• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PELAKSANAAN DAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MEKANISME PELAKSANAAN DAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME PELAKSANAAN DAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PENGGUNA BPJS KESEHATAN

DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

BEBY YOLANDA 130200478

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM KEPERDATAAN (BW)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 7

(2)

MEKANISME PELAKSANAAN DAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PENGGUNA BPJS KESEHATAN

DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

BEBY YOLANDA 130200478

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM KEPERDATAAN (BW) Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum NIP. 196602021961032002

Dosen Pembimbing I

Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum NIP. 196602021961032002

Dosen Pembimbing II

Zulkifli Sembiring, S.H., M.Hum NIP. 1969101181988031001

(3)

ABSTRAK

Beby Yolanda*

Rosnidar Sembiring*

Zulkifli Sembiring **

Kompleksitas problem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tidak hanya soal administrasi yang rumit karena lamanya pengurusan administrasi BPJS di pusat pelayanan kesehatan dan pelayanan petugas kesehatan di rumah sakit yang menggunakan tingkat pasien dengan jaminan kesehatan BPJS dibanding pasien umum yang dibayar langsung berobatnya di rumah sakit. Masalah rumit dan biayanya pengurusan administrasi dengan BPJS ini dirasakan oleh banyak masyarakat khususnya yang berobat di rumah sakit umum dimana mereka merasa di pingpong oleh petugas.

Belum lagi sambutan dan pelayanan oleh petugas rumah sakit yang kurang ramah dan layanan rumah sakit yang kacau balau karena rendahnya kinerja sumber daya manusia yang belum optimal dan terbatasnya fasilitas dalam memberikan pelayanan menyebabkan motivasi dan kinerja petugas rumah sakit menurun.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini mekanisme klaim BPJS kesehatan dan sanksi bagi para pihak jika terjadi pelanggaran berdasarkan peraturan yang berlaku. Iuran anggota BPJS kesehatan sudah cukup menangani kebutuhan dari sudut hukum kesehatan.

Faktor yang menghambat pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, serta berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

Mekanisme klaim BPJS kesehatan, peserta mendatangi puskesmas setempat, pemeriksaan di puskesmas, ke rumah sakit rujukan, dan sanksi bagi para pihak jika terjadi pelanggaran berdasarkan peraturan yang berlaku, sanksi bagi peserta yang terlambat membayar iuran BPJS Kesehatan melunasinya saat akan dirawat inap, maka ia akan dikenai denda sebesar 2,5% dari total biaya rawat inap dikali bulan tertunggak maksimal 12 bulan atau maksimal Rp. 30 juta. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas, biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS kesehatan. Faktor yang penghambat pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan, yaitu, tingkat ketersedian aspek pelayanan kesehatan masih menemukan sejumlah masalah yang menghambat pelaksanaan jaminan kesehatan nasional.

Kata Kunci : Kualitas Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan

1

* Mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara.

**Staf Pengajar Hukum Perdata, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

***Staf Pengajar Hukum Perdata, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul:

Mekanisme Pelaksanaan Dan Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Pengguna Bpjs Kesehatan Di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof Dr.Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ok. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakulas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Utara .

(5)

6. Bapak Syamsul Rizal. SH., M.Hum , selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Syamsul Arifin, SH., M.H, selaku dosen pembimbing Akademi penulis mengucapkan terima kasih.

8. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring. SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, penulis mengucapkan terima kasih karena telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.

9. Bapak Zulkifli Sembiring. SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya,telah sabar , banyak menuntun dan mengarahkan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

10. Seluruh dosen dan staf administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

11. Teristimewa kepada Papa Tersayang Zulkarnain BA., dan Mama Nurhaida, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Terima kasih kepada Kakak dan Abang Tersayang Noni Zulindasari, Qory Welly Rahmayani S.Kom., Aci Debby Oktory S.Kes., Dolly, Anggi Rara S.Km yang telah memberikan semangatnya kepada penulis.

