• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI MODERASI ISLAM (WASATHIYYAH) DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSI MODERASI ISLAM (WASATHIYYAH) DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

KONSTRUKSI MODERASI ISLAM (WASATHIYYAH) DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Sauqi Futaqi

Universitas Islam Darul ‘Ulum (UNISDA) Lamongan sauqifutaqi@unisda.ac.id

Abstract: Islamic Moderation (wasathiyyah) is increasingly emphasized as the mainstream of Indonesian Islam. The idea of mainstreaming Islamic moderation is an urgent need amidst the religious problems both locally, nationally and globally. On progress, islamic moderation is also emphasized as the mainstream of islamic education. Therefore, this paper wants to give contribution to construct Islamic moderation in Islamic education, especially in curriculum aspects. This study concerns three things. First, Islamic moderation is understood not only in value, but a comprehensive and integrated approach to understanding Islam.

Secondly, analyzing ideas and programs mainstreaming Islamic moderation in Islamic education. Third, the construction of wasathiyyah in the curriculum can be done at least in two ways, namely: (1) developing moderation into several curriculum development principles; and (2) the construction of a moderate curriculum can be identified through four levels of approaches: the contributive approach, the additive approach, the transformative approach, and the social action approach. The uses of the principles and approaches of Islamic moderation will reflect a construction of Islamic moderation of Islam on the Islamic education curriculum.

Keywords: Islamic Moderation, Moderation Principles, Islamic Education Curriculum.

PENDAHULUAN

Moderasi Islam (wasathiyyah) akhir-akhir ini dipertegas sebagai arus utama keislaman di Indonesia. Ide pengarusutamaan ini disamping sebagai solusi untuk menjawab berbagai problematika keagamaan dan peradaban global, juga merupakan waktu yang tepat generasi moderat harus mengambil langkah yang lebih agresif. Jika kelompok radikal, ekstrimis, dan puritan berbicara lantang disertai tindakan kekerasan, maka muslim moderat harus berbicara lebih lantang dengan disertai tindakan damai.1 Gerakan ini sebenarnya juga merupakan kelahiran kembali generasi muslim sebagaimana pernah terjadi dalam bentangan sejarah komunitas awal Muslim.2

1 Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta:

Serambi, 2005), 343

2 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau, (Bandung:

Mizan, 2017), 131

(2)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

Sebagai bentuk pengarusutamaan moderasi Islam, Kementrian Agama melalui Dirjen Kurikulum, bau-baru ini mencoba mencanangkan 12 program pengarusutamaan Islam moderat dalam pendidikan Islam,3 yang akan dikaji dalam tulisan ini. Sebelumnya, pada tanggal 12-14 Mei 2016, Direktorat Pendidikan Agama Islam juga menyelenggarakan Sarasehan Nasional Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan tema

“Potensi Pendidikan Islam Indonesia menjadi Rujukan Pendidikan Moderat Dunia.

Pengarusutamaan Islam moderat dalam pendidikan Islam ini sangat menarik dan merupakan langkah strategis. Di samping memiliki legitimasi historis sebagai pendidikan yang indigenous Indonesia,4 pendidikan Islam di Indonesia mulai menegaskan dirinya sebagai tipe pendidikan yang moderat.5 Tipologi pendidikan Islam moderat ini sesuai dengan watak keislaman nusantara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan nilai luhur kebudayaan. Selain itu, pendidikan Islam moderat juga berorientasi melahirkan generasi muslim yang berkarakter moderat.

Meski dorongan menjadikan posisi pendidikan Islam sebagai pendidikan moderat cukup kuat, belum banyak literatur pendukung untuk memperkuat pendidikan Islam sebagai tipe pendidikan moderat. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengisi kajian pendidikan Islam moderat dengan tiga fokus kajian, yaitu (1) menganalisis konsep Islam wasathiyyah dan relevansinya dengan konteks keislaman di Indonesia; (2) menganalisis ide dan program pengarusutamaan moderasi Isalam dalam pendidikan Islam; dan (3) melakukan konstruksi wasathiyyah dalam kurikulum pendidikan Islam.

