• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FERMENTASI KULIT SINGKONG OLEH MIKROORGANISME LOKAL (MOL) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS DOMBA LOKAL JANTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH FERMENTASI KULIT SINGKONG OLEH MIKROORGANISME LOKAL (MOL) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS DOMBA LOKAL JANTAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

ADI HIDAYAT 150306034

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)

SKRIPSI

Oleh:

ADI HIDAYAT 150306034

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(3)
(4)

NIM : 150306034 Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunilas, MP Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS Ketua Program Studi Peternakan

Tanggal Lulus : 16 Oktober 2020

(5)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi PENGARUH FERMENTASI KULIT SINGKONG OLEH MIKROORGANISME LOKAL (MOL) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS DOMBA LOKAL JANTAN adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri di bawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam skripsi ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi serta dapat diperiksa kebenarannya. Skripsi ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis perguruan tinggi lain.

Medan, 16 Oktober 2020

Adi Hidayat NIM 150306034

(6)

ADI HIDAYAT: Pengaruh Fermentasi Kulit Singkong oleh Mikroorganisme Lokal (MOL) dalam Ransum Terhadap Performans Domba Lokal Jantan.

Dibimbing oleh YUNILAS dan SAYED UMAR.

Kulit singkong merupakan hasil samping dari pabrik pengolahan singkong. Kulit singkong sangat potensial sebagai pakan alternatif sumber energi bagi ternak. Namun, penggunaannya belumlah optimal karena mengandung zat anti nutrisi berupa asam sianida. Melalui teknologi fermentasi, diharapkan zat anti nutrisi yang dikandungnya dapat dikurangi sehingga kulit singkong dapat dimanfaatkan lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menguji berbagai dosis pemberian kulit singkong fermentasi dengan mikroorganisme lokal (MOL) terhadap performans domba lokal jantan. Penelitian dilakukan secara eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), 4 perlakuan dengan 5 ulangan.

Perlakuan yang diberikan adalah P0 (ransum tanpa kulit singkong fermentasi), P1 (25% kulit singkong fermentasi dalam ransum), P2 (50% kulit singkong fermentasi dalam ransum), dan P3 (75% kulit singkong fermentasi dalam ransum).

Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan Income Over Feed Cost (IOFC).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kulit singkong yang difermentasi oleh MOL dalam ransum memberi pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan memberi pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap konversi pakan. Rataan IOFC adalah: P0=Rp 449.769.00, P1=Rp 457.745.00, P2=Rp 505.481.00, dan P3=Rp 430.404.00. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kulit singkong fermentasi dapat diberikan pada ternak sampai dosis 50% dengan keuntungan lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.

Kata Kunci: Performans, Domba Jantan, Kulit Singkong, Mikroorganisme Lokal (MOL)

(7)

ADI HIDAYAT: Effect of Fermented Cassava Peel by indigenous Microorganisms (MOL) on Performances of Male Local Sheep. Under Supervised of YUNILAS and SAYED UMAR

Cassava peel is a byproduct of the cassava processing factory. Cassava peel is very potential as an alternative feed source of energy for livestock.

However, its use is not optimal because it contains anti nutrition substances in the form of cyanide acid. Through fermentation technology, it is hoped that the anti- nutrition substances it contains can be reduced so that the cassava peel can be utilized more optimally. This study aims to examine various doses of fermented cassava peels with local microorganisms (MOL) on the performance of male local sheep. The study was conducted experimentally using a completely randomized design (CRD), 4 treatments with 5 replications. The treatments given were P0 (without fermented cassava peels in rations), P1 (25% fermented cassava peels in rations), P2 (50% fermented cassava peels in rations), and P3 (75% fermented cassava peels in rations). The parameters observed were feed consumption, body weight gain, feed conversion, and Income over Feed Cost (IOFC).

The results showed that the application of fermented cassava peels by MOL in the ration had no significant effect (P> 0.05) on feed consumption, body weight gain, and had a significant effect (P <0.05) on feed conversion. The IOFC average is: P0 = IDR 449.769.00, P1 = IDR 457.745.00, P2 = IDR 505.481.00, and P3 = IDR 430.404.00. The results showed that fermented cassava peels can be given to livestock up to a dose of 50% with a higher advantage compared to other treatments.

Keywords: Performance, Male Sheep, Cassava Peel, Indigenous Microorganisms (MOL)

(8)

Penulis dilahirkan di Bah jambi pada 5 Maret 1996 dari ayah Suari dan Ibu Saminah. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara.

Tahun 2015 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Siantar dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota BKM Al- mukhlisin Fakultas Pertanian USU, sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat fakultas Pertanian USU, sebagai anggota Mahasiswa Muslim Peternakan (HIMMIP) fakultas Pertanian USU, sebagai Ketua bidang bisnis dan kemitraan Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET) fakultas Pertanian USU, sebagai Ketua Pengabdian Masyarakat Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Pertanian (PEMA FP) USU, dan sebagai asisten di Laboratorium Manajemen Ternak Potong dan Kerja. Selain itu penulis juga merupakan salah satu pemenang Student Enterpreunership Center (SEC) USU.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Kelompok Ternak Pelita Jaya Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli sampai Agustus 2018.

Pada bulan April sampai Mei tahun 2019, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata–Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN–PPM) di Desa Paya Rengas, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Fermentasi Kulit Singkong oleh Mikroorganisme Lokal (MOL) dalam Ransum Terhadap Performans Domba Lokal Jantan”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terimakasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Ir. Yunilas, MP dan Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukkan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk bapak Praditya Rahardja di Peternakan Kandang Kambing Medan, penulis menyampaikan banyak terimakasih atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Peternakan serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(10)

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Singkong (Manihot esculenta crantz) ... 5

Potensi Kulit Singkong untuk Pakan Ternak ... 6

Asam Sianida (HCN) ... 7

Fermentasi ... 8

Larutan Mikroorganisme Lokal (MOL) ... 10

Pemanfaatan Kulit Singkong pada Domba ... 11

Ternak Domba ... 12

Kebutuhan Nutrisi Domba ... 13

Konsumsi Pakan ... 14

Pertambahan Bobot Badan ... 15

Konversi Pakan ... 16

Income over Feed Cost (IOFC) ... 18

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Metode Penelitian... 20

Variabel yang Diamati ... 21

Pelaksanaan Penelitian ... 22

Analisis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan ... 25

Pertambahan Bobot Badan ... 28

Konversi Pakan ... 30

Income over Feed Cost... 33

Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

(11)
(12)

No. Hal.

1. Penggunaan singkong di Indonesia ... 5

2. Kandungan nutrisi kulit singkong fermentasi ... 9

3. Kebutuhan harian zat-zat pakan untuk ternak domba ... 13

4. Komposisi bahan pakan penelitian... 21

5. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian ... 21

6. Denah perlakuan penelitian ... 23

7. Rataan konsumsi pakan domba yang diberi kulit singkong fermentasi ... 26

8. Rataan pertambahan bobot badan domba lokal jantan selama penelitian ... 28

9. Konversi pakan domba lokal jantan selama penelitian ... 31

10. Rataan Income over Feed Cost domba selama penelitian ... 33

11. Rekapitulasi hasil penelitian ... 34

(13)

No. Hal.

1. Skema pembuatan larutan mikroorganisme lokal ... 41

2. Skema fermentasi kulit singkong ... 42

3. Data konsumsi pakan ... 43

4. Data pertambahan bobot badan ... 46

5. Data konversi pakan ... 48

6. Data IOFC ... 49

7. Analisis keragaman konsumsi pakan domba selama penelitian ... 53

8. Analisis keragaman pertambahan bobot badan selama penelitian ... 53

9. Analisis keragaman konversi pakan domba selama penelitian ... 53

10. Uji lanjut DMRT ... 54

11. Dokumentasi penelitian ... 55

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan usaha penggemukan domba harus didukung oleh ketersediaan pakan ternak yang cukup. Pakan berkualitas tinggi dalam jumlah yang cukup bakal mempercepat laju pertumbuhan ternak domba dan meningkatkan pertambahan bobot hidup sehingga mempengaruhi bobot potong dan produksi karkasnya. Pemberian pakan hijauan sebagai pakan tunggal belum mencukupi kebutuhan nutrisi untuk mencapai produksi yang optimal, sehingga perlu ditambahkan konsentrat. Pakan yang selama ini umum digunakan untuk ternak ruminansia terdiri atas hijauan dan konsentrat.

