• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR INTERLEUKIN - 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN - 6 / INTERLEUKIN - 10 PLASMA YANG TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KADAR INTERLEUKIN - 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN - 6 / INTERLEUKIN - 10 PLASMA YANG TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

I KETUT SUYASA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

DISERTASI

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

I KETUT SUYASA NIM 1390271014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii !

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor

dalam Bidang Ilmu Kedokteran Biomedik, Program Studi Ilmu Kedokteran, pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dipertahankan di hadapan Sidang Khusus Badan Perwakilan Program Pascasarjana Universitas Udayana

I KETUT SUYASA NIM 1390271014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii !

Lembar Pengesahan

NASKAH DISERTASI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 25 JULI 2016

Promotor

Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp B., Sp OT (K) NIP: 194809091979031002

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Prof. Dr.dr. I Gde Raka

Sp PD-KHOM Widiana, Sp PD-KGH

NIP: 19480628 197903 1 001 NIP:19560707 198211 1 001

Mengetahui

Direktur Ketua Program Studi Doktor Program Pascasarjana Ilmu Kedokteran

Universitas Udayana Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Anak Agung Dr. dr. Bagus Komang Raka Sudewi, Sp S(K) Satriyasa, M. Repro

(5)

iv !

Naskah Ujian Tertutup ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran

Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 25 April 2016

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1594/UN14.4/HK/2016

Tanggal : 15 April 2016

Panitia Penguji Ujian Tertutup adalah:

Ketua : Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M Kes., Sp OT (K) Anggota : Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp B, Sp OT (K)

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp PD-KHOM Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp PD-KGH

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp S (K) Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp OT (K)

(6)

v !!

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama : dr. I Ketut Suyasa Sp B, Sp OT (K) NIM : 1390271014

Program Studi : Program Doktor Pogram Studi Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Biomedik

Alamat : Jalan Dahlia No. 33 Denpasar Bali Indonesia E-mail : iksysa@gmail.com

Handphone : 081558724088 / 087862400166

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi saya ini bebas plagiat dan jika di kemudian hari terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku.

Denpasar, 18 April 2016 yang membuat pernyataan

(7)

vi !

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya, desertasi ini dapat terselesaikan. Perkenankan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT(K) sebagai promotor yang penuh dengan kesabaran dan ketulusan hati serta penuh perhatian telah memberikan bimbingan dan dorongan semangat serta saran - saran selama penulis mengikuti pendidikan program doktor sampai dengan penyelesaian desertasi ini. Begitu pula penghargaan dan rasa terima kasih kami yang sebesar – besarnya kami sampaikan kehadapan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM sebagai Kopromotor I dan Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH sebagai Kopromotor II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan desertasi ini.

(8)

vii !

Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, Sp.BS selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana serta Dr. dr. I Wayan Sutirta Yasa, M.Si dan Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK (K) selaku mantan Ketua dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes sebagai Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar atas izin yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti Program Doktor ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB., SpOT (K), Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM, Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp.OT (K), Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, sebagai penguji disertasi ini mulai dari tahap awal sampai ujian terbuka, atas semua masukan dan bimbingannya yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan semangat, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud.

(9)

viii !

(10)

ix !

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar – sebesarnya kepada Ayahanda Kapten Polisi (Purn) I Wayan Surpha, SH (Almarhum) dan Ibunda tercinta Ni Nengah Murtiasih Sulasmi, yang telah mengasuh, membesarkan penulis dan selalu memberi dorongan untuk terus maju menuntut ilmu dengan penuh disiplin dan kasih sayang hingga sampai pada jenjang pendidikan doktor. Demikian pula terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak mertua I G.N. Sudana (almarhum) dan Ibu mertua Ni Wayan Sumiati yang selalu memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini.

(11)

x !!

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan dalam mengikuti pendidikan doktor dan penyelesaian desertasi ini.

Denpasar, 25 April 2016 Penulis

(12)

xi !

ABSTRAK

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama daerah lumbal disebut osteoarthritis lumbal. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya OA lumbal, di antaranya akibat perubahan hormonal utamanya estrogen pada wanita pasca menopause. Di samping perubahan hormonal akibat proses degenerasi, nyeri pinggang bawah akibat OA lumbal dapat diakibatkan oleh karena proses inflamasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan membuktikan peran COMP serum, IL-6 dan IL-10 plasma sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

Telah dilakukan studi kasus kontrol untuk mengetahui peran COMP serum, IL-6 dan IL-10 plasma sebagai faktor risiko terjadinya OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Studi dilaksanakan di RSUP Sanglah dari bulan Oktober 2015 - Maret 2016 dengan melakukan pemeriksaan sampel darah dan diperiksa dengan metode ELISA. Dari 44 pasang sampel yang terdiri atas 44 kasus dan 44 kontrol, didapatkan bahwa kadar COMP serum tinggi pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen tidak berisiko terhadap terjadinya OA lumbal simtomatik (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) dari yang memiliki kadar COMP serum rendah (cut-off point 0,946). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko 2,7 kali (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320 dengan p=0,033) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki kadar IL-6 plasma yang rendah (cut-off point 2,264). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar IL-10 plasma yang rendah tidak mempunyai risiko (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki kadar IL-10 plasma yang tinggi (cut-off point 6,049). Sedangkan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan rasio kadar IL-6/ IL-10 plasma yang tinggi mempunyai risiko 3,4 kali (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang rendah (cut-off point 0,364).

Hasil studi ini menunjukkan bahwa rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen.

(13)

xii !

ABSTRACT

Low back pain is a common symptom, usually in elderly due to a degeneration process. Degeneration process of the spine, especially in the lumbar region is termed as lumbar osteoarthritis. Numerous factors are thought to be the cause of lumbar OA, it is primarily due to hormonal changes of estrogen in postmenopausal women. Besides hormonal changes due to degeneration process, low back pain of lumbar OA may be caused by inflammatory process.

The purpose of this study is to strengthen the theory of inflammation and the role of biomarker as the pathogenesis of symptomatic lumbar osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency by proving the role of serum COMP, IL-6 and IL-10 as a risk factor to the lumbar symptomatic osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency.

Case-control study had been conducted to determine the role of COMP, IL-6 and IL-10 as a risk factor to symptomatic lumbar OA estrogen deficiency in postmenopausal women. The study was conducted in Sanglah General Hospital from October 2015 until March 2016 by obtaining blood samples and measure the COMP, IL-6 and IL-10 level by enzyme-linked immunisorbent assay (ELISA). From 44 pairs of samples consisting of 44 samples as case group and 44 samples as control group showed that high level of COMP in estrogen deficiency postmenopausal women are not at risk (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) for symptomatic lumbar OA (cut-off point 0,946). Estrogen deficiency postmenopausal women with the high level of IL-6 have 2.7 times risk (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320; p=0,033) for symptomatic lumbar OA from the low level of IL-6 (cut-off point 2,264). At lower level of IL-10, there is no risk for symptomatic lumbar OA (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) than with the higher level of IL-10 (cut-off point 6,049). While the high ratio of IL-6 / IL-10 level in estrogen deficiency postmenopausal women give 3,4 times risk (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011) for symptomatic lumbar OA than the low ratio of IL-6 / IL-10 level (cut-off point 0,364).

