23
Pada bab ini akan membahas tentang deskripsi karakteristik penyebaran kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Sleman.
Gambaran tentang persebaran penyakit DBD di Kabupaten Sleman pada tahun 2007-2014. Pada bab ini juga dilakukan perhitungan dan pengujian autokorelasi spasial persebaran penyakit DBD antar kecamatan di Kabupaten Sleman dengan Moran’s I, Geary’s Ratio, LISA dan visualisasi autokorelasi spasial tiap kecamatan dengan Moran Scatterplot.
5.1. Deskripsi Kejadian Penyakit DBD di Kabupaten Sleman
5.1.1. Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue Menurut Kecamatan di Kabupaten Sleman
Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Sleman tahun 2007-2014 memiliki karakteristik yang beragam. Kecamatan Depok merupakan kecamatan yang mempunyai rata-rata kejadian penyakit DBD tertinggi yaitu 94,25 dan rata-rata terendah kejadian penyakit DBD adalah pada Kecamatan Turi sebesar 1,62.
Tabel 5.1. Nilai rata-rata kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue tahun 2007- 2014 tiap kecamatan di Kabupaten Sleman.
No Kecamatan Rata-rata No Kecamatan Rata-rata
1. Moyudan 4 10. Kalasan 68.50
2. Minggir 3.87 11. Ngemplak 22
3. Seyegan 8.25 12. Ngaglik 44
4. Godean 58 13. Sleman 27.25
5. Gamping 92.37 14. Tempel 3.37
6. Mlati 54.25 15. Turi 1.62
7. Depok 94.25 16. Pakem 2.37
8. Berbah 21.50 17 Cangkringan 4.12
9. Prambanan 16
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis
DBD tahun 2007 DBD tahun 2008
DBD tahun 2009 DBD tahun 2010
DBD tahun 2011 DBD tahun 2012
DBD tahun 2013 DBD tahun 2014
Keterangan :
Jumlah Kejadian DBD per kecamatan di Kabupaten Sleman
Gambar 5.1. Kejadian penyakit DBD tahun 2007-2014
Perbedaan warna pada Gambar 5.1. ini menunjukkan banyaknya kejadian penyakit DBD pada tiap kecamatan di Kabupaten Sleman. Warna yang cerah menunjukkan sedikitnya jumlah penderita penyakit DBD yaitu antara 0-20 penderita pada tiap kecamatan di Kabupaten Sleman tahun 2007-2014. Sedangkan warna yang gelap menunjukkan banyaknya jumlah penderita penyakit DBD yaitu antara 201-220 penderita. Pada peta tahun 2007 dengan warna yang gelap terlihat bahwa kejadian DBD paling tinggi adalah Kecamatan Depok. Tahun 2008, kejadian DBD di Kecamatan Depok mengalami penurunan dibandingkan tahun 2007, tetapi masih mengalami kejadian DBD tertinggi. Pada tahun 2009 kejadian DBD tertinggi di Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Gamping dan Kecamatan Depok. Tahun 2010 di Kecamatan Kalasan mengalami kejadian DBD tertinggi.
Tahun 2011 dan 2012 kejadian DBD mengalami penurunan karena adanya pemberantasan sarang nyamuk dengan fogging oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Peta kejadian DBD pada tahun 2013 menunjukkan bahwa Kecamatan Gamping dan Kecamatan Mlati mengalami kejadian DBD tertinggi. Pada tahun 2014 kecamatan yang mengalami kejadian tertinggi adalah Kecamatan Gamping.
Pada Gambar 5.1. juga memberikan informasi bahwa kejadian DBD terjadi pada wilayah di Kabupaten Sleman bagian selatan, tengah, timur dan barat. Hampir meratanya kejadian DBD diduga karena mobilitas vektor yang cukup cepat.