Ketersediaan pakan masih menjadi kendala pengembangan ternak ruminansia. Hal ini disebabkan sebagian besar bahan pakan bersifat musiman, terkonsentrasi di suatu wilayah dan tidak tepatnya manajemen pengelolaan pakan yang diterapkan selama ini, sehingga pakan tidak bisa disimpan lama. Faktor lainnya adalah semakin sempitnya lahan penanaman hijauan pakan karena terjadi pengalihan fungsi menjadi kawasan pemukiman dan industri, akibatnya kualitas dan harga pakan menjadi fluktuatif, selanjutnya akan mempengaruhi produktivitas ternak (Lendrawati, 2008).

Saat ini industri pakan ternak masih tergantung impor untuk memenuhi kebutuhan bahan pakan padahal masih banyak sumber bahan pakan alternatif yang sangat berpotensi. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mencari bahan pakan alternatif yang ketersediaannya melimpah, berkualitas dan kontinuitasnya terjamin. Peluang bahan pakan alternatif yang bisa dimanfaatkan secara optimal antara lain limbah hasil perkebunan, limbah hasil industri pertanian

(15)

dan limbah industri makanan. Selain dapat memperkecil biaya produksi, juga dapat meminimalisir masalah lingkungan akibat limbah-limbah tersebut.

Kulit singkong merupakan salah satu limbah ubi kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif yang dapat diperoleh dari limbah industri tapioka, keripik, tape, gaplek, dan lainnya. Badan Pusat Statistik (2018) mencatat jumlah produksi singkong Sumatera Utara sebesar 1.619.495 ton pada tahun 2015. Setiap bobot singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16% dari bobot tersebut (Hidayat, 2009), dari produksi singkong ini dapat dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 259.119,2 ton (konversi 16% dari produksi singkong BPS 2018).

Kulit singkong dapat menjadi bahan pakan alternatif karena mudah didapat dan terjamin ketersediaannya, serta mempunyai kandungan protein kasar sebesar 5,24%, serat kasar 10,39%, lemak kasar 1,05%, kadar air 11,33%, dan kadar abu sebesar 4,31% (Siburian, 2019). Selain itu, Kulit singkong juga memiliki kandungan antinutrisi yaitu asam sianida sebesar berkisar 150-360 mg/kg berat segar (Cuzin dan Labat, 1992). Siburian (2019) menyatakan bahwa kulit singkong mengandung asam sianida sebesar 234,4 mg/kg.

Tingkat bahaya kulit singkong berdasarkan kandungan asam sianidanya menurut WHO (2004) adalah 1) aman dikonsumsi dan tidak berbahaya dengan kadar asam sianida kurang dari 50 mg/kg bahan segar; 2) beracun sedang dan cukup berbahaya dengan kadar asam sianida antara 50 sampai 100 mg/kg bahan segar; 3) sangat berbahaya dengan kadar asam sianida lebih besar dari 100 mg/kg bahan segar. Yuningsih (2012) menyatakan bahwa asam sianida adalah senyawa

(16)

kimia yang bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit.

Kandungan HCN dalam kulit singkong dapat dikurangi hingga batas aman penggunaannya dengan menggunakan beberapa metode, seperti pengolahan secara fisik, kimia, dan biologi, atau kombinasinya (fermentasi). Saat ini metode fermentasi banyak digunakan untuk meningkatkan kualitas nutrisi bahan pakan sekaligus mengurangi antinutrisi (HCN) pada kulit singkong. Fermentasi mengakibatkan senyawa organik kompleks dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana (Pamungkas, 2011).

Yunilas et al., (2013) menyatakan bahwa mikroba yang berasal dari substratnya sendiri memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi substratnya tersebut. Hasil penelitian Siburian (2019) dengan fermentasi kulit singkong menggunakan MOL dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan kandungan serat, serta menurunkan kadar asam sianida dari 234,4 mg/kg sampai dengan 38,53 mg/kg.

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian terkait Pengaruh fermentasi kulit singkong oleh mikroorganisme lokal (MOL) dalam ransum terhadap performans domba lokal jantan.

Tujuan Penelitian

Untuk menguji berbagai dosis pemberian kulit singkong fermentasi menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan dan Income over feed cost (IOFC) domba lokal jantan.

(17)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna sebagai informasi bagi peneliti, akademisi dan masyarakat, terkhusus peternak domba serta instansi terkait tentang pemberian kulit singkong fermentasi menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) sebagai pakan ternak domba.

Hipotesis Penelitian

Pemberian kulit singkong fermentasi menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) berpengaruh positif terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan dan Income over feed cost (IOFC) domba lokal jantan.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Singkong (Manihot esculentz)

Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman yang tersebar luas di Indonesia dan sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara di dunia. di benua Asia, singkong tersebar di Thailand, Vietnam, India, dan Cina. Di benua Afrika, singkong tersebar di Nigeria, Kongo, Ghana, Mozambik, Angola, dan Uganda, sedangkan di benua Amerika produksi singkong terbesar ada di Brasil. Beberapa ahli botani menyatakan bahwa tanaman singkong berasal dari Amerika yang beriklim tropis dan seorang ahli botani Rusia, Nikolai ivanovick vavilov, memastikan bahwa tanaman singkong berasal dari Brasil (di benua Amerika bagian selatan) (Gardjito et al., 2013).

Klasifikasi tanaman Singkong sebagai berikut: Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi: Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Sub Divisi:

Angiospermae (berbiji tertutup), Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Euphorbiales, Familia: Euphorbiaceae, Genus: Manihot, Spesies: Manihot utilissima Pohl, Manihot esculenta Crantz sin (Rukmana, 1997).

Kebutuhan singkong di Indonesia sendiri cukup besar, hal ini terlihat dari Penggunaan singkong yang disajikan pada Tabel 1

Tabel 1.Penggunaan singkong di Indonesia

Penggunaan Ton % Produksi

Pangan manusia 12,50 53

Pakan ternak 0,34 2

Industri pangan 2,01 8

Industri non pangan 8,93 37

Kebutuhan total 23,78

Produksi total 19,32

Defisit 4,46

Sumber: BPS (2007) yang diacu oleh Yuniwati (2017)

(19)

Potensi Kulit Singkong untuk Pakan Ternak

Kulit singkong merupakan limbah kupasan yang di peroleh dari hasil pengolahan berbahan dasar singkong seperti tepung tapioka, keripik, tape, gaplek, dan lainnya. Semakin tinggi jumlah produksi singkong, semakin tinggi pula kulit yang dihasilkan. Indonesia merupakan negara penghasil singkong terbesar keempat dari 5 negara yaitu Nigeria, Brazil, Thailand, Indonesia dan Kongo.

sekitar 60% dari total singkong dunia dihasilkan oleh keempat negara tersebut.

Dilihat dari urutan negara penghasil singkong terbesar di dunia, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi dalam memproduksi singkong (FAO, 2011).

Badan Pusat Statistik (2018) mencatat jumlah produksi singkong di Sumatera Utara sebesar 1.619.495 ton pada tahun 2015. Setiap bobot singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16% dari bobot tersebut (Cecep, 2009), maka dari produksi singkong 2015 dapat dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 259.119,2 ton (konversi 16% dari berat singkong).

Selain jumlahnya yang besar, kulit singkong juga memiliki kandungan nutrisi yang relatif baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia.

Rukmana (1997) menyatakan bahwa komponen kimia dan gizi dalam 100 g kulit singkong adalah sebagai berikut : protein kasar 8,11 g; serat kasar 15,20 g; lemak kasar 1,29 g; kalsium 0,63 g; pektin 0,22 g; dan BK 17,45 g serta TDN 74,73%.

