4.1. Pengujian Alat Ukur
Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingan hasil pembacaan sensor SHT75 terhadap pembacaan termometer dan higrometer dalam ruang tertutup.
4.1.1. Uji Coba Pengukuran Temperatur
Pengujian ini dilakukan di ruang Laboratorium Fisika UK Petra dengan cara meletakkan 2 probe alat ukur pada jarak yang sama terhadap sumber panas (menggunakan lampu pijar 100Watt/220V). Pengukuran dimulai setelah lampu menyala +5 menit (agar mencapai kondisi stabil).
Gambar 4.1. Cara Pengujian Temperatur
Pada percobaan ini alat ukur yang digunakan sebagai pembanding adalah termometer digital tipe BR-880N buatan OREGON SCIENTIFIC dengan range pengukuran untuk indoor unit -5˚C sampai 50˚C dan untuk outdoor unit -50˚C sampai 70˚C. Dari uji coba ini diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.1. Hasil Pengujian Temperatur Jarak
(cm)
BR-880N (˚C)
SHT75 (˚C)
Error (˚C)
5 cm 33,3 33,56 0,24
10 cm 31,2 31,43 0,23
15 cm 30,3 30,53 0,23
20 cm 29,5 29,83 0,33
25 cm 29,1 29,53 0,43
30 cm 28,8 29,22 0,42
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa error pembacaan antara BR-880N (alat ukur) dan SHT75 (sensor) sangat kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa pembacaan sensor SHT75 memiliki nilai yang valid.
Gambar 4.2. OREGON SCIENTIFIC BR-880N
4.1.2. Uji Coba Pengukuran Kelembaban
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan pembacaan kelembaban ruangan antara SHT75 dengan higrometer analog milik Laboratorium Fisika UK Petra (HAAR-SYNTH. HYGRO buatan TFA German). Dari hasil pengamatan tersebut diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.2. Hasil Pengujian Kelembaban Alat Ukur Hasil Pembacaan Error
SHT75 46,53%RH
HAAR-SYNTH. HYGRO 50%RH
3,47%RH
Dari hasil pembacaan kedua alat ukur tersebut terdapat perbedaan pembacaan sebesar 3,47%RH. Pada grafik akurasi RH halaman 36 dapat dilihat bahwa untuk range kelembaban 10%RH-90%RH SHT75 memiliki akurasi sebesar +2%RH. Sedangkan untuk HAAR-SYNTH. HYGRO tidak dilengkapi data spesifikasi alat sehingga sulit ditentukan akurasi pembacaannya. Namun sensor SHT75 telah memperoleh sertifikat ISO/IEC 17025 yang menjamin bahwa pembacaan SHT75 benar-benar valid.
Gambar 4.3. HAAR-SYNTH. HYGRO
4.2. Pengujian Pemerataan Temperatur dan Kelembaban dalam Inkubator Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui penyebaran temperatur dan kelembaban pada masing-masing rak telur. Pengujian ini dilakukan dengan memperhatikan sudut kemiringan rak telur.
Pengujian ini dilakukan dengan cara menempatkan termometer dan higrometer pada posisi tertentu pada masing-masing rak, sehingga dapat diperoleh data pengukuran yang dapat dibandingkan dengan pengukuran sensor. Untuk penempatan posisi termometer dan higrometer dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.4. Peletakan Termometer dan Higrometer
Untuk memudahkan pembacaan data, maka tiap rak akan diberi nomor seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.5. Pemberian Nomor pada Tiap Rak
Pada pengujian ini termometer diletakkan pada rak A2, A4, B1 dan B3, sedangkan higrometer yang dilengkapi termometer diletakkan pada rak A1, A3, B2 dan B4. Dari pengujian ini diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.3. Tabel Penyebaran Temperatur Kemiringan Rak Pembacaan
-45˚ 45˚
SHT75 37,6˚C 37,6˚C A1 38,0˚C 37,5˚C A2 38,0˚C 37,7˚C A3 38,0˚C 38,0˚C A4 37,5˚C 38,0˚C B1 38,0˚C 37,5˚C B2 37,5˚C 38,0˚C B3 37,5˚C 37,5˚C B4 38,0˚C 38,0˚C
Tabel 4.4. Tabel Penyebaran Kelembaban Kemiringan Rak Pembacaan
-45˚ 45˚
SHT75 56 %RH 57 %RH A1 54 %RH 55 %RH
A2 - -
A3 58 %RH 56 %RH
A4 - -
B1 - -
B2 54 %RH 54 %RH
B3 - -
B4 57 %RH 56 %RH
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa temperatur dan kelembaban dapat tersebar merata walaupun tidak 100% sama untuk masing-masing posisi, namun perbedaan tersebut masih dalam batas kewajaran. Hal lain yang dapat disimpulkan dari data di atas adalah bahwa hasil pembacaan masing-masing higrometer analog yang diletakkan pada satu ruangan tertutup (inkubator) tidak bisa sama persis.