Sedangkan Kabupaten Sleman bagian utara jarang mengalami kejadian DBD karena wilayahnya terletak pada dataran tinggi. Sehingga vektor tidak dapat berkembangbiak secara baik. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya kejadian DBD, misalnya curah hujan, pola hidup masyarakat yang kurang sehat, iklim dan kelembaban udara. Kelembaban udara yang tinggi dan suhu panas dapat membuat nyamuk Aedes aegypti bertahan lama, sehingga kemungkinan pola waktu terjadinya penyakit akan berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lain tergantung dari iklim dan kelembaban udara.
5.1.2. Jumlah Penduduk Kabupaten Sleman Tahun 2014
Banyaknya jumlah penduduk di Kabupaten Sleman yaitu sebesar 1.163.970. Jumlah penduduk tertinggi adalah Kecamatan Depok sebesar 186.417 dan terendah adalah Kecamatan Cangkringan sebesar 29.346.
Gambar 5.2. Peta Jumlah Penduduk Kabupaten Sleman tahun 2014
Tingginya jumlah penduduk dapat ditunjukkan pada peta tematik dengan warna yang gelap. Sedangkan warna yang cerah menunjukkan jumlah penduduk yang rendah. Semakin gelap warna pada Gambar 5.2. maka semakin tinggi jumlah penduduk kecamatan di Kabupaten Sleman.
5.2. Kriteria Ketetanggaan
Kriteria ketetanggaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Queen Contiguity (persinggungan sisi - sudut).
Tabel 5.2 Matriks kriteria ketetanggaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 4 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 12 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 13 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 14 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
Pada tabel 5.2. matriks pembobot spasial tersebut berordo 17x17. Elemen matriks pembobot didefinisikan wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian sedangkan yang lainnya didefinisikan elemen matriks pembobot wij = 0 untuk wilayah yang lainnya.
Berdasarkan matriks kriteria ketetanggaan maka di dapat hubungan ketetanggaan tiap kecamatan di kabupaten Sleman sebagai berikut :
Tabel 5.3 Hubungan ketetanggaan tiap kecamatan di Kabupaten Sleman
No Kecamatan Wilayah Tetangga
1 Moyudan Minggir dan Godean
2 Minggir Moyudan, Seyegan, Godean dan Tempel 3 Seyegan Minggir, Godean, Mlati, Sleman dan Tempel 4 Godean Moyudan, Minggir, Seyegan, Gamping dan Mlati 5 Gamping Godean dan Mlati
6 Mlati Seyegan, Godean, Gamping, Depok, Ngaglik dan Sleman
7 Depok Mlati, Berbah, Kalasan, Ngemplak dan Ngaglik 8 Berbah Depok, Prambanan dan Kalasan
9 Prambanan Berbah dan Kalasan
10 Kalasan Depok, Berbah, Prambanan dan Ngemplak 11 Ngemplak Depok, Kalasan, Ngaglik, Pakem dan
Cangkringan
12 Ngaglik Mlati, Depok, Ngemplak, Sleman, Turi dan Pakem
13 Sleman Seyegan, Mlati, Ngaglik, Tempel dan Turi 14 Tempel Minggir, Seyegan, Sleman dan Turi 15 Turi Ngaglik, Sleman, Tempel dan Pakem 16 Pakem Ngemplak, Ngaglik, Turi dan Cangkringan 17 Cangkringan Ngemplak dan Pakem
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis kriteria ketetanggaan
Dari tabel 5.3 menunjukkan bahwa kecamatan yang mempunyai tetangga terbanyak adalah Kecamatan Mlati dan Kecamatan Ngaglik. Kecamatan Mlati mempunyai 6 tetangga yang berarti bahwa kejadian DBD di Kecamatan Mlati mempengaruhi dan dipengaruhi secara signifikan oleh 6 tetangga yaitu Kecamatan
Seyegan, Godean, Gamping, Depok, Ngaglik dan Sleman. Kecamatan Ngaglik mempunyai 6 tetangga yaitu Mlati, Depok, Ngemplak, Sleman, Turi dan Pakem, yang berarti bahwa kejadian DBD Kecamatan Ngaglik dipengaruhi dan mempengaruhi pada 6 tetangga tersebut. Kecamatan yang mempunyai tetangga paling sedikit adalah Kecamatan Moyudan, Gamping, Prambanan dan Cangkringan sebanyak 2 tetangga yang berarti bahwa kejadian DBD di Kecamatan tersebut hanya dipengaruhi dan mempengaruhi 2 tetangga. Selain wilayah yang menjadi fokus penelitian ini, Kabupaten Sleman juga bertetanggaan dengan Kabupaten Boyolali pada bagian Utara, batas wilayah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, batas wilayah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, batas wilayah bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Magelang.
