“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
480
Pemanfaatan Kulit Kentang (Solanum tuberosum L.) Sebagai Bahan Pembuatan Bioetanol Secara Enzimatis dengan Penambahan Ragi Roti
(Saccharomyces cerevisiae)
Siti Affsoriah, Akhmad, Helmy Hassan
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang bertujuan untuk mengetahui bahwa kulit kentang (Solanum tuberosum L.) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cereviseae) dan mengetahui pH serta konsentrasi bioetanol yang dihasilkan. Tahapan penelitian meliputi persiapan sampel, hidrolisis, fermentasi, evaporasi, analisis pH dengan indikator universal dan analisis konsentasi bioetanol menggunakan GC (gas chromatography). Dengan penambahan ragi roti sebanyak 0,4 gr; 0,8 gr; 1,2 gr; 1,6 gr; dan 2,0 gr diperoleh nilai pH berturut-turut 5,0; 4,8; 4,6; 4,3; dan 4,3. Sedangkan untuk konsentrasi bioetanol yang diperoleh adalah 0,689%, 0,774%, 0,803%, 2,073% dan 0,995%. Konsentrasi bioetanol tertinggi diperoleh dengan penambahan ragi sebanyak 1,6 gr. Hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa kulit kentang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan penambahan ragi roti. Saran yang dapat diajukan ialah melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan kulit kentang sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan penambahan ragi roti.
Kata kunci: kulit kentang, bioetanol, reaksi enzimatis, ragi roti
PENDAHULUAN
Energi merupakan salah satu kebutuhan makhluk hidup yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Menurut Kusnadi (2009), bahan bakar minyak yang berasal dari minyak bumi merupakan sumber energi fosil yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Penggunaan bahan bakar minyak tersebut juga dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan sebagai pemicu terjadinya fenomena pemanasan global (global warming).
Salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar minyak adalah dengan memanfaatkan energi alternatif terbarukan seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 5 ahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, adalah melalui pengembangan energi terbarukan berbasis nabati atau sering disebut bahan bakar nabati (Azizah, 2012).
Premium adalah bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor yang paling populer di Indonesia. Premium memiliki nilai oktan terendah diantara bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor lainnya, yakni hanya 88. Data konsumsi premium di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 29.501.773 KL dan pada tahun 2014 mencapai 29.707.002 KL (Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi, 2014). Konsumsi premium yang cukup tinggi, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari karena bahan bakar minyak ini yang bersifat tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Oleh karena itu, diperlukan energi alternatif terbarukan yaitu bioetanol. Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari bahan-bahan organik dan etanol jenis ini sudah tidak asing lagi.
Pembuatan bioetanol pada umumnya menggunakan bahan-bahan pangan
yang mengandung pati atau karbohidrat seperti ubi kayu, jagung, aren, nipah, sorgum,
molase dan tebu (Prihandana, 2007). Permasalahan pada bahan baku ubi kayu adalah
masa simpannya hanya dua hari setelah panen sehingga ubi akan mengalami
pembusukan dan kadar patinya turun. Sementara molase ketersediaannya tergantung
pada musim giling pabrik gula yang berkisar 6-7 bulan sehingga pabrik etanol harus
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
481
menyediakan fasilitas penyimpanan molase untuk mensuplai bahan baku diluar musim giling tebu (Setyawan, 2011). Oleh karena itu diperlukan bahan dasar pengganti yang mudah diperoleh dan ekonomis salah satunya limbah sayuran.
Limbah sayuran merupakan bahan yang sangat mudah diperoleh tidak hanya dari limbah pertanian beberapa pasar dan aktivitas rumah tanggga menghasilkan limbah ini. Salah satu contoh dari limbah sayuran adalah kulit kentang. Di kota Samarinda saat ini ada beberapa masyarakat, khususnya di GOR Sempaja pada hari minggu membuka outlet dan menjual kentang goreng yang menghasilkan buangan berupa kulit kentang. Kulit kentang merupakan sampah yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat, padahal kulit kentang masih menyimpan potensi untuk diolah menjadi bahan bakar nabati. Hal ini ditunjukkan dengan para pedagang kentang goreng hanya membuang kulit kentang tersebut.
