• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Kualitas Industri Pertahanan Strategis Guna Membangun Kekuatan Pertahanan Maritim dalam rangka Mewujudkan Visi Poros Maritim Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Peningkatan Kualitas Industri Pertahanan Strategis Guna Membangun Kekuatan Pertahanan Maritim dalam rangka Mewujudkan Visi Poros Maritim Dunia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Peningkatan Kualitas Industri Pertahanan Strategis Guna Membangun Kekuatan Pertahanan Maritim dalam rangka Mewujudkan Visi

Poros Maritim Dunia

Mochammad Imam Chadhafi

Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia E-mail: Chadhafi070918@gmail.com

Received: 21-03-2021, Accepted: 02-05-2021

Abstrak

Pada 2015 Presiden Joko Widodo telah menyampaikan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia sehingga pemerintah Indonesia harus segera berbenah untuk memperkuat bargaining power Indonesia di kancah dunia internasional melalui peningkatan nilai mutu strategis. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas industri pertahanan strategis guna mendorong pengembangan industi perkapalan dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Kondisi alutsista yang dimiliki oleh TNI secara umum dan TNI Angkatan Laut khususnya saat ini belum memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebagai negara kepulauan dengan 2/3 luas wilayah laut dari total seluruh wilayah, Indonesia harus memiliki kualitas dan kuantitas alutsista yang mumpuni agar mulai dari laut pedalaman, teritorial, zona tambahan sampai dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dapat terjangkau. Kemandirian industri pertahanan dalam memproduksi peralatan militer sendiri juga menjadi salah satu target dari Pemerintah Indonesia. Untuk itu dilaksanakan penerapan konsep capability-based planning, yaitu perencanaan pembangunan kekuatan untuk mencapai tingkat kekuatan tertentu yang dibutuhkan guna melaksanakan tugas dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran dan aset negara yang dimiliki. Dan konsep threat based planning, yaitu perencanaan pembangunan kekuatan yang didasarkan pada pendekatan prediksi ancaman yang dihadapi dan perhitungan kebutuhan kekuatan dengan mempertimbangkan kekuatan musuh yang akan dihadapi. Untuk melengkapi 2 (dua) konsep tersebut, diterapkan konsep flash point, yaitu mengidentifikasikan daerah (wilayah Indonesia) yang berpotensi tinggi terhadap ancaman aktual sehingga menjadi prioritas dibangunnya komposisi dan disposisi MEF secara bertahap dan berkesinambungan.

Abstract

In 2015 President Joko Widodo has conveyed Indonesia's vision as a World Maritime Axis so that the Indonesian government must immediately improve to strengthen Indonesia's bargaining power in the international arena through increasing strategic quality values. One of them is to improve the quality of the strategic defense industry in order to encourage the development of the shipping industry and build a maritime defense force. The current state of defense equipment owned by the TNI in general and the Navy in particular is inadequate, both in terms of quality and quantity. As an archipelagic country with 2/3 of the total sea area of the entire territory, Indonesia must have the quality and quantity of qualified defense equipment so that starting from the inland sea, territorial, additional zones to the Exclusive Economic Zone (EEZ) can be reached. The independence of the defense industry in producing its own military equipment is also one of the targets of the Indonesian government. For this reason, the concept of capability-based planning is implemented,

(2)

namely planning for strength development to achieve a certain level of strength needed to carry out tasks by considering the ability of the budget and state assets owned. And the concept of threat-based planning, namely planning for strength development based on an approach to predicting the threats faced and calculating the strength needs by considering the enemy's strength to be faced. To complete the 2 (two) concepts, the flash point concept is applied, namely identifying areas (Indonesian territories) that have high potential for actual threats so that it becomes a priority to build the composition and disposition of the MEF gradually and continuously.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi geografis dan potensi sumber kekayaan alam yang melimpah sehingga telah diakui sebagai negara kepulauan dan negara maritim. Hal tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai Centre of Gravity (CoG) dan The Global Supply Chain System, sehingga menimbulkan Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) yang bisa berdampak pada keamanan maritim negara. Sebagai negara kepulauan dan negara maritim, Indonesia dituntut untuk memiliki kekuatan armada laut yang besar agar mampu mengoptimalkan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang dimiliki guna meningkatkan beberapa aspek, yaitu politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Besarnya Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan yang dihadapi oleh Indonesia menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia untuk segera mempercepat implementasi sistem pertahanan pertahanan negara yang

bersifat semesta sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Naisonal untuk Pertahanan Negara. Sistem pertahanan negara yang bersifat semesta adalah sistem pertahanan yang melibatkan seluruh sumber daya nasional yang telah dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.

Pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara telah dijelaskan bahwa sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan sumber daya manusia yang berstatus sebagai komponen utama yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas pertahanan. Kemudian kehadiran TNI sebagai komponen utama akan didukung oleh komponen cadangan, yaitu sumber

(3)

daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama. Selanjutnya untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama serta komponen cadangan, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sumber daya nasional yang ditetapkan statusnya sebagai komponen pendukung.

Sebagai bangsa yang kaya akan latar belakang sejarah maritim, sudah seharusnya Indonesia tumbuh dan berkembang layaknya negara maritim.

Pada tanggal 13 November 2015, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pada dunia internasional ketika melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Nay Pyi Taw yang terdiri dari 5 (lima) pilar, yaitu:

1. Pembangunan kembali budaya maritim;

2. Komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industry perikanan dengan menempatkan nelayan;

3. Komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, logistik dan industri perkapalan serta pariwisata maritim;

4. Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan; dan

5. Indonesia sebagai negara yang menjadi titik tumpu 2 (dua) samudera, berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim.

Dalam rangka mewujudkan visi Poros Maritim Dunia, Pemerintah Indonesia harus segera berbenah untuk memperkuat bargaining power Indonesia di kancah dunia internasional melalui peningkatan nilai mutu strategis, salah satunya dengan meningkatkan kualitas industri pertahanan strategis guna mendorong pengembangan industi perkapalan dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Berdasarkan penjelasan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, maka dapat dianalisis bahwa seharusnya industri pertahanan strategis dapat dikategorikan sebagai komponen cadangan yang dibentuk untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dalam hal ini adalah TNI.

Pemerintah Indonesia saat ini telah berupaya untuk mewujudkan komitmen dalam membangun kapabilitas pertahanan dengan menetapkan sasaran pokok jangka panjang guna membangun kemandirian industri pertahanan. Keseriusan Pemerintah Indonesia diwujudkan dalam

(4)

perumusan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan dan pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang memiliki tugas untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan dengan cara menghubungkan kebutuhan militer dengan pengembangan industri dalam negeri.

Kemandirian industri pertahanan dalam memproduksi peralatan militer sendiri tanpa bergantung pada negara lain menjadi salah satu target dari Pemerintah Indonesia.

Dalam rangka mendorong pemenuhan kebutuhan alutsista yang dibutuhkan, maka pemerintah meningkatkan anggaran pertahanan Indonesia pada tahun 2020 sebesar Rp 131 triliun67.

Industri Strategis Pertahanan Indonesia Sebagai Wujud Komponen Cadangan Indonesia memiliki sejarah panjang tentang perkembangan Industri pertahanan strategis dan dimulai sejak era kolonial Belanda di Indonesia. Ketika itu, beberapa industri strategis milik Pemerintah Kolonial Belanda bertugas untuk memasok kebutuhan senjata mereka, diantaranya terdapat NV de Broom (1865), NV de Industrie (1887), NV Braat (1901), NV de Vulcaan (1913) dan NV Molenvliet (1920).

