna.

2.2 Kajian Pustaka

Untuk mengemukakan fenomena yang diteliti, penelitian ini mengangkat beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai bahan kajian pustaka. Kajian pustaka ditulis berdasarkan sistem tematis yang terkait dengan rumusan masalah penelitian tentang performansi, serta nilai kearifan lokal yang menggunakan kajian antropolinguistik dan yang membedakannya ialah daerah dan masalah yang diteliti. Rumusan masalah pertama yaitu performansi telah diteliti oleh Sibarani (2018) dengan judul The Role of Local Wisdom in Developing Friendly City bertujuan untuk menemukan kearifan lokal dalam membangun integritas antara manusia dan huniannya serta mendeskripsikan konsep dari pengembangan kota

(31)

16

yang ramah berdasarkan kearifan lokal. Parameter yang digunakan adalah keterhubungan, kebernilaian, dan kebertahanan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran kearifan lokal dalam mengembangkan kota yang ramah mengindikasikan bahwa karakter dari penghuni yang ramah budaya berdampak terhadap kota yang berbudaya pula. Kota yang ramah berarti ramah yang dikarenakan performansi budaya dan tradisional penghuninya.

Performansinya merujuk kepada definisi dan konsep yang dikemukakan oleh Bauman, Palmer dan Jankowiak serta Hymes dalam Duranti (1997) yang menyatakan bahwa penelitian-penelitian mengenai tradisi lisan dengan seluruh performansi aktivitas tradisinya merupakan hal yang diciptakan, diwujudkan, mengalami inovasi dan diwariskan. Penelitian ini berkontribusi pada penelitian tradisi lisan yang dapat diteliti melalui konsep performansi yang menghadirkan kreatifitas (ciptaan), pertunjukan (tampilan) yang diwujudkan dan selanjutnya mengalami inovasi serta diwariskan.

Penelitian mengenai performansi juga dilakukan oleh Bidu (2013) dengan judul penelitian Analysis of Creativity and Creative Context in Oral Poetry bertujuan untuk menganalisis kreatifitas dalam puisi lisan yang difokuskan kepada tiga hal utama yaitu: cara penciptaan dan atau produksi puisi lisan, tujuan penyampaiannya dan diagnosa metode yang digunakan. Hal ini dimulai dengan memperkenalkan penelitian wiracita (epic poetry) secara umum dan memroses suatu analisis deskriptif untuk menunjukkan sebuah sub-genre dari puisi lisan Oromoo. Artikel ini menganalisis kreatifitas dalam puisi lisan dari konteks alami, performansinya, dan teks-teksnya untuk merealisasikan kesatuan dari tujuan, cara dan konten (isi) dengan kepercayaan penciptaan puisi berdasarkan tradisi dalam reaksi untuk menyegerakan realisasinya. Analisisnya adalah sebuah presentasi deskriptif yang menunjukkan karakteristik-karakteristik genre dari budaya Oromoo. Secara personal, tempat kejadian, cara dan sajak yang dipilih untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kekurangan dari pendekatan- pendekatan sebelumnya Semua 34 konteks, performansi dan sajak mengungkapkan proses kognitif puisi dalam reaksinya terhadap realita. Kasus- kasus mendemonstrasikan kreatifitas-kreatifitas dan performansi-performansi,

(32)

17

klasifikasi genre-genre, dan akses atau cara untuk masuk kedalam proses-proses.

Performansi kreatif menampilkan emosi-emosi, hasrat-hasrat, motif-motif, karangan dan nyanyian. Hal ini sesuai untuk sosial, budaya dan konteks sejarah untuk merealisasikan tujuan-tujuan. Panggung, puisi, pendengar/penonton dan interaksi-interaksi mereka, serta intensitas emosi yang mengungkapkan tujuan.Teks-teks memiliki pola-pola bahasa dan ciri-ciri literasi.