The results of the study showed that the high ratio of IL-6/IL-10 plasma level is the highest risk factor for causing symptomatic lumbar osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency.

(14)

xiii !

RINGKASAN

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 / INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG

TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA

WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama di daerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Osteoarthritis lumbal adalah terjadinya degenerasi tulang rawan yang melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada facet joint. Ketiga keadaan patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress mekanik oleh karena peningkatan berat badan, bertambahnya usia, serta akibat terjadinya proses inflamasi (Richette et al, 2003; Sniekers et al, 2010).

Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produk degradasi kartilago ini akan difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel–sel sinovium akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago (Yuan et al, 2003).

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti IL-6 maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Interleukin-6 juga berperan penting dalam metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan merangsang aktifitas osteoklas terutama apabila kadar hormon estrogen menurun (Maggio et al, 2006; Holm et al, 2012). Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif (Kresno, 2001). Rendahnya kadar IL-10 merupakan indikator kegagalan dalam proses penekanan terhadap produksi TNF-α dan IL-6 (Holm et al., 2012).

Sampai saat ini belum diketahui apakah COMP yang tinggi, kadar IL-6 lebih tinggi dan IL-10 yang rendah serta rasio kadar IL-6/IL-10 pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik. Pada penelitian ini penulis ingin membuktikan bahwa COMP, IL-6 dan IL-10 merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

(15)

xiv !

Rancangan penelitian ini dibagi dalam 2 fase yaitu fase 1 berupa studi cross sectional yang bertujuan untuk mencari prevalensi osteoarthritis lumbal. Sedangkan fase 2 dalam bentuk studi case control, yang dimulai dengan mengidentifikasi kelompok kasus, yaitu 44 orang wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal simtomatik, yang dipasangkan dengan 44 orang dari kelompok kontrol yaitu wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal asimtomatik. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar COMP serum, kadar IL-6 dan IL-10 plasma. Analisis dilakukan dengan membandingkan probabilitas paparan faktor risiko (odd ratio). Penelitian dilakuan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan Maret 2016.

Hasil penelitian pada fase 1 dengan sampel sebanyak 196 sampel wanita pasca menopause didapatkan sebanyak 189 sampel (96,4 %) defisiensi estrogen. Wanita pasca menopause defisiensi estrogen tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan x-ray untuk mengetahui prevalensi OA Lumbal. Didapatkan sebanyak 184 sampel (97,3 %) mengalami OA Lumbal. Dari 184 sampel wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal tersebut, sebanyak 98 sampel (53,2 %) dengan nyeri pinggang dan 86 sampel (46,8%) tanpa nyeri pinggang. Pada fase 2, hasil penelitian menunjukkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum di atas atau sama dengan 0,946 (cut-off point) tidak terbukti secara signifikan berperan sebagai faktor risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) dari yang memiliki kadar COMP serum rendah. Sedangkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-6 sama atau lebih besar dari 2,264 (cut-off point) memiliki risiko OA lumbal simtomatik 2,7 kali dari yang memiliki kadar IL-6 lebih rendah dari 2,264 (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320 dengan p=0,033). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-10 sama atau lebih rendah dari 6,049 (cut-off point) tidak memiliki risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) dari yang memiliki kadar IL-10 plasma yang tinggi. Sedangkan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 sama atau lebih besar dari 0,364 (cut-off point) memiliki risiko OA lumbal simtomatik 3,4 kali dari yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 lebih kecil dari 0,364 (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011).

Kebaharuan dari penelitian ini adalah peranan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi sebagai faktor risiko yang paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Hal ini memperkuat teori inflamasi pada osteoarthritis lumbal simtomatik.

(16)

xv !

DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL DEPAN

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

RINGKASAN ... xiii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR SINGKATAN ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.!Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.!Rumusan Masalah ... 6

1.3.!Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1.! Tujuan umum ... 7

1.3.2.! Tujuan khusus ... 7

(17)

xvi !

1.4.1.! Manfaat akademik/ilmiah ... 8

1.4.2.! Manfaat praktis ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Anatomi Lumbal ... 9

2.2 Biomekanik, Fungsi Diskus, dan Disc Dysfunction ... 12

2.2.1 Biomekanik ... 12

2.2.2 Fungsi diskus ... 13

2.2.3 Disc dysfunction ... 14

2.3 Estrogen, Kartilago, dan Osteoarthritis ... 16

2.4 Biomarker COMP ... 18

2.5 Sitokin ... 20

2.5.1 Sifat umum sitokin ... 21

2.5.2 Fungsi sitokin ... 23

2.5.3 Sitokin IL-6 ... 24

2.5.4 Sitokin IL-10 ... 25

2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri ... 27

2.7 Hubungan Inflamasi, Defisiensi Estrogen dengan OA Lumbal Simtomatik ... 38

2.8 Hubungan COMP Serum dengan OA Lumbal Simtomatik ... 43

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 46 3.1 Kerangka Berpikir ... 46

3.2 Kerangka Konsep ... 49

(18)

xvii !

BAB IV METODE PENELITIAN ... 51

4.1 Rancangan Penelitian ... 51

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

4.3 Penentuan Sumber Data ... 54

4.3.1 Besar sampel ... 54

4.3.1.1 Besar sampel untuk studi cross sectional ... 54

4.3.1.2 Besar sampel untuk studi case control ... 55

4.3.2 Teknik pemilihan sampel ... 56

4.3.3 Kriteria inklusi ... 57

4.3.4 Kriteria eksklusi ... 57

4.4 Variabel Penelitian ... 58

4.4.1 Variabel ... 58

4.4.2 Definisi operasional variabel ... 60

4.5 Alur Penelitian ... 63

4.5.1 Penapisan subyek ... 63

4.5.2 Pemilihan kasus dan kontrol ... 64

4.5.3 Pemeriksaan sampel darah ... 64

4.6 Analisis Statistik ... 66

4.6.1 Normalitas data ... 66

4.6.2 Analisis karakteristik kasus dan kontrol ... 66

4.6.3 Analisis faktor risiko osteoarthritis ... 66

4.7 Waktu dan Tempat Penelitian ... 67

(19)

xviii !

