i TESIS
ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM
PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE
ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS
(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI
SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)
IDA BAGUS MADE ARTAMANA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
i TESIS
ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM
PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE
ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS
(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI
SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)
IDA BAGUS MADE ARTAMANA NIM 1091561004
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
ii
ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM
PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE
ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS
(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI
SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Teknik Sipil
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA BAGUS MADE ARTAMANA NIM 1091561004
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 23 JUNI 2016
Pembimbing I,
Putu Alit Suthanaya, ST., MEngSc., PhD NIP. 19690805 199503 1 001
Pembimbing II,
D.M. Priyantha Wedagama, ST.,MT.,MSc.,PhD. NIP. 19700303 199702 1 005
Mengetahui :
Ketua Program Studi Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Putu Alit Suthanaya, ST., MEngSc., PhD NIP. 19690805 199503 1 001
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
iv
Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis
Tesis ini telah diuji pada Tanggal 23 Juni 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : Nomor: 2900/UN.14.4/HK/2016, Tanggal 20 Mei 2016
Ketua : Putu Alit Suthanaya, ST, MEngSc, Ph.D Anggota :
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : IDA BAGUS MADE ARTAMANA
NIM : 1091561004
PROGRAM STUDI : TEKNIK SIPIL KONSENTRASI TRANSPORTASI JUDUL TESIS : ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM
PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 24 Juni 2016
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas asung kertha wara nugraha-Nya tesis ini yang berjudul “Analisis Prioritas Pada Program Pemeliharaan Jembatan Dengan Metode Analythical Hierarchy Process (Studi Kasus: Pemeliharaan Jembatan Pada Satker PJN Metropolitan Denpasar” dapat diselesaikan. Terwujudnya hasil penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu disampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD selaku Rektor Universitas Udayana, Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Bapak Putu Alit Suthanaya, ST, MEng.Sc, Ph.D selaku dosen pembimbing I dan Bapak D. M. Priyantha Wedagama, ST., MT., MSc., PhD. sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga diucapkan kepada seluruh staff administrasi dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas dukungannya. Terima kasih kepada Ayah dan mendiang Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dan kepada istri tercinta Ida Ayu Gde Kurnia Jayanti, ST.,M.,Si serta ananda tersayang Ida Bagus Erlangga Adityanatha yang dengan penuh perhatian dan pengorbanan memberikan penulis kesempatan berkonsentrasi untuk belajar menyelesaikan tulisan ini.
vii
ANALISIS PRIORITAS PADA PROGRAM PEMELIHARAAN JEMBATAN DENGAN METODE ANALYTICAL HEIRARCHY PROCESS
(STUDI KASUS: PEMELIHARAAN JEMBATAN DI SATKER PJN METROPOLITAN DENPASAR)
ABSTRAK
Untuk menjaga dan mempertahankan kondisi jembatan agar tetap dalam kondisi fungsional, maka diperlukan pemeliharaan jembatan. Permasalahan serius di negara berkembang seperti Indonesia adalah keterbatasan dana dalam alokasi anggaran. Untuk mengatasi minimnya dana yang tersedia, maka diperlukan suatu prioritas dalam penyusunan program pemeliharaan jembatan agar dana yang tersedia dapat teralokasi secara efisien dan tepat sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan struktur hirarki dan menentukan ukuran kuantitatif dari masing-masing kriteria dan subkriteria pada struktur hirarki untuk menyusun skala prioritas dengan mengambil studi kasus di Satker PJN Metropolitan Denpasar.
Penelitian ini menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penyusunan prioritasnya. Data sekunder dikompilasi dari instansi yang terkait antara lain BPJN VIII, Satker PJN Metropolitan Denpasar dan Satker P2JN Provinsi Bali. Berdasarkan data sekunder yang terkumpul dan hasil kajian pustaka termasuk buku-buku dan jurnal, disusun struktur hirarki. Kuesioner digunakan pada pengumpulan data primer untuk mendapatkan nilai perbandingan berpasangan antar kriteria dari struktur hirarki. Kuesioner disebarkan dengan teknik purposive sampling, dengan responden para pakar program pemeliharaan jembatan.
Struktur hirarki yang didapat dalam penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) level. Level-1 adalah tujuan, yaitu penentuan skala prioritas pemeliharaan jembatan, level-2 adalah kriteria dan level-3 merupakan subkriteria yang mempengaruhi kriteria pada level-2. Kriteria yang berpengaruh dalam penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan antara lain: i). kriteria sistem jaringan (subkriterianya yaitu: kondisi jembatan (A1), fungsi jembatan (A2) dan material penyusun bangunan atas jembatan (A3)), ii). kriteria sistem kelembagaan (subkriterianya antara lain biaya pemeliharaan (B1), tertuang dalam renstra (B2) dan sejarah pemeliharaan jembatan (B3)), iii).kriteria sistem tata guna lahan (subkriterianya antara lain: menuju kawasan strategis transportasi (C1), menuju kawasan strategis pariwisata (C2) dan menuju kawasan strategis tempat suci/warisan budaya dan alam (C3)) serta iv).kriteria sistem pergerakan dengan sub kriteria LHR (D1) dan penyempitan jalan (D2).
Bobot pengaruh kuantitatif masing-masing subkriteria A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3, D1 and D2 masing-masing adalah sebagai berikut: 23.74%, 7.05%, 5.01%, 4.13%, 3.87%, 6.39%, 12.40%, 5.22%, 5.38%, 10.61% dan 16.19%. Dari bobot tersebut diperoleh formula perhitungan skor prioritas pemeliharaan jembatan dengan formulasi Y = 23,74A1 + 7,05A2 + 5,01A3 + 4,13B1 + 3,87B2 + 6,39B3 + 12,4C1 + 5,22C2 + 5,38C3 + 10,61D1 + 16,19D2. Dengan hasil 19 jembatan menempati skala prioritas sangat tinggi, 16 jembatan dengan skala prioritas tinggi, 19 jembatan dengan skala prioritas sedang, 15 jembatan dengan skala prioritas rendah dan 17 jembatan dengan skala prioritas sangat rendah.
viii
PRIORITY ANALYSIS ON BRIDGE MAINTENANCE PROGRAM USING ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS METHOD
(CASE STUDY: BRIDGE MAINTENANCE IN WORK UNIT FOR IMPLEMENTATION OF NATIONAL ROAD IN DENPASAR
METROPOLITAN)
ABSTRACT
Bridge maintenance is required to keep the bridge functioned. A main problem faced in developing countries including Indonesia is the financial constraint in budget allocation. To overcome this, a priority analysis is required within bridge maintenance program to allocate funds efficiently and to achieve the program objective effectively. The study aims to analyse a hierarchical structure of the respective quantitative criteria and sub-criteria and to determine priority scales by using a case study in Work Unit for Implementation of National Road in Denpasar Metropolitan.
This study employs Analytical Hierarchy Process (AHP) method to analyse the program priority. Secondary data are collected from the relevant agencies such as BPJN VIII, Work Unit for Implementation of National Road in Denpasar Metropolitan and Work Unit of P2JN for Bali Province. These secondary data and several literatures including books and journals are subsequently considered to construct the hierarchical structure. Questionnaires are used to collect the primary data and to obtain a comparison value between the paired criteria of the hierarchical structure. Questionnaires are distributed by purposive sampling technique and used to interview the experts on bridge maintenance program.
