• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh LISBET GURNING / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh LISBET GURNING / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. TESIS. Oleh. LISBET GURNING 157046040/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(2) THE INFLUENCE OF FOOD INTAKE MANAGEMENT: SODIUM SALT DIET ON THIRST FELT BY PATIENTS WITH CHRONIC KIDNEY FAILURE TREATED WITH HEMODIALYSIS IN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. THESIS. By:. LISBET GURNING 157046040/ MEDICAL SURGICAL NURSING. MASTER OF NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN 2018. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(3) PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. TESIS. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Oleh. LISBET GURNING 157046040/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(4) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(5) Telah diuji Pada Tanggal 09 Pebruari 2018. KOMISI PENGUJI TESIS Ketua. : Jenny M. Purba, S.Kp., MNS., Ph.D. Anggota. : 1. Cholina T. Siregar, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB 2. Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK 3. Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(6) PERNYATAAN. PENGARUH MANAJEMEN ASUPAN MAKANAN: DIET RENDAH GARAM TERHADAP RASA HAUS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN. Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar Magister Keperawatan pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya tulis sendiri. Adapun pengutipan- pengutipan yang penulis lakukan pada bagian- bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah dicantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian- bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi- sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(7) Judul Tesis. Nama NIM Program Studi Minat Studi Tahun. : Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Terhadap Rasa Haus pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan : Lisbet Gurning : 157046040 : Magister Ilmu Keperawatan : Keperawatan Medikal Bedah : 2018. ABSTRAK Kepatuhan akan pembatasan asupan cairan merupakan hal tersulit bagi pasien dan dapat membuat pasien menjadi stress sehingga pasien tidak dapat mengontrol konsumsi asupan cairan mereka. Tingkat kepatuhan pasien untuk mengikuti pembatasan asupan makanan dan cairan merupakan kunci utama keberhasilan hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah terdapat pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus yang dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis. Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experiment dengan desain prepost test with control group dengan pemilihan sampel menggunakan consecutive sampling dan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 44 orang untuk masingmasing kelompok intervensi dan kontrol. Rasa haus responden diukur dengan menggunakan kuesioner thirst distress scale (TDS) dan intensitas haus dengan VAS, sedangkan analisa datayang digunakandalam penelitian ini adalah Wilcoxon test dan Mann Withney test dengan kemaknaan p < 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 37 orang responden yang mengalami penurunan nilai TDS dan 7 orang nilai TDS-nya tetap dengan kemaknaan 0.000 (p<0.05) setelah dilakukan perlakuan pada kelompok intervensi dan terdapat perbedaan rasa haus yang diukur dengan TDS dengan kemaknaan p=0.008 (p<0.05) dan VAS dengan kemaknaan p=0.048 (p<0.05) setelah dilakukannya perlakukan manajemen asupan makanan: diet rendah garam pada kelompok intervensi dan kontrol. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian edukasi yang dilakukan secara berkesinambungan serta dilakukannya kunjungan rumah sebagai bentuk supervisi terhadap edukasi yang telah diberikan dapat meningkatkan perilaku perawatan diri pasien sehari-hari yang ditunjukkan dengan perilaku mengurangi asupan garam harian pasien, sehinggarasa haus yang sering dirasakan pasien gagal ginjal dengan hemodialysis juga berkurang.. Kata kunci: hemodialysis, diet rendah natrium, rasa haus. i. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(8) ii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(9) KATA PENGANTAR. Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan rahmat dan berkat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada : 1.. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku RektorUniversitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan untuk penulis menempuh pendidikan di Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara.. 2.. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas KeperawatanUniversitas Sumatera Utarayang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama penulis menempuh pendidikan di Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara.. 3.. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memotivasi penulis dalam menempuh pendidikan di Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara.. 4.. Jenny Marlindawani Purba, S.Kp., MNS., Ph.D dan Cholina Trisa Siregar, S.Kep., Ns., M.Kep, Sp.KMB selakudosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, memotivasi dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.. iii. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(10) 5.. Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi, Sp.GK dan YesiAriani, S.Kep., Ns., M.Kep.selaku dosen penguji tesis yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.. 6.. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Instalansi Ginjal Hipertensi dan rekan-rekan perawat di Instalansi Ginjal Hipertensi yang telah memberikan izin dan dukungan selama pengambilan data penelitian.. 7.. Orang tua, kakak dan adik-adik tercinta yang setia mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis ini.. 8.. Suami tercinta, Benjamin Tambunan, Stdan anak-anak kami tersayang Jessica Ruth, Jonathan Barmen dan Jordan Goklas yang selalu menjadi penyemangat penulis selama menempuh pendidikan dan penulisan tesis ini.. 9.. Teman-teman Angkatan V Tahun 2015/2016 di Program Studi Magister IlmuKeperawatanFakultasKeperawatanUniversitas Sumatera Utara.. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan untuk kita semua. Amiin.... Medan, Pebruari 2018 Penulis,. Lisbet Gurning. iv. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(11) RIWAYAT HIDUP. Nama. : Lisbet Gurning. Tempat/Tanggal Lahir. : Jakarta, 28 September 1978. Email. : lisbet_gurning@yahoo.com. Riwayat Pendidikan. :. Jenjang Pendidikan. Nama Institusi. Tahun Lulus. SD. SD YWKA I Jakarta. 1991. SMP. SMP Negeri 33 Jakarta. 1994. SMA. SMA Negeri 37 Jakarta. 1997. Sarjana Keperawatan. Universitas Indonesia. 2001. Magister Keperawatan. Universitas Sumatera Utara. 2018. Riwayat Pekerjaan Jabatan. Nama Institusi. Tahun Bekerja. Ka Unit Pendidikan. Akademi Keperawatan Herna Medan. 2001-2003. Asst. Dir. Adm & Serv.. Akademi keperawatan Glenagles Medan. 2003-2005. Health & Safety Asst.. PT PP London Sumatra Indonesia Medan. 2007-2012. Medical Services Asst.. RS Columbia Asia Medan. 2015-2016. v. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(12) Kegiatan Akademik Selama Studi : Peserta. Workshop. Penelitian. Kualitatif. “Analisis. Data. Penelitian. Kualitatif: Computer-Assisted Qualitative Data Analysis Software (CAQDAS)” Medan, 19 Desember 2015. Peserta. Seminar Nasional Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana, di Medan International Covention Center Medan, 22 Februari 2016. Peserta. Medan International Wound Care Seminar “Wound Care Update in Nursing” di Washington Purba Hall Medan, 14 Mei 2016. Peserta. Seminar “Perencanaan Strategi Rumah Sakit” di Aula Fakultas Keperawatan USU, 15 Juli 2016.. Peserta. Seminar Keperawatan “Writing For Publication In International Journals” di Fakultas Keperawatan USU, 20 Juli 2016.. Peserta. Pelatihan Resusitasi Jantung Paru (RJP), RSUP H. Adam Malik, 20 September 2016.. Peserta. Seminar Akreditasi Rumah Sakit Di Era Mea di Fakultas Keperawatan USU Medan 22 Oktober 2016.. Peserta. Pelatihan dan Sosialisasi Penulisan Artikel Ilmiah International Bereputasi untuk Mahasiswa S2 dan S3 USU Medan 10 Agustus 2017.. vi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(13) DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN. i ii iii v vii ix x xi. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian. 1 1 7 7 8 9. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyakit Ginjal Kronik Konsep Hemodialisis Konsep Sensasi Haus Konsep Manajemen Nutrisi Landasan Teori. 10 10 21 27 32 34. BAB 3 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian PopulasidanSampel Metode Pengumpulan Data Metode Pengukuran Variabel dan Defenisi Operasional Validitas dan Reabilitas Metode Analisa Data Analisa Data Pertimbangan Etik. 40 40 41 41 42 46 48 49 51 52 53. BAB 4HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Distribusi Skor TDS, VAS dan IDWG Perbedaan Rasa Haus Sebelum dan Sesudah Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam terhadap Rasa Haus pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis. 55 55 57. vii. 59. 61. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(14) Hubungan Kenaikan Berat Badan Interdialisis (IDWG) Dengan Rasa Haus Hasil Konseling dan Kunjungan Rumah. 