• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEOSINTETIK UNTUK PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DI ATAS TANAH LUNAK DI GRESIK-LAMONGAN Sta 27+ 250 –32 + 550.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GEOSINTETIK UNTUK PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DI ATAS TANAH LUNAK DI GRESIK-LAMONGAN Sta 27+ 250 –32 + 550."

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

GEOSINTETIK UNTUK PERENCANAAN PERKERASAN

LENTUR DI ATAS TANAH LUNAK DI GRESIK-LAMONGAN

Sta 27+ 250 –32 + 550

TUGAS AKHIR

Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh

Gelar Sarjana (Strata-1) Program Studi Teknik Sipil

Diajukan Oleh :

WAYAN SUDANA

0653010045

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil Allamin dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan Skripsi Tugas Akhir ini dengan judul “Geosintetik Untuk Perencanaan Perkerasan Lentur di Atas Tanah Lunak di Gresik – Lamongan Sta 27+250 – 32+550.” Sebagai kelengkapan tugas akademik dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S-1) di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan nasional “Veteran” Jawa Timur.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini penyusun berusaha semaksimal mungkin dalam menerapkan ilmu yang didapatkan pada perkuliahan dan literatur yang sesuai untuk menunjang penyusunan Tugas Akhir ini. Selain itu, penyusun juga menerapkan semua petunjuk yang diberikan dari dosen pembimbing, walaupun penyusunan Tugas Akhir ini diusahakan sebaik mungkin, namun penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karna itu, segala kritik dan saran yang membangun dari setiap pembaca sangat diharapkan dalam penyempurnaan Tugas Akhir ini.

(3)

1. Allah SWT, yang hanya dengan rahmatnya, penyusun dapat menempuh pendidikan di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur sampai dengan menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

2. Orang tua yang telah banyak mendukung dan memberi semangat sebagai motifasi dalam menyelesaikan Tugas akhir ini.

3. Ibu Ir. Naniek Ratni Jar., M, Kes, selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 4. Ibu Ir. Wahyu Kartini, MT, selaku ketua Program Studi Teknik Sipil

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

5. Ibu Novie Handajani, ST, MT, selaku dosen wali yang telah banyak membimbing selama kuliah di Program Studi Teknik Sipil Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, hingga selesai menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

6. Bapak Ibnu Sholichin, ST, MT, selaku Dosen Pembimbing Utama, Program Studi Teknik Sipil Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang senantiasa meluangkan waktunya untuk asistensi, hingga selesai dalam mengerjakan tugas akhir ini dengan baik.

7. Bapak Nugroho Utomo, ST, selaku Dosen Pembimbing Pendamping, Program Studi Teknik Sipil Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang senantiasa meluangkan waktunya untuk asistensi, hingga selesai dalam mengerjakan tugas akhir ini dengan baik.

(4)

9. Segenap dosen dan staf Program Studi Teknik Sipil Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, atas segala pelayanan yang diberikan.

10.Kepala Dinas Pekerjaan Umum Balai Besar Sidoarjo, khususnya kepada bapak Hendro dan Bapak Ketut yang telah banyak membantu melengkapi data untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

11.Indah kurnia, selaku personalia PT. Teknindo Geosistem Unggul, yang banyak membantu melengkapi data dan informasinya dalam meyelesaikan tugas akhir ini.

12.Bapak Bambang, selaku dosen Jurusan Geomatika ITS, yang membantu melengkapi data topografi dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

13.Vita Lovi Narulia, yang slalu memberikan semangat dan dukungan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

14.Seluruh rekan-rekan FTSP khususnya mahasiswa Teknik Sipil 2006, teman-teman yang slalu membantu dan menyemangati dalam penyusunan tugas akhir ini dengan baik.

Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semuanya dan pembaca pada khususnya.

Surabaya, Juni 2011

(5)

DAFTAR ISI

Abstrak

Kata Pengantar ... i

Daftar isi ... iv

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Data Teknik ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tanah Dasar ... 5

2.1.1 Lokasi Penyelidikan Tanah ... 6

2.1.2 Data Penyelidikan Tanah ... 6

2.1.3 Kondisi Tanah Dasar ... 9

2.1.4 Perbaikan Kondisi Tanah Dasar ... 9

2.2 Penggunaan Geosintetik ... 10

2.2.1 Komposisi dan Fungsi Geotekstil ... 10

2.2.2 Stabilitas Timbunan pada Tanah Lunak ... 12

(6)

2.2.4 Sifat-sifat Mekanik ... 24

2.3 Analisa Volume Lalu Lintas ……….…… 30

2.3.1 Analias Kebutuhan Pelebaran Jalan ………..………… 33

2.3.2 Kapasitas Dasar (smp/jam) ……… 34

2.3.3 Derajat Kejenuhan (DS) ……… 37

2.4 Perkerasan Jalan dengan Sistem Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) ... 37

2.4.1 Lapisan Perkerasan ... 38

2.4.2 Dasar Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya... 40

2.4.3 Pelapisan Ulang (Overlay) ... 50

2.4.4 Pelebaran Jalan ... 51

2.5 Geometrik Jalan ... 52

2.5.1 Kecepatan Rencana ... 53

2.5.2 Jari-jari Minimum ... 53

2.5.3 Alinyemen Horisontal ... 54

2.5.3.1 Superelevasi ... 56

2.5.4 Alinyemen Vertikal ... 59

2.5.4.1 Kelandaian Alinyemen Vertikal ... 60

2.5.4.2 Lengkung Vertikal ... 61

2.6 Perencanaan Saluran Tepi (Drainase) ... 66

2.6.1 Saluran Tepi Permukaan ... 67

2.6.2 Analisa Hidrologi ... 70

(7)

2.6.2.2 Luas Daerah Pengaliran ... 77

2.6.2.3 Koefisien Pengaliran (C) ... 78

2.6.2.4 Debit Air (Q) ... 79

2.6.3 Bentuk dan Dimensi Saluran Tepi ... 80

2.6.4 Gorong-gorong ... 85

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN ... 88

3.1 Dasar-dasar Perencanaan ... 88

3.1.1 Persiapan ... 88

3.1.2 Analisa Data ... 88

3.1.3 Perencanaan Jalan ... 88

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 90

4.1 Data Lalu Lintas Harian (LHR) ... 90

4.1.1 Data Lalu Lintas Pada Jam Puncak ………... 104

4.2 Data Tanah ... 106

4.2.1 Data CBR Tanah ... 106

4.2.2 Hasil Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium ... 107

4.3 Perhitungan Kebutuhan Geotekstil untuk Timbunan ... 110

4.3.1 Pemeriksaan Sifat Mekanik Geotekstil ... 119

4.4 Analisa Volume Lalu Lintas ……….. 121

4.4.1 Analisa Kapasitas Pada Kondisi Eksisting………. 121

4.4.2 Perencanaan Kapasitas Awal Umur Rencana Hingga akhir Umur Rencana ………... 123

4.5 Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan ... 126

(8)

4.5.2 Perhitungan Lintas Ekivalen ... 133

4.5.3 Menentukan Nilai Faktor Regional (FR) ... 135

4.5.4 Indeks Permukaan (IP) ... 136

4.5.5 ITP (Indeks Tebal Perkerasan) ... 137

4.5.6 Koefisien Kekuatan Relatif ... 138

4.5.7 Batas Tebal Minimum Tiap Lapis Perkerasan ... 139

4.5.8 Perhitungan Tebal Lapis Ulang (Overlay) ... 140

4.6 Geometrik Jalan ……….… 144

4.6.1 Perhitungan Alinyemen Horisontal Sta 30+125 ... 144

4.6.2 Perhitungan Alinyemen Vertikal ... 147

4.7 Perencanaan Dimensi Saluran Tepi ... 149

4.7.1 Data Curah Hujan ... 149

4.7.2 Analisa Perhitungan Debit dan Dimensi Saluran Sta 27+250 - 32+550 ... 153

4.8 Perhitungan Gorong-gorong pada Sta 28+600 ... 162

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 170

5.2 Saran ... 172

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor Aman untuk Analisis Stabilitas Struktur Timbunan

Bertulang ... 14

Tabel 2.2 Efisiensi Pelipit/ Jahitan ... 29

Tabel 2.3 Macam-macam Bentuk Pelipit/ Jahitan, Kekuatan dan Keketatan………...……… 30

Tabel 2.4 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Untuk dua Lajur Tak Terbagi (2/2 UD) ………... 32

Tabel 2.5 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Untuk empat Lajur Tak Terbagi (4/2 UD) ………... 32

Tabel 2.6 Kapasitas Dasar jalan Luar Kota ………... 34

Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw) ………. 34

Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCsp)………. 35

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kapasitas Hambatan Samping (FCsf)...………. 35

Tabel 2.10 Kelas Hambatan Samping ……… 36

Tabel 2.11 Distribusi Kendaraan (C) ... 43

Tabel 2.12 Angka Ekivalen (e) Kendaraan ... 43

Tabel 2.13 Distribusi Beban Sumbu dari Berbagai Jenis Kendaraan ... 44

Tabel 2.14 Faktor Regional ... 45

Tabel 2.15 Indeks Permukaan Awal Umur Rencana (Ipo) ... 46

Tabel 2.16 Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (Ipt) ... 46

(10)

