HUBUNGAN KADAR HIGH-SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN DENGAN GANGGUAN TIDUR DAN DEPRESI
PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH
TESIS
Oleh
SARI THERESIA BUKIT Nomor Register CHS : 19551
PROGRAM STUDI NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN
2014
HUBUNGAN KADAR HIGH-SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN DENGAN GANGGUAN TIDUR DAN DEPRESI
PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
SARI THERESIA BUKIT Nomor Register CHS : 19551
PROGRAM STUDI NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN
2014
PERNYATAAN
HUBUNGAN KADAR HIGH-SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN DENGAN GANGGUAN TIDUR DAN DEPRESI
PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2014
Sari Theresia Bukit
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR HIGH-SENSITIVITY C- REACTIVE PROTEIN DENGAN GANGGUAN TIDUR DAN DEPRESI PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH
Nama : SARI THERESIA BUKIT Nomor Register CHS : 19551
Program Studi : NEUROLOGI
Menyetujui Pembimbing I
Prof.DR.dr.Hasan Sjahrir, Sp.S(K)
NIP. 19470930 197902 1 001
Pembimbing II Pembimbing III
dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K)
NIP. 19530601 198103 1 004 NIP. 19621221 199012 1 001 dr. Khairul Putra Surbakti, Sp.S
Mengetahui / mengesahkan
Ketua Departemen/SMF Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf Ilmu Penyakit Saraf
FK-USU/ RSUP.HAM Medan FK-USU/ RSUP.HAM Medan
dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)
NIP. 19530916 198203 1 003 NIP. 19530601 198103 1 004 dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
Tanggal Lulus : Selasa, 30 Desember 2014 Telah diuji pada
Tanggal : Selasa, 30 Desember 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) 4. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)
5. DR. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K)
6. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) (Penguji) 7. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S
8. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 9. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S 10. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 11. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S 12. Dr. Aida Fitri, Sp.S
13. Dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S 14. Dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S
15. Dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S 16. Dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS
17. Dr. RA Dwi Pujiastuti, M.Ked(Neu), Sp.S 18. Dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala berkah, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr.
H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Yang terhormat Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), (Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Yang terhormat Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) (Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah menerima saya untuk menjadi peserta didik
serta memberikan bimbingan selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.
Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan dalam menjalani program pendidikan spesialisasi ini.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), dan dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S, selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
Kepada guru-guru penulis: Prof. dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S(K); Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K); dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; DR. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K);
dr. Irsan NHN. Lubis, Sp.S; dr. Arif Simatupang, Sp.S; dr. Puji Pinta O.
Sinurat, Sp.S; Alm. dr. Irwansyah, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Dina Listyaningsum, Sp.S, M.Si. M. Ked; dr. Aida Fitri, Sp.S; dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S; dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S; dr. Fasihah Irfani Fitri, M.
Ked(Neu), Sp.S; dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS; dr. RA Dwi Pujiastuti, M. Ked(Neu), Sp.S; dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked(Neu), Sp.S; dr.
Antun, Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP. H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.
Kepada dr. Taufik Ashar, M.K.M., selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya.
Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau, Direktur RSU. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga, yang telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan spesialisasi, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU / RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan-dorongan yang membangkitan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus, Sukirman Ariwibowo, Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya, Hubertus Sama Bukit dan Mariati br Sembiring, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan senantiasa memberikan dorongan moril dan materi, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.
Ucapan terimakasih kepada kakek saya, drs. H. Wara Sinuhaji, M.Hum dan nenek saya dra. Hj. Indrawaty br Ginting, yang selalu memberikan dorongan, semangat, nasehat serta doa yang tulus agar tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.
Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pasien nyeri punggung bawah yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.
Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2014
dr. Sari Theresia Bukit
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : dr. Sari Theresia Bukit Tempat / tanggal lahir : Medan, 1 Juni 1983
Agama : Katolik
Nama Ayah : Hubertus Sama Bukit Nama Ibu : Mariati br Sembiring
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD. St. Antonius 1 Medan tamat tahun 1995.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Santo Thomas 1 Medan tamat tahun 1998.
3. Sekolah Menengah Umum di SMU Santo Thomas 1 Medan tamat tahun 2001.
4. Fakultas Kedokteran di Universitas Islam Sumatera Utara tamat tahun 2007.
5. Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2011.
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan Tesis i
Kata Pengantar iii
Daftar Riwayat Hidup vii
Daftar Isi viii
Daftar Singkatan xi
Daftar Istilah/ Lambang xiii
Daftar Gambar xiv
Daftar Tabel xvii
Daftar Lampiran xix
ABSTRAK xx
ABSTRACT xxi
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Perumusan Masalah 7
I.3. Tujuan Penulisan 8
I.3.1. Tujuan Umum 8
I.3.2. Tujuan Khusus 8
I.4. Hipotesis 9
I.5. Manfaat Penelitian 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. NYERI PUNGGUNG BAWAH 11
II.1.1. Definisi 11
II.1.2. Epidemiologi 12
II.1.3. Faktor Resiko 13
II.1.4. Etiologi 14
II.1.5. Patofisiologi 15
II.2. TIDUR 16
II.2.1. Definisi 16
II.2.2. Arsitektur Tidur 16
II.2.3. Siklus Tidur 18
II.2.4. Kebutuhan Tidur 19
II.2.5. Gangguan Tidur 19
II.2.6. Prevalensi Gangguan Tidur 21
II.2.7. Siklus Tidur Bangun 21
II.3. DEPRESI 24
II.3.1. Definisi 24
II.3.2. Epidemiologi 24
II.3.3. Etiologi 25
II.3.4. Tanda dan Gejala 25
II.3.5. Kriteria Diagnosis Depresi 26
II.3.6. Patofisiologi Depresi 27
II.4. C-REACTIVE PROTEIN 27
II.5. Hubungan hs-CRP dengan Gangguan 30 Tidur pada Nyeri Punggung Bawah
II.6. Hubungan hs-CRP dengan Depresi 32 pada Nyeri Punggung Bawah
II.7. K ERANGKA TEORI 33
II.8. KERANGKA KONSEP 34
BAB III. METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU 35
III.2. SUBJEK PENELITIAN 35