Berdasarkan tabel 5.3. matriks pembobot spasial dengan ordo 17x17 menjadi matriks pembobot spasial terstandar, yang disajikan pada tabel 5.4 sebagai berikut :
Tabel 5.4. Matriks Pembobot Spasial Terstandar (Wij)
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis matriks pembobot spasial terstandar
5.3. Autokorelasi Spasial dan Pola Spasial 5.3.1. Indeks Moran’s I
Moran’s I merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghitung dependensi spasial yaitu untuk menentukan autokorelasi spasial antar lokasi pengamatan. Hasil perhitungan nilai Moran’s I dengan bantuan Software Microsoft Excel.
Tabel 5.5. Perhitungan Nilai Moran’s I tahun 2007 Kode Kecamatan X Xi- ̅ (Xi- ̅ 2
1 12 -32,41 1050,52
2 3 -41,41 1714,93
3 9 -35,41 1253,99
4 42 -2,41 5,82
5 99 54,59 2979,88
6 52 7,59 57,58
7 220 175,59 30831,23
8 19 -25,41 645,76
9 21 -23,41 548,11
10 95 50,59 2559,17
11 48 3,59 12,88
12 71 26,59 706,93
13 45 0,59 0,35
14 7 -37,41 1399,64
15 2 -42,41 1798,76
16 7 -37,41 1399,64
17 3 -41,41 1714,93
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
Tabel 5.6. Perhitungan Nilai Moran’s I tahun 2007 (Wij (Xi- ̅) (Xj- ̅))
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
Tabel 5.7. Perhitungan Nilai Moran’s I tahun 2007 (Wij (Xi- ̅)2)
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
N = 17 ̅ = 44,41
Σi=1 Σj=1 Wij (Xi- ̅) (Xj- ̅) = 8039,19 Σi=1 (Xi- ̅)2 = 48680,12
Σi=1 Σj=1 Wij Σi=1 (Xi- ̅)2 = 827562
I = ̅ ̅
̅
I =
=
= 0,1651 E(I) =
= = -0,0625
Berdasarkan nilai Moran’s I kejadian DBD dan nilai ekspektasi dari Moran’s I menunjukkan bahwa terdapat autokorelasi spasial positif karena nilai I sebesar 0,1651 lebih besar dari E(I) sebesar -0,625. Autokorelasi positif berarti bahwa kejadian DBD di Kabupaten Sleman mempunyai penyebaran pola mengelompok.