Tabel 2.18 Tebal Minimum Lapis Pondasi ... 47

Tabel 2.19 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Bahan ... 48

Tabel 2.20 Kecepatan Rencana (VR) ... 53

Tabel 2.21 Panjang Jari-jari Minimum ... 54

Tabel 2.22 Kelandaian Maksimum yang Diizinkan ... 61

Tabel 2.23 Ketentuan Tinggi untuk Jenis Jarak Pandang ... 63

Tabel 2.24 Jarak Pandang Henti (Jh), minimum ... 63

Tabel 2.25 Jarak Pandang Mendahului (Jd), minimum ... 63

Tabel 2.26 Kemiringan Melintang Normal Perkerasan dan Bahu Jalan …... 68

Tabel 2.27 Kecepatan Aliran yang Diijinkan Berdasarkan pada Jenis Material... 69

Tabel 2.28 Hubungan Kemiringan Selokan Samping Jalan (i) dan Jenis Material ... 69

Tabel 2.29 Variasi YT ... 72

Tabel 2.30 Variasi Yn ... 72

Tabel 2.31 Variasi Sn ... 72

Tabel 2.32 Hubungan Antara Kondisi Permukaan dengan Koefisien Hambatan. ... 75

Tabel 2.33 Harga n untuk rums Manning ... 75

Tabel 2.34 Hubungan Kondisi Permukaan Tanah dan Koefisien Pengaliran (C). ... 78

Tabel 2.35 Kemiringan Talud ... 83

(11)

Tabel 4.2 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Sepeda Motor (MC) (kend/24jam) ... 91 Tabel 4.3 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Sedan, Jeep, Stw (LV)

(kend/24jam) ... 92 Tabel 4.4 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Oplet, Pick-up (LV)

(kend/24jam) ... 93 Tabel 4.5 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Mikrotruk (LV)

(kend/24jam) ... 94 Tabel 4.6 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Bus Kecil (MHV)

(kend/24jam) ... 95 Tabel 4.7 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Bus Besar (LB) (kend/ 24

jam) ... 96 Tabel 4.8 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk 2 As (LT) (kend/ 24

jam) ... 97 Tabel 4.9 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk 3 As (LT) (kend/ 24

jam) ... 98 Tabel 4.10 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk Gandeng/ Trailer (LT)

(kend/ 24 jam) ... 99 Tabel 4.11 Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk Semi Trailer (LT)

(kend/ 24 jam) ... 100 Tabel 4.12 Rekapitulasi Prediksi Pertumbuhan Lalu Lintas Tahun 2011-2020

(kend/ 24 jam) ... 103 Tabel 4.13 Data Volume Kendaraan Pada Jam Puncak Ruas Jalan

(12)

Tabel 4.14 Rekapitulasi Prediksi Pertumbuhan Lalu Lintas Jam Puncak Tahun

2011-2020 (kend/ 24 jam) ... 103

Tabel 4.15 Hasil Test CBR Laboratorium ... 106

Tabel 4.16 Data Jenis Tanah ... 107

Tabel 4.17 Kadar Air Tanah (Wc) ... 107

Tabel 4.18 Angka Pori (e) ... 108

Tabel 4.19 Specific Gravity (Gs) ... 108

Tabel 4.20 Berat Volume Jenis Air (γsat) ... 108

Tabel 4.21 Batas Cair (LL) ... 108

Tabel 4.22 Batas Plastis (PL) ... 108

Tabel 4.23 Plastis Indeks (PI) ... 109

Tabel 4.24 Coefficient of Concavity ... 109

Tabel 4.25 Coefficient of Consolidation ... 109

Tabel 4.26 Nilai Kohesi (C) ... 110

Tabel 4.27 Sudut Geser (φ)... 110

Tabel 4.28 Harga-harga Umum dari Sudut Geser Internal Kondisi Drained untuk Pasir dan Lanau ... 111

Tabel 4.29 Data Tanah Timbunan dan Perkerasan ... 111

Tabel 4.30 Identifikasi Data Tanah Dasar dan Pelebaran Jalan... 112

Tabel 4.31 Perhitungan Derajat Kejenuhan Pada Kondisi Eksisting Tahun 2010 ………... 122

Tabel 4.32 Perhitungan Derajat Kejenuhan Pada Awal Umur Rencana Tahun 2011 Sampai Akhir Umur Rencana 2015 ……….. 125

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Lokasi Studi ... 4

Gambar 2.1 Batas-batas Atterberg Limit ... 8

Gambar 2.2 Model Keruntuhan Potensial pada Timbunan Bertulang Geotekstil pada Tanah Lunak ... 13

Gambar 2.3 Lebar Timbunan dan Tebal Lapisan Tanah Lunak Terbatas untuk Hitungan Kapasitas Dukung Tanah Lunak ... 15

Gambar 2.4 (a) Penggelinciran di Atas Tulangan Geotekstil (b) Tulangan Putus dan Timbunan Menggelincir di Atas Pondasi... 19

Gambar 2.5 (a) Stabilitas Pondasi (b) Stabilitas Internal pada Tanah Pondasi yang Terperas Keluar…... 21

Gambar 2.6 Geotekstil Mengalami Tegangan Tarik Ketika Beban Bekerja di Permukaan Lapis Pondasi ... 25

Gambar 2.7 Penyebaran Beban Kendaran ... 26

Gambar 2.8 Tipe-tipe Pelipit/ Jahitan dan Arah Jahitan ... 29

Gambar 2.9 Susunan Lapis Perkerasan ... 38

Gambar 2.10 Grafik Korelasi CBR dan DDT ... 48

Gambar 2.11 Nomogram II untuk IPt = 2,5 dan Ipo = 3,9 – 3,5 ... 48

Gambar 2.12 Lengkung Peralihan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S) ... 54

(15)

Gambar 2.14 Pencapaian Kemiringan (Superelevasi) pada Tikungan

Spiral-Circle-Spiral (S-C-S) ... 59

Gambar 2.15 Tipikal Lengkung Vertikal Bentuk Parabola ... 61

Gambar 2.16 Untuk Jarak Pandang Henti (Jh < L) ... 64

Gambar 2.17 Untuk Jarak Pandang mendahului (Jd > L) ... 64

Gambar 2.18 Kemiringan Melintang Normal pada Daerah Datar dan Lurus …... 68

Gambar 2.19 Kurva Basis ... 73

Gambar 2.20 Batas Daerah Pengaliran ... 77

Gambar 2.21 Saluran Tepi Tipe Segiempat ... 81

Gambar 2.22 Saluran Tepi Tipe Trapesium ... 82

Gambar 2.23 Kemiringan Saluran Tepi ... 83

Gambar 2.24 Gorong-gorong Bentuk Lingkaran ... 85

Gambar 2.25 Kemiringan Lahan Gorong-gorong ... 87

Gambar 3.1 Bagan Alur/ Flowchart Perencanaan Jalan ... 89

Gambar 4.1 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Sepeda motor (MC)... ………... 92

Gambar 4.2 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Sedan, Jeep, Stw (LV)... 93

Gambar 4.3 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Oplet, Pick-up (LV)... 94

Gambar 4.4 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Mikrotruk (LV)... 95

(16)

Gambar 4.6 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Bus Besar

(LB)... 97

Gambar 4.7 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk 2 As (LT)... 98

Gambar 4.8 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk 3 As (LT)... 99

Gambar 4.9 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk Gandeng/ Trailer (LT) ... 100

Gambar 4.10 Grafik Pertumbuhan Lalu Lintas Kendaraan Truk Semi Trailer (LT) ... 101

Gambar 4.11 CBR Rata-rata Cara Grafis ... 106

Gambar 4.12 Spesifikasi Tanah Timbunan dan Tanah Asli untuk Analisa Perhitungan Stabilitas ... 112

Gambar 4.13 (a) Penggelinciran di Atas Tulangan Geotekstil (b) Tulangan Putus dan Timbunan Menggelincir di Atas Pondasi…... 114

Gambar 4.14 Analisa Stabilitas Pondasi ... 116

Gambar 4.15 Nomogram II untuk IPt = 2,5 dan Ipo = 3,9 -3,5 ... 138

Gambar 4.16 Rencana Susunan Lapis Permukaan untuk Pelebaran ... 140

Gambar 4.17 Korelasi CBR dengan DDT Perkerasan Lama ... 141

Gambar 4.18 Susunan Tebal Lapis Tambahan (Overlay) ... 143

Gambar 4.19 Rencana Susunan Lapis Permukaan untuk Pelebaran ... 143

Gambar 4.20 Hasil Perhitungan Lengkung Spiral-Circle-Spiral ... 146

(17)

Gambar 4.22 Landai Relatif ... 147

Gambar 4.23 Perencanaan Lengkung Vertikal Cekung pada Sta 30+125 …….... 147

Gambar 4.24 Kemiringan Normal Jalan ... 153

Gambar 4.25 Kemiringan Saluran Sta 27+250 – 32+550 ... 156

Gambar 4.26 Bentuk Saluran Trapesium ... 157

Gambar 4.27 Elevasi Jalan dan Dasar Saluran ... 160

Gambar 4.28 Elevasi dan Dimensi Saluran pada Sta 27+250 ... 161

Gambar 4.29 Dimensi Gorong-gorong ... 165

Gambar 4.30 Elevasi dan dimensi Gorong-gorong pada Sta 28+600 ... 168

(18)

GEOSINTETIK UNTUK PERENCANAAN

PERKERASAN LENTUR DI ATAS TANAH LUNAK DI

GRESIK-LAMONGAN STA 27+ 250 – STA 32 + 550

ABSTRAK

Ruas jalan Gresik–Lamongan merupakan jalan arteri, dengan kondisi eksisting jalan lama adalah 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2)UD, dengan lebar 7 m dan lebar bahu jalan 2 m, direncanakan pelebaran jalan 14 m menjadi 4 lajur 2 arah tak terbagi (4/2)UD yang dikarenakan peningkatan volume kendaraan dengan derajat kejenuhan (DS) = 0,78 (DS>0,75). Di dalam perencanaan ini juga direncanakan lapis tambahan (overlay) pada lapisan jalan lama dan perencanaan jalan baru dengan perkerasan lentur dan perkuatan geotekstil pada lapisan subgrade.