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945, sebagian

67 Aulia Fitri dan Debora Sanur, Pemberdayaan Industri Pertahanan Nasional dalam Pemenuhan Minimum Essential Force (MEF). Kajian singkat terhadap isu aktual dan strategis.

besar perusahaan tersebut dinasionalisasi menjadi Perusahaan Nasional (PN) pada era Kabinet Djuanda yang kemudian menjadi, PN Boma, PN Bisma, PN Indra, PN Barata, PN Sabang Merauke dan PN Peprida. Pada tahun 1960-an, Pemerintah Indonesia menggalakkan pengembangan industry dan manufaktur, sehingga Perusahaan Nasional tersebut berkembang menjadi68:

1. Boma Bisma Indra (BBI) pada tahun 1971;

2. Barata Indonesia pada tahun 1971;

3. Krakatau Steel pada tahun 1971;

4. Dahana pada tahun 1973 5. Inti pada tahun 1974;

6. PAL Indonesia pada tahun 1980;

7. Pindad pada tahun 1983; dan 8. LEN Industri pada tahun 1992.

Kondisi alutsista yang dimiliki oleh TNI secara umum dan TNI Angkatan Laut saat ini dinilai masih belum memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut sangat miris karena sebagai negara kepulauan yang memiliki 2/3 luas wilayah laut dari total seluruh wilayah, seharusnya Indonesia memiliki kualitas dan kuantitas alutsista yang memadai agar dapat menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai dari laut pedalaman, teritorial, zona tambahan sampai dengan Zona Ekonomi

68 Achmad Dirwan, Laporan akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Industri Strategis untuk

(5)

Eksklusif (ZEE). Berdasarkan fakta, alutsista yang dimiliki untuk mendukung pertahanan dan keamanan masih tergantung dari produk luar negeri, meskipun dalam beberapa tahun terakhir Indonesia sudah mulai melaksanakan perakitan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) jenis Perusak Kawal Rudal 115 kelas R.E. Martadinata dengan beberapa console yang dipesan dari Belanda dan jenis Kapal Selam kelas Nagapasa dengan console yang dipesan dari Korea Selatan. Namun kecenderungan untuk memesan produk dari luar negeri masih tetap ada, karena ekspektasi tentang kualitas produk luar negeri lebih baik apabila dibandingkan dengan produk industri pertahanan strategis dalam negeri masih terus melekat.

Salah satu indikasi untuk menciptakan kondisi pertahanan dan keamanan negara yang tangguh salah satunya adalah terbangunnya industri pertahanan strategis dalam negeri yang mampu memproduksi alutsista dan peralatan untuk mendukung sistem pertahanan dan keamanan NKRI.

Industri pertahanan strategis bisa dikategorikan sebagai komponen cadangan yang dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama. Karena industri pertahanan strategis merupakan salah satu sumber daya nasional yang mentransformasikan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional

menjadi kekuatan pertahanan negara yang siap digunakan untuk kepentingan negara dalam hal ini untuk menghadapi ancaman (ancaman militer, ancaman non-militer dan/atau ancaman hibrida). Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dijelaskan bahwa ancaman-ancaman tersebut dapat berwujud:

1. Agresi;

2. Terorisme;

3. Komunisme;

4. Separatisme;

5. Pemberontakan bersenjata;

6. Bencana alam;

7. Kerusakan lingkungan;

8. Pelanggaran wilayah perbatasan;

9. Perompakan dan pencurian sumber daya alam;

10. Wabah penyakit;

11. Peredaran dan penyalahgunaan narkoba;

12. Serangan siber;

13. Serangan nuklir;

14. Serangan biologi;

15. Serangan kimia; dan

16. Wujud ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa.

(6)

Berdasarkan penjelasan yang ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, Pemerintah Indonesia telah memahami jenis ancaman dan potensi ancaman yang akan muncul untuk mengganggu stabilitas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia saat ini semakin mendorong perkembangan industri pertahanan strategis, seperti PT. PAL Indonesia, PT. Pindad, PT. LEN Industri agar mampu mendukung dan memenuhi target MEF alutsista TNI yang selaras dengan kebutuhan persenjataan militer, sehingga Indonesia sudah bisa mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan dengan produk militer luar negeri.

Peningkatan Kualitas Industri Pertahanan Strategis Guna Membangun Kekuatan Pertahanan Maritim Dalam Rangka Mewujudkan Visi Poros Maritim Dunia

Mempertimbangkan kualitas barang merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi keputusan konsumen sebelum akan membeli barang. Karena ketika konsumen telah menilai kualitas barang tersebut kurang, maka konsumen akan mencoba mencari barang yang memiliki kualitas lebih bagus. Tentu saja keputusan tersebut selaras dengan kemampuan budget yang dimiliki. Solusi

dari permasalahan tersebut adalah perumusan Minimum Essential Force (MEF) untuk memenuhi kebutuhan pertahanan negara yang dihadapkan pada anggaran pertahanan negara terbatas.