A hierarchical structure drawn for this study consists of three (3) levels. Level-1 describes the goal i.e. the determination of bridge maintenance priority scales. Level-2 consists of the criteria while Level-3 comprises of sub-criteria which in return has an effect on those criteria at L:evel-2. The influential criteria in the preparation of bridge maintenance priority contain i). network system criteria consisting the sub-criteria of bridge conditions (A1), bridge function (A2) and material constituent building over bridges (A3)), ii). institutional criteria systems consisting sub-criteria of maintenance cost (B1), strategic planning (B2) and bridge maintenance history (B3)), iii). land use criteria comprising towards transportation strategic areas (C1), towards tourism strategic areas (C2) and towards sanctuaries/cultural heritage and nature strategic areas (C3)) and iv). system movement criteria taking in sub-criteria of average daily traffic (D1) and road narrowing (D2).
The quantitative weight on each sub-criteria of A1, A2, A3, B1, B2, B3, C1, C2, C3, D1 and D2 are 23.74%, 7.05%, 5.01%, 4.13%, 3.87%, 6.39%, 12.40%, 5.22%, 5.38%, 10.61% and 16.19% respectively. Using these weights, the equation to determine the bridge maintenance priority is obtained as Y = 23,74A1 + 7,05A2 + 5,01A3 + 4,13B1 + 3,87B2 + 6,39B3 + 12,4C1 + 5,22C2 + 5,38C3 + 10,61D1 + 16,19D2. As the results, 19 bridges occupies the very high priority scale, 16 bridges with high priority scale, 19 bridges on a scale of being priority, 15 bridges with a scale of low priority and 17 bridges with very low priority scale.
x
2.2.4 Pemeliharaan jembatan ... 16
2.2.5 Penilaian kondisi jembatan ... 17
2.2.6 Panjang dan lebar jembatan ... 19
2.3 Sistem Transportasi Makro ... 20
2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di Provinsi Bali ... 24
2.4.1Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali... 24
2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali .... 25
2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi Bali ... 26
2.5 Analisis Multikriteria ... 29
2.5.1 Penentuan Skala Prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP) ... 33
2.5.2 Nilai dan definisi pendapat kuantitatif... 37
2.5.3 Proses-proses dalam metode analytical hierarchy process.. 38
2.5.4 Matrik perbandingan berpasangan... 39
2.5.5 Perhitungan bobot elemen... 40
2.5.6 Perhitungan konsistensi dalam metode AHP...... 41
2.5.7 Penggabungan pendapat responden ... 44
2.5.8 Model matematis penentuan skala prioritas ... 45
2.6 Populasi dan Sampel ... 46
2.6.7 Teknik pengumpulan data... 54
2.7 Kuesioner... 56
2.7.1Masalah-masalah mendasar dalam penyusunan kuesioner 57
xi
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ... 70
xii
5.1.4 Material penyusun bangunan atas jembatan di lokasi studi 101
5.1.5 Biaya pemeliharaan jembatan ... 102
5.1.6 Rencana strategis ... 103
5.1.7 Data sejarah jembatan ... 103
5.1.8 Data lalu lintas harian rata-rata ... 105
5.1.9 Data jembatan yang menjadi penyebab penyempitan jalan 105
5.2 Pengumpulan Data Primer ... 106
5.2.1 Pertanyaan analisis AHP pada Level-2 ... 107
5.2.2.Rekapitulasi jawaban responden pada Level-2 ... 108
5.2.3 Pertanyaan analisis AHP pada Level-3 ... 113
5.2.4 Rekapitulasi jawaban responden pada Level-3A ... 115
5.2.5 Rekapitulasi jawaban responden pada Level-3B ... 118
5.2.6 Rekapitulasi jawaban responden pada Level 3C ... 121
5.2.7 Rekapitulasi jawaban responden pada Level 3D ... 124
5.3 Ukuran Kuantitatif Masing-Masing Kriteria ... 125
5.3.1 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 2 ... 125
5.3.2 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3A... 128
5.3.3 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3B... 131
5.3.4 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3C... 133
5.3.5 Ukuran kuantitatif masing-masing kriteria pada level 3D... 136
5.3.6 Rekapitulasi ukuran kuantitatif masing-masing kriteria ... 138
5.4 Perhitungan Skor Prioritas Pemeliharaan Jembatan ... 139
5.5 Pengelompokan Skala Prioritas ... 142
xiii
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 150
6.1 Simpulan ... 150
6.2 Saran ... 152
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan ... 19
Gambar 2.2 Sistem Transportasi Makro... 21
Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria ... 30
Gambar 3.1 Model Struktur Hirarki ... 73
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 76
Gambar 4.2 Struktur Hirarki Penelitian ... 88
Gambar 5.1 Fungsi Jembatan pada Jalan Nasional di Lokasi Studi ... 100
Gambar 5.2 Material penyusun bangunan atas jembatan di Lokasi Studi .. 101
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan ... 12
Tabel 2.2 Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan ... 18
Tabel 2.3 Nilai dan Definisi Pendapat Kuantitatif dalam Skala Perbandingan Saaty... 38
Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen... 40
Tabel 2.5 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan... 41
Tabel 2.6 Konsistensi Matrik... 42
Tabel 2.7 Nilai Random Indek ... 43
Tabel 2.8 Kriteria yang Digunakan pada Penelitian Sebelumnya ... 67
Tabel 4.1 Struktur Hirarki pada Penelitian Sebelumnya ... 87
Tabel 5.1 Sebaran Jembatan pada Jalan Nasional di Kota Metropolitan Denpasar ... 97
Tabel 5.2 Kondisi Jembatan pada Jalan Nasional di Kota Metropolitan Denpasar ... 98
Tabel 5.3 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-2 ... 112
Tabel 5.4 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3A... 117
Tabel 5.5 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3B... 120
Tabel 5.6 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3C... 123
Tabel 5.7 Matrik Perbandingan Berpasangan AHP Level-3D... 125
Tabel 5.8 Rekapitulasi Hasil Analisis Ukuran Kuantitatif ... 139
xvi
DAFTAR SINGKATAN
PJN = Pelaksanaan Jalan Nasional AHP = Analytical Hierarchy Process BPJN = Balai Pelaksanaan Jalan Nasional
P2JN = Perencanaan dan Pelaksanaan Jalan Nasional Satker = Satuan Kerja
BMS = Bridge Management System DOS = Disk Operating System
GTI = Gelegar Beton Bertulang Indonesia PU = Pekerjaan Umum
KSPN = Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
UNESCO = United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization SK = Surat Keputusan
RMSD = Root Mean Square Deviation MAD = Median Absoolute Deviation LHR = Lalu-lintas Harian Rerata