Penelitian ini telah ditunjang oleh penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis. Hasil dalam penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis bahwa bioetanol dapat dihasilkan dari kulit kentang. Pada penambahan ragi sebanyak 0,4 gr diperoleh etanol dengan konsentrasi 0,505%. Pada penambahan ragi sebanyak 0,8 gr diperoleh etanol dengan konsentrasi 0,614%. Pada penambahan ragi sebanyak 1,2 gr diperoleh etanol dengan konsentrasi 0,097%. Pada penambahan ragi sebanyak 1,6 gr diperoleh etanol dengan konsentrasi 0,028%. Pada penambahan ragi sebanyak 2,0 gr diperoleh etanol dengan konsentrasi 0,393%. Pengujian konsentrasi bioetanol ini dilakukan dengan menggunakan analisis gas chromatography .
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik, yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data sesuai dengan yang sebenarnya kemudian data-data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang ada (Sugiyono, 2008). Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yang bertempat di Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman Samarinda.
Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah kulit kentang (Solanum tuberosum L.).
b. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah bioetanol.
Populasi dalam penelitian ini adalah kulit kentang (Solanum tuberosum L.) yang diambil dari penjual kentang goreng yang ada di kota Samarinda. Sampel dalam penelitian ini adalah kulit kentang (Solanum tuberosum L.) yang diambil dari penjual kentang goreng yang ada di GOR Sempaja Samarinda.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain baskom, pisau, tampi,
blender, neraca analitik, labu Erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, oven, laminar air
flow, corong, kertas saring, tissue, spatula, rotary evaporator, botol vial, kertas label,
indicator universal, sendok, pipet tetes, aluminium foil, handscoon, masker, kamera,
dan gas chromatography. Bahan yang digunakan antara lain kulit kentang, Enzym
alfa-amylase, Enzym gluko-amylase, ragi roti / Saccharomyces cerevisiae 0,4 gr; 0,8
gr; 1,2 gr; 1,6 gr; 2,0 gr, akuades, NPK, Urea, dan HCl 0,1 N.
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
482
Penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.
1. Persiapan Sampel
a. Sampel yang diperoleh dari pedagang dicuci hingga bersih dengan menggunakan air mengalir, kemudian ditiriskan untuk mengurangi kadar air.
b. Disusun kulit kentang pada tampi hingga tidak ada yang menumpuk.
Selanjutnya, dijemur kulit kentang di bawah paparan sinar matahari selama 2 hari atau hingga kulit kentang kering.
c. Dihaluskan dengan menggunakan blender.
2. Hidrolisis
a. Proses Liquifikasi
1) Dimasukkan 10 gram kulit kentang yang sudah dihaluskan ke dalam labu erlenmeyer lalu ditambahkan akuades sebanyak 100 ml.
2) Ditambahakan enzym alfa-amylase sebanyak 1ml sambil diaduk hingga rata dan usahakan larutan memiliki pH 5 dengan menambahkan HCl 0,1 N sebanyak 1ml kemudian tutup menggunakan aluminium foil.
3) Dipanaskan pada suhu ± 80ºC dengan menggunakan oven selama 30 menit.
Selanjutnya didinginkan hingga mencapai suhu 55ºC.
b. Proses sakarifikasi
1) Hasil dari proses liquifikasi ini kemudian ditambahkan enzym gluko-amylase sebanyak 1 ml sambil diaduk hingga rata, kemudian ditutup menggunakan aluminium foil.
2) Dipanaskan pada suhu 55ºC selama 1 jam.
3) Didinginkan hingga mencapai suhu 34 ºC.
3. Fermentasi
a. Hasil dari proses hidrolisa selanjutnya ditambahkan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) sebanyak 0,4 gr.
b. Ditambahkan urea sebanyak 0,5 gr dan NPK sebanyak 0,06 gr.
c. Diaduk hingga merata, dan dijaga suhu maksimum 36ºC kemudian tutup dengan menggunakan aluminium foil.
d. Dimasukkan sampel ke dalam laminar air flow dan difermentasi selama 7 hari.
e. Dibuat produk fermentasi dari kulit kentang dengan prosedur yang sama dan menambahkan ragi dengan massa 0,8 gr; 1,2 gr; 1,6 gr; 2,0 gr.
