• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PANJANG BERAT DAN FAKTOR KONDISI IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN PANJANG BERAT DAN FAKTOR KONDISI IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PANJANG BERAT DAN FAKTOR KONDISI IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI PERAIRAN SUNGAI

ASAHAN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

RIZKI MAULIDAH 150805024

PROGRAM STUDI BIOLOGI S-1

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

HUBUNGAN PANJANG BERAT DAN FAKTOR KONDISI IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI PERAIRAN SUNGAI

ASAHAN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RIZKI MAULIDAH 150805024

PROGRAM STUDI BIOLOGI S-1

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)
(4)
(5)

HUBUNGAN PANJANG BERAT DAN FAKTOR KONDISI IKAN BATAK (Neolissochilus sumatranus) DI PERAIRAN SUNGAI

ASAHAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Ikan batak (Neolissochilus sumatranus) merupakan ikan endemik di beberapa sungai di Sumatera khususnya di Hulu Sungai Asahan Sumatera Utara dan termasuk dalam kategori terancam punah berdasarkan IUCN Red List. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan panjang berat spesies ikan Neolissochilus sumatranus dan menganalisis faktor kondisi dan fisika-kimia di sungai Asahan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan yang diperoleh bersifat allometrik negatif, kecuali di stasiun 1 (allometrik positif). Nilai faktor kondisi ikan batak berkisar antara 1,9996-2,8058 sehingga termasuk ke dalam kisaran nilai K antara 2-4 yaitu bentuk badan agak pipih. Kualitas air di setiap stasiun memenuhi baku mutu untuk air kelas III berdasarkan peraturan pemerintah No 82 tahun 2001 sehingga masih mendukung kehidupan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di sungai Asahan.

Kata Kunci: Faktor kondisi, Hubungan panjang-berat, Neolissochilus sumatranus, Sungai Asahan.

(6)

LENGHT-WEIGHT RELATIONSHIPS AND CONDITION FACTOR OF BATAK FISH (Neolissochilus sumatranus) IN NORTH SUMATERA ASAHAN

RIVER WATERS

ABSTRACT

Batak Fish (Neolissochilus sumatranus) is one endemic fish in several rivers in Sumatera, especially in the upstream of Asahan river. This fish is included as endangered species by the IUCN Red List. This research was aims to analyze the lenght-weight relationship of Neolissochilus sumatranus and to analyze chemical physical factors in Asahan river. The results of the research show that the type of growth obtained is allometric negative, except at station 1 (allometric positive). Base on the score of condition factor batak fish ranges from 1,9996-2,8058 so that it falls into the K range 2-4 was slightly flat bodies. The water quality of all stations met the quality standards for class III according to government regulation No 28 of 2001 therefore, it was concluded the water quality supported the life of batak fish (Neolissochilus sumatranus) in Asahan river.

Keyword : Condition Factor, Length-Weight Relationship, Neolissochilus sumatranus, Asahan River.

(7)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) di Perairan Sungai Asahan Sumatera Utara.

Selesainya hasil penelitian ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dengan rasa penuh hormat, tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan yang begitu banyak baik materil, masukan, bimbingan, serta arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian serta penyempurnaan hasil ini, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas kebaikan beliau. Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si serta Ibu Dra.

Deny Supriharti, M.Sc selaku dosen penguji saya yang telah banyak memberi saran dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini dengan baik. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Doni Aldo Samuel Siahaan M.Si. selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak memberi arahan, motivasi dan segala waktu luang yang disediakan bagi penulis untuk berdiskusi kegiatan akademik maupun perkembangan dalam penyelesaian Skripsi dengan baik. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku Ketua Progam Studi Biologi dan Bapak Riyanto Sinaga, M.Si. selaku sekretaris Progam Studi Biologi FMIPA USU, Bapak Dr. Kerista Sebayang, M.Si. selaku Dekan FMIPA USU dan seluruh Wakil Dekan FMIPA USU serta seluruh staff dosen maupun pegawai yang telah memberikan ilmu yang tak terhingga di kampus, laboratorium maupun di lapangan.

Terimakasih penulis sampaikan kepada desa Asahan Tiga serta tim lapangan bang Doni, bang Aries dan Erdy yang telah banyak membantu peneliti di lapangan maupun dalam penyusunan Skripsi. Terimakasih penulis sampaikan kepada laboratorium Shafera Environment beserta staff yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan penulisan Skripsi.

(8)

Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kedua orangtua, Ayahanda Karnen Lubis dan Ibunda Saerani atas segala kasih sayang, do’a, dukungan serta motivasi yang tak henti diberikan kepada penulis, serta kepada kakak Nur Yaniah, kakak Halimah Husni, kakak Nur Aliyah, adek tersayang Izhar Zaini dan Ahmad Aidil selaku saudara kandung yang telah memberi kasih sayang, mendoakan dan memotivasi penulis hingga saat ini.

Terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman SOY 2015 yang telah bersama-sama dalam melewati masa perkuliahan yang menyenangkan dan banyak kesan. Terimakasih penulis sampaikan kepada sahabat YOLO, Riska, Fuji, Maya, Nisa dan Asri yang telah menemani dan berjuang bersama selama masa perkuliahan.

Terimakasih kepada seluruh rekan yang tidak tersebut namanya. Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua amin. Demikian yang dapat penulis sampaikan, atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2021

Rizki Maulidah

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

PENGHARGAAN iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

DAFTAR SINGKATAN xi

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat penelitian 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai 3

2.2 Sungai Asahan 3

2.3 Ikan 4

2.3.1 Genus Neolissochilus 5

2.3.1.1 Neolissochilus sumatranus 5

2.4 Hubungan Panjang-Berat Ikan 5

2.5 Parameter Fisika-Kimia Perairan 6

2.5.1 Parameter Fisik 6

2.5.1.1 Temperatur 6

2.5.1.2 Kekeruhan 7

2.5.1.3 Kecepatan Arus 7

2.5.1.4 Intensitas Cahaya 8

2.5.1.5 Penetrasi Cahaya 8

2.5.2 Parameter Kimia 8

2.5.2.1 Potensial of Hydrogen (pH) 8

2.5.2.2 Dissolved Oxygen (DO) 9

2.5.2.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) 9

2.5.2.4 Nitrat danFosfat 9

2.6 Faktor Kondisi 10

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Deskripsi Area 11

3.2.1 Stasiun I 11

3.2.2 Stasiun II 12

3.2.3 Stasiun III 12

3.2.4 Stasiun IV 13

(10)