DIPA = Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran CR = Consistency Ratio
JAP = Jalan Arteri Primer JKP = Jalan Kolektor Primer PKN = Pusat Kegiatan Nasional PKW = Pusat Kegiatan Wilayah
PKSN = Pusat Kegiatan Strategis Nasional RKP = Rencana Kerja Pemerintah
RPJM = Rencana Program Jangka Menengah PP = Peraturan Pemerintah
Sp = Simpang
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran A.1 Peta Ruas Jalan Nasional Metropolitan Denpasar ... 157 Lampiran A.2 Peta Jembatan pada Ruas Jalan Nasional Metropolitan
Denpasar ... 158 Lampiran B.1 Data Responden Penelitian ... 159 Lampiran B.2 Kuesioner Penelitian ... 161 Lampiran C.1-1 Data Dasar Jembatan Di Jalan Nasional Kota
Metropolitan Denpasar ... 169 Lampiran C.1-2 Data Kondisi Jembatan Di Jalan Nasional Kota
Metropolitan Denpasar ... 174 Lampiran C.1-3 Data Fungsi Jembatan Di Jalan Nasional Kota
Metropolitan Denpasar ... 177 Lampiran C.1-4 Data Jenis Material Penyusun Bangunan Atas Jembatan 180 Lampiran C.1-5 Data Alokasi Biaya Pemeliharaan Jembatan TA.2015 … 183 Lampiran C.1-6 Data Jembatan Dalam Renstra Jembatan 2015 ……...…. 186 Lampiran C.1-7 Data Umur Jembatan Di Jalan Nasional Kota
Metropolitan Denpasar ... 189 Lampiran C-1.8 Data Konektivitas Jembatan Menuju Kawasan Strategis
Transportasi ………..………… 192
Lampiran C-1.9 Data Konektivitas Jembatan Menuju Kawasan Strategis
Pariwisata ……….……… 196
Lampiran C-1.10 Data Konektivitas Jembatan Menuju Kawasan Tempat
Suci/ Budaya/ Alam ….……… 199 Lampiran C.1-11 Data Lalu Lintas Harian Rata-Rata …….…... 204 Lampiran C-1.12 Data Lebar Jembatan dan Lebar Jalur Lalu Lintas Jalan
xviii
Lampiran C.2-4 Penilaian Berpasangan Subkriteria AHP pada Level-3C . 217 Lampiran C.2-5 Penilaian Berpasangan Subkriteria AHP pada Level-3D 219 Lampiran D.1 Skor Skala Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di Satker
PJN Metropolitan Denpasar ……... 221 Lampiran D.2 Susunan Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di Satker PJN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jaringan jalan nasional dikembangkan melalui pendekatan pengembangan
wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan
dan keamanan nasional. Jalan juga membentuk struktur ruang dalam rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Jaringan jalan berfungsi baik jika
jalan, bangunan-bangunan pelengkap dan perlengkapannya dipelihara dengan
baik. Salah satu bangunan pelengkap jalan adalah jembatan.
Jembatan merupakan fasilitas infrastruktur yang vital bagi kelangsungan
perkembangan kegiatan sosial dan ekonomi suatu wilayah. Jembatan merupakan
bagian sistem transportasi yang menjadi pengontrol kapasitas sistem. Jembatan
merupakan struktur paling mahal per kilometer sistem dan keruntuhannya akan
menyebabkan keruntuhan sistem transportasi itu sendiri. Pelayanan suatu ruas
jalan sangat tergantung pada kemampuan jembatan terlemah yang ada pada jalan
tersebut (Supriyadi dan Muntohar, 2007).
Seiring dengan pertambahan usia jembatan maka semakin lemah kondisi
pelayanan suatu jembatan. Untuk menjaga dan mempertahankan kondisi jembatan
agar tetap dalam kondisi fungsional maka diperlukan pemeliharaan jembatan.
Pemeliharaan jembatan terdiri dari pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala,
2
memelihara pencapaian umur rencana dan untuk meminimalkan potensi
kerusakan jembatan, sehingga dapat memberikan pelayanan yang layak. Sebagai
infrastruktur vital yang mahal, maka pemeliharaan jembatan memerlukan biaya
yang tidak murah. Permasalahan serius di negara berkembang seperti Indonesia
adalah keterbatasan dana dalam alokasi anggaran. Padahal infrastruktur jembatan
dibangun dengan investasi tinggi dan sangat berpengaruh terhadap aksesibilitas
dan tingkat kesejahteraan suatu daerah. Robohnya Jembatan Mahakam II di Kutai
Kartanegara, pada tanggal 26 November 2011 (Kompas, 2011), amblasnya
Jembatan Comal di Pemalang, pada 18 Juli 2014 (Tempo, 2014) dan runtuhnya
Jembatan Tukad Keladian di Jembrana pada tanggal 23 Januari 2016 (Balipost,
2016), telah mengingatkan betapa pentingnya peranan jembatan dalam sistem
jaringan jalan. Untuk mengatasi minimnya dana yang tersedia, maka diperlukan
suatu prioritas dalam penyusunan program pemeliharaan jembatan agar dana yang
tersedia dapat teralokasi secara efisien dan tepat sasaran.
Sejak tahun 1993, penyelenggara jalan yaitu Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Bina Marga telah
mengembangkan suatu sistem untuk pemeriksaan, pencatatan, perencanaan,
penyelidikan, pembuatan desain, pemeliharaan, pengawasan pelaksanaan
konstruksi, suplai serta penyimpanan material jembatan yang disebut Bridge
Management System (BMS) atau Sistem Manajemen Jembatan. Namun sistem ini
belum dapat diterapkan dengan maksimal karena terdapat banyak kendala dalam
pengoperasiannya. Menurut Sucipto (2004), BMS memiliki banyak kelemahan
3
pengelolaan jembatan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: tidak
terjaganya data histori, tidak mencakup data berupa foto dan gambar, pembaruan
data kurang real time, bekerja pada stand-alone computer dengan sistem operasi
DOS, dan informasi yang dihasilkan hanya diketahui oleh pengelola jembatan
saja. BMS saat ini praktis hanya difungsikan sebagai suatu sistem informasi untuk
inventarisasi dan pencatatan pemeriksaan jembatan.
Pada saat ini penyusunan program pemeliharaan jembatan hanya
diprioritaskan berdasarkan nilai kondisi jembatan, dimana jembatan yang
memiliki nilai kondisi yang tinggi (rusak) akan mendapatkan prioritas utama
untuk ditangani. Jika terdapat beberapa jembatan yang rusak dan anggaran
terbatas maka akan terjadi permasalahan dalam penentuan prioritas, karena hanya
satu kriteria yang dipakai dalam penyusunan prioritas. Menurut Wiyono (2011),
selain nilai kondisi jembatan terdapat kriteria lain yang berpengaruh dalam
penentuan prioritas pemeliharaan jembatan, seperti tingkat kepadatan lalu lintas,
aksesibilitas jembatan, biaya pemeliharaan dan sistem pengadaan barang dan jasa.
Ompusunggu (2009), menyebutkan bahwa kriteria finansial, kriteria transportasi,
kriteria sosial dan kriteria teknik juga mempengaruhi prioritas pemeliharaan
jembatan. Faktor-faktor tersebut bersifat multikriteria sehingga diperlukan suatu
metode yang sesuai untuk menganalisis permasalahan yang memiliki aspek
multikriteria.