III.2.1. Populasi Sasaran 35
III.2.2. Populasi Terjangkau 35
III.2.3. Besar Sampel 35
III.2.4. Kriteria Inklusi 36
III.2.5. Kriteria Eksklusi 36
III.3. BATASAN OPERASIONAL 37
III.4. INSTRUMEN PENELITIAN 39
III.4.1. Pittsburgh Sleep Quality Index 39 III.4.2. Beck Depression Inventory 41 III.4.3. Pemeriksaan Kadar hs-CRP 42
III.4.4. Visual Analog Scale 42
III.5. RANCANGAN PENELITIAN 44
III.6. PELAKSANAAN PENELITIAN 44
III.6.1. Pengambilan Sampel 44
III.6.2. Kerangka Operasional 45
III.7. Variabel yang diamati 46
III.8. Analisa Statistik 46 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. HASIL PENELITIAN 47
IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian 47 IV.1.2. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan
Gangguan Tidur 56
IV.1.3. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan Depresi 61 IV.1.4. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan
Intensitas Nyeri 63
IV.1.5. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan
Durasi Nyeri 66
IV.2. PEMBAHASAN 68
IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian 69 IV.2.2. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan Gangguan
Tidur 77
IV.2.3. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan Depresi 79 IV.2.4. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan
Intensitas Nyeri 81
IV.2.5. Hubungan Kadar hs-CRP Dengan
Durasi Nyeri 83
IV.2.6. Keterbatasan Penelitian 85
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. KESIMPULAN 86
V.2. SARAN 88
Daftar Pustaka 89
Lampiran
DAFTAR SINGKATAN
5-HT : 5-Hydroxytripthamine
ACTH : Adrenocorticotropin Hormone AHI : Apnea/ Hypopnea Index ATP : Adenosine Triphosphate BDI : Beck Depression Inventory CRF : Corticotropin Releasing Factor CRH : Corticotropin Releasing Hormone CRP : C-Reactive Protein
CSA : Central Sleep Apnea EEG : Electroencephalography GABA : Gamma Amino Butryric Acid HNP : Hernia Nucleus Pulposus
HPA-Axis : Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis
ICD-10 : Tenth Revision of the International Classification of Diseases
ICSD-2 : International Classification of Sleep Disorder, second edition
IL-1 : Interleukin-1 IL-6 : Interleukin-6 IL-17 : Interleukin-17 IL-23 : Interleukin-23
LC : Locus Ceruleus
LDT : Laterodorsal Tegmental Nuclei NE : Norepinephrine
NREM : Non-Rapid Eye Movement
NSAID : Non-Steroid Anti-Inflammatory Drug OAI : Obstructive Apnea Index
OSA : Obstructive Sleep Apnea PPT : Pedunculopontine Tegmental PSQI : Pittsburgh Sleep Quality Index REM : Rapid Eye Movement
SCN : Suprachiasmatic Nucleus SD : Standard Deviation
SDB : Sleep Disordered Breathing
SPSS : Statistical Product and Science Service SSP : Susunan Saraf Pusat
SWS : Slow Wave Sleep
TMN : Tuberomammilary Nucleus TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral VAS : Visual Analog Scale
VLPO : Ventrolateral Preoptic Nucleus
DAFTAR ISTILAH / LAMBANG
α : alfa
β : beta
n : Besar sampel p : Tingkat kemaknaan
Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,05) yang telah ditentukan 1,96
Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,20) yang ditentukan oleh peneliti 0,842
% : Persen
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kondisi pathoanatomical yang umum dijumpai 12 pada lumbal
Gambar 2. Sistem ascending arousal mengirimkan sinyal dari 22 batang otak dan hipotalamus posterior menuju
seluruh forebrain
Gambar 3. Struktur dari C-Reactive Protein 28
Gambar 4. Diagram pie distribusi jenis kelamin penderita 51 nyeri punggung bawah
Gambar 5. Diagram pie distribusi suku penderita 52 nyeri punggung bawah
Gambar 6. Diagram pie distribusi pekerjaan penderita 52 nyeri punggung bawah
Gambar 7. Diagram pie distribusi pendidikan penderita 53 nyeri punggung bawah
Gambar 8. Diagram pie distribusi penyebab 53 nyeri punggung bawah
Gambar 9. Diagram pie distribusi kadar hs-CRP penderita 54 nyeri punggung bawah
Gambar 10. Diagram pie distribusi gangguan tidur pada 54 penderita nyeri punggung bawah
Gambar 11. Diagram pie distribusi depresi pada penderita 55 nyeri punggung bawah
Gambar 12. Diagram pie distribusi intensitas nyeri pada penderita 55 nyeri punggung bawah
Gambar 13. Diagram pie distribusi durasi nyeri pada penderita 56 nyeri punggung bawah
Gambar 14. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 57 gangguan tidur pada penderita nyeri punggung bawah
Gambar 15. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 59 gangguan tidur pada pasien spondilosis lumbalis
Gambar 16. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 60 gangguan tidur pada pasien trauma medula spinalis
Gambar 17. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 61 gangguan tidur pada pasien spondilolistesis
Gambar 18. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 62 depresi pada penderita nyeri punggung bawah
Gambar 19. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 64 intensitas nyeri pada penderita nyeri punggung bawah
Gambar 20. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 66 intensitas nyeri pada pasien spondilosis lumbalis
Gambar 21. Grafik scatterplot hubungan kadar hs-CRP dengan 67 durasi nyeri pada penderita nyeri punggung bawah
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Faktor resiko nyeri punggung bawah 14
Tabel 2. Etiologi nyeri punggung bawah 15
Tabel 3. Kebutuhan tidur, lama tidur dan stadium tidur 19 dengan usia
Tabel 4. Kriteria diagnosis gangguan depresi menurut ICD-10 26
Tabel 5. Karakteristik demografi subjek penelitian 50
Tabel 6. Hubungan kadar hs-CRP dengan gangguan tidur 57 pada penderita nyeri punggung bawah
Tabel 7. Hubungan kadar hs-CRP dengan gangguan tidur 58 berdasarkan penyebab nyeri punggung bawah
Tabel 8. Hubungan kadar hs-CRP dengan depresi 62 pada penderita nyeri punggung bawah
Tabel 9. Hubungan kadar hs-CRP dengan depresi 63 berdasarkan penyebab nyeri punggung bawah
Tabel 10. Hubungan kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri 64 pada penderita nyeri punggung bawah
Tabel 11. Hubungan kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri 65 berdasarkan penyebab nyeri punggung bawah
Tabel 12. Hubungan kadar hs-CRP dengan durasi nyeri 67 pada penderita nyeri punggung bawah
Tabel 13. Hubungan kadar hs-CRP dengan durasi nyeri 68 berdasarkan penyebab nyeri punggung bawah
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data
Lampiran 4. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) Lampiran 5. Beck Depression Inventory (BDI) Lampiran 6. Visual Analog Scale (VAS) Lampiran 7. Persetujuan Komisi Etik
Lampiran 8. Data Pasien Nyeri Punggung Bawah
ABSTRAK
Latar Belakang: High-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) merupakan suatu protein fase akut, yang dilepaskan atau dikeluarkan ke dalam sirkulasi sebagai respons terhadap infeksi, inflamasi, dan kerusakan jaringan. Peningkatan kadar hs-CRP dapat ditemukan pada pasien nyeri punggung bawah, dimana hal ini berhubungan dengan gangguan tidur dan depresi.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar biomarker inflamasi (high sensitivity C-Reactive Protein) dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah.
Metode: Studi observasional dengan metode pengumpulan data secara potong lintang, di departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.
Setiap pasien dinilai kualitas tidurnya berdasarkan Pittsburgh Sleep Quality Index, penilaian depresi berdasarkan Beck Depression Inventory dan intensitas nyeri berdasarkan Visual Analog Scale, dan kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP di laboratorium patologi klinik.