5.1 Normalitas Data ... 70

5.2 Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA Lumbal Asimtomatik ... 70

5.3 Faktor Risiko OA Lumbal Simtomatik ... 71

5.3.1 Kadar COMP serum dengan OA lumbal simtomatik ... 72

5.3.2 Kadar IL-6 plasma dengan OA lumbal simtomatik ... 73

5.3.3 Kadar IL-10 plasma dengan OA lumbal simtomatik ... 74

5.3.4 Rasio kadar IL-6/IL-10 dengan OA lumbal simtomatik ... 75

BAB VI PEMBAHASAN ... 76

6.1 Karakteristik Umur, IMT, Lama Menopause dan Kadar Estrogen pada OA Lumbal Simtomatik ... 76

6.2 Peran kadar COMP Serum pada OA Lumbal Simtomatik ... 77

6.3 Peran Kadar IL-6 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ... 80

6.4 Peran Kadar IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ... 82

6.5 Rasio Kadar IL-6/IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ... 84

6.6 Kelemahan Penelitian ... 85

6.7 Novelty ... 86

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 87

7.1 Simpulan Penelitian ... 87

7.2 Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(20)

xix !

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Substansi Kimia yang Dilepaskan pada Stimulus Kerusakan Jaringan ... 30 5.1 Prevalensi wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen ... 68 5.2 Prevalensi wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

atau tanpa OA Lumbal dan keluhan nyeri pinggang ... 69 5.3 Normalitas Data COMP, IL-6, IL-10 dan Rasio IL-6/IL-10

dengan Kolmogorov Smirnov ... 70 5.4 Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA Lumbal Asimtomatik ... 71 5.5 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar COMP Serum dengan Variabel

OA lumbal simtomatik ... 72 5.6 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar IL-6 plasma dengan Variabel OA

lumbal simtomatik.. ... 73 5.7 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar IL-10 plasma dengan Variabel OA

lumbal simtomatik ... 74 5.8 Tabulasi Silang antara Variabel Rasio Kadar IL-6/IL-10 plasma dengan

(21)

xx !!

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Anatomi Lumbal ... 11

2.2. Osteoartritis Lumbal ... 18

2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri ... 28

2.4 Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan jaringan yang menstimulasi nosiseptor ... 31

2.5 Jalur Nyeri Perifer Menuju ke Otak ... 32

2.6 Potensi Crosstalk antara Reseptor Kemokin dan Reseptor Opioid di Jalur Nociceptive ... 34

2.7 Respon Inflamasi Terhadap Degenerasi Diskus ... 35

2.8 Visual Analogue Scale ... 38

3.1 Bagan Kerangka Pikir ... 48

3.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ... 49

4.1 Bagan Rancangan Penelitian Fase I ... 52

4.2 Bagan Rancangan Penelitian Fase II ... 53

4.3 Bagan Fase Penelitian ... 59

(22)

xxi !

DAFTAR SINGKATAN

ADAMTs : a Disintegrin and Metalloproteinase with Thrombospondin Motifs BIRC3 : Baculoviral IAP Repeat Containing 3

BIRC5 : Baculoviral IAP Repeat Containing 5 BMD : Bone Mineral Density

BNP : Brain derived Neurotrophic Factor C1 : Cervical 1

C2 : Cervical 2

CBP : CREB binding Protein

CGRP : Calcitonin gene-related peptide

COMP : Cartilage Oligomeric Matrix Protein

DD : Disc Degeneration E2 : Hormone Estradiol

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay ERE : Estrogen Responsive Elements

Erα : Estrogen Receptor Alpha ERß : Estrogen Receptor Beta FGF : Fibroblast Growth Factor FSU : Functional Spine Unit GAG : Glycosaminoglycan

(23)

xxii !

IFN : Interferon IL-10 : Interleukin 10 IL-12 : Interleukin 12 IL-1ra : Interleukin 1ra IL-1ß : Interleukin 1beta IL-6 : Interleukin 6 IL-8 : Interleukin 8

IMT : Indeks Massa Tubuh

MHC : Major Histocompatibility Complex MMPs : Matrix Metalloproteinases

MMP-1 : Matrix Metalloproteinase - 1 MMP-3 : Matrix Metalloproteinases -3 MMP- 13 : Matrix Metalloproteinases - 13 NGF : Nerve Growth Factor

NRSs : Numerical Rating Scales OA : Osteoarthritis

PAG : Periaqueductual Grey Matter

PGE2 : Prostaglandin E2 RNA : Ribonucleic Acid

RVM : Rostral Ventromedial Medulla

SMRT : Silencing Mediator for Retinoid and Thyroid Hormone SRC-1 : Steroid Receptor Coactivator 1

(24)

xxiii !

TNFα : Tumor Necrosing Factor α

TRPV : Transient Receptor Potential Subfamily V Member I

VRSs : Verbal Rating Scales

VAS : Visual Analogue Scale

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor XIAP : X-linked IAP

(25)

xxiv !

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(26)

!

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.!Latar Belakang Masalah

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama di daerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Prevalensi osteoarthritis pada usia 50 tahun baik pada laki-laki maupun pada wanita sama, sedangkan pada usia di atas 50 tahun prevalensinya meningkat pada wanita. Namun demikian sampai saat ini penyebabnya belum diketahui. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang bawah, di antaranya adalah perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita tua, termasuk perubahan hormon estrogen.

Defisiensi estrogen terdapat pada wanita menopause. Menopause adalah proses berhentinya menstruasi akibat berkurangnya produksi hormon estrogen pada wanita. Proses dan kerja organ tubuh akan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Beban mekanik akan menimbulkan penipisan kartilago yang mengakibatkan rusaknya kartilago, sehingga sendi menjadi kaku dan terasa nyeri. Kellgren dan Moore menyatakan menopausal arthritis dengan Heberden Nodes

pada wanita ditandai dengan timbulnya gejala osteoarthritis yang cepat dan mengenai berbagai sendi yang disebut dengan primary generalized osteoarthritis

yang mengenai tangan, lutut dan tulang belakang (Wluka et al., 2000).

(27)

2 !

thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, dan pada penampang sagital regio ini berbentuk lordosis karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik (Urban, 2000; Bullough, 2004). Akibat dari bentuk dan strukturnya ini, secara biomekanik regio ini merupakan regio yang paling mudah dan cepat mengalami degenerasi.

Proses degenerasi tulang belakang yang diklasifikasikan sebagai osteoarthritis ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini dikenal dengan three joint complex yang saling mempengaruhi dan menimbulkan osteoarthritis lumbal. Pada tahun 1982, Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc disfunction, instability

dan stability (Dugan, 2013). Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).

(28)

3 !

Degenerasi pada facet joint yang ditandai dengan adanya degradasi kartilago akan dapat menyebabkan peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium maupun dalam serum. Goode AP et al (2012) pada riset terbarunya menemukan hasil yang menarik mengenai hubungan antara menyempitnya diskus intervertebralis, cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang bawah. Di antara penderita nyeri pinggang bawah (n= 265) terdapat hubungan positif kuat antara COMP dan penyempitan diskus intervetebralis (OR=1,82; 95% CI 1,02-3,27) yang tidak ditemukan pada pasien tanpa nyeri pinggang bawah (OR=0,65; 95% CI 0,35-1,20). Oleh karena itu, sangat mungkin peningkatan kadar COMP mencerminkan proses degenerasi diskus intervertebralis yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis dan gejala-gejala yang berkaitan dengan proses degenerasi ini (Goode et al., 2012).