Dari beberapa metode yang umum dipakai dalam analisis multikriteria,
metode AHP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan metode lain salah satu
4
(ukuran kuantitatif) dalam metode AHP akan didapat langsung dari hasil analisis,
sedangkan pada metode lain bobot kriteria (ukuran kuantitatif) ditetapkan terlebih
dahulu sehingga ukuran yang ditetapkan tersebut sebelum dipakai sebagai
instrumen/ alat ukur, harus dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas terlebih
dahulu. Kelebihan tersebut diatas menyebabkan Metode AHP paling tepat
digunakan dalam penelitian ini. Instrumen penelitian akan menggunakan
kuesioner dengan teknik purposive sampling. Kuesioner disebarkan kepada
responden ahli yang dipilih berasal dari stakeholder yang terkait dengan topik
penelitian.
Penelitian ini mengambil studi kasus pada pemeliharaan jembatan pada
Satker PJN Metropolitan Denpasar. Satker PJN Metropolitan Denpasar mengelola
jaringan jalan nasional perkotaan yang tersebar di Denpasar, Badung, Gianyar,
Buleleng, Klungkung dan Tabanan dengan panjang 215,86 Km, termasuk 86 buah
jembatan dengan bentang bervariasi antara enam meter sampai dengan 300 m.
Pada satuan kerja ini banyak turun alokasi dana pemeliharaan jembatan yang
kurang tepat sasaran, dimana jembatan berkondisi baik malah terprogramkan dan
jembatan berkondisi rusak tidak mendapatkan pemeliharaan. Salah satu contohnya
adalah Tahun Anggaran 2014, pada unit kerja dimaksud turun anggaran
pemeliharaan berkala Jembatan Tukad Mati I dan Tukad Yeh Ge padahal setelah
disurvai ke lapangan pada jembatan tersebut hanya memerlukan pemeliharaan
rutin saja. Sementara Jembatan Tukad Mati IV dan Jembatan Tukad
Udang-Udang yang memerlukan pemeliharaan berkala tidak dialokasikan anggaran
5
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sampai saat ini belum diketahui susunan
skala prioritas pemeliharaan jembatan pada Satker PJN Metropolitan Denpasar,
demikian juga hirarki dan ukuran kuantitatifnya. Untuk mengetahui hal-hal
tersebut, maka diperlukan suatu analisis untuk mengetahui susunan prioritas
pemeliharaan jembatan pada Satker PJN Metropolitan Denpasar dengan
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana susunan hirarki dan ukuran kuantitatif dari masing-masing kriteria
dan subkriteria yang berpengaruh pada penyusunan prioritas pemeliharaan
jembatan berdasarkan metode AHP?
2. Bagaimana rumusan matematis hirarki penelitian pada penyusunan prioritas
pemeliharaan jembatan berdasarkan metode AHP?
3. Bagaimana susunan skala prioritas pemeliharaan jembatan pada Satuan Kerja
Pelaksanaan Jalan Nasional Kota Metropolitan Denpasar berdasarkan metode
AHP?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk:
1. Menyusun struktur hirarki dan mengetahui ukuran kuantitatif dari
masing-masing kriteria dan subkriteria yang berpengaruh pada penyusunan prioritas
6
2. Untuk mengetahui rumusan matematis hirarki penelitian pada penyusunan
prioritas pemeliharaan jembatan berdasarkan metode AHP.
3. Menyusun skala prioritas pemeliharaan jembatan di Jalan Nasional Kota
Metropolitan Denpasar berdasarkan metode AHP.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi mahasiswa atau penulis adalah sebagai sarana untuk menerapkan ilmu
transportasi yang didapat dalam perkuliahan.
2. Bagi institusi adalah sebagai tambahan untuk memperkaya khasanah
penelitian.
3. Bagi pemerintah yang bersangkutan, penelitian ini dapat digunakan sebagai
metode alternatif dalam penyusunan prioritas pemeliharaan jembatan.
4. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan informasi dan
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Jalan dan Klasifikasinya
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan
didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat. Jalan meliputi
bagian-bagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan. Jalan
diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
2.1.1Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyebutkan
bahwa berdasarkan sistem jaringan, jalan dikelompokkan menjadi jalan dalam
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan/ atau jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan jalan
menghubungkan semua simpul wilayah yang berwujud pusat-pusat kegiatan
nasional.
b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa untuk
8
2.1.2 Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya
Berdasarkan fungsinya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan, mengelompokkan jalan menjadi:
a. Jalan arteri adalah jalan umum sesuai dengan fungsinya sebagai sarana
angkutan utama dengan bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu lintas
dengan asal-tujuan berjarak jauh, berkecepatan rata-rata tinggi, serta jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
b. Jalan kolektor adalah jalan umum dengan fungsinya sebagai sarana angkutan
umum yang bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu-lintas dengan
asal-tujuan yang berjarak sedang, berkecepatan rata-rata sedang, serta jalan masuk
dibatasi.
c. Jalan lokal adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan
lokal yang dengan bercirikan sebagai pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan
yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah, serta dengan jalan
masuk tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana
angkutan lingkungan yang bercirikan dengan pelayanan lalu lintas dengan
asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah.
2.1.3 Klasifikasi jalan berdasarkan statusnya
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, berdasarkan
statusnya, jalan dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan
9
a. Jalan nasional adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat berdasarkan
fungsinya meliputi jalan arteri atau jalan kolektor dari sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan bisa juga berupa jalan
strategis nasional dan/ atau jalan tol.
b. Jalan provinsi adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah provinsi yang sesuai
dengan fungsinya meliputi jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota atau
antar ibukota kabupaten/ kota dan bisa juga berupa jalan strategis provinsi.
c. Jalan kabupaten adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten yang
sesuai fungsinya meliputi jalan lokal dari sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota
kecamatan, atau bisa juga jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal sebagai jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kota dalam sistem
jaringan jalan sekunder dengan fungsi menghubungkan antar pusat pelayanan
dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antar persil, dan menghubungkan antar pusat permukiman dalam kota.
e. Jalan desa adalah jalan yang menghubungkan kawasan dan/ atau antar
permukiman di dalam kecamatan, serta jalan lingkungan.
2.2 Jembatan
2.2.1Pengertian jembatan
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jembatan
10
menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh
sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan
atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun/
menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan
terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau
jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan,
jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang.
Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas
darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan
struktur bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus
akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas. Jembatan
adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak
dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan
berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan.
Jembatan dibangun untuk dapat digunakan minimum 50 tahun. Ini berarti,
disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu
diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik.
Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatif besar, jembatan yang
dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume
lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan
pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan
dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan
11
konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk
memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan
pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga
dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang
telah ditentukan.