Hasil: Terdapat 60 pasien nyeri punggung bawah, yang terdiri dari 28 orang (46,7%) laki-laki dan 32 orang (53,3%) perempuan. Uji korelasi Spearman pada penderita nyeri punggung bawah memperihatkan hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan gangguan tidur (r=0,613; p= 0,0001); hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan gangguan tidur pada kelompok pasien spondilosis lumbalis (r=0,706; p=0,0001), trauma medula spinalis (r=0,819; p=0,013), dan spondilolistesis (r=1; p=0,0001); hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan depresi (r=0,321; p=0,012) pada penderita nyeri punggung bawah; hubungan yang tidak signifikan antara kadar hs-CRP dengan dengan depresi pada kelompok pasien tumor medula spinalis (r=- 0,4; p=0,600), spondilosis lumbalis (r=0,306; p=0,114), trauma medula spinalis (r=0,599; p=0,117), HNP (r=0,460; p=0,133) dan spondilolistesis (r=-0,105; p=0,895); hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri (r=0,636; p=0,0001) pada penderita nyeri punggung bawah; hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri pada kelompok pasien spondilosis lumbalis (r=0,648;
p=0,0001); hubungan yang tidak signifikan antara kadar hs-CRP dengan durasi nyeri (r=0,117; p=0,373) pada penderita nyeri punggung bawah dan hubungan yang tidak signifikan antara kadar hs-CRP dengan durasi nyeri pada kelompok pasien tumor medula spinalis (r=0,316; p=0,684), spondilosis lumbalis (r=-0,157; p=0,425), trauma medula spinalis (r=- 0,095; p=0,823), HNP (r=0,396; p=0,202), dan spondilolistesis (r=0,0001;
p=1).
Kesimpulan: Peningkatan kadar hs-CRP secara signifikan mengakibatkan peningkatan kejadian gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah
Kata Kunci: Kadar high-sensitivity C-Reactive Protein–gangguan tidur–
depresi–nyeri punggung bawah
ABSTRACT
Background: High-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) is an acute- phase protein, which is released in the circulation in response to infection, inflammation, and tissue damage. Elevation of hs-CRP could be found in low back pain patients, which is associated with sleep disturbances and depression.
Objective: To find out the correlation between inflammatory biomarker levels (hs-CRP) with sleep disturbances and depression in low back pain patients.
Methods: This cross sectional study observed patients at department of neurology in Adam Malik General Hospital Medan. Sleep quality of every patient was assessed using Pittsburgh Sleep Quality Index, depression was assessed using Beck Depression Inventory and pain intensity was assessed using Visual Analog Scale, and then we examined hs-CRP levels in clinical pathology’s laboratory.
Results: There were 60 patients of low back pain, consisted of 28 men (46,7%) and 32 women (53,3%). Spearman correlation tests in low back pain patients showed significant correlation between hs-CRP levels and sleep disturbances (r=0,613; p= 0,0001); significant correlation between hs-CRP levels and sleep disturbances in spondilosis lumbalis (r=0,706;
p=0,0001), spine traumas (r=0,819; p=0,013), and spondilolisthesis (r=1;
p=0,0001) patients; significant correlation between hs-CRP levels and depression (r=0,321; p=0,012) in low back pain patients; correlation between hs-CRP levels and depression but not significant in spine tumors (r=-0,4; p=0,600), spondilosis lumbalis (r=0,306; p=0,114), spine traumas (r=0,599; p=0,117), HNP (r=0,460; p=0,133) and spondilolisthesis (r=- 0,105; p=0,895) patients; significant correlation between hs-CRP levels and pain intensity (r=0,636; p=0,0001) in low back pain patients; significant correlation between hs-CRP levels and pain intensity in spondilosis lumbalis (r=0,648; p=0,0001); correlation between hs-CRP levels and pain duration but not significant (r=0,117; p=0,373) in low back pain patients and correlation between hs-CRP levels and pain duration but not significant in spine tumors (r=0,316; p=0,684), spondilosis lumbalis (r=- 0,157; p=0,425), spine traumas (r=-0,095; p=0,823), HNP (r=0,396;
p=0,202), and spondilolisthesis (r=0,0001; p=1) patients.
Conclusions: Elevation of hs-CRP levels significantly had an impact on increasing sleep disturbances and depression events in low back pain patients.
Key word: High-sensitivity C-Reactive Protein levels–sleep disturbances–
depression–low back pain
ABSTRAK
Latar Belakang: High-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) merupakan suatu protein fase akut, yang dilepaskan atau dikeluarkan ke dalam sirkulasi sebagai respons terhadap infeksi, inflamasi, dan kerusakan jaringan. Peningkatan kadar hs-CRP dapat ditemukan pada pasien nyeri punggung bawah, dimana hal ini berhubungan dengan gangguan tidur dan depresi.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar biomarker inflamasi (high sensitivity C-Reactive Protein) dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah.
Metode: Studi observasional dengan metode pengumpulan data secara potong lintang, di departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.
Setiap pasien dinilai kualitas tidurnya berdasarkan Pittsburgh Sleep Quality Index, penilaian depresi berdasarkan Beck Depression Inventory dan intensitas nyeri berdasarkan Visual Analog Scale, dan kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP di laboratorium patologi klinik.
Hasil: Terdapat 60 pasien nyeri punggung bawah, yang terdiri dari 28 orang (46,7%) laki-laki dan 32 orang (53,3%) perempuan. Uji korelasi Spearman pada penderita nyeri punggung bawah memperihatkan hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan gangguan tidur (r=0,613; p= 0,0001); hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan gangguan tidur pada kelompok pasien spondilosis lumbalis (r=0,706; p=0,0001), trauma medula spinalis (r=0,819; p=0,013), dan spondilolistesis (r=1; p=0,0001); hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan depresi (r=0,321; p=0,012) pada penderita nyeri punggung bawah; hubungan yang tidak signifikan antara kadar hs-CRP dengan dengan depresi pada kelompok pasien tumor medula spinalis (r=- 0,4; p=0,600), spondilosis lumbalis (r=0,306; p=0,114), trauma medula spinalis (r=0,599; p=0,117), HNP (r=0,460; p=0,133) dan spondilolistesis (r=-0,105; p=0,895); hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri (r=0,636; p=0,0001) pada penderita nyeri punggung bawah; hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri pada kelompok pasien spondilosis lumbalis (r=0,648;
p=0,0001); hubungan yang tidak signifikan antara kadar hs-CRP dengan durasi nyeri (r=0,117; p=0,373) pada penderita nyeri punggung bawah dan hubungan yang tidak signifikan antara kadar hs-CRP dengan durasi nyeri pada kelompok pasien tumor medula spinalis (r=0,316; p=0,684), spondilosis lumbalis (r=-0,157; p=0,425), trauma medula spinalis (r=- 0,095; p=0,823), HNP (r=0,396; p=0,202), dan spondilolistesis (r=0,0001;
p=1).
Kesimpulan: Peningkatan kadar hs-CRP secara signifikan mengakibatkan peningkatan kejadian gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah
Kata Kunci: Kadar high-sensitivity C-Reactive Protein–gangguan tidur–
depresi–nyeri punggung bawah
ABSTRACT
Background: High-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) is an acute- phase protein, which is released in the circulation in response to infection, inflammation, and tissue damage. Elevation of hs-CRP could be found in low back pain patients, which is associated with sleep disturbances and depression.
Objective: To find out the correlation between inflammatory biomarker levels (hs-CRP) with sleep disturbances and depression in low back pain patients.
Methods: This cross sectional study observed patients at department of neurology in Adam Malik General Hospital Medan. Sleep quality of every patient was assessed using Pittsburgh Sleep Quality Index, depression was assessed using Beck Depression Inventory and pain intensity was assessed using Visual Analog Scale, and then we examined hs-CRP levels in clinical pathology’s laboratory.