Gambar 1. Kulit singkong

(20)

Ketersediaan kulit singkong akan menjadi limbah bila tidak dimanfaatkan dengan baik. Usaha pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak masih terbatas karena kandungan dan kualitas nutrisi masih rendah. Tingginya serat kasar dan adanya antinutrisi berupa HCN menjadi faktor pembatas hal tersebut, sehingga perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut agar pemanfatan kulit singkong menjadi lebih optimal (Mirzah et al., 2015)

Asam Sianida (HCN)

Glikosida sianogen merupakan metabolit sekunder pada tumbuhan, yang berupa turunan asam amino. Terdapat banyak jenis glikosida sianogen, seperti misalnya pada almond disebut amygdalin, pada shorgum disebut durrhin, pada rebung disebut taxiphyllin. Pada singkong, glikosida sianogen utama adalah linamarin, sementara sejumlah kecil lotaustralin (metil linamarin) hanya ditemukan dalam jumlah kecil pada singkong. Kandungan enzim glusida linamarin yang terdapat pada singkong dapat dipecah menjadi HCN atau asam sianida (Gohl dalam Akhadiarto, 2010). Inilah yang dapat mengakibatkan keracunan apabila mengkonsumsi singkong, apalagi kandungan asam sianida pada kulit singkong jumlahnya 3-5 kali lebih besar dari pada daging umbi (Salim, 2011).

Asam sianida disebut juga hidrogen sianida (HCN), biasanya terdapat dalam bentuk gas, larutan dan dalam bentuk garam-garam alkali seperti potasium sianida. Sifat-sifat HCN murni mempunyai sifat tidak berwarna, mudah menguap pada suhu kamar dan mempunyai bau khas. Singkong mengandung racun berupa asam yang dalam jumlah besar cukup berbahaya. Racun singkong yang selama ini kita kenal adalah asam biru atau asam sianida. Daun maupun umbinya

(21)

mengandung suatu glikosida cyanogenik, artinya suatu ikatan organik yang dapat menghasilkan racun biru yang bersifat sangat toksik (Sosrosoedirdjo, 1992).

Tingkat bahaya kulit singkong berdasarkan kandungan asam sianidanya menurut WHO (2004) adalah 1) aman dikonsumsi dan tidak berbahaya dengan kadar asam sianida kurang dari 50 mg/kg bahan segar; 2) beracun sedang dan cukup berbahaya dengan kadar asam sianida antara 50 sampai 100 mg/kg bahan segar; 3) sangat berbahaya dengan kadar asam sianida lebih besar dari 100 mg/kg bahan segar.

Dari sampel ubi kayu dan tapioka masih ditemukan sianida yang tinggi (>100 ppm), yang sangat berbahaya bagi ternak maupun manusia. Oleh karena itu perlu cara pengolahan ubi kayu yang dapat menurunkan kandungan sianidanya sampai pada tingkat aman dikonsumsi ternak, seperti perlakuan pencacahan dan pemanasan (Tweyongyere and Katongole 2002 yang diacu Yuningsih, 2009).

Menurut Purwanti (2005), perlakuan ubi kayu dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama 12 jam merupakan teknik penekanan sianida yang efektif dibanding perlakuan pencucian, pengukusan, dan pengeringan dengan suhu 1000C selama 12 jam.

Fermentasi

Salah satu proses pengolahan yang dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong adalah proses fermentasi. Berdasarkan penelitian Busairi dan Wikanastri (2009) diketahui bahwa proses fermentasi dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong dari 0,024% menjadi 0,009% setelah proses fermentasi selama lima hari. Penelitian Hersoelistyorini dan Abdullah (2010) menyatakan bahwa proses fermentasi menggunakan

(22)

inokulum ragi tape dapat meningkatkan kandungan protein kulit singkong dari 10,03% menjadi 20,91% pada fermentsi hari kelima penelitian. Dengan demikian, selain dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong, proses fermentasi juga dapat meningkatkan kandungan protein bahan.

Tabel 2. Kandungan nutrisi kulit singkong fermentasi (dosis MOL 5 %, waktu fermentasi 7 hari)

Kandungan Nilai Nutrisi Sebelum Fermentasi Sesudah Fermentasi

Air (%) 6,0 11,33

Bahan Kering (%) 94,0 88,67

Protein Kasar (%) 4,17 5,24

Serat Kasar (%) 16,88 10,39

Lemak Kasar (%) 1,43 1,05

Abu (%) 6,78 4,31

BETN (%) 64,74 67,68

Asam Sianida (HCN) 234,4 38,53 mg/kg

Sumber : Laboratorium Agrokimia dan Sumber Daya Alam di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (2019)

Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010).

Yunilas (2009) menyatakan bahwa fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya starbio, starbio plus, EM-4, dll). Fermentasi mengakibatkan senyawa organik kompleks dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana (Pamungkas, 2011).

Produk hasil fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dari pada bahan aslinya yang bersifat katabolik atau memecahkan komponen‐komponen yang kompleks menjadi zat‐zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna tetapi juga karena adanya enzim yang dihasilkan dari mikroba itu sendiri. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses

“protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan

(23)

menggunakan mikroorganisme tertentu (Sarwono, 1996). Faktor-faktor fermentasi antara lain yaitu pH, waktu, kandungan oksigen, suhu, dan mikroorganisme (Juwita, 2012).

Selain itu hasil fermentasi memiliki kandungan protein yang lebih tinggi daripada bahan yang tidak difermentasi (Mirwandhono et al., 2006). Penelitian lain mengemukakan bahwa proses fermentasi dapat menurunkan kadar serat kasar dan HCN serta meningkatkan kandungan protein kulit singkong (Supriyadi, 1995).

Mikroorganisme Lokal (MOL)

Mikroorganisme lokal (MOL) adalah kumpulan mikroorganisme yang bisa dikembangbiakan, yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan bokasi atau kompos (Juanda et al., 2011). Larutan MOL dapat ditambahkan dalam pembuatan pupuk cair dan pakan ternak (Januardani, 2008). Pada pakan ternak larutan MOL dapat meningkatkan kualitas pakan melalui proses fermentasi. Menurut Syukur (2017) larutan MOL terbuat dari bahan-bahan alami sebagai media hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik. Bahan dasar untuk fermentasi larutan MOL dapat berasal dari hasil pertanian, perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga. Bahan utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme. Karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari limbah organik seperti air cucian beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan daun gamal. Sumber glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir serta air kelapa. Sumber mikroorganisme berasal dari kulit buah yang sudah busuk, terasi, keong, nasi basi, dan urin sapi (Purwasasmita, 2009). Menurut

(24)

Yunilas et al., (2013) mikroba yang berasal dari substratnya sendiri memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi substratnya tersebut.

Pemanfaatan Kulit Singkong pada Domba

Penggunaan kulit umbi ubi kayu (Manihot utilisima) yang difermentasi starbio dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan menurunkan konversi ransum domba jantan lokal. Semakin tinggi penggunaan kulit umbi ubi kayu dalam ransum hingga 60% semakin meningkatkan performans ternak. Perlakuan terbaik terdapat pada P3 ransum tepung kulit umbi ubi kayu fermentasi dengan level penggunaan 60% (Rumput Lapang 20% + Tepung Kulit Ubi Kayu Fermentasi 60% + Konsentrat 20%) dalam ransum. Rataan IOFC tertinggi terdapat pada P3 yakni Rp. 276.656,01 (Pulungan, 2018)

Simamora (2011) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa pemanfaatan kulit umbi ubi kayu yang sudah difermentasi pada level 30% (Pakan konsentrat dengan 30% tepung kulit umbi ubi kayu fermentasi + rumput lapangan) dalam pakan memberikan pengaruh yang baik terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan menurunkan konversi pakan domba lokal jantan.

