• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMPLAS KOTA MEDAN TAHUN 2019 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMPLAS KOTA MEDAN TAHUN 2019 SKRIPSI"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

ANGELINA APRIARNI SIAGIAN NIM. 151000542

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANGELINA APRIARNI SIAGIAN NIM. 151000542

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(3)

i

(4)

ii TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : dr. Fazidah Aguslina Siregar, M.Kes., Ph.D.

Anggota : 1. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D.

2. drh. Rasmaliah, M.Kes.

(5)

iii

“Gambaran Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, 9 Agustus 2019

Angelina Apriarni Siagian

(6)

iv

pada Tahun 2017. Sebesar 90% dari total penderita tuberkulosis terdapat di negara berkembang dan terbesar ditemukan pada usia produktif (>15 tahun). Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada Tahun 2016 sebesar 628 per 100.000 penduduk dan turun menjadi 619 per 100.000 penduduk pada Tahun 2017. Jumlah penderita tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas Amplas mulai Februari 2018 sampai Februari 2019 berjumlah 114 orang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner World Health Organization Quality of Life-BREF (WHOQOL-BREF). Populasi adalah seluruh data penderita tuberkulosis paru yaitu 114 penderita, Sampel penelitian adalah 90 penderita tuberkulosis paru. Analisis data yang digunakan adalah uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan proporsi tertinggi penderita tuberkulosis paru kategori umur 15-55 tahun (68,9%), laki-laki (58,9%),Islam (56,7%), SMA/SLTA (41,1%), Ibu Rumah Tangga (21,1%), menikah (61,1%), dan lama berobat 1 bulan (31,1%), mempunyai kualitas hidup sedang (56,7%). Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan kualitas hidup berdasarkan lama berobat (p<0,05) dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin (p> 0,05). Disarankan kepada dokter maupun tenaga medis di Puskesmas Amplas Kota Medan agar memantau secara rutin pengobatan penderita tuberkulosis untuk meningkatkan kualitas hidup penderita seiring dengan proses pengobatannya.

Kata kunci: Tuberkulosis paru, kualitas hidup

(7)

v

tuberculosis sufferers are found in developing countries and the largest are found in productive age (> 15 years). The prevalence of tuberculosis in Indonesia in 2016 was 628 per 100,000 population and decreased to 619 per 100,000 population in 2017.

The number of pulmonary tuberculosis patients treated at Puskesmas Amplas from February 2018 to February 2019 amounted to 114 people. The purpose of this research is to describe the quality of life of pulmonary tuberculosis patients in the work area of Puskesmas Amplas Medan in 2019. This research is descriptive quantitative. Data was gathered using a World Health Organization Quality of Life- BREF (WHOQOL-BREF) questionnaire. The population is all of pulmonary tuberculosis patients which are 114 patients and sample is 90 patients with pulmonary tuberculosis. Data was analyzed by Chi-square. The result show the highest proportion of pulmonary tuberculosis patients at the age of 15-55 years (68,9%), man (58,9%),Islam (56,7%), Senior High School (41,1%), housewife (21,1%), married (61,1%), and one month treatment (31,1%), moderate quality of life (56,7%). There is difference based quality of life and length of treatment (p<0,05) and there is no significant difference based quality of life and age and sex (p>0,05). It is recommended for doctors and medical personnel in Puskesmas Amplas Medan to monitor routinely the treatment of tuberculosis patients to improve the quality of life of patients along with the treatment process.

Keywords: Pulmonary tuberculosis, quality of life

(8)

vi

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul

“Gambaran Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D. selaku Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan bimbingan.

4. dr. Fazidah A. Siregar, M.Kes., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. drh. Rasmaliah, M.Kes. selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan bimbingan bagi penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan di kampus FKM.

(9)

vii

8. Orangtua saya, Santono Siagian dan Dermawati Sinaga, saudara dan saudari saya, Yorris Maxwell Siagian dan Rina Samuwella Siagian yang telah memberikan dukungan dan doa bagi penulis selama pengerjaan skripsi ini..

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca.

Medan, 9 Agustus 2019

Angelina Apriarni Siagian

(10)

viii

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi viii

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiv

Daftar Istilah xv

Riwayat Hidup xvi

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 5

Tujuan umum 5

Tujuan khusus 5

Manfaat Penelitian 5

Tinjauan Pustaka 7

Definisi Tuberkulosis Paru 7

Etiologi 7

Epidemiologi Tuberkulosis 8

Distribusi dan frekuensi 8

Determinan 9

Tanda dan Gejala Tuberkulosis 10

Demam 10

Batuk dan batuk berdarah 10

Sesak napas 11

Nyeri dada 11

Malaise 11

Patogenesis 11

Klasifikasi Tuberkulosis Paru 12

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang sakit 12 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis 12 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya 13

Pencegahan 14

Pencegahan primer 14

Pencegahan sekunder 14

(11)

ix

Kualitas hidup eksistensial 21

Kualitas hidup objektif 21

Kesejahteraan 21

Kepuasan hidup 22

Kebahagiaan 22

Makna dalam hidup 23

Gambaran biologis kualitas hidup 23

Kesadaran potensi hidup 23

Pemenuhan kebutuhan 23

Faktor-faktor objektif 24

Pengukuran Kualitas Hidup 24

Domain pertama (fisik) 25

Domain kedua (psikologis) 26

Domain ketiga (hubungan sosial) 27

Domain keempat (lingkungan) 28

Kerangka Konsep 29

Metode Penelitian 30

Jenis Penelitian 30

Lokasi dan Waktu Penelitian 30

Populasi dan Sampel 30

Variabel dan Definisi Operasional 32

Metode Pengumpulan Data 34

Metode Pengukuran 35

Metode Analisis Data 36

Hasil Penelitian 38

Gambaran Umum Puskesmas Amplas Kota Medan 38

Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Amplas Kota Medan 38

Sosiodemografi 38

Kualitas hidup dan kepuasan terhadap kesehatan diri 40

Analisis Statistik 43

Kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan umur 43 Kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan

jenis kelamin 44

Kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan

lama berobat 44

Pembahasan 46

Distribusi Proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan

Sosiodemografi 46

(12)

x

Pekerjaan 51

Status perkawinan 53

Lama berobat 54

Distribusi Proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kualitas

Hidup dan Kepuasan terhadap Kesehatan secara Subjektif 55 Distribusi Proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Domain

Kualitas Hidup 57

Kualitas hidup domain fisik 57

Kualitas hidup domain psikologis 59

Kualitas hidup domain hubungan sosial 60

Kualitas hidup domain lingkungan 62

Kualitas hidup objektif 63

Analisa Statistik 64

Kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan umur 64 Kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan

jenis kelamin 65

Kualitas hidup penderita tuberkulosis paru berdasarkan

lama berobat 67

Keterbatasan Penelitian 68

Kesimpulan dan Saran 70

Kesimpulan 70

Saran 70

Daftar Pustaka 72

Lampiran 76

(13)

xi

1 Pengobatan Tuberkulosis Paru 18

2 Skor Transformasi Domain Kualitas Hidup Domain 1 dan

Domain 2 33

3 Skor Transformasi Domain Kualitas Hidup Domain 3 dan

Domain 4 34

4 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian 35

5 Distribusi Proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Sosiodemografi di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota

Medan 39

6 Distribusi Proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Kualitas Hidup Subjektif dan Tingkat Kepuasan terhadap

Kesehatan 40

7 Distribusi proporsi Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Domain Kualitas Hidup di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

Kota Medan 41

8 Distribusi Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

Kota Medan 43

9 Distribusi Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas

Amplas Kota 44

10 Distribusi Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Lama Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas

Amplas Kota Medan 45

(14)

xii

1 Teori kualitas hidup menurut Ventegodt, dkk 24

2 Kerangka konsep 29

3 Diagram pie umur penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019 46

4 Diagram pie jenis kelamin penderita tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019 48 5 Diagram batang agama penderita tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019 49 6 Diagram batang pendidikan terakhir penderita tuberkulosis

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan

Tahun 2019 50

7 Diagram batang pekerjaan penderita tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019 52 8 Diagram pie status perkawinan penderita tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019 53 9 Diagram batang lama berobat penderita tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019 54 10 Diagram batang kualitas hidup subjektif penderita tuberkulosis

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan

Tahun 2019 56

11 Diagram batang kepuasan terhadap kesehatan penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota

Medan Tahun 2019 57

12 Diagram batang kualitas hidup berdasarkan domain fisik penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Amplas Kota Medan Tahun 2019 58

13 Diagram batang kualitas hidup berdasarkan domain psikologis 59

(15)

xiii

15 Diagram batang kualitas hidup berdasarkan domain lingkungan penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

Kota Medan Tahun 2019 62

16 Diagram batang kualitas hidup objektif penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun

2019 63

17 Diagram pie kualitas hidup berdasarkan umur penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota

Medan Tahun 2019 65

18 Diagram pie kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota

Medan Tahun 2019 (setelah penggabungan sel) 66

19 Diagram pie kualitas hidup berdasarkan lama berobat penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota

Medan tahun 2019 67

(16)

xiv

1 Kuesioner Penelitian 76

2 Master Data 83

3 Output SPSS 91

4 POA 98

5 Surat Izin Penelitian 99

6 Surat Selesai Penelitian 100

(17)

xv BCG Bacillus Calmette-Guerin BTA Basil Tahan Asam

CDR Case Detection Rate CNR Case Notification Rate

CT Scan Computed Tomography Scanning

DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse OAT Obat Anti Tuberkulosis

PPD Purified Protein Derivative SDG’s Sustainable Development Goals UMR Upah Minimum Regional WHO World Health Organization

WHOQOL World Health Organization Quality of Life

(18)

xvi

1997. Beragama Kristen Protestan dan bersuku Batak Toba, bertempat tinggal di Jl. Merica Raya No. 11a, Perumnas Simalingkar, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Santono Siagian dan Dermawati Sinaga.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dari TK Puteri Sion Medan Tahun 2002-2003, SD Bethany Medan Tahun 2003-2009, SMP Bethany Medan Tahun 2009-2012, SMA Santo Thomas 1 Medan Tahun 2012-2015, dan penulis menempuh pendidikan Strata 1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Departemen Epidemiologi pada Tahun 2015 sampai Tahun 2019.

Medan, 9 Agustus 2019

Angelina Apriarni Siagian

(19)

1

Salah satu target yang ditetapkan pemimpin dunia sebagai kesepakatan pembangunan global dalam Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) adalah memastikan hidup sehat dan meningkatkan kesejahteraan di segala usia. Kesepakatan ini secara eksplisit menyebutkan tuberkulosis sebagai salah satu penyakit yang harus diakhiri rantai penularannya (World Health Organization, 2018). Penyakit menular merupakan salah satu tantangan global dalam pengendalian penyakit. Tuberkulosis menjadi salah satu penyakit menular yang mengancam dunia (Kemenkes RI, 2017). Tuberkulosis merupakan sepuluh penyebab kematian secara global pada tahun 2017. Sebesar 90% dari total penderita tuberkulosis secara global berusia produktif (>15 tahun).

Penyakit ini juga menjadi penyebab utama kematian penderita HIV dan kematian terkait resistensi antimikroba. Pada tahun 2017, diperkirakan proporsi kasus tuberkulosis sebanyak 8,5% merupakan kasus resistensi obat secara luas. (WHO, 2018).

Asia Tenggara menjadi kawasan dengan insidensi tuberkulosis tertinggi dengan proporsi sebanyak 45% kemudian disusul oleh Afrika dengan proporsi insidensi sebesar 25%. Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara dengan beban tuberkulosis terbesar (WHO, 2018). Indonesia mengalami angka insidensi tuberkulosis sebesar 391 per 100.000 penduduk dan angka kematian spesifik (Spesific Death Rate) sebesar 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar 628 per 100.000 penduduk pada tahun

(20)

2016 dan sebesar 619 per 100.000 penduduk pada tahun 2017. Pada tahun 2017, ditemukan sebanyak 425.089 kasus di Indonesia dimana 43% dari total kasus tersebut berada di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Apabila dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah kasus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2016 terdapat 360.565 kasus.

Cakupan kasus (Case Detection Rate) tertinggi ditemukan di Provinsi DKI Jakarta (104,7%), Papua (67,8%), dan Sulawesi Utara (56,6%). Sementara cakupan kasus terendah ditemukan di provinsi Jambi (24,2%), Kepulauan Bangka Belitung (26,2%), dan Bali (26,6%). Cakupan kasus di Sumatera Utara sebesar 35,2%

(Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan jenis kelamin, risiko kasus pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dari pada perempuan, khususnya pada setiap provinsi di seluruh Indonesia.

Berdasarkan kelompok umur, kasus tuberkulosis paling tinggi terdapat pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 17,2% selanjutnya disusul kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,1% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 16,4%. Proporsi kasus tuberkulosis berdasarkan kelompok umur mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun 2016 dimana kasus tuberkulosis pada kelompok umur 25-34 tahun sebesar 18,1%, kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,2%, dan kelompok umur 35-44 tahun sebesar 16,8% (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Medan tahun 2016, ditemukan kecenderungan (trend) peningkatan dan penurunan angka notifikasi kasus (CNR) BTA + di Kota Medan tahun 2013 sampai dengan 2016 yaitu 283,91/ 100.000 penduduk untuk 2013, 265,34/100.000 penduduk untuk 2014, 294,85/100.1000

(21)

penduduk untuk 2015, dan 287,88/100.000 penduduk untuk 2016. Sedangkan untuk angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan TB BTA + di Kota Medan pada tahun 2016 terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 83,62%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh waktu pengobatan TB yang relatif lama (6-8 bulan) sehingga membuat penderita mengalami drop out sebelum pengobatan selesai.

Sejak tahun 1995 pemerintah Indonesia menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai upaya pemberantasan penyakit TB Paru. Strategi DOTS melibatkan lima komponen yaitu komitmen pemerintah untuk kontrol TB, ketersediaan obat TB yang teratur dan tidak terputus, mekanisme laporan dan monitoring, deteksi kasus TB, serta pengobatan rutin selama 6-8 bulan. Hasil penelitian tentang keberhasilan pengobatan TB Paru menunjukkan sebanyak 24 responden dari total 32 responden berhasil dalam pengobatan, ditandai dengan hilangnya tanda gejala TB Paru dan hasil pemeriksaan BTA setelah 6 bulan pengobatan (Firdaus, 2012).

Sebesar 75% penderita TB di Indonesia adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita TB dewasa tidak dapat bekerja selama 3 sampai 4 bulan. Hal itu menyebabkan penderita TB kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sebanyak 20-30%. Jika penderita meninggal akibat TB, maka ia akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.

Selain kerugian ekonomis, dampak buruk lain dari TB secara sosial ialah stigma buruk dari masyarakat sehingga membuat penderita TB depresi dalam kehidupannya. (Kemenkes RI, 2011).