13. Terima kasih kepada Tyo Wicaksono, yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis.

(6)

14. Terima kasih kepada Geng Last Minute Sofi Wildani, Difka Tiffany, Rehmulita Sembiring Tengku Irna, Chelsi Andingi, Dewintha Taria, Fikra Anggara, Agitha Ginting, Harning Khairunnisa yang memberikan semangat kepada penulis.

15. Terima kasih kepada Sahabat-sahabat seperjuangan Evi Veronika, Averina Hanjani Siregar, Adrina Qanita Siregar, Cut Rika Kartika yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.

Medan, Juni 2017

Beby Yolanda 130200478

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan... 12

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN ... 14

A. Pengertian dan Asas-Asas Perjanjian ... 14

B. Jenis-Jenis Perjanjian ... 24

C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian ... 30

D. Prestasi dan Wanprestasi/Pembelaan debitur yang wanprestasi 35 E. Berakhirnya Suatu Perjanjian... 41

BAB III TINJAUAN TENTANG KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS A. Landasan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ... 48

(8)

B. Pengertian Pelayanan Kesehatan dan Syarat-Syarat

Pelayanan Kesehatan... 52

C. Sistem Pembiayaan Pembayaran Kesehatan di Indonesia ... 55

D. Pengertian dan Latar Belakang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ... 57

E. Kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ... 60

F. Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan ... 68

BAB IV MEKANISME PELAKSANAAN DAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS 1. Mekanisme Klaim BPJS Kesehatan dan sanksi Bagi Para Pihak Jika Terjadi Pelanggaran Berdasarkan Peraturan Yang berlaku ... 74

2. Iuran Anggota BPJS Kesehatan dengan Pembayaran Cukup Menangani Kebutuhan Dari Sudut Hukum Kesehatan .. 80

3. Faktor yang menghambat pelaksanaan pelayanan terhadap Pengguna BPJS Kesehatan ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya belum semua terpenuhi oleh pemerintah berkaitan dengan masalah kebutuhan primer dan sekunder. Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan dan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, maka seharusnya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat juga harus meningkat, agar kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting agar manusia dapat bertahan hidup dan melakukan aktivitas. Pentingnya kesehatan ini mendorong pemerintah untuk mendirikan layanan kesehatan agar masyarakat dapat mengakses kebutuhan kesehatan.

Layanan kesehatan merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat, oleh karena itu mendapatkan layanan kesehatan adalah hak setiap warga negara Indonesia.

Jaminan Kesehatan Nasional (selanjutnya disebut JKN), dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui JKN bagi kesehatan perorangan. Pemerintah memberikan jaminan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan

(10)

2

Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi atau terbagi-bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Sehingga pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN) yang mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk JKN. JKN ini dikelola melalui suatu badan pemerintah yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut BPJS) yang dinaungi oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU BPJS). Program JKN diselenggarakan oleh BPJS kesehatan yang implementasinya di mulai sejak 1 Januari 2014.

BPJS kesehatan merupakan program kesehatan baru yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Adapun progam BPJS kesehatan berupa perlindungan kesehatan agar peserta jaminan kesehatan dapat memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan juga manfaat perlindungan dalam memenuhi kebutuhan pokok yang diberikan kepada tiap masyarakat yang sudah membayarkan iuran atau pun yang sudah dibayarkan oleh pemerintah, hal ini disebabkan tidak adanya kemampuan secara ekonomi untuk membayar biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal. Walaupun selama ini pemerintah telah membentuk beberapa program jaminan kesehatan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin, namun sebagian besar masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai dengan program sebelumnya. Untuk itu perlu adanya sasaran yang lebih luas lagi dan manfaat yang lebih besar pada setiap peserta.