Perubahan degenerasi seperti tersebut di atas, juga dapat disebabkan oleh karena defisiensi estrogen. Ada beberapa studi melaporkan adanya pengaruh hormon terhadap terjadinya osteoarthritis. Dilaporkan pada penderita pasca histerektomi yang mengalami osteoarthritis knee meningkat secara signifikan. Sedangkan pada percobaan binatang dilaporkan pemberian estrogen eksogen secara parenteral dan intraarticular dengan dosis supra pharmacologic mengurangi terjadinya osteoarthritis (Rosner et al., 1979; Chandler dan Desa, 1991).

Estrogen secara langsung mempengaruhi jaringan karena adanya reseptor estrogen pada kondrosit human articular dan secara tidak langsung melalui

(29)

4 !

bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen (Ushiyama, 1999). Beberapa studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit (Richette et al., 2003).

Perubahan hormonal yang terjadi selama menopause akan mempengaruhi terjadinya osteoarthritis. Pada wanita post menopause, penggunaan HRT (Hormone Replacement Therapy) menurunkan progresinya secara radiologis. Estrogen akan merangsang perubahan proteoglikan pada kartilago baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sitokin.

Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin pro inflamasi. Sitokin pro inflamasi menstimulasi inflamasi sendi dan destruksi kartilago. Peningkatan sitokin ini dapat dideteksi dari cairan sinovial (Wluka et al., 2000). Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) adalah mediator inflamasi pada diskus intervertebralis lumbal yang mengalami degenerasi dan herniasi, dapat diidentifikasi pada ekstrak jaringan, histiosit, fibroblast, sel endotelial dan kondrosit. Pada analisis imunohistokimia, TNF-α diproduksi pada situasi akut setelah herniasi diskus intervertebralis dan digunakan secara lokal pada saraf spinalis atau ganglion dorsalis untuk menginduksi nyeri sepanjang perjalanan saraf tersebut (Holm et al., 2012).

(30)

5 !

osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas in vivo yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, dan berkontribusi terhadap terjadinya perubahan spondiloarthrosis (Holm et al., 2012). Interleukin-6 (IL-6) sendiri juga diproduksi oleh sel lemak. Inhibitor dari IL-6 (termasuk estrogen) digunakan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita-wanita post menopause (Bastard dan Jardel, 1999).

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin-10 (IL-Interleukin-10) selain dapat diproduksi dari sel T regulator, juga diproduksi oleh sejumlah besar sel - sel lain termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α.

Osteoarthritis lumbal secara radiologis ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint, namun tidak semuanya menimbulkan nyeri pinggang. Osteoarthritis lumbal yang disertai nyeri pinggang disebut osteoarthritis lumbal simtomatik.

(31)

6 !

menopause defisiensi estrogen, maka diharapkan secara dini prediksi, pencegahan dan penatalaksanaannya dapat diketahui.

1.2.!Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, untuk membuktikan adanya peranan biomarker COMP, sitokin IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisensi estrogen, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi mengalami osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang rendah?

2.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 yang rendah?

(32)

7 !

4.! Apakah rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

1.3.!Tujuan Penelitian

1.3.1! Tujuan umum

Untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan mengetahui peran COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

1.3.2! Tujuan khusus

1.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik dibandingkan dengan wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum yang rendah.

(33)

8 !

3.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang rendah mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang tinggi.

4.! Untuk membuktikan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

1.4.!Manfaat Penelitian

1.4.1.! Manfaat Akademik/Ilmiah

Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai teori inflamasi dan peran biomarker sebagai pathogenesis terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen (peran pro inflamasi dan sitokin anti inflamasi).

1.4.2.! Manfaat praktis

(34)

! !

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Osteoarthritis lumbal adalah proses degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA Facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).

2.1 Anatomi Lumbal

Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang yang terdiri dari 5 vertebral body yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada

(35)

10 !

!

Di antara dua vertebral body terdapat diskus intervertebralis yang terdiri dari dua regio utama dengan nukleus pulposus yang lembut di bagian tengahnya dan annulus fibrosus yang merupakan sebagai lapisan luar kolagen yang keras. Diskus intervertebralis merupakan sendi yang menghubungkan tulang-tulang vertebra pada tulang belakang (Bullough, 2004). Struktur diskus intervertebralis terdiri dari tiga daerah anatomi yang terintegrasi yaitu nukleus pulposus di bagian tengah yang banyak mengandung air dan berisi kolagen tipe II, anulus fibrosus di bagian tepi mengandung kolagen tipe I dan II serta dua end plate yang terdiri dari tulang rawan hyalin di bagian superior dan inferior (Martin, 2002). Kandungan air dan proteoglikanpada nukleus pulposus memungkinkan meneruskan gaya beban dari vertebra ke vertebra di bawahnya (compressive load), sedangkan gaya beban radial (tensile load) diabsorbsi oleh tegangan pada serabut annulus fibrosus (Melrose et al., 2008). Perubahan isi kolagen yang terdapat dalam diskus intervertebralis dapat berlangsung secara alami bersamaan dengan proses penuaan, proses ini disebut sebagai degenerasi diskus intervertebralis.

Facet joint sebagai sendi diarthrodial merupakan salah satu sendi yang memegang peranan penting pada gerakan satu segmen tulang belakang. Load bearing pada facet joint akan mengalami perubahan pada degenerasi tulang belakang. Degenerasi pada facet joint ditandai dengan adanya degradasi kartilago berupa erosi fokal dan difus serta sklerosis dari tulang subkondral. Terbentuknya

(36)

11 !

!

Dua vertebral body yang dihubungkan oleh diskus intevertebralis, facet joint

dan ligamen (kecuali pada segment C1-C2, tidak ada diskus intervertebralis) disebut sebagai suatu functional spine unit (FSU). Functional spine unit ini dikenal sebagai three joint complex yang terdiri dari diskus intervertebralis (suatu

cartilagenous joint) dan dua facet joint (synovial joints), yang secara dinamis bersama-sama dalam suatu physiologics loads.

Gambar 2.1 Anatomi lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!

Satu kesatuan functional spine unit ini, dalam pergerakannya juga merupakan satu kesatuan pergerakan sebagai satu segmen pergerakan. Oleh karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik, maka pada penampang sagital alignment

(37)

12 !

!

2.2!Biomekanik, Fungsi Diskus dan Disc Dysfunction

2.2.1! Biomekanik

Fungsi dari tulang belakang, secara umum dibagi menjadi 2 bagian penting dari masing-masing unit fungsional yaitu bagian anterior yang bersifat statik dan bagian posterior yang bersifat dinamik. Bagian anterior yang fleksibel sebagai pembawa beban dan pengabsorbsi getaran. Sedangkan bagian posterior yang terdiri dari 2 arcus vertebrae, 2 processus transversus, 1 processus spinosus dan 2 buah facet joint, berfungsi melindungi elemen neural berperan sebagai fulcrum

dan mengarahkan pergerakan suatu unit fungsional. Elemen posterior ini akan membagi beban kompresif dan mempengaruhi pola pergerakan tulang belakang (Urban, 2000; Bullough, 2004).