MEF merupakan strategi pembangunan kekuatan Komponen Utama menuju ideal.

Selain itu, MEF tidak diarahkan pada konsep perlombaan persenjataan (arms race) maupun sebagai strategi pembangunan kekuatan untuk memenangkan perang total, namun sebagai bentuk kekuatan pokok yang memenuhi standar tertentu serta memiliki efek tangkal (deterrence effect). MEF merupakan komponen utama yang mendesak pembangunan sistem dan pembangunan kekuatan dalam rangka pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia secara bertahap dari tahun 2010 sampai dengan 202469.

Pembangunan MEF harus diselaraskan dengan sumber daya yang terbatas dengan cara merevitalisasi industri pertahanan, namun harus tetap mampu mengatasi ancaman aktual sebagai skala prioritas tanpa mengesampingkan ancaman potensial ketika TNI melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Untuk membangun postur pertahanan yang kuat, Pemerintah

69 Pengantar Menteri Pertahanan dalam Penyelarasan Minimum Essential Force (MEF) sebagai Komponen Utama. Jakarta:

(7)

Indonesia menggunakan konsep capability-based planning, yaitu

perencanaan pembangunan kekuatan untuk mencapai tingkat kekuatan tertentu yang dibutuhkan guna melaksanakan tugas dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran dan aset negara yang dimiliki.

Kemudian pemerintah juga menggunakan konsep threat based planning, yaitu perencanaan pembangunan kekuatan yang didasarkan pada pendekatan prediksi ancaman yang dihadapi dan perhitungan kebutuhan kekuatan dengan mempertimbangkan kekuatan musuh yang akan dihadapi. Dalam rangka melengkapi 2 (dua) konsep tersebut, perlu adanya konsep flash point, yaitu mengetahui bagian dari wilayah Indonesia yang diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki potensi tinggi terjadinya berbagai ancaman aktual untuk menjadi dasar prioritas dibangunnya komposisi dan disposisi MEF secara bertahap dan berkesinambungan70. Pada tahun 2020, MEF telah memasuki masa awal pada renstra III, sehingga pemerintah sudah bisa melaksanakan evaluasi terhadap pencapaian MEF renstra I (2010-104) dan II (2015-2019) agar MEF Renstra III benar-benar bisa mencapai target yang telah ditetapkan.

70 Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Kebijakan Penyelarasan Minimum Essential Force (MEF) Komponen Utama. Jakarta: Kementerian Pertahanan RI, 2011.

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa pemenuhan alutsista TNI belum sepenuhnya dapat memenuhi target capaian MEF. Pada target MEF renstra II, pemenuhan senjata ringan dan Meriam/roket/rudal matra darat telah mengalami peningkatan, yaitu mencapai 74,2%.

Gambar 1. Data pencapaian Aspek Fisik Alutsista 2010-2024

Sumber: Ditjen Kuathan Kemhan (2018)

Namun peningkatan pencapaian tersebut tidak untuk ranpur dan pesawat terbang matra darat. Kemudian untuk matra laut, pemenuhan KRI, kapal selam dan pesawat udara pada MEF renstra II hampir memenuhi target capaian, yaitu 68,72%

meskipun pemenuhan ranpur marinir belum mencapai target yang ditetapkan.

Selanjutnya pencapaian target MEF renstra II matra udara adalah 44,40%, dimana pencapaian tersebut masih sangat jauh dari target yang ditentukan. Target capaian yang belum terpenuhi untuk matra udara

(8)

adalah belum ada pengadaan radar, rudal Penangkis Serangan Udara (PSU)71.