Oleh karena itu, dibentuklah BPJS yang diharapkan menjadi penyempurna dari

(11)

3

program-program jaminan sosial sebelumnya.2 Penyebab buruknya aspek kesehatan di Indonesia adalah tidak meratanya pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan dalam aspek kesehatan sangat sulit dicapai di Indonesia mengingat kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau yang membuat pembangunan fasilitas kesehatan pada daerah- daerah tertentu masih sangat kurang. Hal tersebut diperparah dengan kesenjangan ekonomi rakyat Indonesia membuat hanya masyarakat berpenghasilan tinggi yang mampu menjangkau biaya kesehatan yang cenderung mahal, sedangkan, masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak dapat menjangkau biaya layanan kesehatan sehingga muncul diskriminasi pelayanan kesehatan (memperoleh keadilan dalam pelayanan kesehatan). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah pada tahun 2004 mengeluarkan Undang-Undang Sisten Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut UU SJSN). UU SJSN ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh rakyat Indonesia salah satu program dari SJSN adalah JKN melalui suatu BPJS. 3 Namun usaha pemerintah sampai saat ini dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan belum dapat memenuhi harapan masyarakat, masih banyak masyarakat yang mengeluh dan tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh BPJS kesehatan baik dari peraturan perundang-undanganya maupun dalam pelaksanaannya. Ketidakjelasan pembagian wewenang, pembagian kerja serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa

2Rismawati, Pelayanan BPJS Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Karan Asam Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda, eJournal llmu Administrasi Negara, Jurnal 3 Vol (5), 2015, hal 1668-1682.

3 http://docplayer.info/201480-Faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kepuasan-pengguna- bpjs-terhadap-pelayanan-bpjs-abstrak.html, diakses tanggal 15 Januari 2017.

(12)

4

mempertimbangkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu.4 Mekanisme pelayanan BPJS kesehatan menggunakan sistem rujukan berjenjang sebagai berikut Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (PPK 1) atau di sebut juga provider tingkat pertama adalah rujukan pertama yang mampu memberikan pelayanan kesehatan dasar, Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat Dua (PPK 2) atau disebut juga provider tingkat dua adalah rujukan kedua yang mampu memberikan pelayanan kesehatan spesialistik dan Pemberi Pelayanan Kesehatan Tingkat Tiga (PPK 3) atau disebut juga provider tingkat tiga adalah rujukan ketiga yang mampu memberikan pelayanan kesehatan sub spesialistik.5 Beberapa permasalahan di BPJS kesehatan yang muncul diantaranya; pertama, sistem pelayanan kesehatan, yang masih adanya penolakan pasien tidak mampu. Hal ini dikarenakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 Tahun 2012 tentang PBI jo. Peraturan Presiden (Perpres) 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai Penerima Bantuan Iuran Kesehatan (PBI) fakir miskin dan orang tidak mampu BPS (2011) Indonesia ± 96,7 juta jiwa.6 Kedua, sistem pembayaran. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan pembiayaan dengan skema Indonesia Case Base Groups (INA CBGs), yaitu

4 Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2006), hal 70.

5 Hubaib Alif Khariza, Program Jaminan Kesehatan Nasional: Studi Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2015, ISSN 2303 - 341X.

6http://www.kabarbangsa.com/2015/08/mencermati-problematika-hukum-bpjs.html?m=1, diakses tanggal 15 Januari 2017.

(13)

5

sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah dan kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes No. 69 Tahun 2013.

Dikeluarkannya Surat Edaran No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum dapat mengurangi masalah di lapangan tersebut. Selain itu kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal. Ketiga, sistem mutu pelayanan kesehatan.

Keharusan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk menjadi peserta BPJS kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111 Tahun 2013 (Pasal 24 dan 27) mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS kesehatan paling lambat 1 Januari 2015.7 Permasalahan lain terkait implementasi payung hukum, perlu dilakukan upaya sinergis dan harmonisasi antar pemangku kebijakan (stakeholder), dalam merumuskan kebijakan yang komprehensif. Sehingga

diperlukan revisi regulasi turunan BPJS kesehatan seperti dalam penetapan cost BPJS kesehatan dan pengaturan penyaluran dana ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia (dokter, perawat, administrasi rumah sakit), sehingga memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta fasilitas kesehatan yang dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif.

