1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehadiran internet menandai babak baru sejarah manusia. Sekitar abad ke-21, manusia memasuki periode di mana teknologi informasi merambah ke hampir seluruh aspek kehidupan. Informasi mulai bertebaran dan hampir tidak terbatas oleh jarak, ruang dan waktu. Informasi menjadi komoditi yang digandrungi oleh masyarakat dari berbagai tingkatan sosial. Berbagai jasa pelayanan sosial, mau tidak mau, perlu beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi ini. Perpustakaan adalah satu di antara jasa pelayanan sosial tersebut.
2
Perubahan peran itu begitu terlihat, sebab generasi saat ini merupakan generasi informasi yang ditumbuhkembangkan dalam suatu masyarakat informasi, yang aktivitas sosial-politik, ekonomi dan lain sebagainya, melalui proses konsumsi, produksi dan distribusi informasi. Hal itu berarti, generasi saat ini memiliki kebutuhan informasi yang tinggi di tengah ledakan informasi yang sedang terjadi. Masyarakat mulai kebingungan dalam memfilterisasi informasi yang akurat dan kredibel untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada kondisi inilah, diperlukan kemampuan untuk memilah dan memaknai berbagai informasi yang tersedia agar tidak terjadi kesenjangan pemahaman informasi yang berujung pada kesenjangan intelektual. Kemampuan ini kemudian dikenal dengan sebutan literasi informasi.
Secara garis besar dari beberapa pengertian ahli, literasi informasi merupakan proses bagaimana kita mencari, mengevaluasi, menggunakan, menciptakan dan mengakui keberadaan suatu informasi secara efektif guna mencapai tujuan pribadi, sosial, ataupun tujuan-tujuan lainnya. Kemampuan literasi informasi pada era ini perlu dibudayakan, oleh karena perubahan zaman memaksa kita untuk sigap dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan baru. Menutup diri dari era keterbukaan informasi ini perlahan-lahan akan membuat kita tersingkirkan, sedangkan mereka yang membuka diri namun tidak berhati-hati dalam menggunakan informasi akan mudah terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan.
3
bagi masyarakat. Perpustakaan wajib menjalankan fungsi informasinya, yakni mendorong keterbukaan serta membudayakan literasi informasi dalam masyarakat. Pustakawan sebagai orang yang bergelut dalam dunia kepustakawanan dituntut untuk menguasai literasi informasi agar nantinya dapat memenuhi kebutuhan informasi pemustaka yang semakin kompleks dan menularkan kemampuan tersebut kepada masyarakat. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Dupuis dan Ryan (2002), “holistic librarians with a broad
range of competencies and skills are an emerging prerequisite in libraries,
especially in technology-oriented roles.” Oleh karena itu, perlulah pustakawan menguasai literasi informasi pada era ini.
4
masih terbilang rendah. Hal tersebut menyiratkan kemampuan literasi informasi di kalangan masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan. Hal itu serta merta menjadi tantangan tersendiri bagi pustakawan dalam upayanya memenuhi kebutuhan pemustaka sebab tingginya tingkat pengguna internet tidak dibarengi dengan tingginya tingkat literasi. Inilah pekerjaan rumah bagi perpustakaan-perpustakaan di Indonesia.
5
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa predikat Kota Yogyakarta sampai saat ini menyiratkan bahwa kota tersebut akrab dengan budaya literasi. Perlu kemudian ditelusuri, apakah keakraban kota ini dengan budaya literasi telah sejalan dengan kemampuan literasi informasi pustakawannya? Predikatnya sebagai kota pendidikan menyiratkan pula bahwa masyarakat Kota Yogyakarta khususnya para pelajar memiliki kebutuhan informasi yang tinggi. Sudahkah kebutuhan informasi masyarakat, dalam hal ini pemustaka, dipenuhi oleh pustakawan dengan memanfaatkan kemampuan literasi informasi mereka? Pertanyaan-pertanyaan serta gambaran di atas yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Literasi Informasi Pustakawan dalam Pemenuhan Kebutuhan Informasi Pemustaka di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta.”
1.2Rumusan Masalah
Bagaimana literasi informasi pustakawan dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta?
1.3Batasan Masalah
6
dalam model literasi informasi Empowering Eight. Indikator penilaian peran literasi informasi pustakawan dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka ialah intensitas interaksi antara pemustaka dengan pustakawan, ragam informasi yang dibutuhkan, penggunaan informasi yang diberikan oleh pustakawan, dugaan terhadap ketersediaan informasi yang dibutuhkan, dan kepuasan pemustaka atas informasi yang diberikan pustakawan.