Relica Asija (2015) jurnal dengan judul Tintin Marakkap Dalam Pernikahan Adat Batak Toba ( Kajian Antropolinguistik) menganalisis umpasa (pantun) pada bahasa Batak Toba dengan kajian Antropolinguistik tujuannya guna melestarikan umpasa (pantun) yang jarang digunakan dalam pesta adat perkawinan Batak Toba. Dengan metode wawancara atau cakap yaitu menggunakan teknik dasar berupa teknik pancing. Pemerolehan dari penelitian ini ialah makna umpasa (pantun) bahasa Batak Toba; makna nasehat, makna penyamaan serta harapan. Adapun nilai orientasi budaya dari penelitian umpasa (pantun) ialah nilai budaya kasih sayang orang tua ke anak, ketekunan, kerja keras, kebersamaan, keterbukaan, beradaptasi, persaudaraan dan kerajinan.

Penelitian ini berkontribusi pada penelitian tradisi lisan yang dapat diteliti melalui konsep performansi yang menghadirkan kreatifitas (ciptaan), pertunjukan (tampilan) yang diwujudkan dan selanjutnya mengalami inovasi serta diwariskan, bertujuan untuk menganalisis kreatifitas dalam pantun yang difokuskan kepada tiga hal utama yaitu: cara penciptaan dan/atau produksi pantun, tujuan penyampaiannya dan diagnosa metode yang digunakan.

Risman Arbi Sitompul (2013) dalam tesisnya yang berjudul Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Antropolinguistik. Dalam penelitiannya membahas tiga aspek utama dalam kajian antropolinguistik performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi (participation). Dalam mengkaji struktur teks, koteks dan konteks yang terdapat (budaya, ideology, social, dan situasi) melatar belakangi pada unsur budaya dan aspek kehidupan manusia yang berbeda. Mengacu pada teori Duranti (1977:14), mengatakan bahwa meskipun pendekatan antropolinguistik pada kajian tradisi lisan „terkesan‟

(33)

18

tumpang tindih dengan kajian linguistic budaya (cultural linguistic) serta etnolinguistik (ethnolinguistic) lihat Folley, (1997: 16) dengan jabaran penekanan tertentu pada kajian antropolinguistik, yaitu dalam menggali makna, fungsi nilai, norma, dan kearifan lokal suatu tradisi lisan dimana ketiga konsep tersebut dapat di bedakan.

Faisal Ali (2013) dalam bukunya yang berjudul Identitas Aceh Dalam Perspektif Syariat Islam. Dalam buku ini menguraikan tentang seputar adat istiadat yang telah menjadikan masyarakat Aceh “tempo doeloe”. Dimana Penelitian ini berkontribusi pada metodologi penelitian yang menggunakan penelitian etnografi dan mengumpulkan data dengan depth-interview, observasi dan rekaman tape recorder serta tata cara penulisan. Selanjutnya masyarakat Aceh selalu berpegang teguh pada adat istiadat yang mengatur segala kegiatan, tingkah laku yang bersendikan hokum Syariat Islam, serta menjawab beberapa persoalan yang terjadi seputar pelaksanaan adat istiadat dan hubungannya dengan syariat Islam. Di era globalisasi ini, telah terjadi akulturasi budaya, antara budaya tradisional dan modern atau antara budaya barat dan budaya timur, sehingga sehingga tanpa kita sadari adat istiadat kita yang luhur terkikis sedikit demi sedikit berganti dengan budaya modern yang lebih “gaul”. Tidak mengherankan jika budaya “punk” ada di sekitar kita sebagai bukti telah terjadi akulturasi budaya. Tentu saja membuat kita jengah dan berupaya untuk menggali kembali informasi tentang budaya dan adat istiadat Aceh yang berlandaskan syariat Islam yang menjadi identitas masyarakat Aceh sejak “tempo doeloe”. Adat istiadat dan nilai nilai ke Islaman di Provinsi Aceh laksana zat dengan sifat yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaannya, sehingga berbagai penyelenggaraan ritual adat istiadat di Aceh sarat akan nilai nilai ke Islaman.