Results: There were 60 patients of low back pain, consisted of 28 men (46,7%) and 32 women (53,3%). Spearman correlation tests in low back pain patients showed significant correlation between hs-CRP levels and sleep disturbances (r=0,613; p= 0,0001); significant correlation between hs-CRP levels and sleep disturbances in spondilosis lumbalis (r=0,706;
p=0,0001), spine traumas (r=0,819; p=0,013), and spondilolisthesis (r=1;
p=0,0001) patients; significant correlation between hs-CRP levels and depression (r=0,321; p=0,012) in low back pain patients; correlation between hs-CRP levels and depression but not significant in spine tumors (r=-0,4; p=0,600), spondilosis lumbalis (r=0,306; p=0,114), spine traumas (r=0,599; p=0,117), HNP (r=0,460; p=0,133) and spondilolisthesis (r=- 0,105; p=0,895) patients; significant correlation between hs-CRP levels and pain intensity (r=0,636; p=0,0001) in low back pain patients; significant correlation between hs-CRP levels and pain intensity in spondilosis lumbalis (r=0,648; p=0,0001); correlation between hs-CRP levels and pain duration but not significant (r=0,117; p=0,373) in low back pain patients and correlation between hs-CRP levels and pain duration but not significant in spine tumors (r=0,316; p=0,684), spondilosis lumbalis (r=- 0,157; p=0,425), spine traumas (r=-0,095; p=0,823), HNP (r=0,396;
p=0,202), and spondilolisthesis (r=0,0001; p=1) patients.
Conclusions: Elevation of hs-CRP levels significantly had an impact on increasing sleep disturbances and depression events in low back pain patients.
Key word: High-sensitivity C-Reactive Protein levels–sleep disturbances–
depression–low back pain
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Nyeri punggung bawah merupakan penyakit yang sering dijumpai, dan telah diobservasi sebanyak 70-85% dari populasi pernah mengalami nyeri punggung ini setidaknya sekali selama seumur hidupnya (Ha JY dkk, 2011).
Pada nyeri punggung bawah ini sering dijumpai peningkatan kadar mediator inflamasi, seperti high-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) dan interleukin. Menurut penelitian yang dilakukan pada 165 orang penderita nyeri punggung bawah, ditemukan peningkatan kadar hs-CRP, yang mendukung fenomena inflamasi yang terjadi pada nyeri punggung bawah. C-Reactive Protein disintesis oleh hepatosit, dimana aktivitasnya distimulasi oleh sitokin, khususnya oleh Interleukin-6 (IL-6) (Rannou dkk, 2007).
Penelitian kasus-kontrol yang dilakukan pada 62 pasien yang didiagnosis dengan spondyloarthritis, yang terdiri dari 43 pria dan 19 wanita, yang membandingkan kadar sitokin darah pada populasi penderita spondyloarthritis dengan kelompok kontrol yang sehat. Kadar Interleukin- 17 (IL-17), Interleukin-23 (IL-23), Tumor Necrosing Factor-α (TNF-α), IL-6, Interleukin-1 (IL-1), dan hs-CRP meningkat pada pasien-pasien dengan spondyloarthritis dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat. Pada
penelitian ini diijumpai peningkatan kadar hs-CRP, dengan kadar rerata/
mean pada penderita spondyloarthritis sebanyak 8,31 ± 16,7 mg/l dibandingkan dengan kadar rerata CRP pada kontrol yaitu 1,13 ± 0,88 mg/l (p = 0,02). Dimana, peningkatan kadar hs-CRP dikaitkan dengan prognosa yang buruk (p = 0,04) (Londono dkk, 2012).
Studi kasus-kontrol yang dilakukan pada 48 penderita lumbar disc herniation dan 53 kontrol menemukan kadar rerata hs-CRP adalah 0,056
± 0,076 mg/l pada kelompok kasus dan 0,017 ± 0,021 mg/l pada kelompok kontrol. Peningkatan kadar hs-CRP pada penderita lumbar disc herniation ini secara statistik ditemukan signifikan (p = 0,006). Pada penelitian histologis, sel-sel inflamasi, khususnya makrofag, telah ditemukan pada jaringan diskus yang terherniasi (herniated disc). Sel-sel ini secara spontan memproduksi mediator inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF-α). Sitokin-sitokin ini, khususnya IL-6, dapat meningkatkan kadar CRP. C-Reactive Protein merupakan salah satu dari protein fase akut yang dapat berfungsi sebagai marker, dimana konsentrasi dalam serum meningkat beberapa ratus kali lipat dalam waktu 24-48 jam sejak cedera jaringan (Sugimori dkk, 2003).
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara hs-CRP dengan depresi dan gangguan tidur. Studi kasus-kontrol yang dilakukan pada 314 penderita ankylosing spondylitis, menemukan gangguan tidur spesifik yang lebih sering pada penderita ankylosing spondylitis dibandingkan kelompok kontrol. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan
indeks standar yang digunakan untuk menilai kualitas tidur dan digunakan secara luas. Prevalensi gangguan tidur pada penderita ankylosing spondylitis ditemukan 35,4%, dengan rerata skor total PSQI adalah 6,62 ± 3,62; dibandingkan dengan gangguan tidur pada kelompok kontrol sebanyak 22,9% dengan skor total Pittsburgh Sleep Quality Index adalah 5,50 ± 2,51. Pada studi ini dijumpai peningkatan kadar CRP pada penderita ankylosing spondylitis, dengan rerata hs-CRP yaitu 1,62 ± 3,45 mg/l. Dimana, peningkatan kadar hs-CRP dihubungkan dengan Pittsburgh Sleep Quality Index dan kejadian depresi pada penderita ankylosing spondylitis (p < 0,001) (Li dkk, 2012).
Penelitian kasus-kontrol, yang dilakukan pada 25 penderita nyeri punggung bawah kronik menemukan gangguan tidur lebih sering ditemukan pada penderita nyeri punggung bawah dibandingkan kelompok kontrol. Dimana, kualitas tidur yang buruk dihubungkan dengan peningkatan kadar IL-6 (r = 0,39; p = 0,05) (Heffner dkk, 2011).
Studi multivariat analisis pada 4011 orang, dijumpai kadar hs-CRP sekitar 18% lebih tinggi pada pria dengan gangguan tidur dibandingkan pada pria tanpa adanya gangguan tidur (Liukkonen dkk, 2007).
Penelitian kasus-kontrol pada 22 penderita obstructive sleep apnea (OSA), menemukan bahwa kadar CRP secara signifikan meningkat pada pasien OSA dibandingkan pada kelompok kontrol (median [range] 0,33 [0,09 - 2,73] mg/l berbanding dengan 0,09 [0,02 - 0,9] mg/l; p < 0,0003).
Ditemukan hubungan antara kadar CRP dengan beratnya OSA (p=0,032) (Shamsuzzaman dkk, 2002).
Studi cross-sectional yang dilakukan pada 43 wanita dengan rerata usia 28±5 tahun, memperlihatkan bahwa kontinuitas tidur dan kualitas tidur yang buruk berkaitan dengan peningkatan kadar CRP. Dimana kontinuitas dan kualitas tidur ini dinilai dengan PSQI, dengan rerata skor total PSQI adalah 4,02 ± 2,6. Pada penelitian ini dijumpai hubungan antara kualitas tidur yang buruk dengan peningkatan kadar biomarker inflamasi dan outcome dikemudian hari (Okun dkk, 2008).