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya penelitian mengenai peran literasi informasi pustakawan dalam pemenuhan informasi pemustaka ini antara lain:
1. Mengetahui peran literasi informasi pustakawan dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta. 2. Membangun kesadaran mengenai pentingnya kemampuan literasi
informasi di kalangan pustakawan khususnya dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka.
1.5 Manfaat
7
Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan dorongan bagi Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka, dapat menjadi acuan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian-penelitian berikutnya ataupun menjadi bahan diskusi bagi mahasiswa, pegiat perpustakaan, aktivis literasi dan lain sebagainya.
1.4Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penelitian ini yang menjadi alur bahasan berdasarkan bab-babnya sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan: Memaparkan latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan serta manfaat penelitian.
Bab 2 Tinjauan Pustaka: Menjabarkan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian, konsep-konsep serta teori yang menjadi pisau analisis.
Bab 3 Metodologi Penelitian: Menjelaskan jenis dan lokasi penelitian, sumber data, unit analisis, teknik analisis, pengumpulan serta penyajian data.
Bab 4 Pembahasan: Bagian ini membahas gambaran umum Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta dan penjabaran mengenai literasi informasi pustakawan, kebutuhan informasi pemustaka dan peran dari literasi informasi pustakawan dalam pemenuhan kebutuhan pemustaka di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Increasing Literacy in Indonesia (Fasli Jalal dan Nina Sardjunani,
2005)
9
2.1.2 Evaluasi Berbasis Empowering Eight Terhadap Tingkat Literasi Informasi Mahasiswa (Roro Isyawati, 2013)
10
2.1.3 Studi Literasi Informasi Pemustaka di Perpustakaan Kota Yogyakarta Berdasarkan Model Empowering 8 (Yulia Nurrahmah, 2013)
Skripsi ini disusun oleh Yulia Nurrahmah Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meneliti tingkat literasi informasi pemustaka di Perpustakaan Kota Yogyakarta dengan model Empowering 8. Hasil penelitiannya yakni grand mean untuk literasi informasi pemustaka di Perpustakaan Kota Yogyakarta sebesar 2,85 dan secara umum cenderung kurang sesuai dengan model empowering 8. Penelitian Yulia menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang penulis susun menggunakan metode kualitatif. Penulis menjadikan pustakawan sebagai subjek penelitian sedangkan pada skripsi Yulia, subjek penelitiannya adalah pemustaka di perpustakaan yang sama dengan lokasi penelitian penulis. Skripsi Yulia sebatas meniliti tingkat literasi informasi, sedangkan penelitian penulis mengaitkan tingkat literasi informasi pustakawan dalam pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka.
2.2 Kerangka Konseptual
2.2.1 Pengertian Perpustakaan Umum
11
manifesto tersebut, perpustakaan umum adalah sebuah pusat lokal informasi yang menyediakan kondisi pembelajaran seumur hidup, pengambilan keputusan yang independen, dan pengembangan budaya baik individu maupun komunitas.
Begitu pula dengan Sulistyo Basuki (2001), menyatakan bahwa perpustakaan umum ialah perpustakaan yang melayani penduduk secara gratis atau dengan pungutan bayaran minimal. Pengelolaan perpustakaan umum dibiayai oleh pemerintah atau oleh swasta. Pernyataan Sulistyo senada dengan definisi dari IFLA General Conference (1985), yang menjelaskan perpustakaan umum sebagai perpustakaan yang dibiayai oleh pemerintah daerah atau dalam hal tertentu oleh pemerintah pusat, juga badan lainnya yang memiliki wewenang untuk bertindak atau bertindak atas nama badan. Perpustakaan umum tersedia bagi siapa saja yang ingin menggunakannya tanpa bias atau diskriminasi.
12
Pada manifesto perpustakaan umum UNESCO (1994) tersebut, juga menyepakati bahwa misi utama perpustakaan umum tidaklah jauh dari melek huruf, informasi, pendidikan maupun kebudayaan. Adapun misi-misi tersebut, antara lain:
1. Menciptakan serta memperkokoh budaya baca di kalangan anak-anak sedari belia;
2. Membantu individu dan pendidikan swatindak serta formal di semua tingkatan;
3. Menyuguhkan peluang untuk mengembangkan kreativitas pribadi; 4. Merangsang imajinasi dan kreativitas anak-anak serta kawula muda;
5. Membangkitkan kesadaran akan warisan budaya, apresiasi atas seni, perolehan ilmiah, dan inovasi;
6. Menyediakan akses untuk ekspresi kultural dari seluruh seni pertunjukan; 7. Menjaga dan membina dialog antarbudaya dan menoleransi keberagaman
budaya;
8. Menyokong tradisi lisan;
9. Menjaga dan menjamin hak akses warga negara terkait semua informasi komunitas;
10.Menyediakan jasa informasi untuk perusahaan lokal, asosiasi, dan kelompok yang berkepentingan secara berkecukupan;
13
12.Membantu dan turut serta dalam aktivitas ataupun program literasi bagi semua kelompok usia dan menjadi pionir dalam aktivitas tersebut bilamana perlu.