3.3 Metode Penelitian 13

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan 13

3.3.2 Identifikasi 13

3.3.3 Analisis Data 14

3.3.4 Pengukuran Faktor Fisika-Kimia 15

3.3.4.1 Dissolved Oxygen (DO) (mg/l) 15

3.3.4.2 Potensial of Hydrogen (pH) 15

3.3.4.3 Temperatur (oC) 15

3.3.4.4 Penetrasi Cahaya (m) 16

3.3.4.5 Intensitas Cahaya (cd) 16

3.3.4.8 Kecepatan Arus (m/s) 16

3.3.4.7 Biologycal Oxygen Demand (BOD5) 16

3.3.4.8 Kekeruhan (NTU) 16

3.3.4.9 Nitrat (NO3) (mg/l) 17

3.3.4.10 Fosfat (PO4) (mg/l) 17

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) 18

4.2 Faktor Kondisi 23

4.3 Faktor Fisika-Kimia Perairan 23

4.3.1 Dissolved Oxygen (DO) 24

4.3.2 pH 25

4.3.3 Temperatur 25

4.3.4 Penetrasi Cahaya 26

4.3.5 Intensitas Cahaya 26

4.3.6 Kecepatan Arus 27

4.3.7 Biologycal Oxygen Demand (BOD5) 27

4.3.8 Kekeruhan 28

4.3.9 Nitrat (NO3) 29

4.3.10 Fosfat (PO4) 29

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 31

5.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.5 4.1

Parameter dan metode pengukuran faktor fisika-kimia Hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus)

15 18 4.6 Faktor kondisi ikan batak (Neolissochilus sumatranus) 23 4.7 Nilai faktor fisika-kimia perairan sungai Asahan pada

setiap stasiun 24

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

3.1 Sungai Tangga 11

3.2 Sungai Baturangin 12

3.3 Sungai Parhitean 12

3.4 Sungai Hula-Huli 13

4.2 Hubungan panjang-berat ikan batak

(Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 1

19 4.3 Hubungan panjang-berat ikan batak

(Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 2

20 4.4 Hubungan panjang-berat ikan batak

(Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 3

21 4.5 Hubungan panjang-berat ikan batak

(Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 4

22

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1 Peta Lokasi Penelitian 35

2 Foto Kerja 36

3 Bagan Kerja Metode Winkler (Inkubasi) untuk

Mengukur BOD5 38

4 5 6 7

Bagan Kerja untuk Analisis Nitrat (NO3) Bagan Kerja untuk Analisis Fosfat (PO4) Hasil Pengukuran BOD5, Nitrat dan Fosfat

Analisis Data Hubungan Panjang-Berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus)

39 40 41 42

(14)

DAFTAR SINGKATAN

DO = Dissolved Oxygen

BOD = Biologycal Oxygen Demand

pH = Potencial Of Hydrogen

PLTA = Pembangkit Listrik Tenaga Air

ATP = Adenosine Triphosfate

ADP = Adenosine Diphosphate

LU = Lintang Utara

BT = Bujur Timur

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan tingkat biodiversitas tertinggi setelah Brazil. Secara geografis wilayah Indonesia berada di antara dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Pasifik sehingga membuat keanekaragaman hayati melimpah. Keanekaragaman ikan di Indonesia sangat banyak. Di Asia Tenggara terdapat 2917 jenis ikan air tawar yang teridentifikasi. Jumlah jenis ikan air tawar Indonesia berdasarkan koleksi yang ada di Museum Zoologi Bogor sekitar 1300 jenis, hampir 44% ikan di Asia Tenggara berada di Indonesia. Jumlah jenis ikan di pulau Sumatera ada 272 jenis dengan 30 jenis endemik (11%) (Kottelat et al., 1993).

Sungai Asahan secara geografis terletak pada 2º 56’ 46,2” LU dan 99º 51’

51,4” BT. Sungai Asahan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai ini mengalir dari outlet Danau Toba, melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka. Daerah aliran Danau Toba adalah suatu batasan daerah menurut kondisi topografi semua air hujan yang turun akan mengalir ke danau. Daerah aliran ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan melintasi Porsea. Sungai Asahan yang memiliki panjang 150 km mengalirkan air keluar dari danau Toba sampai Selat Malaka (Loebis, 1999).

Neolissochilus merupakan ikan endemik di beberapa sungai di Sumatera khususnya di Hulu Sungai Asahan Sumatera Utara dan telah masuk dalam kategori terancam punah (Vulnerable) berdasarkan IUCN Red List dan sudah sangat sulit untuk ditemukan di habitat alaminya (Simanjuntak, 2012), dengan populasinya kian lama kian menurun dikarenakan beberapa faktor seperti lenyapnya habitat, pemanasan global (Wargasasmita, 2005), aktivitas penangkapan yang berlebihan, serta adanya desakan lingkungan tempat ikan-ikan ini berkembang biak menjadi rusak. Ikan batak atau lebih populer disebut “ihan batak” yang terdistribusi di air deras dan dijumpai di upacara – upacara adat sebagai syarat terlaksananya kegiatan adat tersebut (Zairin et al., 2005). Ikan ini biasa hidup di sungai yang berpasir maupun berbatu, dengan suhu yang relatif rendah (16 – 26 oC), berair jernih, pH

(16)

netral dengan stabilitas perairan yang baik serta memiliki kelimpahan jenis individu plankton yang rendah didominasi oleh chlorophyceae. Berdasarkan sifat fisika, kimia dan biologi perairan habitat ikan batak termasuk ke dalam oligotropik (Simangunsong et al., 2015).

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang dirumuskan adalah:

1. Apakah sebaran hubungan panjang berat memenuhi kriteria pola pertumbuhan yang baik di sungai Asahan?

2. Apakah faktor kondisi dan faktor fisika-kimia sungai Asahan memenuhi kriteria sebagai perairan yang baik bagi perkembangan dan pertumbuhan spesies ikan Neolissochilus sumatranus yang akan diteliti di perairan sungai Asahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis hubungan panjang berat spesies ikan Neolissochilus sumatranus di sungai Asahan.