Perlakuan pemberian ransum tidak berpengaruh terhadap lama rekondisi, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan. Domba dengan perlakuan pemberian 25% kulit singkong dan 75% rumput Brachiaria humidicola menghasilkan waktu rekondisi yang paling cepat dan mengandung HCN dalam ransum yang lebih kecil dibanding batas ambang kemampuan domba dalam menerima HCN. Kulit singkong dapat digunakan sebagai pakan substitusi sumber

(25)

energi bagi ternak pasca transportasi dengan level yang dapat direkomendasikan maksimum 25% (Panji, 2011)

Ternak Domba

Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang dalam pemeliharaan tidak begitu sulit, hal ini disebabkan karena ternak domba badannya relatif kecil dan cepat dewasa sehingga secara otomatis cukup menguntungkan karena dapat menghasilkan wol dan daging (Murtidjo, 1993). Ada tiga jenis domba yang dikenal di Indonesia yaitu domba ekor tipis, domba ekor gemuk dan domba Priangan ( Mulyono dan Sarwono, 2004 ).

Menurut Ensminger (1991) klasifikasi domba adalah sebagai berikut:

Kingdom: Animal, Phylum: Chordata (hewan bertulang belakang), Kelas:

Mamalia, Ordo: Artiodactyla, Sub ordo: Ruminansia (hewan memamah biak),

Famili: Bovidae, Genus: Ovis, Spesies: Ovis aries.

Menurut hasil penelitian, dengan pemeliharaan yang sederhana ternak domba mempunyai pertambahan bobot harian 20-30 gram/hari. Namun, dengan pemeliharaan secara intensif ternak domba mampu memberikan pertambahan bobot badan harian sebesar 50-150 gram/hari (Sudarmono dan Sugeng, 2003).

Rata-rata PBBH domba lokal yang dipelihara di peternakan rakyat berkisar 30 gram/hari, namun melalui perbaikan teknologi pakan, PBBH domba lokal mampu mencapai 57–132 g/ekor (Prawoto et al., 2001). Purbowati et al., (2007) melaporkan domba yang diberi complete feed (dengan PK 17,35%) dalam bentuk pelet 5,6% bobot badan menghasilkan PBBH 164 g/hari.

(26)

Kebutuhan Nutrisi Domba

Pakan adalah semua bahan pakan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air (Parakkasi, 1995).

Bahan pakan adalah sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak, berupa bahan organik, baik sebagian maupun keseluruhan yang dapat dicerna serta tidak mengganggu kesehatan ternak. Pakan yang diberikan untuk ternak harus dapat memenuhi kebutuhan zat energi ternak untuk berbagai fungsi fisiologis tubuhnya, seperti hidup pokok dan produksi (Siregar, 1994). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan zat-zat nutrisi untuk memenuhi proses hidup saja seperti menjaga fungsi tubuh tanpa adanya suatu kegiatan dan produksi. Sedangkan kebutuhan produksi adalah kebutuhan zat nutrisi untuk pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan kerja.

Tabel 3. Kebutuhan harian zat-zat pakan untuk ternak domba BB

(Kg)

BK Energi Protein

(Kg) %BB Me

(Mcal)

TDN (kg)

Total (g)

DD Ca(g) P(g)

5 0,14 - 0,60 0,61 51 41 1,91 1,40

10 0,25 2,50 1,01 1,28 81 68 2,30 1,60

15 0,36 2,40 1,37 0,38 115 92 2,80 1,90

20 0,51 2,60 1,80 0,50 150 120 3,40 2,30

25 0,62 2,50 1,91 0,53 160 128 4,10 2,80

30 0,81 2,70 2,44 0,67 204 163 4,80 2,30

Sumber : NRC (1985)

Kebutuhan ternak ruminansia terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat tergantung jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur

(27)

dan kelembapan) serta berat badannya. Jadi setiap ekor ternak berbeda kondisinya akan membutuhkan pakan yang berbeda (Kartadisastra, 1997).

Pakan ternak ruminansia umumnya hijauan dan konsentrat, pemberian ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberikan peluang terpenuhinya zat-zat gizi. Namun bisa juga ransum terdiri dari hijauan atau konsentrat saja. apabila ransum hanya terdiri dari hijauan maka biaya relative murah, tetapi produksi yang tinggi sulit tercapai. Sedangkan pemberian ransum yang hanya terdiri dari konsentrat saja akan memungkinkan terjadinya produksi yang tinggi, tetapi biaya ransum relatif mahal dan kemungkinan bisa terjadi gangguan pencernaan (Siregar, 1994 yang diacu oleh Simamora, 2011).

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan adalah kemampuan ternak untuk menghabiskan sejumlah pakan yang diberikan secara ad libitum. Departemen Pertanian (2002) menyatakan bahwa yang dapat menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya adalah palatabilitas yaitu sifat performans bahan-bahan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti bau, rasa, tekstur, dan temperatur.

Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan konsumsi kimia serta kualitas pakan. Salah satu yang menjadi penentu tingkat konsumsi adalah keseimbangan zat makanan dan palatabilitas dari bahan pakan tersebut. Tingkat perbedaan konsumsi juga dipengaruhi oleh faktor ternak seperti bobot badan, umur, kecernaan pakan, kualitas pakan, dan palatabilitas (Simamora, 2011).

(28)

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pada ternak dipengaruhi oleh palatabilitas pakan.

Hasil penelitian Hermawan (2009) menggunakan substitusi kulit singkong terhadap rumput dengan dosis 0-60% menunjukkan rataan konsumsi bahan kering berkisar 503,71-608,60 gram/ekor/hari dan Kusumah (2011) menggunakan rumput Brachiaria humidicola dan kulit singkong dengan dosis 0-75%

menunjukkan rataan konsumsi bahan kering berkisar 364,80-411,42 gram/ekor/hari.

Penggunaan tepung kulit umbi ubi kayu yang difermentasi dengan Aspergillus niger dengan level 0-45% menunjukkan rataan konsumsi bahan

kering berkisar 421,76-526,54 gram/ekor/hari (Simamora, 2011). Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2014) menggunakan kulit singkong fermentasi dengan level 0-300 gram memiliki rataan konsumsi pakan berkisar 677-739 gram/ekor/hari. Hasil penelitian Pulungan (2018) memiliki rataan konsumsi bahan kering berkisar 330,01-402,92 gram/ekor/hari dengan menggunakan fermentasi kulit umbi ubi kayu oleh starbio dalam ransum dengan level 0-60%.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu parameter pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot badan per satuan waktu tertentu.

pertumbuhan adalah perubahan ukuran tubuh yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia termasuk air, lemak, protein dan abu (Soeparno, 1998).

(29)

Potensi pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor bangsa dan jenis kelamin.

pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan iklim. Laju pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan genetik (Tomaszewska et al., 1993).

Menurut National Research Council (2006) pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan, kondisi setiap individu dan manajemen tatalaksana. Pakan sangat menentukan pertumbuhan hewan (Tillman et al., 1998). Kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada domba dapat menentukan produktivitas domba tersebut, terutama pada pertumbuhan bobot badannya (Anggorodi, 1994).

Pertambahan bobot badan harian dengan substitusi kulit singkong terhadap rumput berkisar 15,32-50,54 gram/ekor/hari (Hermawan, 2009). Kusumah (2011) menggunakan rumput Brachiaria humidicola dan kulit singkong dapat memberikan pertambahan bobot badan berkisar 78,33-141,67 gram/ekor/hari.

Beberapa penelitian dengan menggunakan kulit singkong fermentasi seperti Simamora (2011) dengan starter Aspergillus niger dapat menghasilkan PBBH berkisar 30,12-53,45 gram/ekor/hari, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2014) menghasilkan PBBH berkisar 43-56 gram/ekor/hari dan Pulungan (2018) dengan starter starbio memiliki PBBH berkisar 52,86-101,80 gram/ekor/hari.

Konversi Pakan

Konversi pakan adalah perbandingan antar jumlah pakan yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan

(30)

atau produksi yang dihasilkan) dalam kurun waktu yang sama. konversi pakan adalah indikator yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin rendah angka konversi pakan berarti semakin baik (Anggorodi, 1990).

Martawidjaya (1999) mengemukakan bahwa konversi pakan khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, besarnya pertambahan bobot badan dan nilai kecernaan.

Efisiensi pakan dapat dilihat dari besar kecilnya nilai konversi. Semakin kecil nilai ransum, maka semakin efisien ternak dalam menggunakan pakan untuk produksi daging, namun jika nilai konversi ransum makin besar, maka menandakan terjadinya pemborosan pakan sebagai akibat tidak maksimalnya manfaat pakan terhadap pertambahan bobot badan ternak domba. Bertambahnya angka konversi ransum berarti biaya produksi untuk satuan bobot badan bertambah (Siregar, 2014).

Perry et al., (2005), menyatakan bahwa serat kasar yang tinggi dalam pakan akan menyebabkan daya cerna menjadi kecil, sehingga konversi pakan merupakan integrasi dari daya cerna. Semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak, maka akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan makin efisien penggunaan pakannya (Pond et al., 1995).

Hasil penelitian Hermawan (2009) menggunakan substitusi kulit singkong terhadap rumput dengan level 0-60% memiliki rataan konversi pakan berkisar 12,47-37,43.

Dengan menggunakan tepung kulit umbi ubi kayu yang difermentasi dengan Aspergillus niger, hasil rataan konversi pakan penelitian Simamora (2011) berkisar 10,12-14,65. BBPPTP (2014) dengan pakan kulit singkong fermentasi

(31)

memiliki konversi pakan berkisar 12,5-17,2. Hasil penelitian Pulungan (2018) menggunakan fermentasi kulit umbi ubi kayu oleh starbio memiliki rataan konversi pakan berkisar 4,04-6,42.

Income over Feed Cost (IOFC)

Income over Feed Cost merupakan analisa ekonomi yang digunakan untuk

menghitung keuntungan ekonomi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendapatan dikurangi biaya pakan selama pemeliharaan ternak (Munir dan Kardiyanto 2015). Tujuan akhir dari pemeliharaan ternak adalah untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan pengeluaran.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh penting dalam penghitungan IOFC yaitu pertambahan bobot tubuh selama pemeliharaan, konsumsi dan harga pakan.

IOFC ini biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga beli bakalan, harga jual domba dan biaya pakan selama pemeliharaan (Adkinson et al., 1993).

Kasim (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan, tetapi pertumbuhan yang baik dan diikuti konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimum.

Hasil penelitian Hermawan (2009) menggunakan substitusi kulit singkong terhadap rumput menunjukkan rataan IOFC berkisar Rp 21.870,00-Rp 86.746,00 dan Pulungan (2018) menggunakan fermentasi kulit umbi ubi kayu oleh starbio memiliki rataan IOFC berkisar Rp 165.165,28-Rp 276.656,01.

(32)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kandang bapak Praditya Rahardja di Jalan Bunga Rinte, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan. Penelitian ini berlangsung selama 12 minggu mulai dari 16 Desember 2019 sampai dengan 8 Maret 2020.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan antara lain: domba lokal jantan sebanyak 20 ekor dengan rataan bobot badan awal 12,59 ± 1,22 kg digunakan sebagai objek penelitian. Bahan pakan yang digunakan yaitu rumput lapangan dan konsentrat dengan komposisi seperti bungkil kedelai, BIS, dedak padi, dedak jagung, onggok,molases, ultramineral, dan urea. Mikroorganisme lokal (MOL) berbasis kulit singkong. Obat-obatan berupa kalbazen, antibloat dan vitamin. Air bersih untuk memenuhi kebutuhan air minum yang diberikan secara ad libitum.

Alat

Alat yang digunakan antara lain: kandang individual 20 unit beserta perlengkapannya, tempat pakan dan minum, timbangan gantung digital 50 kg, timbangan digital 5 kg untuk menimbang ransum, timbangan 2 kg untuk menimbang rumput, plastik untuk menjemur kulit ubi kayu, plastik untuk fermentasi kulit ubi kayu, goni sebagai tempat limbah kulit ubi kayu segar, tali plastik sebagai pengikat, lampu, alat tulis, buku data serta alat pembersih kandang berupa sapu lidi dan sendok semen.

(33)

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan secara eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 4 perlakuan dan 5 ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan sebagai berikut:

P0 = tanpa kulit singkong fermentasi dalam ransum P1 = 25% kulit singkong fermentasi dalam ransum P2 = 50% kulit singkong fermentasi dalam ransum P3 = 75% kulit singkong fermentasi dalam ransum Tbel 4. Komposisi bahan pakan penelitian

Komposisi (%) P0 P1 P2 P3

Kulit Singkong Fermentasi 0 25 50 75

Bungkil kedelai 10 10,5 13 17

Bungkil inti sawit 14 14,5 11,5 2

Dedak jagung 10 5,5 4,5 1

Dedak Padi 28 20 7 0

Onggok 33 19,5 9 0

Molases 3 3 3 3

Ultra Mineral 1 1 1 1

Urea 1 1 1 1

Jumlah 100 100 100 100

Adapun ulangan diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

t ( n - 1 ) ≥ 15 4 ( n - 1 ) ≥ 15 4n - 4 ≥ 15 4n ≥ 19

Tabel 5. Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian

Bahan Kering (%) 86,32 86,67 86,97 87,20

Prote in Kasar (%) 15,25 15,22 15,22 15,20

Serat Kasar (%) 6,04 7,82 8,83 9,31

Lemak Kasar (%) 5,50 4,81 3,70 2,50

TDN (%) 74,28 74,22 74,15 74,08

(34)

t ≥ 19/4 t ≥ 4, 75 ≈ 5

Adapun persamaan linier yang digunakan adalah sebagai berikut.

Yij = µ + αi + ɛij i = 1, 2, ..., a; j = 1, 2, ...,b Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan untuk perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

ɛij = Efek galat percobaan pada pelakuan ke-i, ulangan ke-j

Variabel yang Diamati Konsumsi Pakan

Jumlah konsumsi pakan dihitung dengan cara menimbang jumah pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan selama penelitian yang dinyatakan dalam (g/ekor/hari). dinyatakan dalam rumus:

Konsumsi Pakan = Pakan yang diberikan (g/ekor/hari) – pakan sisa (g/ekor/hari)

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Pertambahan bobot hidup harian diukur dengan mengurangkan selisih bobot hidup akhir dengan bobot awal dibagi dengan lama waktu penelitian.

Dinyatakan dalam rumus:

Bobot Badan Akhir – Bobot Badan Awal (g/ekor/hari) PBBH =

Lama Pemeliharaan (hari)

(35)

Konversi Pakan

Konversi pakan dihitung dengan membagi banyaknya pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan harian. Dinyatakan dalam rumus:

Konsumsi pakan (g/ekor/hari) Konversi Pakan =

Pertambahan bobot badan harian (g/ekor/hari) Income over Feed Cost (IOFC)

IOFC dihitung dengan cara pendapatan (selisih dari bobot akhir dengan bobot awal dan dikali dengan harga jual) dan dikurangi dengan biaya pakan (total konsumsi dikali harga pakan). Dinyatakan dalam rumus:

IOFC = (PBB x Harga jual domba/kg) - (Total konsumsi x Harga pakan/kg)

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang berukuran 50 cm x 100 cm per petak sebanyak 20 petak. Kandang dipersiapkan seminggu sebelum domba masuk kedalam kandang agar kandang bebas dari hama penyakit. Kandang dan semua peralatan dibersihkan dan dicuci, kemudian dilakukan penyemprotan dengan Rodhalon (dosis 10 ml/2,5 liter air) pada lantai dan dinding kandang sebelum proses pemeliharaan.

Pengacakan Domba

20 ekor domba lokal jantan yang telah didatangkan terlebih dahulu dilakukan pengacakan. Tujuannya agar setiap domba memiliki kesempatan yang sama terhadap lokasi kandang yang ditempatinya. Adapun hasil pengacakannya dapat dilihat pada table 6.