2.2.2 Klasifikasi jembatan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), tipe jembatan diidentifikasi
berdasarkan tipe bangunan atas, bahan dan asal bahan bangunan. Secara lengkap
kode klasifikasi jembatannya disajikan pada Tabel 2.1. Dalam tabel tersebut
terdapat tiga kolom antara lain kolom tipe bangunan atas, kolom bahan dan kolom
asal bahan bangunan. Pada kolom pertama terdapat kode-kode dan keterangan
mengenai tipe bangunan atas jembatan, pada kolom berikutnya tentang kode-kode
dan keterangan dari bahan penyusun jembatan dan pada kolom ketiga terdapat
kode-kode dan keterangan tentang asal bahan bangunan. Tabel tersebut tidak
dihubungkan paralel dari kiri ke kanan, namun pembacaannya disesuaikan dengan
jembatan yang ditinjau atau direncanakan. Sebagai contoh: misalkan suatu
jembatan memiliki bangunan atas gelagar (G), bahannya adalah beton (T) dan asal
bahan bangunannya adalah dari Indonesia (I) maka jembatan tersebut
diidentifikasi sebagai Jembatan GTI (Gelagar Beton Indonesia). Sistem klasifikasi
ini digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk
12
Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan
A Gorong-gorong pelengkung A Aspal A Australia B Gorong-gorong persegi B Baja B Belanda (Lama)
Y Gorong-gorong pipa U Lantai baja gelombang C Karunia Berca Indonesia C Kabel Y Pipa baja diisi beton D Belanda (lama)
T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika D Flat slab P Beton prategang G Cigading H Pile slab T Beton bertulang I Indonesia P Pelat E Neoprene/ karet K Bukaka V Voided F Teflon R Austria E Pelengkung G Bronjong dan sejenisnya T Transbakrie F Ferry J Alumunium U United Kingdom
(Callender Hamilton) G Gelagar K Kayu W Bailley/ Acrow M Gelagar komposit M Pasangan batu H Adhi Karya O Gelagar boks S Pasangan bata J Jepang
U Gelagar tipe U O
Tanah biasa/ lempung/
timbunan P PPI
L Balok pelengkung R Kerikil/ pasir Y Wijaya Karya N Rangka semi permanen X Bahan asli X Tidak ada struktur R Rangka V PVC M Amarta Karya S Rangka sementara N Geotextile L Lain-lain K Lintasan kereta api W Macadam
W Lintasan basah H Pasangan batu kosong X Lain-lain L Lain-lain
Bahan
TBA (Tipe Bangunan Atas) ABA (Asal Bahan Bangunan)
Sumber: Departemen PU (1993)
Sedangkan menurut Zainuddin (2013), jembatan dapat diklasifikasikan
menurut fungsi, material, bentuk struktur atas dan lama waktunya digunakan.
Menurut fungsinyajembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Jembatan jalan raya berfungsi menghubungkan jalan raya.
b) Jembatan jalan rel berfungsi menghubungkan jalan rel.
c) Jembatan untuk talang air/ waduk berfungsi sebagai talang air/ waduk.
d) Jembatan untuk penyeberangan (pipa air, minyak, gas,pedestrian, dll).
Menurut materialnya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Jembatan bambu.
13
c) Jembatan beton bertulang (konvensional maupun prategang).
d) Jembatan baja (gelagar maupun rangka).
e) Jembatan komposit.
f) Jembatan pasangan batu kali/ bata.
Menurut bentuk struktur atasyang digunakan jembatan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a) Jembatan balok/ gelagar.
b) Jembatan pelat.
c) Jembatan pelengkung/ busur.
d) Jembatan rangka.
e) Jembatan gantung.
f) Jembatan cable stayed.
Menurut lama waktu digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a) Jembatan sementara/ darurat: jembatan yang penggunaannya hanya
bersifat sementara yakni menunggu hingga selesainya pekerjaan
pembangunan jembatan permanen diresmikan/ digunakan. Jembatan
darurat ini dapat berupa: jembatan kayu.
b) Jembatan semi permanen: jembatan sementara yang dapat ditingkatkan
menjadi jembatan permanen, misalnya dengan cara mengganti lantai
jembatan dengan bahan/ material yang lebih baik (kuat) dan awet,
sehingga kapasitas serta umur jembatan menjadi bertambah baik, misalnya
14
c) Jembatan permanen: jembatan yang penggunaannya bersifat permanen
serta mempunyai umur rencana, misalnya: jembatan baja, jembatan beton
bertulang, jembatan komposit.
2.2.3Struktur jembatan
Menurut Zainuddin (2013), struktur jembatan adalah kesatuan antara
elemen-elemen konstruksi yang dirancang dari bahan konstruksi yang bertujuan menerima
beban-beban di atasnya baik berupa beban primer, sekunder, khusus dan beban
lainnya untuk diteruskan/ dilimpahkan hingga ke tanah dasar. Secara umum
konstruksi jembatan dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
a) Bangunan atas.
Bangunan atas jembatan adalah bagian dari elemen-elemen konstruksi yang
dirancang untuk memindahkan beban-beban yang diterima oleh lantai jembatan
hingga ke perletakan, sedangkan lantai jembatan adalah bagian jembatan yang
langsung menerima beban lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jenis bangunan
atas jembatan pada umumnya ditentukan berdasarkan:
i. Bentang yang sesuai dengan perlintasan jalan, sungai atau keadaan lokasi
jembatan.
ii. Panjang bentang optimum untuk menekan biaya konstruksi total.
iii. Pertimbangan yang terkait pada pelaksanaan bangunan-bangunan bawah
dan pemasangan bangunan atas untuk mencapai nilai yang ekonomis.
iv. Pertimbangan segi pandang estetika.
Bangunan atas terdiri atas: gelagar induk, struktur tumpuan atau perletakan,
15
b) Bangunan bawah.
Bangunan bawah sebuah jembatan adalah bagian dari elemen-elemen struktur
yang dirancang untuk menerima beban konstruksi di atasnya dan dilimpahkan
langsung (berdiri langsung) pada tanah dasar atau bagian-bagian konstruksi
jembatan yang menyangga jenis-jenis yang sama dan memberikan jenis reaksi
yang sama pula. Bangunan bawah terdiri atas: pondasi yaitu bagian-bagian dari
sebuah jembatan yang meneruskan beban-beban langsung ke tanah dasar/ lapisan
tanah keras, Bangunan bawah (pangkul jembatan/ abutmen, pilar) yaitu
bagian-bagian dari sebuah jembatan yang memindahkan beban-beban dari perletakan ke
pondasi dan biasanya juga difungsikan sebagai bangunan penahan tanah. Analisa
struktur bawah ini harus dipertimbangkan mampu menahan semua gaya-gaya
yang bekerja, begitu pula tinjauan terhadap stabilitas sehingga aman terhadap
penggulingan dan penggeseran dengan angka keamanan yang cukup serta daya
dukung tanahnya masih dalam batas yang diijinkan.
c) Jalan pendekat (oprit)
Oprit adalah jalan yang menghubungkan antara ruas jalan dengan struktur
jembatan, atau jalan yang akan masuk ke jembatan. Oprit merupakan timbunan
material pilihan, biasanya berupa agregat yang berada di belakang abutment yang
dipadatkan sedemikian rupa untuk menghindari penurunan.