61 62. BAB 5 PEMBAHASAN Rasa Haus Sebelum dan SesudahManajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Kenaikan Berat Badan Interdialysis (IDWG) Perbedaan Rasa Haus Sebelum dan Sesudah Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Terhadap Rasa Haus Hubungan Kenaikan Berat Badan Interdialisis Terhadap Rasa Haus Keterbatasan Penelitian Implikasi Hasil Penelitian Bagi Keperawatan. 64. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran. 79 79 79. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 81. viii. 64 71 73 74 75 76 77. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(15) DAFTAR GAMBAR. Halaman. Gambar 2.1. Teori Individual and Family Self-Management Ryan dan Sawin 3.1. Kerangka Operasional Penelitian. ix. 39 49. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(16) DAFTAR TABEL. Tabel. Halaman. 3.1. Defenisi Operasional dan Variabel Penelitian 3.2. Hasil Distribusi Normalitas Penelitian 4.1. Karakteristik Responden Penelitian 4.2. Distribusi TDS, VAS dan IDWG 4.3. Mean Rank RasaHaus Sebelum dan Sesudah Perlakuan Pada Kelompok Intervensi 4.4. Mean Rank RasaHaus Setelah Perlakuan Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol 4.5. Pengaruh Manajemen Asupan Makanan: Diet Rendah Garam Terhadap Rasa Haus 4.6. Hubungan Kenaikan IDWG DenganRasaHaus ` 4.7. Persentase Pelaksanaan Intervensi. x. 48 53 56 58 60 60 61 62 63. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(17) DAFTAR LAMPIRAN. Halaman Lampiran 1 Instrumen Penelitian Lampiran 2 Biodata Expert Lampiran 3 Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian Lampiran 4 Surat Izin Penelitian Lampiran 5 Master Data. xi. 89 104 105 107 113. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(18) BAB 1 PENDAHULUAN. Latar Belakang Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang banyak digunakan diseluruh dunia dan jumlahnya meningkat setiap tahun (Cleemput & De-Laet, 2013; Ebrahimi et al., 2016; Yusop et al., 2013). Hemodialisis dilakukan karena adanya kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible, sehingga ginjal tidak dapat secara adekuat untuk menyaring toksin dan produk sampah dari darah dan (Dorgalaleh et al., 2013). Prevalensi hemodialisis di Amerika pada tahun 2012 sebanyak 451.000 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 632.000 pada tahun 2025 (Wetmore & Collins, 2016), sedangkan berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR, 2014) terdapat 28.882 pasien yang terlapor melakukan hemodialisis di Indonesia dengan 957 orang diantaranya berada di Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari RSUP H. Adam Malik Medan terdapat 166 orang pasien yang menjalani hemodialisis rutin pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 191 orang pada tahun 2013 (Harahap et al., 2015). Hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal tidak dapat menyembuhkan pasien, namun hemodialisis dapat memperpanjang masa hidup dan meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal. Sacrias et al. (2015) mengatakan bahwa 6971% pasien hemodialisis mengalami kematian akibat berhenti melakukan terapi dan hanya 8-10% saja yang melanjutkan hemodialisis dengan 60% diantaranya melakukan terapi dengan tidak teratur dengan alasan biaya yang dibutuhkan untuk. 1. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(19) 2. melakukan hemodialisa sangat mahal (Cleemput & De-Laet, 2013; Cristovao, 2015; Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Hemodialisis sebagai terapi juga memiliki dampak negatif bagi pasien seperti demam (50-60%), dispnea (20-30%), emboli paru yang mengakibatkan nyeri dada (13%), penyakit jantung iskemia (50%), hipertensi (85%), pruritus (2070%) dan distress haus (95%) (Sacrias et al., 2015). Selain itu, hemodialisis juga mengakibatkan komplikasi seperti hipotensi, mual dan muntah, kram pada kaki dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Tingkat keberhasilan terapi hemodialisis sangat bergantung pada tingkat kepatuhan pasien untuk mengikuti pembatasan asupan makanan dan cairan yang direkomendasikan (Chironda & Bhengu, 2016). Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi tingkat ketidakpatuhan pasien terhadap pembatasan cairan berkisar antara 68,1% sampai 87,9% (Kara, 2016). Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Fitriani, Krisnansari, dan Winarsi (2016) yang menunjukkan. bahwa. prevalensi. angka. ketidakpatuhan. pasien. terhadap. pembatasan cairan di RS Margono Soekarjo Purwokerto sebesar 77,1%. Kepatuhan akan pembatasan asupan cairan merupakan hal tersulit bagi pasien. Pembatasan asupan cairan mengakibatkan terjadinya peningkatan rasa haus yang dapat membuat pasien menjadi stress. Pasien yang tinggal di negara dengan temperatur diatas 35 derajat seringkali mengalami kesulitan dalam mengontrol konsumsi asupan cairan mereka. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa sekitar 39-95% pasien hemodialisis memiliki pengalaman akan rasa haus dengan enam faktor utama yang mempengaruhinya, yaitu karena adanya deplesi terhadap kalium, adanya peningkatan plasma urea akut,. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(20) 3. hiperglikemia, konsentrasi natrium plasma, angiotensin II dan faktor psikologis (Kara, 2013; Sacrias et al., 2015). Bruzda-Zweich, Szczepanska dan Zwiech (2013) juga menambahkan faktor lain yang mempengaruhi rasa haus diantaramya karena berkurangnya sekresi air liur (saliva), perubahan biologis dan biokimia, abnormalitas hormon dan efek samping obat. Haus merupakan stimulus terkuat untuk meminum cairan yang dapat mengakibatkan peningkatan IDWG (interdialytic weight gain) pada pasien. Peningkatan IDWG akan mengakibatkan peningkatan morbilitas dan mortalitas pada pasien hemodialisis akibat adanya komplikasi kardiovaskular seperti edema ekstremitas, acites, pembesaran ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif (CHF), hipertensi, dan edema paru akut (Chironda & Bhengu, 2016; Kara, 2013; Kristovao, 2015). Rasa haus merupakan sumber dari ketidaknyaman pada pasien dengan penyakit serius (Zehm et al., 2016). Rasa haus menimbulkan sensasi mulut kering akibat penurunan aliran dan produksi saliva, sehingga kekentalan saliva meningkat dan menimbulkan bermacam permasalahan seperti mulut terasa terbakar, peningkatan rasa haus, berkurangnya kepekaan terhadap rasa, halitosis oral, kesulitan mengunyah, menelan, berbicara dan bernafas melalui mulut, mulut bau, peningkatan resiko lesi pada mukosa, gusi dan lidah, serta peningkatan resiko kandidiasis, kerusakan gigi, penyakit periodontal, juga infeksi bakteri dan jamur pada mulut (Al-yassiri, 2014; Bossola & Tazza, 2012). Xerostomia adalah perasaan subyektif dari mulut kering yang umumnya ditemukan pada pasien yang mengalami hemodialisis kronis. Persentasi pasien hemodialisis yang mengalami xerostomia sebesar 32 – 81% (Lopez-Pintor et al.,. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(21) 4. 2017) dan data ini relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan Al-yassiri (2014), dimana terdapat 69,767% pasien hemodialisis kronik mengalami xerostomia. National Kidney Foundation (NKF) (2016) merekomendasikan beberapa cara untuk mengatasi rasa haus dan mulut kering (xerostomia) pada pasien hemodialisis seperti berkumur, minum dengan menggunakan gelas ukuran kecil untuk mencegah konsumsi cairan berlebih, mengunyah permen karet atau permen keras bebas gula, mengulum es batu dan memakan buah dingin, serta membatasi asupan garam. Pembatasan natrium melalui diet rendah garam merupakan faktor resiko yang dapat diubah untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular akibat retensi cairan. Menurut Mc. Causland, Waikar, dan Brunelli (2012), pembatasan natrium merupakan prinsip utama dalam manajemen pasien hemodialisis sejak pertama kali pasien menerima terapi pengganti ginjal.. Pembatasan natrium dapat. menurunkan IDWG, menurunkan kebutuhan akan obat hipertensi, dan memperbaiki dampak pada pembesaran ventrikel kiri serta berkurangnya rasa haus. National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NK- KDOQI) Guidelines merekomendasikan bahwa jumlah asupan natrium yang disarankan untuk pasien hemodialisis adalah sebanyak <2400 mg/hari atau setara dengan garam menja sebanyak <6 gram/hari mencegah komplikasi kardivaskular, sedangkan European Nutrition Guide merekomendasikan sebanyak 2000 sampai 2300 mg atau setara dengan garam dapur sebanyak 5-6 gram/hari dan menurut Kidney Organization Guide, natrium yang direkomendasikan adalah sebesar 1500 sampai 2000 mg per hari.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(22) 5. Hasil studi Mc. Causland, Waikar, dan Brunelli (2012) menunjukkan bahwa rata-rata asupan garam harian pasien hemodialisis di Jepang adalah 12,6 gram (~5,5 gram atau 240 mmol natrium), sedangkan pasien hemodialisis di Spanyol sebanyak 10 gram (~4,3 gram atau 189 mmol natrium) dan pasien hemodialisis di Amerika sebanyak 9,7 gram (~4,2 gram atau 183 mmol natrium). Sementara itu, penelitian Nerbass et al. (2013) mengindikasikan rata-rata natrium harian yang dikonsumsi pasien hemodialisa di Brazil adalah sebanyak 8.6 gram/hari yang diakibatkan dari adanya penggunaan garam dan tambahan penyedap makanan yang mengandung garam dalam makanan mereka, sehingga terjadinya peningkatan rasa haus, IDWG dan tekanan darah. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan, edukasi mengenai pembatasan garam pada pasien hemodialisis sudah dilakukan, namun pelaksanaan pembatasan tersebut selama pasien di rumah tidak dapat terpantau. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan IDWG di setiap sesi dialysis dan adanya peningkatan tekanan darah yang sering dialami oleh pasien khususnya pasien yang telah menjalani hemodialisis rutin lebih dari 6 bulan. Besarnya konsumsi asupan natrium harian sangat dipengaruhi oleh kemampuan pasien dalam menjaga dirinya sendiri (self-management) guna mengontrol gejala dan proses penyakit. Li, Jiang dan Lin (2013) dalam studinya mengatakan bahwa self-management diinterpretasikan sebagai tugas yang harus dilakukan oleh pasien dari hari ke hari untuk mengontrol atau mengurangi dampak penyakit terhadap status kesehatan fisiknya. Ryan dan Sawin (2009). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(23) 6. mengatakan bahwa self-management terdiri dari tiga komponen, yaitu proses, program dan outcomes. Secara proses, mekanisme self-management menitikberatkan kepada individu atau pasien sebagai subjek pelaku pengendali keberhasilan selfmanagement. Sedangkan secara program, intervensi dan edukasi yang diberikan tenaga kesehatan profesional merupakan tugas yang harus dilaksanakan pasien untuk. mencapai. outcomes,. yaitu. standar. kesehatan. yang. diinginkan. (memaksimalkan status kesehatan) (Schulman-Green et al., 2012). Li, Jiang dan Lin (2013) juga menjelaskan bahwa komponen dari self-management meliputi penerimaan akan informasi, manajemen obat, manajemen gejala, manajemen konsekuensi psikologi, perubahan gaya hidup, dukungan sosial, dan komunikasi. Kepatuhan akan diet khusus seperti diet rendah garam dan pembatasan cairan merupakan salah satu bentuk dari komponen manajemen gejala pada pasien hemodialisis. Edukasi tentang pembatasan asupan garam pada pasien hemodialisis merupakan intervensi yang telah banyak disosialisasikan oleh perawat dan tenaga kesehatan profesional lainnya kepada pasien sebagai intervensi untuk mengurangi rasa haus akibat adanya pembatasan cairan. Namun pada kenyataannya masih banyak pasien hemodialisis yang mengalami rasa haus, yang membuat mereka tersiksa, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan membuat kualitas hidup pasien terganggu. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus yang dirasakan oleh pasien hemodialisis.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(24) 7. Permasalahan Kegagalan dalam pembatasan cairan sering terjadi akibat kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalankan program pembatasan cairan yang telah dirancang antara tenaga kesehatan bersama pasien. Ketidakpatuhan pasien dalam hal pembatasan cairan memerlukan perhatian yang serius dari perawat. Edukasi yang tepat tentang manajemen cairan dan asupan makanan sangat diperlukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alharbi dan Enrione (2012) didapatkan 58.7% pasien hemodialisa tidak patuh terhadap pembatasan cairan, sehingga memerlukan konseling dan edukasi secara rutin dan berkelanjutan. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2013), dimana 10.3% pasien hemodialisis masih mengkonsumsi ikan yang diawetkan dengan garam dan 20.5% pasien masih mengkonsumsi makanan yang diawetkan. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu pembatasan cairan akan membuat pasien hemodialisis mengeluh haus dan mulut kering, sehingga membutuhkan terapi non farmakologis untuk mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan kajian yang lebih dalam tentang pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien hemodialisis.. Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien hemodialisis.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(25) 8. Tujuan khusus Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) untuk mengetahui karakteristik pasien hemodialisis yang mengalami rasa haus (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan lamanya mendapatkan terapi hemodialisis rutin), 2) untuk mengidentifikasi rasa haus sebelum dan sesudah intervensi manajemen diet rendah garam, 3) untuk mengidentifikasi pengaruh intervensi manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.. Hipotesis Hipotesis kerja (Ha) Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis. Hipotesis statistic (Ho) Hipotesis statistik pada penelitian ini adalah tidak ada pengaruh manajemen asupan makanan: diet rendah garam terhadap rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis. Adapun variabel independen pada penelitian ini adalah diet rendah garam, sedangkan variabel dependen yaitu rasa haus.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(26) 9. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelayanan keperawatan, pendidikan keperawatan dan perkembangan penelitian keperawatan. Pelayanan keperawatan Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi edukasi khususnya tentang pentingnya diet rendah garam pada pasien hemodialisa, sehingga tujuan perawatan dapat tercapai dan meningkatkan profesionalisme perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Pendidikan keperawatan Hasil penelitian ini dapat menjadi panduan manajemen asupan makanan bagi penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa, sehingga peserta didik keperawatan dapat mempelajari dan mempraktekkannya di rumah sakit maupun di akademik saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisa. Penelitian keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan penelitian selanjutnya terkait dengan manajemen asupan makanan bagi penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(27) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik Definisi National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) pada tahun 2002 menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan dan berdasarkan kelainan patologis, namun jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, maka diagnosis penyakit ginjal kronik tetap dapat ditegakkan apabila laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2. Apabila tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, namun LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2, maka keadaan ini tidak termasuk dalam kriteria penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Black & Hawk, 2005), sedangkan menurut Price dan Wilson (2005) gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible. Uremia adalah suatu sindroma klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ yang diakibatkan dari penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Smeltzer, Bare, Hinkle dan Cheever (2010) juga mengatakan bahwa penyakit ginjal kronik (CKD) atau gagal ginjal kronik (CRF) atau end stage renal disease (ESRD) merupakan kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan permanen, dimana tubuh tidak mampu. 10. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(28) 11. memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit dan berakibat peningkatan ureum (azotemia). Angka kejadian penyakit gagal ginjal bertambah setiap tahunnya dan pada negara-negara berkembang angka kejadian lebih tinggi 3-4 kali (Chironda & Bhengu, 2016). Wetmore dan Collins (2016) mengatakan bahwa pada negaranegara maju seperti Amerika dan Eropa Barat, angka kejadian ESRD sekitar 110.000 per tahunnya sejak pertengahan dekade, sedangkan berdasarkan data Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri, 2011), prevalensi ESRD di Indonesia mencapai 200-250 per 1 juta penduduk, dan diperkirakan pada tahun 2020 akan terdapat 1.200 kasus penyakit ESRD per satu juta penduduk diseluruh dunia (Shahghoglian & Yousefi, 2015). Etiologi Gagal ginjal kronik terjadi akibat dari berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal dan sebagian besar penyebab penyakit merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral. Lesi obstruktif pada saluran kemih juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Tabel 1. Etiologi Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia Tahun 2014 Penyebab Nefropati diabetika Penyakit ginjal hipertensi Glumerulopati primer (GNC) Nefropati obstruksi Pielonefritis kronik (PNC) Nefropati lupus Nefropati asam urat Ginjal polikistik Penyebab tidak diketahui Lain-lain (Sumber : Indonesia Renal Registry, 2014). Insiden 27% 37% 10% 7% 7% 1% 1% 1% 2% 7%. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(29) 12. Patofisiologi Patofisiologi gagal jantung kronik tergantung dari penyakit yang mendasari yang mengakibatkan adanya pengurangan masa ginjal dan akhirnya mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor, sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini merupakan proses adaptasi, yang terjadi sangat cepat dan diikuti dengan dengan proses maladapatasi yaitu berupa sklerosis nefron yang masih tersisa yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan fungsi nefron secara progresif. Hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas terjadi karena adanya peningkatan aktivitas. renin-angiostensin-aldosteron. intrarenal. yang. dipengaruhi. oleh. transforming growth factor β (TGF-β). Proses progresifitas ini dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia. Pada stadium awal penyakit, ginjal akan mengalami kehilangan daya cadangan (renal reverse), dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau mungkin meningkat, namun dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Keluhan biasanya belum tampak (asimptomatik) sampai dengan LFG mencapai 60%, tetapi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sudah terjadi. Pada saat LFG sebesar 30%, keluhan sudah mulai timbul seperti nokturia, kelemahan, mual, nafsu makan berkurang dan terjadi penurunan berat badan. Apabila LFG berada dibawah 30%, maka tanda dan gejala uremia secara signifikan terjadi seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(30) 13. metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga dapat terjadi infeksi saluran perkemihan, pencernaan, pernafasan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. Saat LFG kurang dari 15%, maka gejala gagal ginjal semakin berat dan memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis dan transplantasi ginjal. Ketidakseimbangan Cairan Mula-mula. ginjal. kehilangan. fungsinya. sehingga. tidak. mampu. memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang berlebihan (poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh karena adanya peningkatan beban zat dan kelebihan air sehingga nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Oleh karena itu, maka terjadilah osmotik diuretik yang menyebabkan seseorang mengalami dehidrasi. Apabila jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu menyaring urine (isothenuria). Pada tahap ini, glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium. Ketidakseimbangan Natrium Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius pada penyakit ginjal dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari dan dapat meningkat sampai 200 mEg perhari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”. Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium, sehingga menyebabkan LFG menurun dan dehidrasi.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(31) 14. Kehilangan natrium akan meningkat bila terjadi gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada gagal ginjal kronik yang berat, keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Pada orang sehat, ekskresi natrium dapat meningkat diatas 500 mEq/hari. Bila LFG menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet harus dibatasi 1-1,5 gram/hari. Ketidakseimbangan Kalium Apabila keseimbangan cairan dan asidosis metabolic dapat dikontrol, maka ketidakseimbangan kalium biasanya jarang terjadi sebelum stadium 4. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldostreron. Selama urine output. dapat. dipertahankan,. maka. kadar. kalium. biasanya. terpelihara.. Hiperkalemia terjadi karena pemasukan yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi) dan hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia. Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah dan diare berat. Pada penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal akan mereabsorbsi kalium, sehingga ekskresi kalium meningkat. Apabila hipokalemia persisten, kemungkinan LFG menurun dan produksi NH3 meningkat, kadar HCO3 menurun dan natrium bertahan. Ketidakseimbangan Aasam Basa Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresi ion hidrogen untuk menjaga keseimbangan pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan pengeluaran ion H. Pada umumnya penurunan ekskresi ion H. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(32) 15. sebanding dengan penurunan LFG. Akibat terbentuknya asam yang terus menerus akibat metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltasi secara efektif saat melewati glomerulus, maka kadar NH3 menurun dan sel tubuler menjadi tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat juga akan memperberat ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hidrogen ini dibuffer oleh mineral tulang, sehingga dapat memungkinkan terjadinya osteodistrophy .. Ketidakseimbangan Magnesium Pada tahap awal gagal ginjal kronik, kadar magnesium biasanya normal. dan akan menurun secara progresif seiring dengan kerusakan ginjal dan menyebabkan akumulasi. Akibat terjadinya penurunan eksresi dan terjadi intake yang berlebihan, maka dapat terjadi henti nafas dan jantung. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfor Kadar kalsium dan fosfor dapat dipertahankan dalam batas normal karena adanya hormon paratiroid yang menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, memobilisasi kalsium dari tulang dan mendepresi reabsorbsi tubuler dari fosfor. Namun bila fungsi ginjal menurun sebesar 20-25% dari normal, maka hiperfosfatemia dan hipokalsemia terjadi dan menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Oleh karena keadaan ini, maka vitamin D menjadi terganggu. Apabila keadaan hiperparatiroidisme sekunder berlangsung dalam waktu yanng lama, maka dapat mengakibat terjadinya osteorenaldystrophy. Gangguan Fungsi Hematologi Salah satu fungsi ginjal adalah memproduksi hormon eritropoetin yang berguna untuk mengontrol produksi sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi eripoetin mengalami gangguan, sehingga merangsang pembentukan sel darah. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(33) 16. merah oleh bone marrow. Dengan adanya akumulasi racun uremia, maka akan menekan produksi sel darah merah dalam bone marrow dan mengakibatkan masa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek dan mengakibatkan anemia. Manifestasi klinis anemia yang diakibatkan diantaranya adalah terjadinya kepucatan, takikardi, penurunan toleransi aktivitas, gangguan pendarahan seperti epitaksis, pendarah gastrointestinal, petekhie. Walaupun produksi trombosit masih dalam batas normal, namun pendarahan tetap dapat terjadi akibat adanya penurunan fungsi. Peningkatan kehilangan sel darah merah juga dapat terjadi akibat adanya pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan selama dialisis. Retensi Ureum Kreatinin Urea merupakan hasil metabolik protein, kadarnya akan meningkat pada penderita gagal ginjal akibat terjadi penurunan LFG dan terjadi akumulasi urea. Keadaan ini dapat diperparah bila tidak dilakukan pembatasan intake protein. Oleh karena itu, BUN dan serum kreatinin merupakan indikator yang baik pada gagal ginjal. Kadar kreatinin serum yang diseksresikan merupakan gambaran dari kadar kreatinin yang diproduksi tubuh secara konstan. Klasifikasi Gagal Ginjal Penyakit gagal ginjal diklasifikasikan berdasarkan derajat penurunan fungsi ginjal yang dinilai berdasarkan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) atau Glomeruler Filtration Rate (GFR), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Derajat GFR normal adalah : 125 mL/min/1,73m2 (Smeltzer et al., 2010). Berikut adalah klasifikasi penyakit ginjal kronis yang dapat dilihat dalam tabel 2.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(34) 17. Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Derajat. LFG (ml/mnt/1,73m2. Penjelasan. Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 2 ringan Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 3 sedang 4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 5 Gagal ginjal terminal (Sumber : Smeltzer et al., 2010) 1. ≥ 90 60 – 89 30 – 59 15 – 29 ≤ 15 atau dialisis. Manifestasi Klinis Manisfestasi klinis yang dapat ditimbulkan pada gagal ginjal kronik yaitu: Gangguan Sistem Gastrointestinal Penderita gagal ginjal kronik akan menunjukkan gejala a) anoreksia, nausea dan vomitus, yang diakibatkan karena adanya gangguan motabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metal guanidine, serta adanya pembengkakan mukosa usus; b) foetor uremik, yang diakibatkan dari kadar ureum yang berlebihan pada air liur dan diubah menjadi amonia oleh bakteri di mulut, sehingga nafas berbau amonia. Stomatitis dan parotitis dapat terjadi akibat adanya foetor uremik ini; c) cegukan (hiccup); d) gastritis erosif, ulkus peptik dan kolitis uremik. Kulit Pada sistem integumen akan terjadi a) kulit berwana pucat (akibat anemia) dan kekuning-kuningan (akibat penimbunan urokrom), gatal-gatal dengan eksoriasi (akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit); b)ekimosis, yang diakibatkan dari gangguan hematologis; c) urea fros, yang. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(35) 18. diakibatkan dari adanya kristlisasi urea pada keringat (biasanya jarang ditemui); dan d) bekas garukkan yang diakibatkan dari rasa gatal pada kulit. Sistem Hematologi Anemia Anemia yang terjadi disebabkan oleh: a) berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang belakang menurun; b) hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik; c) defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang kurang; d) perdarahan, (paling sering terjadi pada saluran cerna dan kulit); e) fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia Perdarahan pada gagal ginjal kronik terjadi akibat adanya agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP (adenosin difosfat). Gangguan fungsi leukosit Fungsi limfosit menurun akibat adanya fagositosis dan kemotaksis, sehingga imunitas penderita gagal ginjal kronik juga menurun. Sistem Saraf dan Otot Pada sistem ini akan terjadi: a) restless leg syndrome, yaitu keadaan dimana pasien merasa pegal pada area kaki, sehingga kaki selalu digerakkan; b) burning feat syndrome, yaitu keadaan dimana pasien merasa adanya sensasi kesemutan dan seperti terbakar terutama di area telapak kaki; c) ensefalopati metabolik, mengakibatkan rasa lemah, tidak dapat tidur, gangguan konsentrasi,. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(36) 19. tremor, ateriksis, mioklonus dan kejang; d) miopati, mengakibatkan rasa kelemahan dan hipotrofi otot-otot ekstremitas proksimal. Sistem Kardiovaskular Pada sistem kardiovakular akan terjadi: a) hipertensi, akibat adanya penimbunan cairan dan garam atau juga dikarenakan aktivitas sistem reninangiostensin-aldosteron; b) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensi;c)gangguan irama jantung akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik; d) edema akibat penimbunan cairan. Sistem Endokrin Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada sistem ini meliputi: a) terjadi gangguan seksual seperti libido, fertilitas dan ereksi pada laki-laki yang diakibatkan. dari. menurunnya. produksi. testoteron. dan. spermatogenesis.. Sedangkaan pada wanita terjadi gangguan menstruasi dan ovulasi sampai dengan amenorea; b) gangguan metabolisme glukosa, terjadinnya resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin;. c) gangguan metabolisme lemak; d) gangguan. metabolisme vitamin D. Gangguan Ssistem Lain Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami: a) masalah tulang dan jaringan lunak seperti osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis; b) asidosis metabolik akibat terjadinya penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme; c) gangguan elektrolit seperti hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hipokalsemia.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(37) 20. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan. diagnostik. yang. dilakukan. antara. lain. pemeriksaan. laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain serum natrium, serum kalium, pH urine, serum fosfor, hemaglobin, hematokrit, urea nitrogen dalam darah (BUN), creatinin serum dan konsentrasi creatinin urin serta urinalisis. Pada stadium insufisiensi, analisa urine dan kreatinin urin rata-rata yang dihasilkan dari urin tampung selama 24 jam yang bertujuan sebagai indikator untuk menilai fungsi ginjal. Sedangkan pada stadium gagal ginjal, analisa urin dilakukan untuk melihat kadar protein, glukosa, eristrosit, leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Kadar BUN dan kreatinin juga sangat penting untuk dimonitor guna melihat adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein, karena urea nitrogen merupakan produk akhir dari metabolisme protein dan kreatinin adalah produk sampingan dari hasil pemecahan fosfokreatin diotot yang dibuang melalui ginjal. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan antara lain a) computer tomography (CT) scan, yang digunakan untuk melihat secara jelas struktur anatomi ginjal; b) interneous pyelography (IVP), untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras; c) arteriorenal angiography, yang digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena dan kapiler pada ginjal dengan menggunakan kontras; d) magnetic resnance imaging (MRI), digunakan untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropati, proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(38) 21. Konsep Hemodialisis Pengertian dan Prinsip Hemodialisis Dialisis adalah cara yang digunakan untuk mengeluarkan air dan produk sampah uremik dari tubuh ketika ginjal tidak mampu melakukan tugasnya (Smeltzer et al., 2010). Terdapat tiga cara untuk melakukan dialisis ini yaitu hemodialisa, continous renal replacement therapy (CRRT) dan dialisis peritoneal. Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainnya yaitu cairan dialisat melewati membran semipermiabel dalam dializer (Price & Wilson, 2005). Difusi merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan dengan konsetrasi rendah sampai tercapai kondisi seimbang. Proses ini dipengaruhi oleh suhu, viskositas, dan ukuran molekul. Saat darah dipompa melalui dializer, maka membran akan mengeluarkan tekanan positifnya, sehingga tekanan diruangan yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik tersebut, maka cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel dan proses ini disebut juga dengan ultrafiltrasi. Tujuan hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang umur klien. Hemodialisis ditujukan pada penderita gagal. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(39) 22. ginjal akut yang membutuhkan terapi dialisis jangka pendek (hanya beberapa hari/minggu saja) dan pada penderita gagal ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen (Smeltzer et al., 2010). Secara umum hemodialisis diindikasikan pada penderita gagal ginjal kronik dengan: 1) LFG kurang dari dari 15 ml/mnt; 2) hiperkalsemia; 3) asidosis; 4) kegagalan terapi konservatif; 5) kadar ureum lebih dari 200 mg/dL dan kreatinin lebih dari 6 mEq/L; 6) kelebihan cairan; 7) anuria berkepanjangan lebih dari 5 hari. Garam Natrium pada Pasien Dialisis Natrium merupakan komponen garam utama dalam cairan ektraselular dan pengatur dalam osmolaritas serum. Peningkatan kadar natrium tubuh akan mengakibatkan retensi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan peningkatan kerja jantung akibat peningkatan volume dan tekanan curah jantung, sehingga dapat menyebabkan kematian. Peningkatan kadar garam natrium tubuh juga dapat mengakibatkan rasa haus sehingga tubuh berespon untuk meningkatkan asupan minumnya, guna mempertahankan kadar natrium tubuh dan osmolalitas. Peningkatan konsumsi cairan sebagai respon terhadap rasa haus akan membuat pasien hemodialisis mengalami peningkatan berat badan kering (interdialytic weight gain/IDWG) yang dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian. Hubungan antara Natrium dan Keseimbangan Cairan Keseimbangan air tubuh dan garam (NaCl) sangat erat kaitannya, mempengaruhi baik osmolalitas maupun volume cairan ektraseluar (ECF). Tetapi, pengaturan keseimbangan natrium dan air melibatkan mekanisme yang berbeda dan tumpang tindih. Keseimbangan air tubuh terutama diatur oleh rasa haus dan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(40) 23. hormon antideuretik (ADH) untuk mempertahankan isoosmotik dari plasma (mendekati 287 mOsmol/kg). Sebaliknya, keseimbangan natrium terutama diatur oleh aldosteron dengan tujuan mempertahankan volume ECF dan perfusi jaringan. Pengaturan osmotik diperantarai oleh hipotalamus, pituitaria dan tubulus ginjal. ADH adalah hormon peptida yang disintesis di hipotalamus dan disimpan di hipofise. Hipotalamus juga mempunyai osmoreseptor yang peka terhadap osmolalitas darah dan pusat rasa haus. Rasa haus merangsang pemasukan air dan merangsang ADH untuk mengubah permeabilitas duktus kolektif ginjal, meningkatkan reabsorpsi air. Akibatnya terjadi peningkatan volume air tubuh yang akan memulihkan osmolalitas plasma kembali normal dan terbentuk urine yang hiperosmotik (pekat) dengan volume yang sedikit. Penurunan osmolalitas plasma mengakibatkan hal yang sebaliknya dimana terjadi penekanan rasa haus dan menghambat pelepasan ADH. Mekanisme ADH begitu sensitif, sehingga osmolalitas plasma dalam keadaan normal variasinya tidak melebihi 1-2% dari nilai normal yaitu sebesar 287 mOsmol/kg. Penurunan volume cairan ektraselular yang cukup besar (5-10%) baru dapat menimbulkan rasa haus dan pelepasan ADH. Dengan demikian, mekanisme ADH sangat erat kaitannya dengan pengaturan osmotik melalui pengendalian keseimbangan cairan. Sistem renin-angiostensin-aldosteron adalah mekanisme yang paling penting dalam mengatur volume ECF dan ekskresi natrium oleh ginjal. Aldosteron adalah homon yang disekresi oleh daerah glomerulo pada korteks adrenal. Produksi aldosteron dirangsang oleh baroresptor yang ada pada arteriol aferen ginjal. Penurunan volume sirkulasi dideteksioleh baroresptor yang mengakibatkan sel-sel jukstaglomerular ginjal memproduksi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(41) 24. renin. Renin bekerja sebagai enzim yang melepaskan angiostensin I dari plasma angiostensinogen. Angiostensin I kemudian diubah menjadi angiostensin II pada paru-paru. Angiostensin II ini merangsang korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron yang mengakibatkan retensi natrium dan air. Selain itu, angiostensin II untuk membantu memulihkan volume sirkulasi efektif. Konsentrasi Natrium dalam Dialisat Dialisat adalah cairan interstisial (plasma) sintetis yang mampu membentuk kembali komposisi ECF melalui ekstraksi urea dengan cara memisahkan larutan dari pelarutnya (garam dan air) untuk dapat diedarkan kembali kedalam tubuh (Flanigan, 2000). Setiap pasien yang menerima terapi dialisis akan menggunakan dialisat, dan komposisi kimia dari dialisat terbanyak adalah garam dan air. Kebanyakan cairan dialisat yang digunakan adalah dialisat natrium. Tingkat dialisat natrium menentukan tidak hanya pertukaran natrium antara dialisat dan plasma atau plasma dengan ECF saja, tetapi juga pertukaran antara air dialisat dan plasma, antara plasma dan ECF, dan antara ECF dan intraselularnya. Pada saat hemodialisis, proses ultrafiltrasi terjadi secara osmotik dan hidrostatik. Ultrafiltrasi osmotik terjadi karena konsentrasi air dalam plasma lebih tinggi daripada dalam dialisat, maka air akan mengalir dari plasma ke dialisat. Oleh karena itu, bila dialisat yang digunakan adalah dialisat isonatrik, maka hipernatremia akan selalu terjadi. Selanjutnya pada proses ultrafiltrasi hidrostatik, diharapkan kadar natrium plasma (darah) agar tetap konstan, oleh karena itu pada tahap ini air dan garam yang berlebih dibuang untuk tetap mempertahankan status kering pasien.