Studi yang dilakukan pada 45 anak-anak dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA) menemukan adanya peningkatan kadar CRP pada penderita OSA yaitu 1,3 (0,8 - 3,6) mg/l dibandingkan kelompok kontrol yaitu 0,7 (0,2 - 2,0) mg/l; p = 0,01. Analisa Spearman menunjukkan bahwa kadar CRP berhubungan dengan Obstructive Apnea Index (OAI) (r = 0,254; p = 0,002). Pada penderita dengan OSA, peningkatan kadar CRP secara konsisten telah dilaporkan dan kadar CRP berkaitan secara signifikan dengan beratnya OSA (Li dkk, 2008).
Penelitian cross-sectional yang dilakukan pada 340 orang wanita yang berpartisipasi, menemukan bahwa penderita sleep disordered breathing (SDB) mengalami peningkatan kadar biomarker inflamasi.
Ditemukan juga bahwa peningkatan kadar CRP berkaitan dengan efisiensi dan durasi tidur yang memendek (Matthews dkk, 2010).
Studi yang telah dilakukan pada 81 orang anak-anak (rerata usia:
9,3 ± 3,7 tahun) yang dilakukan pemeriksaan polysomnography, menemukan anak-anak dengan SDB memilki kadar CRP yang meningkat dan kadar CRP berkaitan secara signifikan dengan Apnea/ Hypopnea Index (AHI) (r = 0,53; p < 0,0001) (Tauman dkk, 2004).
Punjabi dan Beamer (2007) melakukan penelitian cross-sectional pada 69 orang laki-laki dengan rerata usia 40,2 tahun, menemukan hubungan antara beratnya gejala sleep disordered breathing (SDB) dengan peningkatan kadar CRP (r = 0,48; p < 0,001).
Shah dkk (2011) menemukan bahwa depresi sering ditemukan pada penderita nyeri punggung bawah dan kejadiannya saling berkaitan.
Dimana, nyeri punggung bawah dikaitkan dengan disabilitas secara fisik pada penderitanya, sementara depresi merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan disabilitas emosional dan mental. Penelitian ini menemukan insidensi kejadian depresi pada penderita nyeri punggung bawah sebanyak 55,14%.
Ma dkk (2011) melaporkan studi pada 508 orang dewasa (rerata usia 48,5 tahun) menemukan adanya hubungan antara depresi dengan peningkatan kadar hs-CRP. Dimana kadar rerata (mean) dari skor Beck Depression Inventory (BDI) adalah 5,8 (Standard Deviation (SD) 5,4;
median 4,3), dan rerata hs-CRP adalah 1,8 mg/l (SD 1,7; median 1,2).
Studi kohort pada 5827 orang wanita yang dipilih secara acak, memperlihatkan 44% peningkatan resiko kejadian depresi yang dikaitkan
dengan peningkatan kadar hs-CRP. Penelitian ini menemukan hs-CRP merupakan marker prognostik untuk resiko kejadian depresi pada wanita.
Hal ini mendukung peranan etiologi aktivitas inflamasi pada kejadian depresi (Pasco dkk, 2010).
Howren dkk (2009) melakukan studi meta-analysis dan menemukan adanya hubungan antara depresi dengan marker inflamasi dan mengkonfirmasi bahwa CRP, IL-6, dan IL-1 memiliki hubungan dengan kejadian depresi. Hal ini dapat ditemukan pada sampel yang berbasis klinik dan studi-studi yang menggunakan wawancara klinis pada penderita depresi.
Studi Vogelzangs dkk (2012) pada 2415 orang yang berusia 18-65 tahun memperlihatkan bahwa individu yang memiliki gangguan depresi juga mengalami peningkatan kadar CRP (p < 0,001), dan kadar IL-6 yang meningkat (p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan bahwa disregulasi imun memiliki peranan pada penderita depresi.
Dressler dkk (2006) melakukan studi pada 271 orang Brazil menemukan adanya peningkatan simptom depresi yang berkaitan dengan peningkatan kadar C-reactive protein (r = 0,298; p = 0,004). Dimana kadar rerata CRP pada penelitian ini adalah 0,43 ± 0,44 mg/l.
Schell dkk (2008) melakukan penelitian pada 121 orang pekerja media, yang terdiri dari 68 orang pria dan 53 orang wanita yang mengalami nyeri di leher, bahu dan pinggang. Studi ini menemukan
adanya hubungan antara intensitas nyeri (yang dinilai dengan Visual Analog Scale/ VAS) dengan kadar CRP (p = 0,045).
Studi Wilander dkk (2014) pada 35 orang wanita yang bekerja sebagai kasir supermarket yang mengalami keluhan nyeri di leher/ bahu memperlihatkan adanya hubungan positif yang signifikan antara intensitas nyeri dengan kadar CRP (r = 0,43; p = 0,001).
Stanojevic dkk (2013) melakukan penelitian pada 61 subjek yang memperlihatkan peningkatan kadar CRP berkaitan dengan peningkatan resiko untuk perkembangan sindrom metabolik pada pasien depresi.
Dimana, durasi penyakit tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan kadar CRP (p=0,597).
Studi Hassin-Baer dkk (2010) pada 73 orang pasien dengan penyakit Parkinson, memperlihatkan adanya peningkatan kadar CRP pada pasien Parkinson, tetapi tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kadar CRP dengan durasi penyakit (p=0,70).
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah ada hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah?
I.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : I.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan kadar biomarker inflamasi (high sensitivity C-Reactive Protein) dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah.
I.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan gangguan tidur pada penderita nyeri punggung bawah di RSUP H. Adam Malik Medan
2. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan depresi pada penderita nyeri punggung bawah di RSUP H. Adam Malik Medan
3. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan intensitas nyeri pada penderita nyeri punggung bawah di RSUP H. Adam Malik Medan
4. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan durasi nyeri pada penderita nyeri punggung bawah di RSUP H. Adam Malik Medan
5. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi penderita nyeri punggung bawah di RSUP H. Adam Malik Medan.
I.4. HIPOTESIS
Ada hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat Penelitian Untuk Ilmu Pengetahuan
Memberikan kontribusi keilmuan mengenai hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah sehingga dapat menjadi salah satu masukan atau pertimbangan bagi para klinisi dalam pendekatan pemberian terapi yang tepat pada penderita nyeri punggung bawah.
1.5.2. Manfaat Penelitian Untuk Peneliti
Memberikan kontribusi penelitian mengenai hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah dan diharapkan dapat menjadi salah satu acuan penelitian selanjutnya untuk mencari biomarker inflamasi lainnya dalam hubungannya dengan kejadian gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah.
1.5.3. Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan penanganan pasien nyeri punggung bawah dapat lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita nyeri punggung bawah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. NYERI PUNGGUNG BAWAH II.1.1. Definisi
Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. Nyeri yang berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau sebaliknya nyeri yang berasal dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (referred pain) (Sadeli dkk, 2001).
Nyeri punggung bawah umumnya dikategorikan ke dalam akut, subakut, dan kronik. Nyeri punggung bawah akut biasanya didefinisikan sebagai suatu periode nyeri kurang dari 6 minggu, nyeri punggung bawah subakut adalah suatu periode nyeri antara 6-12 minggu dan nyeri punggung bawah kronik merupakan suatu periode nyeri lebih dari 12 minggu (van Tulder dkk, 2006).