Data ini juga dapat digunakan untuk mendukung pernyataan pada sub-bab uji coba pengukuran kelembaban.
4.3. Pengujian Waktu yang Diperlukan Untuk Mencapai Kondisi Tertentu Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui performa dari heater dan humidifier yang digunakan. Dalam pengujian ini akan dicatat waktu yang diperlukan oleh heater dan humidifier untuk mencapai temperatur dan kelembaban tertentu pada kondisi kosong dan terisi penuh.
4.3.1. Pengujian Waktu Untuk Mencapai Temperatur Tertentu 4.3.1.1. Pengujian pada Kondisi Kosong
Pengujian ini dilakukan dengan mencatat waktu yang diperlukan oleh heater untuk menaikkan setiap 1˚C dari temperatur awal ruang inkubator (30˚C) hingga mencapai set value temperatur (37,6˚C) dalam keadaan rak kosong (tidak terisi telur).
Tabel 4.5. Waktu Untuk Mencapai Temperatur Tertentu dalam Kondisi Kosong Kenaikan Temperatur Waktu
(˚C) (s)
30 - 31 52,9 31 - 32 112,3 32 - 33 166,1 33 - 34 212,1 34 - 35 246,1 35 - 36 337,5 36 - 37 426,6 37 - 37,6 316,6 Total 1870.2
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur sebesar 1˚C semakin bertambah seiring dengan peningkatan temperatur dalam ruang inkubator.
4.3.1.2. Pengujian pada Kondisi Terisi
Pengujian ini dilakukan dengan mencatat waktu yang diperlukan oleh heater untuk menaikkan setiap 1˚C dari temperatur awal ruang inkubator (30˚C) hingga mencapai set value temperatur (37,6˚C) dalam keadaan rak terisi penuh (full load).
Tabel 4.6. Waktu untuk Mencapai Temperatur Tertentu dalam Kondisi Terisi Kenaikan Temperatur Waktu
(˚C) (s)
30 - 31 221,3 31 - 32 270 32 - 33 313,7 33 - 34 370,2 34 - 35 758,4 35 - 36 792,8 36 - 37 1266 37 - 37,6 984
Total 4976,4
Dari pengamatan kedua tabel di atas dapat dibandingkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menaikkan temperatur pada mesin yang terisi penuh lebih lama dibandingkan mesin yang kosong. Hal ini disebabkan perbedaan massa benda yang akan ditingkatkan temperaturnya. Pada keadaan kosong massa yang dipanaskan hanya massa rak telur saja, sedangkan pada keadaan terisi massa yang dipanaskan berupa massa rak telur + massa telur . Semakin besar massa benda yang akan dinaikkan temperaturnya tentunya memerlukan waktu yang lebih lama jika memakai sumber panas yang sama.
4.3.2. Pengujian Waktu Untuk Mencapai Kelembaban Tertentu 4.3.2.1. Pengujian pada Kondisi Kosong
Pengujian ini dilakukan dengan mencatat waktu yang diperlukan oleh humidifier untuk menaikkan setiap 1%RH dari kelembaban awal ruang inkubator (50%RH) hingga mencapai set value kelembaban (55%RH) dalam keadaan rak kosong (tidak terisi telur).
Tabel 4.7. Waktu Untuk Mencapai Kelembaban Tertentu dalam Kondisi Kosong Kenaikan
Kelembaban Waktu
(%RH) (s)
50 - 51 11,2 51 - 52 10,3 52 - 53 10,1 53 - 54 11,4 54 - 55 12,2 55 - 56 12,3 56 – 57 13,5 57 – 58 14,2 58 - 59 17,5 59 - 60 17,1 60 - 61 23,4 61 - 62 30,2 62 – 63 43,7 63 – 64 54,6 64 – 65 60,7 65 – 66 70,5 66 – 67 93,8 67 – 68 122,3 68 – 69 163,3 69 - 70 247,4 70 – 71 328,9 72 – 73 490,3 73 – 74 593,4 74 - 75 817,4 Total 3015,7
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi %RH dari ruang tersebut, waktu yang diperlukan untuk menaikkan 1%RH semakin lama. Hal ini disebabkan karena konsentrasi uap air pada ruangan inkubator semakin jenuh.