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(42) 25. Kadar. natrium. pada. cairan. dialisat. berperan. penting. dalam. mengembalikan volume darah dari kompartemen intrastisial. Pengembalian volume darah dari interstisial ke dalam kompartmen intravaskular akan rendah bila status hidasi dari interstisial juga rendah. Semakin tinggi konsentrasi natrium pada cairan dialisat, maka cairan akan bergerak dari kompartemen intraselular, sedangkan konsetrasi natrium yang rendah akan mengakibatkan disequilibrium antara kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu, penggunaan dialisis dengan kadar natrium rendah akan mengakibatkan pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial akan terganggu karena seharusnya cairan bergerak dari interstisial kedalam kompartemen intraselular, sehingga memperngaruhi pengembalian volume dari interstisial ke dalam kompartemen intravaskular. Pemodifikasian kadar natrium dialisat yang digunakan untuk dialysis banyak dilakukan dengan tujuan mengurangi keluhan saat hemodialisis, diantaranya modifikasi yang dilakukan oleh George Lam Sui Sang et al. (1997) dalam Siregar (2014), dimana dalam penelitiannya tersebut kadar natrium dialisat yang digunakan diturunkan dari 155mEq/L menjadi 140 mEq/L dan dilakukan secara tetap, linear maupun secara bertahap pada 414 sesi hemodialisis pada 23 orang pasien yang dilakukan secara acak. Dari hasil penelitian yang dilakukannya ini dinyatakan tidak ada perbedaan bermakna antara protokol modifikasi dengan standar dialisis, yaitu keduanya tetap mengalami efek samping hemodialisis seperti kram, mual, muntah dan sakit kepala. Namun keluhan interdialitik (seperti fatique dan rasa haus), peningkatan berat badan dan hipertensi terjadi peningkatan pada kelompok protokol. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(43) 26. Davenport et al. (2008), dimana mereka melakukan penelitian dengan membandingkan antara kelompok yang menggunakan konsentrasi natrium 140 mmol/L dan >140 mmol/L, maka didapatkan bahwa 13,5% pasien pada kelompok dialisat tinggi natrium mengeluhkan hipotensi intradialisis dan membutuhkan resusitasi cairan, sedangkan pada kelompok dialisat rendah natrium hanya 2,7 % saja yang mengeluhkan hipotensi intradialisis. Penelitian Santos dan Peixoto (2008) mengindikasikan bahwa penggunaan dialisat rendah natrium dapat menurunkan rasa haus, IDWG dan tekanan darah pasien dibandingkan dengan menggunakan dialisis reguler. Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dunlop et al. (2013) yang menunjukkan bahwa ada penurunan signifikan terhadap IDWG, nilai haus interdialitik, episode hipotensi intradialitik pada pasien dengan dialisat rendah natrium dibandingkan dengan dialisis reguler. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bruzda-Zwiech et al. (2013), ada pengaruh antara rasa haus dan mulut kering (xerostomia) dengan peningkatan gradien natrium pre-dialisis. Pada penelitian ini dijelaskan juga bahwa hiposalivasi adalah salah satu faktor yang paling signifikan berkaitan dengan IDWG, yaitu secara jelas menerangkan hubungan antara penurunan produksi saliva dan peningkatan berat badan pada pasien untuk mempertahankan hemodialisis.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(44) 27. Konsep Sensasi Haus Konsumsi air diatur oleh rasa haus. Rasa haus sangat berperan dalam homeostasis cairan khususnya pada kompleks saraf dan proses hormonal agar keseimbangan cairan dan natrium tercapai dalam tubuh. Fisiologi Haus Haus merupakan sensasi yang terbentuk akibat gabungan aksi beberapa jenis sensor, baik yang berada diperifer maupun di sistem saraf pusat. Pusat kontrol haus berada di hipotalamus. Hipotalamus terstimulasi akibat adanya peningkatan osmolaritas, kehilangan secara berlebihan, hipovolemia, sistem reninangiostensin-aldosteron, penurunan kadar kalium, faktor-faktor psikologis, dan kekeringan orofarengeal. Kehilangan cairan yang melalui intrasel maupun ektrasel akan merangsang rasa haus, yang disebut dengan haus osmometrik dan haus volumetrik. Haus Osmometrik Pusat rasa haus terangsang akibat adanya dehidrasi intrasel. Pada saat yang bersamaan juga terjadi peningkatan osmolaritas dari cairan ektrasel, sehingga hipotalamus terstimulasi. Kehilangan cairan secara fisiologis (urine, keringat, penguapan saat bernafas yang merupakan hasil kerja dari sistem homeostasis tubuh sebagai pusat pengontrol hilangnya air) akan menyebabkan kehilangan cairan dari kompartemen ektrasel dan intrasel dan mengakibatkan terjadinya hipertonitas osmotik. Adanya sekresi saliva yang berkurang (akibat respon kelenjar saliva terhadap hipertonitas osmotik) akan mengakibatkan perasaan kering di mulut dan tenggorokan, yang merupakan karakteristik rasa haus.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(45) 28. Hipotalamus merupakan pusat pengatur keseimbangan cairan dan garam. Sejumlah osmoreseptor di hipotalamus diaktivasi karena adanya peningkatan konsentrasi garam intrasel. Apabila selkehilangan cairan akibat intake yang kurang, maka timbullah rasa haus. Haus Volumetrik Berkurangnya volume cairan didalam rongga ektrasel akan mengaktivasi sensor haus (strech reseptor) yang berada di dinding pembuluh darah vena yang letaknya dekat dengan jantung. Strech reseptor juga merupakan pengatur keseimbangan cairan dan induksi haus dalam tubuh yang berfungsi sebagai penerus informasi ke sistem saraf pusat. Mekanisme neural ini juga didukung oleh faktor hormonal. Adanya dehidrasi ektrasel akan menyebabkan pelepasan renin sehingga terbentuk angiostensin II. Angiostensin II ini akan mengaktivasi pusat rasa haus. Proses Rehidrasi Rasa haus akan mendorong seseorang untuk minum. Minum merupakan mekanisme koreksional yang bertujuan untuk menggantikan simpanan tubuh yang hilang. Perilaku minum dikontrol oleh mekanisme satiety atau kekenyangan. Mekanisme inilah yang membedakan adanya haus akibat tubuh kekurangan cairan menyeluruh atau haus sejati. Pada haus menyeluruh, seperti mulut yang kering akibat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut dan memakan makanan yang kering, maka rasa haus yang timbul dapat dihilangkan dengan membasahi mukosa mulut, namun pada haus sejati tindakan ini tidak dapat menghilangkan rasa haus karena satiety yang dihasilkan reseptor-reseptor yang ada di dalam mulut tidak berlangsung lama (Rahmawati, 2008).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(46) 29. Pada pasien hemodialisis, mekanisme koreksional minum sangat berpengaruh terhadap kemampuan ginjal dalam melakukan fungsinya. Oleh karena itu, respon berkurangnya rasa haus pasien harus disesuaikan dengan nilai interdialytic weight gain (IDWG) yang merupakan indikator dari compliance rasa haus. Haus pada Hemodialisis Rasa haus yang dirasakan oleh pasien hemodialysis akibat kebijakan pembatasan cairan digambarkan dengan 4 dimensi yaitu dimensi intensitas, distress haus, kualitas dan waktu (Waldreus, 2016). Berdasarkan manajemen model gejala, haus terdiri dari 2 komponen yaitu komponen respon dan komponen evaluasi. Komponen evaluasi ini mengacu kepada penilaian terhadap gejala yang dirasakan pasien hemodialisis seperti frekuensi haus, intersitas, durasi dan distress. Sedangkan komponen respon meliputi psikologi, emosional dan gejala perilaku yang diekspresikan seperti adanya perubahan fisik, kognitif dan afektif. Intensitas rasa haus didefinisikan sebagai keparahan, kekuatan dan jumlah rasa haus yang dirasakan pasien. Pengukuran intensitas haus dapat dilakukan dengan menggunakan visual analog scale (VAS) dengan rentang skala 0-10 cm secara kontinum dalam garis horisontal. Ujung paling kiri dengan nilai 0 diberikan kategori “tidak haus” dan ujung paling kanan dengan nilai 10 diberi kategori “haus yang sangat menyiksa” (Kara, 2016). Intepretasi hasil pengukuran visual analog scale tersebut adalah sebagai berikut: a) Nilai 1-3: haus ringan, b) Nilai 4-6: haus sedang, c) Nilai > 7: haus berat. Haus distress adalah derajat gangguan yang dirasakan seseorang akibat haus atau dapat juga dihubungkan dengan ketidaknyamanan, sedangkan haus. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(47) 30. durasi adalah lamanya waktu haus yang dirasakan seseorang dan biasanya diekspresikan dengan lamannya episode haus.. Frekuensi haus didefinisikan. sebagai seberapa sering sesorang merasakan haus. Welch (2002) dalam studinya menyatakan distress haus sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu dan dimensi kualitas, oleh karena itu pengukuran distress haus telah mewakili pengukuran dimensi kualitas dan waktu. Pada pasien hemodialisis, pembatasan cairan akan mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi dan aliran saliva, sehingga saliva menjadi kental dan mulut terasa kering dan terbakar. Thirst distress scale (TDS) merupakan alat ukur yang tepat digunakan untuk menilai tingkat ketidaknyamanan akibat rasa haus yang dialami pasien sejak terakhir dialisis sebagai respon (Martins & Fonseca, 2017). TDS terdiri dari 6 item pertanyaan dengan penilaian menggunakan skala likert 5 point, mulai dari 1 sampai 5 yaitu : 1: sangat tidak setuju, 2: tidak setuju, 3: ragu-ragu, 4: setuju, 5: sangat setuju. Total skor yang dihasilkan diinteprestasikan dengan skor 1-10: rasa haus ringan, 11-20: rasa haus sedang dan 21-30: rasa haus berat. Xerostomia Merupakan keluhan yang bersifat subyektif dan obyektif dari mulut kering (Zehm et al., 2016), sedangkan Al-yassiri (2014); Sugiya (2014) mengatakan bahwa xerostomia merupakan perasaan mulut kering yang bersifat subyektif yang diakibatkan dari berkurangnya produksi saliva dan penurunan laju aliran saliva. Sugiya (2014) juga mengatakan bahwa secara obyektif, rasa haus dapat dilihat dari terjadinya penurunan jumlah aliran saliva, saliva yang berbuih atau tidak terurai (kental) dan mukosa mulut yang kering.