(22)

Salah satu indikator sehat ialah kesejahteraan individu. Tingkat kesejahteraan dapat dinilai dengan mengukur kualitas hidup individu. Beberapa penelitian dlakukan untuk mengkur kualitas hidup individu yang menderita penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular (WHO, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Sri Santiya mengenai gambaran kualitas hidup Lansia dengan hipertensi mengungkapkan sebesar 58,3% lansia memiliki kualitas hidup yang baik. Bersumber dari penelitian Nina Pamela Sari dan Lilis Lismayanti di wilayah kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya tahun 2016, diketahui 41,3% pasien tuberkulosis paru memiliki kualitas hidup tinggi dan 58,7% pasien memiliki kualitas hidup sedang. Kondisi tersebut berkaitan dengan masa pengobatan pasien yang masih berstatus aktif berobat selama 6 bulan dengan sebagian besar berada pada fase intensif sehingga secara fisik maupun psikis berdampak pada kualitas hidupnya. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Indri Yulia mengenai kualitas hidup penderita tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Teladan Kota Medan menunjukkan sebesar 34,7% pasien memiliki kualitas hidup baik dan 65,3%

pasien memiliki kualitas hidup buruk. Penelitian ini mengungkapkan bahwa selain jenis kelamin, usia, status pernikahan dan tingkat pendidikan, status pekerjaan pun turut mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberkulosis paru.

Puskesmas Amplas merupakan puskesmas dengan kasus tuberkulosis paru terbanyak keempat diantara seluruh puskesmas di Kota Medan. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Amplas Kota Medan, terdapat 114 penderita tuberkulosis paru terhitung mulai Februari 2018 sampai Februari 2019.

Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran kualitas penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Amplas tahun 2019.

(23)

Perumusan Masalah

Belum diketahuinya gambaran kualitas hidup penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2019 berdasarkan domain fisik, domain psikologis, domain hubungan sosial, dan domain lingkungan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2019.

Tujuan khusus. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui karakteristik penderita TB Paru berdasarkan sosio-demografi (umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan lama berobat).

2. Mengetahui gambaran kualitas hidup penderita TB Paru berdasarkan domain fisik, domain psikologis, domain hubungan sosial, dan domain lingkungan.

3. Mengetahui distribusi proporsi kualitas hidup berdasarkan karakteristik demografi penderita (umur, jenis kelamin, dan lama berobat).

Manfaat Penelitian

Bagi bidang kesehatan dan pelayanan kesehatan. Memberikan informasi dalam bidang kesehatan khususnya kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan mengenai gambaran kualitas hidup penderita Tuberkulosis Paru yang dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pedoman pembelajaran.

Bagi masyarakat. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai gambaran kualitas hidup pasien Tuberkulosis Paru.

(24)

Bagi peneliti dan penelitian selanjutnya. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai gambaran kualitas hidup penderita TB Paru dan sebagai masukan atau referensi bagi penelitiaan selanjutnya.

(25)

7

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang masih menjadi masalah kesehatan umum yang mendunia dan disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2017). Kuman ini termasuk jenis bakteri aerob yang memiliki kemampuan untuk hidup dalam organ tubuh dengan tekanan parsial oksigen yang tinggi khususnya paru-paru. Bakteri ini merupakan bakteri yang tahan terhadap asam dan pertumbuhannya berlangsung lambat karena memiliki membrana sel dengan kandungan lemak yang tinggi. Selain itu, bakteri ini juga tidak tahan terhadap ultraviolet sehingga penularannya dominan terjadi pada malam hari (Rab, 1996).

Etiologi

Penyakit Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri berupa batang yang mempunyai panjang 1- 4 mikron dengan lebar 0,3 - 0,6 mikron. Kuman tumbuh optimum pada suhu sekitar 37derajat celsius dengan tingkat PH optimum pada 6,4 -7,0. Bakteri membutuhkan waktu 14- 20 jam untuk membelah diri dari satu menjadi dua (generation time). Lemak dan protein adalah komponen utama kuman tuberkulosis. Komponen lemak adalah dinding kuman dengan berat 30% yang terdiri dari sulfolipid, mycosides, asam stearat, asam mikolik, dan cord factor, sementara elemen utama protein adalah tuberkuloprotein (tuberkulin) (Aditama, 2002).

Imunitas atau ketahanan tubuh yang lemah ialah salah satu pemicu tuberkulosis paru. Epidemiologi melihat suatu kejadian penyakit sebagai hasil

(26)

interaksi antara tiga komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment), sehingga faktor risiko TB Paru dapat diketahui. Dari sisi penjamu, kerentanan terhadap infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang. Kuman tuberkulosis lebih mudah menginfeksi penderita HIV AIDS dan orang dengan status gizi buruk. (Kemenkes RI, 2018).

Epidemiologi Tuberkulosis

Distribusi dan frekuensi. Terdapat 6,4 juta kasus TB baru yang diberitahukan kepada otoritas nasional dan kemudian dilaporkan ke WHO. Jumlah ini telah meningkat sejak 2013, setelah 4 tahun (2009-2012) di mana 5,7-5,8 juta kasus baru dilaporkan setiap tahun. Secara global, insiden tubekulosis sebesar 61%. Terdapat kurang dari 10 kasus baru per 100.000 penduduk di negara berpenghasilan tinggi, 150-400 kasus per 100.000 penduduk di negara dengan beban TB yang tinggi, dan di atas 500 kasus per 100.000 penduduk di beberapa negara termasuk Mozambik, Filipina, dan Afrika Selatan (WHO, 2017).Asia Tenggara memiliki insidensi tuberkulosis sebesar 45%, disusul Afrika dengan insidensi sebesar 25%, sementara Amerika dan Eropa masing-masing memiliki insiden sebesar 3% (WHO, 2017).

Terdapat sepuluh negara dengan 80% dari 3,6 juta kasus tuberkulosis secara global, tiga teratas adalah India (26%), Indonesia (11%) dan Nigeria (9%).

Di indonesia, angka insidensi tuberkulosis sebesar 391 per 100.000 penduduk.

Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah adalah provinsi dengan kasus tuberkulosis tertinggi (Kemenkes, 2017). Menurut jenis kelamin, pria berisiko 1,4

(27)

lebih tinggi terkena penyakit tuberkulosis dibandingkan dengan wanita (WHO, 2018).

Determinan. Determinan dapat dibedakan menjadi umur, jenis kelamin, gizi, merokok, dan kemiskinan.

Umur. Insiden tuberkulosis terbanyak di dunia ditemukan pada kelompok umur dewasa (berusia ≥15 tahun) (WHO, 2018). Proporsi kasus tuberkulosis terbanyak di Indonesia ialah pada kelompok umur 25-34 tahun sebanyak 17,2%

disusul diurutan kedua oleh kelompok umur 45-54 tahun sebanyak 17,1%, dan di urutan ketiga pada kelompok umur 35-44 tahun sebanyak 16,4% (Kemenkes RI, 2018).

Jenis kelamin. Laki-laki memiliki risiko terinfeksi TB lebih besar dibanding dengan perempuan. Sejalan dengan penelitian Muchtar dkk di RSUP Dr. M. Ddjamil Padang Tahun 2015, sebanyak 47 dari total 65 pasien TB adalah laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki cenderung lebih banyak beraktivitas di luar sehingga lebih berisiko terpapar kuman TB. Selain itu laki-laki cenderung memiliki kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol dibanding dengan perempuan.

Gizi. Status gizi yang buruk akan berpengaruh terhadap penurunan daya tahan tubuh seseorang yang membuatnya rentan terhadap tuberkulosis. Penelitian Oktavia et al mengenai analisis faktor risiko kejadian TB paru mengemukakan seseorang dengan status gizi buruk akan meningkatkan risiko 16,7 kali terinfeksi tuberkulosis. Peningkatan daya tahan tubuh melalui konsumsi makanan bergizi akan membuat seseorang terhindar dari penyakit tuberkulosis.

(28)

Merokok. Menurut penelitian yang dilakukan Muchtar dkk di RSUP Dr.

M. Djamil Padang Tahum 2015, sebanyak 40 dari total 65 pasien TB memiliki riwayat merokok. Merokok merupakan salah satu faktor risiko peningkatan kejadian tuberkulosis akibat penurunan daya tahan tubuh dan kerusakan saluran pernapasan perokok.