KONSEP MODERASI ISLAM (WASATIYYAH)

Kajian terhadap konsep moderasi Islam (wasathiyyah) atau Islam moderat telah menarik perhatian banyak ilmuwan di berbagai bidang seperti sosio-politik, bahasa, pembangunan Islam, sosial-keagamaan, dan pendidikan Islam. Terminologi ini merupakan terminologi dari sekian terminologi yang sering digunakan untuk menyebut label-label umat Islam seperti islam modernis, progresif, dan reformis. Seperti diakui El Fadl, terminologi moderat ini dianggap paling tepat di antara terminologi yang lain.

Meski orang-orang moderat juga sering digambarkan sebagai kelompok modernis, progresif, dan reformis, tidak satupun dari istilah-istilah tersebut yang menggantikan istilah moderat. Hal ini didasarkan pada legitimasi al-Qur’an dan hadist Nabi bahwa umat islam diperintahkan untuk menjadi orang moderat. Disinilah istilah moderat menemukan akarnya di dalam tradisi Islam,6 apalagi terminologi wasathiyyah ini merupakan identitas7 dan watak dasar Islam.8

3 Lihat https://kemenag.go.id/berita/read/504842/kemenag-siapkan-12-program- pengarusutamaan-islam-moderat-di-madrasah. Diakses pada tanggal 20 Pebruari 2018.

4 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 3.

5 Ini bisa kita lihat misalnya dalam visi pendidikan Islam tahun 2015-2019 oleh Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama RI yang berbunyi “Terwujudnya pendidikan Islam yang unggul, moderat, dan menjadi rujukan dunia dalam integrasi ilmu agama, pengetahuan dan teknologi.

6 Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta:

Serambi, 2005), 27.

(3)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara be–

ragam oleh para ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti. Pertama, dari akar kata wasth, berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari akar kata wasatha, yang mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang bermakna (khiyar) terpilih, terutama, terbaik; (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk (radi’).9

Sama dengan pemaknaan al-Sallabi, Kamali menganalisis wasathiyyah sinonim dengan kata tawassuṭ, I’tidâl, tawâzun, iqtiṣâd. Istilah moderasi ini terkait erat dengan keadilan, dan ini berarti memilih posisi tengah di antara ekstremitas. Kebalikan dari wasathiyyah adalah tatarruf, yang menunjukkan makna “kecenderungan ke arah pinggiran” “ekstremisme,” “radikalisme,” dan “berlebihan”.10 Sedangkan Qardhawi mengidentifikasi wasathiyah ke dalam beberapa makna yang lebih luas, seperti adil, istiqamah, terpilih dan terbaik, keamanan, kekuatan, dan persatuan.11

Terlepas dari berbagai pemaknaan di atas, Hilmy mengidentifikasi beberapa karakteristik penggunaan konsep moderasi dalam konteks Islam Indonesia, diantaranya;

1) ideologi tanpa kekerasan dalam menyebarkan Islam; 2) mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains dan teknologi, demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya; 3) penggunaan cara berfikir rasional; 4) pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, dan; 5) penggunaan ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur'an dan Hadist). Lima karakteristik bisa diperluas menjadi beberapa karakteristik yang lain seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar kelompok agama.12

Beberapa pemaknaan wasathiyyah di atas menunjukkan bahwa terminologi ini sangat dinamis dan kontekstual. Terminologi ini juga tidak hanya berdiri pada satu aspek, tetapi juga melibatkan keseimbangan antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban, individualisme dan kolektivisme, teks (Alquran dan Sunnah) dan interpretasi pribadi (ijtihad), ideal dan realita, yang permanen dan sementara,13 yang kesemuanya terjalin secara terpadu. Itu lah kenapa Hanapi menyebut wasathiyyah

7 Muhammad Tholchah Hasan, Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme (Malang: Lembaga Penerbitan UNISMA, 2016), 63

8 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Bandung:

Mizan, 2017) hlm. 130

9 Ali Muhammad Muhammad al-Salabi, al-Wasathiyyah fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah at-Tabi’în, 2001), 13-14

10 Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: the Qur’ānic Principle of Wasaṭhiyyah (New York: Oxford University Press, 2015), 9.

11 Yusuf Qardhawi, al-Kalimat fi al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimaha (Cairo: Dar al-Shuruq, 2011)

12 Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”, dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 07, Number 01, June (Surabaya: the Institute for the Study of Religion and Society (LSAS) and the Postgraduate Program (PPs), IAIN Sunan Ampel, 2013), 28

13 Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 30.