7 Ibid.

(14)

6

BPJS kesehatan tidak hanya soal administrasi yang rumit dan berbelit- belit, layanan rumah sakit yang kacau balau, banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin, tetapi sebenarnya berpangkal pada fondasi hukum sistem ini, yakni UU SJSN dan UU BPJS. Program JKN yang pelaksanaannya dipercayakan pada BPJS kesehatan masih jauh dari makna keadilan. Penerapan BPJS kesehatan masih memiliki persoalan dalam banyak hal, diantaranya persoalan BPJS kesehatan sudah muncul sejak proses aktivasi kartu. BPJS menerapkan aturan bahwa kartu pengguna BPJS baru bisa aktif sepekan setelah pendaftaran diterima.

Padahal sakit menimpa tanpa terduga dan tak mungkin dapat di tunda. Rujukan lembaga jasa kesehatan yang ditunjuk BPJS kesehatan juga terbatas dan tidak fleksibel. Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, menyulitkan orang yang sering bepergian dan bekerja di tempat jauh. Masalah lain, rumitnya alur pelayanan BPJS kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas. Banyak peserta BPJS mengeluhkan pembayaran biaya pengobatan yang tak ditanggung sepenuhnya oleh BPJS, sesuai dengan Pasal 2 UU BPJS seharusnya menyelenggarakan sistem jaminan sosial berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.8

Berdasarkan uraian dan permasalahan di atas penulis memilih judul Mekanisme Pelaksanaan dan Kualitas Pelayanan Kesehatan terhadap Pengguna

8https://m.tempo.co/read/news/2015/08/09/173690357/4-masalah-paling-dikeluhkan- dalam-pelayanan-bpjs-kesehatan, 11 Maret 2017.

(15)

7

BPJS Kesehatan di tinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS.

B. Permasalahan

Bertitik tolak pada latar belakang penelitian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan, sebagai berikut :

4. Bagaimana mekanisme klaim BPJS kesehatan dan sanksi bagi para pihak jika terjadi pelanggaran berdasarkan peraturan yang berlaku?

5. Apakah iuran anggota BPJS kesehatan sudah cukup menangani kebutuhan dari sudut hukum kesehatan?

6. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini :

1. Untuk mengetahui mekanisme klaim BPJS kesehatan dan sanksi bagi para pihak jika terjadi pelanggaran berdasarkan peraturan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui iuran anggota BPJS kesehatan sudah cukup menangani kebutuhan dari sudut hukum kesehatan.

3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

(16)

8

1. Manfaat teoritis

Diharapkan hasil penelitian memberikan kontribusi guna pengembangan keilmuan terutama yang berkaitan langsung dengan mekanisme pelaksanaan dan kualitas pelayanan kesehatan terhadap pengguna BPJS kesehatan.

2. Manfaat praktis

Menambah pengetahuan dan untuk meringankan beban dalam pemenuhan kebutuhan terkait kesehatan dan lebih mengenal BPJS kesehatan agar dapat dimanfaatkan secara bijaksana.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakan yang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi terkait dengan judul Mekanisme Pelaksanaan dan Kualitas Pelayanan Kesehatan terhadap Pengguna BPJS Kesehatan di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Namun ada beberapa peneltian yang membahas tentang BPJS, yaitu:

1. Nurul Dwi Oktari STP (2014), dengan judul penelitian Perbedaan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja melalui Asuransi Jamsostek dengan Program BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) berdasarkan Undang- Undang No. 24 tahun 2011 (Studi pada PT. Jamsostek Cabang Medan), adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Tata cara penanganan dalam mengatasi masalah ketidak sesuaian data para pekerja dilihat dari sudut pandang Jamsostek dan sudut pandang BPJS

(17)

9

b. Perbandingan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja yang diberikan oleh Jamsostek dan BPJS akibat hukum terhadap perusahaan yang telat membayar iuran kepada Jamsostek dan BPJS.

2. Ernanda Ihutan (2015), dengan judul penelitian Analisa Yuridis Mengenai Perubahan Sistem Asuransi Jiwa PT. Jamsostek (Persero) Menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (Studi BPJS Ketenagakerjaan Cabang Binjai), adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Alasan hukum peralihan jaminan sosial tenaga kerja menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

b. Perbandingan sistem asuransi jiwa menurut PT. Jamsostek dengan BPJS Ketenagakerjaan

c. Hambatan pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan pada BPJS ketenagakerjaan di Binjai

3. Muhammad Akbar Siregar (2015), dengan judul penelitian Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang- Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Ruang lingkup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan.

b. Prosedur dan mekanisme kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan.