Melalui butir-butir tersebut, tersirat bahwa perpustakaan umum memiliki peranan yang vital sebab merupakan satu-satunya pranata kepustakawanan yang dapat dijangkau oleh umum. Sebagaimana disebutkan di atas, disoroti bahwa perpustakaan umum memiliki misi untuk memberantas iliterasi (ketidakberaksaraan), mengembangkan serta membudayakan literasi informasi di kalangan masyarakat. Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta dalam fungsinya sebagai perpustakaan umum, tentu perlu menjalankan misi-misi di atas, khususnya dalam hal pengembangan dan pembudayaan literasi informasi.
2.2.2 Pengertian Pustakawan
Pustakawan sebagai perpanjangan tangan perpustakaan, wajib mengemban misi-misi perpustakaan. Pustakawan menurut Sulistyo (2010) adalah tenaga professional yang mengemban tugas untuk mengelola perpustakaan, mengorganisir materi perpustakaan, supaya nantinya dapat diberdayakan oleh pemustaka. Pustakawan merupakan sebuah profesi, khususnya kelompok profesi informasi.
14
melalui lembaga kepustakawanan yang meliputi berbagai jenis perpustakaan. Lain halnya menurut kode etik Ikatan Pustakawan Indonesia, yang menjabarkan bahwa pustakawan ialah seseorang yang melakukan kegiatan kepustakawanan dengan cara memberikan pelayanan jasa kepada publik sesuai dengan tugas lembaga induknya dengan berdasar ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimiliki melalui pendidikan.
Bila demikian, dari ketiga pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang berkompeten dalam bidang kepustakawanan, memiliki pendidikan pepustakaan, tenaga profesi dalam bidang informasi, dan bekerja di perpustakaan serta diberikan tanggung jawab, tugas, wewenang, dan hak oleh lembaga induk atau pejabat terkait yang memiliki wewenang.
Pustakawan sebagai penggerak perpustakaan perlu menjadi mediator dan katalisator dalam pengembangan serta pembudayaan literasi informasi. Pentingnya peran tersebut, menjadikan literasi informasi sebagai kemampuan mutlak yang perlu dimiliki oleh pustakawan. Ini pula yang mendasari, mengapa kemampuan literasi informasi pustakawan perlu ditelusuri. Pada karya tulis ini, yang ditelusuri adalah seluruh pustakawan di Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta.
2.2.3 Literasi Informasi
15
istilah literasi informasi adalah Paul Zurkowski dalam laporannya ke US National Commission on Libraries and Information Science pada awal tahun 1970-an, sedangkan deskripsi yang paling familiar mengenai literasi informasi ialah hasil studi Christina Doyle pada awal tahun 1990-an dan laporan akhir Presiden Komite ALA (American Library Association) mengenai literasi informasi.
1. Pengertian Literasi Informasi
Literasi informasi menurut Christina Doyle (1992) ialah kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi dari beragam sumber. Sebelumnya, pada tahun 1989, American Library Association (ALA) memaparkan bahwa untuk menjadi seseorang yang literat dalam informasi, seseorang perlu mengetahui kapan suatu informasi dibutuhkan serta memiliki kemampuan untuk menemu kembali, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Orang-orang yang literat dalam informasi adalah mereka yang sudah belajar bagaimana cara “belajar.” Mereka tahu cara “belajar” karena mereka mengetahui bagaimana sebuah informasi dikelola.
16
Melalui tiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk menemu kembali, mengevaluasi, menggunakan, menciptakan suatu informasi secara efektif guna mencapai berbagai tujuan, baik individu maupun sosial, serta mampu mempertanggunjawabkan informasi bersangkutan secara etis. Adapun cakupan kemampuan yang menurut CILIP seharusnya dipahami oleh seseorang yang literat informasi antara lain; mengenali kebutuhan akan informasi, mengenali sumber-sumber referensi yang tersedia, mengakses dan menemu kembali informasi, mengevaluasi informasi hasil temuan, mengelola informasi, menggunakan informasi secara bertanggung jawab, mengomunikasikan atau membagi informasi yang ditemukan kepada orang lain, dan menyimpan informasi tersebut dengan baik.