4.3.2.2. Pengujian pada Kondisi Terisi
Pengujian ini dilakukan dengan mencatat waktu yang diperlukan oleh humidifier untuk menaikkan setiap 1%RH dari kelembaban awal ruang inkubator (50%RH) hingga mencapai set value kelembaban (55%RH) dalam keadaan rak terisi penuh (full load).
Tabel 4.8. Waktu Untuk Mencapai Kelembaban Tertentu dalam Kondisi Terisi Kenaikan
Kelembaban Waktu
(%RH) (s)
50 - 51 80,2 51 - 52 106,2 52 - 53 201,3 53 - 54 220 54 - 55 264 Total 871,7
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi %RH dari ruang tersebut, waktu yang diperlukan untuk menaikkan 1%RH semakin lama dan jika dibandingkan dengan pengujian pada kondisi kosong waktu yang diperlukan untuk menaikkan kelembaban pada pengujian ini sedikit lebih cepat. Hal ini mungkin disebabkan karena volume ruangan sedikit berkurang akibat keberadaan telur. Dengan volume ruangan yang lebih kecil tentunya usaha untuk menaikkan kelembaban akan semakin cepat.
4.4. Pengujian Respon Sistem Terhadap Gangguan pada Kondisi Kosong Pengujian ini dilakukan dengan cara membuka ruangan inkubator yang telah mencapai keadaan stabil (temperatur 37,6˚C dan kelembaban relatif 55%RH) selama 10 detik dan mengamati respon sistem tehadap gangguan tersebut. Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui kemampuan sistem dalam mempertahankan kondisi optimum penetasan yang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan telur. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Gambar 4.6. Grafik Respon Temperatur
Grafik 4.7. Grafik Respon Kelembaban
4.5. Pengujian Mekanik Sistem Pemutaran Telur
Pemutaran telur merupakan salah satu faktor yang vital dalam proses penetasan telur. Pemutaran telur memiliki tujuan untuk menghindari kemungkinan menempelnya embrio pada salah satu sisi telur yang menyebabkan kematian embrio ayam.
Pada mesin tetas telur konvensional pembalikan telur dilakukan secara manual (membalik satu-persatu butir telur), hal ini membutuhkan waktu yang lama dan menghabiskan banyak tenaga. Oleh karena itu dalam perancangan mesin tetas telur dengan kapasitas besar (>1000 butir) diperlukan suatu mekanisme pembalikan telur yang mudah, sehingga efisiensi kerja akan meningkat.
Mekanisme pemutaran telur pada mesin penetas ini dilakukan dengan cara memutar ke kanan (CW) atau kekiri (CCW) tuas pemutar rak telur. Dengan memutar tuas tersebut secara otomatis semua rak telur akan berputar secara serempak. Untuk mencegah telur ayam jatuh pada saat pemutaran digunakan tempat telur (egg tray) yang didesain khusus untuk kegunaan penetasan telur. Egg tray ini mampu menahan kemiringan telur sampai dengan kemiringan 45˚, sehingga sudut putar rak menjadi 45˚ + 45˚ = 90˚. Mekanisme pemutaran telur yang dibuat ini sudah memenuhi syarat (berdasarkan teori, sudut pemutaran telur yang ideal adalah 60˚ - 90˚).
Gambar 4.8. Rak Telur pada Sudut Kemiringan 45˚
Gambar 4.9. Rak Telur pada Sudut Kemiringan -45˚
4.6. Pengujian Daya Tetas Telur
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui persentase keberhasilan mesin penetas ini dalam menetaskan telur. Semakin besar persentase telur yang menetas, maka mesin tetas yang dibuat semakin baik. Sebelum melakukan proses penetasan ini mesin tetas telah di-fumigasi (suci hama) dan telah diuji kestabilannya selama 2 x 24 jam. Detail proses pengujian adalah sebagai berikut:
Hari ke-1
Mempersiapkan telur yang akan ditetaskan. Telur yang ditetaskan berjumlah 576 butir (kapasitas maksimal) dan merupakan telur yang telah dibuahi melalui proses inseminasi buatan (perkawinanan buatan). Pada hari juga dimulai pemutaran telur setelah telur berada di dalam inkubator selama 6 jam, pemutaran ini dilakukan secara periodik.
Hari ke-2 sampai hari-4
Pada hari ke-2 sampai hari ke-4 hanya dilakukan pengamatan terhadap kestabilan temperatur dan kelembaban serta tak lupa melakukan pemutaran telur setiap 6 jam sekali.