Gerakan vertikal facet joint memungkinkan gerakan fleksi ekstensi tulang belakang. Pada posisi netral, pergerakan lateral dan rotasi dapat dicegah dengan aposisi permukaan sendi, sedangkan pada posisi agak fleksi, permukaan facet joint akan bergeser sehingga memungkinkan pergerakan lateral dan rotasi. Pada posisi ekstensi permukaan sendi facet mengalami aproksimasi sehingga dapat mencegah pergerakan lateral dan miring. Pada saat postur diekstensikan, volume kanalis spinalis dan foraminal neural akan berkurang.

(38)

13 !

!

ini merupakan daerah yang paling rentan dan paling mudah mengalami degenerasi.

Setiap segmen pergerakan akan mewakili komponen pembentuk tulang belakang yang merupakan suatu functional spine unit. Pada pergerakan ini peran mekanik dari diskus intervertebralis menerima dan meneruskan gaya tekanan dari atas dan ke bawah serta mengadakan pergerakan untuk fleksi, ekstensi, lateral dan memutar aksial/rotasi, serta kompleks pergerakan kombinasi.

2.2.2! Fungsi diskus

Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen utama yaitu nucleus pulposus mengandung banyak proteoglikan (50%) dengan konsistensi lunak di bagian tengah dan lapisan luarnya yang disebut annulus fibrosus mengandung

proteoglikan 20%. Proteoglikan merupakan glikoprotein yang tersusun dari

glycosaminoglycan (GAG), yang paling banyak adalah aggrecan. Aggrecan

(39)

14 !

!

Kandungan kolagen dari diskus intervertebralis terdiri dari kolagen tipe I dan tipe II, dengan nukleus pulposusnya hanya mengandung kolagen tipe II dan annulus fibrosus mengandung kolagen tipe I dan tipe II. Perubahan kandungan kolagen dalam diskus intervertebralis dapat terjadi secara alami karena penuaan maupun karena proses degenerasi. Fungsi utama kolagen adalah memberikan kekuatan pada diskus intervertebralis (Slikker et al., 2013).

Ada 2 keseimbangan yang terdapat dalam diskus yaitu:

1.! Keseimbangan swelling pressure atau keseimbangan kimiawi, yaitu keseimbangan antara nukleus pulposus yang mengandung proteoglikan yang menyerap air dengan serat kolagen yang menolak penyerapan air. Adanya keseimbangan antara proteoglikan dengan serat kolagen.

2.! Keseimbangan mekanik

Kesimbangan yang terjadi bila ada gaya/beban diberikan pada nukleus, maka gaya tersebut akan akan diteruskan ke anulus yang ada sekitarnya. Apabila keseimbangan kimiawi dan keseimbangan mekanik ini terganggu, maka akan terjadi kehilangan kemampuan diskus dalam mengatur kandungan air di dalam diskus, yang mengakibatkan terjadinya proses degenerasi pada diskus intervertebralis (Wong, 2007).

2.2.3! Disc dysfunction

(40)

15 !

!

karena proses penuaan dan diperberat oleh faktor lingkungan seperti trauma, aktifitas dengan high impact, jenis pekerjaan dan merokok.

Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000). Pada stadium I (disc dysfunction) diskus tidak mampu menanggung beban aksial, tinggi diskus juga berkurang, hal ini terjadi sebagai akibat dari berkurangnya kandungan air di nukleus pulposus, sehingga proteoglikannya juga berkurang. Pada stadium II (instability) terjadinya penyempitan ruang diskus akan mengakibatkan struktur ligamen menjadi lemah, terbentuknya vertebral osteofit dari periosteum junction

antara tulang dan tulang rawan. Instability ini juga akan mempengaruhi stabilitas

facet joint. Pada stadium III (stability), functional spine unit akan melakukan usaha-usaha stabilisasi dengan jalan menyempitnya diskus intervertebralis, fibrosis ligamen, terbentuknya osteofit, subluksasi facet joint dan fibrosis kapsul sendi (Wong, 2007).

(41)

16 !

! 2.3!Estrogen, Kartilago dan Osteoarthritis

Peran estrogen pada osteoarthritis pertama kali diungkapkan 75 tahun yang lalu oleh Cecil dan Archer, yang menggambarkan arthritis pada menopause sebagai perkembangan cepat pada osteoarthritis tangan dan lutut yang terjadi setelah berhentinya menstruasi. Hal ini didukung data epidemiologis adanya hubungan penurunan estrogen dengan perkembangan osteoarthritis pada usia yang prevalensinya meningkat pada usia di atas 50 tahun (Richette et al., 2003).

Studi prevalensi osteoarthritis pada wanita post menopause dengan dan tanpa

hormone replacement therapy (HRT) menunjukkan bukti yang kuat adanya manfaat estrogen pada osteoarthritis. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan ERβ pada kondrosit membuktikan bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen. Beberapa studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit(Richette et al., 2003).

Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family

reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor transkripsi. Estradiol mengikat sitosol pada palindromic reseptor element (ERE) yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi dan inhibisi transaktivasi gen. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat pembelahan gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1 dan SMRT) dan kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα dan ERβ menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuclear

(42)

17 !

!

estrogen fisiologis (17β estradiol) dan anti estrogen, memiliki afinitas yang mirip dengan kedua reseptor tersebut (Richette et al., 2003).

Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi terhadap estrogen. Studi immunohistokimia mendeteksi ERβ pada kondrosit

growth plate yang hipertropi pada manusia. Transkripsi dari kedua reseptor ini telah diidentifikasi pada kondrosit dari hip dan lutut dengan osteoarthritis, mendukung hipotesis bahwa kartilago pada osteoarthritis responsif terhadap estrogen (Richette et al., 2003).

Pada studi in vivo pada binatang, injeksi estrogen intra artikular memiliki dosis dependen; dosis suprafisiologis 17β estradiol menginduksi osteoarthritis secara histologis, dimana jika menggunakan dosis rendah tidak berefek. Chandler dan Desa (1991) dalam studinya mengenai kartilago, menunjukkan menurunnya ketahanan terhadap kompresi setelah oovorectomy, kecuali saat HRT telah diberikan. Pada percobaan secara in vivo pada tikus dengan oovorectomy, penggantian estrogen mencegah kerusakan kartilago yang disebabkan interleukin-1β (Richette et al., 2003).

(43)

18 !

!

(seperti HRT) bersifat protektif dan dosis lebih tinggi sifatnya merugikan. Pada wanita post menopause, estrogen dapat menurunkan kecepatan remodelling tulang subkondral yang merupakan faktor kunci patofisiologi osteoarthritis. Selanjutnya ekspresi reseptor estrogen ditunjukkan pada sinoviosit, dimana merupakan target yang mungkin bagi estrogen untuk memberikan efek pada sendi.