(36)

Tabel 6. Denah perlakuan penelitian

P3U4 P2U2 P2U1 P1U2 P0U1 P3U3 P3U2 P2U3 P3U1 P1U4 P0U3 P2U5

P1U3 P0U2 P2U4 P0U4 P3U5 P1U1 P1U5 P0U5

Pemberian Pakan dan Air Minum

Pemberian konsentrat diberikan secara ad libitum sedangkan pemberian hijauan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan domba. Pemberian konsentrat dilakukan pada pukul 08:00, pukul 13:00 serta pukul 18:00, dengan syarat apabila konsentrat habis, konsentrat akan terus ditambah dengan jumlah yang sudah dihitung terlebih dahulu lalu pemberian hijauan dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi hari pada pukul 10:00 WIB dan sore hari pada pukul 16:00 WIB. Kemudian sisa pakan ditimbang keesokan harinya. Pakan diberikan sesuai dengan perlakuan.air minum diberikan secara ad libitum dan embernya dicuci dengan bersih. air diganti setiap pagi hari.

Pemberian Obat- obatan

Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu domba diberikan obat cacing dengan dosis 1 tablet/50kg berat badan untuk menghilangkan parasit dalam saluran pencernaan. Pemberian vitamin B kompleks untuk meningkatkan nafsu makan, meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki kekurangan vitamin, pemberian Colibact untuk domba yang Diare dan pemberian Wormectin untuk domba yang terkena scabies atau kudis.

Analisis Data

Analisa data dilakukan setelah penelitian selesai dan semua data yang dibutuhkan telah diperoleh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa

(37)

dengan analisis variansi berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) pola searah untuk mengetahui adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati.

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan adalah kemampuan ternak untuk menghabiskan sejumlah pakan yang diberikan secara ad libitum. Konsumsi pakan diperoleh dengan cara menghitung jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan sisa keesokan harinya. Data konsumsi pakan ternak domba diambil setiap hari. Pakan yang dikonsumsi sudah dikonversikan dalam bentuk bahan kering dan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan konsumsi pakan domba yang diberi kulit singkong fermentasi (bahan kering).

Perlakuan Ulangan

Rataan ± SD

1 2 3 4 5

P0 1663,81 1845,11 1793,04 1818,84 1672,46 1758,65 ± 84,71tn P1 1714,32 2075,2 2021,38 1534,94 1433,99 1755,97±285,75tn P2 1686,02 1479,42 2035,23 1445,17 2233,87 1775,94±347,26tn P3 1971,21 1996,25 2194,98 1838,49 2006,06 2001,40±127,45tn Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang

tidak nyata (P > 0,05)

Tabel 7 memperlihatkan rataan konsumsi pakan domba yang diberi kulit singkong fermentasi berkisar 1755,97-2001,40 gram/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan domba yang tertinggi terdapat pada P3 yaitu sebesar 2001,40 g/ekor/hari dan rataan konsumsi pakan domba yang terendah terdapat pada P1 yaitu sebesar 1755,97 g/ekor/hari. Konsumsi pakan yang diperoleh lebih tinggi daripada penelitian hermawan (2009) menggunakan substitusi kulit singkong terhadap rumput dengan level 0-60% kulit singkong menunjukkan rataan konsumsi berkisar 503,71-608,60 gram/ekor/hari. Demikian juga hasil penelitian Kusumah (2011) menggunakan rumput Brachiaria humidicola dan kulit singkong dengan level

(39)

kulit singkong 0-75% menunjukkan rataan konsumsi berkisar 364,80-411,42 gram/ekor/hari.

Beberapa hasil penelitian dengan kulit singkong fermentasi juga menghasilkan konsumsi yang lebih rendah dari konsumsi di atas seperti Simamora (2011) menggunakan tepung kulit umbi ubi kayu fermentasi dengan Aspergillus niger dengan level 0-45% menghasilkan konsumsi berkisar

421,76-526,54 gram/ekor/hari, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2014) menggunakan kulit singkong fermentasi dengan level 0-300 gram menghasilkan rataan konsumsi berkisar 677-739 gram/ekor/hari, dan Pulungan (2018) menggunakan fermentasi kulit umbi ubi kayu dengan starbio pada level 0-60% menunjukkan konsumsi berkisar 330,01-402,92 gram/ekor/hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian kulit singkong fermentasi dengan mikroorganisme lokal dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan domba lokal jantan (lampiran 7). Pemberian pakan fermentasi kulit singkong dengan MOL sampai dosis 75% memperlihatkan kecenderungan konsumsi yang terus meningkat, namun demikian peningkatannya tidak berpengaruh nyata. Terjadinya peningkatan konsumsi dapat disebabkan karena pakan fermentasi yang diberikan dapat meningkatkan palatabilitas yang meliputi rasa dan aroma dari fermentasi tersebut. Adanya proses fermentasi pada kulit singkong membentuk rasa asam dan aroma wangi yang disukai oleh ternak sehingga membuat palatabilitas serta konsumsi domba meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mastuti (2015) yang menyatakan fermentasi dapat menambahkan rasa dan aroma serta mempengaruhi palatabilitas dari ransum.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pada ternak

(40)

dipengaruhi oleh palatabilitas pakan. Palatabilitas ransum yang tinggi menyebabkan jumlah ransum yang dikonsumsi meningkat.

Meningkatnya konsumsi pakan dikarenakan pengaruh penambahan larutan mikroorganisme lokal (MOL) pada kulit singkong yang difermentasi, proses fermentasi yang terjadi mampu mengubah kandungan nutrisi dalam pakan seperti meningkatnya kadar protein serta menurunkan serat kasar sehingga aktifitas kerja pencernaan juga meningkat. Kandungan PK kulit singkong sebelum fermentasi 4,17%, setelah fermentasi meningkat menjadi 5,24% sedangkan kandungan SK kulit singkong menurun dari 16,88% sebelum fermentasi menjadi 10,39% setelah difermentasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siburian (2019) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan mutu pakan perlu dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme. Hal ini memberikan indikasi bahwa selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa. Mikroba lignolitik dalam starbio membantu perombakan ikatan lignoselulosa sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignosellulase.

Tabel 7 menunjukkan bahwa setiap perlakuan memiliki nilai standar deviasi yang cukup tinggi terkecuali pada P0, hal ini disebabkan domba P1, P2 dan P3 diberi perlakuan ransum kulit singkong fermentasi sedangkan domba P0 tanpa kulit singkong fermentasi. Domba yang diberi perlakuan kulit singkong fermentasi memiliki nilai standar deviasi yang tinggi dikarenakan ransum kulit singkong fermentasi merupakan pakan yang kurang familiar bagi domba. Domba penelitian merupakan domba yang berasal dari peternakan rakyat yang pakannya hanya menggunakan rumput. Masa adaptasi membuat beberapa domba mulai terbiasa dan mulai menyukai kulit singkong namun sebagian lagi masih tidak menyukainya. Hal

(41)

ini disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan tiap individu domba dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Lynch et al., 1992).

Pertambahan Bobot Badan

Pengambilan data pertambahan bobot badan dilakukan dengan cara penimbangan setiap 1 minggu sekali berdasarkan bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dibagi dengan lama penelitian dalam satuan g/ekor/hari.

Rataan pertambahan bobot badan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan pertambahan bobot badan domba lokal jantan selama penelitian (g/ekor/hari).

Perlakuan Ulangan

Rataan ± SD

1 2 3 4 5

P0 122,38 152,26 130,24 200,89 175,24 156,20±32,38tn P1 143,93 156,19 182,38 105,00 132,62 144,02±28,60tn P2 125,83 165,24 191,90 114,05 158,10 151,02±31,32tn P3 123,93 143,69 141,79 133,69 125,12 133,64 ± 9,14tn Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang

tidak nyata (P > 0,05)

Tabel 8 memperlihatkan rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi kulit singkong fermentasi berkisar 133,64-156,20 gram/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan domba terendah yaitu sebesar 133,64 g/ekor/hari (P3) dan rataan pertambahan bobot badan domba tertinggi yaitu sebesar 156,20 g/ekor/hari (P0). Pertambahan bobot badan domba hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Hermawan (2009) yang menggunakan substitusi kulit singkong dengan pertambahan bobot badan harian berkisar 15,32-50,54 gram/ekor/hari dan Kusumah (2011) yang menggunakan rumput Brachiaria humidocola dan kulit singkong dengan pertambahan bobot badan harian berkisar 78,33-141,67 gram/ekor/hari.