Dalamnya lapisan tanah dasar yang berupa tanah lempung berlanau menyebabkan daya dukung tanah dasar dilokasi studi Gresik-Lamongan sangat kecil dengan nilai CBR 1,44%. Kandungan lempung pada tanah dasar mencapai angka 41% - 57% dan nilai batas cairnya sekitar 54%-98%. Dibeberapa tempat mempunyai kadar air 39% - 49% bahkan mencapai 77%, berarti tanah dasar mendekati batas cairnya dengan kata lain subgrade dalam kondisi cair.

Berdasarkan kondisi di atas upaya untuk memperbaiki keadaan tersebut digunakan bahan geosintetik yaitu geotekstil sebagai perkuatan dan pemisah, sehingga mencegah bercampurnya tanah dasar yang berupa lempung dengan material timbunan dan menjaga kestabilan tipmbunan terhadap keruntuhan dan mampu menerima beban dari atas.

Setelah diberi perkuatan geotekstil dan material baru untuk timbunan diharapkan geotekstil berfungsi dengan baik, sehingga rencana nilai CBR 10 % pada tanah timbunan dapat tercapai dari nilai CBR tanah dasar asli sekitar 1,44 %. Dengan nilai CBR 10 % ini, direncanakan untuk perkerasan jalan dan ditetapkan besarnya koefisien relatif bahan.

Dari analisa perhitungan dengan menggunakan metode analisa komponen dari Bina Marga, maka didapatkan tebal masing-masing perkerasan sebagai berikut :

- Lapis permukaan (laston MS 744) =

10 cm

- Lapis pondasi atas (batu pecah kelas A)

= 25 cm

- Lapis pondasi bawah (sirtu kelas A) =

10 cm

- Lapis timbunan tanah kepasiran =

50 cm

- Lapis geotekstil (Polypropylene woven

geotextile) = 3 lapis (UW-200 black)

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jalan sebagai sarana transportasi yang sangat penting, perlu kiranya mendapat perhatian khusus dalam hal pembangunannya. Apabila jalur transportasi dalam kondisi baik maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pada ruas jalan Gresik-Lamongan diketahui bahwa, berdasarkan hasil survey di lapangan dan data dari Dinas PU Bina Marga, pada jalan ruas Gresik – Lamongan Sta 27+250 – 32+550 mempunyai kondisi eksisting lebar jalan 7 meter 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 UD). Dari data lalu lintas harian tahun 2008 – tahun 2010 pada ruas jalan tersebut telah mengalami peningkatan volume kendaraan yang signifikan, dengan derajat kejenuhan (DS) = 0,78 (DS>0,75) yang berarti jalan dalam kondisi jenuh atau macet, dan tidak menutup kemungkinan 10 tahun mendatang kapasitas jalan 2/2 UD sudah tidak mampu menampung volume kendaraan yang setiap tahun meningkat jumlah kepemilikan kendaraan bermotor. Maka dilakukan penelitian dengan direncanakan pelebaran jalan menjadi 14 meter 4 lajur 2 arah tak terbagi (4/2 UD) bertujuan untuk menurunkan nilai DS<0,75, sehingga pada 10 tahun mendatang kondisi eksisting 4/2 UD mampu untuk menampung peningkatan kapasitas volume kendaraan.

(20)

berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa nilai CBR tanah dasarnya sebesar 1,44% yang berarti nilai daya dukung tanahnya sangat kecil. Sehingga tidak memungkinkan dibangun prasarana jalan di atasnya, maka dari itu perlu diadakan perbaikan pada tanah dasarnya. Pada tugas akhir ini digunakan metode perkerasan lentur (flexible pavement) dan bahan geosintetik yaitu geotekstil sebagai pemisah tanah dasar dan timbunan, yang di hamparkan di atas tanah lunak diharapkan berfungsi dengan baik untuk mencapai umur rencana jalan yang sudah direncanakan.

1.2 Permasalahan

Adapun usaha penyelesaian masalah dari kondisi tanah pada ruas jalan Gresik - Lamongan Sta 27+250 – 32+550 adalah :

1. Berapa kebutuhan kekuatan tarik ultimit minimum geotekstil dan pelaksanaan pemasangan di lapangan ?

2. Berapa tebal lapis perkerasan untuk pelebaran jalan baru ? 3. Berapa tebal lapisan overlay untuk jalan lama ?

4. Berapa kebutuhan alinyemen vertikal dan horisontal ? 5. Berapa dimensi saluran drainase ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menentukan kebutuhan kuat tarik ultimit geotekstil minimum yang diperlukan untuk menjaga stabilitas timbunan dan mencegah terjadinya keruntuhan pada timbunan.

(21)

beri bahan geotekstil yang diharapkan mampu mengurangi kemacetan dan kerusakan jalan dalam waktu jangka panjang.

3. Menentukan tebal lapis ulang (overlay) pada jalan lama untuk melapisi permukaan jalan yang sudah rusak akibat beban kendaraan. 4. Untuk mengetahui gambaran kondisi jalan pada arah melintang dan

horisontal.

5. Menentukan dimensi saluran drainase agar permukaan jalan tetap kering terhadap air sehingga ikatan antara butir agregat dengan aspal tidak saling terlepas.

1.4 Batasan Masalah

Karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang kami miliki maka batasan studi yang kami bahas dalam tugas akhir ini adalah :

1. Lokasi studi di ruas jalan Gresik – Lamongan Sta 27+250 – Sta 32+550. 2. Perbaikan pada struktur tanah dengan bahan geosintetik.

3. Tidak menghitung anggaran biaya kerusakan maupun biaya pemeliharaan dan lainnya.

4. Tidak menghitung perkerasan kaku.

1.5 Data Teknik

Untuk mengetahui gambaran tentang obyek studi maka dibawah ini diberikan data-data teknik lokasi :

a. Panjang jalan : 5,3 km

(22)

terbagi)

c. Lebar jalan rencana :

 7 m x 2 (4 lajur 2 arah tak terbagi )  Bahu jalan 2 x 2 m

Gambar 1.1Peta Lokasi Studi Sta 27+250 Sta 32+550

LOKASI PENELITIAN GRESIK – LAMONGAN Sta 27+250 – Sta 32+550

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Dasar

Tanah dasar adalah tempat berdirinya suatu komponen, baik itu

bangunan atau prasarana jalan. Dalam pembahasan ini dikhususkan untuk

pembangunan prasarana jalan, dimana tanah dasar sebagai dasar perletakan

konstruksi perkerasan jalan, dengan demikian secara keseluruhan mutu dan

daya tahan konstruksi perkerasan jalan tidak lepas dari sifat dan kondisi tanah

dasar. Untuk mengetahui sifat dan kondisi tanah dasar agar diketahui

seberapa besar daya dukungnya dapat digunakan beberapa metode seperti

:

- CBR (California bearing Ratio)

- Mr (Resilent Modulus)

- DCP (Dynamic Cone Penetrometer)

- k (Modulus Reaksi Tanah Dasar)

Pada perencanaan jalan ini digunakan cara pemeriksaan CBR untuk

mengetahui daya dukung tanah dasar. CBR diperoleh dari hasil pemeriksaan

contoh tanah yang didapat dari data laboratorium maupun data lapangan.

Harga CBR dinyatakan dalam persen, jadi harga CBR adalah nilai yang

menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa

(24)

2.1.1 Lokasi Penyelidikan Tanah

Pada jalan Gresik-Lamongan ini, diambil contoh tanah dasar yang

dapat mewakili sebagai bahan referensi untuk lokasi penyelidikan tanah

diambil sepanjang 5,3 km, kemudian diambil sampel kondisi tanah terjelek

dan dianggap mewakili karakteristik tanah dasar. Sampel ini diambil pada Sta

27+250, 27+500 dan 28+000 dari arah Gresik menuju Lamongan.

2.1.2 Data Penyelidikan Tanah

Data tanah sangat penting artinya guna menentukan besar kecilnya

daya dukung tanah dasar. Tidak semua tanah yang dipakai sebagai perletakan

bangunan dalam kondisi baik, artinya bahwa tanah tidak bisa langsung

dibangun suatu konstruksi jalan di atasnya, untuk itu perlu diketahui

karakteristik dari tanah tersebut yaitu melalui penyelidikan tanah di lapangan

dan laboratorium.

a. Penyelidikan Lapangan

Penyelidikan dilaksanakan langsung di lapangan sehingga didapat

data tanah secara cepat. Untuk memperoleh karakteristik tanah dasar,

maka dilaksanakan penyelidikan tanah yang terdiri dari :

 Cone Penetration Test ( CPT )

Suatu metode eksplorasi tanah di lapangan dengan penetrasi kerucut

dengan ujung standar ditekan ke dalam tanah.

(25)

Merupakan suatu cara pengambilan contoh tanah dengan alat bor.

Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis lapisan tanah sampai

pada kedalaman tertentu secara visual, kedalaman muka air tanah, dan

untuk memperoleh sampel tanah yang akan diuji di laboratorium.

 Standard Penetration Test ( SPT )

Merupakan metode yang dipakai untuk menentukan kondisi tanah di

lokasi berdasarkan jumlah pukulan tiap 30 cm ( Nilai N ).

b. Penyelidikan Laboratorium

Merupakan cara pengujian tanah di dalam laboratorium berdasarkan

sampel tanah yang diambil di lapangan. Data tanah sangat penting untuk

perhitungan analisa stabilitas. Beberapa tes yang dilakukan di

laboratorium, yaitu :

 Tes Volumetri dan Gravimetri

Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara butiran tanah,

air, dan udara yang terdapat di pori-pori tanah. Hasil dari pengujian ini

didapat berupa : kadar air (W), angka pori (e), specific gravity (Gs) dan berat volume jenuh air (γ sat.)