Gambar 1. Kondisi pathoanatomical yang umum dijumpai pada lumbal Dikutip dari: Deyo, R.A. and Weinstein, J.N. 2001. Low Back Pain. The New England Journal of Medicine. 344(5): 363-370.
II.1.2. Epidemiologi
Penelitian menunjukkan bahwa diperkirakan 80% dari populasi akan menderita nyeri punggung bawah yang dapat terjadi sewaktu-waktu dalam hidup mereka. Banyak dari orang-orang ini kemungkinan akan
menderita nyeri punggung bawah pada banyak kesempatan, dan nyeri punggung bawah kronik merupakan faktor terbesar yang menyebabkan keterbatasan aktivitas pada dewasa muda dibawah usia 45 tahun.
Investigasi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan perkiraan prevalensi kejadian nyeri punggung bawah sebanyak 5-20% pertahunnya.
Nyeri punggung bawah mengganggu keseharian kehidupan dari penderita nyeri punggung bawah, bahkan menurunkan kualitas kehidupan mereka.
Biaya yang berkaitan dengan kondisi ini adalah sangat besar, termasuk biaya langsung pada tindakan medis dan biaya tidak langsung, seperti penurunan produktivitas di tempat kerja. Oleh karena itu, nyeri punggung bawah bukan hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga merupakan masalah sosio-ekonomi (Zhang dkk, 2009).
II.1.3. Faktor Resiko
Dari data epidemiologik faktor resiko untuk nyeri pinggang bawah adalah usia/ bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek, masalah psikososial, merokok, kelebihan berat badan, serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi, mengangkat, membawa beban, menarik beban dan membungkuk (Sadeli dkk, 2001; Miranda dkk, 2008).
Tabel 1. Faktor resiko nyeri punggung bawah
Dikutip dari: Walsh, N.E. 2000. Back Pain Matters. Available from:
http://www.karger.com/gazette/65/walsh/index.htm II.1.4. Etiologi
Etiologi nyeri punggung bawah banyak dan meliputi kongenital, metabolik, infeksi, inflamasi, neoplastik, trauma, degenereatif, toksik, vaskular, visceral dan psikososial.
Etiologi nyeri punggung bawah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Etiologi nyeri punggung bawah
Dikutip dari: Vukmir R.D. 1991. Low Back Pain: Review of Diagnosis and Therapy. Am J Emerg Med. 9:328-335.
II.1.5. Patofisiologi
Tulang belakang merupakan struktur yang kompleks, dibagi ke dalam bagian anterior dan bagian posterior. Bentuknya terdiri dari serangkaian badan silindris vertebra, yang terartikulasi oleh diskus intervertebral dan diikat bersamaan oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior (Ropper A.H dan Brown R.H, 2005).
Berbagai bangunan peka nyeri terdapat di punggung bawah.
Bangunan tersebut adalah periosteum, 1/3 bangunan luar anulus fibrosus, ligamentum, kapsula artikularis, fasia dan otot. Semua bangunan tersebut mengandung nosiseptor yang peka terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Bila reseptor dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab dengan pengeluran berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya, yang menyebabkan timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan perlangsungan proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot yang membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points), yang merupakan salah satu kondisi nyeri (Meliala dkk, 2003).
II.2. TIDUR II.2.1. Definisi
Tidur adalah keadaan hilangnya persepsi dan responsi yang reversible terhadap lingkungan luar (Dodick dkk, 2003).
II.2.2. Arsitektur Tidur
Rekaman electroencephalography (EEG) dan rekaman fisiologis lainnya yang dilakukan sewaktu tidur mendefenisikan dua tahap tidur yang
nyata, yaitu stadium Rapid Eye Movement (REM) Sleep dan Non-Rapid Eye Movement Sleep (NREM).
Tidur Non-REM dibagi lagi atas 4 tingkat (stadium), yaitu:
Tingkat 1: Tidur ringan
Tingkat 2: Tidur konsolidasi (consolidated sleep)
Tingkat 3 dan 4: Tidur dalam atau tidur gelombang lambat
Stadium atau tingkat 1: keadaan mengantuk, tidur ringan, dapat terlihat perlambatan reaksi terhadap rangsangan dan ketajaman intelektual menurun. Stadium ini ditandai oleh aktivitas theta dengan amplitudo yang relatif rendah bercampuran (intermixed) dengan episode aktivitas alpha.
Stadium 2: Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan ambang-bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi. Stadium ini ditandai oleh K-kompleks dan sleep-spindles.
Stadium 3 dan 4: Slow wave sleep (SWS), tidur gelombang lambat.
Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat pada rekaman EEG. Fase tidur ini sering disebut juga sebagai tidur- gelombang-delta atau tidur-dalam. Stadium tidur-gelombang-lambat ini bervariasi berkaitan dengan usia.
Tidur REM berasosiasi dengan bermimpi. Pada tidur REM ditandai oleh aktivitas simpatetik yang intens dan didapatkan gambaran EEG yang serupa dengan keadaan bangun, dengan aktivitas cepat dan amplitudo rendah, dan gerakan bola mata serupa dengan keadaan bangun (Lumbantobing, 2004).
II.2.3. Siklus Tidur
Waktu tidur normal, stadium ini cenderung terjadi berurutan, membentuk arsitektur tidur. Umumnya, dari keadaan bangun seseorang jatuh ke tingkat 1, diikuti tingkat 2, 3 dan 4 dan tidur REM. Urutan stadium tidur, yang berakumulasi pada tidur REM, membentuk satu ”siklus tidur”.
Lama serta isi siklus tidur (sleep cycle) berubah sepanjang malam dan usia. Persentase tidur-dalam paling tinggi pada siklus tidur pertama dan kemudian mengurang dengan berlanjutnya malam dan lamanya tidur.
Rapid Eye Movement meningkat selama sepanjang malam. Pada orang dewasa normal, tidur malam hari terdiri atas 4-6 siklus tidur yang masing- masing siklus berlangsung 90 menit yang terdiri atas tidur NREM dan tidur REM (Sjahrir, 2008; Lumbantobing, 2004).
Bila dijumlahkan stadium tidur pada dewasa muda yang normal, tingkat 1 mengambil 5% dari malam, tingkat 2: 50 %, tidur REM dan tidur gelombang-lambat masing-masing 20-25%. Persentase stadium tidur ini berubah pada berbagai keadaan, seperti perubahan usia, setelah
deprivasi tidur, stres, olahraga, perubahan suasana hati dan berbagai penyakit (Lumbantobing, 2004).
II.2.4. Kebutuhan Tidur
Tiap makhluk hidup membutuhkan tidur. Dengan demikian tidur merupakan kebutuhan hidup. Bila dilakukan deprivasi tidur secara eksperimental pada hewan, hal ini dapat mengakibatkan kematian dalam beberapa hari atau minggu (Lumbantobing, 2004).
Tabel 3. Kebutuhan tidur, lama tidur dan stadium tidur dengan usia
Dikutip dari: Lumbantobing, S.M. 2004. Gangguan Tidur. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.
II.2.5. Gangguan Tidur
International Classification of Sleep Disorder: Diagnosis and Coding Manual, edisi kedua (ICSD-2) mendaftarkan lebih dari 80 gangguan tidur.