2. Menganalisis faktor kondisi dan faktor fisika-kimia perairan sungai Asahan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah dan sebagai data awal mengenai hubungan panjang dan berat ikan air tawar di perairan sungai Asahan Sumatera Utara, sehingga diharapkan masyarakat berupaya menjaga keseimbangan pola pertumbuhan ikan dengan menjaga kualitas perairan serta dapat memanfaatkan ikan hasil sungai Asahan dengan sebaik mungkin.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Air merupakan faktor yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan ikan maupun organisme lainnya. Parameter kualitas air yang umum berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan adalah temperatur, pH, oksigen terlarut, cahaya, arus, dan lain sebagainya. Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan dari organisme tersebut. Sebagai salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva, kualitas air perlu dijaga dalam kondisi prima, baik dalam aspek fisika, kimia dan biologi (Boyd, 1996).

Sungai merupakan sumber daya alam yang banyak manfaatnya. Selain sebagai media bagi organisme akuatik juga sebagai sarana terpenuhinya perekonomian masyarakat sekitar, dengan memanfaatkan ikan sebagai hasil produksi untuk kemudian dipasarkan. Ikan merupakan salah satu jenis penghuni perairan yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Baik itu oleh kegiatan manusia maupun perubahan yang terjadi karena pengaruh bencana alam. Pola pertumbuhan jenis ikan di suatu perairan akan dipengaruhi oleh parameter lingkungan seperti kondisi suhu, oksigen terlarut dan faktor lainnya. Bila kondisi parameter-parameter tersebut optimal, ikan akan mengalami pola pertumbuhan yang ideal. Untuk mengkaji pola pertumbuhan pada ikan digunakan data panjang dan berat ikan (Effendie, 2002).

Faktor yang mempengaruhi ekosistem ini ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor abiotik, sehingga diperoleh suatu gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004).

2.2 Sungai Asahan

Sungai Asahan termasuk ke dalam perairan lotik karena mempunyai kecepatan arus yang tinggi. Aliran-aliran sungai yang berarus deras di sekitar sungai

(18)

Asahan inilah yang menjadi habitat alami ikan batak dari Genus Neolissochilus dan Tor, salah satunya yaitu dari jenis Tor douronensis. Ikan batak merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting khususnya bagi masyarakat Batak, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Ikan batak juga merupakan ikan konsumsi bernilai tinggi dengan tekstur daging yang tebal dan lezat, sehingga banyak digemari masyarakat (Lumbantoruan, 2013).

Sungai Asahan merupakan sungai terbesar di wilayah pesisir Asahan. Sungai ini memiliki meanders besar, banyak endapan di tengah sungai, hampir tanpa kecepatan, gradien kecil, dan lembah sungai yang lebar, yaitu sampai ± 1 km di daerah muaranya. Sungai ini sering mengakibatkan banjir karena mengalir di daerah datar dan memiliki banyak pertemuan dengan sungai dewasa dan sungai tua lain yang mengalir sebagai anak sungainya, sehingga membentuk delta sungai yang merupakan dataran banjir dan rawa di wilayah pertemuan sungai tersebut dengan laut (Lukman, 2017).

2.3 Ikan

Ikan merupakan salah satu jenis organisme penghuni perairan yang rentan terhadap perubahan lingkungan seperti penangkapan ikan secara besar-besaran. Ikan dapat ditemukan dalam jumlah yang besar di suatu perairan jika kondisi lingkungan perairan tersebut sesuai dengan kebutuhan hidupnya dan memiliki ketersediaan makanan yang memadai. Secara umum, ikan mengalami pertumbuhan terus menerus sepanjang hidupnya. Pertumbuhan adalah keterkaitan dengan masalah perubahan dalam besar jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu yang biasanya diukur dengan mengukur berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik (Saputra, 2014).

Ikan merupakan organisme vertebrata akuatik dan bernafas dengan insang.

Ciri-ciri umum dari golongan ikan adalah mempunyai rangka bertulang sejati dan bertulang rawan, mempunyai sirip tunggal dan berpasangan, mempunyai operculum yang menutup insang, tubuh ditutupi oleh sisik dan berlendir serta mempunyai bagian tubuh yang jelas antara caput (kepala), truncus (badan) dan caudal (ekor).

Ukuran ikan bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar, bentuk tubuh berbentuk torpedo, pipih, dan ada yang berbentuk tidak teratur (Rupawan, 1999).

(19)

2.3.1 Genus Neolissochilus

Ikan batak telah lama dikenal masyarakat Batak di Sumatera Utara. Ikan ini termasuk komoditas eksotis dan memiliki nilai religius tersendiri, terutama dalam upacara adat. Sekarang ikan tersebut mulai langka karena penangkapan yang berlebihan (overfishing), serta perkembangbiakan di alam yang menurun, akibat terganggunya kondisi lingkungan. Secara historis, pelestariannya telah lama dilakukan di Sungai Asahan. Prosesnya melibatkan hak adat, dengan adanya hukum adat untuk menangkap ukuran dan lokasi penangkapan pada daerah tertentu. Tetapi hal tersebut tidak juga mampu mengatasi tingkat penurunan populasi ikan batak khususnya dari genus Neolissochilus. Salah satu spesies dari genus ini yaitu, Neolissochilus sumateranus (Barus, 2004).

2.3.1.1 Neolissochilus sumatranus

Neolissochilus sumatranus memiliki ciri morfologi yaitu lebar badan 3, 1-3, 5 kali lebih pendek dari panjang standar, 7-8 sisik di depan sirip punggung, 4 baris pori-pori (masing-masing memilki tubus yang keras) pada masing-masing sisi moncong dan di bawah mata (Kottelat et al., 1993).

2.4 Hubungan Panjang-Berat Ikan

Pengukuran panjang-berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok-kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi fisiologis, termasuk perkembangan gonad. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan baik dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup maupun untuk bereproduksi (Effendie, 2002).

Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, yaitu bila b= 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat). Bila b≠3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu bila b>3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik positif yaitu pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang, menunjukkan keadaan ikan tersebut montok. Bila b< 3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik negatif yaitu pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat, menunjukkan keadaan ikan yang kurus. Nilai praktis yang didapat dari perhitungan

(20)

panjang dan berat ialah kita dapat menduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan, perubahan dari lingkungan (Effendie, 1997).

2.5 Parameter Fisik-Kimia Perairan

Air merupakan faktor yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan ikan maupun organisme lainnya. Parameter kualitas air yang umum berpangaruh terhadap pertumbuhan ikan adalah temperatur, pH, suhu, oksigen terlarut, cahaya, arus, dan lain sebagainya. Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan dari organisme tersebut. Sebagai salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva, kualitas air perlu dijaga dalam kondisi prima, baik dalam aspek fisika, kimia dan biologi (Boyd, 1996).

Faktor yang mempengaruhi ekosistem ini ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor abiotik, sehingga diperoleh suatu gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004).

2.5.1 Parameter Fisik 2.5.1.1 Temperatur

Kelarutan berbagai jenis zat di dalam air serta semua aktivitas biologi- fisiologi di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur juga merupakan faktor pembatas utama pada suatu perairan karena ekosistem akuatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan temperatur.

Temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, dimana apabila temperatur naik, maka kelarutan oksigen dalam air menurun.

Bersamaan dengan itu peningkatan aktivitas metabolisme organisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 100°C (hanya pada kisaran yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Temperatur yang relatif tinggi pada suatu perairan tersebut dapat meningkatkan metabolisme organisme yang ada pada perairan tersebut, sehingga jumlah oksigen terlarut berkurang. Akibatnya, ikan dan hewan air akan mati (Barus, 2004).

(21)

2.5.1.2 Kekeruhan

Kekeruhan air adalah bentuk pencerminan daya tembus atau intensitas cahaya yang masuk dalam perairan. Kekeruhan perairan juga dapat ditentukan karena adanya fitoplankton atau tumbuhan air lainnya yang terdapat dalam perairan.

Kecerahan air dapat diukur apabila kedalaman tembus cahaya matahari ke dalam kolam minimum 40 cm. Pengukuran kekeruhan dapat digunakan untuk menentukan besarnya produktifitas primer dalam perairan. Dengan mengetahui kekeruhan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang paling keruh, serta lain sebagainya (Lioyd, 1980).

2.5.1.3 Kecepatan Arus

Arus sangat dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi bumi. Sirkulasi arus pada permukaan perairan terutama disebabkan oleh adanya wind stress. Jadi arus air yang ada dalam suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dari parameter kualitas air itu sendiri.

Arus membantu difusi oksigen darin udara dan penimbunan bahan organik.

Disamping itu arus juga dapat berdampak pada kandungan oksigen yang ada dalam air tersebut melalui proses difusi secara langsung dari udara. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut. Pola arus dan asal arus diperairan umum (danau, sungai, dan resevoir) berbeda dengan di laut). Pada perairan umum yang mengalir (lotic system) misal sungai, air berasal dari tiga sumber, yaitu mata air, hujan, dan aliran permukaan. Aliran sungai dipengaruhi oleh adanya dua kekuatan yaitu gravitasi dan hambatan (friksi). Oleh karena itu, kekuatan arus di sungai tergantung pada letak daerahnya. Kecepatan arus di perairan umum yang tergenang (lentic water bodies) misal danau dan reservoir pada umumnya lebih rendah dari pada kecepatan arus di laut ataupun sungai. Kecepatan arus di perairan danau atau reservoir dipengaruhi oleh angin dan kecepatan arus di perairan lentik sangat bervariasi, dan hal ini bukan faktor-faktor dalam pemilihan lokasi untuk budidaya kolam. Pada daerah hulu, kecepatan arusnya tinggi, sedangkan di daerah hilir kecepatan arusnya menurun (Barus, 2004).

(22)

2.5.1.4 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan.

Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut. Intensitas cahaya matahari juga mempengaruhi produktivitas primer. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air akan berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme (Barus, 2004).

Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan ikan, cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan dan proses metabolisme. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari dalam kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Wardoyo, 1983).

2.5.1.5 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya atau kedalaman air dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan sudut datangnya cahaya. Kondisi permukaan air dan bahan-bahan yang terlarut tersuspensi di dalam air yang dapat mengurangi nilai cahaya pada kolom air (Effendi, 2003). Kecerahan air penting bagi kehidupan organisme perairan, dimana kecerahan merupakan parameter untuk mengetahui daya penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan (Adawiyah et al., 2018).

2.5.2 Parameter Kimia

2.5.2.1 Potensial of Hydrogen (pH)

pH (derajat keasaman) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basah perairan. Air dikatakan basa apabila pH > 7 dan dikatakan asam apabila pH < 7. Secara alamiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi CO2 dalam proses fotosintesis yang menghasilkan O2 dalam air sebagai sumber nutrisi untuk organisme lain salah satunya adalah ikan, oleh karena itu suasana ini menyebabkan pH air meningkat.

Malam hari fitoplankton dan tanaman air juga mengkonsumsi O2 dalam proses respirasi yang menghasilkan CO2, suasana ini menyebabkan pH air menurun (Barus, 2004).

(23)

2.5.2.2 Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut Dissolved Oxygen (DO) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air sungai, nilai oksigen terlarut yang diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukkan jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu perairan, semakin tinggi nilai DO pada air sungai dapat mengindikasikan air sungai tersebut memiliki kualitas yang bagus, begitu juga sebaliknya jika nilai DO di dalam suatu perairan rendah dapat diketahui bahwa air mengalami gangguan atau pencemaran (Awal et al., 2014). Kandungan oksigen terlarut (DO) merupakan parameter yang penting, karena oksigen sangat dibutuhkan oleh biota perairan, baik dalam proses metabolism maupun respirasi (Saraswati et al., 2017).

2.5.2.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

BOD5 adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air untuk mendegradasi bahan buangan yang ada dalam air lingkungan.

Pada umumnya air lingkungan atau air dalam mengandung mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, menguraikan bahan buangan organik. Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Nilai konsentrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baikapabila konsumsi O2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l (Barus, 2004).