(42)

Beberapa hasil penelitian dengan kulit singkong fermentasi juga menghasilkan pertambahan bobot badan lebih rendah dibanding pertambahan bobot badan penelitian di atas, seperti penelitian Simamora (2011) menggunakan tepung kulit umbi ubi kayu fermentasi dengan Aspergillus niger memiliki pertambahan bobot badan berkisar 30,12-53,45 gram/ekor/hari, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2014) menggunakan kulit singkong fermentasi memiliki pertambahan bobot badan berkisar 43-56 gram/ekor/hari, dan Pulungan (2018) menggunakan fermentasi kulit umbi ubi kayu dengan starbio memiliki pertambahan bobot badan berkisar 52,86-101,80 gram/ekor/hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan kulit singkong fermentasi dengan mikroorganisme lokal dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan domba lokal jantan (lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kulit singkong fermentasi menggunakan MOL dengan dosis yang berbeda memberikan respon pertambahan bobot badan domba lokal jantan yang relatif sama.

Pertambahan bobot badan harian pada perlakuan kulit singkong fermentasi (P1,P2,P3) cenderung mengalami penurunan yaitu berkisar 133,64–151,02 gram/ekor/hari sedangkan konsumsi ransum cenderung mengalami peningkatan berkisar 1755,97–2001,40 g/ekor/hari. Semakin tinggi konsumsi ransum mengindikasikan akumulasi HCN semakin tinggi. Kulit singkong fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini mengandung HCN sebesar 38,53 mg/kg kulit singkong fermentasi. Bila dihitung maka rataan konsumsi HCN per ekor domba berdasarkan perlakuan yaitu P1 sebesar 5,68 mg/kg, P2 sebesar 12,48 mg/kg, dan

(43)

P3 sebesar 23,64 mg/kg. Menurut Sudaryanto (1987), dosis aman dalam mengkonsumsi HCN yaitu sebesar 2,5-4,5 mg/kg per ekor/hari, tetapi apabila domba mengkonsumsi rumput dapat tahan hingga 15-20 mg/kg per ekor/hari.

Selama penelitian domba diberi pakan rumput dan fermentasi kulit singkong sehingga konsumsi HCN sebesar 5,68 mg/kg (P1) dan 12,48 mg/kg (P2) per ekor/hari masih dalam kategori aman karena masih di bawah ambang batas konsumsi HCN domba yang mengkonsumsi rumput, yaitu sebesar 20 mg/kg per ekor/hari. Konsumsi HCN pada perlakuan P3 yaitu 23,64 mg/kg menunjukkan bahwa jumlah HCN yang dikonsumsi lebih besar jika dibandingkan dengan batas ambang kemampuan domba dalam menerima HCN. Penjelasan tersebut memberi gambaran bahwa rataan kandungan HCN pada ransum P3 melebihi batas kemampuan domba untuk menerimanya, sehingga ini menyebabkan pertambahan bobot badan harian pada P3 relatif lebih kecil dari perlakuan lain

Adanya HCN di dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987), selain itu HCN dapat mengikat oksigen dalam darah yang mengakibatkan sesak napas pada domba (Purwantisari, 2007).

Rochmy (2009) menyatakan bahwa dalam jumlah kecil, HCN dapat dinetralkan tubuh menjadi tiosianat, sedangkan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan kematian dalam waktu singkat karena kegagalan pernafasan.

Konversi Pakan

Konversi pakan merupakan perbandingan antara konsumsi pakan dalam bentuk bahan kering dengan pertambahan bobot badan dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi produksi karena

(44)

erat kaitannya dengan biaya produksi. Semakin rendah nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan pakan makin tinggi. Data konversi pakan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Konversi pakan domba lokal jantan selama penelitian.

Perlakuan Ulangan

Rataan ± SD

1 2 3 4 5

P0 13,60 12,12 13,77 9,05 9,54 11,62 ± 2,22b P1 11,91 13,29 11,08 14,62 10,81 12,34 ± 1,60b P2 13,40 8,95 10,61 12,67 14,13 11,95 ± 2,13b P3 15,91 13,89 15,48 13,75 16,03 15,01 ± 1,11a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh

yang nyata (P < 0,05)

Tabel 9 memperlihatkan rataan konversi pakan domba yang diberi kulit singkong fermentasi berkisar 11,62-15,01. Rataan konversi pakan terendah sebesar 11,62 (P0) dan rataan konversi pakan tertinggi sebesar 15,01 (P3).

Konversi pakan hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Hermawan (2009) berkisar 12,47-37,43 (menggunakan kulit singkong) dan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (2014) berkisar 12,5-17,2 (menggunakan kulit singkong fermentasi) namun lebih tinggi jika dibandingkan penelitian Simamora (2011) berkisar 10,12-14,65 (menggunakan tepung kulit umbi ubi kayu difermentasi dengan Aspergillus niger) dan Pulungan (2018) berkisar 4,04-6,42 (menggunakan kulit umbi ubi kayu difermentasi oleh starbio).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan kulit singkong fermentasi dengan mikroorganisme lokal memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap konversi pakan domba lokal jantan (Lampiran 9). Rataan konversi pakan antar perlakuan berkisar 11,62-15,01 artinya untuk menaikkan 1 kg bobot badan membutuhkan sebanyak 11,62-15,01 kg pakan. Hasil ini kurang efisien dibanding penelitian Pulungan (2018) berkisar 4,04-6,42 (menggunakan kulit umbi ubi kayu

(45)

difermentasi oleh starbio). Hal ini karena kulit umbi ubi kayu fermentasi pada penelitian pulungan berbentuk tepung sehingga daya cernanya lebih baik dan penyerapan nutrisi lebih efisien.

Pada perlakuan P3 dengan konsumsi pakan tertinggi mendapatkan Pertambahan bobot badan terkecil sehingga konversi pakannya (15,01) lebih besar dibanding perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena adanya akumulasi HCN dalam tubuh yang berasal dari konsumsi kulit singkong fermentasi. Domba P3 mengkonsumsi kulit singkong fermentasi lebih banyak daripada domba lainnya, sehingga jumlah akumulasi HCN yang terkandung dalam tubuhnya juga lebih banyak daripada domba lain. Akumulasi HCN ini menyebabkan domba mengalami gangguan kesehatan seperti gangguan pernapasan (Purwantisari, 2007) dan pertumbuhan (Sudaryanto, 1987). Selain karena terjadi akumulasi HCN, kondisi rumen yang terlalu asam akan mengganggu aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi zat makanan.

Pemberian pakan yang mengandung kulit singkong fermentasi pada konversi pakan memberikan pengaruh yang nyata, dengan nilai KK (koefisien keragaman) = 3,62 maka untuk menentukan perlakuan mana yang paling potensial (untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan) perlu dicari dahulu nilai pembandingnya dan dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan P0, P1, dan P2 (lampiran 10). Perlakuan P0, P1, dan P2 memiliki notasi yang sama, artinya antar perlakuan tersebut tidak berbeda nyata.

(46)

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kulit singkong sampai dosis 50% (P2) masih memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan kontrol (P0).

Income Over Feed Cost

Tujuan utama dari usaha peternakan adalah untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan pengeluaran. Income Over Feed Cost merupakan salah satu cara menghitung keuntungan secara sederhana pada pemeliharaan domba. Keuntungan diperoleh dari pendapatan (selisih bobot akhir dengan bobot awal dan dikali dengan harga jual) dikurangi dengan biaya pakan (total konsumsi dikali harga pakan) dinyatakan dalam rumus:

IOFC = (PBB x Harga jual domba/kg) - (Total konsumsi x Harga pakan/kg) Tabel 10. Rataan Income over Feed Cost domba selama penelitian (Rp).