(4)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

merupakan pendekatan yang komprehensif dan terpadu. Konsep ini sebenarnya meminta umat Islam untuk mempraktikkan Islam secara seimbang dan komprehensif dalam semua aspek kehidupan masyarakat dengan memusatkan perhatian pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan, persamaan antar ras, dan lainnya.14 Tidak heran jika ummah wasath (muslim moderat) menjadi model yang akan dipersaksikan di hadapan umat-umat yang lain.

MODERASI ISLAM SEBAGAI ARUS UTAMA PENDIDIKAN ISLAM

Sebagai pendekatan komprehensif dan terpadu, moderasi islam juga harus menjadi identitas, visi, corak, dan karateristik utama pendidikan Islam, bukan sekedar nilai partikular. Disini diperlukan langkah yang lebih konstruktif dengan menempatkan moderasi Islam sebagai arus utama pendidikan Islam. Pengarusutamaan moderasi Islam dalam konteks pendidikan Islam Indonesia akhir-akhir ini bisa kita lihat dari upaya Kemenag melalui Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah dalam merumuskan 12 program andalan, yaitu: 1) penyusunan modul pendidikan multikulturalisme untuk siswa MI, MTs, dan MA; 2) Menggelar Perkemahan Pramuka Madrasah Nasional (PPMN); 3) Penguatan siswa menuju Madrasah BERSINAR (Bersih, Sehat, Inklusif, Aman, dan Ramah Anak); 4) Menyelenggarakan ajang Minat dan Bakat Madrasah di berbagai bidang baik akademik maupun seni; 5) Sosialisasi pendidikan multikultural kepada Kepala Madrasah; 6) Menggelar Seminar Internasional tentang penanggulangan radikalisme melalui pendidikan dasar dan menengah; 7) Penyusunan panduan penilaian dan pembinaan sikap dan perilaku keseharian peserta didik; 8) Penyusunan indikasi kegiatan ekstra kurikuler berbasis nilai moderasi; 9) Penyusunan Panduan Layanan dalam penanaman nilai rahmatan lil’alamin bagi guru Bimbingan dan Konseling (BK); 10) Penyusunan panduan layanan BK bagi guru BK untuk mendampingi peserta didik rawan ajaran ektrimisme; 11) Penyusunan panduan pendeteksian ajaran ekstrim di lingkungan madrasah; 12) Sosialisasi kebijakan pengarusutamaan deradikalisasi melalui inovasi kurikulum.15

Beberapa program pengarusutamaan ini memancing diskusi lebih lanjut sejauhmana Islam moderat menjadi identitas pendidikan Islam. Namun, melihat wacana dan program yang dilakukan, setidaknya bisa dianalisis dari tiga hal. Pertama, adanya kekhawatiran menguatnya gerakan ekstrimisme, intoleran, dan radikalisme-terorisme dalam pendidikan Islam. Dalam rangka menghadang gerakan ini, moderasi Islam dianggap perlu menjadi arus utama mengingat coraknya yang inklusif dan toleran. Kedua, pengarusutamaan ini bisa dibaca sebagai tindak lanjut dan penguatan Islam Nusantara, dimana karakter utamanya adalah moderat. Terlebih pendidkan Islam Nusantara

14 Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia,” dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9(1); July 2014., 55

15 Tim Redaksi Majalah Pendis, “Laporan Utama: Pengarusutamaan Islam Moderat di Lembaga Pendidikan Islam,” Majalah Pendis Kementerian Agama, Edisi No. 8/tahun V (Jakarta: Dirjen Pendis Kemenag, 2017), 8-9

(5)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

memiliki akar historis sebagai bagian dari institusi sosial-keagamaan yang bercorak moderat. Ketiga, adanya kebutuhan untuk melakukan reformasi pendidikan Islam di tengah kompleksitas masalah global, yang diantaranya adalah tidak adanya keseimbangan antara intelektualitas dengan moralitas, modernitas dengan spiritualitas, dan ketidakseimbangan lainnya dalam semua aspek kehidupan.