2.5.2.4 Nitrat (NO3) dan Fosfat (PO4)

Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3- dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80 % dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-

), ion nitrat (NO3-

), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+

) dan molekul N2

yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air (Chester, 1990).

Fosfor sangat penting di perairan terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate

(24)

(ADP). Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O74-

), metafosfat (P3O93-

) dan polifosfat (P4O136-

dan P3O105-

) serta fosfat yang terikat secara organik (adenosin monofosfat). Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Fergusson, 1956).

Nitrogen dan Fosfor sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Seperti diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur nitrogen dan fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air (Barus, 2004).

2.6 Faktor Kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan secara kualitas, dimana perhitungannya didasarkan pada panjang dan berat ikan. Faktor kondisi atau indeks ponderal dan sering disebut faktor K yang merupakan hal yang penting dari pertumbuhan ikan. Salah satu derivat penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi atau indek ponderal dan sering disebut pula sebagai faktor K. Faktor kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival. Faktor kondisi dapat menjadi indikator kondisi pertumbuhan ikan di perairan. Faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ialah jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah makanan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, dan ukuran ikan. Faktor kondisi biasanya digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup. Banyaknya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya adalah rasio pemberian pakan dan berat ikan. Jadi kondisi disini mempunyai arti dapat memberi keterangan baik secara biologis atau secara komersial (Effendie, 1997).

(25)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2020 s/d selesai di perairan sungai Asahan Sumatera Utara serta di Laboratorium Shafera Enviro Sumatera Utara, Medan.

3.2 Deskripsi Area

Penelitian ini dilakukan dengan menentukan 4 titik lokasi pengambilan sampel dengan metode sampling. Setiap stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas yang ada di sekitar sungai tersebut.

3.2.1 Stasiun I

Stasiun I ini merupakan daerah bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PT. Inalum. Terletak di sungai Tangga, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Asahan, secara geografis terletak pada 02º33’34,3” LU dan 99º18’36,7”

BT. Sungai ini merupakan gabungan dari aliran sungai Ponot dan sungai Baturangin dimana pinggiran sungai ini masih alami (belum terjadi gangguan) dan daerah ini jauh dari pemukiman masyarakat.

Gambar 3.1 Stasiun I (Sungai Tangga)

(26)

3.2.2 Stasiun II

Stasiun ini dekat dengan air terjun, berada di Baturangin, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Toba Samosir, dimana letak geografisnya pada 02º33’06,6” LU dan 099º18’53,7” BT.

Gambar 3.2 Stasiun II (Sungai Baturangin)

3.2.3 Stasiun III

Stasiun ini adalah sungai utama yang disekitarnya adalah perkebunan kelapa sawit, terletak di Parhitean, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Toba Samosir yang secara geografis terletak pada 02º33’53,0” LU 099º20’5,9” BT.

Gambar 3.3 Stasiun III (Sungai Parhitean)

(27)

3.2.4 Stasiun IV

Stasiun ini berada di sungai Hula Huli, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Asahan, terletak pada 02º33’58,0” LU dan 099º22’1,3” BT. Daerah ini umumnya lahan perkebunan kelapa sawit.

Gambar3.4 Stasiun IV (Sungai Hula Huli)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan

Pengambilan sampel ikan diambil dari 4 stasiun yang telah ditentukan di Sungai Asahan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan alat electrofishing dengan dilengkapi tanggok dan pakaian safety yang dilakukan selama 2 hari dengan 1 kali pengulangan, dimulai pada pukul 09.00-10.00 dan 13.00-14.00 WIB pada pinggiran sungai. Sampel yang didapatkan dimasukan ke dalam plastik 10 kg yang sudah diberi label sesuai nama stasiun. Setelah itu sampel yang didapatkan ditimbang berat dan diukur panjang totalnya, lalu disusun di atas wadah. Setelah itu difoto lalu dihitung dan dicatat jumlah individu yang didapatkan.

3.3.2 Identifikasi

Identifikasi sampel ikan dilakukan dengan mengukur panjang dan berat ikan.

Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor yang paling belakang. Pada pengukuran panjang ikan menggunakan papan ukur yang diletakkan di atas alat tersebut, sedangkan untuk mengukur berat total ikan menggunakan timbangan digital.

(28)

3.3.3 Analisis Data

a. Pengukuran Panjang dan Berat Ikan

Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Untuk mencari hubungan antara panjang total ikan dengan beratnya digunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Effendie, 1997):

W = a Lb atau Log W = Log a + b (Log L) W = berat ikan (gr)

L = panjang total ikan (cm) a dan b = konstanta

Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, yaitu bila b = 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat). Bila b≠3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu bila b>3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik positif (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang). Bila b < 3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik negatif (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat) (Effendie, 1997).

b. Pengukuran Faktor Kondisi

Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kondisi atau kemontokan ikan dalam angka. Faktor kondisi (K) dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan. Jika pertumbuhan ikan bersifat isometrik, maka faktor kondisi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):

Jika pertumbuhan bersifat allometrik maka dapat dihitung mengunakan rumus :

Dimana: Kn = Faktor kondisi

W = Berat Tubuh (gr) L = Panjang Total (mm) a dan b= Konstanta.

Ketentuan Faktor kondisi (Suwarni, 2009) :

(29)

FK 0 – <1 : ikan tergolong bentuk badan yang pipih atau tidak gemuk.

FK 1 – 3 : ikan tergolong bentuk badan kurang pipih.

3.3.4 Pengukuran Faktor Fisika-Kimia

Pengamatan dan pengukuran parameter kualitas air dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan contoh ikan secara langsung (in situ) dan (ex situ) lanjut dilakukan di laboratorium Shafera Enviro Sumatera Utara.

Tabel 3.5 Parameter dan metode pengukuran faktor fisika-kimia.