(18)

10

c. Sanksi bagi pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerja/buruh ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan.

F. Metode Penelitian

Guna menghasilkan karya tulis ilmiah ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat diperoleh dari penelitian, maka metode penelitian yang digunakan, yaitu:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.9 Metode pendekatan hukum normatif yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang- undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.10 Penelitian normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.11

9 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2006), hal. 57.

10 Ibid, hal.36

11 Ibid

(19)

11

2. Sifat penelitian

Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Penelitian bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.12

3. Pengumpulan data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang- undangan, buku-buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah dan jurnal serta makalah yang berkaitan dengan penelitian.13

4. Analisa data

Guna menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis yang berdasarkan data yang diperoleh, sifat data yang dikumpulkan hanya sedikit, besifat monografis atau berwujud kasus-kasus. Analisis kualitatif yaitu analisis data berdasarkan norma hukum secara mendalam dengan melihat tingkat relevansi norma-norma, teori, asas, dan prinsip-prinsip hukum termasuk doktrin-doktrin tentang arbitrase terhadap permasalahan. Data yang telah dianalisis kemudian diungkapkan secara deduktif

12 Ibid.

13 Ibid.

(20)

12

dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat terjawab.

G. Sistematika Penulisan

Guna penyusunan skripsi ini, penulis membaginya dalam 5 (lima) bab, di mana tiap-tiap bab dibagi lagi atau pembagian sub bab. Tujuan dari pembagian sub bab ini adalah untuk mempermudah penulis dalam menguraikan permasalahan secara teoritis hingga akhirnya diperoleh kesimpulan dan saran.

Adapun rencana dan hasil penelitian ini dituliskan sebagai laporan penelitian menurut sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini penulis menguraikan tentang hal yang bersifat umum serta alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, dan metode penelitian.

Sebagai penutup bab ini diakhiri dengan memberikan sistematika penulisan dari skripsi ini.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN

Bab ini berisikan pengertian dan asas-asas perjanjian, jenis-jenis perjanjian, syarat sahnya suatu perjanjian dan prestasi dan wanprestasi/pembelaan debitur yang wanprestasi serta berakhirnya suatu perjanjian.

BAB III TINJAUAN TENTANG KUALITAS PELAYANAN

KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

(21)

13

Bab ini berisikan landasan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan, pengertian pelayanan kesehatan dan syarat- syarat pelayanan kesehatan, sistem pembiayaan pembayaran kesehatan di Indonesia, pengertian dan latar belakang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan, Kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan hak dan kewajiban peserta BPJS kesehatan.

BAB IV MEKANISME PELAKSANAAN DAN KUALITAS

PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PENGGUNA BPJS KESEHATAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS

Bab ini berisikan mekanisme klaim BPJS kesehatan dan sanksi bagi para pihak jika terjadi pelanggaran berdasarkan peraturan yang berlaku. Iuran anggota BPJS kesehatan sudah cukup menangani kebutuhan dari sudut hukum kesehatan dan faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran merupakan penutup dalam penulisan skripsi ini, dalam hal ini penulis menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran. Demikian gambaran ringkas dari seluruh isi skripsi ini. Sebagai pelengkap dari skripsi ini, pada bagian akhir akan penulis.

(22)

BAB II

TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN

F. Pengertian dan Asas-Asas Perjanjian

Dinamika perkembangan masyarakat tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain atau yang dikenal sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Melalui interaksi sosial yang selalu dilakukan itulah muncul perjanjian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.14

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) dinyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.15 Bahwa dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Dalam hal ini dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas suatu prestasi tersebut.

14Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ihktisar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), hal. 458.

15 Ahmadi Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 KUH Perdata), (Jakarta, Rajawali Pers, 2011), hal. 63.

(23)

15

Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan yang dinyatakan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri“ sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara pihak-pihak.