4. Evaporasi
a. Disiapkan rotary evaporator.
b. Dipasang labu berisi sampel pada rotor penggerak dan dipasang klip untuk memperkuat sambungan. Dinyalakan rotary evaporator dengan menekan tombol on dan diatur kecepatan berputarnya dengan memutar knop pemutar.
c. Dilakukan evaporasi untuk memisahkan air dengan etanol pada suhu 78ºC selama 30 menit.
d. Dimasukkan etanol ke dalam botol vial dan diberi label.
5. Mengukur pH
a. Dimasukkan indicator universal ke dalam botol vial yang berisi etanol hasil evaporasi.
b. Didiamkan sampai terjadi perubahan warna pada kertas indikator, kemudian
diangkat kertas tersebut.
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
483
c. Dibandingkan warna pada kertas tersebut dengan warna yang tertera pada daftar warna pH agar diketahui pH dari bioetanol yang telah dibuat.
6. Penentuan Kadar Etanol
a. Etanol yang dihasilkan dalam proses evaporasi diinjeksikan ke dalam injektor gas chromatography.
b. Tunggu hingga analisis selesai, kemudian dicetak hasil analisisnya. Dilakukan langkah yang sama untuk semua sampel.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur pH bioetanol dan konsentrasi bioetanol dari hasil fermentasi kulit kentang (Solanum tuberosum L.) secara enzimatis dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae). Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriftif untuk mendapatkan gambaran konsentrasi bioetanol yang tedapat pada kulit kentang (Solanum tuberosum L.). Adapun rumus yang digunakan adalah:
Σ /N
Keterangan:
= Rata-rata pH atau konsentrasi bioetanol X = pH atau konsentrasi bioetanol
N = Jumlah sampel
HASIL PENELITIAN
Bioetanol dalam penelitian ini dihasilkan dari proses fermentasi kulit kentang.
Dari 10 gr kulit kentang yang telah dihaluskan kemudian akan melalui proses hidrolisis dengan menggunakan enzim alfa amylase dan gluko amylase. Selanjutnya, dilakukan fermentasi dengan menambahkan ragi roti sebanyak 0,4 gr; 0,8 gr; 1,2 gr; 1,6 gr; 2,0 gr. Adapun lama fermentasi dalam memproduksi bioetanol berlangsung selama 7 hari.
Analisis pengujian pH Bioetanol yang Dihasilkan dari Kulit Kentang
Analisis pH bioetanol dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa indikator universal. Hasil yang diperoleh dari analisis pengujian pH bioetanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi kulit kentang (Solanum tuberosum L.) dengan menggunakan indikator universal adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Analisis Pengujian pH Bioetanol yang Dihasilkan dari Kulit Kentang (Solanum tuberosum L.)
No. Massa Ragi (gr)
Pengujian pH
Rata-rata pH Spesifikasi Standar Bioetanol (SNI 7390-2008)
1 2 3
1. 0,4 5,0 5,0 5,0 5,0
6,5-9,0
2. 0,8 5,0 5,0 4,5 4,8
3. 1,2 5,0 4,5 4,5 4,6
4. 1,6 5,0 4,0 4,0 4,3
5. 2,0 5,0 4,0 4,0 4,3
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa hasil analisis pengujian pH
bioetanol yang dihasilkan dari kulit kentang (Solanum tuberosum L.) menunjukkan pH
tertinggi ialah pada penambahan ragi roti dengan massa 0,4 gr pH 5,0. Sedangkan pH
terendah ialah pada penambahan ragi dengan massa 1,6 gr dan 2,0 gr pH 4,3. Dari
tabel di atas menunjukkan nilai pH dari bioetanol yang dihasilkan dari kulit kentang
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
484
(Solanum tuberosum L.) tidak memenuhi spesifikasi standar bioetanol yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 6,5-9,0.
Analisis Pengujian Konsentrasi Bioetanol yang Dihasilkan dari Kulit Kentang Analisis konsentrasi bioetanol dilakukan dengan menggunakan analisis GC gas chromatography). Hasil yang diperoleh dari analisis pengujian konsentrasi bioetanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi kulit kentang (Solanum tuberosum L.) dengan menggunakan gas chromatography dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Analisis Pengujian Konsentrasi Bioetanol yang Dihasilkan dari Kulit Kentang (Solanum tuberosum L.)