Gambar 2.2 Osteoartritis lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)! !

2.4!Biomarker COMP

Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang disebut juga

thrombospondin 5 adalah suatu homopentamer glikoprotein non kolagen dari matiks ekstraseluler, merupakan anggota family trombospondin dengan berat molekul 524 kDa (Tseng dkk, 2009). Cartilage oligomeric matrix protein

(44)

19 !

!

like (Mobasheri dan Henrotin, 2008). Domain karboksiterminal globular dari COMP terikat pada kolagen tipe I, II dan IX. Pada ujung aminoterminal, lima untai molekul bersama–sama membentuk suatu domain coiled yang berperan dalam penyimpanan dan pendistribusian molekul signaling sel yang hidrofobik, seperti vitamin D (Jordan, 2004).

Sebagai biomarker konsentrasi COMP pada cairan sinovial ataupun dalam serum dapat digunakan sebagai indikator awal adanya kelainan pada pemeriksaan radiologis (Dragomir et al, 2002; Sharif et al, 2004). Demikian pula COMP sangat sensitif untuk mendeteksi dini terjadinya prematur OA pada penderita yang secara genetik menderita OA (Bleasel et al, 1999; William et al, 2006).

(45)

20 !

!

Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dapat mempertahankan integritas struktural dari kartilago melalui interaksi dengan berbagai protein matriks ekstraseluler. Melalui interaksi dengan integrin, COMP dapat membantu dalam perlekatan dari kondrosit kepada cell culture dishes. Cartilage oligomeric matrix protein ini dapat menghambat proliferasi sel serta juga meningkatkan

chondrogenesis. Selanjutnya, dengan meningkatkan survival protein, COMP bisa melindungi kondrosit dari kematian sel. Cartilage oligomeric matrix protein

mempunyai tempat berikatan yang unik untuk vitamin D, yang mengindikasikan kemungkinan juga berperan dalam penyimpanan dan penghantaran cell-signaling molecules.

!

2.5!Sitokin

Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, selalu diawali dengan degenerasi pada diskus intervertebralis, yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang antara lain: beban mekanik, usia, hormonal dan terjadinya proses inflamasi.

(46)

21 !

!

rangsangan dari luar. Substansi ini secara umum disebut sitokin. Substansi yang dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan yang dilepaskan oleh monosit disebut monokin.

Sitokin ini berperan dalam pengendalian hemopoesis dan limfopoesis dan juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan, serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel– sel lain. Pada reaksi inflamasi, sitokin yang berperan menstimuli terjadinya inflamasi pada sendi dikenal sebagai sitokin pro inflamasi misalnya TNF-α dan IL-6. Sedangkan sitokin yang berperan sebagai faktor penghambat sintesis disebut sitokin anti inflamasi misalnya IL-10.

2.5.1 Sifat umum sitokin

Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang memperantarai dan mengatur reaksi imunologi dan reaksi inflamasi (Abbas et al, 2007). Setiap jenis sitokin mempunyai struktur yang berbeda satu dengan yang lainnya, walaupun demikian ada beberapa sifat umum yang dimiliki bersama yaitu: (Abbas et al, 2007; Oppenheim et al, 1991)

1.! Sekresi sitokin terjadi singkat dan tidak pernah disimpan sebagai molekul yang preformed dan sintesisnya biasanya diawali dengan transkripsi gen yang terjadi akibat stimulasi. Segera setelah disintesis sitokin dengan cepat disekresikan dan menghasilkan aktivitas yang diperlukan.

(47)

22 !

!

berbeda. Sedangkan redundant berarti banyak sitokin yang menghasilkan efek fungsional yang sama.

3.! Sitokin sering mempengaruhi sintesis dan aktivitas sitokin lainnya.

4.! Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sebagian besar sitokin bereaksi dekat dengan tempatnya diproduksi, bila dalam sel yang memproduksinya disebut autocrine reaction, bila bereaksi pada sel yang berdekatan disebut paracrine reaction, dan bila diproduksi dalam jumlah yang banyak, masuk kedalam sirkulasi dan bekerja sistemik disebut

endocrine reaction.

5.! Sitokin merupakan mediator respon imun yang sangat poten dan mampu berinteraksi dengan reseptor pada permukaan sel.

6.! Sinyal eksternal mengatur ekspresi reseptor sitokin, sehingga juga mengatur respon sel terhadap sitokin.

7.! Respon selular terhadap sebagian besar sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen pada sel sasaran yang berakibat ekspresi fungsi baru atau proliferasi sel sasaran.

(48)

23 !

! 2.5.2 Fungsi Sitokin

Berdasarkan aktivitas biologik yang utama, sitokin dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok fungsional: (Abbas et al, 2007)

1.! Mediator dan regulator imunitas bawaan.

Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosit mononuklear sebagai respon terhadap agen infeksi. Sebagian besar sitokin kelompok ini bekerja pada sel endotel dan leukosit untuk merangsang reaksi inflamasi dini dan sebagian lagi untuk mengontrol respon ini.

2.! Mediator dan regulator imunitas didapat.

Diproduksi terutama oleh limfosit T sebagai respon terhadap pengenalan spesifik antigen asing, berfungsi terutama untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi berbagai populasi limfosit. Di samping itu juga berfungsi merekrut, mengaktivasi dan mengatur sel – sel efektor spesifik seperti fagosit mononuklear, neutrophil dan eosinophil untuk mengeliminasi antigen pada fase respon imun didapat.

3.! Stimulator hemopoesis.

Sitokin ini diproduksi oleh sel – sel stroma dalam sumsum tulang, leukosit dan sel – sel lain dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi leukosit imatur.

(49)

Mediator-24 !

!

mediator tersebut ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta fungsi yang serupa dan kemudian diberi nama Interleukin yang berarti adanya komunikasi antar sel. Sampai saat ini telah ditemukan berbagai jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35.

2.5.3! Sitokin IL-6

(50)

25 !

!

yang memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang subkondral.

2.5.4! Sitokin IL-10

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin-10 dapat diproduksi selain dari sel T regulator, dengan sejumlah besar sel-sel lain termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α.

Meningkatnya kadar IL-10 didahului oleh meningkatnya sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6 dan GM-CSF). Sitokin IL-10 merupakan komponen dari T helper (Th) yang berfungsi untuk menentukan bagian spesifik dari sel Th: Th0, Th1 dan Th2. Bagian-bagian ini telah dapat dibedakan dengan jelas pada tikus dimana IL-10 disintesis oleh Th2. Prekursor dari IL-10 memproduksi IL-2, IFN-γ, IL-4 dan IL-10. Penelitian yang dilakukan pada manusia menunjukkan bahwa

kadar IL-10 yang tinggi bekerja antagonis terhadap respon inflamasi. Fungsi dari

sel T diregulasi oleh IL-10. Efek dari IL-10 adalah melemahkan respon selular

dari Th1 dan memperkuat respon humoral dari Th2. Interleukin-10 menghambat

IFN-γ yang diproduksi oleh sel Th1. Efek inhibisi ini terjadi secara tidak langsung

dan merupakan hasil dari beberapa mekanisme tertentu. Yang pertama yaitu

bahwa IL-10 menghambat ekspresi dari HLA-DR pada antigen presenting cell

(APC), sehingga menghalangi aktivasi dari sel T yang dimediasi oleh antigen.