KONSTRUKSI WASATHIYYAH DALAM KURIKULUM Prinsip Moderasi Kurikulum

Dalam melakukan konstruksi moderasi kurikulum, yang pertamakali diperlukan adalah rumusan prinsip-prinsip yang akan menjadi acuannya. Prinsip ini menyediakan petunjuk bagi pelaksanaan setiap aktivitas, dan oleh karenanya prinsip memiliki peran penting dalam mengembangkan berbagai kerja intelektual, termasuk di dalam membuat kurikulum. Merujuk pada prinsip-prinsip yang digali dari moderasi Islam, kurikulum pen–

didikan Islam bisa dikembangan dengan mengacu pada beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Universal

Salah satu prinsip mendasar moderasi Islam adalah prinsip universal. Prinsip universal kurikulum berangkat dari argumen bahwa Tuhan mengutus utusan untuk semua bangsa dan umat, dan oleh karena itu ajarannya mencerminkan universalitas.16 Oleh karena itu, muatan kurikulum harus mencakup semua aspek dan berlaku menyeluruh, tanpa dibatasi oleh sekat kedaerahan dan wilayah.17 Prinsip universalitas kurikulum juga menghendaki adanya totalitas dalam pengembangan potensi peserta didik, yang tercakup dalam tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.18 Pendidikan Islam di banyak tempat masih diperlakukan sebagai doktrin semata sehingga ia hanya berorientasi ke dalam. Muatan, kajian, dan produk pendidikan Islam hanya untuk umat Islam (internal) dan tidak membuka peluang yang lebih longgar bagi khalayak umum (ekternal) dengan berbagai latar keagamaan yang lain, sehingga pembaca yang notabene beragama non-muslim kurang bisa menangkap pesan yang dihasilkan dari produk pendidikan Islam.

2. Prinsip Keseimbangan

Prinsip moderasi Islam juga memuat prinsip keseimbangan (tawâzun).

Keseimbangan ini bisa dilihat dari aspek keseimbangan antara prilaku, sikap, nilai pengetahuan, dan keterampilan. Prinsip keseimbangan juga merupakan sikap dan orientasi hidup yang diajarkan Islam, sehingga peserta didik tidak terjebak pada ekstrimisme dalam hidupnya, tidak semata-mata mengejar kehidupan ukhrawi dengan mengabaikan kehidupan duniawi.19 Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam harus didesain dengan menggunakan prinsip ini. Disini kurikulum moderat dikonstruksi melalui keseimbangan antara rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas.

16 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. Ke-6 (Jakarta: Paramadina Bekerjasama dengan Dian Rakyat, 2008), 434

17 Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 520.

18 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2016),116

19 Muhammad Tholchah Hasan, Pendidikan Multikultural…, 70

(6)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

3. Prinsip Integrasi

Prinsip integrasi ini juga merupakan prinsip moderasi kurikulum yang sangat penting. Dalam pengembangan kurikulum, integrasi ini banyak dibicarakan oleh para ilmuwan muslim seperti Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Ismail Raji` al-Faruqi, dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas. Di Indonesia upaya integrasi ilmu juga dikembangkan oleh ilmuwan muslim seperti Kuntowijoyo dengan konsep

“Pengilmuan Islam,” dengan menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma keilmuan, yang dalam hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) integralisasi yaitu pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu; (2) objektifikasi yaitu menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang.20 Imam Suprayogo menawarkan integrasi ini dengan mengilustrasikan sebatang pohon yang utuh, dimana kajian keagamaan harus ditopang dengan landasan keilmuan yang lain agar studi-studi keislaman bisa berdiri kokoh.21 Integrasi ini dalam pandangan Amin Abdullah perlu dipadukan dengan interkoneksi. Pendekatan integratif-interkonektif adalah pendekatan yang berusaha saling menghargai; keilmuan umum dan agama sadar akan keterbatasan masing-masing dalam memecahkan persoalan manusia, hal ini akan melahirkan sebuah kerja sama setidaknya saling memahami pendekatan (approach) dan metode berpikir (process and procedure) antara kedua kelimuan tersebut.22 Prinsip integarasi yang ditawarkan para pemikir di atas setidaknya bisa menjadi modal berharga dalam menancapkan moderasi kurikulum pendidikan Islam.

4. Prinsip Keberagaman

Prinsip moderasi Islam sebenarnya juga mengandung prinsip “Bhineka Tunggal Ika,” suatu prinsip kesetaraan dan keadilan di tengah perbedaan untuk mencapai persatuan. Prinsip ini dimaksudkan sebagai pemeliharan terhadap perbedaan-perbedaan peserta didik, baik berupa perbedaan bakat, minat, kemampuan, kebutuhan, agama, ras, etnik, dan perbedaan lainnya.23 Pemeliharaan terhadap perbedaan ini menambah kesesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan- kebutuhan peserta didik dalam konteks Negara Indonesia yang multikultur.