Hari ke-5
Memastikan apakah telur ayam tersebut telah dibuahi atau belum dengan melakukan peneropongan telur untuk melihat adanya embrio ayam di dalamnya, peneropongan ini dilakukan pada saat telur sudah berada di dalam inkubator selama minimal 4 hari. Dari 576 butir telur yang dimasukkan ke dalam mesin penetas ini selama 4 hari, hanya 483 butir telur yang dibuahi (83,85%) dan sisanya (93 butir) tidak dibuahi. Proses selanjutnya adalah memasukkan telur ayam yang telah dibuahi (483 butir) ke dalam inkubator.
Hari ke-6 sampai hari ke-18
Pada hari ke-6 sampai hari ke-18 hanya dilakukan pengamatan terhadap kestabilan temperatur dan kelembaban serta melakukan pemutaran telur setiap 6 jam sekali.
Hari ke-19
Pada saat ini telur telah siap menetas, untuk itu dilakukan pemindahan telur tersebut pada rak hatcher. Untuk memudahkan analisa penyebab kegagalan penetasan telur, setiap telur ditandai berdasarkan posisinya pada rak setter.
Hari ke – 21 dan hari ke-22
Dari 483 butir telur yang dimasukkan dalam mesin penetas, telur yang berhasil menetas menjadi anak ayam berjumlah 381 butir (78,88%) dan sisanya (102 butir) gagal menetas. Posisi telur yang tidak menetas pada tiap rak dapat dilihat pada gambar di bawah ini, ditandai dengan warna yang lebih gelap pada gambar tersebut.
Gambar 4.10. Posisi Telur yang Tidak Menetas
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa posisi telur yang tidak menetas tidak membentuk pola tertentu. Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab kegagalan tersebut antara lain:
• Telur yang ditetaskan tersebut bukanlah telur yang baru (telah didiamkan selama beberapa hari). Telur yang didiamkan terlalu lama memiliki resiko kegagalan yang lebih tinggi, semakin cepat telur masuk ke mesin tetas, semakin baik hasilnya.
• Telur yang ditetaskan berasal dari induk yang tidak sehat (kurang nutrisi, cacat genetik, terlalu tua, stress, berpenyakit, dll.) sehingga anak ayam mengalami cacat pada organ tertentu dan mati sebelum telur menetas.
• Fluktuasi temperatur dan kelembaban yang disebabakan pembukaan pintu inkubator pada saat pemutaran telur.
• Telur yang ditetaskan mengalami gangguan dari luar (benturan, pengaruh temperatur luar, bakteri, dll.) pada saat telur dipindahkan dari rak setter ke rak hatcher.
• Kesulitan humidifier untuk mencapai 75% RH dengan cepat (diperlukan pada saat 1/3 dari jumlah telur telah retak) sehingga harus dibantu sprayer tangan. Penyemprotan ini diarahkan ke fan agar kabut air dapat langsung menyebar dalam ruangan tersebut.
4.7. Pembandingan Daya Tetas
Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan daya tetas antara mesin tetas konvensional dengan mesin tetas yang telah dibuat. Pengujian ini digunakan sebagai data pembanding saja. Pada pengujian ini digunakan mesin tetas dengan spesifikasi sebagai berikut:
Tabel 4.9. Spesifikasi Mesin Tetas Konvensional Kapasitas maksimal +800 butir
Sumber Panas Lampu pijar
Sumber Kelembaban Rak air dibawah rak telur Pemutaran telur Manual perbutir telur
Sirkulasi udara Tidak ada kipas untuk sirkulasi Kontrol temperatur Termostat
Kontrol kelembaban Tidak ada
Gambar 4.11. Mesin Tetas Konvensional
Pada percobaan penetasan telur, mesin ini berhasil menetaskan 497 butir dari 652 telur yang dibuahi (76,22%). Jika dibandingkan dengan daya tetas mesin tetas yang dibuat (78,88%), mesin tetas yang dibuat memang sedikit lebih unggul.
Namun nilai tersebut tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan, sebab pada percobaan ini hanya memperhatikan faktor eksternal saja (temperatur,
kelembaban, dll.) dan percobaan penetasan telur ini hanya dilakukan satu kali saja. Hal ini tidak menutup kemungkinan pada pembandingan yang lain mesin tetas konvensional memiliki persentase keberhasilan yang lebih tinggi dari mesin tetas yang dibuat.
Gambar 4.12. Bagian Dalam Mesin Tetas Konvensional