(51)

26 !

!

permukaan APC, sehingga menurunkan aktifitas ko-stimulator. Mekanisme

lainnya yaitu IL-10 menghambat IL-12 yang dikendalikan oleh respon selular dari

Th1 dengan cara menurunkan transkripsi subunit p40 dari reseptor IL-12 (Clair,

1999).

Interleukin-10 juga berperan meningkatkan sel Th2 yang memediasi imunitas

humoral dengan menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi dari sel B. Dalam

kultur yang diteliti, sel B diaktivasi oleh IL-10 dan kemudian berdiferensiasi

menjadi sel yang mensekresi antibodi dan berubah menjadi IgA, IgG1 dan IgE.

Interleukin-10 juga memperkuat produksi dari IgG4. Lama hidup dari sel B dapat

diperpanjang oleh IL-10 melalui induksi protein bcl (Clair, 1999).

Ada dua fungsi utama IL-10 adalah menghambat produksi beberapa jenis

sitokin (TNF, IL-1, chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan sel dendritik dalam membantu aktivasi sel T, sehingga bersifat immunosupresi. Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL -10 menekan ekspresi molekul MHC kelas II pada makrofag, dan mengurangi ekspresi ko-stimulator (a.l. 1 dan B7-2). Dampak akhir dari aktifitas IL-10 adalah hambatan reaksi inflamasi non spesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T, karena itu IL-10 juga disebut

(52)

27 !

!

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, dan IL-6, maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Dengan demikian tampaknya sitokin bekerja dengan berinteraksi secara kompleks.

2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri

Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, tidak terlepas kaitannya dengan biomekanik terutama dalam physiologic load. Pada proses degenerasi diskus akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan

nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang bawah.

(53)

28 !

!

Gambar 2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL-1 (pro IL-1). Kerusakan kulit membuat sel mast yang berada dalam kulit akan bergabung dengan sel mast yang lainnya melakukan migrasi ke area trauma. Sel mast ini melepaskan TNF, IL-1, IL-6 dan chymase. Chymase berperan utk membelah dan mengaktifkan pro IL-1 menjadi aktif. IL-1 berikatan dengan saraf perifer terminal, menyebabkan aktivasi neural dan lepasnya Substance P. Aktivasi neural ini berikutnya akan menyebabkan aktivasi CNS, menyebabkan hiperalgesia dan respon nyeri lainnya. Substance P yang dilepaskan dari saraf terminal ke kulit akan menginisiasi positive feedback loop, dimana Substance P akan menstimulasi sel mast dan makrofag untuk melepaskan lebih banyak lagi IL-1, TNF, IL-6 dan chymase (Watkin, 1995).

(54)

29 !

!

yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari sinovium dan proliferasi fibroblast, produksi berlebihan dari enzim yang mendegradasi jaringan penghubung yang berasal dari sinoviosit, fibroblast dan kondrosit, produksi berlebihan dari prostaglandin oleh fibroblast dan resorbsi berlebihan dari kalsium oleh sel tulang (Watkins, 1995).

Degenerasi diskus intervertebralis akan mengakibatkan perubahan yang signifikan pada diskus dimana akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang bawah (Nilesh B.P., 2010).

Sistem saraf untuk nosisepsi akan memberitahu otak terhadap rangsangan sensorik yang berbahaya dan tidak berbahaya secara terpisah. Berdasarkan serabut sarafnya, klasifikasi nociceptor ada 2 tipe yaitu serabut C (C fiber) dengan diameter lebih kecil, yang merupakan saraf tanpa myelin yang menginduksikan impuls saraf secara perlahan dan serabut Aδ (Aδ fiber) dengan diameter lebih besar, bermyelin yang menghantarkan impuls saraf lebih cepat. Sensasi nyeri ada 2 kategori yaitu epritic (di awal cepat dan tajam), dan protopathic (lambat, tumpul dan bertahan lama). Impuls cepat pada konduksi cepat dari serabut Aδ menghasilkan sensasi nyeri tajam dan cepat, sedangkan nosiseptor serabut C yang lambat menghasilkan sensasi nyeri yang tertunda dan tumpul. Aktivasi perifer dari

(55)

30 !

!

dilepaskan ketika ada kerusakan sel (Tabel 2.1). Stimulasi yang berulang akan menyebabkan sensitisasi dari serabut saraf perifer yang menyebabkan menurunnya ambang batas rasa sakit dan nyeri spontan (Nilesh B.P., 2010). Pelepasan substasi kimia secara lokal seperti substance–P menyebabkan vasodilatasi dan edema serta melepaskan histamin dari sel mast, yang menyebabkan meningkatnya vasodilatasi. Kompleks sinyal kimia ini melindungi darah yang rusak dengan menghasilkan suatu keadaan yang membuat area tersebut jauh dari stimulus mekanis atau lainnya.

Tabel 2.1

Substansi kimia yang dilepaskan pada stimulus kerusakan jaringan

Substansi Sumber

Kalium Sel yang rusak

Serotonin Trombosit

Bradikinin Plasma

Histamin Sel Mast

Prostaglandin Sel yang rusak

Leukotrin Sel yang rusak

Substance- P Afferen primer saraf

(56)

31 !

!

Gambar 2.4. Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan jaringan yang menstimulasi nociceptor (Nilesh B.P., 2010).

Menurut Nilesh B.P. (2010), sensasi rasa nyeri dapat timbul karena adanya: 1)! Peradangan saraf, misalnya neuritis temporal.

2)! Cedera pada saraf dan ujung saraf dengan pembentukan bekas luka, misalnya kerusakan bedah atau prolaps diskus.

3)! Invasi ke saraf oleh kanker, misalnya, plexopathy brakialis.

4)! Cidera pada struktur di sumsum tulang belakang, thalamus, atau daerah kortikal yang memproses informasi nyeri, yang dapat menyebabkan rasa sakit keras; deafferentation, misalnya, trauma tulang belakang.

(57)

32 !

!

Gambar 2.5. Jalur nyeri dari perifer menuju ke otak (Mello dan Dickenson, 2008).

Pada jalur nyeri perifer ke otak, serabut aferen primer (serabut Ab-, Ad-, dan C-) mengirimkan impuls dari perifer, melalui dorsal root ganglion (DRG) dan ke kornu dorsal sumsum tulang belakang. Nosiseptif Spesifik (NS) sel terutama ditemukan di kornu dorsal superfisial (Lamina I-II), sedangkan yang kebanyakan

(58)

33 !