Tabel 5.8. Nilai Indeks Moran’s (I), E(I), Var(I), Z tahun 2007-2014
Tahun I E (I) Variance Z Keputusan
2007 0,1651 -0,0625 0,0119 2,0864 Terdapat keterkaitan antar wilayah 2008 0,2195 -0,0625 0,0119 2,5851 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2009 0,2254 -0,0625 0,0119 2,6392 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2010 0,1721 -0,0625 0,0119 2,1506 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2011 0,3430 -0,0625 0,0119 3,7172 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2012 0,2383 -0,0625 0,0119 2,7574 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2013 0,4186 -0,0625 0,0119 4,4102 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2014 0,3781 -0,0625 0,0119 4,0390 Terdapat keterkaitan
antar wilayah
Signifikan pada = 15%
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
Pengujian Moran’ I pada nilai kejadian DBD pada tahun 2007
Uji Hipotesis
H0 : I = 0, (Tidak terdapat keterkaitan kejadian DBD pada tahun 2007 antar wilayah di Kabupaten Sleman)
H1 : I ≠ 0, (Terdapat keterkaitan kejadian DBD pada tahun 2007 antar wilayah di Kabupaten Sleman)
Tingkat signifikansi = 15%
Daerah Kritis
Tolak H0 jika Z (I) >
Statistik Uji E(I) =
=
= - 0,0625
Var (I) =
( ) =
= 0,0119 Z(I) = √ =
√ = 2,0864
Keputusan
Berdasarkan statistik uji maka keputusan yang diambil adalah tolak H0
Kesimpulan
Terdapat keterkaitan kejadian DBD pada tahun 2007 antar wilayah di Kabupaten Sleman
5.3.2. Geary’s Ratio
Pengujian autokorelasi spasial juga dapat dilakukan dengan menggunakan Geary’s Ratio (C). Jika nilai C = 1 maka tidak ada autokorelasi spasial. Jika nilai C > 1 maka ada autokorelasi spasial negatif. Jika nilai C < 1 atau sama dengan 0 maka ada autokorelasi spasial positif. Dapat dilihat pada tabel 5.10, dari besarnya nilai Geary’s Ratio pada tahun 2007-2014 yang berarti nilai-nilai tersebut lebih kecil dari E(C) yang berarti mempunyai autokorelasi spatial positif.
Tabel 5.9. Perhitungan Nilai Geary’s Ratio tahun 2007 ((Wij (Xi-Xj)2)
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
n = 17
Σi=1 Σj=1 Wij (Xi-Xj) = 82155,4 Σi=1 Σj=1 Wij Σi=1 (Xi- ̅)2 = 827562
= 0,7941
Dengan menggunakan perhitungan Geary’s Ratio (C) didapatkan hasil pada Tabel 5.10. yaitu sebagai berikut :
Tabel 5.10. Nilai Geary’s Ratio (C), E (C), Var (C) dan Z tahun 2007-2014
Tahun C E (C) Variance Z Keputusan
2007 0,7942 1 0,0108 1,9803 Terdapat keterkaitan antar wilayah 2008 0,6912 1 0,0108 2,9714 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2009 0,6667 1 0,0108 3,2072 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2010 0,7870 1 0,0108 2,0496 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2011 0,4757 1 0,0108 5,0451 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2012 0,6539 1 0,0108 3,3304 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2013 0,5393 1 0,0108 4,4331 Terdapat keterkaitan
antar wilayah 2014 0,5629 1 0,0108 4,2060 Terdapat keterkaitan
antar wilayah
Signifikan pada = 15%
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
Pengujian Geary’s Ratio pada nilai kejadian DBD pada tahun 2007
Uji Hipotesis
H0 : C = 0, (Tidak terdapat keterkaitan kejadian DBD pada tahun 2007 antar wilayah di Kabupaten Sleman)
H1 : C ≠ 0, (Terdapat keterkaitan kejadian DBD pada tahun 2007 antar wilayah di Kabupaten Sleman)
Tingkat signifikansi = 15%
Daerah Kritis
Tolak H0 jika Z (C) >
Statistik Uji
C =
̅̅̅̅
=
= 0,7942 Var (C) =
=
= = 0,0108 Zhitung =
√ =
√ = 1,9803 Z (C) (1,9803) > (1,44)
Keputusan
Berdasarkan statistik uji maka keputusan yang diambil adalah tolak H0
Kesimpulan
Terdapat keterkaitan kejadian DBD pada tahun 2007 antar wilayah di Kabupaten Sleman
5.3.3. Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA)
Moran’s I juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi koefisien autokorelasi secara lokal (local autocorelation) atau korelasi spasial pada setiap daerah. Semakin tinggi nilai lokal Moran’s memberikan informasi bahwa wilayah yang berdekatan memiliki nilai amatan yang hampir sama atau membentuk suatu penyebaran yang mengelompok. Dalam analisis Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) digunakan untuk menganalisis pola kejadian DBD.