2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya digunakan kata persetujuan

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, yaitu janji kawin yang yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.16

Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman kelemahan pengertian perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu:

Pengertian perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. pengertian itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.17

Pengertian perjanjian para pakar sarjana hukum memiliki pendapat yang berbeda-beda satu sama lain, ini terjadi karena masing-masing ingin mengemukakan atau memberikan pandangan yang dianggapnya lebih tepat.

Beberapa pandangan mengenai perjanjian adalah :

16 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung, Citra Aditya, 1992). hal 78.

17 Mariam Darus Badrulzaman, (1) Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2001) hal. 65.

(24)

16

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang pembuatnya. Dalam bentuknya perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.18

Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.19

Menurut Ahmadi Miru, perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 20

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Asas hukum merupakan suatu landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum. Peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum

18 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan 19, (Jakarta, Intermasa, 2005), hal. 1.

19 Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 140.

20 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta, Rajawali Pers, 2017), hal. 1

(25)

17

dari peraturan konkrit tersebut. Ada tiga belas asas perjanjian, akan tetapi menurut para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting, yaitu:

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak Perancis.

Kehendak itu dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis dan mengikat para pihak dengan segala akibat hukumnya (Donald Harris and Dennis Tallon) sebagaimana diketahui Code Civil Perancis mempengaruhi Burgerlijk Wetbook (BW) Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi

maka BW Belanda diadopsi dalam KUH Perdata Indonesia. 21

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.

Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”22. Asas kebebasan berkontrak ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dinyatakan bahwa : “semua

21 Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisis Kasus), (Jakarta, Kencana, 2014), hal 4.

22Salim H.S., (1) Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hal 9.

(26)

18

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”23. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasa 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat sahnya perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.24

Keempat hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang- undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

23Ibid.

24 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian DiIndonesia, (Yogyakarta, Pustaka Yustisia,2002), hal 44

(27)

19

2. Asas Konsensualisme (Persesuaian Kehendak)

Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan dengan sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.25

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata26 dalam pasal itu dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak, ini mengandung makna, suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.

25Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariata, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 29

26 Salim H.S (2), Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hal 10

(28)

20

3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dinyatakan pada Pasal 1338 ayat (1) yang dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dinyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”27

4. Asas Iktikad Baik (Geode Trouw)

Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3). Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perunding- perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khususnya yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah

27 Salim H.S, (1) Loc.Cit.

(29)

21

pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani perjanjian atau masing-masing harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup perjanjian yang berkaitan dengan iktikad baik.28

Ada dua asas makna iktikad baik, pertama, dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Dalam kaitan ini iktikad baik atau bonafides diartikan perilaku yang patut dan layak antara dua belah pihak (redelijkheid en billikheid). Pengujian apakah suatu tingkah laku itu patut dan adil didasarkan pada norma-norma objektif yang tertulis. Kedua iktikad baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat, seperti pembayaran dengan iktikad baik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1386 KUH Perdata.29

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditor, maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.30

28 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 5

29 Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, (Yang Lahir dari Hubungan Kontraktual (Jakarta, Kencana, 2014), hal 77.

30 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, (1) Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian), (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003), hal.80.

(30)

22

Walaupun iktikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap pra perjanjian, secara umum iktikad baik harus selalu ada pada tahap perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu dapat diperhatikan oleh pihak lain.

5. Asas Kepribadian (Personalia)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseoang yang akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perorangan saja. Hal ini dapat dinyatakan pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

Asas personalia dinyatakan pada Pasal 1315 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “Pada umumya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri”.

Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga).31 Intinya ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk penting dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang dinyatakan dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa

31 Ibid, hal. 15

(31)

23

seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hakl daripadanya.32

Asas kepribadian disimpulkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.

Munir Fuady, beberapa asas lainnya dalam hukum perjanjian, yaitu: . 1. Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya

mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan katakata dalam kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan 395 lembar, hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah melakukan wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400 lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam bisnis semacam itu.

2. Sutu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH Perdata, hal tersebut tidak dibenarkan. 33

Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan beberapa asas lain yang dinyatakan dalam KUH Perdata yaitu:

1. Asas kepercayaan. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak

32 Salim H.S (2), Op.Cit, hal 13.

33 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 82-83.