No Parameter Satuan Alat dan Metode Tempat Analisis 1 DO (Dissolved

Oxygen)

mg/l YSI Multiprobe In-situ

2 pH - YSI Multiprobe In-situ

3 Temperatur oC YSI Multiprobe In-situ

4 Penetrasi Cahaya m Keping Sechii In-situ

5 Intensitas Cahaya Candella Lux meter In-situ

6 Kecepatan Arus m/s Flowatch fl-03 In-situ

7 BOD5 mg/l Inkubasi dan

titrasi/Winkler

Ex-situ

8 Kekeruhan NTU Turbidity meter In-situ

9 Kadar Nitrat (NO3) mg/l Spektrofotometer Ex-situ 10 KadarFosfat (PO4) mg/l Spektrofotometer Ex-situ 3.3.4.1 Dissolved Oxygen (DO) (mg/l)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan DO meter YSI Multiprobe. DO meter dimasukkan ke dalam badan air dan dibiarkan beberapa saat, kemudian dibaca hasil yang terdapat pada skala DO meter tersebut dan dicatat hasilnya.

3.3.4.2 Potensial of Hydrogen (pH)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan DO meter YSI Multiprobe. DO meter dimasukkan ke dalam badan air dan dibiarkan beberapa saat, kemudian dibaca hasil yang terdapat pada skala DO meter tersebut dan dicatat hasilnya.

3.3.4.3 Temperatur (oC)

(30)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan DO meter YSI Multiprobe. DO meter dimasukkan ke dalam badan air dan dibiarkan beberapa saat, kemudian dibaca hasil yang terdapat pada skala DO meter tersebut dan dicatat hasilnya.

3.3.4.4 Penetrasi Cahaya (m)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan keping sechii, dengan cara memasukkan keping sechii ke dalam badan perairan sampai keping sechii tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali dan dicatat hasilnya.

3.3.4.5 Intensitas Cahaya (cd)

Pengukuran Intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan lux meter, lux meter diletakkan pada daerah dengan intensitas cahaya maksimum di setiap stasiun, dibiarkan beberapa saat dan dicatat hasilnya.

3.3.4.6 Kecepatan Arus (m/s)

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan flowatch fl-03. Alat flowatch fl- 03 disiapkan dan kabel alat tersebut dibentangkan pada badan sungai dan posisi tegak lurus dengan arah arus air, kemudian baling-baling pada flowatch fl-03 akan berputar dengan kecepatan putaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, lalu dicatat jumlah waktu dan jumlah kecepatan arus air yang terdapat pada skala flow meter.

3.3.4.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) (mg/l)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan metode winkler dan inkubasi. Sampel air yang diambil dari perairan dimasukkan ke dalam botol winkler, kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC. Setelah 5 hari dihitung kadar BOD5

dengan cara mengurangkan DO awal dengan DO akhir.

3.3.4.8 Kekeruhan (NTU)

Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat portable datalogging spectrophotometer diatur dari ketentuan color 120 (untuk sampel air yang tidak berwarna) yang akan menghasilkan ketentuan jenis gelombang P750 dan panjang gelombang λ= 860 nm. Kuvet yang berisi blanko (aquabidest) dimasukkan

(31)

ke dalam alat portable datalogging spectrophotometer dan ditekan tombol read, kuvet dikeluarkan dan dibilas dengan sampel uji, setelah dibilas kuvet diisi dengan sampel uji sebanyak 25 ml dan dibaca kekeruhan sampel dengan menekan tombol read. Pembacaan hasil akan dihentikan jika nilai kekeruhan konstan, setelah nilai kekeruhan konstan dicatat hasilnya.

3.3.4.9 Kadar Nitrat (NO3) (mg/l)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, ditambahkan 1 ml NaCl dengan pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambahkan 4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit, kemudian larutan tersebut didinginkan dan diukur dengan spektrofotometer pada λ= 410 nm.

3.3.4.10 Kadar Fosfat (PO4) (mg/l)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, ditambahkan 1 ml Amstrong Reagent dan 1 ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm, kemudian dicatat nilai yang tertera.

(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus)

Hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berdasarkan stasiun pengambilan sampel terlihat pada Tabel 4.1. Besaran nilai b setiap stasiun bervariasi dengan kisaran b= 2,529-3,187 dengan R2= 0,785-0,989. Berdasarkan nilai b yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) adalah pertumbuhan allometrik negatif yang berarti pertumbuhan panjang total ikan lebih cepat dari pertumbuhan berat badan ikan.

Tabel 4.1 Hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berdasarkan stasiun penelitian.

Stasiun N b R2 Tipe Pertumbuhan

Sungai Tangga 29 3,187 0,985 Allometrik (+) Sungai Baturangin 54 2,952 0,989 Allometrik (-) Sungai Parhitean 16 2,705 0,934 Allometrik (-) Sungai Hula-huli 9 2,529 0,785 Allometrik (-) N = Jumlah spesies, b = Konstanta, R2 = Koefisien determinasi

Effendie (1997) menyatakan bahwa, pola pertumbuhan ikan dapat diketahui melalui hubungan panjang total (mm) dan berat total (g), selanjutnya berdasarkan hubungan panjang-berat ikan tersebut diperoleh nilai b. Nilai b adalah indikator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang dan bobot ikan. Nilai yang diperoleh dari perhitungan panjang dan berat adalah informasi mengenai dugaan berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan serta perubahan dari lingkungan. Menurut Manik (2009), perbedaan nilai b bisa terjadi karena pengaruh faktor ekologis dan biologis, serta terjadinya perubahan faktor-faktor lingkungan dan kondisi ikannya maka hubungan panjang-berat akan sedikit menyimpang dari hukum kubik (b ≠3).

Rochmatin et al. (2014) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan panjang dan berat ikan dapat dipengaruhioleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain keturunan dan jenis kelamin yangmembawa sifat genetik masing–

(33)

masing dari alam yang sulit untuk dikontrol. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain yaitu suhu, salinitas, makanan, dan pencemaran yang secara tidak langsung akan mengakibatkan menurunnya kualitas air.

Gambar 4.2 hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 1.

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 1 yaitu sungai Tangga dapat dilihat pada Gambar 4.2. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan jumlah n= 29 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -5,322+3,187 (Log L), dengan nilai b= 3,187 dan R2= 0,985.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2) di atas diketahui bahwa panjang ikan batak (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel y) sebesar 0.985, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 98,5%. Sedangkan 1,5% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4.

y = -5,322x3.187 R² = 0.985

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 50 100 150 200

(34)

y = -4,872x2.952 R² = 0.989

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

0 50 100 150 200

Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 1 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

Gambar 4.3 hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 2

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dapat dilihat pada Gambar 4.3. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan jumlah n= 54 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -4.872+2,952 (Log L), dengan nilai b= 2,952 dan R2= 0,989.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dari pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2) di atas diketahui bahwa panjang ikan batak (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel y) sebesar 0.989 yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 98,9%. Sedangkan 1,1% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4.

Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 2 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

(35)

y = -4,336x2.705 R² = 0.934

0 10 20 30 40 50 60

0 50 100 150 200

Gambar 4.4 hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 3.

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 3 yaitu sungai Parhitean dapat dilihat pada Gambar 4.4hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan jumlah n= 29 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -4.336+2,705 (Log L), dengan nilai b= 2,705 dan R2= 0,934.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dari pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2) di atas diketahui bahwa panjang ikan batak (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel y) sebesar 0,934 yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 93,4%. Sedangkan 6,6% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4.

Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 3 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

(36)

y = -3910x2.529 R² = 0.785

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 50 100 150 200

Gambar 4.5 hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 4.

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 4 yaitu sungai Hula huli dapat dilihat pada Gambar 4.5 hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan jumlah n= 9 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -3,910+2,529 (Log L), dengan nilai b= 2.529 dan R2= 0,785.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dari pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2) di atas diketahui bahwa panjang ikan batak (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel y) sebesar 0,785 yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 78,5%. Sedangkan 21,5% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4.

Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 4 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

(37)

4.2 Faktor Kondisi

Berdasarkan hasil analisis data terhadap faktor kondisi ikan batak pada setiap stasiun penelitian maka didapatkan nilai faktor kondisi (FK) yang disajikan pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6.Faktor kondisi ikan batak (Neolissochilus sumatranus).

No. Stasiun Lrataan (mm) Wrataan (gr) K

1 Sungai Tangga 96,75 14,39 2,1318

2 Sungai Baturangin 90,53 10,95 1,9996

3 Sungai Parhitean 102,87 17,76 2,2092

4 Sungai Hula huli 123,77 28,03 2,8058

Keterangan : L = Panjang Ikan; W = Berat Ikan; K = Faktor Kondisi

Dari hasil analisa faktor kondisi didapatkan nilai FK berkisar antara 1,9996–

2,8058. Perbedaan faktor kondisi ikan pada setiap stasiun diinterpretasikan sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi dari ikan seperti kegemukan dan kesesuaian dari lingkungannya. (Manik, 2005) nilai FK yang didapat, menggambarkan bahwa kondisi ikan batak (Neolissochilus sumatranus) termasuk dalam kategori agak pipih hal ini sesuai dengan hubungan panjang-berat ikan dengan pola pertumbuhan allometrik.

Menurut Effendie (1997), faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan secara kualitas, dimana perhitungannya didasarkan pada panjang dan berat ikan. Weatherly (1972) menyatakan bahwa nilai FK dipengaruhi oleh keadaan makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad ikan pada suatu lingkungan tertentu. Menurut Lagler (1972), kemontokan ikan dinyatakan dalam bentuk angka. Menurut Effendie (1979), harga K berkisar antara 2 – 4 apabila badan ikan agak pipih. Ikan-ikan yang badannya kurang pipih harga K berkisar antara 1 – 3.

Variasi harga K itu bergantung kepada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad.

4.3 Faktor Fisika-Kimia Perairan

Faktor fisika dan kimia air pada prinsipnya mencerminkan kualitas perairan dan lingkungan. Berdasarkan penelitian ini telah dilakukan pengukuran faktor fisika

(38)

dan kimia air pada setiap stasiun penelitian, hasil pengukuran faktor fisika-kimia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.7 Nilai faktor fisika-kimia perairan sungai Asahan pada setiap stasiun.

No. Parameter St. 1 St. 2 St. 3 St. 4

1 DO (mg/l) 8,75 8,80 8,57 8,40

2 pH 7,40 7,34 7,60 7,80

3 Temperatur(oC) 24,7 24,5 26,4 26,8

4 Penetrasi Cahaya (m) 1,126 0,783 2,586 2,245 5 Intensitas Cahaya (Candela) 850 620 1175 371

6 Kecepatan Arus (m/s) 1,2 1,1 0,5 0,7

7 BOD5 (mg/l) 2,8 3,5 4,9 4,3

8 Kecerahan (NTU) 75 45 76 48

9 Nitrat (NO3) (mg/l) 1,28 1,35 1,53 1,89

10 Posfat (PO4) (mg/l) 0,002 0,002 0,007 0,019 4.3.1 Dissolved Oxygen (DO)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai DO berkisar antara 8,40–8,80 mg/l. Nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu sungai Hula huli dan tertinggi di stasiun 2 yaitu sungai Baturangin. Secara keseluruhan nilai DO pada keempat stasiun penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan batas minimum nilai DO adalah 3.

Menurut Sastrawijaya (1991) oksigen terlarut bergantung pada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung pada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri.

Tingkat oksigen terlarut yang rendah, mengakibatkan organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hydrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) menyatakan jika DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Menurut Siburian et al (2017) DO merupakan variabel kimia yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota.

(39)

4.3.2 pH

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai pH berkisar antara 7,34–7,80.

Nilai pH terendah didapatkan di stasiun 1 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi pada stasiun 4 yaitu sungai Hula-huli. Secara keseluruhan nilai pH yang didapatkan masih dalam ambang batas normal untuk mendukung kehidupan ikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 82 tahun 2001, yang menetapkan kisaran pH normal untuk kehidupan organisme perairan adalah 6 – 9.

Menurut Salim et al (2017) tinggi rendahnya nilai pH di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kadar CO2 yang terlarut dalam perairan tersebut.

Aktivitas fotosintsis merupakan proses yang sangat menentukan kadar CO2 dalam suatu perairan. Menurut Siburian (2017) pH sangat penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk kehidupan organisme perairan. pH yang ideal untuk kehidupan biota akuatik adalah berkisar 6,5-8,5. Barus (2004) pH air turut mempengaruhi kehidupan dari ikan, pH air yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5 -7,5.

Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi.

pH air kurang dari 6 atau lebih dari 8,5 perlu diwaspadai karena mungkin ada pencemaran, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ikan.