Hipotesis dari pemeriksaan autokorelasi spasial disajikan sebagai berikut:
H0 : Ii = 0, (Tidak terdapat keterkaitan kejadian DBD antar wilayah di setiap kecamatan Kabupaten Sleman)
H1 : Ii ≠ 0, (Terdapat keterkaitan kejadian DBD antar wilayah di setiap kecamatan Kabupaten Sleman)
Berdasarkan pada Tabel 5.11, pengujian Local Indicator of Spasial Autocorrelation (LISA) pada tahun 2007 akan menolak hipotesis awal jika P- value < α = 15%. Hasil yang beragam di hasilkan dari pengujian Local Indicator of Spasial Autocorrelation (LISA). Kecamatan Minggir, Seyegan, Mlati, Depok, Berbah, Kalasan, Ngemplak, Ngaglik, Sleman dan Tempel merupakan kecamatan yang signifikan terhadap α=15%, yang berarti bahwa kecamatan tersebut terdapat keterkaitan kejadian DBD antar wilayah di setiap kecamatan Kabupaten Sleman.
Berdasarkan pada Tabel 5.11 maka pengujian LISA tahun 2008 signifikan dengan α=15% adalah Kecamatan Minggir, Mlati, Depok, Berbah, Kalasan, Ngemplak, Tempel, Pakem dan Cangkringan. Pengujian LISA tahun 2009 signifikan dengan α=15% adalah Kecamatan Minggir, Mlati, Depok, Berbah, Kalasan, Ngemplak, Sleman, Tempel, dan Pakem. Pengujian LISA tahun 2010 signifikan dengan α=15% adalah Kecamatan Minggir, Gamping, Mlati, Depok, Berbah, Prambanan, Kalasan, Ngemplak, Sleman, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan. Pengujian LISA tahun 2011 signifikan dengan α=15% adalah kecamatan Godean, Gamping, Mlati, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
Pengujian LISA tahun 2012 signifikan dengan α=15% adalah Kecamatan Moyudan, Gamping, Mlati, Sleman, Tempel, Pakem dan Cangkringan merupakan kecamatan yang signifikan terhadap α=15%, yang berarti bahwa kecamatan tersebut terdapat keterkaitan kejadian DBD antar wilayah di setiap kecamatan Kabupaten Sleman. Pengujian LISA tahun 2013 signifikan dengan α=15% adalah Kecamatan Minggir, Godean, Gamping, Mlati, Depok, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan merupakan kecamatan yang signifikan terhadap α=15%, yang berarti bahwa kecamatan tersebut terdapat keterkaitan kejadian DBD antar wilayah di setiap kecamatan Kabupaten Sleman. Pengujian LISA tahun 2014 yang signifikan dengan α=15% adalah Kecamatan Minggir, Gamping, Mlati, Depok, Berbah, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan yang berarti bahwa kecamatan tersebut terdapat keterkaitan kejadian DBD antar wilayah di setiap kecamatan Kabupaten Sleman.
Tabel 5.11 Nilai Ii dan P-value LISA tahun 2007-2014
Signifikan pada α = 15%
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
5.4. Moran’s Scatterplot
Moran’s Scatterplot digunakan untuk melihat pola yang mengelompok dan menyebar antar wilayah. Kuadran I (High-High) menunjukkan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang tinggi bersebelahan dengan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang tinggi pula.
Kuadran II (Low-High) menunjukkan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang rendah dan bersebelahan dengan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang tinggi. Kuadran III (Low-Low) menunjukkan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang rendah bersebelahan dengan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang rendah pula. Kuadran IV (High-Low) menunjukkan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang tinggi bersebelahan dengan kecamatan yang mempunyai jumlah kejadian penyakit DBD yang rendah.