Kemiskinan. Kemenkes (2011) dalam pedoman nasional pengendalian tuberkulosis mengungkapkan kemiskinan yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat mempengaruhi angka insidensi penyakit tuberkulosis khususnya pada negara berkembang.

Tanda dan Gejala Tuberkulosis Paru

Hermayudi dan Ariani (2017) dalam buku Pulmonologi mengatakan penderita tuberkulosis paru akan mengalami tanda dan gejala sebagai berikut.

Demam. Demam yang dialami penderita TB Paru sama seperti influenza, suhu badan dapat mencapai 40-41derajat celsius yang akan sembuh sebentar namun akan kambuh kembali. Keadaan ini dipengaruhi oleh imunitas tubuh penderita dan kemampuan kuman menginfeksi tubuh penderita.

Batuk atau batuk berdarah. Batuk merupakan indikasi yang dialami penderita. Batuk adalah respon dari bronkus yang mengalami iritasi dan merupakan cara penderita membuang produk radang. Awalnya batuk bersifat kering (non-produktif) kemudian menjadi produktif dan menghasilkan sputum setelah munculnya peradangan. Pada keadaan lanjut pembuluh darah penderita pecah dan mengalami batuk darah.

(29)

Sesak napas. Penderita dengan keadan ringan belum merasakan sesak napas. Sesak napas dialami penderita pada keadaan lanjut, dimana infiltrasinya telah menutupi setengah bagian paru-paru.

Nyeri dada. Ketika pleura sudah mengalami infiltrasi radang, maka penderita akan mengalami nyeri pada dada sehingga terjadi pleuritis sebagai akibat gesekan kedua pleura ketika penderita menarik atau melepaskan napasnya.

Malaise. Gejala malaise dapat berupa sakit kepala, anoreksia, meriang, nyeri otot, dan keringat dimalam hari. Gejala malaise bersifat hilang timbul.

Patogenesis

Danusantoso (2010) dalam Buku Saku Ilmu Penyakit Paru mengatakan bahwa Penderita TB Paru yang dahaknya mengandung kuman tuberkulosis ketika melakukan ekspirasi yang dipaksa seperti batuk, bersin, tertawa keras, dan sebagainya akan mengeluarkan percikan dahak halus (droplet nuclei) berukuran lebih kecil dari 5 mikron yang mengandung basil TB. Dahak ini akan melayang di udara dan terhirup orang lain yang bukan penderita. Ketika droplet nuclei menjangkiti saluran pernapasan seperti trakea dan bronkus, maka gerakan cilia selaput lendir saluran pernapasan akan mengeluarkan droplet . Namun, apabila droplet masuk ke dalam alveolus atau hinggap pada mukosa bronkiolus, maka droplet akan menetap dan basil-basil TB berkembang biak sehingga terjadi infeksi TB.

Tingkat pajanan dengan percikan dahak sangat mempengaruhi risiko penularan kuman TB. Seseorang memiliki peluang tertular lebih besar apabila dia menghirup percikan dahak penderita dengan TB paru BTA+ dibandingkan penderita TB paru dengan BTA -. Proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB

(30)

selama setahun dapat dilihat dari persentase Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI). ARTI sebesar 1% berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahunnya. ARTI di Indonesia berkisar antara 1-3%. Seseorang dikatakan terinfeksi kuman TB apabila terjadi perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes, 2011).

Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Kementrian Kesehatan Nasional (2014) dalam Pedoman Pengendalian Nasional Tubekulosis membagi penyakit TB Paru menjadi 3 kategori, yaitu organ tubuh yang sakit, hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Adapun penjelasan dari ketiga klasifiksai diatas ialah sebagai berikut.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang sakit.

Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru terjadi ketika kuman hanya menyerang jaringan paru, kecuali pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis dimana kuman menyerang organ tubuh lain kecuali paru, seperti selaput otak, pleura, kelenjar limfa, selaput jantung, tulang, persendian, alat kelamin usus, kulit, ginjal, salurang kencing, dan organ lainnya.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis.

Tuberkulosis paru BTA positif. Tuberkulosis ini memiliki beberapa kriteria, diantaranya,

1. Terdapat minimal 2 dari 3 sampel dahak SPS yang menunjukkan adanya BTA positif

(31)

2. Satu sampel dahak SPS menunjukkan hasil BTA positif dan foto toraks dada memperlihatkan adanya kuman tuberkulosis

3. Satu atau lebih sampel dahak menunjukkan hasil positif setelah 3 sampel dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya menunjukkan hasil BTA negatif dan tidak terdapat kemajuan setelah penderita diberi antibiotika non OAT.

Tuberkulosis paru BTA negatif. Tuberkulosis ini memiliki kriteria, diantaranya,

1. terdapat minimal 3 sampel dahak SPS yang menunjukkan hasil negatif 2. foto toraks bersifat abnormal sesuai dengan gambaran kuman tuberkulosis 3. tidak terdapat kemajuan setelah penderita diberi antibiotika non OAT 4. dokter melakukan pertimbangan dalam pelaksanaan pengobatan

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Jenis tuberkulosis berdasarkan kategori ini diantaranya sebagai berikut.

Kasus baru. Kasus baru merupakan penderita yang sebelumnya tidak pernah menerima pengobatan OAT atau sudah pernah mengonsumsi OAT kurang dari sebulan. Pemeriksaan BTA dapat bersifat positif maupun negatif.

Kasus yang sebelumnya pernah diobati.

Kasus kambuh (relaps). Kasus kambuh ialah penderita yang sebelumnya pernah menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh atau menerima pengobatan lengkap, namun kembali didiagnosi BTA positif.

Kasus setelah putus berobat (default). Kasus default ialah penderita yang menerima pengobatan lalu kemudian mengalami putus berobat dengan rentan waktu 2 bulan atau lebih dengan berstatus BTA positif.

(32)

Kasus setelah gagal (failure). Kasus failure ialah penderita yang memperlihatkan hasil positif pada pemeriksaan dahaknya atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih setelah menjalani pengobatan.

Kasus pindahan. Kasus ini merupakan kasus dimana pasien dipindahkan ke register lain sehingga melanjutkan pengobatan di register tersebut.

Kasus lain. Kasus lain ialah keseluruhan kasus yang tidak termasuk dalam kasus diatas.

Pencegahan

Pencegahan primer.

Meningkatkan gizi. Mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan protein. Gizi yang baik akan meningkatkan imunitas tubuh terhadap kuman tuberkulosis ( Andareto, 2015)

Pola kebiasaan yang sehat. Pola kebiasaan yang sehat dengan mengurangi atau berhenti konsumsi rokok dan alkohol (Crofton et al., 2002).

Pemberian vaksin BCG. Vaksin ini akan merangsang kekebalan, memperkuat daya tahan tubuh terhadap kuman tanpa menimbulkan kerusakan pada individu.BCG sebaiknya diberikan rutin kepada seluruh bayi (Crofton et al., 2002).

Pencegahan sekunder.

Case finding. Dalam proses penemuan penderita terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan mulai dari timbulnya gejala sampai pelaksanaan pemeriksaan di fasilitas kesehatan (Aditama, 2002). Penemuan kasus dapat dilakukan dengan menyaring suspek TB, pemeriksaan fisis dan laboratoris, penentuan diagnosa, dan kategori penyakit dan tipe pasien TB. Setelahnya,

(33)

penderita diobati untuk mencegah penularan terhadap orang lain (Kemenkes RI, 2011).