Delapan butir yang disebutkan di atas merupakan himpunan kemampuan yang perlu dipahami oleh seorang literat dalam informasi, yang kemampuan tersebut kemudian digunakan untuk memecahkan problematika sehari-hari serta mengasah pemikiran kritis.
b. Model Literasi Informasi
17
Information Literacy, dan The Big 6. Adapun deskripsi dari masing-masing model literasi informasi:
1. Empowering 8
[image:30.595.109.521.363.751.2]Model ini dicetuskan sekaligus disepakati pada International Workshop on Information Skills for Learning tahun 2004 di Colombo, Sri Lanka. Model ini digunakan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan.
Tabel 2.1 Model Empowering Eight
Langkah Komponen Hasil Pembelajaran yang Didemonstrasikan
1 Identifikasi - Menentukan subjek atau topik - Menentukan dan memahami
sasaran penyajian
- Memilih format yang relevan untuk produk akhir
- Mengidentifikasi kata kunci - Merencanakan strategi
penelusuran
- Mengidentifikasi berbagai jenis sumber, dimana informasi bersangkutan memungkinkan ditemukan
2 Eksplorasi - Menentukan lokasi sumber yang sesuai dengan pilihan topik
- Menemukan informasi yang sesuai dengan pilihan topik
- Melakukan wawancara, kunjungan lapangan atau penelitian di luar lainnya
3 Seleksi - Memilih informasi yang relevan
18
atau sesuai
- Mencatat informasi yang relevan dengan cara membuat catatan atau membuat pengorganisasi visual seperti kartu, grafik, bagan atau garisan, dan sebagainya
- Mengidentifikasi tahapan dalam proses
- Mengumpulkan sitiran yang sesuai
4 Organisasi - Memilah informasi
- Membedakan antara fakta, pendapat, dan khayalan - Mengecek bias dalam
sumber-sumber
- Mengatur informasi yang diperoleh dengan urutan logis - Menggunakan pengorganisasian
visual untuk membandingkan atau mengontraskan informasi yang didapat
5 Menciptakan - Menyusun informasi sesuai dengan opini dalam cara yang bermakna
- Merevisi dan menyunting sendiri atau bersama pembimbing
- Finalisasi format bibliografis
6 Presentasi - Mempraktekkan aktivitas
penyajian
- Berbagi informasi dengan pihak yang sesuai
- Memaparkan informasi dalam format yang tepat sesuai sasaran - Menyusun dan menggunakan
peralatan yang sesuai
7 Penilaian - Menerima masukan dari siswa lain - Swa-akses kinerja dalam
penanggapan dan penilaian dari pihak guru
19
2. Seven Pillars of Information Literacy
[image:32.595.107.521.110.401.2]Pada tahun 1999, SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries) di Inggris menyepakati sebuah model literasi infomasi bernama Seven Pillars of Information Literacy atau Tujuh Pilar Kemelekan informasi.
Tabel 2.2 Model Seven Pillars of Information Literacy
Pengetahuan Perpustakaan Dasar
dan Kemampuan Teknologi Informasi
Mengenali kebutuhan informasi
Kemelekan Informasi
Membedakan cara mengatasi kesenjangan Membangun strategi lokasi informasi Menentukan lokasi dan akses informasi
Membandingkan dan mengevaluasi Mengorganisasi, menerapkan, dan
mengomunikasikan Sintesis dan penciptaan
lakukan
- Menentukan apakah masih perlu suatu keterampilan baru
- Pertimbangkan apa yang dapat dilakukan lebih baik pada kesempatan berikutnya
8 Aplikasi - Meninjau masukan dan penilaian - Menggunakan masukan dan
penilaian untuk keperluan pembelajaran atau aktivitas berikutnya
- Mendorong menggunakan
pengetahuan yang diperoleh dari berbagai situasi
- Menentukan keterampilan yang dapat diterapkan pada subjek - Menambahkan produk pada
portofolio produksi
20
3. Seven Faces of Information Literacy
[image:33.595.107.524.343.703.2]Christine Bruce sekitar tahun 1997-an menggunakan pendekatan informasi terhadap informasi. Tiga strategi yang ia usulkan yakni, ancangan prilaku, ancangan konstrukvis, dan ancangan relasional. Adapun tujuh wajah literasi informasi yang ia paparkan, tertera pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Model Seven Faces of Informmation Literacy
Kategori satu:
Konsepsi teknologi informasi
Literasi informasi dipandang sebagai penggunaan teknologi informasi guna menemu kembali informasi dan komunikasi Kategori dua:
Konsepsi sumber ke informasi
Literasi informasi dipandang sebagai cara menemukan informasi yang berada di sumber informasi
Kategori tiga:
Konsepsi proses informasi
Literasi informasi dipandang sebagai pelaksanaan sebuah proses
Kategori empat:
Konsepsi pengendalian informasi
Literasi informasi dipandang sebagai pengendalian informasi
Kategori lima:
Konsepsi konstruksi pengetahuan
Literasi informasi dipandang sebagai pembentukan basis pengetahuan dan perspektif pribadi pada bidang baru yang diminatinya
Kategori enam:
Konsepsi perluasan pengetahuan
Literasi informasi dipandang sebagai penciptaan karya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang digunakan
sedemikian rupa hingga mencapai wawasan baru
Kategori tujuh: Konsepsi kearifan
21
4. The Big 6
Model ini dikembangkan oleh Michael B. Eisenberg dan Robert E. Berkowitz pada tahun 1988. The Big 6 dicantumkan dalam terbitan Curriculum Initiative: An Agenda Strategy for Library Media Programs.