(32)

24

mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

2. Asas persamaan hukum. Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

3. Asas keseimbangan. Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

4. Asas kepastian hukum. Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

5. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunya kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

6. Asas kepatutan. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.34

G. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang bukan merupakan perjanjian yang bersahaja atau perjanjian yang dapat dilaksanakan dengan mudah karena para pihak hanya terdiri atas masing-masing satu orang dan objek perjanjiannya pun hanya satu macam, dan lain-lain yang terkait dengan perjanjian tersebut serba bersahaja.35

34 Mariam Darus Badrulzaman, (1), Op.Cit, hal 87-89.

35 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 52.

(33)

25

Perjanjian yang tidak bersahaja yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian Bersyarat

Perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi.

Perjanjian bersyarat ini dapat dibagi dua, yaitu perjanjian dengan syarat tangguh dan kontak dengan syarat batal. Suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi sedangkan suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat batal jika untuk batalnya atau berakhirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum tentu akan terjadi. Berkenaan dengan hukum perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUH Perdata. Berlaku syarat batal maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan. Dengan demikian, syarat batal itu

(34)

26

mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.36

2. Perjanjian dengan Ketetapan Waktu

Perjanjian dengan ketentuan waktu dinyatakan dalam Buku III, Bab I, bagian 6 (enam) meliputi Pasal 1268-1271 KUH Perdata. Perjanjian dengan ketentuan waktu adalah perjanjian yang berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi. Pada umumnya jika peristiwanya belum tentu terjadi maka termasuk dalam perjanjian bersyarat.

Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau ketentuan waktu, dengan melihat maksud dari para pihak37

3. Perjanjian Mana Suka atau Alternatif

Perjanjian mana suka atau alternatif diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1277 KUH Perdata. Dalam perjanjian alternatif, debitur dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah satu di antara prestasi yang telah ditentukan. Di sini alternatif didasarkan pada segi sisi dan maksud perjanjian.38 Dalam hal terjadi perjanjian mana suka ini, debitur diperkenankan untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam perjanjian.

Hak untuk memilih dalam perjanjian mana suka ini selalu dianggap diberikan kepada debitur, kecuali kalau secara tegas hak memilih tersebut diberikan kepada kreditur.39

36 Subekti, Op.Cit, hal 6.

37 Ahmadi Miru & Sakka Pati, Op.Cit, hal 245

38 Salim. H.S. (3) Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2006), hal 180.

39 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 56.

(35)

27

4. Perjanjian Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung

KUH Perdata tidak memberikan satu pengertian atau definisi perjanjian tanggung menanggung atau perjanjian tanggung renteng.40 Berdasarkan ketentuan Pasal 1278 KUH Perdata dan Pasal 1280 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa:

Berdasarkan ketentuan Pasal 1278 KUH Perdata dan Pasal 1280 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian tanggung-menanggung atau perjanjian tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang di antara mereka, membebaskan debitur meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi.

5. Perjanjian yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi

Suatu perjanian, dapat atau tak dapat dibagi, adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu. Soal dapat dibagi atau tidak dapat dibaginya suatu prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksud perikatan itu. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tak dapat dibagi kewajibannya untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi-bagi tanpa kehilangan hakikatnya.41

40Gunawan Wijaya dan Kartini Muljadi, (2) Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006), hal.118

41Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Jakarta, Pradnya Paramita, 2006), hal. 299

(36)

28

6. Perjanjian dengan ancaman hukuman

Ancaman hukuman merupakan suatu klausul kontrak yang memberikan jaminan kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan ketika debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Ancaman hukuman ini boleh diubah oleh hakim manakala debitur telah memenuhi sebagian prestasinya. Pada dasarnya ancaman hukuman adalah ganti kerugian yang ditetapkan lebih dahulu oleh para pihak manakala debitur lalai memenuhi prestasinya sehingga kreditor tidak diperkenankan menuntut prestasi pokok bersama-sama dengan ancaman hukumannya, kecuali kalau ancaman hukuman itu sekedar dijatuhkan terhadap keterlambatan pemenuhan prestasi.42

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUH Perdata. Perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.

b. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Seperti perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan

42 Subekti, Op.Cit, hal 2.

(37)

29

barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

c. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Seperti hibah dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUH Perdata.

d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Seperti perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUH Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUH Perdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).

Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.

e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII.

Seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-

(38)

30

undang. Seperti perjanjian pembiayaan, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.43

Berdasarkan jenis-jenis perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa semua jenis-jenis perjanjian tersebut di atas masing-masing mempunyai konsekuensi hukum bagi para pihak dalam perjanjian.44 Jenis perjanjian yang digunakan dalam BPJS Kesehatan adalah perjanjian bersyarat sesuai dengan Pasal 1265 KUHPerdata, yang dinyatakan bahwa Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian.

H. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya, perjanjian tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Oleh karena itu, agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang, haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Syarat sah perjanjian dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1. Kesepakatan

Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan (konsensus) para pihak. Kesepakatan ini dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1)

43 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung, Alfabeta, 2003), hal 82.

44 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)cetakan kedua, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007), hal 3

(39)

31

KUHPerdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. 45

Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri artinya bahwa semua pihak menyetujui atau sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan ataupun penipuan. Hal ini berdasarkan dalam ketentuan Pasal 1321 yang dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena paksaan.Adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman Pasal 1324 KUH Perdata, adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat Pasal 1328 KUH Perdata. Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2. Kecakapan

Kecakapan yang dimaksud dalam Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata syarat kedua yaitu kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikatkan diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.46 Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari usia dewasa atau cukup umur, dikatakan dewasa bagi mereka yang sudah berumur 21 tahun dengan landasan Pasal 1330 KUH Perdata. Sementara pada sisi lain menggunakan standard usia 18 tahun, sebagai Pasak 47 juncto Pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

45 Salim H.S, (2), Op.Cit, hal 23

46 Yahman, Op.Cit, hal 58-59

(40)

32

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata yang dimaksud tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa.

b. Mereka yang dibawah pengampunan.

c. Perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan tertentu.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 1963 ketentuan mengenai kedudukan wanita telah bersuami itu diangkat sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan tidak memerlukan bantuan suaminya dengan demikian sub ketiga dari Pasal 1330 KUH Perdata telah dihapus. Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan bahwa : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelum mereka genap 21 tahun, maka mereka kembali berstatus belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan rasa. Dari uraian tentang usia dewasa dapat disimpulkan bahwa dewasa adalah bagian mereka yang sudah genap umur 21 tahun. 47

3. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu berarti bahwa sesuatu yang diperjanjikan atau yang menjadi objek perjanjian harus jelas, dan dapat ditentukan jenisnya. Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok

47 Ibid

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Analisis data dilakukan dengan dua cara analisis deskriptif, yang bertujuan untuk menganalisis perilaku produsen, distributor dan pedagang ritel dalam melakukan penetapan harga,

Sehubungan dengan Persetujuan Hasil Evaluasi Kualifikasi dari General Manager Nomor : CL.PM.06.191 tanggal 27 April 2016, dengan ini kami sampaikan PENGUMUMAN

Kegiatan yang dilakukan selama melaksanakan kerja praktik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya akan dilaporkan dengan rincian

Dari Gambar 6 terlihat bagaimana perbaikan yang dilakukan pada proses produksi dengan penambahan satu hopper pada persiapan material sebagai cadangan untuk

Dengan demikian, perbedaan yang cukup signifikan adalah, dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menjelaskan bahwa, selain sistem pesantren yang dinilai memiliki

Perilaku nyeri akan diobservasi selama 10 menit protokol aktivitas ini meliputi : duduk untuk periode 1 menit dan lagi selama 2 menit, berdiri untuk periode 1 menit dan lagi selama

Sumber air yang terdapat pada daerah ini digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik itu pada kegiatan domestik ataupun kegiatan pertanian,

(1) how lexical density progresses among and within the selected English textbooks, (2) how lexical variation progresses among and within the selected English