Pendekatan Moderasi Kurikulum

Pendidikan Islam dengan karakter keislaman moderat bisa menjadi kontribusi bagi perumusan pendidikan Islam. Meminjam empat pendekatan integrasi konten kurikulum dalam pendidikan multikultural yang dikenalkan oleh Banks, konstruksi wasatiyyah dalam kurikulum pendidikan Islam bisa dianalisis dengan pendekatan kontributif (the contributions approach), pendekatan aditif/penambahan (the additive approach),

20 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Teraju, 2004), 49

21 Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan pada Perguruan Tinggi: Konsep Pendidikan Tinggi yang Dikembangkan UIN Malang (Malang: UIN Malang Press, 2005)

22 Abdullah, Amin. “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga: dari penekatan Dikotomis-Atomistis ke arah integratif-interdisiplinary” dalam Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 242

23 Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 521

(7)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

pendekatan transformasi (transformation approach), dan pendekatan aksi sosial (the social action approach).24

Pendekatan Kontributif

Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa struktur dasar, sasaran, dan karakteristik utama kurikulum tidak berubah, melainkan hanya menyisipkan konten-konten tertentu dalam mata pelajaran,25 yang turut berkontribusi dalam melahirkan sikap moderat, seperti tokoh-tokoh Islam nusantara, yang dianggap secara nyata memiliki pemikiran dan sikap moderat. Pendekatan kontribusi ini dapat memberi pengalaman belajar peserta didik akan ketokohan seseorang. Ketokohan ini disamping menjaga warisan sejarah, juga menghidupkan figur kepahlawanan seorang tokoh sebagai sumber teladan.

Dengan pendekatan ini, moderasi Islam bukan merupakan arus utama kurikulum pendidikan Islam, melainkan sebagai nilai kontributif yang disisipkan melalui kurikulum.

Meski demikian, pendekatan ini merupakan langkah yang paling minimal di dalam ide pengarusutamaan moderasi Islam. Namun, dalam beberapa aspek, ia sedikit banyak turut memberikan kontribusi bagi warna kurikulum pendidikan Islam.

Pendekatan Aditif/Penambahan

Pendekatan penting lainnya dalam melakukan konstruksi wasathiyyah ke dalam kurikulum adalah penambahan konten, konsep, tema, dan perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasar, tujuan, dan karakteristik kurikulum.

Pendekatan penambahan bisa dilakukan dengan menambahkan sumber belajar seperti buku, atau pelatihan khusus kedalam kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial.

Pendekatan ini bisa menjadi tahap pertama dalam upaya reformasi kurikulum yang dirancang untuk merestrukturisasi kurikulum secara keseluruhan dan menjadi kerangka acuan awal.26

Dalam melakukan konstruksi moderasi Islam dalam kurikulum, konten, materi, tema, dan perspektif moderasi Islam bisa ditambahkan ke daam kurikulum. Penambahan ini tidak lain merupakan pelengkap dan bukan bagian integral dari kurikulum. Hampir sama dengan pendekatan kontributif, yang membedakan adalah pendekatan penambahan tidak cukup menyisipkan konten, melainkan perlu adanya penambahan beberapa konsep, tema, bahan ajar dan serangkaian pelatihan tambahan terkait isu-isu dalam moderasi Islam.

Pendekatan Tranformatif

Pendekatan tranformatif sangat berbeda dengan pendekatan kontributif dan aditif.

Dalam dua pendekatan tersebut, konten ditambahkan ke kurikulum inti tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Sedangkan, dalam pendekatan

24 James A. Banks “Approaches to Multicultural Curriculum Reform,” dalam James A Bank (ed).

Multicultural Education: Issues and Perspectives (London: Allyn and Bacon Press), 237-245

25 James A. Banks “Approaches to Multicultural…, 237.

26 James A. Banks “Approaches to Multicultural…, 240-241

(8)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

transformatif, tujuan mendasar, struktur, dan perspektif kurikulum berubah.27 Pendekatan transformasi ini memungkinkan peserta didik untuk melihat konsep, isu, tema, dan masalah dari berbagai sudut pandang. Perspektif arus utama adalah salah satu dari beberapa perspektif dari mana masalah, konsep, dan isu dilihat.