 Tes Atterberg Limit

Tes ini dipakai untuk menentukan batas-batas atterberg dari kadar air

tanah yang dinyatakan dalam persen. Kadar air mengalami transisi dari:

- Keadaan plastis ke keadaan cair dinamakan sebagai batas cair (liquid

limit).

- Keadaan semi padat ke keadaan plastis dinamakan sebagai batas

(26)

- Keadaan padat ke keadaan semi padat didefinisikan sebagai batas

susut (shrinkage limit).

Keadaan–keadaan ini, dengan istilah yang dipakai untuk batasan

sebagaimana ditunjukkan pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.1. Batas-batas Atterberg Limit

Untuk menentukan keadaan tanah dasar, dari data tes atterberg limit di lokasi studi dapat dihitung index kecairannya (liquidity index) dengan menggunakan rumus :

LI =

PI PL w PL LL

PL

w

 

...pers. (2.1)

Dimana :

LI = index kecairan (liquidity index)

w = kadar air tanah asli

PL = batas plastis (plastis limit) LL = cair (liquid limit)

PI = index plastis = LL – PL

Jadi LI pada umumnya berkisar antara 0 – 1, jika nilai LI kecil, yaitu mendekati 0, maka tanah dasar kemungkinan besar adalah tanah yang

Basah Makin kering kering

Batas Cair (Liquid Limit)

Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas Susut (Shrinkage Limit) Keadaan Cair

(Liquid)

Keadaan Plastis (Plastic)

Keadaan Semi Plastis (Plastic)

(27)

agak keras. Sedangkan kalau nilai LI besar, yaitu mendekati 1, ini berarti tanah tersebut kemungkinan besar adalah tanah lembek.

 Tes Konsolidasi (Consolidation Test)

Tes ini digunakan untuk menentukan sifat pemampatan suatu jenis tanah,

yaitu sifat-sifat perubahan isi dan proses keluarnya air dalam pori tanah

sebagai akibat adanya tekanan secara vertikal yang bekerja pada tanah.

Hasil tes ini dapat berupa :

 Nilai Cv coefficient of concavity.

 Nilai Cc coefficient of consolidation.

 Tes triaxial

Tes ini bertujuan untuk mengetahui nilai kohesi (C) dan sudut geser (φ)

dari tanah dasar.

2.1.3 Kondisi Tanah Dasar

Kondisi tanah pada ruas jalan Gresik-Lamongan ini sangat tidak

mendukung disebabkan daya dukung tanah yang sangat kecil karena sebagian

besar berupa tanah lempung. Dari penyelidikan tanah di laboratorium

diketahui bahwa nilai CBR rata-rata di tiga titik pengamatan sebesar 1,44%

yang berarti kondisi tanah tersebut sangat jelek.

2.1.4 Perbaikan Kondisi Tanah Dasar

Berdasarkan kondisi tanah di atas, diketahui bahwa tanah dasar

(28)

yang berarti daya dukung tanah sangat buruk. Oleh karena itu dilakukan

perbaikan tanah dengan menimbun tanah dasar dengan material baru yang

diberi bahan geosintetik. Pada tugas akhir ini digunakan bahan geosintetik

yang cocok pada kondisi tanah tersebut yaitu geotekstil sebagai pemisah dan

perkuatan pada tanah.

2.2 Penggunaan Geosintetik

Sejak tahun 1960-an bahan geosintetik banyak digunakan dalam

proyek-proyek bangunan sipil, baik bangunan bawah permukaan tanah

maupun aplikasi bangunan gedung. Istilah kata “geo” yang berarti bumi dan

sintetik” yang berarti suatu bahan buatan. Geosintetik adalah suatu produk buatan pabrik dari bahan polymer yang digunakan dalam sistem atau struktur

yang berhubungan dengan tanah, batuan, atau bahan rekayasa geoteknik

lainnya. Macam geosintetik adalah :

1. Geotekstil

2. Geomembran

3. Geogrid

4. Geokomposit

5. Geonet

6. Geosynthetic clay liner

Pada ruas jalan Gresik-Lamongan ini dipilih geotekstil sebagai pemisah dan

sebagai perkuatan, yang dianggap cocok pada kondisi di lapangan.

(29)

Salah satu bahan geosintetik yang banyak digunakan dalam pekerjaan

tanah adalah geotekstil. Geotekstil merupakan material lolos air atau material

tekstil bikinan pabrik yang dibuat dari bahan sintetik seperti, polypropylene

(± 92%), polyester (± 5%), polymide (± 2%), polyethylene (± 1%). Polylene

dan polypropylene adalah polyolefins yang diantaranya mempunyai

kerapatan kurang dari 1000 kg/m3. Seperti diterangkan bahwa geotekstil

adalah bahan yang dihamparkan diatas tanah, adapun fungsi dari geotekstil

dalam usaha perbaikan tanah dasar sebagai berikut:

a. Pemisah (Separation)

Dipakainya geotekstil maka dapat memisahkan antara tanah timbunan

dan tanah dasar di bawahnya. Apabila tidak memakai geotekstil material

timbunan akan turun ke bawah akibat beban dari atas dan juga akibat

berat sendiri dari timbunan itu. Untuk mengatasi masalah ini digunakan

geotekstil sebagai pemisah keuntungan yang didapat:

 Mempercepat tercapainya tegangan tanah timbunan ke dalam tanah dasar.

 Mencegah turunnya tanah timbunan ke dalam tanah dasar sehingga

volume timbunan tidak berubah.

 Lebih mudah dilakukan pemadatan.

b. Penyaring (Filtration)

Terkait dengan fungsi filtrasi, maka geotekstil berfungsi sebagai filter

mencegah masuknya air dan butiran halus dari tanah dasar kedalam

lapisan dasar timbunan. Pada saat yang sama, geotekstil juga harus bisa

menahan tanah timbunan agar material timbunan tidak ikut bersama

(30)

c. Perkuatan (reinforcement)

Maksudnya adalah geotekstil sebagai tulangan bagi tanah dasar untuk

menyerap beban sementara yang diakibatkan oleh beban kendaraan.

Dengan demikian geotekstil akan membantu menaikkan ketahanan tanah

dasar terhadap keruntuhan geser sehingga lapisan tanah pondasi tersebut

berfungsi dengan baik dan terjadinya kelongsoran tidak terjadi.

2.2.2 Stabilitas Timbunan Pada Tanah Lunak

Timbunan yang dibangun pada tanah lunak mempunyai

kecenderungan bergerak ke arah lateral oleh akibat tekanan tanah horisontal

yang bekerja pada timbunan tersebut. Tekanan horisontal ini menyebabkan

timbulnya tegangan geser pada dasar timbunan, yang harus ditahan oleh tanah

pondasi yang lunak tersebut. Jika tanah pondasi ini tidak menahan tegangan

geser tersebut, maka timbunan dapat mengalami keruntuhan. Untuk

mengatasi hal ini, maka pada dasar timbunan dapat dipasang geosintetik

(geotekstil atau geogrid) dengan kuat tarik tinggi yang berguna untuk

menambah stabilitas timbunan tersebut.

Geotekstil, bila berfungsi sebagai pemisah antara timbunan dan tanah

dasar, maka geotekstil dianggap tidak memberikan perkuatan, tapi hanya

berfungsi untuk menjaga intregritas timbunan. Terdapat beberapa model

keruntuhan yang telah dipakai sebagai analisis timbunan bertulangan

(31)

1. Kelongsoran timbunan memotong tulangan pada dasar timbunan dan

bidang longsor melalui tanah pondasi yang lunak pada Gambar 2.2a.

Kasus ini terjadi bila tulangan putus atau tercabut.

2. Gambar 2.2b menunjukkan model keruntuhan akibat penggelinciran pada

dasar timbunan (model keruntuhan sebaran lateral). Model keruntuhan

seperti ini sering terjadi jika sudut gesek interface antara tanah timbunan dan geosintetik rendah (seperti pada geotekstil).

3. Gambar 2.2c menunjukkan timbunan mengalami penurunan berlebihan

akibat dari tulangan geotekstil mulur berlebihan. Model keruntuhan

seperti ini terjadi jika regangan di dalam tulangan yang dibutuhkan untuk

memobilisasi tahanan tarik geosintetik terlalu tinggi.

a) Keruntuhan lereng menyeluruh b) Penggelinciran timbunan di atas

Tulangan

Bidang longsor

Putus

Retak tarik

Gerakan

Tulangan

Tulangan Gerakan ke bawah

(32)

Gambar 2.2 Model Keruntuhan Potensial pada Timbunan Bertulangan Geotekstil pada Tanah Lunak

2.2.3 Hitungan Stabilitas Timbunan

Terdapat beberapa cara hitungan stabilitas timbunan dengan metoda

keseimbangan batas, dalam tugas akhir ini hitungan stabilitas timbunan di

atas tanah lunak perlu ditinjau terhadap 3 kemungkinan tipe keruntuhan,

yaitu:

a. Keruntuhan kapasitas dukung tanah

b. Stabilitas internal (internal stability)

c. Stabilitas tanah pondasi ( foundation stability)

Faktor minimum dalam hitungan stabilitas struktur timbunan bertulang

geosintetik di atas tanah lunak ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 Faktor aman untuk analisis stabilitas struktur timbunan bertulang

No Tinjauan terhadap Faktor aman (SF)

1 Keruntuhan kapasitas dukung tanah 1,5 - 2

2 Keruntuhan geser rotasional 1,3

3 Stabilitas geser internal (jangka panjang) 1,5

4 Sebaran lateral (penggelinciran) 1,5

5 Pembebanan dinamik 1,1

Sumber : Geosintetik untuk Rekayasa Jalan Raya “Christady H” Edisi pertama Hal 174

(33)

a. Keruntuhan Kapasitas Dukung Tanah Pondasi

Timbunan menimbulkan beban pada tanah pondasi di bawahnya.