Perlakuan Ulangan

Rataan

1 2 3 4 5

P0 383.128 445.880 431.802 447.039 540.994 449.769 P1 486.203 467.904 580.850 332.880 420.886 457.745 P2 418.107 560.440 653.373 354.352 541.135 505.481 P3 399.118 467.512 455.390 435.170 394.832 430.404

Harga Kulit singkong pada saat penelitian Rp 250/kg, bungkil kedelai Rp 7.500/kg, bungkil inti sawit Rp 2.000/kg, dedak jagung Rp 4.000/kg, dedak padi Rp 3.700/kg, onggok Rp 2.600/kg, molases Rp 7.000/kg, ultra mineral Rp 8.000/kg, urea Rp 7.000/kg dan rumput lapangan didapat dari lahan sekitar lokasi penelitian. Harga pakan sesuai BK. Harga jual domba sebesar Rp. 50.000/kg sesuai harga yang berlaku disekitar lokasi penelitian. Harga jual domba dan biaya pakan selama penelitian dapat dilihat pada lampiran 6. Biaya-biaya lain yang

(47)

dikeluarkan selama proses pemeliharaan ternak tidak diperhitungkan dalam sistem IOFC.

Tabel 10 memperlihatkan rataan Income over Feed Cost domba yang diberi kulit singkong fermentasi berkisar Rp 430.404,00-Rp 505.481,00 rataan IOFC terendah sebesar Rp 430.404,00 (P3) dan rataan konversi pakan tertinggi sebesar Rp 505.481,00 (P2). IOFC hasil penelitian ini tinggi dari penelitian Hermawan (2009) berkisar Rp 21.870,00-Rp 86.746,00 (menggunakan kulit singkong) dan Pulungan (2018) berkisar Rp 165.165,28-Rp 276.656,01 (menggunakan kulit umbi ubi kayu fermentasi dengan Starbio)

Data Tabel 10 menunjukkan bahwa Rataan Income Over Feed Cost (IOFC) kulit singkong fermentasi yang diberikan pada domba lokal jantan cenderung meningkat dibanding Income Over Feed Cost (IOFC) tanpa kulit singkong fermentasi. Perlakuan P2 dengan level pemberian 50% kulit singkong fermentasi memiliki nilai IOFC lebih baik dibaik dari perlakuan lainnya. ini karena perlakuan tersebut memiliki keseimbangan antara pertambahan bobot badan yang baik, nilai konversi pakan yang rendah serta biaya pakan yang relatif lebih murah sehingga keuntungan yang didapat menjadi lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasim (2002) yang menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan, tetapi pertumbuhan yang baik dan diikuti konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimum.

(48)

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian rataan dari keempat parameter yaitu: konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan Income over Feed Cost (IOFC) terhadap domba lokal jantan dapat dlihat pada table 16.

Tabel 11. Rekapitulasi hasil penelitian pengaruh kulit singkong fermentasi menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) dalam ransum terhadap performans domba lokal jantan.

Perlakuan

Konsumsi

Pakan PBB konversi

pakan IOFC

(g/ekor/hari) (g/ekor/hari) (Rp)

P0 1758,65 ± 84,71tn 156,20 ± 32,38tn 11,62 ± 2,22b 449.769 P1 1755,97 ± 285,75tn 144,02 ± 28,60tn 12,34 ± 1,60b 457.745 P2 1775,94 ± 347,26tn 151,02 ± 31,32tn 11,95 ± 2,13b 505.481 P3 2001,40 ± 127,45tn 133,64 ± 9,14tn 15,01 ± 1,11a 430.404 Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang

tidak nyata (P>0,05)

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 11 rekapitulasi hasil penelitian di peroleh bahwa pengaruh pemberian kulit singkong fermentasi dengan mikroorganisme lokal (MOL) dalam ransum pada domba lokal jantan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan, memberikan pengaruh nyata terhadap konversi pakan dan income Over Feed Cost (IOFC) tertinggi terdapat pada P2 (50% kulit singkong fermentasi dalam ransum).

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan limbah kulit singkong yang difermentasi dengan mikroorganisme lokal (MOL) sampai dengan dosis 50% dapat meningkatkan konsumsi pakan dan income over feed cost (IOFC) domba lokal jantan.

Saran

Disarankan daerah dengan potensi limbah kulit singkong dapat menggunakan fermentasi kulit singkong sampai dengan dosis 50% sebagai sumber bahan pakan alternatif pada ransum ternak domba sehingga mampu meningkatkan pendapatan peternak.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Adkinson, R.W., W.S. Farmer, dan B.F. Jenny. 1993. Feeding practices and income over feed cost on pasture-oriented dairy farm in limousiana.

Journal Dairy Science 76 (11): 3547-3554.

Akhadiarto,Sindu., 2010, “Pengaruh Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong Dalam Pembuatan Pelet Ransum Unggas”, Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 11 No. 1 Januari 2010, 127 – 138.

Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke 4. PT Gramedia.

Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2018. Produksi Ubi Kayu Menurut Provinsi (ton) 2014 – 2018. (www.pertanian.go.id/home/show/?show=page&act=view&id=61, diakses 17 Februari 2019).

Busairi, AM. dan Wikanastri H., 2009. Pengkayaan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu melalui Proses Fermentasi : Optimasi Nutrien Substrat Menggunakan Response Surface Methodology. Prosiding. ISBN 978-979-98300-1-2.

Cuzin, N. dan M. Labat. 1992. Reduction of cyanide levels during anaerobic digestion of cassava. Int. J. Food Sci. Technol. 27: 329 - 336.

Departemen Pertanian. 2002. Teknologi Tepat Guna: Budidaya Peternakan.

Jakarta. http://www.Iptek.net.id/eng/index(1september2004)

Devendra, C. 1977. Cassava as a Feed Source for Ruminants. In Nestle B. and Graham M. (eds). Casssava as Animal Feed. IDRC. Canada. 1-07-119.

Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Edition. Interstate Publisher, Inc.

Printed in the United State of America. p: 571- 575.

Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO). 2011. FAO

Yearbook. Fishery and Aquculture Statistic.

http://www.fao.org./fishery/publication/yearbook/en.

Gardjito, dkk. 2013. Pangan Nusantara. Jakarta. Kencana prenada media group.

Gohl, B. O. 1975. Tropical Feeds, Feeds Information, Summaries, and Nutritive Value. Dalam: Skerman, P. J. and F. Rivers (Eds). Tropical Grasses. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Hardjosworo, P. S. dan Rukmiasih, M. S. 2000. Meningkatkan Produksi Daging.

Penebar Swadaya. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian sumbangan lebih dari 50% yang berarti senam irama pada penelitian ini dapat dikatakan efektif untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak di Sekolah Dasar dan

Hal ini dikarenakan semakin panjang pipa masuk semakin bertambah besarnya gaya gesek sehingga berkurangnya energy aliran dalam pipa masuk dan jarak tempuh akan

Hasil penelitian pertambahan bobot badan kambing Peranakan Etawah (PE) yang diberi ransum perlakuan disajikan pada Tabel 3.. Pertumbuhan Kambing PE pada tiga

1. Pasokan bahan baku kayu yang legal dan lestari tercapai yang berasal dari berbagai sumber, khususnya dari hutan produksi yang dikelola secara lestari dan disertifikasi

Komitmen manajemen rumah sakit dibutuhkan dalam membangun peningkatan kualitas kehidupan kerja perawat melalui komunikasi yang terbuka, kepemimpinan yang efektif dan

Hasil penelitian dilapangan bahwa Pelaksanaan pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemenuhan hak-hak tenaga kerja wanita di swalayan Ramayana Pangkalpinang telah

Winarsih, Upaya Guru Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca, Menulis dan Berhitung (Calistung) pada Peserta didik kelas I SD Negeri Jatiroto, Wonosari,

Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal tersebut,