Transformasi kurikulum berbasis moderasi Islam memerlukan perubahan paradigma, perspektif, dan struktur dasar kurikulum. Tentu saja transformasi ini tidak mudah karena harus meninjau ulang dan merubah beberapa struktur dasar kurikulum yang selama ini dijalankan. Namun, jika dilihat dari paradigma perubahan kurikulum pendidikan nasional yang pernah terjadi di Indonesia, perubahan paradigma juga sangat mungkin dilakukan dalam konteks kurikulum pendidikan Islam.

Dengan menggunakan perspektif moderasi Islam, transformasi kurikulum ini akan melahirkan kurikulum yang menarik bahwa kurikulum pendidikan Islam, baik di pesantren, madrasah maupun PTKI, merupakan cermin utama dari identitas islam sebagai agama yang moderat. Gagasan ini juga sejalan dengan misi pendidikan Islam yang memiliki visi transformatif dan pemberdayaan terhadap peserta didik dalam kerangka cita-cita etik profetik pemanusiaan, pembebasan, dan penyadaran keilahian,28 sehingga tercermin karakter moderat yang cukuo kuat. Ini mengingat moderasi Islam merupakan pendekatan komprehensif, yang memungkinkan dipersaksikannya (syuhadâ’a) mutu pendidikan Islam di hadapan umat manusia.

Pendekatan Aksi Sosial

Pendekatan aksi sosial mencakup semua elemen pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mengharuskan peserta didik membuat keputusan dan mengambil tindakan yang terkait dengan konsep dan masalah yang dihadapi. Tujuan utama pembelajaran dengan pendekatan ini adalah untuk mendidik para peserta didik untuk melakukan kritik sosial, perubahan dan keterampilan membuat keputusan.29

Dalam pendekatan ini, moderasi Islam tidak hanya terjadi dalam internal unit pendidikan, melainkan begerak sebagai agent of social critic dan agent of social change di tengah-tengah masyarakat. Orientasi kurikulum dikembangkan dengan menekankan pada “social oriented”. Pendekatan moderasi kurikulum ini melatih peserta didik untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka membumikan moderasi Islam pada semua aspek kehidupan masyarakat.

Empat pendekatan integrasi konsep wasathiyyah di atas bisa menjadi pertimbangan dalam melakukan konstruksi kurikulum berbasis moderasi Islam. Ini sejalan dengan ide pengarusutamaan moderasi islam dalam pendidikan Islam yang sedang dikembangkan.

Jika melihat 12 Program yang dirancang oleh Kemenag, misalnya, pengarusutamaan Islam moderat dalam pendidikan Islam, terutama pada komponen kurikulum, masih berada pada level kontributif dan aditif, dan belum menyentuh pada level transformatif dan aksi sosial. Program-program pendidikan Islam yang mencoba mendidik peserta didik untuk dapat melakukan kritik sosial dan perubahan sosial terhadap masalah-

27 James A. Banks “Approaches to Multicultural…, 242

28 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), 239

29 James A. Banks “Approaches to Multicultural…, 245

(9)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

masalah yang di luar mainstream Islam moderat, perlu dikembangkan. Barangkali tarnsformasi kurikulum dengan menggunakan paradigma integrasi ilmu bisa dilihat sebagai salah satu karakteristik Islam moderat, yakni keseimbangan antara material dan spiritual dan antara dunia dan akhirat. Ini bisa ditemukan dalam pendidikan madrasah dan pesantren. Namun, moderasi Islam pada level aksi sosial belum menemukan kerangka operasionalnya di dalam pelaksanaan pendidikan Islam.

SIMPULAN

Pendidikan Islam merupakan elemen strategis dalam mencetak generasi moderat.

Untuk melahirkan generasi moderat ini diperlukan pengembangan pendidikan Islam dengan menggunakan moderasi Islam sebagai paradigma dan arus utama. Ini merupakan konsekuensi logis dari penggunaan Islam sebagai basis utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dimana moderasi merupakan identitas dan watak dasarnya.