Tabel 5.12 Jumah kejadian DBD yang telah di standarisasi
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
Tabel 5.13 Rata-rata daerah tetangga kejadian DBD yang telah di standarisasi berdasarkan matriks pembobot spasial
Sumber : Khasna, 2015, hasil analisis data
5.4.1. Kejadian DBD Tahun 2007
Sumbu X (horisontal) pada Gambar 5.3 merupakan jumlah kejadian DBD yang telah di standarisasi (Zstd) dan sumbu Y (vertikal) merupakan rata-rata jumlah kejadian DBD yang telah di standarisasi berdasarkan pembobot (WZstd).
Pada Gambar 5.3. dapat diketahui bahwa terdapat 6 kecamatan yaitu Gamping, Mlati, Depok, Kalasan, Ngemplak dan Ngaglik yang berada pada kuadran HH (High-High). Terdapat 2 kecamatan yaitu Berbah dan Prambanan yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 8 kecamatan berada pada kuadran LL (Low-Low) yaitu Moyudan, Minggir, Seyegan, Godean, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan. Pada kuadran HL (High-Low) terdapat 1 kecamatan yaitu Kecamatan Sleman. Kecamatan yang berada pada kuadran HH (High-High) dan kuadran LL (Low-Low) akan memiliki nilai autokorelasi spasial yang positif (cluster). Sementara Moran’s scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di kuadran HL (High-Low) dan LH (Low-High) akan cenderung mempunyai nilai autokorelasi spasial yang negatif.
3 2
1 0
-1 1,25 1,00 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50
Zstd
WZstd
17 1516
14 13
12
11 10
9 8
7 6
5
4 3 2
1
Scatterplot DBD 2007
Gambar 5.3. Moran’s Scatterplot tahun 2007
5.4.2. Kejadian DBD Tahun 2008
3 2
1 0
-1 1,00 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50
Zstd
WZstd
17 16 15
14 13
12 11
10 9
8
7 6
5
4 3
2 1
Scatterplot DBD 2008
Gambar 5.4. Moran’s Scatterplot tahun 2008
Pada Gambar 5.4. dapat diketahui bahwa terdapat 6 kecamatan yaitu Godean, Gamping, Mlati, Depok, Kalasan dan Ngaglik yang berada pada kuadran HH (High-High). Terdapat 3 kecamatan yaitu Berbah, Prambanan dan Ngemplak yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 8 kecamatan berada pada kuadran
LL (Low-Low) yaitu Moyudan, Minggir, Seyegan, Sleman, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
5.4.3. Kejadian DBD Tahun 2009
Pada Gambar 5.5. dapat diketahui bahwa terdapat 6 kecamatan yaitu Gamping, Mlati, Depok, Kalasan, Ngemplak dan Ngaglik yang berada pada kuadran HH (High-High). Terdapat 2 kecamatan yaitu Berbah dan Prambanan yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 8 kecamatan berada pada kuadran LL (Low-Low) yaitu Moyudan, Minggir, Seyegan, Sleman, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan. Pada kuadran HL (High-Low) terdapat 1 kecamatan yaitu Kecamatan Godean.
2,0 1,5
1,0 0,5
0,0 -0,5
-1,0 1,0
0,5
0,0
-0,5
Zstd
WZstd
17 16 15
14
13
12 11
9 10 8
7 6
5
4 3
2 1
Scatterplot DBD 2009
Gambar 5.5. Moran’s Scatterplot tahun 2009
5.4.4. Kejadian DBD Tahun 2010
Pada Gambar 5.6. dapat diketahui bahwa terdapat 4 kecamatan yaitu Gamping, Mlati, Depok dan Kalasan yang berada pada kuadran HH (High-High).
Terdapat 3 kecamatan yaitu Berbah, Prambanan dan Ngemplak yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 8 kecamatan berada pada kuadran LL (Low-Low) yaitu Moyudan, Minggir, Seyegan, Sleman, Tempel, Turi, Pakem dan
Cangkringan. Pada kuadran HL (High-Low) terdapat 2 kecamatan yaitu Kecamatan Godean dan Ngaglik.