Kapasitas dukung tanah yang umumnya rendah akan membatasi tinggi

timbunan maksimum yang akan dibangun. Kapasitas dukung tanah

pondasi, pada dasarnya tidak bergantung pada geotekstil. Zona

keruntuhan umumnya berada di luar bagian timbunan yang dipasang

geotekstil. Tanah timbunan dan geotekstil bergerak bersama-sama ketika

terjadi keruntuhan.

Kondisi lapisan tanah pada timbunan yang terletak di atas tanah

lunak, secara tipikal umumnya seperti dalam Gambar 2.3, yaitu tanah

lunak didasari oleh lapisan yang lebih kuat di bawahnya. Tebal tanah

lunak (h), akan mempengaruhi kapasitas dukung tanah, yang nilainya

bergantung pada lebar pondasi timbunan (B).

Gambar 2.3 Lebar Timbunan dan Tebal Lapisan Tanah Lunak Terbatas untuk Hitungan Kapasitas Dukung Tanah Lunak.

 Tebal tanah lunak sangat tebal

Timbunan

B

H

Tanah lunak 

Geotekstil

h c

(34)

Jika tebal lapisan tanah lunak sangat lebih tebal dibandingkan dengan

lebar timbunan, atau B/h sangat besar (Gambar 2.2), kapasitas dukung tanah dapat dihitung dengan persamaan :

qu = cuNc ...pers (2.2)

dimana :

qu = kapasitas dukung ultimit (kN/m2)

cu = kohesi undrained (kN/m2)

Nc = faktor kapasitas dukung, nilainya dapat diambil 5,14

Tinggi timbunan ijin dinyatakan oleh :

) (SF

N c

Ha u c

 ...pers (2.3)

Dengan SF = faktor aman yang diambil antara 1,5 sampai 2.

 Tebal tanah lunak terbatas

Jika tebal tanah lunak sangat kecil dibandingkan dengan lebar

timbunannya, nilai Nc akan bertambah. Tebal lapisan lunak yang

terbatas ini memungkinkan terjadi “perasan” (squeeze) tanah pondasi

ke arah lateral. Persamaan kapasitas dukung tanah sama dengan

persamaan (2.2).

(35)

Nc = 5,14 ...pers (2.4)

 Untuk B/h > 1,49 :

Nc = 4,14 + 0,5 (B/h) ...pers (2.5)

Dimana :

 = berat volume timbunan

H = tinggi timbunan

cu = kohesi tak terdrainase

Nc = faktor kapasitas dukung (fungsi dari B/h)

B = lebar timbunan rata-rata

h = tebal lapisan tanah lunak

b. Stabilitas Internal (internal stability)

Analisis dengan penyederhanaan untuk menghitung tulangan yang

dibutuhkan guna membatasi gerakan lateral timbuna, diilustrasikan dalam

Gambar 2.4. pada timbunan yang tanpa dan menggunakan tulangan,

gaya-gaya bergerak berasal dari tekanan lateral di dalam timbunan. Untuk

menjaga keseimbangan, gaya lateral ini ditransfer ke tanah pondasi oleh

(36)

1. Timbunan menggelincir di atas tulangan (Gambar 2.4a).

2. Tulangan putus oleh tarikan dan timbunan menggelincir pada tanah

pondasi (Gambar 2.4b).

Dalam kasus ke 2, tahanan geser tanah pondasi di dekat dasar timbunan

tidak cukup untuk menjaga keseimbangan. Jadi, dalam 2 kasus tersebut

tulangan harus mempunyai cukup gesekan untuk menahan

penggelinciran timbunan di permukaannya dan kuat tarik geotekstil harus

cukup tinggi sehingga mampu menahan runtuhnya timbunan akibat

penggelinciran di atas permukaan tulangan.

 Penggelinciran timbunan pada permukaan geotekstil

Dalam kasus ini diasumsikan bahwa kuat geser tak terdrainase

(undrained strength) tanah pondasi yang lunak tidak cukup untuk menahan tekanan aktif dari urugan di atasnya. Akibatnya, timbunan

cenderung bergerak secara horisontal. Adhesi antara tanah dan geotekstil

(ca) dianggap sama dengan nol untuk tanah sangat lunak dan tinggi

timbunan yang rendah. Adhesi harus diperhitungkan pada penempatan

timbunan selanjutnya, yaitu bila pembangunan timbunan dilakukan

secara bertahap maka, gaya tarik yang bekerja pada permukaan atas

tulangan (T1) diasumsikan sama dengan tekanan aktif di belakang bidang

AB (gambar 2.4a). bila material timbunan dianggap tanah granuler (c = 0) maka :

a K H a

P

(37)

dimana :

Pa1 = tekanan aktif di belakang bidang vertikal AB (kN/m)

 = berat volume timbunan (kN/m3)

H = tinggi timbunan dari permukaan tanah asli (m)

Ka = tg2 (45-/2) = koefisien tekanan aktif

Faktor aman (SF) penggelinciran lereng terhadap tulangan geotekstil

(Gambar 2.4a) :

H K tg L H K tg H L P P SF a a a g      2

1 0,5

) 5 , 0 ( ...pers (2.7) Dimana :

 = sudut gesek antara geotekstil dan tanah (derajat)

L = panjang zona yang mengalami sebaran lateral (m)

H = tinggi timbunan

tg = E tg

Nilai efisien gesek dari geosintetik ke tanah (E), unuk geotekstil E = 0,6 – 0,8.

Tanah pondasi: u = 0; cu>0 

Pa

L

Geotekstil 

A

B

T1  Tanah timbunan: > 0; cu=0 ;  

L A

(38)

Gambar 2.4(a) Penggelinciran di Atas Tulangan Geotekstil

(b) Tulangan Putus dan Timbunan Menggelincir di Atas Tanah Pondasi

Untuk kondisi keruntuhan dalam Gambar 2.4b, dimana akibat tekanan

tanah aktif geotekstil putus dan timbunan menggelincir di atas tanah

pondasi, maka faktor aman terhadap penggelinciran lateral dinyatakan

oleh :

2 1) (

2

H K

T Lc SF

a a  

 ...pers (2.8)

Dimana:

ca = adhesi antara tanah pondasi dan geotekstil (kN/m2)

L = panjang lereng yang mengalami penggelinciran (m)

H = tinggi timbunan (m)

 = berat volume timbunan (kN/m3)

Ka = tg2 (45-/2) = koefisien tekanan aktif

T1 = kuat tarik geotekstil yang dibutuhkan untuk menahan sebaran

lateral = 0,5H2 Ka (kN/m)

Untuk tanah pondasi lempung sangat lunak, adhesi antara tanah

dan geotekstil (ca) dapat dianggap sama dengan kohesi (cu) tanahnya, jadi

ca = cu

(39)

c. Stabilitas Pondasi (foundations stability)

Kondisi ketidakstabilan pondasi tanah sebagai pondasi dapat terjadi

bila terdapat lapisan horisontal tipis yang bersifat menerus dan

mempunyai kuat geser undrained (cu) yang sangat lebih kecil

dibandingkan dengan lapisan di atas atau di bawahnya. Akibat beban

timbunan, tanah lunak mengalami perasan ke arah lateral, faktor aman

terhadap perasan lateral :

 

H

c tg

h c

SF  2 u 4,14 u

...pers (2.9)

Dimana :

 = sudut lereng

 = berat volume timbunan (kN/m3)

h = tebal lapisan lunak di bawah lereng

cu = kuat geser undrained tanah di bawah lereng

H = tinggi timbunan

Disarankan, jika SF < 2, maka analisis harus dilakukan dengan teliti.

Perasan lateral akan terjadi bila,

u

c

H 3 ...pers (2.10)

dengan H = tinggi timbunan dan = berat volume tanah timbunan dan cu

= kuat geser undrained tanah di bawah timbunan.

Dalam kasus yang sama mekanisme terjadinya perasan lateral,

seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.5. keruntuhan lereng timbunan

(40)

terperas keluar. Kasus seperti ini juga dapat terjadi bila tanah pondasi

lunak dengan tebal tanah yang terbatas. Analisis dilakukan dalam

tinjauan tegangan total, yaitu untuk tanah dasar lempung jenuh dengan

0

[image:40.595.169.488.239.464.2]

 .

Gambar 2.5 (a)Stabilitas Pondasi

(b) Stabilitas Internal pada Tanah Pondasi yang Terperas Keluar

Tekanan tanah aktif total pada bidang AB :

Pa = Pw + Pa1 + Pqa

...pers

(2.11)

Tekanan tanah pasif total pada bidang CD :

Pp = Pw + Pp1 + Pqp

Pp 

Tanah lunak 

A

B

C

D

Geotekstil  H 

φ; γt; H 

Pa 

L  cu; γt; h 

T2 

cu.L

cu.L

qs1 

(a) 

(b) 

2cu γH  2cu γH 

(41)

...pers

(2.12)

dimana:

Pa = tekanan tanah aktif total (kN/m)

Pa1 = tekanan tanah aktif total pada tanah setebal h (kN/m)

Pqa = tekanan tanah aktif total akibat beban timbunan (kN/m)

Pp = tekanan tanah pasif total (kN/m)

Pqp = tekanan tanah pasif total akibat timbunan di luar kaki timbunan

(kN/m)

Pw = tekanan tanah air total (kN/m)

h = kedalaman lapisan lunak dari permukaan tanah asli (m)

γw = berat volume air (kN/m3)

cu = kuat geser tak terdrainase (kohesi undrained) (kN/m2)

qs1 = beban terbagi rata akibat beban timbunan (kN/m2)

qs2 = beban terbagi rata pada tanah asli di luar kaki timbunan (kN/m2)

Untuk φ = 0, Ka = Kp = 1, maka

Pa = Pw + Pa1 + Pqa

...pers

(2.13)

(42)

...pers

(2.14)

Agar tanah tidak tertekan keluar (terperas keluar), maka:

Pp + 2cu . L > Pa ...pers (2.15)

Gaya tarik yang bekerja pada tulangan geotekstil:

T2 = cuL ...pers (2.16)

Dengan L = panjang lereng timbunan ke arah horisontal.

Stabilitas internal dari area yang diarsir juga harus diperiksa (lihat Gambar

2.5b). Gaya horisontal yang bekerja pada area diarsir harus ditahan oleh

gesek internal dalam area yang diarsir ini:

qs1 h ‐ 4cu  h  cuL ...pers (2.17)

jika geotekstil harus menahan sebaran lateral timbunan dan gerakan tanah

pondasi, maka gaya tarik yang bekerja pada geotekstil adalah :

Ttotal = T1 + T2 ...pers (2.18)

Untuk menghitung kuat tarik ultimit geotekstil digunakan rumus :

  

 

D CR ID

u total

RF x RF x RF T

T 1 ...pers (2.19)

dimana :

(43)

RFID = faktor reduksi kerusakan pada waktu pelaksanaan = 1,1

RFCR = faktor reduksi akibat rayapan = 2,0

RFD = faktor reduksi akibat zat kimia dan biologi = 1,1

2.2.4 Sifat-sifat Mekanik

Sifat-sifat mekanik geotekstil terdiri dari kuat tarik, kuat tarik serobot,

kuat tarik terkekang, kemudahmampatan, kuat pelipit/ jahitan, kuat lelah, kuat

tumbuk, kuat jebol dan prilaku gesekan. Dalam hitungan sifat-sifat mekanik

tersebut dalam studi ini hanya dibahas 2 sifat mekanik ;

1. Kuat tarik serobot (grab tensile strength)

2. Kekuatan tipe pilipit/ jahitan

1. Kuat tarik serobot (grab tensile strength)

Geotekstil, bila digunakan sebagai pemisah, salah satu gaya tarik yang

bekerja adalah tarikan searah bidangnya. Dalam pekerjaan jalan raya,

posisi geotekstil biasanya terjepit di antara agregat batuan lapis pondasi

dan tanah dasar di bawahnya. Tegangan tarik searah bidang, terjadi bila

agregat bagian atas yang dalam kontak dengan geotekstil dipaksa

bergerak menyamping. Kondisi ini analog dengan gaya tarik akibat

serobot (grab). Gambar 2.6 mengilustrasikan analogi gaya tarik pada

geotekstil yang terjadi pada uji tarik serobot (grab tensile test).

d

d s d

(44)

a) Dalam Kenyataan

b) Analogi uji tarik serobot

Gambar 2.6 Geotekstil Mengalami Tegangan Tarik Ketika Beban Bekerja di Permukaan Lapis Pondasi

Bila diasumsikan s = d/2, dengan d adalah diameter butiran, nilai

regangan maksimum dapat dinyatakan oleh :

% 100 / 0 0 1 0 x l l l l

l  

  

 

  

100% 33%

) 2 / ( 3 2 / 3 2 / 2     x d d d d

Regangan geotekstil terjadi sebelum mengalami penggelinciran,

seperti pada kasus geotekstil nir-anyam. Nilai Ɛ = 33% diberikan hanya

berupa hipotetikal. Untuk geotekstil anyam, nilai regangan 33% menjadi

terlalu besar.

Gaya tarik yang termobilisasi dalam geotekstil atau kuat tarik serobot

oleh akibat tekanan batuan adalah :

 

 

f

d p T v 2 ) ( '

(45)

 

  

y b b

y f

2 2 4 1

 ...pers (2.21)

Dimana :

T = gaya tarik yang termobilisasi (kN)

P’ = tekanan yang bekerja

dv = diameter rongga maksimum batuan ≈ 0,33 da (m)

da = diameter rata-rata batuan (m)

 

f  = fungsi regangan dari geotekstil yang terdeformasi b = lebar rongga batuan (m)

y = deformasi ke dalam rongga pori batuan (m)

Tekanan p’ pada kedalaman h dari permukaan menggunakan rumus :

) 2 ( ) 2 ( 2 '

  L htg tg

h B

P p

 

   ...pers (2.22)

Dimana :

P = beban gandar = pc BL (kN)

pc = tekanan ban (kN/m2)

h = tebal lapis agregat batuan

α = sudut penyebaran beban vertikal (derajat)

L = panjang bidang kontak (m)

B = lebar bidang kontak (m)

B

pc

L

h

α

(46)

Gambar 2.7 Penyebaran Beban Kendaraan

Beban (P) disebarkan mengikuti penyebaran tekanan yang bersudut α

terhadap vertikal. Bidang kontakekivalen ban di atas permukaan jalan,

adalah B x L.

Untuk lalu lintas jalan raya :

c

p P

B , dengan L = 0,707 B ...pers (2.23)

Untuk kendaraan berat dengan roda lebar dan ganda :

c

p P

B 2 , dengan L = 0,5 B ...pers (2.24)

2. Kekuatan tipe pilipit/ jahitan

Geotekstil umumnya dikemas dalam gulungan yang panjangnya

terbatas. Oleh karna itu, dalam aplikasinya di lapangan geotekstil sering

harus disambung. Di lapangan, penyambungan lembaran geotekstil satu

dengan yang lain sering dilakukan dengan mempelipit atau membuatnya

overlap. Penyambungan dengan overlap lebih sederhana, tapi banyak

material yang terbuang. Lagi pula, bila penyambungan dengan overlap

ini tidak dilakukan dengna hati-hati, maka hasiknya tidak efektif. Bila

penyambungan dilakukan dengan overlap, biasanya dibutuhkan panjang

(47)

overlap minimum 0,5 m, dan lebih baik lagi 1 m (khususnya bila pekerjaan di dalam air).

Teknik penyambungan dengan pelipit, biasanya dijahit, dijepret,

diikat, dipanasi atau dilem. Penyambungan dengan pelipitan

dimaksudkan untuk memberikan keseragaman kekuatan di sepanjang

geotekstil. Umumnya, penyambungan dilakukan dengan yang dijahit,

karena di lapangan tersedia mesin jahit yang dapat dibawa-bawa. Teknik

penyambungan dengan pemanasan dan pengeleman biasanya jarang

dilakukan. Tipe penyambungan mana saja yang digunakan, harus

menjamin kekuatan jangka panjangnya, yaitu kekuatan geotekstil harus

sama atau mendekati sama dengan kekuatan geotekstil yang utuh.

Efisiensi pelipit/ jahitan dinyatakan oleh persamaan :

% 100 (%)

) (

) (

x T

T E

geotekstil seam

 ...pers. (2.25)

Dimana:

E = efisiensi pelipit jahitan (%)

T(seam) = kuat pelipit/ jahitan (seam strength)

T(geotekstil) = kuat tarik geotekstil

Terdapat kecenderungan bahwa bila kuat tarik geotekstil semakin

tinggi, maka efisiensi pelipit jahitan menjadi rendah. Bila kuat tarik

geotekstil di atas 50 kN/m, efisiensi kuat tarik pelipit bisa lebih rendah

dari 75%, dan bila kuat tariknya di atas 200 sampai 250 kN/m, maka

efisiensinya sekitar 50%. Kisaran efisiensi pelipit jahitan yang diambil

(48)

yang mempunyai kuat tarik tinggi, penyambungan lebih baik adalah

dengan cara dilem, misalnya dengan epoxi, resin atau pengikat mekanis.

[image:48.595.158.506.449.775.2]

Prosedur uji kuat pelipit tercantum dalam ASTM D4884.

Tabel 2.2 Efisiensi Pelipit/ Jahitan

Kuat tarik geotekstil tanpa Pelipit (kN/m)

Kuat tarik geotekstil dengan Pelipit (kN/m)

Efisiensi pelipit (%)

50 30 – 45 0,60 – 0,90

100 60 – 75 0,60 – 0,75

150 80 – 125 0,55 – 0,85

200 100 – 150 0,50 – 0,75

250 100 – 175 0,40 – 0,70

> 300 100 – 190 0,30 – 0,60

Sumber : Geosintetik untuk Rekayasa Jalan Raya “Christady H” Edisi pertama Hal 26

a) Tipe-tipe pelipit/ jahitan

b) Arah jahitan

25 cm

25 cm 40 cm 25 cm

Pelipit datar Pelipit J Pelipit kupu-kupu

(49)

Gambar 2.8 Tipe-tipe Pelipit/ Jahitan dan Arah Jahitan

Bagian sambungan, karena umumnya kekuatannya lebih kecil dari

kekuatan aslinya, merupakan titik lemah yang harus mendapat perhatian.

Jika geotekstil berfungsi sebagai tulangan, maka penyambungan dalam

arah tegak lurus arah gaya umumnya dihindari. Selain itu, penyambungan

di ujung akahir dari lembaran geotekstil juga harus diperhatikan. Dalam

hal khusus, yaitu gaya yang besar harus ditahan bekerja dua arah, yaitu

ke arah memanjang maupun melintang, maka geotekstil dapat didobel,

satu lembar melayani satu arah gaya.

Pada umumnya, untuk geotekstil anyam, peyambungan dilakukan

dengan cara menjahitnya. Tabel 2.3 menunjukkan macam-macam bentuk

pelipit/ jahitan, kekuatan dan sifat ketahanan dengan tanah.

Tipe-tipe jahitan dan pelipit yang ditunjukkan dalam Gambar 2.8a.

Pelipit yang dililit (berbentuk “J”) lebih kuat dan ketat menahan tanah,

termasuk tanah bergradasi halus. Pelipit dijahit tunggal tidak cocok

digunakan pada area tanah berbutir halus.

Tabel 2.3 Macam-macam Bentuk Pelipit/ Jahitan, kekuatan dan Keketatan

Pelipit dijepret/ dijahit Pelipit overlap dijahit Deskripsi

Tunggal Dililit Tunggal Dililit

Bentuk

Kekuatan pelipit Dalam % dari kuat anyam

25 – 50 30 – 60 60 – 80 60 - 80

Keketatan tanah

Meragukan dalam tanah butir halus

Terjamin Meragukan Terjamin

(50)

2.3 Analisa Volume Lalu Lintas

Kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung dari komposisi

dan volume lalu lintas pemakai jalan pada segmen jalan Gresik –Lamongan

Sta 27+250 – 32+550, oleh karena itu dibutuhkan analisis data lalu lintas.

Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah

dan lebar lajur pada satu jalur jalan. Jenis kendaraan digunakan untuk

menentukan kelas beban atau MST (muatan sumbu terberat).

1. Kendaraan Rencana

a. Kendaraan ringan / kecil (LV) ; kendaraan bermotor dengan dua as 4

roda dengan jalan as 2,0 – 3,0 meter, seperti mobil penumpang,

pick-up, mikrolet.

b. Kendaraan sedang (MHV) ; kendaraan bermotor dengan dua gandar

dengan jarak 3,5 – 5,0 meter, seperti bus kecil, truk dengan dua as

enam roda.

c. Kendaraan berar / besar (LB-LT)

-Bus Besar (LB)

Bus dengan dua gandar atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 – 6,0

meter.

-Truk berat (LT)

Truk tiga gandar dan truk kombinasi, dengan jarak antar gandar

(gandar pertama dengan kedua) < 3,5 meter.

(51)

Komposisi lalu lintas mempengaruhi hubungan antara arus dan

kecepatan.

a. Satuan mobil penumpang (smp) adalah satuan arus lalu lintas dari

berbagai jenis kendaraan yang diubah menjadi kendaraan ringan, maka

kecepatan kendaraan ringan dan kapasitas (smp/jam) tidak terpengaruh

komposisi lalu lintas.

b. Ekivalensi mobil penumpang (emp) adalah faktor konversi berbagai

jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang sehubungan

dengan pengaruh prilaku lalu lintas. Dilihat pada tabel 2.4 dan 2.5

Tabel 2.4 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) untuk Dua Lajur Tak Terbagi (2/2 UD)

emp Tipe

Alinyemen

Arus Total

(kend/jam) MHV LB LT MC

< 6 m

MC 6-8 m

MC > 8 m

Gunung

0

450

900

≥ 1350

3,5 3,0 2,5 1,9 2,5 3,2 2,5 2,2 6,0 5,5 5,0 4,0 0,6 0,9 0,7 0,5 0,4 0,7 0,5 0,4 0,2 0,4 0,3 0,3 Datar 0 800 1350

≤ 1900

1,2 1,8 1,5 1,3 1,2 1,8 1,6 1,5 1,8 2,7 2,5 2,5 0,8 1,2 0,9 0,6 0,6 0,9 0,7 0,5 0,4 0,6 0,5 0,4

Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-44

Tabel 2.5 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) untuk Empat Lajur Tak Terbagi (4/2 UD)

emp Tipe Alinyemen Jalan Tak Terbagi Total (kend/jam)

MHV LB LT MC

Datar 0

(52)

3250

≥ 3950

1,6 1,3 1,7 1,5 2,5 2,0 0,8 0,5 Bukit 0 1350 2500 ≥3150 1,8 2,0 2,2 1,8 1,6 2,0 2,3 1,9 4,8 4,6 4,3 3,5 0,4 0,5 0,7 0,4 Gunung 0 1000 2000 ≥2700 2,3 2,9 2,6 2,0 2,2 2,6 2,9 2,4 5,5 5,1 4,8 3,8 0,3 0,4 0,6 0,3 Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-44

c. Faktor K adalah faktor pengubah dari LHRT menjadi arus lalu lintas

jam puncak atau arus rencana (QDH). Nilai normal k = 0,11 (MKJI hal

6-43).

d. Faktor F adalah faktor untuk mengubah arus dalam berbagai jenis

kendaraan menjadi arus ekivalen dalam satuan smp.

3. Pengendalian Lalu Lintas

Pengendalian kecepatan, pergerakan kendaraan berat, parkir, yang

akan mempengaruhi besarnya kapasitas jalan

2.3.1 Analisa Kebutuhan Pelebaran Jalan

Prosedur perhitungan kapasitas jalan dan ukuran kinerja yang

digunakan adalah untuk jalan luar kota. Pengertian segmen jalan luar kota

adalah suatu panjang jalan tanpa perkembangan yang menerus padaposisi

manapun.

Analisa kapasitas jalan adalah analisa arus lalu lintas maksimum yang

(53)

satuan mobil penumpang (smp) per jam. Analisa kapasitas jalan berfungsi

untuk mengontrol kondisi kapasitas eksisting jalan apakah diperlukan

pelebaran jalan atau tidak.

Pelebaran jalan dibuat apabila suatu jalan sudah tidak bias

menampung atau memenuhi kapasitas jalan yang ada, sehingga dapat

menimbulkan kemacetan lalu lintas dan mungkin terjadi kecelakaan.

2.3.2 Kapasitas Dasar (smp/jam)

Volume lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan pada bagian

jalan dalam kondisi tertentu. Titik dimana karakteristik jalan berubah, secara

otomatis menjadi batas segmen sekalipun tidak ada simpang di dekatnya.

Harga kapasitas dasar (Co) dapat ditentukan berdasarkan tabel 2.6 berikut :

Tabel 2.6 Kapasitas Dasar Jalan Luar Kota

Tipe Alinyemen Kapasitas Dasar Total Kedua arah

(smp/jam/lajur)

Datar 3100

Bukit 3000 Jalan

2/2 UD

Gunung 2900

Datar 1700

Bukit 1650 Jalan

4/2 UD

Gunung 1600

Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-65

1. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas

Faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas adalah

(54)

penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas tergantung dari lebar efektif lalu

[image:54.595.103.483.160.408.2]

lintas dan tipe jalan. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2.7 :

Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Kapasitas akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw).

Tipe Jalan

Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas (Wc)-(m)

(total kedua arah)

FCw

2 Lajur

Tak Terbagi

5 6 7 8 9 10 11

0,69 0,91 1,00 1,08 1,15 1,21 1,27 4 Lajur

Tak Terbagi

3 3 3,5

0,91 0,96 1,00

Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-66

2. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCsp).

Pemisah arah adalah pembagian arah arus pada jalan dua arah

dinyatakan sebagai persentase dan arus total pada masing-masing arah. Faktor

penyesuaian kapasitas akibat pemisahan arah dapat dilihat pada tabel 2.8

berikut :

Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kapasitas akibat Pemisah Arah (FCsp).

Pemisah Arah SP %-%

50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

2/2 UD 1,0 0,97 0,94 0,91 0,88

FCsp

4/2 UD 1,0 0,975 0,945 0,925 0,90

Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-67

(55)

Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping tergantung

pada llebar efektif bahu jalan dan kegiatan samping ruas jalan. Nilai dari

faktor hambatan samping dapat sebagai fungsi dari lebar bahu dapat dilihat

pada tabel 2.9 dan kelas hambatan samping pada tabel 2.10.

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kapasitas akibat Hambatan Samping (FCsf).

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping (FCsf) Lebar Bahu Efektif Tipe

Jalan

Kelas Hambatan

Samping ≤0,5 1,0 1,5 ≥2,0

2/2 UD 4/2 UD VL L M H VH 0,97 0,93 0,88 0,84 0,80 0,99 0,95 0,91 0,87 0,83 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 1,02 1,00 0,98 0,95 0,93

Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-68

Tabel 2.10 Kelas Hambatan Samping

Kelas Hambatan

Samping

Kode Frekuensi Berbobot Dari

Kejadian (Kedua Sisi) Kondisi Khas

Sangat Rendah VL < 50 Pedesaan: Pertanian

atau belum berkembang

Rendah L 50 – 150

Pedesaan: bangunan dan kegiatan samping

jalan

Sedang M 150 – 250 Kampung: kegiatan

pemukiman

Tinggi H 250 – 350 Kampung: Kegiatan

Pasar

Sangat Tinggi VH > 350

Hampir Perkotaan: banyak Pasar atau

kegiatan niaga Sumber : MKJI untuk Jalan Luar Kota 1997. Hal. 6-10

4. Kapasitas Pada Kondisi Lapangan

Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan

(56)

Rumus :

C = Co x FCw x FCsp x FCsf ...pers. (2.26)

Dimana :

C = Kapasitas (smp/jam)

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCw = Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas.

FCsp = Faktor Penyesuaian akibat pemisah arah.

FCsf = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping.

2.3.3 Derajat Kejenuhan (DS)

Derajat kejenuhan adalah rasio arus terhadap kapasitas digunakan

sebagai faktor dalam penentuan perilku lalu lintas pada suatu simpang atau

segmen jalan yang dihitung per jam. Batas maksimum derajat kejenuhan yaitu

0,75, apabila DS > 0,75, maka jalan tersebut perlu diadakan pelebaran jalan.