No. Massa Ragi (gr)
Pengujian Konsentrasi (%) Rata-rata (%)
Spesifikasi Standar Bioetanol (SNI 7390-2008)
1 2 3
1. 0,4 0,508 0,873 0,687 0,689
99,5%
2. 0,8 0,618 0,774 0,930 0,774
3. 1,2 0,372 1,105 0,933 0,803
4. 1,6 0,107 0,740 5,372 2,073
5. 2,0 0,085 0,472 2,428 0,995
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil analisis pengujian konsentrasi bioetanol yang dihasilkan dari kulit kentang (Solanum tuberosum L.) menunjukkan konsentrasi tertinggi ialah pada penambahan ragi roti dengan massa 1,6 gr konsentrasinya mencapai 2,073%. Sedangkan konsentrasi terendah ialah pada penambahan ragi dengan massa 0,4 gr konsentrasinya hanya mencapai angka 0,689%. Dari tabel di atas juga menunjukkan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat rendah tidak memenuhi spesifikasi standar bioetanol yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 99,5%.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan mulai dari tahap observasi, studi literatur, penelitian, dan tahap penyusunan laporan, dengan penelitian yang berlokasi di Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa kulit kentang (Solanum tuberosum L.) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cereviseae) dan mengetahui pH maupun konsentrasi dari bioetanol yang dihasilkan..
Kulit kentang yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari para pedagang kentang goreng yang berlokasi di GOR Sempaja kota Samarinda. Kulit kentang yang akan digunakan hendaknya dicuci hingga bersih. Selanjutnya, kulit kentang dikeringkan untuk mengurangi kadar airnya. Untuk mempercepat proses hirolisis kulit kentang yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan. Untuk meyesuaikan kondisi pertumbuhan khamir perlu ditambahkan HCl 0,1 N agar pH larutan terkontrol. Menurut Hidayat (2006), Saccharomyces cerevisiae memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhannya, yaitu nutrisi sebagai sumber energi terutama gula, pH optimum 4,8 -5,0, temperatur optimum 26ºC-30ºC serta kebutuhan akan oksigen terutama pada awal pertumbuhan.
Dalam pembuatan bioetanol proses hidrolisis berlangsung dalam dua tahap
yaitu, liquifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap liquifikasi dilakukan dengan penambahan
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
485
enzim alfa amylase. Kadar gula reduksi meningkat setelah bubur kulit kentang di hidrolisis menggunakan enzim α-amilase. Hal ini karena enzim α- amilase mampu memecah pati yang terdapat pada bubur kulit kentang menjadi molekul yang lebih sederhana (glukosa). Tanpa adanya penambahan enzim α-amilase, proses hidrolisis amilum menjadi glukosa kurang sempurna, sebab tidak ada pemutusan spesifik ikatan α-1,4-glukosida pada amilum (Mudawamah, 2012). Tahap selanjutnya adalah sakarifikasi dilakukan dengan penambahan enzim gluko amylase yang berfungsi mengubah disakarida menjadi glukosa.
Setelah hidrolisis berjalan sempurna maka dilanjutkan dengan fermentasi.
Fermentasi etanol berlangsung secara anaerob dengan bantuan sekelompok enzim yang dihasilkan oleh Saccharomyces cereviceae. Proses fermentasi dilakukan dengan penambahan ragi roti yang mengandung khamir Saccharomyces cerevisiae merupakan spesies khamir yang dikenal memiliki kemampuan mengubah gula menjadi etanol. Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (fruktosa) dan selanjutnya invertase mengubah glukosa menjadi etanol (Judoamidjojo, 1992).
Dalam penelitian ini dilakukan fermentasi selama 7 hari. Seperti mikroorganisme lainnya Saccharomyces cerevisiae mengalami pertumbuhan untuk kelangsungan hidupnya. Nester (2007) mengatakan, kurva pertumbuhan mikroorganisme antara lain: (1) fase lag (adaptasi), selama fase ini mikroba mensintesis makromolekul yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya, meliputi enzim, ribosom, asam nukleat dan menghasilkan energi dalam bentuk ATP. (2) fase eksponensial (fase log), selama fase ini aktivitas sel meningkat, senyawa yang disintesis disebut metabolit primer. (3) fase stasioner, sel memasuki fase stasioner ketika ia kehabisan suplai energi dan nutrisi untuk pertumbuhannya. Jumlah sel yang bertambah dan mati relatif seimbang. (4) fase kematian, jumlah sel-sel yang hidup menurun dibandingkan sel-sel yang mati.