!

periaqueductal gray matter (PAG) dan jalur tersebut dipengaruhi oleh daerah limbik. Dari jalur sini turun (panah kuning) dari inti batang otak seperti medula ventromedial rostral (RVM) diaktifkan dan memodulasi pengolahan pada tulang belakang. Neuron lamina V terutama memproyeksi ke thalamus (traktus spinotalamikus), dan dari sini berbagai daerah korteks yang membentuk matriks nyeri (primer dan sekunder somatosensori, insular, anterior cingulate, dan korteks prefrontal) diaktifkan (Mello dan Dickenson, 2008).

(59)

34 !

!

Gambar 2.6. Potensi crosstalk antara reseptor kemokin dan reseptor opioid di jalur nociceptive (Parsadaniantz et al, 2015)

Pada ganglion akar dorsal, reseptor kemokin dan reseptor opioid co-expressed pada subpopulasi neuron sensori. Saat nyeri, kemokin disekresi oleh terminal aferen utama, dan dalam aksi ini sebuah otokrin atau parakrin menginduksi keluarnya calcitonin gene-related peptide (CGRP), Substance-P

(60)

35 !

!

atas (thalamus, korteks cingulate anterior, basal ganglia dan amygdale). Sebagai gantinya, aktivitas yang terkoordinasi dari struktur sentral memodulasi sinyal

nociceptive pada neuron aferen primer lini kedua yang bersinapsis melalui pelepasan opioid endogen dari proyeksi analgesik desenden dari periaqueductual grey (PAG) dan rostral ventromedial medulla (RVM) menuju cornu dorsal spinalis serta memodulasi transient receptor potential subfamily V member I

(TRPV) (Parsadaniantz et al, 2015).

Cedera pada diskus intervertebralis dapat menginduksi sel diskus memproduksi mediator inflamasi: IL-1β, dan TNF-α. Interleukin-1β adalah sitokin utama yang bertanggung jawab memperluas respon inflamasi dari diskus, dan telah ditunjukkan bahwa peningkatan dari level IL-1β meningkat sesuai dengan keparahan degenerasi diskus. Selain itu IL-1β juga menginduksi Nitrit Oksida (NO), Interleukin-6 (IL-6) dan Prostaglandin E2 (PGF2) yang nantinya akan mempercepat kaskade inflamasi (Gambar 2.3).

(61)

36 !

!

Penilaian terhadap nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen. Secara tradisional, terdapat 3 metode yang digunakan dalam pengukuran intensitas nyeri yaitu visual analogue scales (VASs), verbal rating scales (VRSs) dan numerical rating scales (NRSs). Untuk mempermudah penilaian dan mengevaluasi pengalaman nyeri secara individu, maka digunakan VAS yang dimodifikasi dengan graphic rating scale sesuai dengan gambar 2.8 (Mannion et al, 2007; Frey-Law et al, 2013).

Menurut Bijur et al (2001), penggunaan VAS untuk menilai nyeri akut memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi dengan skor interclass correlation coefficients (ICCs) 0,97 (95% CI=0,96 – 0,98). Selain itu, Hawker et al (2011) pada studinya tentang pengukuran nyeri menunjukkan reliabilitas test-retest yang tinggi (r=0,94, p <0,001), validitas yang tinggi dengan korelasi 0,99. Di samping itu, penggunaan VAS pada penyakit degenerasi sendi menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan nyeri (p= 0,001). Hal ini mengindikasikan penggunaan VAS sebagai alat ukur nyeri akut yang cukup baik terutama pada nyeri degeneratif sendi.

(62)

37 !

!

memperoleh skor pasien. Kadang-kadang istilah deskriptif seperti ringan, sedang dan berat, atau nomor juga disediakan sepanjang skala, seperti yang ditunjukkan di bawah ini, dan skala tersebut kemudian disebut graphic rating scale (Mannion et al, 2007; Hawker et al, 2011).

Penilaian nyeri menggunakan VAS dikerjakan oleh responden langsung. Responden diperintahkan untuk meletakkan sebuah garis tegak lurus dengan garis VAS pada titik intensitas nyeri yang mereka rasakan. Skor nyeri ditentukan dengan pengukuran jarak (mm) pada garis sepanjang 10 cm antara titik tanpa nyeri (no pain) ke titik intensitas nyeri yang responden rasakan. Skor kemudian diinterpretasikan menjadi no pain (0-4 mm), mild pain (5-44 mm), moderate pain (45-74 mm) dan severe pain (75-100 mm) (Hawker et al, 2011).

Menurut Boonstra et al (2014), nilai skor VAS dapat digambarkan pada pasien dengan keluhan nyeri muskuloskeletal sebagai nyeri yang ringan (mild), sedang (moderate) dan berat (severe). Studi tersebut menemukan beberapa cut-off point skor VAS yang berkorespondensi dengan derajat nyeri dan dianalisis dengan

multivariate analysis of variance (MANOVA). Skor VAS < 3,4 berkorespondensi dengan nyeri ringan (mild), skor VAS 3,5 – 6,4 berkorespondensi dengan nyeri sedang (moderate) dan skor VAS > 6,5 berkorespondensi dengan nyeri berat (severe).

(63)

38 !

!

berat (severe). Untuk kategori kondisi, nyeri otot memiliki rating nyeri ringan, sedangkan nyeri pada persendian memiliki rating nyeri yang lebih tinggi mulai dari sedang sampai berat. Hal ini menunjukkan bahwa nyeri pada sendi memiliki kategori kondisi nyeri yang bervariasi dengan nilai VAS > 5,0.

Gambar 2.8 Visual Analogue Scale (Mannion et al, 2007)

2.7 Hubungan Inflamasi, Defisiensi Estrogen dengan OA Lumbal Simtomatik

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!
Gambar 2.2 Osteoartritis lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!
Gambar 2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL-1 (pro IL-1)
Tabel 2.1 Substansi kimia yang dilepaskan pada stimulus kerusakan jaringan
+6

Referensi

Dokumen terkait

BNI ATM memiliki fitur yang sangat lengkap, lebih dari 110 fitur, yang meliputi layanan tarik tunai, transfer antar rekening dan antar bank, pembelian (tiket

Berdasarkan karakteristik responden dengan dimensi tipe kepribadian menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara tipe kepribadian introvert dan ektrovert dengan

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dengan judul “Uji Aktivitas Antikejang

Dalam hal ini penulis mencoba membuat suatu program aplikasi yang berjudul âAplikasi Penjualan Toko Terra Dengan Menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0â. Pada program aplikasi

[r]

Tujuan pemberian penghargaan Piala Fair Play adalah menentukan peserta O2SN-SD yang melaksanakan fair play, memberikan pemahaman kepada peserta O2SN-SD tentang pentingnya Fair

dewasa terutama ibu dengan anak dari hubungan tanpa nikah. The Step parent family , keluarga dengan orang tua tiri. Commune family , yaitu lebih satu keluarga tanpa pertalian

Perbaikan dilakukan pada produksi kapur tulis dengan menggunakan pendekatan DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve and Control) yang merupakan suatu metode perbaikan yang