Ganguan tidur yang sangat banyak ini diklasifikasikan kedalam enam kategori (Lumbantobing, 2004; Thorpy, 2012; Compton, 2012; Purnomo, 2014)
1. Insomnia
Merupakan masalah tidur yang paling umum yang secara sederhana didefinisikan sebagai kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit mempertahankan keadaan tidur, dan bangun terlalu pagi.
2. Sleep Related Breathing Disorders
Sleep Related Breathing Disorders dikarakteristikkan oleh adanya pernafasan abnormal selama tidur. Gangguan ini diklasifikasikan pada ICSD-2 seperti central sleep apnea (CSA) syndrome, obstructive sleep apnea (OSA) syndrome, sleep-related hypoventilation and hypoxemic syndrome, dan sleep-related hypoventilation and/or hypoxemia caused by a medical condition. Gangguan tidur ini kebanyakan umum dijumpai pada fasilitas pengujian tidur atau sleep testing facility.
3. Hipersomnia of Central Origin
Merupakan suatu keadaan dimana pasien biasanya tetap mengantuk, walaupun jumlah jam tidurnya adekuat. Gangguan tidur ini tidak disebabkan oleh gangguan tidur malam hari atau gangguan ritme sirkadian.
4. Circadian Rhythm Disorders
Gangguan siklus tidur-bangun yang disebut juga sebagai gangguan ritme sirkadian (circadian rhtyhm disorders) menggambarkan keadaan pasien yang pola irama tidurnya terganggu, waktu tidur dan bangunnya tidak sebagaimana lazimnya. Mungkin ia menjadi mengantuk dan tidur di siang hari, sedang di malam hari ia bangun dan sulit tidur.
5. Parasomnia
Menggambarkan keadaan-keadaan yang tidak diinginkan yang terjadi waktu sedang tidur.
6. Sleep Related Movement Disorders
Sleep Related Movement Disorders merupakan kondisi dimana gerakan tubuh menyebabkan penundaan onset tidur atau mengganggu tidur.
Gangguan tidur atau mengantuk yang berlebihan pada siang hari merupakan syarat untuk penegakan diagnosis sleep related movement disorders.
II.2.6. Prevalensi Gangguan Tidur
Prevalensi masalah tidur ini mungkin mencapai setinggi 30% pada anak dan dewasa, dan lebih tinggi lagi pada kelompok usia-lanjut (usila) (Lumbantobing, 2004).
II.2.7. Siklus Tidur Bangun
Siklus tidur bangun pada manusia berkisar 24 jam setiap harinya.
Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa siklus tidur bangun ini diatur oleh jam biologis yang terletak pada suprachiasmatic nucleus (SCN) dari hipotalamus. Apabila neuron-neuron generator tidur yang terletak di area preoptik ventrolateral diaktivasi maka neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) dan galanin akan dilepas yang berperan dalam proses tidur. Dari berbagai neurotransmiter yang terlibat dalam SCN,
melatonin mempunyai peranan yang lebih spesifik. Melatonin berperan memodulasi aktivitas neuron jam sirkadian dan terus menerus mengikuti irama sirkadian(Cohen cit Sjahrir, 2008; Dodick dkk, 2003).
Gambar 2. Sistem ascending arousal mengirimkan sinyal dari batang otak dan hipotalamus posterior menuju seluruh forebrain
Dikutip dari: Sjahrir, H. 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.
Sistem ascending arousal memancar dari batang otak dan hipotalamus posterior ke arah forebrain. Sel-sel saraf pada laterodorsal tegmental nuclei (LDT) dan pedunculopontine tegmental nuclei (PPT) membawa serabut kolinergik (acetylcholine) ke semua target di forebrain, termasuk juga di talamus, dan kemudian mengatur aktivitas kortikal. Sel- sel saraf pada tuberomammilary nucleus (TMN) berisi histamin, sel-sel saraf daripada raphe nuclei berisi 5 hydroxytripthamine (5-HT) dan neuron daripada locus ceruleus (LC) berisi noradrenalin, sedang sleep promoting neuron daripada ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) berisi GABA (Gamma amino butryric acid) disebut Gaba-ergic neuron dan galanin.
Nukleus-nukleus aminergik memancar difus kearah forebrain, yang mengatur aktifitas target di kortikal dan hipotalamus secara langsung.
Sinyal dari SCN menimbulkan bangun waspada pada siang hari dan juga menginduksi tidur pada malam hari via proyeksi eferen ke area dorsomedial hipotalamus dan area preoptic kemudian memancar ke area lain yang terlibat dalam regulasi tidur, seperti area VLPO dan wake- promoting centres di batang otak dan hipotalamus posterior. VLPO memancar ke area lainnya di hipotalamus, memodulasi arousal area di batang otak, pons, dan hipotalamus posterior (Sjahrir, 2008; Brennan dan Charles, 2009).
II.3. DEPRESI II.3.1. Definisi
Gangguan depresi, dalam buku Synopsis of Psychiatry berada dibawah naungan gangguan mood. Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi.
Kepustakaan lain, mengungkapkan mood, merupakan perasaan, atau nada ”perasaan hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif (Ismail dan Siste, 2010).
II.3.2. Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25 persen.
Sekitar 10 persen di perawatan primer dan 15 persen dirawat rumah sakit.
Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 persen. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5 persen dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dan Siste, 2010).
II.3.3. Etiologi
Etiologi depresi dapat berupa faktor organobiologi, faktor kepribadian, faktor psikodinamik, faktor psikososial dan faktor genetik (Ismail dan Siste, 2010; Barroso, 2003).
II.3.4. Tanda dan Gejala
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien depresi, dan 10 sampai 15 persen diantaranya melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat di rumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97 persen) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru.
Sekitar 80 persen pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari (insomnia) dan sering terbangun di malam hari karena memikirkan
masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien mengalami perubahan pada nafsu makan dan berat badan (Ismail dan Siste, 2010).
II.3.5. Kriteria Diagnosis Depresi
Kriteria diagnosis depresi menurut Tenth Revision of the International Classification of Diseases (ICD-10).
Kriteria diagnosis depresi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Gangguan Depresi menurut Tenth Revision of the International Classification of Diseases (ICD-10)
Dikutip dari: Gelder dkk. 2006. Mood disorders. In: Shorter Oxford Textbook of Psychiatry 5th ed. Oxford University Press. USA. Page 218
II.3.6. Patofisiologi Depresi
Patofisiologi gangguan depresi melibatkan sistem Hypothalamic- Pituitary-Adrenal Axis (HPA-Axis). Dimana sistem HPA Axis terlibat pada proses adaptasi terhadap keadaan-keadaan stres/ yang penuh tekanan pada lingkungan eksternal atau internal. Sebagai contoh, sebagai respons terhadap ketakutan, kemarahan, kecemasan, dan kekecewaan, hipotalamus melepaskan corticotropin releasing factor (CRF); dimana hal ini dapat mengaktivasi adenohipofisis, yang mensekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang menstimulasi korteks adrenal, yang kemudian mensekresi kortisol. Dimana, peningkatan kadar kortisol dapat menginduksi timbulnya simptom depresi (Joseph, 1996; Gelder dkk, 2006; Kiecolt and Glaser, 2002; Howren dkk, 2009).