Sebagai nutrisi bagi khamir Saccharomyces cerevisiae dalam sampel ditambahkan urea dan NPK. Penggunaan pupuk anorganik ini disebabkan urea memiliki unsur N (nitrogen) dan NPK mengandung usur P (fosfor) keduanya merupakan unsur yang dibutuhkan khamir dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Menurut Winarno (2004), hasil fermentasi terutama dipengaruhi oleh jenis pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi sekelilingnya (suhu, pH, oksigen) yang dapat mempengaruhi serta metabolisme mikroba tersebut.
Pada proses fermentasi labu erlenmeyer yang berisikan sampel disimpan dalam laminar air flow fungsinya adalah untuk menghindari kontak langsung dengan udara luar sehingga sampel tidak terkontaminasi. Laminar air flow dilengkapi sinar ultra violet yang dapat mematikan bakteri dalam ruangan laminar. Sampel yang telah melalui proses fermentasi akan membentuk tiga lapisan. Lapisan paling dasar merupakan serat dari kulit kentang yang tidak mengalami fermentasi, lapisan kedua merupakan akuades dan lapisan ketiga atau lapisan teratas merupakan bioetanol yang bercampur dengan air.
Setelah proses fermentasi selesai dilanjutkan dengan proses evaporasi. Dalam
penelitian ini juga diamati tampakan dari bioetanol yang dihasilkan dari kulit kentang
(Solanum tuberosum L.). Pengujian ini dilakukan secara visual tanpa bantuan alat
apapun. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan semua bioetanol yang
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
486
dihasilkan tidak memiliki endapan dan jernih. Hal ini sesuai dengan standar bioetanol yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu, bahan bakar bioetanol yang baik tidak memiliki endapan dan zat-zat terlarut yang terlihat secara visual. Hal ini dikarenakan jika bahan bakar bioetanol memiliki zat yang dapat mengotori mesin akan menyebabkan mesin cepat rusak (Prihandana, 2007).
Analisis pH Bioetanol yang Dihasilkan dari Kulit Kentang
pH merupakan ukuran kekuatan asam di dalam bahan bakar dan merupakan indikator yang baik untuk mengetahui potensial korosi dari etanol yang akan digunakan sebgai bahan bakar. Nilai pH yang terbaca pada indikator universal pada masing- masing sampel bioetanol yang dianalisa adalah 5,0; 4,8; 4,6; 4,3; 4,3. Dengan nilai pH yang sangat rendah dan tidak memenuhi standar parameter pH dari pemerintah yaitu dengan rentang pH 6,5-9,0 maka bioetanol dari kulit kentang tidak dapat diaplikasikan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Bila pH bahan bakar etanol <6,5 maka dapat terjadi korosi pada injektor bahan bakar, silinder mesin dan pompa bahan bakar.
Jika nilai pH >9,0 maka bagian plastik pompa bahan bakar bisa mengalami kerusakan (Prihandana, 2007).
Nilai pH rata-rata yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan penurunan sesuai dengan banyaknya massa ragi. Semakin tinggi massa ragi maka pH bioetanolnya semakin turun atau menjadi lebih asam. Massa ragi yang semakin tinggi maka akan menambah populasi mikroba , sehingga substrat kulit kentang akan lebih cepat terurai menjadi glukosa kemudian menjadi alkohol. Adannya alkohol memacu tumbuhnya bakteri pengoksidasi alkohol yaitu Acetobacter aceti yang mengubah alkohol menjadi asam asetat dan menyebabkan rasa asam pada media. Hidayat (2006), menyampaikan bakteri Acetobacter aceti mampu mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat.
Setyohadi (2006), menyatakan semakin banyak ragi, maka khamir juga akan semakin banyak, dimana khamir tersebut menghasilkan enzim-enzim invertase dan zimase. Sukrosa dihidrolisis oleh enzim invertase yang menghasilkan glukosa dan fruktosa (monosakarida). Selanjutnya, monosakarida difermentasi menghasilkan etanol dan karbondioksida oleh enzim zimase.