Aisyah Edi Hasan (2017) Analisis Tata Cara Akikah pada Masyarakat Arab di Kota Medan (Kajian Antropolinguistik) mengetahui tata cara akikah pada masyarakat Arab di kota Medan dan untuk mengetahui fungsi bahasa pada tata cara akikah masyarakat Arab dikota Medan. Penelitian ini menggunakan teori Sibarani dan buku pendukung lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian didapati

(34)

19

pertama kebanyakan masyarakat Arab di kota Medan melaksanakan akikah namun tidak dengan pesta besar-besaran. Tata cara akikah terbagi tiga, yaitu memotong kambing di tempat pemotongan kambing, mencukur rambut keseluruhan atau tidak mencukur sama sekali, dan memberi nama yg berbahasa Arab atau modren yg di belakangnya terdapat nama ayah. Kedua adalah fungsi bahasa pada doa dalam tata cara akikah adalah (1) fungsi emosi, dengan pembacaan sholawat Nabi pada doa pemberian nama anak berfungsi sebagai penyampai perasaan senang atas karunia yang didapat. (2) fungsi komunikatif dalam doaketika memotong kambing “ya Allah dari Engkau, untuk Engkau”

merupakan komunikasi dengan Tuhan melalui doa.

Suhardi Pelis (2018) dalam buku Keputusan Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Tenggara tentang Adat Istiadat Suku Alas, (“Geluh ni kandung adat, Mate ni kandung hukum”. “Ni ndape bumi ni dhedhoh ni hadhi langit ni junjung”,

“Adat mesendiken hokum, “Hukum medawekken adat”). (“Adat ni tangan khaje, hokum ni tangan ulame”, “Hukum khut adat, bage zat khut sifat”, “Adat mesukat sifat, hukum mepekhdu sunat”,“Simetue cekhdik siasat, saudakhe bullet mufakat”).(“Segale puji tebhe Tuhan maha kuase, Si menentuken sukhaten manusie, Selawat khut salam tebhe junjungen te, semoge safa‟at tekhcukhah bhante”.”Bhulet akhi tumbung mupakat, Sepakat segenep khukun khut dhame, Ulang meselisih mahani adat, Sebuah kate julu khut jahe”. “Selamat medhalan adat alas, Bhayak miskin madhe mebhede, Si metoh adat bertindak tegas, Si salah tegah cidhuhken sebhenakhne”).

Adat istiadat sebagai tatanan kehidupan social dalam kehidupan masyarakat memiliki nilai nilai luhur dan sendi sendi kehidupan. Adat alas tidak dapat dipisahkan dengan syari‟at Islam sebagai tuntunan dan pedoman bagi segenap manusia yang beriman kepada Allah. Dimana menjelaskan tentang ketentuan ketentuan pelaksanaan Bhabhe Anak Bhe Lawe, Pesenatken, Pekhkawinen, dan nadingken maupun Adat Istiadat lainnya. Guna dijadikan sebagai upaya menjaga dan melestarikan nilai nilai budaya kepada generasi yang akan datang untuk dapat tetap terpelihara dan terjaga dari pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan adat istiadat yang ada, serta pengaruh perkembangan

(35)

20

teknologi dan informasi global sehingga nilai nilai budaya daerah dapat tetap terjaga dan dilaksanakan.

2.3 Konsep

Konsep merupakan pembeda arti. Dalam penelitian tradisi Pemamanen‟paman‟, maka konsep yang dipaparkan terdiri atas konsep pemamanen, performansi, struktur teks, kearifan lokal dan Antropolinguistik.

2.3.1 Tradisi Pemamanen

“tradisi” berasal dari bahasa Latin traditio, sebuah nomina yang dibentuk dari kata kerja traderere atau trader „mentransmisi, menyampaikan, dan mengamankan‟. Sebagai nomina, kata traditio berarti kebiasaan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam waktu yang cukup lama sehingga kebiasaan itu menjadi bagian dari kehidupan sosial komunitas.

Ada tiga karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas. Pengertian ini mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Kedua, tradisi merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas. Memilih tradisi memperkuat nilai dan keyakinan pembentukan kelompok komunitas dan ketiga, tradisi merupakan sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Sisi lain menciptakan dan mengukuhkan identitas dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah bahwa tradisi itu sendiri harus dikenal dan di akui sebagai sesuatu yang bermakna oleh sekelompok itu. Sepanjang kelompok masyarakat mengklaim tradisi itu sebagai miliknya dan berpartisipasi dalam tradisi itu, hal tersebut memperbolehkan mereka berbagi bersama atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka (Martha and Martine, 2005; Sibarani, 2014).

Selanjutnya Sibarani (2015:72) mengemukakan wujud tradisi lisan dapat berupa (1) tradisi berbahasa dan beraksara lokal, (2) tradisi berkesusastraan, (3) tradisi pertunjukan, (4) tradisi upacara adat, (5) tradisi teknologi tradisional, (6)

(36)

21

tradisi perlambangan, (7) tradisi seni dan musik rakyat, (8) tradisi pertanian tradisional, (9) tradisi kerajinan tangan, (10) tradisi kuliner, (11) tradisi obat- obatan atau pengobatan tradisional, dan (12) tradisi panorama dan kondisi lokal.

Keseluruhan wujud tersebut menyiratkan performansi dalam bentuk kegiatan dan peristiwa.

Dr. H.Thalib Akbar, M.Sc (pada saat wawancara 02 Januari 2020) tradisi pemamanen “paman” yang artinya memuliakan wali dan jika kita artikan secara harfiah „pemamanen‟ adalah memberi makan wali, menghargai wali dari pihak perempuan (ibu) dan kebiasaan di masyarakat yang sudah berkembang sejak zaman dahulu. Sebuah tanggung jawab yang diberikan kepada paman dalam melaksanakan segala keperluan dalam acara yang akan direncanakan baik itu dalam menyiapkan dana acara, ketersediaan kuda, bahkan hingga mewujudkan keinginan dari adik atau kakak perempuannya. Pemamanen “paman” juga dapat bermakna pada tradisi yang diuraikan di bawah ini:

1. Pada Adat Khezeki (Pesenatken Atau Adat Sunat Rasul) Setelah menerima Islam sebagai agama orang Alas, maka mulailah diwajibkan setiap anak laki-laki umur antara 7 S/D 9 tahun melaksanakan Khezeki (sunat Rasul) dengan tradisi sbb:

a. Adat tebekhas (menyampaikan hajatan sunat Rasul atau kawin dengan bemberi makan wali). Ada tiga macam jenis tebhekhas yang menentukan besar-kecilnya jumlah kehadiran tuan Pemamanen/wali dalam pesta adat pesenatken (adat pemamanen), yaitu: Antat Takhukh Si Mbelin ne (paling besar), Penengah (sedang), dan Pemamanen Tandok Sepapan dan maceken nakan (kecil).

b. Adat titah pekhintah (menyerahkan pekerjaan menyukseskan adat dan pesta kepada saudara sehalaman) dilaksanakan setelah acara ngateken tebekhas.

Tuan sukut/Senine yang hajatan membuat acara, isi titah pekhintah diantaranya memberitahukan pekerjaan Adat dimulai pada waktu yang telah ditetapkan, sama-sama hadir njagai (tepung tawar dan berinai) anak yang disunat rasul itu, satu malam sebelum hari H acara adat.

c. Adat mebhagah, yang dilaksanakan setelah menyelesaikan titah pekhintah yang dilaksanakan oleh yang menerima titah pekhintah, siapa-siapa yang

(37)

22

harus diundang, Bagah Pemamanen, Bagah anak malu, Bagah saudare Bagah tebeken sukut seangkat buet, tandok sepapan (undangan kepada saudara seketurunan atau semarga dan sekampung).

d. Adat menyambut Tuan Pemamanen/wali datang mengarak yang sunat Rasul bersama keluarganya naik kuda (Pemamanen antat takhuh simbelinne dan penengah) harus sesuai waktu yang telah ditentukan dalam adat ngateken tebekhas.

e. Sabhungen Silime-Lime, Kampil merisiken paan pinang sabungen si lime- lime, belo khut kapukh, kacu khut pinang ni tambah nenge rut mbako sekenter ken pelengkap ne,

”tempat sirih” bersirat yang berisikan bahan lima jenis bahan dasar makan sirih, sirih dan kapur, gambir dan pinang, dan ditambah lagi dengan tembakau sebagai pelengkapnya.

f. Ngekhane penyampaian maksud dalam acara pesta adat dan lain-lain dengan menggunakan bahasa dan satra daerah Suku Bangsa Alas berupa syair atau pantun, pepatah-petitih atau petuah adat (peribahasa) yang indah untuk.

g. Njagai adalah tradisi tepung tawar dan berinai yang juga disukseskan oleh pihak paman hingga acara berakhir didengar dan sesuai dengan keadaan yang mana dilakoni oleh dua orang tokoh adat dari pihak sukut dan Pemamanen/wali. Ngekhane juga dilaksanakan pada acara menyampaikan Tebhekhas (mengundang) untuk sunat Rasul, pelaksanaan pesta Pemamanen (sunat Rasul), menyampaikan maksud Mbhagah wali dengan Tebhekhas pada cara perkawinan, Mbabe anak bhe lawe (turun mandi dimana ngekhane sekarang jarang dilaksanakan), dalam acara mebhadas (suami meninggal dunia), mekhadat midho hukum (kawin), dan pada acara tertentu yang diperlukan dalam kata sambutan dari pejabat daerah dll.

2.3.2 Performansi

Performansi dalam penelitian ini di kemukakan oleh Duranti (1997) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sumber budaya dan berbicara adalah praktik budaya. Tradisi pemamanen‟paman‟ memiliki perbedaan dengan tuturan sehari-hari. Untuk itu, dibutuhkan konsep pendukung untuk melengkapi konsep

(38)

23

performansi dalam penelitian ini, yaitu konsep performansi yang dikemukakan oleh Finnegan dan Bauman digunakan untuk menganalisis performansi sebuah sastra lisan. Finnegan (2005: 86) yang menjelaskan bahwa performansi (budaya lisan) adalah sebagai sebuah moda khusus dari komunikasi dan tindakan manusia, yang membedakannya dari (hanya) mendeskripsikan cara normal atau keseharian.

Sehingga tindakan tertentu dari komunikasi ditandai sebagai performansi melalui sebuah kualitas yang memiliki frekuensi dan berada dalam suatu “bingkai”

(tema). Dalam peristiwa ini, kehadiran bahasa merupakan salah satu sumber budaya dalam berkomunikasi.

Secara lebih rinci Finnegan (2005: 12) yang menyatakan bahwa pengertian performansi terbaru bermula dari ketertarikan pada perbedaan (keunikan) teknik retoris dan estetis dalam menyampaikan serta dalam merincikan performansi maupun audiensinya dengan ide bahwa performansi tidak hanya konteks akan tetapi lebih kepada esensinya. Dalam buku lainnya Finnegan (2015: 4) menyatakan bahwa inti dari suatu peristiwa tutur/ekspresi lisan tidak hanya pada teks yang tertulis saja, akan tetapi lebih kepada performansinya. Performansi mencakup; teks, ko-teks dan konteks pada proses penyampaian, dan tidak pula hanya pada si pembicara utama melainkan keseluruhan para partisipan yang ada seperti Mame (paman) Tuan Sukut/ Pekhanakbekhunen, Ketua Adat, dan Kepala Desa. Contoh dari performansi dari tradisi Pemamanen „paman‟ adalah bahasa Alas yang dipergunakan dalam rangkaian ceremony Pemamanen ‟paman‟ terdapat pada tradisi Tebekhas, Titah Pekhintah. Mbagah, Penyambutan Tuan Pemamanen., Sabhungen Silime- lime. Ngekhane dan Njagai.

2.3.3 Struktur Teks

Dalam membahas struktur teks tradisi lisan dapat dipergunakan konsep struktur wacana Van Dijk dengan modifikasi berdasarkan kebutuhan kajian tradisi lisan. Dalam berbagai tulisannya, Van Dijk (1985a:1-8, 1985b:1-10, 1985c:1- 11, 1985d:1-8) menyebutkan bahwa ada tiga kerangka struktur teks yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.

(39)

24

Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks seperti pada tradisi Ngekhane terdapat pesan yang disampaikan kedua tokoh adat yang mewakili Tuan Sukut dan Tuan Pemamanen. Dengan kata lain, analisis struktur makro merupakan analisis sebuah teks yang dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya untuk memperoleh gagasan inti atau tema sentral.

Superstruktur atau struktur alur merupakan kerangka dasar sebuah teks yang meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren dalam tradisi Pemamanen pada Ngekhane seperti kata- kata sambutan, isi, dan kata- kata penutup.

Struktur alur atau superstruktur merupakan skema atau alur sebuah teks.

Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (introduction) terdapat pada penyambutan Tuan Pemamanen menggunakan bahasa Alas sembari menyambut tamu undangan dengan bersalam- salaman, bagian tengah (body) kata- kata balasan yang dilakukan oleh dua tokoh adat yang mewakili kedua belah pihak dan penutup (conclusion) dengan mengakhiri berbalas pantun sembari semua panitia pada titah pekhintah menghidangkan Pahakh atau Metakal Bulung (Kepala Lembu), yang masing- masing harus saling mendukung secara koheren Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Linguistik teoretis yang dimaksud di sini mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologis), kata (morfologis), kalimat (sintaksis), wacana (diskursus), makna, (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik), dan bahasa kiasan (figuratif). Peneliti teks dalam struktur mikro perlu memahami selukbeluk kajian fonemik dan fonetik, selukbeluk pembentukan kata dari susunan morfem, seluk-beluk frase, klausa, dan kalimat, seluk-beluk hubungan antarkalimat. Berikut contoh dari Struktur Teks yang ada pada tradisi Pemamanen „paman‟ dalam hal Ngekhane menyampaikan maksud dalam acara pesta adat dan lain-lain dengan menggunakan bahasa dan satra daerah suku bangsa Alas berupa syair atau pantun, pepatah-petitih atau petuah adat (peribahasa) yang indah untuk didengar dan sesuai dengan keadaan yang mana dilakoni oleh dua orang tokoh adat dari pihak Sukut dan Pemamanen/wali.

Gambar

Gambar 1. 1 Sketsa Tarombo
Tabel 2.1 Analisis Antopolinguistik
Gambar 3.1. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif Sumber:
Gambar  3.2  Peta  Lokasi  Penelitian  yang  berada  di  Desa  Kampung  Baru,  Kecamatan Badar Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh
+7

Referensi

Dokumen terkait

properties of biomass briquettes made of waste Cerberamangfta.s twigs, such as, proximate and ultimate analyses, calorific value and the impact of tapioca percentage

Bila hal ini ingin lebih dicermati, sebenarnya dapat dilakukan estimasi yang lebih cermat dengan melakukan pendekatan dengan perhitungan statistik untuk pengujian dengan

T., 2013, Produksi bioethanol dari limbah tongkol jagung sebagai energi alternatif terbarukan , Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Surabaya. Solikhin.,

Seluruh Dosen program studi Diploma 3 Teknik Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu

Penelitian ini menyimpulkan bahwa : 1) upaya yang dilakukan guru melalui pendidikan ibadah dengan memberikan bimbingan praktek.. solat, wudlu, bersikap sopan

If you wish to download the The Technological Singularity By Murray Shanahan, it is quite simple then, due to the fact that currently we proffer the connect to purchase as well as

Dari tabel 4.8 yang menunjukkan hubungan sikap personal hygiene dengan kejadian keputihan pada mahasiswi FKIK UIN Alauddin Makassar jurusan keperawatan didapatkan

Dengan ini saya bersedia menjadi responden pada penelitian dengan judul “ Gambaran pengkajian perawat dalam penanganan ABCD di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Tipe