[image:34.595.107.524.325.619.2]Berikut gambarannya dalam tabel:
Tabel 2.4 Model Big 6
1. Definisi tugas
Definisikan masalah informasi yang dihadapi
Identifikasi informasi yang diperlukan
2. Strategi mencari informasi
Menentukan semua sumber yang mungkin
Memilih sumber terbaik
3. Lokasi dan akses
Tentukan lokasi sumber secara intelektual maupun fisik
Menemukan informasi dalam sumber
4. Menggunakan informasi
Hadapi, misalnya membaca,
mendengar, mengamati, menyentuh Ekstrak informasi yang relevan
5. Sintesis
Mengorganisasikan informasi dari berbagai sumber
Sajikan informasi
6. Evaluasi
Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas
Nilai proses dan efisiensi
22
model Empowering 8 yang dianggap cocok diaplikasikan di negara-negara berkembang karena memperhatikan kondisi dan budaya setempat.
2.2.4 Pengertian Kebutuhan Informasi
Peningkatan taraf hidup mengakibatkan peningkatan pada kebutuhan informasi manusia dalam berkehidupan. Pada era ini, kebutuhan informasi manusia semakin kompleks. Konsep mengenai kebutuhan informasi ini kerap disandingkan dengan model perilaku informasi. Wilson (1981) menyatakan bahwa model perilaku informasi yang mengkhusus pada penemuan informasi merupakan konsekuensi dari kebutuhan pengguna akan informasi, termasuk upaya mereka dalam memenuhi kebutuhannya itu dengan hasil berupa kegagalan atau keberhasilan dalam menemukan informasi yang relevan.
23
informasi dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi yang meliputi kebutuhan afektif, fisiologi ataupun kognitif.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan informasi seseorang didasari oleh suatu kondisi pribadinya yang dipengaruhi oleh internal maupun eksternalnya, di mana ia menyadari memiliki keterbatasan akan pengetahuan yang dimilikinya dan kemudian berkeinginan untuk mencari informasi lebih lanjut. Konsep kebutuhan informasi ini menjadi cukup samar sebab menyangkut psikologi personal, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi para peneliti yang ingin membuat kajian mengenai topik ini. Sarasevic dan kawan-kawannya (1988) menyampaikan dalam karya tulis mereka beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penelitian mengenai kebutuhan informasi, yaitu:
1. Persepsi mengenai permasalahan yang dihadapi
Perlu ditelaah bagaimana responden melihat permasalahan yang mereka hadapi atau hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhannya.
2. Rencana penggunaan informasi
Manakala seseorang membutuhkan suatu informasi, tentunya mereka telah memiliki rencana bagaimana akan mendayagunakan informasi tersebut.
3. Relevansi pengetahuan seseorang dengan kebutuhannya
24
4. Dugaan ketersediaan informasi
Ketika seseorang membutuhkan informasi, mereka memiliki bayangan ke mana atau pada siapa harus mencari informasi tersebut.
2.3. Model Penelitian
[image:37.595.145.486.354.547.2]Adapun tahapan atau langkah-langkah penelitian yang dilakukan di lapangan, sebagai berikut:
Gambar 2.1 Model Penelitian
Wawancara informan (pustakawan dan
pemustaka)
Observasi