Oleh karena itu, tepat sekali jika moderasi Islam diposisikan sebagai arus utama pendidikan Islam di Indonesia. Pengarusutamaan ini perlu dikembangkan menjadi kajian yang lebih komprehensif untuk melakukan reformasi pendidikan Islam pada semua komponennya. Salah satu komponen penting adalah kurikulum. Pada aspek kurikulum, moderasi Islam sekurang-kurangnya bisa dikembangkan melalui perumusan prinsip- prinsip pengembangan kurikulum yang digali dari prinsip moderasi dan penggunaan pendekatan yang tepat dalam mengintegrasikan konten kurikulum. Pendekatan ini meliputi empat level pendekatan, yaitu pendekatan kontributif, pendekatan aditif, pendekatan transformatif, dan pendekatan aksi sosial. Beberapa prinsip pengembangan kurikulum yang digali dari prinsip moderasi dan pendekatan yang digunakan akan melahirkan konstruksi kurikulum pendidikan Islam berbasis moderasi Islam. []

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Amin, Abdullah,. “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga:

dari penekatan Dikotomis-Atomistis ke arah integratif-interdisiplinary” dalam Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Ash-Shalabi, Ali Muhammad Muhammad al-Wasathiyah fi al-Qur’an al-Karim. Kairo:

Maktabah at-Tabi’in, 2001.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008.

Bagir, Haidar Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau, (Bandung: Mizan, 2017.

Banks, James A. “Approaches to Multicultural Curriculum Reform,” dalam James A Bank (ed). Multicultural Education: Issues and Perspectives. London: Allyn and Bacon Press, 2010.

(10)

Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

El-Fadl, Khlaed Abou Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta:

Serambi, 2005

Hanapi, Mohd Shukri “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology:

A Case Study of its Implementation in Malaysia,” dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9(1); July 2014.

Hasan, Muhammad Tholchah. Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme (Malang: Lembaga Penerbitan UNISMA, 2016.

Hilmy, Masdar, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU”, dalam Journal of Indonesian Islam, Vol. 07, Number 01, June. Surabaya: the Institute for the Study of Religion and Society (LSAS) and the Postgraduate Program (PPs), IAIN Sunan Ampel, 2013.

Kamali, Mohammad Hashim. The Middle Path of Moderation in Islam: the Qur’ānic Principle of Wasaṭhiyyah. New York: Oxford University Press, 2015.

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Teraju, 2004.

Tim Redaksi “Laporan Utama: Pengarusutamaan Islam Moderat di Lembaga Pendidikan Islam,” Majalah Pendis Kementerian Agama, Edisi No. 8/tahun V. Jakarta: Dirjen Pendis Kemenag, 2017.

Madjid, Nurcholis. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.

---. Islam Doktrin dan Peradaban, cet. Ke-6. Jakarta: Paramadina Bekerjasama dengan Dian Rakyat, 2008.

Nata, Abuddin Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2016.

Qardhawi, Yusuf. al-Kalimat fi al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimaha. Kairo: Dar al- Shuruq, 2011.

---. Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq. Kairo: Dar al-Shuruq, 2000.

Suprayogo, Imam Paradigma Pengembangan Keilmuan pada Perguruan Tinggi: Konsep Pendidikan Tinggi yang Dikembangkan UIN Malang. Malang: UIN Malang Press, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas-pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya

Pilkada Walikota di Kota Surabaya nyaris berlangsung satu pasangan calon sebelum akhirnya Rasiyo dan Lucy Kurniasari berhasil disahkan KPUD Kota Surabaya pada hari

 Peserta didik mencari informasi terkait dengan cara memainkan lagu daerah indonesia dengan alat musik rekorder/harmonika secara berkelompok.  Peserta didik

Pembatas yang ada meningkatkan masukkan atau biaya yang diperlukan, (3| kelas S 3 (kurang sesuai); lahan ini memiliki faktor pembatas yang besar untuk mempertahankan

- Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang materi penanganan surat masuk dan keluar di dalam email dengan menerapkan prinsip

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan media komputer dalam usaha membantu siswa memahami konsep integral tentu, (2) menyusun

Ini biasanya permainan nomor tujuh yang bisa Anda jalani permainan lotere tapi sekarang Lotto atau yang spesifik untuk itu.. Game undian lain yang diketahui sebelum memilih

Hasil tersebut menunjukan tidak ada variabel bebas yang memiliki tolerance lebih besar dari 1 dan tidak ada variabel bebas yang memiliki niali VIF lebih besar