Apabila menganalisis perkembangan pencapaian target MEF renstra I dan renstra II, maka akan terlihat adanya peningkatan jumlah (secara kuantitas), namun apabila menganalisis kondisi di lapangan, maka sepertinya perlu adanya kaji ulang untuk pemilihan skala prioritas dan peningkatan kualitas agar selaras dengan capability-based planning, threat based planning dan flash point. Kehadiran industri strategis pertahanan yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebuah keuntungan strategis, karena menjadi aset untuk mengembangkan sistem pertahanan secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain. Peningkatan kuantitas alutsista harus selaras dengan peningkatan kualitas, karena kualitas akan berpengaruh pada lifetime dan capability alutsista. Ketika kuantitas ditambah namun tidak selaras dengan kualitas, maka permasalahan yang muncul adalah lifetime alutsista tidak akan berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga pada periode waktu tertentu sudah membutuhkan anggaran untuk perawatan dan perbaikan dalam skala besar. Resiko yang dihadapi adalah alutsista akan berada dalam kondisi yang kurang ideal bahkan tidak siap untuk

71 Aulia Fitri dan Debora Sanur, Pemberdayaan Industri Pertahanan Nasional dalam Pemenuhan Minimum Essential Force (MEF). Kajian singkat terhadap isu aktual dan strategis. Vol. IX, No.

22/II/Puslit/November/2019.

melaksanakan operasi, sedangkan ancaman dan potensi ancaman bisa terjadi serta muncul kapan saja tanpa diketahui waktunya. Ketika peningkatan kuantitas selaras dengan peningkatan kualitas, maka lifetime alutsista dapat berlangsung dalam waktu yang lebih lama, sehingga anggaran hanya dialokasikan tidak terlalu besar karena hanya digunakan untuk perawatan dan perbaikan rutin saja. Keuntungan yang didapatkan adalah alutsista akan berada dalam kondisi siap untuk melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Kesimpulan

1. Pemerintah Indonesia harus segera berbenah untuk memperkuat bargaining power Indonesia di kancah dunia internasional melalui peningkatan nilai mutu strategis, salah satunya dengan meningkatkan kualitas industri pertahanan strategis guna mendorong pengembangan industi perkapalan dan membangun kekuatan pertahanan maritim dalam rangka mewujudkan visi Poros Maritim Dunia.

2. Industri pertahanan strategis bisa dikategorikan sebagai komponen cadangan karena merupakan salah satu sumber daya nasional yang mentransformasikan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional menjadi kekuatan pertahanan negara yang siap meningkatkan kekuatan

(9)

komponen utama guna menghadapi ancaman (ancaman militer, ancaman non- militer dan/atau ancaman hibrida).

Kehadiran industri strategis pertahanan yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebuah keuntungan strategis, karena menjadi aset untuk mengembangkan sistem pertahanan

secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain, sehingga pencapaian target MEF renstra III harus mempertimbangkan pemilihan skala prioritas dan peningkatan kualitas agar selaras dengan capability- based planning, threat based planning dan

flash point.

Referensi

Dokumen terkait

Sementara empat kelompok pengeluaran mengalami inflasi yakni kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 2,31 persen; kelompok perumahan, air,

kabupaten Batang belum memiliki gambar teknik pada kapal bangunan barunya. Kurangnya pemahamanan tentang teknik pembangunan kapal secara modern terutama keutamaan

Hasil survey lapangan Bukan primer Hanya tembusan Areal yang bukan hutan primer dapat diberikan izin baru. Bahan revisi PIPPIB REV

Dari kegiatan penulis yang alami atau dikerjakan selama Praktek Kerja Lapangan di Humas Pemerintah Kabupaten Bandung yang dilakukan hanya dalam waktu 1 ( satu ) bulan,

BPKP pada hakekatnya bertujuan memberikan nilai tambah (value added) melalui dua peran yaitu aktivitas assurance dan consulting. Menyelenggarakan pengawasan intern

kekayaan daerah yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik.. daerah merupakan pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah

Abstrak: Tujuan penelitian ini mengetahui 1) implementasi penilaian autentik dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK) sesuai dengan

dengan gaya kognitif field independent dengan gaya belajar visual yaitu subjek VFI seringkali tidak menuliskan informasi soal pada bagian yang tersedia karena fokus