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(48) 31. Xerostomia terjadi karena adanya masalah pada saliva dan non saliva. Pada non saliva, penyebab xerostomia antara lain dehidrasi, gangguan kognitif, disfungsi neurologi, disfungsi oral sensori, gangguan psikologi, dan bernafas melalui mulut. Hiposalivasi terjadi karena adanya disfungsi kelenjar saliva dan karena gangguan pemekatan saliva. Xerostomia disfungsi kelenjar saliva terjadi karena adanya gangguan autoimun (misalnya pada penderita sindrom Sjogren), trauma pada kelenjar saliva, akibat dampak radiasi pada kelenjar saliva, dan penyakit diabetes mellitus. Sedangkan xerostomia akibat gangguan pemekatan saliva terjadi dampak dari efek samping dari pengobatan, efek dari perubahan psikologis seperti stress emosional, dan depresi psikotik Sekresi saliva dikontrol oleg lengkung reflek. Reflek terbentuk karena adanya impuls saraf afferent yang terprovokasi akibat adanya aktifasi reseptor aferent yang dirangsang oleh tindakan mengunyah dan menyicipi makanan yang diteruskan ke dalam medula oblongata. Oleh medula oblongata indormasiini kemudian diteruskan ke kelenjar saliva melalui saraf eferent parasimpatik agar memproduksi saliva. Penderita xerostomia biasanya mengeluhkan adanya perubahan rasa pada makanan yang dikonsumsinya, kesulitan dalam mengunyah dan menelan makanan khususnya makanan yang kering dan membutuhkan cairan untuk membantu mengunyah makanan tersebut. Keluhan lainnya yang sering dirasakan adalah adanya halositosis, mulut dan lidah terasa terbakar (stomatodynia) dan intoleransi terhadap makanan yanga sam dan pedas. Semua keluhan ini dapat membuat. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(49) 32. penderita mengalami gangguan nutrisi dan mengakibatkan kualitas hidup yang menurun. Xerostomia dapat berkontribusi terhadap rasa haus, namun semua pasien yang mengalami mulut kering belum tentu mengalami rasa haus. Begitu juga sebaliknya, pasien haus belum tentu mengalami xerostomia (Zehm et al., 2016).. Konsep Manajemen Asupan Makanan (Nutrisi) Pengertian manajemen Manajemen berasal dari kata “manage” yang berarti mengatur/mengelola. Pengaturan yang dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan fungsi manajemen itu sendiri. Menurut Stoner (2006), manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan. Sementara itu, Hasibuan (2000) menjelaskan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah ilmu dan seni melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan menjalankan fungsi manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Manajemen sangat diperlukan dalam menjalankan proses keperawatan, khususnya manajemen diri pada pasien hemodialisis dengan tujuan meningkatan kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Pasien hemodialisis memerlukan manajemen nutrisi dan cairan dengan tujuan: 1) mempertahankan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(50) 33. status nutrisi pasien, 2) kontrol akan tekanan darah dan mencegah komplikasi, 3) meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup pasien. Pengertian Aasupan Makanan (nutrisi) Asupan makanan atau nutrisi adalah zat yang terkandung didalam makanan yang dibutuhkan manusia atau mahluk hidup lainnya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan fungsinya. Nutrisi dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien adalah nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang besar dan berfungsi sebagai sumber energi. Yang termasuk dalam makronutrien antara lain karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan mikronutrien adalah nutrisi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil dan berfungsi untuk melaksanakan fungsi fisiologis tubuh dan tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh. Yang termasuk mikronutrien antara lain vitamin dan mineral. Asupan nutrisi yang seimbang memerlukan pola makan dan diet yang baik dan benar, serta disiplin dalam menjalankannya. Pada penderita CKD dengan hemodialisis terdapat aturan atau protokol yang harus dilakukna oleh pasien secara disiplin, agar tujuan manajemen nutrisi dapat tercapai, antara lain 1) pembatasan asupan makanan (diet) protein, 2) pembatasan diet natrium, 3) pembatasan diet phospat, 4) pembatasan diet kalium, 5) makanan yang mengadung polifenol, 6) pembatasan diet kalori, 7) olahraga, 8) menghindari rokok, 9) menghindari alkohol, 10) menghindari minuman bersoda, 11) pembatasan asupan cairan, 12) melakukan pengaturan makanan sesuai kebutuhan tubuh yang dilakukan ahli diet, 13) melakukan diet tinggi serat (Kidney Health Australia, 2012).. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(51) 34. Diet Rendah Garam Natrium Kadar natrium dalam tubuh manusia adalah 135-145 mEq/L dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, makan dibutuhkan sedikitnya 1000 mg natrium per hari dengan tujuan agar fungsi tubuh tetap terpelihara (Price & Wilson, 2005). Berdasarkan National Kidney Foundation–Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NK-KDOQI) Guidelines jumlah asupan natrium yang disarankan untuk pasien hemodialisis adalah sebanyak <2400 mg/hari atau setara dengan garam meja (NaCl) sebanyak <6 gram/hari, sedangkan European Nutrition Guide merekomendasikan sebanyak 2000 sampai 2300 mg atau setara dengan garam meja sebanyak 5-6 gram/hari, dan menurut Kidney Organization Guide, natrium yang direkomendasikan adalah sebesar 1500 sampai 2000 mg per hari atau setara dengan 5 gram/hari atau setara dengan 1 sendok the garam meja per hari. Diet rendah natrium dilakukan dengan tujuan untuk: 1) mencegah terjadinya penimbunan cairan dalam tubuh yang mengakibatkan tubuh menjadi bengkak, tekanan darah meningkat, sesak nafas dan pembengkakan jantung, 2) mengurangi rasa haus, dan 3) mengurangi ketidaknyamanan selama dialysis.. Landasan Teori Teori yang akan diaplikasikan pada penelitian ini adalah teori Individual and Family Self-Management (IFSMT) yang dikembangkan oleh Ryan dan Sawin. Konsep self-management sendiri telah digunakan lebih dari 40 tahun dan pertama kali digunakan oleh Thomas Creer yang tertulis dalam bukunya tentang rehabilitasi sakit kronis pada anak (Grady & Gough, 2014). Self-management didefinisikan sebagai pengeloloaan kondisi kronis yang dilakukan oleh individu. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(52) 35. yang dilakukan dari hari ke hari untuk mengendalikan penyakitnya (Grady & Gough, 2014). Sedangkan Iversen et al. (2014) mengatakan bahwa selfmanagement adalah kemampuan individu untuk mengelola tanda, penanganan, konsekuensi fisik dan psikososial, dan perubahan gaya hidup yang melekat dalam hidup dengan kondisi kronis. Self-management merupakan hal terpenting dalam pengelolaan penyakit kronis karena memungkinkan seseorang untuk menangani gejala, cara pengobatan, dan untuk beradaptasi dengan perubahan gaya hidup yang berhubungan dengan penyakit fisik, psikologis,dan konsekuensi sosial (Zwerink et al., 2014) Self-management menitik-beratkan kepada keterampilan individu dalam mengatur diri dan mengendalikan perilaku, oleh karena itu strategi yang digunakan. dalam. mengembangkan. self-management. adalah. pendidikan. (educational), perilaku (behavioral) dan kognitif (cognitive). Self-management banyak dipengaruhi oleh teori-teori lain seperti teori tentang efikasi diri oleh Bandura, problem-solving oleh D’Zurilla, self-management oleh Cheer, penyakit kronik oleh Corbin dan Straus, dan juga teori perspective chronic illness to wellness oleh Patterson. Ryan dan Sawin (2009) dalam teorinya Individual and Family SelfManagement (IFSMT) menjelaskan bahwa penggunaan kata self–management mengacu kepada tiga dimensi yang berbeda, yaitu konteks, proses dan hasil (outcomes). Secara konteks, self-management dipengaruhi oleh 1) faktor kondisispesifik, 2) fisik, lingkungan sosial dan 3) karakteristik individu dan keluarga. Yang termasuk dalam faktor kondisi-spesifik disini adalah meliputi bagaimana kondisi fisiologis, struktur, dan karakteristik fungsi yang ditimbulkan oleh. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(53) 36. penyakit, bagaimana cara penanganan dan pencegahan agar dampak yang ditimbulkan penyakit tidak semakin besar, dan perilaku apa yang dibutuhkan untuk mengatur hal tersebut. Pada teorinya ini, Ryan dan Sawin menjelaskan bahwa kondisi spesifik dapat terjadi akibat adanya kondisi yang kompleks, penanganan yang kompleks dan penanganan/jalan yang harus ditempuh oleh pasien. Ini juga dipengaruhi oleh bagaimana kestabilan pasien secara fisiologis (kondisi fisiologis transisi). Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang mempengaruhi pasien baik secara fisik maupun secara sosial. Yang termasuk dalam faktor lingkungan disini adalah bagaimana cara mencapai layanan kesehatan/perawatan (akses), masa transisi akibat layanan kesehatan yang diterima, transportasi, budaya dan keadaan sosial perkotaan. Sedangkan untuk faktor karakteristik individu dan keluarga dipengaruhi oleh fase perkembangan individu dan keluarga, perspektif individu dan keluarga terhadap kesehatan dan penyakit yang dialami, bagaimana informasi yang diterima dapat diproses oleh individu/keluarga tersebut, Secara proses, self-management ini dipengaruhioleh beberapa teori seperti teori perilaku, teori self-regulation, dan teori social support. Dalam teorinya Ryan dan Sawin memaparkan bahwa dimensi proses self-management dipengaruhi oleh: 1) pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki pasien, 2) regulasi diri (selfregulation), keterampilan dan kemampuan pasien, serta 3) fasilitas sosial yang tersedia. Pengetahuan individu dan keluarga didapat karena adanya informasi yang mereka terima. Ryan dan Sawin beranggapan bahwa informasi yang diterima pasien bila dipadukan dengan keyakinan yang mereka anut akan dapat mengubah perilaku pasien. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan keyakinan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(54) 37. dapat mempengaruhi efikasi diri pasien, sehingga pasien mampu membuat harapan terhadap hasil dari program perawatan yang akan mereka capai yang disesuaikan dengan kondisi kesehatannya saat ini. Untuk mencapai harapan tersebut, maka dibutuhkan pengaturan diri (self-regulation). Self-regulation adalah kemampuan untuk mengubah perilaku sehat pasien yang dipengaruhi oleh aktivitas goal setting, kemampuan untuk self-monitoring dan berfikir reflektif, kemampuan untuk mengambil keputusan, kemampuan merencanakan dan melaksanakan program sesuai dengan perilaku spesifik, kemampuan untuk mengevaluasi diri, dan mengatur respon fisik, emosi dan kognitif yang disesuaikan dengan perubahan perilaku sehat. Sedangkan yang termasuk dalam fasilitas sosial dalam dimensi proses self-management meliputi konsep pengaruh sosial, konsep social support, dan konsep kolaborasi negosiasi antara individu dan keluarga dengan tenaga kesehatan profesional. Secara hasil (outcomes), self-management digunakan untuk menggambarkan hasil yang akan dicapaian dari proses self-management. Dalam teori selfmanagement ini, Ryan & Sawin membagi hasil menjadi dua bagian yaitu hasil jangka pendek (proximal outcomes) dan hasil jangka panjang (distal outcomes). Hasil jangka pendek meliputi terciptanya perilaku self-management yang spesifik (sesuai dengan kondisi, resiko atau transisi), pasien dapat mengelola gejala dan melaksanakan terapi farmakologi serta yang berkurangnya biaya yang digunakan untuk mendapatkan layanan perawatan kesehatan. Sedangkan pencapaian jangka panjang meliputi status kesehatan, yaitu kondisi kesehatan pasien stabil, kualitas hidup yang lebih baik dan berkurangnya biaya kesehatan yang dikeluarkan baik secara langsung maupun tidak langsung.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(55) 38. Berdasarkan teori tersebut dapat diasumsikan bahwa: 1) orang-orang yang terlibat dalam individual-family self-management (pasien, keluarga, tenaga kesehatan) bertujuan untuk mengoptimalisasi status kesehatan pasien baik secara langsung maupun tidak langsung, 2) banyak faktor yang mempengaruhi perilaku, termasuk nilai yang dianut, budaya, norma sosial, peraturan dan batasan keluarga, 3) secara kontekstual, banyak faktor yang mempengaruhi keinginan individu dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan self-management, 4) persepsi individu dan keluarga tentang sumber daya mempengaruhi keterlibatan dalam perilaku penyatuan diri, 5) self-management membutuhkan waktu, pengulangan, dan refleksi, 6) fasilitas sosial (seperti konseling) dapat memotivasi perilaku selfmanagement guna mencapai hasil yang diinginkan, 7) keterlibatan keluarga dalam intervensi sangat efektif membantu perilaku self-management sehingga tujuan jangka panjang dan pendek dapat tercapai, 8) sikap patuh, iklas, tidak menentang dan tidak berbohong merupakan kunci keberhasilan self-management, 9) sikap selalu mau bekerjasama dengan tenaga kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatannya.. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(56) 39. Konteks. Proses. Hasil. Hasil. Faktor resiko dan proteksi. Proses Self-management. Jangka Pendek. Jangka Panjang. Faktor kondisi-spesifik Persepsi Individu/ Keluarga:  Kompleksitas kondisi dan penanganan  Trajectory  Stabilitas kondisi & transisi. Pengetahuan dan keyakinan  Informasi sesuai fakta  Efikasi diri  Harapan akan hasil yang dicapai  Kesesuaian tujuan. Status Kesehatan  Kondisi yang stabil, mencegah terjadinya kondisi yang semakin buruk. Lingkungan Fisik dan Sosial  Akses mencapai perawatan kesehatan  Transportasi  Budaya  Sosial perkotaan. Keterampilan SelfRegulation dan Kemampuan:  Goal Setting, selfmonitoring & berfikir reflektif  Membuat keputusan, perencanaan & pelaksanan  Evaluasi diri  Pengontrolan emosi. Perilaku Self Management Individu & Keluarga  Perjanjian dalam aktivitas/ rejimen treatment  Penggunaan terapi farmakologi yang direkomendasikan  Manajemen gejala. Faktor Individu dan Keluarga  Fase perkembangan  Kemampuan belajar  Kemampuan membaca  Struktur dan fungsi keluarga  Kapasitas untuk mengatur diri. Fasilitas Sosial  Pengaruh sosial  Dukungan (emosional, perlengkapan, informasi)  Kolaborasi negosiasi. Biaya akan LayananPera watan Kesehatan. Kualitas Hidup  Menerima keadaan Biaya Kesehatan  pengeluaran secara langsung dan tidak langsung. Intervensi: yang berpusat pada individu/keluarga. Gambar 2.1. Teori Individual and Family Self - Management Ryan dan Sawin (2009, 2014). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(57) BAB 3 METODE PENELITIAN. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian quasi-experiment dengan desain pre- post test with control group yaitu melibatkan dua kelompok partisipan yang mendapatkan perlakuan dan hasil pengukuran sebelum dan sesudah perlakukan pada kedua kelompok dianalisa dan dibandingkan (Polit & Beck, 2012). Sesuai dengan tujuan dimana penelitian ini ditujukan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap hasil yang diinginkan pada kelompok intervensi, maka penelitian ini menggunakan satu kelompok intervensi dan satu kelompok kontrol. Kelompok intervensi pada penelitian ini mendapatkan perlakukan manajemen asupan: diet rendah garam (edukasi tentang jumlah natrium harian yang dikonsumsi <2000 mg/hari, melakukan supervisi diet rendah natrium (dengan cara home visit), konseling diet rendah garam) dan kelompok kontrol hanya mendapatkan perlakuan edukasi tentang jumlah natrium harian yang dikonsumsi <2000 mg/hari. Untuk melihat pengaruh perlakuan, maka peneliti melakukan penilaian dengan cara membandingkan nilai pre-test dan post-test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kemudian peneliti melakukan penilaian terhadap perbandingan nilai post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. .. 40. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

(58) 41. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan karena RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit rujukan utama dan merupakan rumah sakit pendidikan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 September 2017 sampai dengan 11 Oktober 2017.. Populasi dan Sampel Populasi merupakan suatu kelompok tertentu dari individu atau elemen yang menjadi fokus penelitian. Populasi yaitu seluruh himpunan individu atau elemen yang memenuhi kriteria sampling (Grove, Burns, & Gray, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien gagal ginjal yang berada di Ruang Unit Hemodialisa (HD) RSUP H. Adam Malik Medan yang menjalani terapi hemodialisa. Sampel adalah bagian atau elemen dari populasi yang diharapkan dapat mewakili karakteristik populasi tersebut (Polit & Beck, 2010). Pemilihan sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel yang ditentukan dapat terpenuhi (Polit & Beck, 2012). Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) berusia lebih dari 18 tahun, 2) melakukan terapi modalitas hemodialisis rutin lebih dari 6 bulan, 3) pasien dan keluarga dapat berkomunikasi dan baca tulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, 4) bersedia dan mau bekerjasama dalam melakukan penelitian (yang ditujukkan dengan mengisi lebar persetujuan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Monitoring Kesehatan Berbasis Internet of Things (Iot) (Silvia Ratna) sehingga dokter dapat melihat hasil denyut jantung pasien secara langsung di smartphone.Dengan

Nah, dengan demikian apa bila kesadaran pendidikan pesantren yang telah membudayakan sikap tawadhu’ tersebut bersanding dengan kecerdasan visual spasional adalah

Jika Penawar yang Berjaya ingkar dalam mematuhi mana-mana syarat di atas atau membayar apa-apa wang yang harus dibayar, maka Pihak Pemegang Serahhak/Pemberi Pinjaman boleh (tanpa

Dalam penelitian yang bertujuan untuk menentukan kontribusi dari penggunaan lampu LED biru dan merah ini dilakukan tahapan yaitu tahap analisis awal, tahap

Usaha untuk menenangkan sapi dapat ditempuh dengan cara : 1). Memberikan makanan penguat terlebih dahulu pada sapi yang akan diperah. Petugas mengadakan pendekatan

Belum adanya syslog server yang dapat menampilkan log jika terjadi serangan di sebuah jaringan client yang ditampilkan secara terpusat untuk memudahkan para admin wahana

Namun demikian, konteks dalam penelitian ini lebih kepada aspek-aspek yang mengalami perubahan dan bentuk adaptasi diri dari masyarakat desa khususnya petani yang

8) ketentuan lain dalam SPK. Jika Peristiwa Kompensasi mengakibatkan pengeluaran tambahan dan/atau keterlambatan penyelesaian pekerjaan maka PPK berkewajiban untuk