Namum bila DS< 0,75, maka jalan tersebut tidak perlu dilakukan pelebaran,

dikarenakan jalan tersebut masih mampu menampung jumlah kendaraan

selama umur rencana. Tetapi bias dilakukan pelebaran dengan cara

menaikkan kelas jalan tersebut, untuk menghitung derajat kejenuhan

digunakan rumus :

DS =

C Q

...pers.(2.27)

Q = jam puncak emp

Dimana :

DS = Derajat kejenuhan

(57)

C = Kapasitas (smp/jam)

K = Faktor LHRT

emp = Ekivalen mobil penumpang.

2.4 Perkerasan Jalan dengan Sistem Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Dalam merencanakan tebal perkerasan jalan yang harus diperhatikan

adalah mampu menyediakan lapisan permukaan yang kuat, mampu bertahan

sesuai umur rencana serta mempunyai nilai keamanan dan ekonomis.

Disamping itu masih ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan :

1. perkerasan harus cukup kuat memikul beban yang melintas di atasnya.

2. mampu menahan gaya gesekan dan rem roda kendaraan.

3. Tahan terhadap cuaca

Pada perencanaan jalan Gresik – Lamongan Sta 27+250 – 32+550

mengunakan perkerasan lentur dengan metode Analisa Komponen dari

Direktorat Jendral Bina Marga. Dalam perkerasan lentur biasanya terdiri atas

lapisan tipis berupa aspal atau bitumen yang digunakan untuk menerima

langsung beban roda kendaraan di atasnya.sedangkan bagian bawahnya terdiri

atas bagian subbase yang berfungsi sebagai pondasi dari perkersan ini.

2.4.1 Lapisan Perkerasan

Secara umum lapisan perkerasan terdiri dari:

Surface

(58)

Gambar 2.9 Susunan Lapis Perkerasan

a. Lapisan permukaan (surface course)

Merupakan lapisan paling atas dan berhubungan langsung dengan roda

kendaraan. Bahkan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih

tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan untuk lapisan bersifat kedap

air serta disesuaikan dengan kegunaan, umur rencana dan konstruksi.

Adapun fungsi lapisan permukaan, antara lain:

 Lapisan aus karena gesekan akibat rem kendaraan secara langsung

 Penyebaran beban dari atas ke lapisan bawah yang mempunyai daya

dukung lebih rendah.

Untuk memenuhi fungsi di atas, maka lapisan permukaan dibuat dengan

bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air

dengan stabilitas tinggi dan daya tahan lama.

b. Lapisan pondasi atas (base course) Lapisan ini berfungsi sebagai:

 Penahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan ke lapisan

bawah.

 Lapisan peresap untuk pondasi bawah.

 Peredam akibat beban yang menimpa lapisan permukaan.

c. Lapisan pondasi bawah (subbase course)

Lapisan ini berfungsi sebagai:

(59)

 Lapis peresapan agar air tidak menggenang di pondasi.

 Untuk efisiensi penggunaan material karena harga material pondasi

bawah lebih murah dari lapisan atas.

d. Lapisan tanah dasar (subgrade)

Sebagai lapisan paling bawah pada konstruksi perkerasaan lentur

kedalaman biasa mencapai 50-100 cm dari permukaan atas tanah. Apabila

daya dukung tanah dalam keadaan jelek maka tanah dasar itu harus

diganti material lain supaya mendapatkan daya dukung tanah yang baik.

2.4.2 Dasar Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya

Dalam suatu perencanaan jalan, agar tidak terjadi over desain atau

ketebalan perkerasan yang berlebihan, maka perlu diadakan perhitungan

berdasarkan data-data yang ada. Untuk perencanaan jalan ini dipakai metode

analisa komponen dari Bina Marga dengan memperhitungkan

besaran-besaran rencana seperti berikut:

a. Umur rencana

Umur rencana perkerasan jalan adalah tahun saat jalan itu dibuka untuk

lalu lintas kendaraan sampai diperlukan perbaikan yang bersifat struktural

seperti lapis ulang (overlay). Umur rencana untuk perkerasan lentur jalan baru umumnya diambil 10 tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun.

b. Lalu Lintas

Besaran rencana yang diperlukan dari data lalu lintas yang diperoleh

antara lain:

(60)

4 4 5

Y Y Y X  

Langkah-langkah yang ditempuh dalam menghitung pertumbuhan

lalu-lintas untuk masing-masing jenis kendaraan dengan cara regresi

antara lain :

1. Dari data masing-masing jumlah kendaraan bermotor dapat

diperoleh grafik dan persamaan regresi.

2. Cek grafik dengan cara menghitung persamaan regresi tersebut.

3. Dari persamaan regresi dapat diperoleh prediksi pertumbuhan

masing-masing jenis kendaraan untuk 3 tahun (2008 - 2010) dan

dapat direncanakan untuk umur 10 tahun mendatang. Dari hasil

hitungan persamaan regresi dapat diperoleh pertumbuhan tiap

kendaraan untuk tiap tahun dengan rumus:

0 0 1

Y Y Y

X   ...Pers (2.28)

4. Dengan jumlah hasil dari hitungan persamaan pertumbuhan lalu

lintas pada tiap kendaraan untuk masing-masing tahun dapat

diperoleh pertumbuhan lalu lintas (i), dengan menggunakan

rumus, hasil dari rata-rata pertumbuhan lalu lintas (i)

5.

n X

i

...Pers. (2.29)

6. Diubah kedalam bentuk persen (%).

7. F = P x (1 + i )n ...Pers. (2.30)

Dimana :

F = prediksi lalu lintas

(61)

i = pertumbuhan lalu lintas

n = umur rencana

 Perhitungan Angka Ekivalen (E)

Sumbu Tunggal =

4 8160 ) (   

bebansumbutunggal kg

...pers (2.31)

Sumbu Ganda = 0,086

4 8160 ) (   

bebansumbutunggal kg

...pers (2.32)

 Lintas Ekivalen

Salah satu penyebab kerusakan pada jalan adalah repetisi dari lintasan

kendaraan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jumlah repetisi

beban kendaraan yang memakai jalan. Repetisi beban dinyatakan

dalam lintasan sumbu standar suatu lintas ekivalen, yang dibedakan:

 Lintas Ekivalen Umur Rencana (LEP)

n j

j i

j xC xE

LHR LEP

1

...pers (2.33)

 Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

  n j j i HR

j x i xC xE

LHR LEA

1

) 1

( ...pers (2.34)

 Lintas Ekivalen Tengah (LET)

...pers (2.35)

 Lintas Ekivalen Rencana (LER)

FP x LET

LEA ...pers (2.36)

10

LR

FP ...pers (2.37)

2

LEA LEP

(62)

FP = faktor penyesuaian

c. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) pada Jalur Rencana

Jalur rencana merupakan salah satu jalur dari suatu ruas jalan yang

menampung lalu lintas. Koefisien distribusi kendaraan (C) merupakan

persentase kendaraan berat maupun ringan yang melewati jalur rencana

dapat dilihat pada Tabel 2.11 berikut

Tabel 2.11Distribusi Kendaraan (C)

Kendaraan ringan Kendaraan berat Jumlah jalur

1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah

1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,00

2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,50

3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475

4 lajur - 0,30 - 0,45

5 lajur - 0,25 - 0,425

6 lajur - 0,20 - 0,40

Sumber : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga

 Berat total <5 ton, misal : sedan, pick-u

Gambar

Gambar 2.5   (a) Stabilitas Pondasi   (b) Stabilitas Internal pada Tanah Pondasi yang Terperas Keluar
Tabel 2.2 Efisiensi Pelipit/ Jahitan
Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Kapasitas akibat Lebar Jalur Lalu Lintas
Tabel 2.13 Distribusi Beban sumbu dari Berbagai Jenis Kendaraan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan perencanaan perkerasan lentur yang dikerjakan dengan metode konstruksi bertahap, maka di dapat lajur untuk ruas jalan Durenan-Bandung- Besuki sebanyak 2 lajur

a) Faktor-faktor risiko apa saja yang berpengaruh terhadap kinerja mutu proyek pada tahap pelaksanaan proyek jalan perkerasan lentur (Flexible Pavement) pada kontraktor di

Didalam penulisan laporan akhir ini, penulis melakukan perencanaan ulang bagaimana yang baik dalam merencanakan desain geometrik, konstruksi perkerasan lentur, kelas jalan,

Penyusunan Laporan Akhir ini berjudul “Perencanaan Geometrik dan Tebal Perkerasan Lentur Pada Ruas Jalan Batas Kota Palembang – Tanjung Api- api STA 27+000 – STA

Di dalam penulisan laporan akhir ini, penulis melakukan perencanaan ulang bagaimana yang baik dalam merencanakan desain geometrik, konstruksi perkerasan lentur,

Tugas Akhir ini berjudul “PERENCANAAN PEMBUATAN TAXIWAY BRAVO DENGAN MENGGUNAKAN PERKERASAN LENTUR DI SATUAN PELAYANAN BANDAR UDARA NGLORAM BLORA”, diajukan untuk memenuhi

Pada perencanaan perkerasan lentur di ruas Jalan Agen Polisi II Peril ini menggunakan perkerasan lentur metode analisa komponen Bina Marga dengan umur rencana

Dari hasil perhitungan perencanaan perkerasan lentur yang dikerjakan dengan metode konstruksi bertahap, maka di dapat lajur untuk ruas jalan Durenan-Bandung- Besuki sebanyak 2 lajur