4.3.3 Temperatur

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian diperoleh temperatur berkisar 24,5oC–26,8 oC, dengan temperatur terendah pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan temperatur tertinggi di stasiun 4 yaitu sungai Hula-huli.

Cahyono (2010) menyatakan bahwa suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar 150C – 30 oC dan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 5oC.

Romimohtarto dan Juwana (2009) menyatakan bahwa suhu sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Apabila suhu terlalu tinggi maka akan menimbulkan kondisi stress pada tubuh ikan. Peningkatan suhu juga dapat meningkatkan laju metabolisme hewan air. Suhu yang berkisar antara 27 – 30 ºC baik untuk kehidupan organisme perairan.

(40)

4.3.4 Penetrasi Cahaya

Berdasarkan hasil pengukuran penetrasi cahaya pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai berkisar 0,783-2,586 m. Nilai penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sungai Parhitean.

Menurut Taqwa (2010), interaksi antara faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan fauna. Barus (2004) menyatakan bahwa, pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen berada dalam keadaan relatif konstan.

4.3.5 Intensitas Cahaya

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 371–1175 Candella. Intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu sungai Hula-huli dan tertinggi pada stasiun 3 yaitu sungai Parhitean. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 3 dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitar sungai. Pada pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga mengurangi nilai intensitas cahaya pada badan sungai.

Rifai et al (1983) menyatakan bahwa cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan.

Menurut Barus (2004), faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagai cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang

(41)

menyebabkan kolam air yang jernih terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini lebih baik ditransmisi dari dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air.

4.3.6 Kecepatan Arus

Hasil pengukuran terhadap kecepatan arus didapatkan berkisar antara 0,5–1,2 m/s, nilai arus masing-masing tergolong ke dalam perairan lotik (berarus kuat), dimana kisaran nilai arus kategori cepat 0,5-1 m/s. Nilai kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 1 sungai Tangga dengan kecepatan 1,2 m/s dan nilai tertinggi pada stasiun 4 sungai Parhitean dengan kecepatan 0,5 m/s. Rendahnya kecepatan arus pada stasiun 1 disebabkan karena kondisi sungai yang berbatu sehingga gerakan air melambat karena benturan batu. Pada stasiun 3 kecepatan arus tinggi karena kondisi sungai yang terjal sedikit berbatu sehingga gerakan air lebih lurus.

Menurut Barus (2004) sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-batuan di dasar perairan. Arus sangat dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi bumi. Arus air yang ada dalam suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dari parameter kualitas air itu sendiri.Menurut Suin (2002), kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh jenis kemiringan topografi perairan, jenis batuan besar, debit air, dan curah hujan.

Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut.

4.3.7 Biologycal Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 yang didapatkan berdasarkan penelitian pada setiap stasiun berkisar antara 2,8–4,9 mg/l. Nilai BOD5 terendah didapatkan di stasiun 1 yaitu sungai Tangga dan tertinggi di stasiun 3 yaitu sungai Parhitean. Adanya perbedaan

(42)

nilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik.

Ali et al. (2013) menyatakan BOD5 adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik di dalam air.

Rahayu dan Tantowi (2009) menyatakan bahwa semakin besar kadar BOD5 di perairan sungai menandakan bahwa perairantersebut telah tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian. Menurut Yudo (2010) semakin besar konsentrasi BOD5 suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik juga tinggi.

Lee, et al. (1978) menerangkan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan ≤ 2,9 mg/l merupakan perairan yang tidak tercemar, kandungan 3,0-5,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1–14,9 mg/l merupakan perairan yang tercemar sedang dan kandungan ≥ 15,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar berat.

4.3.8 Kekeruhan

Dari hasil penelitian pada setiap stasiun didapatkan nilai kekeruhan berkisar antara 45–76 cm. Rendahnya nilai kekeruhan (kurang dari 1 meter) diakibatkan karena kelima lokasi penelitian merupakan sungai yang dangkal dengan kedalaman 1-2 meter. Kedalaman yang rendah mengakibatkan terjadinya pengadukan air sehingga menjadi keruh. Kekeruhan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi di stasiun 3 yaitu sungai Parhitean sebesar 76 cm. Pada stasiun 2 kondisi stasiun dikelilingi oleh pohon-pohon dan semak belukar yang memungkinkan terjadinya penutupan badan air serta pelapukan akibat jatuhnya dedaunan pohon dan semak pada badan air. Pada stasiun 3 nilai kecerahan tinggi hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai yang sedikit pepohonan dan pengukuran dilakukan pada saat kondisis cuaca cerah.

Kordi (2004) menyatakan bahwa dengan mengetahui kecerahan suatu perairan dapat diketahui sampai dimana kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh.

Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau

Gambar

Gambar  4.2  hubungan  panjang-berat  ikan  batak  (Neolissochilus  sumatranus)  pada  stasiun 1
Gambar  4.3  hubungan  panjang-berat  ikan  batak  (Neolissochilus  sumatranus)  pada  stasiun 2
Gambar  4.4  hubungan  panjang-berat  ikan  batak  (Neolissochilus  sumatranus)  pada  stasiun 3
Gambar  4.5  hubungan  panjang-berat  ikan  batak  (Neolissochilus  sumatranus)  pada  stasiun 4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara pada bulan

Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R 2 ) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan

Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 3 yaitu sungai Hula-huli dapat dilihat pada Gambar 4.3 hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala

Analisis hubungan panjang dan berat lobster batu selama penelitian di Kabupaten Pacitan dan Gunung Kidul diperoleh pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif artinya

Analisis hubungan panjang dan berat lobster batu selama penelitian di Kabupaten Pacitan dan Gunung Kidul diperoleh pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif artinya

Berarti pola pertumbuhan ikan pantau janggut bersifat allometrik negatif yang menunjukkan bahwa, pertambahan panjang total lebih cepat dari pertambahan bobot tubuh dengan

Perbedaan faktor kondisi ikan pada setiap stasiun diinterpretasikan sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi dari ikan seperti kegemukan dan kesesuaian dari

Berarti pola pertumbuhan ikan pantau janggut bersifat allometrik negatif yang menunjukkan bahwa, pertambahan panjang total lebih cepat dari pertambahan bobot tubuh dengan