Pemeriksaan fisis. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan pertama terhadap penderita terkait dengan keadaan umum dimana penderita mengalami konjungtiva mata atau anemia sehingga membuat kulit pucat, suhu badan yang tinggi, dan penurunan berat badan. Saat pemeriksaan fisis seringkali penderita tidak memperlihatkan kelainan khususnya pada kasus-kasus awal. Secara anamnese dan pemeriksaan fisis, sulit membedakan TB paru dengan pneumonia biasa. Pada tuberkulosis paru tingkat lanjut yang mengalami fibrosis yang luas ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi menciut dan menarik isi mediastinum atau bagian lainnya sedangkan bagian paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Dalam pemeriksaan klinis, TB paru dominan bersifat asimptomatik (Hermayudi dan Ariani, 2017).

Pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara efektif untuk menemukan lesi tuberkulosis pada penderita namun biaya yang dibutuhkan lebih besar jika dibandingkan dengan pemeriksaan sputum.

Pemeriksaan ini memberikan keuntungan apabila digunakan untuk pemeriksaan tuberkulosis pada anak dan tuberkulosis milier. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis dada, sementara pemeriksaan sputum menunjukkan hasil negatif. Pada kasus dini, hasil radiologis akan menunjukkan bercak-bercak seperti kabut dengan tepian yang tidak jelas. Bila lesi ditutupi jaringan ikat maka bayangan terlihat seperti bulatan dengan tepian yang terlihat jelas. Lesi ini disebut tuberkuloma. Computed Tomography Scanning (CT Scan) merupakan salah satu

(34)

pemeriksaan radiologis dada yang banyak digunakan di rumah sakit rujukan saat ini (Hermayudi dan Ariani, 2017).

Tes molekular cepat. Satu-satunya tes cepat untuk mendiagnosis TB. WHO merekomendasikan uji Xpert® MTB / RIF (Cepheid, AS). Tes ini dapat memberikan hasil dalam waktu 2 jam, dimana awalnya direkomendasikan untuk orang dewasa. Sejak 2013, tes ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan untuk mendiagnosis bentuk TB luar paru dengan spesifik. Tes ini memiliki akurasi yang jauh lebih baik daripada mikroskopi dahak (WHO, 2018).

Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah:

1. Darah, pemeriksaan bersifat tidak sensitif dan tidak spesifik. Ketika tuberkulosis baru mulai aktif, jumlah leukosit sedikit meningkat, jumlah limfosit masih dibawah normal, dan kecepatan endap darah mulai meningkat.

Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit akan kembali normal, jumlah limfosit masih tinggi, dan kecepatan endap darah menurun ke normal.

Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.

Pemeriksaan ini mengindikasikan aktif atau tidak aktifnya proses tuberkulosis.

Kriteria positif yang digunakan ialah titer 1/128 (Hermayudi dan Ariani, 2017).

2. Sputum, diagnosis ditegakkan melalui deteksi terhadap kuman BTA . Pemeriksaan sputum akan memberikan penilaian terhadap pengobatan yang dilakukan. Pemeriksaan ini menganjurkan penderita untuk mengonsumsi air sekitar 2 liter satu hari sebelum pemeriksaan dan melakukan refleks batuk.

Penderita dapat diberikan tambahan obat mukolitik eks-pektoran atau inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Apabila sulit melakukan refleks

(35)

batuk, bisa dilakukan bronkoskopi untuk memperoleh sputum. Kuman baru BTA ditemukan bila bronkus terbuka keluar, sehingga sputum yang didalamnya terdapat kuman BTA dapat dengan mudah keluar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila terdapat minimal 3 batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan demikian ada 5000 kuman dalam 1 ml sputum. Pewarnan sediaan disarankan menggunakan cara Tan Thiam Hok. Cara ini merupakan modifikasi cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Sediaan sputum diperiksa dengan beberapa cara, yaitu secara langsung menggunakan mikroskop biasa, secara langsung menggunakan mikroskop flouresens (pewarnaan khusus), metode biakan (kultur), dan pemeriksaan resistensi obat (Hermayudi dan Ariani, 2017).

3. Tes tuberculin, pemeriksaan tuberkulin masih efektif digunakan dalam mendukung penegakan diagnosa tuberkulosis khususnya pada anak-anak.

Pemeriksaan ini menggunakan tes Mantoux dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan dengan kapasitas 5 TU (Intermediate Strength). Pasien tuberkulosis akan memberikan reaksi Mantoux yang positif (Hermayudi dan Ariani, 2017).

Perawatan dan pengobatan khusus penderita. Pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) secara intensif selama 2 bulan, dengan pemberian rifampisin (R), isoniazid (H), dan pirazinamid (Z) (Aditama, 2002).

Stark et al. (1990) dalam Manual Ilmu Penyakit Paru mengatakan bahwa keberhasilan pengobatan tubekulosis sangat bergantung pada pemberian teratur kombinasi anti-tuberkulosis secara efektif. Sudah banyak preparat kemoterapi yang diselidiki sehingga memungkinkan kita untuk memberikan kombinasi obat

(36)

yang inkonvensional terkait dosis yang diberikan. Pengobatan TB Paru dilaksanakan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Menurut Aditama (2002) dalam Tuberkulosis Diagnosa Terapi dan Masalahnya, pengobatan penderita tuberkulosis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1

Pengobatan Tuberkulosis Paru

Kategori Tipe Pasien Alternatif Pengobatan

Fase Awal Fase Lanjutan I Kasus baru TB paru BTA

(+)

2 RHZE 4 R3 H3

4 RH 6 HE Kasus baru TB paru BTA (-)

Kerusakan parenkim

Kasus baru dengan kerusakan berat (TB ekstra pulmoler)

II TB paru BTA (+) dengan klasifikasi kambuh, failure, pengobatan tidak selesai

2 RHZES + 1 RHZE

5 R3H3E3 5 RHE III Kasus baru TB paru BTA (-)

(diluar kategori I) Kasus Baru yang Berat

2 RHZ 4 R3H3

4 HR 6 HE IV Kasus kronik Rujuk ke Dokter Spesialis Paru Keterangan:

R : Rifampisin H : INH

Z : Pirazinamid E : Etambutol S : Streptomisin

(37)

Pencegahan tertier.

Strategi DOTS. Directly Observed Treatment Short-course terdiri atas 5 kesepakatan terkait keberhasilan strategi, yaitu (Aditama, 2002) :

1. Komitmen pemerintah, memenuhi dana yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan.

2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan mikroskopis yang bermutu (passive case finding).

3. Pengobatan yang diawasi secara langsung melalui kontrol dan dorongan positif terhadap pasien.

4. Sistem pengoperasian dan jaminan ketersediaan OAT yang efektif melalui registrasi dan pelaporan setiap penggunaan obat.

5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan dengan memberikan satu kartu identitas kepada penderita yang wajib dibawa saat penderita berobat sebagai dasar evaluasi terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

Pemberian kemoterapi. Penderita dengan resistensi terhadap rifampisin dan INH dianjurkan melakukan perawatan di rumah sakit untuk menghindari penularan terhadap orang lain. Penderita resisten obat akan ditindaklanjuti dengan pemberian obat golongan fluorokuinolon, aminoglokosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, dan lain sebagainya(Aditama, 2002).

Definisi Kualitas Hidup

Menurut WHO (1997) dalam WHOQOL - Measuring Quality Of Life, kualitas hidup merupakan persepsi individu akan posisinya dalam kehidupan yang dijalaninya disesuaikan dengan konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya terkait cita-cita, tujuan, standart yang ditetapkan, dan dukungan orang lain.