d) Bangunan pengaman
Bangunan pengaman adalah bangunan yang diperlukan untuk mengamankan
16
2.2.4Pemeliharaan jembatan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.13/PRT/M/2011 tentang
Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, berdasarkan tingkat dari kerusakan
suatu jembatan (nilai kondisi jembatan) maka pemeliharaan bangunan pelengkap
jalan termasuk didalamnya jembatan antara lain terdiri dari:
a) Pemeliharaan rutin
Pemeliharaan rutin dilakukan sepanjang tahun dan meliputi kegiatan:
pembersihan secara umum, pembuangan tumbuhan liar dan sampah,
pembersihan dan pelancaran drainase, perbaikan ringan, pengecatan sederhana
dan pemeliharaan permukaan lantai kendaraan.
b) Pemeliharaan berkala
Pemeliharaan berkala dilakukan secara berkala meliputi kegiatan: pengecatan
ulang, pelapisan permukaan aspal, penggantian lantai, penggantian kayu pada
jalur roda kendaraan, pembersihan jembatan secara mendetail, penggantian
siar muai (expansion joints), penggantian baut, penggantian elemen-elemen
sekunder/ kecil, perbaikan sandaran tangan (hand railings), perbaikan pagar
pengaman (guardrails), perbaikan patok pengarah (guide posts), menjaga
berfungsinya bagian-bagian yang bergerak (perletakan/ landasan, siar muai),
perkuatan elemen struktur sekunder, perbaikan tebing pada jalan pendekat dan
perbaikan aliran sungai di dekat bangunan pelengkap jalan.
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan berat lantai kendaraan (sistem lantai),
17
berat bangunan bawah, perkuatan struktur bangunan pelengkap jalan dan
pemeliharaan tanggap darurat.
d) Penggantian/ rekonstruksi
Penggantian/ rekonstruksi merupakan kegiatan penggantian seluruh atau
sebagian komponen bangunan pelengkap jalan tanpa meningkatkan kapasitas
bangunan pelengkap jalan.
2.2.5 Penilaian kondisi jembatan
Dalam rangka pemeliharaan jembatan perlu dilakukan pemeriksaan secara
rutin dan periodik. Jika didapatkan suatu kerusakan perlu dilanjutkan dengan
penyelidikan yang mendalam dalam rangka evaluasi, apakah perlu dilakukan
tindakan perbaikan, perkuatan atau penggantian, agar jembatan tetap berfungsi
sebagimana mestinya. Pemeriksaan secara detail dilaksanakan untuk menilai
secara akurat kondisi suatu jembatan. Semua komponen dan elemen jembatan
diperiksa dan kerusakan-kerusakan yang berarti dikenali dan didata. Untuk tujuan
pemeriksaan detail dan evaluasi dari kondisi jembatan secara menyeluruh, struktur
jembatan dibagi atas hirarki elemen yang terdiri atas 5 level, tertinggi adalah
level1, yaitu jembatan itu sendiri, dan level terendah adalah level 5, yaitu elemen
kecil secara individual dan bagian-bagian jembatan (Departemen PU, 1993).
Setelah elemen yang rusak dan bentuk kerusakan telah dicatat, nilai kondisi
diberikan. Sistem penilaian elemen yang rusak terdiri atas serangkaian pertanyaan
yang berjumlah 5 mengenai kerusakan yang ada. Setiap nilai diberi angka 1 dan 0,
sehingga subjektifitas selama pemeriksaan dapat diminimalkan dan penilaian
18
setiap level hirarki jembatan,mulai dari level terendah yaitu level 5 sampai dengan
level tertinggi yaitu level 1 yang merupakan jembatan secara keseluruhan, elemen
atau kelompok elemen dinilai dengan diberikan suatu Nilai Kondisi antara 0 (nol)
dan 5 (lima), angka-angka tersebut mewakili jumlah dari kelima nilai yang
ditentukan menurut kriteria yang diberikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan
Nilai Kriteria Nilai Kondisi
Struktur (S) Berbahaya
Fungsi (F) Elemen tidak berfungsi
Elemen masih berfungsi
1
0
Pengaruh (P) Mempengaruhi elemen lain
Tidak mempengaruhi elemen lain
1
0
Nilai Kondisi (NK) NK = S+R+K+F+P 0 s/d 5
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1993)
Setelah penilaian elemen pada tingkat5, 4 atau 3, Nilai Kondisi untuk elemen
pada levelyang lebih tinggi dalam hirarki ditentukan dengan cara mengevaluasi
sejauh mana kerusakan dalam elemen pada tingkatan yang lebih rendah
berpengaruh terhadap elemen pada tingkatanyang lebih tinggi, apakah elemen ini
dapat berfungsi dan apakah elemen lain pada tingkatan yang lebih tinggi
dipengaruhi oleh kerusakan-kerusakan tersebut, sehingga diperoleh Nilai Kondisi
19
2.2.6 Panjang dan lebar jembatan
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), lebar jalur lalu lintas pada
jembatan harus sama dengan lebar jalur lalu lintas pada bagian ruas jalan di luar
jembatan, khusus untuk fungsi jalan arteri, lebar badan jalan pada jembatan harus
sama dengan lebar badan jalan pada bagian ruas jalan di luar jembatan. Standar
lebar lajur lalu-lintas untuk jalan sedang minimal adalah 2x3,5 meter. Lebar
jembatan secara total merupakan gabungan antara lebar jalur lalu-lintas dan lebar
trotoar.
Panjang jembatan diukur dari ujung expansion joint ke expansion joint
lainnya. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), jembatan merupakan
bangunan pelengkap jalan yang memiliki panjang di atas 2 (dua) meter. Namun
dalam survei dan pemeriksaannya dibatasi mulai panjang minimum 6 (enam)
meter untuk memudahkan pelaksanaan survei.
Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan
20
2.3 Sistem Transportasi Makro
Menurut Tamin (2008), sistem transportasi makro dibentuk oleh sistem
transportasi yang lebih kecil atau disebut dengan sub sistem. Dari gambar
dibawah, dapat dijelaskan sistem transportasi makro dibentuk oleh tiga sub sistem
tranportasi mikro yaitu sub sistem kegiatan atau sub sistem tata guna lahan, sub
sistem jaringan, dan sub sistem pergerakan. Ketiga sub sistem tersebut akan
berinteraksi dan dikendalikan oleh sub sistem kelembagaan. Dalam tata guna
lahan, suatu lahan akan memiliki peruntukan untuk kegiatantertentu. Peruntukan
lahan untuk kegiatan tertentu dalam sistem transportasi makro merupakan bagian
dari sub sistem tata guna lahan atau sub sistem kegiatan sebagai sub sistem yang
pertama,sub sistem ini merupakan sub sistem yang berbasis lokasi/ wilayah. Pada
sisi lain bahwa pergerakan lalu lintas disebabkan oleh proses pemenuhan
kebutuhan, dan telah kita ketahui bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan
kita pada suatu lahan tertentu. Pergerakan dari suatu lahan ke lahan yang lain akan
memerlukan sarana transportasi (moda transportasi) dan tempat bergeraknya
sarana transportasi (moda transportasi) tersebut akan memerlukan media
(prasarana) transportasi. Prasarana yang diperlukan untuk bergeraknya moda
transportasi merupakan sub sistem yang kedua yang disebut sub sistem jaringan.