II.4. C-Reactive Protein
C-reactive protein (CRP) merupakan suatu protein plasma yang terlibat pada respons fase akut terhadap reaksi infeksi, inflamasi, dan kerusakan jaringan. C-reactive protein pertama sekali ditemukan pada tahun 1930 oleh Tillett dan Francis, sebagai suatu protein yang dapat mempresipitasi polisakarida ”C” yang berasal dari dinding sel pneumokokus. Empat puluh tahun kemudian, Volanakis dan Kaplan mengidentifikasi ligan spesifik untuk CRP pada pneumococcal C polysaccharide sebagai phosphocholine. Walaupun phosphocholine merupakan ligan pertama yang ditetapkan untuk CRP, sejumlah besar
ligan lainnya telah teridentifikasi sejak saat itu (Black dkk, 2004; Faraj and Salem, 2012; Pepys and Hirschfield, 2003).
C-Reactive Protein merupakan bagian dari protein pentraxin family, dinamakan demikian dikarenakan CRP membentuk suatu cyclic pentamer yang terdiri dari 5 subunit nonglycosylated polypeptida yang identik, dengan ikatan non-kovalen, dimana masing-masing mengandung 206 residu asam amino. Anggota utama yang lain dari pentraxin family ini adalah serum amyloid P component. Dimana protein-protein ini terdapat selama evolusi vertebra, yang memberi kesan bahwa CRP memiliki peran pokok pada respon imun (Povoa, 2002; Pepys and Hirschfield, 2003).
Gambar 3. Struktur dari C-Reactive Protein (CRP)
Dikutip dari: Black, S., Kushner, I. and Samols, D. 2004. C-reactive Protein. The Journal of Biological Chemistry. 279(47): 48487-48490 .
Tempat sintesis dari CRP adalah hepatosit. Monomer CRP terdapat didalam struktur cyclic homopentameric didalam reticulum endoplasmik, sebelum disekresikan kedalam plasma. Sintesis CRP diregulasi sebagai bagian dari respon fase akut terhadap reaksi infeksi, inflamasi atau kerusakan jaringan. C-Reactive Protein disintesis oleh hati, terutama sebagai respons terhadap interleukin-6 (IL-6). Ditemukan adanya hubungan yang baik antara CRP dan kadar IL-6. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) juga merupakan mediator regulasi pada sintesis CRP (Rhodes dkk, 2011; Povoa, 2002).
Konsentrasi normal serum CRP pada manusia yang sehat adalah dibawah 4,9 mg/l. Sekresi CRP mulai meningkat dalam waktu 4-6 jam setelah stimulus, sekresinya meningkat dua kali lipat setiap 8 jam dan mencapai puncak dalam 36-50 jam. Dengan adanya stimulus yang sangat hebat, kadar CRP dapat meningkat diatas 500 mg/l. Setelah hilangnya stimulus, kadar CRP turun secara drastis, sebanyak setengahnya dalam 19 jam. Bagaimanapun, kadar CRP dapat tetap meningkat, bahkan dalam waktu periode yang lama, jika penyebab yang mendasarinya tetap ada (Rhodes dkk, 2011; Husain and Kim, 2002; Povoa, 2002; Pancer dkk, 2011).
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu pengukuran kuantitatif dan langsung terhadap reaksi fase akut. Pengukuran CRP serial dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk infeksi, memonitor efek terhadap
pengobatan, atau deteksi awal terhadap kekambuhan/ rekurensi (Hirschfield and Pepys, 2003; Husain and Kim, 2002).
Terdapat ada 2 tes yang berbeda untuk CRP. Tes standar mengukur batas atau jarak yang lebih luas dari kadar CRP tetapi kurang sensitif pada kadar yang lebih rendah. Tes high-sensitivity CRP (hs-CRP) dapat mendeteksi secara lebih akurat konsentrasi yang lebih rendah dari protein tersebut (lebih sensitif). Penentuan kadar CRP dengan menggunakan pengujian yang sangat tinggi sensitivitasnya selanjutnya disebut sebagai high-sensitivity CRP (hs-CRP). Tes ini memberi hasil dalam waktu 25 menit dengan sensitivitas sampai 0,04 mg/L (Faraj and Salem, 2012; Sahoo dkk, 2009).
II.5. Hubungan high-sensitivity C-Reactive Protein dengan Gangguan Tidur pada Nyeri Punggung Bawah
Pada penderita nyeri punggung bawah didapati adanya kualitas tidur yang buruk, disertai dengan tingginya keluhan gangguan tidur dan insomnia (Donoghue dkk, 2009).
Nyeri punggung bawah apakah itu yang disebabkan oleh trauma, inflamasi, tumor ataupun akibat iskemik akan mengakibatkan sekresi dari beberapa mediator yang tujuan utamanya sebenarnya untuk mempertahankan homeostasis fungsi susunan saraf pusat (SSP). Sitokin merupakan salah satu mediator penting yang keluar akibat inflamasi atau infeksi. Jika sekresi ini tidak bisa disesuaikan dengan tujuan utamanya,
atau jika tidak ada reaksi perbaikan kerusakan jaringan maka mediator yang secara terus menerus diproduksi menyebabkan kerusakan jaringan (Meliala dkk, 2003).
Jika makrofag bersentuhan dengan antigen seperti yang ditemukan pada serabut yang rusak oleh penyebab apapun maka mediator sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) akan keluar dari sel (Meliala dkk, 2003; Morrison dkk, 2011; Nystrom, 2007).
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu protein fase akut, yang dilepaskan kedalam sirkulasi sebagai respons terhadap inflamasi dan kerusakan jaringan. C-Reactive Protein disintesis oleh hepatosit dibawah regulasi/ kontrol sitokin, termasuk IL-1, IL-6 dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α). Dimana sintesis CRP terutama dikontrol oleh interleukin-6 (IL-6) (Nakou dkk, 2010; Nystom, 2007).
Peningkatan kadar CRP ini akan dikoordinasikan melalui hipotalamus dimana sebagai reaksi sitokin antara lain bisa menyebabkan demam, menurunkan aktivitas tubuh dan mengganggu pola tidur (Meliala dkk, 2003).
II.6. Hubungan high-sensitivity C-Reactive Protein dengan Depresi pada Nyeri Punggung Bawah
Pada nyeri punggung bawah, akibat kerusakan jaringan akan mengakibatkan pelepasan sel-sel inflamasi, terutama makrofag. Dimana makrofag ini memproduksi mediator-mediator inflamasi secara spontan, seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) (Sugimori dkk, 2003; Messay dkk, 2012; Dogan dkk, 2011).
Sitokin-sitokin ini menginduksi pelepasan protein fase akut, seperti CRP kedalam plasma. Dimana, C-Reactive Protein (CRP) diproduksi terutama oleh hati. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin utama yang menginduksi sintesis CRP (Scrandis dkk, 2008; Danner dkk, 2003).
Depresi dikaitkan dengan disregulasi pada hypothalamic-pituitary- adrenal (HPA) axis. Dimana, proinflamasi sitokin, seperti IL-6, merupakan stimulator yang poten dari HPA axis (Elovainio dkk, 2009). Hypothalamic- pituitary-adrenal (HPA) axis akan menstimulasi produksi corticotropin- releasing hormone (CRH). Corticotropin-releasing hormone (CRH) akan menstimulasi sintesis dan pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) yang diikuti peningkatan kadar kortisol. Dimana, peningkatan kadar kortisol dapat menginduksi timbulnya simptom depresi (Kiecolt and Glaser, 2002; Howren dkk, 2009).
II.7. KERANGKA TEORI
II.8. KERANGKA KONSEP