3 2
1 0
-1 1,5
1,0
0,5
0,0
-0,5
Zstd
WZstd
17 16 15
14
13 12 11
10 9
8
6 57
4 3
2 1
Scatterplot DBD 2010
Gambar 5.6. Moran’s Scatterplot tahun 2010
5.4.5. Kejadian DBD Tahun 2011
Pada Gambar 5.7. dapat diketahui bahwa terdapat 4 kecamatan yaitu Godean, Gamping, Mlati dan Depok yang berada pada kuadran HH (High-High).
Terdapat 4 kecamatan yaitu Moyudan, Seyegan, Berbah dan Ngaglik yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 7 kecamatan berada pada kuadran LL (Low- Low) yaitu Minggir, Prambanan, Ngemplak, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan. Pada kuadran HL (High-Low) terdapat 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kalasan dan Sleman.
3 2
1 0
-1 1,25 1,00 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50
Zstd
WZstd
17 16
15 14
13 11 12
10 9
8
7 6
5
4
3
2 1
Scatterplot DBD 2011
Gambar 5.7. Moran’s Scatterplot tahun 2011
5.4.6. Kejadian DBD Tahun 2012
3 2
1 0
-1 1,25 1,00 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50
Zstd
WZstd
17 16 15 14
1312 11
10 9
8 7 6
5
3 4 2 1
Scatterplot DBD 2012
Gambar 5.8. Moran’s Scatterplot tahun 2012
Pada Gambar 5.8. dapat diketahui bahwa terdapat 3 kecamatan yaitu Godean, Gamping dan Mlati yang berada pada kuadran HH (High-High).
Terdapat 5 kecamatan yaitu Moyudan, Seyegan, Depok, Berbah dan Prambanan yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 6 kecamatan berada pada kuadran
LL (Low-Low) yaitu Minggir, Ngemplak, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
Pada kuadran HL (High-Low) terdapat 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kalasan, Ngaglik dan Sleman.
5.4.7. Kejadian DBD Tahun 2013
Pada Gambar 5.9. dapat diketahui bahwa terdapat kecamatan yaitu Godean, Mlati, Depok, Kalasan dan Ngaglik yang berada pada kuadran HH (High-High). Terdapat 4 kecamatan yaitu Moyudan, Seyegan, Berbah dan Prambanan yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 7 kecamatan berada pada kuadran LL (Low-Low) yaitu Minggir, Ngemplak, Sleman, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
2,0 1,5
1,0 0,5
0,0 -0,5
-1,0 1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5
-1,0
Zstd
WZstd
17 16
15 14
13 12
11 10
9 8 7
6 5
4 3
2 1
Scatterplot DBD 2013
Gambar 5.9. Moran’s Scatterplot tahun 2013
5.4.8. Kejadian DBD Tahun 2014
Pada Gambar 5.10. dapat diketahui bahwa terdapat 6 kecamatan yaitu Godean, Gamping, Mlati, Depok, Berbah dan Kalasan yang berada pada kuadran HH (High-High). Terdapat 4 kecamatan yaitu Moyudan, Seyegan, Prambanan dan Ngemplak yang berada pada kuadran LH (Low-High). Ada 6 kecamatan berada pada kuadran LL (Low-Low) yaitu Minggir, Sleman, Tempel, Turi, Pakem dan
Cangkringan. Pada kuadran HL (High-Low) terdapat 1 kecamatan yaitu Kecamatan Ngaglik.
2,0 1,5
1,0 0,5
0,0 -0,5
-1,0 1,5
1,0
0,5
0,0
-0,5
-1,0
Zstd
WZstd
17 16 15
14
13
12
11 10
9
8
7 6
5
3 4 2
1
Scatterplot DBD 2014
Gambar 5.10. Moran’s Scatterplot tahun 2014
5.5 Peta kejadian DBD di kabupaten Sleman
Peta kejadian DBD di kabupaten Sleman digunakan untuk membuat prioritas wilayah yang perlu diperhatikan untuk menekan persebaran kejadian DBD. Menurut Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI (2010), berdasarkan angka insiden/kejadian DBD suatu daerah dapat dikategorikan dalam kejadian tinggi, kejadian sedang dan kejadian rendah.