Sedangkan sub sistem yang ketiga adalah moda transportasi tersebut yang disebut
sebagai sub sistem pergerakan yang berbasis sarana. Jika dijelaskan dalam suatu
gambar maka menurut Tamin (2008), interaksi sistem transportasi makro dapat
21
Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), sistem transportasi
makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil (mikro),
dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling
mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sistem Kegiatan (Transport Demand)
b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/ Transport Supply)
c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/ Traffic)
d. Sistem Kelembagaan.
Setiap penggunaan tanah atau sistem kegiatan akan mempunyai suatu tipe
kegiatan tertentu yang dapat “memproduksi” pergerakan (trip production) dan
dapat “menarik” pergerakan (trip attraction). Sistem tersebut dapat merupakan
suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use)
Sub Sistem Tata Guna
Lahan
Sub Sistem Jaringan
Sub Sistem Pergerakan
Sub Sistem Kelembagaan
22
seperti sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan
yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan
kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh
penggunaan tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut
sangat berkaitan erat dengan jenis/ tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan.
Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan/ atau barang, jelas
membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat
moda transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan
merupakan sistem mikro kedua yang biasa dikenal sebagai Sistem Jaringan,
meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus, stasiun kereta api, bandara
dan pelabuhan laut.
Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan akan menghasilkan
suatu pergerakan manusia dan/ atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan
dan/ atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat,
nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika
pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas
yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/ sedang
di Indonesia biasanya timbul karena kebutuhan transportasi lebih besar dibanding
prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan
mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada
sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat
23
dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, sistem pergerakan berperanan penting
dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem
pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan
lingkungannya. Pada akhirnya juga pasti akan mempengaruhi kembali sistem
kegiatan dan sistem jaringan yang ada. Ketiga sistem transportasi mikro ini saling
berinteraksi satu sama lain yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro.
Dalam upaya untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang
aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam
sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro lainnya yang disebut Sistem
Kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi
pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro. Sistem
kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah
sebagai berikut:
I. Sistem Kegiatan: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Provinsi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kabupaten/ Kota.
II. Sistem Jaringan: Kementerian Perhubungan, Balai Lalu-lintas Angkutan
Sungai Danau dan Penyeberangan, Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas
Perhubungan Kabupaten/ Kota, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar
Pelaksanaan Jalan Nasional, Satker Pelaksanaan Jalan, Dinas PU Provinsi,
24
III. Sistem Pergerakan: Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara RI
melalui Direktorat Lalu Lintasnya.
Bappenas, Bappeda, dan Pemda berperanan penting dalam menentukan
sistem kegiatan melalui kebijakan perwilayahan, regional maupun sektoral.
Kebijakan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian
Perhubungan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (dalam
hal ini melalui Direktorat Jenderal Bina Marga). Sistem Pergerakan diatur oleh
Kementerian Perhubungan dan dinas-dinas perhubungan di daerah, Kepolisian
melalui direktorat lalu lintasnya, masyarakat sebagai pemakai jalan (road user)
dan lain-lain. Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik
melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan
hukum yang baik. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan
masyarakat seluruhnya harus ikut berperan dalam mengatasi masalah kemacetan,
sebab hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipecahkan secara
tuntas dan jelas memerlukan pemeliharaan yang serius.
2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di
Provinsi Bali
2.4.1 Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali
Menurut PP Nomor 51 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, disebutkan bahwa terdapat 88
25
(delapan puluh delapan) buah KSPN tersebut 11 (sebelas) diantaranya terdapat di
Provinsi Bali. Kesebelas KSPN yang terletak di Provinsi Bali tersebut antara lain:
a. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya.
b. KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan Sekitarnya.
c. KSPN Bali Utara/ Singaraja dan sekitarnya.
d. KSPN Karangasem-Amuk dan sekitarnya.
e. KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya.
f. KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya.
g. KSPN Bedugul dan sekitarnya.
h. KSPN Nusa Penida dan sekitarnya.
i. KSPN Ubud dan sekitarnya.
j. KSPN Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya.
k. KSPN Menjangan, Pemuteran dan sekitarnya.
2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali
Menurut Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, sistem jaringan transportasi di Provinsi
Bali terdiri dari sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara. Kawasan
strategis sistem jaringan transportasi nasional di Provinsi Bali antara lain:
a) Pelabuhan penyeberangan yaitu Pelabuhan Gilimanuk di Jemberana dan
Pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem.
b) Terminal Type A yaitu Terminal Mengwi di Kabupaten Badung
c) Pelabuhan laut utama yaitu Pelabuhan Benoa di Denpasar, Pelabuhan Celukan
26
d) Bandar Udara (Bandara) Internasional yaitu Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai
di Kabupaten Badung.
e) Terminal Barang (Cargo) Ubung di Kota Denpasar.
2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi
Bali
Menurut Perda Provinsi Bali No 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 kawasan tempat suci yang ada di
Provinsi Bali meliputi radius kesucian Pura Kahyangan baik Pura Sad Kahyangan,
Pura Dang Kahyangan maupun Pura Kahyangan Jagat lainnya. Pura kahyangan
yang terletak di lokasi studi antara lain:
a) Pura Kahyangan Jagat di Kota Denpasar antara lain:
1. Pura Griya Tanah Kilap di Kelurahan Pemogan.
2. Pura Prapat Nunggal di Kelurahan Pedungan.
3. Pura Dalem Pangembak di Kelurahan Sanur.
4. Pura Candi Narmada di Kelurahan Pemogan.
5. Pura Sakenan di Desa Serangan.
b) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Badung
1. Pura Uluwatu di Desa Pecatu.
2. Pura Padedekan di Desa Mengwi.
3. Pura Dalem Puri Puserjagat di Desa Sobangan.
4. Pura Pucak Mangu di Desa Tinggan.
27
6. Pura Dalem Solo di Desa Sedang.
7. Pura Pucak Gegelang di Desa Nungnung.
8. Pura Hyang Api di Desa Samuan.
9. Pura Kancing Gumi di Desa Sulangi.
10.Pura Bukit Sari Sangeh di Desa Sangeh.
11.Pura Taman Ayung di Mengwi
c) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Gianyar
1. Pura Gunung Raung di Desa Taro.
2. Pura Samuan Tiga di Bedulu.
3. Pura Erjeruk di Desa Sukawati.
4. Pura Masceti di Desa Medahan.
5. Pura Gunung Kawi di Desa Sebatu.
6. Pura Dalem Pingit di Desa Sebatu.
7. Pura Tirta Empul di Desa Manukaya.
8. Pura Pusering Jagat di Desa Pejeng.
9. Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng.
10.Pura Kebo Edan di Desa Pejeng.
11.Pura Gua Gajah di Desa Bedulu.
12.Pura Pangukur-ukuran di Desa Pejeng Kelod.
13.Pura Selukat di Desa Keramas.
14.Pura Bukit Jati di Desa Samplangan.