(38)

Calman (1985) mengungkapkan bahwa kualitas hidup adalah konsep yang sulit untuk didefinisikan dan diukur. Kualitas hidup menyangkut kesejahteraan seseorang dan kondisi kesehatannya. Kualitas hidup mengukur perbedaan atau kesenjangan pada periode waktu tertentu antara harapan individu dan pengalaman individu. Kualitas hidup hanya dapat digambarkan oleh individu itu sendiri, tergantung pada gaya hidup saat ini, pengalaman masa lalu, dan harapan dimasa depan. Kualitas hidup harus mencakup semua bidang kehidupan dan memperhitungkan dampak penyakit dan perawatan. Kualitas hidup dikatakan baik ketika harapan individu sesuai dengan pengalaman hidupnya. Sebaliknya kualitas hidup dikatakan buruk ketika harapan individu tidak sesuai dengan pengalaman hidupnya. Kualitas hidup dapat berubah seiring dengan waktu karena prioritas dan tujuan individu bersifat realistis disesuaikan dengan usia dan pengalaman. Untuk meningkatkan kualitas hidup diperlukan usaha meminimalisir kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dimiliki oleh individu. Kualitas hidup yang baik biasanya dinyatakan dalam hal kepuasan, kebahagiaan dan kemampuan untuk mengatasi hal-hal terkait hidup yang dimiliki individu. Definisi ini menekankan pada pentingnya pertumbuhan pribadi.

Teori Kualitas Hidup

Kualitas hidup merupakan keadaan hidup produktif, berdayaguna dan berkualitas tinggi (Ventegodt, dkk., 2003). Kualitas hidup dikelompokkan menjadi 3 aspek dalam konteks kualitas hidup yang tinggi.

Kualitas hidup subjektif. Kualitas hidup subjektif berarti segala sesuatu yang dirasakan individu mengenai baik atau buruknya kehidupan. Individu secara

(39)

pribadi menilai bagaimana sesuatu terjadi, kondisi hati serta anggapannya. Aspek ini berkaitan dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan yang individu miliki.

Kualitas hidup eksistensial. Kualitas hidup eksistensial adalah kondisi yang jauh lebih komprehensif. Setiap individu berhak untuk dihormati dan hidup dalam keharmonisan. Aspek ini menegaskan bahwa setiap individu tidak hanya hidup tergantung pada kondisi optimal pertumbuhan dan spiritualitas yang baik.

Kualitas hidup objektif. Kualitas hidup objektif berarti sejauh mana dunia sekitar merasakan kehidupan seseorang dan memberikan dampak. Aspek ini dipengaruhi oleh budaya di mana orang hidup. Kualitas hidup objektif berarti setiap individu mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya dan memberikan dampak bagi dunia sekitar. Misalnya, status sosial yang baik dalam suatu kebudayaan yang dirasakan oleh masyarakat.

Ketiga aspek kualitas hidup ini dikelompokkan dengan gagasan yang signifikan dan merupakan spektrum yang saling terkait mulai dari subjektif hingga objektif, sementara komponen eksistensial berada di tengah karena bersifat menyatukan subjektif dan objektif. Teori kualitas hidup meliputi hal sebagai berikut.

Kesejahteraan. Kesejahteraan bersifat natural dalam penilaian kualitas hidup. Ketika individu berbicara tentang kondisi kehidupannya yang baik, biasanya ia tidak mengungkapkan makna hidupnya secara mendalam.

Kesejahteraan adalah sesuatu yang jauh lebih umum dari makna hidup, pemenuhan kebutuhan, dan realisasi diri. Sehubungan dengan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendefinisikan kesehatan secara luas sebagai

(40)

keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang menyeluruh, dan menekankan pada pengalaman yang baik.

Kepuasan hidup. Puas berarti merasa bahwa hidup sesuai dengan harapan individu. Ketika harapan, kebutuhan, dan keinginan seseorang dalam kehidupan terpenuhi oleh lingkungan di sekitarnya, ia mengalami kepuasan. Kepuasan adalah kondisi psikologis atau batiniah. Ada beberapa jenis teori kepuasan klasik, salah satunya teori preferensi. Teori ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga kehidupan dikatakan baik ketika keinginan seseorang menjadi kenyataan. Teori ini membuat individu bebas untuk menentukan pilihannya. Kualitas hidup didasarkan pada keinginan individu yang terwujud.

Kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kondisi seimbang secara mendalam yang dirasakan individu. Seluruh keberadaan individu ditandai oleh intensitas pengalaman tertentu. Kebahagiaan memiliki makna lebih komprehensif dibadingkan dengan kepuasan hidup dan kesejahteraan. Banyak orang beranggapan bahwa kebahagiaan berarti hidup dalam keharmonisan. Namun demikian, ada yang percaya bahwa kebahagiaan dirasakan apabila seseorang mampu menyesuaikan diri dengan budaya sekitar. Dengan kata lain, kebahagiaan menuntut individu untuk tidak mundur dari suatu kondisi melainkan memperjuangkan apa yang terutama dan berdampak bagi individu tersebut.

Kebahagiaan sering dikaitkan dengan aspek nonrasional, seperti cinta, interaksi dengan alam, dan lain-lain. Uang, kesehatan, dan faktor objektif bukan salah satu diantaranya. Kebahagiaan ditemukan dalam prinsip klasik dan agama yang menginspirasi banyak orang.

(41)

Makna dalam hidup. Makna hidup adalah konsep yang esensial dan sering dilupakan. Seseorang yang mencari makna kehidupan sering mengalami kebingungan akibat terjebak dalam perbedaan nilai dan aspek hidup. Pencarian makna dalam hidup melibatkan penerimaan akan makna hidup dan kewajiban terhadap diri sendiri untuk memperbaiki apa yang salah. Dengan cara ini, pertanyaan tentang makna dalam kehidupan menjadi sangat pribadi, dan sangat sedikit orang yang berusaha menjawabnya, karena dengan melakukan itu, seseorang mempertaruhkan keamanannya dalam kehidupan sehari-hari.

Gambaran biologis kualitas hidup. Aspek ini menyangkut struktur biologis manusia yang mendasar. Manusia merupakan organisme hidup.

Kehidupan dicirikan oleh keteraturan yang dipahami secara biologis, psikologis, sosial, dan religius dalam arti yang luas seperti apa yang diyakini tentang kehidupan dan kenyataan. Kesehatan fisik menggambarkan keadaan struktur informasi biologis. Informasi yang tepat akan membuat sel-sel tubuh berfungsi secara tepat untuk mempertahankan tubuh tetap sehat.

Kesadaran potensi hidup. Teori ini menegaskan hubungan antara alam dan manusia yang menyatakan tentang pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem kehidupan.

Pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan dan kualitas hidup adalah aspek terkait. Kebutuhan hidup yang terealisasi akan meningkatkan kualitas hidup.

Kebutuhan adalah ekspresi dari sifat individu yaitu sesuatu yang dimiliki oleh semua orang. Pemenuhan kebutuhan tidak identik dengan kesejahteraan, karena kebutuhan terkait dengan sifat dasar manusia. Pemenuhan kebutuhan tidak sama dengan mewujudkan potensi kehidupan, karena potensi kehidupan berkaitan

(42)

dengan hal yang kompleks namun pemenuhan kebutuhan hanya berupa kebutuhan aktual yang sederhana.

Faktor-faktor objektif. Faktor ini berkaitan dengan faktor-faktor eksternal kehidupan dan cukup mudah dibangun termasuk penghasilan, status pernikahan, kesehatan, dan relasi dengan orang lain setiap harinya. Kualitas hidup objektif menggambarkan penyesuaian diri individu terhadap budaya di sekitarnya.

Gambar 1. Teori kualitas hidup menurut Ventegodt, dkk Pengukuran Kualitas Hidup

Salah satu instrument pengukuran kualitas hidup adalah World Health Organization Quality of Life-BREF . World Health Organization Quality of Life- BREF merupakan versi singkat dari World Health Organization Quality of Life- 100. WHOQOL-100 dalam WHOQOL –User Manual (1998), membagi kualitas hidup menjadi enam domain, diantaranya fisik, psikologis, tingkat kemandirian,

(43)

hubungan sosial, lingkungan, dan spiritualitas dengan jumlah pertanyaan sebanyak 100 pertanyaan. WHOQOL-100 digunakan untuk memberikan penilaian terperinci dari setiap aspek individu yang berkaitan dengan kualitas hidup. Namun dalam beberapa kasus tertentu, WHOQOL-100 terlalu panjang dan kurang praktis dalam penggunaannya. Oleh karena itu, WHO melakukan perumusan versi baru yaitu WHOQOL-BREF yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya serta dikembangkan untuk memberikan penilaian kualitas hidup lebih singkat yang terlihat pada profil tingkat domain. WHOQOL-BREF berisi 26 pertanyaan dengan jumlah empat domain, diantaranya fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Untuk memberikan penilaian yang luas dan komprehensif, satu item dari masing-masing 24 aspek yang terkandung dalam WHOQOL-100 telah dimasukkan kedalam WHOQOL-BREF. Selain itu, dua item dari kualitas Hidup dan kepuasan kesehatan secara keseluruhan telah dimasukkan juga.

Domain pertama (fisik).

Nyeri dan ketidaknyamanan. Perspektif ini menyangkut keadaan fisik yang tidak menyenangkan, pengalaman sehari- hari, dan seberapa besar gangguan yang dirasakan sesorang akibat keadaan fisiknya.

Tenaga dan kelelahan. Aspek ini mengeksplorasi energi, antusiasme, dan stamina seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan rekreasi liburan.

Tidur dan istirahat. Perspektif ini menyangkut seberapa optimal tidur dan istirahat individu. Aspek ini mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Masalah tidur dapat berupa kesulitan tidur, bangun di malam hari, bangun lebih pagi dan kesulitan tidur kembali. Fokus aspek ini adalah pada terganggu atau tidaknya tidur

(44)

individu yang terjadi karena berbagai alasan, baik yang berhubungan dengan individu tersebut maupun dengan lingkungannya.

Domain kedua (psikologis).

Berfikir, belajar, ingatan dan, fokus. Aspek ini mengeksplorasi penilaian seseorang mengenai pemikirannya, semua yang dipelajari, memori, kemampuan untuk fokus dan menentukan keputusan. Aspek ini menggabungkan kesigapan berpikir dan kejernihan berpikir seseorang.

Harga diri . Aspek ini menilai perasaan seseorang tentang dirinya sendiri.

Aspek ini bisa berkisar dari perasaan positif hingga perasaan negatif tentang dirinya sendiri. Aspek harga diri berkaitan dengan perasaan efikasi diri, kepuasan diri sendiri, dan kontrol seseorang.

Gambaran diri dan penampilan. Perspektif ini menilai bagaimana anggapan individu tentang tubuhnya. Aspek ini menilai gambaran fisik secara positif atau negatif. Fokusnya adalah seberapa jauh seseorang menerima kondisi fisik dan penampilannya dan pengaruhnya terhadap konsep dirinya. Ini termasuk sejauh mana "persepsi" atau kerusakan tubuh aktual yang dapat diperbaiki (misalnya dengan make-up, pakaian, anggota badan buatan dan lain-lain). Respon orang lain terhadap penampilan seseorang mungkin sangat mempengaruhi citra tubuh seseorang. Ungkapan pertanyaan ini bertujuan untuk mendorong responden menjawab bagaimana perasaan mereka sebenarnya.

Perasaan negatif. Aspek ini menyangkut seberapa besar seseorang mengalami perasaan negatif, termasuk kesedihan, rasa bersalah, air mata, keputusasaan, kegugupan, kegelisahan, dan kurangnya kesenangan dalam menjalani kehidupannya. Aspek ini mencakup pandangan seseorang tentang

(45)

dampak perasaan negatif terhadap produktifitas sehari-hari. Pertanyaan dibuat sehingga mencakup kesulitan psikologis seseorang yang mempengaruhi produktifitasnya, seperti depresi berat, mania atau serangan panik.

Perasaan positif. Aspek ini menilai seberapa intens seseorang mengalami perasaan positif seperti kepuasan, keteraturan, ketentraman, kebahagiaan, harapan, kegembiraan, dan penikmatan dalam kehidupan. Bagian penting dari aspek ini adalah pandangan seseorang tentang masa depannya. Bagi banyak responden, aspek ini dapat dianggap identik dengan kualitas hidup.

Domain ketiga (hubungan sosial).

Dukungan sosial. Aspek ini menilai seberapa besar seseorang merasakan komitmen, persetujuan, dan ketersediaan bantuan praktis dari keluarga dan teman.

Aspek ini mengeksplorasi kuantitas keluarga dan teman dalam berbagi tanggung jawab dan bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah pribadi dan keluarga.

Aktivitas seksual. Aspek ini berfokus pada keinginan atau hasrat seksual seseorang dan sejauh mana seseorang dapat mengekspresikan dan menikmati hasrat seksualnya dengan tepat. Orientasi seksual seseorang dinilai sebagai keinginan, pengungkapan, peluang dan pemenuhan kehidupan seksual seseorang.

Hubungan personal dengan orang lain. Perspektif ini menilai sejauh mana seseorang merasakan persahabatan, cinta dan suport yang mereka inginkan.

Perspektif ini juga membahas komitmen dan pengalaman seseorang dalam berbagi dengan orang lain dimana mencakup perasaan dicintai dan mencintai sehingga menjadi intim dengan orang lain baik secara emosional maupun fisik.

(46)

Domain keempat (lingkungan).

Keamanan. Aspek ini menilai perasaan aman dan selamat seseorang dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan atau keamanan mungkin dapat terjadi dimanapun yang akan mempengaruhi kebebasan seseorang. Oleh karena itu, pertanyaan dibuat bagi seseorang yang memiliki atau tidak memiliki kendala dalam kehidupannya.

Lingkungan rumah. Aspek ini menilai tempat tinggal yang dapat memengaruhi kehidupan seseorang. Kualitas rumah akan dinilai berdasarkan kenyamanan dan keamanan seseorang untuk tinggal. Fokus lain secara implisit dalam aspek ini adalah kepadatan, jumlah ruang yang tersedia, kebersihan tempat tinggal, peluang untuk privasi, fasilitas yang tersedia dan kualitas konstruksi bangunan.

Sumber penghasilan. Aspek ini menilai sumber penghasilan seseorang dan sejauh mana sumber ini mampu memenuhi kebutuhan akan gaya hidup yang sehat dan nyaman seseorang. Aspek ini berfokus pada kepuasan seseorang dalam memperoleh sesuatu perasaan cukup akan pemenuhan kebutuhan.

Kesehatan dan perhatian sosial. Aspek ini menilai ketersediaan kualitas kesehatan dan sosial. Pertanyaannya ketersediaan pelayanan kesehatan dan sosial serta kualitas dan kelengkapan perawatan yang diterima serta mencakup kemudahan menjangkau pelayanan kesehatan dan sosial.

Peluang untuk menerima informasi aktual dan kapabilitas. Perspektif ini menilai peluang dan keinginan seseorang untuk menguasai kompetensi baru, memperoleh informasi terkini, dan merasa terhubung dengan segala sesuatu yang

(47)

terjadi. Aspek ini berhubungan dengan pendidikan formal maupun tidak formal seseorang.

Keikutsertaan dalam berekreasi dan memiliki waktu luang. Perspektif ini menilai daya, peluang, dan kecenderungan seseorang untuk ikut serta dalam memanfaatkan waktu luang, berlibur, dan relaksasi.

Lingkungan fisik. Aspek ini menilai pandangan seseorang terhadap lingkungannya berupa kebingaran, pencemaran, cuaca dan keindahan lingkungan yang mampu memperbaiki atau mempengaruhi kualitas hidup. Dalam beberapa budaya, komponen tertentu dari lingkungan mungkin memiliki pengaruh yang sangat konkrit terhadap kualitas hidup, seperti ketersediaan air atau kondisi polusi udara.

Transportasi. Aspek ini menilai pandangan seseorang terhadap layanan transportasi yang digunakan. Pertanyaan mencakup mode transportasi apa pun yang tersedia untuk orang tersebut. Fokusnya adalah bagaimana transportasi yang tersedia memungkinkan orang untuk melakukan tugas-tugas yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta bebas melakukan kegiatannya.

Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka konsep Penderita TB paru

Kualitas hidup penderita TB paru:

1. Kesehatan fisik 2. Kesehatan psikologis 3. Hubungan sosial 4. Lingkungan

Tinggi

Rendah Sedang

(48)

30

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional menggunakan uji chi- square. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara menggunakan kuesioner untuk menggambarkan kualitas hidup penderita tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Amplas.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan yang beralamat di Jalan Garu No. 2, Harjosari I Kecamatan Medan Amplas.

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2019. Adapun pertimbangan pemilihan lokasi penelitian di Puskesmas Amplas Kota Medan karena jumlah kasus TB paru cukup banyak sehingga memudahkan untuk pengambilan sampel.

Populasi dan Sampel

Populasi. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB Paru yang menjalani pengobatan di Puskesmas Amplas Kota Medan. Populasi dalam penelitian ini yaitu sebanyak 114 penderita.

Sampel. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).

Sampel pada penelitian ini adalah penderita TB Paru yang berada diwilayah kerja Puskesmas Amplas.

(49)

Besar sampel. Besar sampel dengan populasi lebih kecil dari 10.000 dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Notoatmodjo, 2005).

n = 𝑁

1 + 𝑁 (𝑑2)

n = 114

1 + 114 (0,052)

n = 114

1 + 114 (0,0025)

n = 114

1 + 0,285 n = 114

1,285

n = 88,71 (90 sampel) Keterangan:

n : Besar sampel N : Besar populasi

d : Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketepatan yang diinginkan, pada penelitian ini ditetapkan d sebesar 5% (0,05).

Teknik sampling. Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu dengan cara memilih sampel di antara populasi dengan mempertimbangkan kriteria inklusi penelitian (Notoatmodjo, 2005).

Adapun kriteria inklusi dalam pengambilan sampel penelitian adalah:

1. berusia ≥15 tahun

2. sudah menderita TB Paru selama minimal satu bulan terakhir dan maksimal 5 bulan terakhir.

(50)

Variabel dan Definisi Operasional Variabel demografi.

Penderita TB paru. Seluruh pasien yang menderita penyakit infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai paru-paru.

Umur. Usia penderita TB Paru saat dilakukan penelitian. Berdasarkan penelitian Nurkumalasari, usia penderita tuberkulosis dikelompokkan atas usia produktif dan usia tidak produktif.

Jenis kelamin. Ciri khas tertentu yang dimiliki penderita TB Paru.

Agama. Kepercayaan yang dianut oleh penderita TB Paru.

Pendidikan. Tingkat pendidikan terakhir yang diikuti oleh penderita TB Paru.

Pekerjaan. kegiatan pokok dan rutin yang dilakukan penderita TB Paru untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Status perkawinan. Identitas penderita terkait kehidupan perkawinan.

Lama berobat. Durasi waktu penderita tuberkulosis berobat atau penderita mengonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Kualitas hidup. Kualitas hidup didefinisikan sebagai penilaian individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini pada beberapa aspek kehidupan yang penting baginya. Kualitas hidup ditinjau dari empat domain yaitu domain fisik, domain psikologis, domain hubungan sosial, dan domain lingkungan. Kualitas hidup diketahui dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner World Health Organization Quality of Life-BREF( WHO, 1996).

WHOQOL BREF terdiri dari dua bagian utama yang berasal dari kualitas hidup dan kepuasan kesehatan secara subjektif. Nilai dari domain menunjukkan persepsi individu pada kualitas hidup di masing-masing domain. Semakin tinggi nilainya berarti kualitas hidup semakin baik.

(51)

Penilaian pada instrument ini dilakukan dengan menggunakan skala likert yang terdiri dari lima kategori jawaban pertanyaan yang dinilai 1 sampai 5 dengan nilai 1 sebagai nilai terendah dan nilai 5 sebagai nilai tertinggi. Skala likert akan di transformasikan kedalam skor total akhir untuk setiap domain kualitas hidup.

Kualitas hidup dikelompokkan menjadi tinggi, sedang, dan rendah.

Tabel 2

Skor Transformasi Domain Kualitas Hidup Domain 1 dan Domain 2

Domain 1 Domain 2

Skor Awal Skor Transformasi Skor Awal Skor Transformasi

7 0 6 0

8 6 7 6

9 6 8 6

10 13 9 13

11 13 10 19

12 19 11 19

13 19 12 25

14 25 13 31

15 31 14 31

16 31 15 38

17 38 16 44

18 38 17 44

19 44 18 50

20 44 19 56

21 50 20 56

22 56 21 63

23 56 22 69

24 63 23 69

25 63 24 75

26 69 25 81

27 69 26 81

28 75 27 88

29 81 28 94

30 81 29 94

31 88 30 100

32 88

33 94

34 94

35 100

(52)

Tabel 3

Skor Transformasi Domain Kualitas Hidup Domain 3 dan Domain 4

Domain 3 Domain 4

Skor Awal Skor Transformasi Skor Awal Skor Transformasi

3 0 8 0

4 6 9 6

5 19 10 6

6 25 11 13

7 31 12 13

8 44 13 19

9 50 14 19

10 56 15 25

11 69 16 25

12 75 17 31

13 81 18 31

14 94 19 38

15 100 20 38

20 44 21 44

21 50 22 44

22 56 23 50

23 56 24 50

24 63 25 56

25 63 26 56

26 69 27 63

27 69 28 63

28 75 29 69

29 81 30 69

30 81 31 75

31 88 32 75

32 88 33 81

33 94 34 81

34 94 35 88

35 100 36 88

37 94

38 94

39 100

40 100

Metode Pengumpulan Data

Data primer. Data primer diperoleh melaui wawancara terhadap penderita tuberkulosis yang berkunjung ke Puskesmas Amplas Medan yang memenuhi

Gambar

Gambar 1. Teori kualitas hidup menurut Ventegodt, dkk  Pengukuran Kualitas Hidup
Gambar 2. Kerangka konsep Penderita TB paru
Gambar  3.  Diagram  pie  umur  penderita  tuberkulosis  paru  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019
Gambar  4.  Diagram  pie  jenis  kelamin  penderita  tuberkulosis  paru  di  Wilayah  Kerja Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2019
+7

Referensi

Dokumen terkait

For the analysis of cluster structures in a multidimensional data volume it is proposed to use elastic maps technologies, which are methods for mapping points of the

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-3/W1, 2017 2017 International Symposium on Planetary Remote Sensing

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Barat melaksanakan Pelelangan Paket Pengadaan Pekerjaan Pengawasan Renovasi Rumah

Dimana mahasiswa mengisi data-data pada formulir pendaftaran sicara online dengan benar dan sesuai dengan ketentuan yang ada selanjutnya data mahasiswa tersebut akan

Higher expression of p53 tended to correlate with positive clinical response; it may be that mutated forms of p53 promote uncontrolled proliferation of cancer cells, which

Ciphertext yang acak dengan pengujian Avalanche Effect yang sudah mencapai 62,5% sehingga algoritma ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengamanan data. Kata Kunci:

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada kelas XI IPA I dan IPA II tentang proses pelaksanaan pembelajaran, penyampaiaan materi, metode yang digunakan, proses

Tahapan penelitian pada Gambar 2, dapat dijelaskan sebagai berikut, Tahap Identifikasi Masalah : Pada tahapan ini dilakukan analisis terhadap permasalahan yang ada,