Apabila angka insiden > 55 per 100.000 penduduk maka termasuk dalam daerah kejadian tinggi DBD, kejadian sedang bila angka insiden terletak diantara 20 – 55 per 100.000 penduduk dan kejadian rendah bila angka insiden < 20 per 100.000 penduduk.
Gambar 5.11 Peta kejadian DBD di Kabupaten Sleman
Angka insiden tahun 2007 Angka insiden tahun 2008
Angka insiden tahun 2009 Angka insiden tahun 2010
Angka insiden tahun 2011 Angka insiden tahun 2012
Angka insiden tahun 2013 Angka insiden tahun 2014
Berdasarkan Gambar 5.11, dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi, kejadian DBD sedang dan kejadian DBD rendah tahun 2007-2014.
a) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2007 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi adalah Kecamatan Gamping, Depok, Kalasan dan Ngaglik.
Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah Kecamatan Godean, Mlati, Prambanan, Ngemplak dan Sleman. Daerah yang berada pada kategori kejadian DBD rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Berbah, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
b) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2008 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi adalah Kecamatan Gamping Depok, Kalasan dan Ngaglik.
Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah Kecamatan Godean, Mlati, Ngemplak dan Sleman. Daerah yang berada pada kategori kejadian DBD rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Berbah, Prambanan, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
c) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2009 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi adalah Kecamatan Godean, Gamping, Depok, Kalasan dan Ngemplak. Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah Kecamatan Godean, Mlati, Prambanan, Ngemplak dan Sleman. Daerah yang berada pada kategori kejadian DBD rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Berbah, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
d) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2010 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi adalah Kecamatan Godean, Gamping, Depok dan Kalasan.
Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah Kecamatan Mlati, Berbah, Ngemplak, Ngaglik dan Sleman. Daerah yang berada pada kategori kejadian DBD rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Prambanan, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
e) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2011 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa tidak ada daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi. Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah kecamatan Godean, Gamping, Mlati, dan Depok.
Daerah yang berada pada kategori kejadian DBD rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Berbah, Prambanan, Kalasan, Ngemplak, Ngaglik, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
f) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2012 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kejadian tinggi terhadap kejadian DBD adalah Kecamatan Gamping. Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian sedang adalah Kecamatan Godean dan Kalasan. Daerah yang berada pada kategori kejadian rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Mlati, Depok, Berbah, Prambanan, Ngemplak, Ngaglik Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
g) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2013 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian tinggi terhadap kejadian DBD adalah Kecamatan Godean, Gamping, Mlati, Depok dan Kalasan. Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah Kecamatan Berbah, Prambanan, Ngemplak dan Sleman.
Daerah yang berada pada kategori kejadian DBD rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Ngaglik, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
h) Peta kejadian penyebaran penyakit DBD tahun 2014 di Kabupaten Sleman Pada Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa daerah yang berada pada kategori kejadian DBD tinggi adalah Kecamatan Godean, Gamping, Mlati dan Depok.
Sedangkan daerah yang berada pada kategori kejadian DBD sedang adalah Kecamatan Berbah, Prambanan, Klasan, Ngemplak dan Sleman. Daerah yang berada pada kategori kejadian rendah adalah Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Ngemplak, Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan.
Peta kejadian DBD pada tahun 2007-2014 menunjukkan bahwa daerah yang terletak pada kategori kejadian DBD tinggi penyebaran DBD membentuk suatu pengelompokkan dengan jumlah kejadian DBD yang tinggi. Sedangkan
daerah yang terletak pada kategori kejadian sedang pada peta tahun 2007-2014 tersebut tidak membentuk pengelompokkan tetapi kecamatan-kecamatan yang berada di sekitar daerah kejadian DBD tinggi menyebabkan kemungkinan mempunyai dampak kejadian DBD. Pada kejadian rendah, ada beberapa daerah yang berada pada dataran tinggi sehingga vektor penyebab penyakit DBD tidak dapat berkembangbiak dengan baik.