Semakin banyak massa ragi yang ditambahkan, maka pH lingkungan akan semakin asam. Hal ini dikarenakan khamir tidak hanya mengubah glukosa menjadi etanol tetapi menghasilkan beberapa senyawa lain. Produk fermentasi oleh mikroorganisme meliputi etanol, asam laktat, asam butirat, asam propionik, asam asetat, dan butanol. Kondisi asam juga dapat dikarenakan adanya bakteri Acetobacter aceti yang mampu mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat (Hidayat, 2006).
Analisis Konsentrasi Bioetanol yang Dihasilkan dari Fermentasi Kulit Kentang Pengukuran konsentrasi bioetanol dilakukan dengan menggunakan gas chromatography (GC). Gas chromatography (GC) adalah jenis umum kromatografi yang digunakan dalam kimia analitik untuk memisahkan dan menganalisa senyawa yang dapat menguap tanpa dekomposisi. Adapun konsentrasi etanol yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 0,689%, 0,774%, 0,803%, 2,073% dan 0,995%.
Berdasarkan analisis GC tersebut didapat bahwa pada penambahan ragi 0,4
gr, 0,8 gr, 1,2 gr dan 1,6 gr terjadi kenaikan konsentrasi bioetanol namun pada
penambahan ragi 2,0 gr terjadi penurunan kadar bioetanol. Perbedaan massa ragi
yang ditambahkan dalam fermentasi kulit kentang ternyata memberikan dampak
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
487
terjadinya perbedaan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan. Pada penambahan ragi sebanyak 1,6 gr terjadi peningkatan kadar etanol yang disebabkan jumlah khamir dan persediaan nutrien yang yang cukup sehingga produksi etanol pun semakin tinggi.
Sedangkan pada penambahan massa ragi tertinggi yaitu 2,0 gr terjadi penurunan kadar bioetanol kemungkinan disebabkan karena berkurangnya nutrisi dan meyebabkan pertumbuhan khamir menjadi lambat. Untuk penambahan ragi roti sebanyak 0,4 gr; 0,8 gr; dan 1,2 gr terjadi peningkatan konsentrasi etanol yang sangat sedikit ini disebabkan populasi khamir yang sedikit juga.
Mikroba bisa bertahan hidup karena adanya nutrisi yang mendukung untuk kehidupannya. Khamir Saccharomyces cereviceae mampu menghasilkan enzim yang bisa mengubah glukosa menjadi etanol. Menurut Setyohadi (2006), semakin banyak ragi, maka khamir juga akan semakin banyak,dimana mikroba tersebut menghasilkan enzim-enzim invertase dan zimase.
Dalam penelitian ini konsentrasi bioetanol yang dihasilkan dari kulit kentang masih sangat jauh dari dari spesifikasi standar bioetanol yang ditetapkan pemerintah yaitu 99,5%. Dengan konsentrasi bioetanol yang sudah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa kulit kentang masih menyimpan potensi untuk dijadikan bahan pembuatan bioetanol. Di dalam kulit kentang mengandung karbohidrat berupa pati.
Untuk menghasilkan bioetanol dengan konsentrasi lebih tinggi diperlukan kulit kentang dengan massa yang besar dan dibutuhkan pula proses pemurnian lebih lanjut untuk menghilangkan seluruh kadar air yang terkandung dalam bioetanol.
PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pemanfaatan kulit kentang (Solanum tuberosum L.) sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kulit kentang (Solanum tuberosum L.) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cereviseae).
2. 2. Dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cereviseae) sebanyak 0,4 gr; 0,8 gr; 1,2 gr; 1,6 gr; dan 2,0 gr diperoleh nilai pH berturut-turut 5,0; 4,8; 4,6; 4,3; dan 4,3. Sedangkan untuk konsentrasi bioetanol yang diperoleh adalah 0,689%, 0,774%, 0,803%, 2,073% dan 0,995%. Jadi, konsentrasi bioetanol tertinggi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 2,073% dengan pH 4,3 pada penambahan ragi sebanyak 1,6 gr.
Saran
1. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan kulit kentang (Solanum
tuberosum L.) sebagai bahan pembuatan bioetanol secara enzimatis dengan
penambahan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae), serta menggunakan analisis
data yang dapat menunjukkan pengaruh pemberian ragi roti (Saccharomyces
cerevisiae) terhadap pH dan konsentrasi bioetanol sehingga data yang diperoleh
lebih akurat.
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
488
2. Mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya bahan bakar berbasis nabati seperti bioetanol serta cara pembuatannya dengan memanfaatkan limbah organik yang ada.
DAFTAR RUJUKAN
Azizah, Baarri, S., dan Mulyani,. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, Ph, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan
Badan Standarisasi Nasional. 2008. Boetanol Terdenaturasi untuk Gasohol. SNI 7390:2008
Champbell, N.A., J.B. Reece, L.G., Mitchell. 1999. Biologi. Erlangga: Jakarta
Chisilia, N.Z.2011. Pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae Dalam System Microbial Fuel Cell Untuk Produksi Energy Listrik. Depok: Fakultas Teknik. Universitas Indonesia
Devi E., Iryanti E., dan Laksmiwati M., 2016. Pembuatan Bioetanol Dari Kupasan Kentang Dengan Proses Fermentasi. FMIPA Kimia: Universitas Udayana
Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi. 2014. Konsumsi atau Penjualan BBM, (Online),statistic.migas.esdm.go.id, diakses 12 Mei 2016
Fessenden R.J dan Joan.S. F. 1982. Kimia Organik. Erlangga : Jakarta
Gandjar, I.2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Girindra, A. 1990. Biokimia 1. Cetakan ke-2. PT. Gramedia: Jakarta
Hambali, E. 2007. Teknologi Bioenergi. Agro Media Pustaka : Jakarta
Handayani, S.U. 2008. Pemanfaatan Bioethanol Sebagai Bahan Bakar Pengganti Bensin. Jurnal Teknik UNDIP
Hendro, S. 2007. Petunjuk Praktis Budi Daya Kentang. PT. Agro Media Pustaka:
Jakarta
Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi Offset : Yogyakarta
Ida, R .E. 2009. Biomassa sebagai Bahan Baku Bioetanol. Jurnal Litbang
Izzati, N. dan Rosita Y. 2010. Optimasi Pembuatan Bioetanol Dari Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas) Sebagai Sumber Alternatif Bahan Bakar Yang Terbarukan.
Universitas Negeri Malang: Malang
Jamilah, S. 2008. Pengaruh Ragi dan Lama Penyimpanan Terhadap Kadar Alkohol Pada Fermentasi Kentang. Skripsi Strata 1 (S1), FKIP Biologi, Universitas Mulawarman :Samarinda
Judoamidjojo, M., Abdul, A.D., dan Endang G.S. 1992. Teknologi Fermentasi. Rajawali Press: Jakarta
Kuchel, P., dan Ralston, G.B. 2006. Biokimia Edisi Kedua. Erlangga: Jakarta
Kusnadi, 2009, Uji Produksi Batch Bioaspal sebagai Alternatif Penganti Aspal Minyak bumi, Tesis MST Konsentrasi Teknologi Industri Kecil Menengah, UGM:
Yogyakarta
Kusuma, I G.B.W. 2010. Pengolahan Sampah Organik Menjadi Etanol dan Pengujian Sifat Fisika Biogasoline. Teknik Mesin: Palembang
Listriyani. 2009. Pembuatan Bioetanol Melalui Proses Fermentasi Umbi Keladi (Colocasia esculenta L.) Dengan Proses Hidrolisis Menggunakan Enzim
Alfa-Amilase Dan Gluko-Amilase. Skripsi Jurusan Kimia FMIPA. Universitas Mulawarman: Samarinda
Manisem. 2003. Pengaruh Peragian Terhadap Kadar Gula Reduksi Glukosa Pada Tape Singkong. Skripsi Jurusan Kimia FKIP Universitas Mulawarman: Samarinda Martoharsono,S. 2006. Biokimia 2. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Mudawamah, U.R. 2012. Pengaruh Variasi Konsentrasi Ragi Tape Dan Waktu
Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol Dari Kulit Kentang (Solanum tuberosum
“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”
489