28
d) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Tabanan
1. Pura Tambawaras di Desa Sangketan.
2. Pura Muncaksari di Desa Sangketan.
3. Pura Batukaru di Desa Wongaya Gede
4. Pura Batu Belig di Desa Rijasa.
5. Pura Besikalung di Desa Jati Luwih.
6. Pura Teratai Bang di Desa Candi Kuning.
7. Pura Tanah Lot di Desa Beraban.
8. Pura Luhur Serijong di Desa Batu Lumbang.
9. Pura Luhur Natar Sari di Desa Apuan.
10.Pura Pucak Geni di Desa Cau Belayu.
e) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Klungkung
1. Pura Dasar Buana di Desa Gelgel.
2. Pura Segara Watuklotok di Desa Tojan.
3. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan.
4. Pura Penataran Peed di Desa Ped.
5. Pura Goa Giri Putri di Desa Suana.
6. Pura Segara Peed di Desa Ped.
7. Pura Taman Peed di Desa Ped.
8. Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan.
Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat
29
Bali. Namun UNESCO pada tahun 2011, melalui Surat Identifikasi No.1194
Tahun 2011 mencatat Kawasan Persawahan dan Subak Jati Luwih di Tabanan
sebagai Cagar Budaya Dunia. Terdapat beberapa cagar alam dan taman nasional
di Provinsi Bali. Menurut SK Menteri Pertanian RI Nomor: 716/Kpts/Um/9/74, 29
September 1974 terdapat Cagar Alam Batukaru di Kabupaten Tabanan seluas
1.762,80 Ha dan Cagar Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kabupaten Badung seluas
10 Ha. Menurut SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret
1978 di Bali juga ditetapkan sebuah taman nasional yaitu Taman Nasional Bali
Barat di Kabupaten Jemberana dan Buleleng.
2.5 Analisis Multikriteria
Menurut Tamin (2008), analisis ini menggunakan persepsi stakeholders
terhadap kriteria atau peubah yang dibandingkan dalam pengambilan keputusan.
Analisis multikriteria memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan
proses pengambilan keputusan informal yang saat ini digunakan antara lain:
i. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka bagi semua pihak
berkepentingan.
ii. Peubah atau kriteria yang digunakan dapat lebih luas, baik kuantitatif
maupun yang kualitatif.
iii. Pemilihan peubah tujuan dan kriteria terbuka untuk dianalisis dan diubah
jika dianggap tidak sesuai.
iv. Nilai dan bobot ditentukan secara terbuka sesuai dengan persepsi pihak
30
v. Memberikan arti lebih terhadap proses komunikasi dalam pengambilan
keputusan, diantara para penentu kebijakan, dan dalam hal tertentu dengan
masyarakat luas.
Konsep yang dikembangkan dalam analisis multikriteria adalah:
i. Analisis sudah mempertimbangkan semua peubah secara komprehensif
dengan tetap menjaga proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan
yang dilakukan.
ii. Banyak faktor yang harus dipertimbangkandan kepentingan pihak yang
harus diakomodasi.
iii. Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan
dengan mengembangkan sejumlah tujuan dengan mengembangkan
sejumlah kriteria yang terukur.
iv. Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu.
v. Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria.
Menurut Tamin (2008), pendekatan analisis multikriteria dapat
direpresentasikan seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria
Sumber: Tamin (2008).
Tahapan kegiatan pengambilan keputusan dalam analisis multikriteria , secara
singkat dapat diuraikan sebagai berikut: Usulan
Pemeliharaan
Kriteria Penilaian
Analisis Multikriteria
31
a) Indikasi jumlah alternatif pemeliharaan yang akan dipilih.
b) Meninjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika
kinerja suatu alternatif sama atau lebih baik untuk semua kriteria terhadap
alternatif lainnya.
c) Melakukan pembobotan dengan menggunakan matriks pair wise comparison.
d) Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap
kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif.
e) Mengalikan bobot setiap kriteria dengan skor kinerja alternatif pada kriteria
tersebut.
f) Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapatkan nilai total suatu
alternatif
g) Meranking nilai tersebut sehingga didapatkan prioritas alternatif.
Tingkat kepentingan setiap kriteria diperoleh dari proses wawancara dengan
mencari persepsi dari berbagai stakeholder. Stakeholder yang diambil adalah pada
tingkat pengambil keputusan dari instansi terkait. Proses wawancara dilakukan
dengan menggunakan kuesioner dimana stakeholder diminta untuk mengurutkan
kriteria yang ada, mulai dari yang paling penting sampai dengan kriteria yang
tingkat kepentingannya paling rendah. Dari hasil wawancara tersebut maka
kemudian dapat ditentukan bobot dari setiap kriteria.
Salah satu model pendukung keputusan multikriteria dikembangkan oleh
Thomas L. Saaty. Model tersebut disebut Metode Analytical Hierarchy Process
(AHP). AHP menguraikan masalah multi faktor atau multikriteria yang kompleks
32
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, subkriteria, dan
seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang
kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan
tampak lebih terstruktur dan sistematis (Saaty, 1986).
Menurut Muslich (2009), metode lain dalam pengambilan keputusan dalam
situasi multikriteria antara lain:
1. Metode timbangan.
Metode timbangan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
dengan kriteria/ pertimbangan yang dapat diukur dan dapat juga dipergunakan
untuk kriteria/ pertimbangan yang memiliki ukuran yang sama. Langkah-langkah
dari metode ini adalah dengan memberikan skor sebagai timbangan dari
masing-masing kriteria/ pertimbangan, sebagai ukuran kuantitatif yang harus dipenuhi.
Kelemahan dari metode ini adalah apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk
kepentingan publik, maka ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang
diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabilitas dan validitas sehingga
menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut.
2. Metode minimisasi penyimpangan.
Metode ini adalah suatu metode untuk menyelesaikan situasi permasalahan
dimana masing-masing kriteria/ pertimbangan memiliki ukuran kuantitatif dengan
skor yang sama. Seperti halnya dengan metode timbangan kelemahan dari metode
33
ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan
harus diuji secara reabelitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan
valid terhadap kepentingan publik tersebut
3. Metode eleminasi.
Metode ini digunakan pada situasi masalah dengan tujuan/ kriteria yang tidak
dapat dinyatakan secara kuantitatif tetapi masing-masing kriteria/ pertimbangan
telah dirumuskan urutan prioritasnya secara kualitatif, jadi pada metode ini urutan
prioritas merupakan tingkat skala prioritas yang diukur secara kualitatif.
2.5.1 Penentuan skala prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP)
Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP, menurut Saaty (1986),
dijelaskan pula beberapa prinsip dasar metode AHP yaitu:
1. Dekomposisi.
Setelah mendefinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi
yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil
kecilnya.
2. Comparative Judgment.
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen
pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari metode AHP, karena akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen-elemen.
3. Synthesis of Priority.
Dari setiap matriks pairwise comparison, vektor eigen-nya mendapat prioritas
34
melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur
melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki.
4. Logical Consistency.
Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang
serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya. Kedua
adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria
tertentu.
Beberapa keuntungan menggunakan metode AHP sebagai alat analisis adalah:
i. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk
beragam persoalan yang tak berstruktur.
ii. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persolan kompleks.
iii. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
iv. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah
eleman-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan
unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
v. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
vi. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
vii. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap