DAFTAR ISI
D. Pendidikan Bagi Anak Usia Sekolah Menengah………....49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...78
A. Obsevasi Awal...78
B. Penerapan Model Role Playing………...83
C. Pembahasan...115
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI...137
A. KESIMPULAN...137
B. REKOMENDASI...143
DAFTAR PUSTAKA...145
BAB I
PENDAHULUAN
I.Latar Belakang Masalah
Fenomena bias gender sangat ramai dibicarakan dalam berbagai waktu dan
kesempatan. Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam berbagai kamus bahasa,
pengertian seks (jenis kelamin) dan gender tidak dibedakan secara jelas. Padahal
pengertian dan istilah harus betul-betul dibedakan. Jenis kelamin adalah pembagian dua
jenis kelamin manusia, yang mengacu pada ciri-ciri biologis. Alat-alat tersebut secara
biologis melekat pada laki-laki dan perempuan selamanya serta tidak dapat
dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan Tuhan yang
disebut kodrat, sedangkan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Lebih jelasnya gender adalah
perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial, bukan kodrat (ketentuan Tuhan), melainkan diciptakan oleh
manusia melalui proses sosial kultural yang panjang (Howard, Judith A & Jocelyn
Hollande, 1997: 1-25 )
Gender dikonstruksi oleh masyarakat, sehingga memunculkan pula pengkategorian
peran ataupun pekerjaan yang didasarkan atas pertimbangan gender. Jika ibu atau
pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik
seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam dibenak anak-anak bahwa
2
dikaitkan dengan tugas-tugas di ruang publik. Dalam masyarakat, pengkategorian ini,
seolah harga mati, sehingga apabila ada pertukaran peran ataupun tugas antar gender
seringkali menimbulkan konflik. Konstruksi gender dalam masyarakat ini berlaku hampir
di sebagian besar aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Gender tidak akan
diperdebatkan apabila dalam pelaksanaannya, keduanya tidak saling merugikan. Namun
apabila ada satu pihak yang merasa dirugikan, maka hal ini akan mengakibatkan konflik.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta
buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib
dalam bukunya yang berjudul ”Bias Gender dalam Pendidikan”, ternyata sarat dengan
bias gender. Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan
kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot
selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang
"hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas
selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik.
Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin
perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki. Dalam rumusan kalimat pun
demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca
Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan
ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan
contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat
tersebut seolah ingin dikatakan bahwa sifat feminim dan kerja domestik diperuntukkan
bagi perempuan, sementara itu sifat maskulin dan kerja publik diperuntukkan bagi
3
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau
di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan
mengatakan "Masak laki-laki menangis, laki-laki kan nggak boleh cengeng kayak
perempuan". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya,
ia akan mengatakan " Anak perempuan kok naik meja kayak laki-laki, tidak tahu sopan
santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang
boleh menangis, sementara itu hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan
santunnya.
Di beberapa sekolah, saat upacara bendera selalu bisa dipastikan bahwa pembawa
bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki.
Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan ditingkat
nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu
menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum
pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa
tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul
gong dalam upacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini
mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh
laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak
negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan
diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki
4
sosial mereka di masa datang. Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh
masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya
ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat
memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys (Suciati; Suara Merdeka, Online) menunjukkan
penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan
bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya
hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol
perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya. Penyebabnya adalah pertama, ada
proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah,
dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak
menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus
dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus
melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami". Tidak mengherankan jika
banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar
penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak
laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran
konsentrasi di kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada
tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk
bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian
mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek
yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan
5
diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dan lain lain. Tidak
heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak
peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya. Padahal, di sekolah, siswa
perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan
dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak
membaca buku.
Dalam teori Nature atau Kodrat Alam secara biologis antara laki-laki dan perempuan
berbeda. Laki-laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan
perempuan mempunyai vagina, rahim, sel telur dan air susu. Apa yang dimiliki laki-laki
tersebut tidak dimiliki oleh perempuan demikian sebaliknya. Kodrat fisik yang berbeda
berpengaruh pada kondisi psikis masing-masing. Perempuan dengan kodrat untuk
melahirkan tersebut berakibat pada perkembangan perangai psikolgis yang dibutuhkan
untuk mengasuh anak yang dilahirkan, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap
halus, penyabar, kasih sayang dan sebagainya. Laki-laki dengna kodrat fisik yang
dimilikinya, penis dan produksi sperma yang dapat membuahi indung telur dengan
jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat dipandang mempresentasikan fisik
laki-laki yang kuat. Kodrat fisik yang kuat berperangai pada psikologi yang tegar dan bahkan
kasar. Dengan kodrat fisik dan psikologis tersebut, laki-laki berperan di sektor publik
yang keras, sekaligus memberikan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah yaitu
perempuan (Budiman, 1985: 14).
Pandangan tersebut diatas terlihat dalam perlakuan siswa-siswa di sekolah ketika
dalam upacara bendera, biasanya barisan siswa perempuan selalu berada didepan barisan
6
Berbeda denga teori Nurture yang merupakan ”bantahan” dari teori nature. Teori ini
tidak setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki-perempuan merupakan kodrat
alam. Faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan,
pemilahan sekaligus pengunggulan laki-laki disebabkan elaborasi kebudayaan terhadap
biologis masing-masing (Sanderson, 1995: 409). Dengan demikian apa yang disebut
dengan sifat kelelakian dan kewanitaan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan,
lebih khususnya pendidikan.
Menurut teori kebudayaan dengan perspektif materialis, terjadinya keunggulan
laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh budaya karena pemilikan benda yang
bersifat komunal menajdi milik pribadi. Menurut Sanderson, (1995: 412), rumah tangga
dan hak milik yang ada didalamnya menjadi milik dan tanggung jawab bersama.
Perempuan memiliki hak dan kontribusi yang sama dalam memenuhi kebutuhan
ekonomi. Namun dalam berkembangnya hak milik pribadi, kesetaraan tersebut bergeser.
Laki-laki memiliki peluang untuk memiliki hak milik pribadi, karena laki-laki tidak
disibukkan oleh tanggung jawab mengandung dan mengurus anak, akibatnya laki-laki
lebih leluasa meraih dan memilikinya.
Menurut Faqih, (1999: 7-8) yang dikutip oleh Darma, (2006: 6) gender adalah suatu
sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan
kultural. Lebih jelasnya gender adalah perbedaan perilaku atau behavioral differences
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, bukan kodrat atau
ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui suatu proses kultural yang
7
Gender, sebagaimana teori yang dikemukakan diatas melahirkan atau memunculkan
dikotomi sifat dan peran antara laki-laki dan perempuan. Dikotomi tersebut bersifat
feminin untuk perempuan dan mskulin untuk laki-laki. Perbedaan sifat ini diakibatkan
oleh kondisi fisik laki-laki dan perempuan yang berbeda sehingga memunculkan
sifat-sifat diatas yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Peran domestik untuk perempuan
dan peran publik untuk laki-laki (Mosse, 1996 dalam Muthli`in, 2001: 30). Pemilahan
peran domestik dan publik merupakan kelanjutan dari sifat feminin dan maskulin tersebut
disosialisasikan sejak dini di lingkungan keluarga. Sifat dan peran tersebut saling terkait
antara yang satu dengan yang lainnya dan sulit dipisahkan secara tegas.Selanjutnya Faqih
dalam Darma, (2006: 7) menguraikan bahwa perempuan di masyarakat terkenal lemah
lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-laki dikenal kuat, jantan, rasional
dan perkasa. Perbedaan ciri-ciri dan sifat-sifat ini dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari
satu tempat ke tempat lain. Hal inilah yang dikenal dengan konsep gender. Jadi, gender
bukanlah kodrat, melainkan peran yang ditampilkan oleh budaya yang menempatkan
laki-laki menjadi feminin dan maskulin. Konsep ini sesuai dengan pengertian gender
menurut Mosse (1996: 3) dalam Darma (2006: 6), yang membatasi pengertian gender
sebagai seperangkat peran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu sifat yang
melekat pada diri laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
cultural. Gender dalam hal ini didefinisikan dari sudut nonbiologis antara laki-laki dan
perempuan. Gender merupakan kondisi sosiokultural atau kategori sosial yaitu maskulin
dan feminin yang tercermin dalam perilaku, keyakinan dan organisasi sosial, oleh karena
8
Problem gender yang meliputi peran gender (gender role), kesetaraan gender (gender
equality) dan ketidaksetaraan gender (unequality gender) selalu dibahas, dipertanyakan,
dan diperdebatkan dalam agenda-agenda gerakan feminisme. Diskursus problem ini tidak
terletak pada perbedaan maskulinitas dan feminitas (gender difference), tetapi terletak
pada suatu kenyataan bahwa perbedaan itu melahirkan sebuah perlakuan yang timpang,
yakni yang disebut dengan ketidakadilan gender (Suhendi, 2006: 13).
Ketidakadilan gender (unequality gender) dapat dirasakan oleh siswa laki-laki pada
situasi pembelajaran seni tari di sekolah. Di beberapa sekolah, pembelajaran tari hanya
diikuti atau diperuntukkan bagi siswa perempuan saja, sedangkan siswa laki-laki tidak
mengikuti. Siswa laki-laki cenderung tidak mau menari, karena menganggap bahwa
pembelajaran tari feminin. Dengan demikian guru menggantikannya dengan pelajaran
lain yang dianggap lebih maskulin. Padahal pembelajaran seni di sekolah diperuntukkan
dan harus diikuti oleh seluruh siswa, perempuan maupun laki-laki, yang berminat
maupun yang tidak berminat dan yang berbakat maupun tidak berbakat.
Anggapan bahwa pembelajaran seni tari feminin, karena seringkali guru memaksakan
salah satu tarian ( yang notabane, tarian putri ) yang dikuasainya untuk diikuti oleh
seluruh siswa baik laki-laki ataupun perempuan tanpa penjelasan dan pemahaman
terlebih dahulu. Akibatnya siswa menjadi terbebani dan merasa tidak senang dengan
pelajaran seni tari. Terlebih lagi siswa laki-laki yang merasa seolah-seolah dipermalukan
oleh guru karena harus menari putri. Akibatnya nilai serta manfaat yang terkandung
dalam pendidikan seni tari bagi perkembangan siswa akan hilang dan memudar, malah
9
Pada umumnya siswa laki-laki merasa malu apabila melakukan gerakan-gerakan yang
feminim, karena sudah dikonstruksi secara sosial bahwa gerakan-gerakan feminim adalah
hanya biasa dilakukan oleh anak perempuan. Siswa laki-laki juga berpandangan bahwa
laki-laki harus selalu maskulin, kuat, jantan, perkasa, yang hal itu ditandai dengan
sejumlah ciri-ciri fisik tertentu, yakni: mempunyai otot lebih besar, kaki dan tangan yang
panjang, serta stamina yang kuat untuk melakukan berbagai macam aktivitas.
Permasalahan inipun dirasakan pula oleh Robbi Hidayat ( 2005, ) yang menegaskan
sebagai berikut.
”keberadaan tari di kegiatan intra juga mengeliminir persepsi anak yang mendeskriditkan tari sebagai kegiatan wanita, jika anak laki-laki menari maka akan dicemooh sebagai ”banci”. Soedarsono mengamati, seni tari umumnya lebih banyak diminati oleh wanita dibanding laki-laki. Ternyata Soedarsono menemukan jawaban setelah melontarkan pertanyaan tersebut pada John Martin, seorang penulis dan kritikus terkemuka di Amerika. Kenyataan ini yang sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh banyak guru, membiarkan kondisi tersebut berjalan dengan tidak ada upaya pemberian pengertian . Akibatnya, sifat maskulin anak laki-laki akan mendominasi diri mereka dan bahkan diperkuat dengan olahraga yang keras, seperti karate, sepak bola dan kegiatan yang dirasakan lebih jantan. Anak-anak wanita mencari kegiatan-kegiatan yang cenderung mengukuhkan dirinya femininnya dalam kegiatan menari. Menyimak hal tersebut, pendidikan tari memiliki relevansi sebagai media pendidikan yang memberikan pemahaman gender. Bahwa seni tari sebagai pengalaman estetik melalui gerak tubuh tidak membedakan laki-laki dan wanita. Tujuan seni tari yang mendasar adalah tidak untuk memutrikan laki-laki atau memutrakan wanita, akan tetapi sebagai media untuk memberikan keseimbangan emosional yang dimiliki oleh laki-laki atau wanita. Agar laki-laki dan wanita mampu berkomunikasi secara wajar, tidak memiliki jarak emosional yang berlebihan ”.
Dari masalah yang dikemukakan oleh peneliti serta diperkuat dengan pernyataan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa dari sudut psndsng sisws laki-laki terdapat
ketidakadilan gender dalam pembelajaran pendidikan seni tari di sekolah formal.
Ketidakadilan gender dalam pembelajaran seni tari di sekolah formal berbanding
10
kenyataan di masyarakat biasanya kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dalam
berbagai hal, tetapi dalam pembelajaran seni tari di sekolah formal siswa laki-lakilah
yang mengalami diskriminasi. Siswa laki-laki tidak mendapatkan hak yang sama dalam
menerima pembelajaran seni tari karena anggapan bahwa seni tari adalah milik
perempuan.
Apabila peneliti lihat lebih jauh, sebenarnya dalam seni pertunjukan tradisional
seringkali terdapat pergantian peran anatara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki
sering membawakan tarian putri dan perempuan membawakan tarian putra. Sebagai
contoh dalam pertunjukan wayang orang, peran Arjuna atau Sri Rama sering sekali
dibawakan oleh penari putri, kareana karakter serta geraknya yang begitu lembut hampir
menyerupai perempuan. Demikian pula dengan pertunjukan tari topeng Cirebon, dimana
dari sekian banyak dalang topeng yang ada, yang sering muncul dan dikenal namanya,
bahkan sampai diberikan penghargaan adalah dalang-dalang topeng perempuan seperti
Mimi Sawitri, dan Mimi Rasinah. Mereka merupakan jawara-jawara panggung ketika
menarikan tari topeng, terlebih lagi ketika menarikan tari topeng Klana, yang memiliki
karakter sangat gagah (Danawa), sifat perempuannya hilang, tuanya hilang, rentanya
hilang, dan berubah menjadi sosok karakter laki-laki yang luar biasa bengis. Lain halnya
dengan pertunjukan Opera Beijing, dimana Meifang, seorang putri yang diperankan oleh
laki-laki. Kemudian dalam tari Umbul di Sumedang, laki-laki yang berperan menjadi
wanita dalam menari, serta penari jaranan pada pertunjukan Reog Ponorogo penari
laki-laki yang dirias cantik menyerupai wanita. Kenyataan tersebut merupakan sebuah
11
kesadaran pemahaman gender dalam pembelajaran seni tari di sekolah formal, yang
dirasakan oleh seluruh siswa baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan.
Untuk menyikapi permasalahan di atas seorang guru atau pendidik seni diharapkan
memiliki kemampuan untuk menyampaikan, menjelaskan dan menjadikan pembelajaran
tari lebih menarik, menyenangkan, kreatif, dan dapat diikuti oleh semua siswa tanpa
adanya ketidakadilan gender, atau dengan kata lain pembelajaran seni tari ini berwawasan
gender, sehingga manfaat dan nilai yang terkandung dalam pembelajaran seni tari dapat
di rasakan secara nyata oleh seluruh siswa. Salah satu upaya guru untuk mewujudkan
harapan tersebut adalah dengan strategi pembelajaran yang tepat, dan didukung oleh
model pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran merupakan suatu hal yang penting
dalam proses belajar mengajar, dan dapat diartikan sebagai bagian dari strategi belajar
mengajar. Pernyataan di atas senada dengan pendapat Oemar Hamalik (1993 : 79 )
sebagai berikut.
”Strategi pembelajaran merupakan pola umum untuk mewujudkan proses belajar mengajar dan siswa serta guru terlibat didalamnya secara aktif. Pola umum dapat juga disebut model pembelajaran. Model adalah barang tiruan dari gejala atau hidup yang nyata. Berfungsi untuk mencoba meningkatkan gejala yang nyata dalam kehidupan yang sangat kompleks”.
Oleh karena itu guru perlu mengetahui sekaligus menguasai model-model
pembelajaran, guna mempermudah penyampaikan materi atau bahan pelajaran pada
siswa.
Permasalahan di atas menarik perhatian peneliti untuk mengkajinya lebih mendalam.
Salah satu cara atau strategi yang akan peneliti lakukan adalah dengan menerapkan salah
12
Role playing pada awal mulanya dipergunakan bagi kepentingan layanan bimbingan
dan psioterapi. Akan tetapi model ini dapat juga diterapkan dalam pendekatan
pengajaran. Sejumlah ahli telah mengujicobakannya secara berhasil. Diantara ahli-ahli itu
yang karyanya menjadi acuan utama model mengajar ini ialah Fannie Shaftel dan
George Shafel. Dari beberapa referensi yang peneliti temukan baik di internet maupun
dalam bentuk buku, makalah ataupun karya tulis lain, model ini biasa digunakan dalam
mata pelajaran sosial, seperti sejarah, geografi, juga bahasa. Proses singkatnya yakni,
mengidentifikasi masalah, menentukan peran, membagi peran, kemudian bermain peran.
Setelah pemeranan selesai maka siswa dan guru melakukan diskusi atas pemeranan yang
telah dilakukan. Diskusi tersebut membahas dua hal, yang pertama kesesuaian peran, dan
yang kedua alternatif jawaban dari masalah yang diajukan, ini berhubungan dengan
skenario yang dibuat. Apakah alur cerita mendukung terhadap masalah yang diajukan
atau tidak. Setelah diskusi, maka pertunjukan dimulai kembali dengan pemeran yang
berbeda dan diakhiri dengan diskusi kembali. Hal tersebut dilakukan agar siswa
menemukan berbagai alternatif jawaban dari suatu masalah yang diajukan. Demikian
langkah- langkah singkat dalam pelaksanaan model role playing yang biasa dilakukan
pada mata pelajaran umum di sekolah.
Dalam mata pelajaran seni tari model ini perlu diadaptasi, dan disesuaikan dengan
karakteristik pembelajaran seni tari namun tetap mengacu pada syntax yang telah di
tepatkan. Mengingat bahawa substansi baku dari tari adalah gerak, maka pemeranan yang
biasanya menggunakan bahasa lisan saja, kini lebih didominasi dengan bahasa gerak.
13
Peneliti memilih model role playing untuk dijadikan salah satu alternatif jawaban
dari masalah di atas. Adapun dasarnya, pertama, poin terpenting dari model pembelajaran
role playing adalah pemeranan. Siswa diajak untuk bermain peran menjadi orang lain,
baik peran yang sesuai dengan jenis kelaminnya ataupun yang tidak sesuai, dan untuk itu
siswa dituntut harus bersungguh-sungguh memainkan perannya sebaik mungkin agar
terlihat bagus dan sesuai dengan apa yang diperankannya. Saat siswa berusaha untuk
memerankan sesuatu, sesungguhnya ia dalam proses memahami peran yang
dibawakannya. Proses pemahaman peran ini sangat berharga, karena melalui kegiatan ini
secara tidak langsung siswa dilatih untuk mencermati peran tersebut. Hasil yang
diharapkan dari siswa setelah memahami peran tersebut, ia dapat lebih menghargai
tentang peran tersebut.
Apabila peneliti perhatikan, ketika siswa menarikan salah satu tarian secara tidak
langsung ia sedang bermain peran. Ia memainkan peran sesuai dengan tema tarian yang
dibawakan, sebagai contoh, ketika siswa membawakan tari merak, maka siswa tersebut
sedang memerankan burung merak. Itu berarti model role playing memiliki hubungan
yang dekat dengan kegiatan menari, sehingga peneliti akan lebih mudah dalam
menerapkan model tersebut. Dasar kedua adalah dengan proses pemeranan siswa tidak
merasa terbebani untuk menari, terlebih lagi siswa laki-laki ketika melakukan gerakan
yang lembut, karena fokus yang mereka perhatikan adalah pemeranannya dan bukan
menari. Ini merupakan strategi yang baik agar siswa mau melakukan proses kreatif dalam
eksplorasi geraknya serta merangsang tumbuhnya pemahaman kesadaran gender dalam
dirinya. Dalam seni tari, gender dikonstruksi oleh gerak, rias dan busana, properti, dan
14
pembelajaran seni tari, semestinya dapat dicapai dengan metode role playing. Melalui
metode role playing perubahan ataupun peningkatan pemahaman gender siswa dicermati
baik dari sisi pikiran, sikap, maupun perilakunya.
Kedua dasar tersebut menjadi pegangan peneliti untuk melakukan penelitian dengan
judul ” Upaya Peningkatan Pemahaman Gender melalui Model Role playing Dalam
Pembelajaran Seni Tari pada Siswa Kelas VII SLTP LAB SCHOOL UPI ”
II. Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang muncul, peneliti menghimpun serta merumuskannya sebagai
berikut
1. Bagaimana tahapan model role playing untuk mningkatkan pemahaman
gender dalam pembelajaran seni tari pada siswa kelas VII SLTP Lab School
UPI ?
2. Bagaimana siswa menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara
laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari di kelas VII SLTP Lab
Scool UPI ?
III. Batasan Istilah
A. Model Role Playing
Role playing ini pada awal mulanya dipergunakan bagi kepentingan layanan
bimbingan dan psikotherapi. Akan tetapi model ini dapat juga diterapkan dalam
pendekatan pengajaran. Sejumlah ahli telah mengujicobakannya secara berhasil. Diantara
ahli-ahli itu yang karyanya menjadi acuan utama model mengajar ini ialah Fannie Shaftel
dan George Shafel. Model role playing membawa siswa untuk belajar melalui pemeranan
15
pemeranan tersebut didiskusikan untuk mendapatkan berbagai alaternativ jawaban.
Dalam penelitian ini model tersebut diadaptasi sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam
bidang pendidikan seni tari.
B. Pemahaman Gender
Pemahaman gender dalam penelitian ini adalah pemahaman persamaan dan
perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajarn seni tari yang
tercermin melalui pola pikir, sikap, dan prilaku motorik,
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana model role
playing dapat menumbuhkan pemahaman gender pada siswa dalam proses pembelajaran
seni tari pada kelas VII SLTP Lab School UPI.
1. Memahami mengenai tahapan pembelajaran model role playing untuk
memberikan pemahaman gender pada siswa kelas VII SLTP Lab School UPI
2. Memahami tentang sikap, pola pikir, serta prilaku motorik siswa dalam
menyikapi perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam
pembelajaran tari di kelas VII SLTP Lab Scool UPI
IV. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu alternatif dalam melaksanakan
penbelajaran pendidikan seni tari. Secara khusus penelitian ini pun dapat bermanfaat
16
A. Guru
a. Sebagai salah satu model pengajaran bagi para pendidik seni tari dalam
melaksanakan pembelajan seni tari di sekolah.
b. Sebagai sumber acuan dalam melaksanakan model role playing pada
proses pembelajaran seni tari.
B. Peneliti
a. Memberikan pengetahuan mengenai dampak penerapan model role
playing pada pembelajaran seni tari.
b. Memahami lebih mendalam mengenai penerapan model role playing,
dalam proses pembelajaran seni tari.
c. Sebagai upaya nyata dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas dan memiliki keseimbangan emosional yang matang
melalui pembelajaran seni tari.
V. Metode Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk membahas dan memaparkan tentang perubahan kualitas
pemahaman gender siswa dalam pembelajaran seni tari melalui role playing. Dengan
demikian penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif, meskipun dalam mengamati
perubahan perilaku siswa digunakan diagram perkembangan pemahaman gender siswa
yang menggunakan prosentase sebagai penanda adanya perkembangan tersebut.
Prosentase ini digunakan untuk memperjelas adanya perubahan pemahaman siswa
tentang gender. Prosentase ini didasarkan atas indikator-indikator perubahan pemahaman
17
hasil penelitian, prosentase tersebut akan diuraikan sesuai dengan indikator yang termuat
dalam diagram tersebut.
Untuk pemaparan data-data hasil penelitian, maka peneliti akan menggunakan
metode deskripsi analisis. Data penelitian mengenai tahapan pembelajaran role playing
yang dapat meningkatkan pemahaman gender akan dipaparkan dan diuraikan secara rinci.
Selanjutnya data mengenai perubahan pemahaman kesadaran gender yang dialami oleh
siswa selama proses pembelajaran seni tari juga akan diungkapkan secara terinci.
Pemaparan dan penggambaran proses pembelajaran role playing akan dilakukan setiap
pertemuan. Dengan demikian data-data yang berkaitan dengan proses perubahan pikiran,
sikap, dan perilaku siswa tentang pemahamannya terhadap gender dapat digambarkan
secara jelas dan rinci. Hasil deskripsi tersebut kemudian diolah dan dianalisis dengan
beberapa teori gender, dan pendidikan untuk mendapatkan satu kesimpulan.
Teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah, observasi, wawancara studi
dokumentasi, studi literatur, diagram perkembangan, dan angket. Seluruh data yang
berhasil peneliti kumpulkan akan diolah melalui reduksi data, display data atau
penyajian data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi data. Untuk lebih jelasnya peneliti
akan membahas mengenai metode penelitian dalam bab yang terpisah, yakni bab tiga.
VI. Lokasi dan Sampel Penelitian
A. Lokasi Penelitian
Konteks penelitian mencakup situasi dan kondisi obyektif yang terjadi di lapangan,
18
pertimbangan peneliti memilih SLTP Lab Scool UPI ini, sebagai lokasi penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Setelah peneliti melakukan observasi awal ternyata peneliti melihat bahwa siswa
kelas VII di SLTP Lab Scool masih memilki pandangan bahawa pembelajaran
seni tari untuk siswa perempuan saja.
2. Peneliti memilIki pemikiran bahwa Lab Scool UPI harus menjadi contoh bagi
SLTP yang lain dalam setiap pembelajarnnya, termasuk pendidikan seni tari,
karena Lab Scool terletak di UPI yang nota bene para peneliti dan praktisi
pendidikan.
3. Salah satu prinsip penelitian adalah efektif dan efesien. Lab scool terletak di
lingkugan kampus UPI satu lokasi dengan tempat kuliah peneliti dan pembimbing
peneliti berada, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan
bimbingan dan konsultasi kepada pembimbing dalam melakukan penelitian.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka peneliti merasa tepat untuk mengadakan
penelitian di sekolah tersebut .
B. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh siswa - siswi kelas VII, dalam hal ini peneliti
mengambil kelas VII dengan alasan bahwasannya materi yang akan dipeneliti sampaikan
adalah untuk siswa kelas VII , alasan lainnya adalah pertimbangan perkembangan gender
remaja awal yang baru mulai, sehingga siswa akan terlebih dahulu paham akan gender.
C. Sampel
Peneliti mengambil sampel untuk penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII (b)
19
alasan yakni sesuai dengan kebutuhan penelitian, dimana siswa di kelas VII (b) lebih
banyak siswa laki-laki dibandingkan dengan kelas lainnya, teknik yang digunakan adalah
teknik purposive sampling teknik ini digunakan apabila peneliti punya pertimbangan
tertentu dalam menetapkan sampel sesuai dengan tujuan penelitian ( Satori dan
Komariah, 2009 ,48 ).
Tujuan peneliti adalah ingin melihat tumbuhnya pemahaman gender paad siswa
melalui model role playing dalam proses pembelajaran seni tari, karena yang mendapat
perlakuan adalah seluruh siswa kelas VII (b), maka peneliti ingin melihat perkembangan
siswa secara keseluruhan. Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
BAB III
METODE PENELITIAN
I. Metode Penelitian
Penelitian ini berjudul “Upaya Peningkatan Pemahaman Gender melalui model
role playing Pada Pembelajaran Seni Tari bagi Siswa Kelas VII (b) SLTP Lab. School
UPI”. Penelitian ini berupaya untuk membahas dan memaparkan tentang perubahan
kualitas pemahaman gender siswa dalam pembelajaran seni tari melalui role playing.
Penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif, meskipun dalam mengamati perubahan
perilaku siswa digunakan diagram perkembangan pemahaman gender siswa yang
menggunakan prosentase sebagai penanda adanya perkembangan tersebut. Prosentase ini
digunakan untuk memperjelas adanya perubahan pemahaman siswa tentang gender.
Prosentase ini didasarkan atas indikator-indikator perubahan pemahaman siswa, baik dari
aspek pikir, sikap, maupun perilaku motorik. Indikator tersebut ditetapkan berdasarkan
hasil panduan dari survei awal dan indikator capaian selama proses pembelajaran. Namun demikian, pada pembahasan hasil penelitian, prosentase tersebut akan diuraikan
sesuai dengan indikator yang termuat dalam diagram tersebut.
Untuk pemaparan data-data hasil penelitian, maka peneliti akan menggunakan metode
deskripsi analisis. Data penelitian mengenai tahapan pembelajaran role playing yang
dapat meningkatkan pemahaman gender serta perubahan pemahaman kesadaran gender
yang dialami oleh siswa selama proses pembelajaran seni tari akan dipaparkan dan
diuraikan secara rinci. Pemaparan dan penggambaran proses pembelajaran role playing
64
proses perubahan pikiran, sikap, dan perilaku siswa tentang pemahamannya terhadap
gender dapat digambarkan secara jelas. Hasil deskripsi tersebut kemudian diolah dan
dianalisis dengan beberapa teori gender, dan pendidikan untuk mendapatkan satu
kesimpulan.
II. Teknik Pengumpulan Data
A. Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan dua jenis observasi. Pertama, yakni
observasi yang dilakukan sebelum perlakuan atau pembelajaran dilakukan. Kedua,
observasi yang dilakukan selama perlakuan berlangsung atau selama proses
pembelajaran.
Observasi sebelum perlakuan ditujukan kepada: (1) siswa kelas VII b SLTP Lab
School UPI, (2) pembelajaran seni tari di SLTP Lab Scholl UPI, (3) guru pembelajaran
seni tari, dan (4) lokasi sekolah.
`Observasi yang ditujukan bagi siswa, dilakukan untuk mengamati kondisi awal
keadaan siswa. Dalam hal ini peneliti mengamati sikap dan perilaku siswa tentang
pemahaman gender. Berdasarkan hasil observasi ini diperoleh data bahwa pemahaman
gender siswa pada pembelajaran seni masih dipengaruhi oleh konstruksi gender yang
berlaku di masyarakat umum. Anggapan awal siswa, pembelajaran seni tari hanya
berlaku untuk siswa perempuan.
Observasi tentang pembelajaran seni tari dilakukan untuk melihat proses
pembelajaran seni yang berlangsung di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil observasi,
65
menggunakan materi yang tidak dapat mengakomodir kemampuan siswa perempuan dan
laki-laki.
Observasi mengenai lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui letak sekolah, dan
sarana dan prasarana yang dipunyai oleh sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran seni tari. Berdasarkan hasil observasi, SLTP Lab School mempunyai sarana
dan prasarana yang cukup memadai untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran seni tari.
Observasi yang ditujukan untuk guru seni tari di SLTP Lab School UPI dilakukan
untuk mendapatkan data mengenai: materi yang digunakan dalam pembelajaran, metode
yang digunakan guru dalam pembelajaran, media pembelajaran yang digunakan guru.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam observasi ini, maka guru seni tari di SLTP Lab
School telah melaksanakan pembelajaran seni tari yang sesuai dengan tuntutan KTSP.
Namun demikian, pembelajaran seni tari yang ditujukan untuk peningkatan pemahaman
gender, ataupun pembelajaran seni tari yang menggunakan metode role playing belum
pernah diterapkan di sekolah ini.
Adapun observasi yang dilakukan selama perlakuan berlangsung lebih ditujukan
kepada siswa SLTP Lab School UPI. Pengamatan ditujukan pada perkembangan
kesadaran pemahaman gender siswa melalui berbagai tahapan pembelajaran role playing.
Dalam setiap pertemuannya perubahan pikir, sikap, dan perilaku siswa tentang gender
akan dicatat secara rinci.
Jenis observasi yang peneliti lakukan adalah observasi berperanserta ( participant
observation ). Dalam observasi ini peneliti berperan serta dalam memberikan treatment.
Peneliti berperan sebagai peneliti sekaligus guru kelas. Dasar pertimbangan peneliti
66
serta perkembangan siswa secara detil disetiap pertemuan. Selanjutnya, hasil
perkembangan siswa setelah selesai pembelajaran dapat dijadikan data untuk
menyempurnakan tahapan pembelajaran selanjutnya.
B. Studi Literatur
Untuk menganalisis data-data hasil penelitian, peneliti mencari beberapa literatur
yang terkait dengan judul penelitian ini. Studi literatur yang dilakukan peneliti antara
lain: (1) mempelajari beberapa buku yang terkait dengan permasalahan gender di
masyarakat, (2) mempelajari buku-buku yang memaparkan berbagai persoalan gender
yang terjadi di dunia pendidikan, dalam hal ini buku yang mengupas tentang persoalan
gender di pembelajaran seni tari agak sulit untuk ditemukan, (3) mempelajari role
playing, (4) mempelajari beberapa buku yang terkait dengan metodologi penelitian
kualitatif, dan (5) beberapa buku seni dan pendidikan seni yang terkait dengan gender dan
role playing. Selain buku, digunakan pula data bandingan untuk melengkapi analisis yang
terdapat dalam beberapa sumber seperti: majalah, koran, tesis, artikel, jurnal, internet dan
berbagai buku pelajaran sekolah yang berkaitan langsung dengan masalah pendidikan
kesenian dan konsep-konsep pendidikan seni dan pendidikan kesenian secara universal.
C.Wawancara
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti ditujukan kepada seluruh siswa kelas VII b
SLTP Lab School UPI sebagai objek penelitian. Kegiatan wawancara ini ditempuh
melalui dua cara yakni: (1) tanya jawab langsung, dan (2) pemaparan oleh siswa sendiri
67
peneliti lakukan. Wawancara untuk siswa difokuskan untuk menjaring data mengenai
tanggapan siswa mengenai pemahaman gender dalam pembelajaran seni tari. Wawancara
kepada siswa dilakukan pada pertemuan awal dan pertemuan yang terakhir. Dari hasil
yang didapat dari wawancara dengan siswa, didapatkan data bahwa sebagian besar siswa
mengalami perubahan pemahaman gender setelah mengalami pembelajaran tari yang
menggunakan role playing.
Wawancara pada guru seni tari dimaksudkan untuk mengetahui gambaran secara jelas
mengenai pemahaman gender siswa sebagai sasaran penelitian, baik ditinjau dari pikiran,
sikap, dan perilakunya. Wawancara ini digunakan sebagai data awal tentang pemahaman
gender siswa kelas VII b SLTP Lab School UPI.
Wawancara pada kepala sekolah ditujukan untuk mendapat data mengenai tanggapan
dari pihak-pihak berkepentingan di atas terhadap hasil penelitian ini. Data ini digunakan
sebagai pelengkap analisis tentang pemahaman gender siswa kelas VII b SLTP Lab
School UPI.
D. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi yang peneliti lakukan dalam penelitian ini diantaranya: (1)
melakukan pengambilan gambar pada saat pembelajaran berlangsung berupa foto, dan (2)
melakukan perekaman video saat pembelajaran. Studi dokumentasi melalui video ini
sangat dibutuhkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti berlaku sebagai guru yang
menerapkan pembelajaran sekaligus juga pengamat. Oleh karena itu konsentrasi peneliti
akan terpecah, sehingga tidak semua peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran
68
perekaman video dilakukan dalam setiap pertemuan. Dengan demikian perubahan pikir,
sikap dan perilaku siswa tentang pemahaman gender dapat lebih dicermati dengan
seksama.
E. Diagram Perkembangan Siswa
Salah satu bentuk pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah melalui diagram
perkembangan siswa, yang peneliti tentukan berdasarkan rata-rata perkembangan
kemampuan siswa dan berpedoman pada kriteria-kriteria pemahaman gender yang
peneliti buat. Adapun kriteria ataupun indikatornya meliputi perkembangan pemahaman
gender siswa baik ditinjau dari pikiran, sikap, dan perilaku. Setiap aspek dari indikator
bernilai 33 % , sehingga jumlah dari ketiga aspek tersebut yakni 100%. Diagram tersebut
sebagai gambaran nyata perkembangan siswa dalam bentuk angka presentasi dalam
setiap pertemuan. Adapun kriteria yang diukur dan bentuk diagramnya sebagai berikut.
69
F. Indikator Pemahamn Gender Siswa
1. Pikir (Kognitif)
Pengetahuan, Aplikasi, dan Analisis
a. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu menjelaskan dan mengemukakan
ide atau gagasannya mengenai persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki
dan perempuan dalam pembelajaran seni tari .
b. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu menerapkan ide serta gagasan
mengenai persamaan dan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam
pembelajaran seni tari.
c. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu membedakan peran yang
dibawakan, sesuai dengan karakter yang dibangun dan mampu memberikan
argumentasi denagan apa yang mereka lakukan .
2. Sikap (Afektif)
Penerimaan, Tanggapan dan Penghargaan
a. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu menerima persamaan dan perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran tari.
b. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu memberikan respon serta
tanggapannya terhadap persaman dan perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan dalam pembelajaran seni tari.
c. Siswa laki-laki dan siswa perempuan menghargai persamaan dan perbedaan peran
70
3. Prilaku Motorik ( Psikomotor )
a. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu memahami persamaan dan
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dengan melakukan gerak halus
dan kasar secara bersama-sama dalam pembelajaran tari.
b. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu memahami persamaan dan
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dengan melakukan gerak lembut
dan kuat secara bersama-sama dalam pembelajaran tari.
c. Siswa laki-laki dan siswa perempuan mampu membawakan peran yang sama dan
berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran seni tari
G. Angket
Pada pertemuan terakhir, sekaligus sebagai evaluasi hasil pembelajaran, peneliti
membagikan angket pada siswa. Angket ini terdiri dari lima soal pilihan ganda dan empat
buah soal uraian. Pertanyaan yang diajukan peneliti pada siswa menitikberatkan pada
pemahaman gender siswa. Pemahaman gender yang dimaksud dalam angket ini meliputi
perubahan pikiran, sikap, dan perilaku siswa setelah mengalami pembelajaran seni tari
yang menggunakan role playing. Dari hasil angket, didapatkan data bahwa sebagian
besar siswa mengalami peningkatan pemahaman gender. Hasil angket ini digunakan pula
71
III .Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data bertujuan untuk mendaptkan suatu informasi yang akurat dan valid,
sehingga dapat digunakan untuk menentukan suatu keputusan. Langkah-langkah yang
dilakukan peneliti dalam mengolah data yakni:
A. Reduksi Data
Data hasil penelitian yang didapat dari wawancara, observasi, dan angket selanjutnya
diidentifikasi dan dikategorikan, kemudian direduksi. Adapun aspek-aspek permasalahan
yang direduksi dalam penelitian ini didasarkan pada rumusan masalah, yakni (1) tahapan
pembelajaran role playing untuk meningkatkan pemahaman gender siswa, dan (2)
tanggapan siswa dalam menyikapi perbedaan peran dalam pembelajaran seni tari.
B. Display Data atau Penyajian Data
Data yang didapat dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi kemudian
dikategorikan, dianalisis, dibahas sesuai dengan rumusan masalah. Pemaparan data
dimulai dari tahapan pembelajaran role playing yang dapat meningkatkan pemahaman
gender siswa, selanjutnya dipaparkan mengenai perubahan pemahaman siswa tentang
gender dalam pembelajaran seni tari baik ditinjau dari pikiran, sikap, maupun perilaku
siswa.
C. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi Data
Setelah membahas rumusan masalah tahapan pembelajaran role playing yang
72
perubahan pemahaman siswa tentang gender dalam pembelajaran seni tari baik ditinjau
dari pikiran, sikap, maupun perilaku siswa, kemudian peneliti membuat benang merah
dari kedua rumusan masalah tersebut.
Dalam penelitian ini seluruh data yang berhasil dikumpulkan melalui observasi,
wawancara dan studi dokumentasi, hasil angket serta diagram perkembangan siswa,
kemudian dikaitkan dengan teori yang peneliti gunakan diolah dengan menggunakan
metode deskripsi analisis. Hasil yang didapat adalah berupa gambaran hasil penelitian
dalam bentuk pemaparan secara deskripsi yang kemudian dianalisis berdasarkan data
yang didapat serta teori yang digunakan.
IV. LOKASI, POPULASI dan SAMPEL
A. Lokasi Penelitian
Konteks penelitian mencakup situasi dan kondisi obyektif yang terjadi di lapangan,
dalam hal ini iklim pembelajaran seni tari diSLTP Lab Scool UPI. Adapun yang menjadi
pertimbangan peneliti memilih SLTP Lab Scool UPI ini, sebagai lokasi penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Setelah peneliti melakukan observasi awal ternyata peneliti melihat bahwa siswa
kelas VII di SLTP Lab Scool masih memilki pandangan bahawa pembelajaran
seni tari untuk siswa perempuan saja.
2. Peneliti memilIki pemikiran bahwa Lab Scool UPI harus menjadi contoh bagi
SLTP yang lain dalam setiap pembelajarnnya, termasuk pendidikan seni tari,
karena Lab Scool terletak di UPI yang nota bene para peneliti dan praktisi
73
3. Salah satu prinsip penelitian adalah efektif dan efesien. Lab scool terletak di
lingkugan kampus UPI satu lokasi dengan tempat kuliah peneliti dan pembimbing
peneliti berada, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan
bimbingan dan konsultasi kepada pembimbing dalam melakukan penelitian.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka peneliti merasa tepat untuk mengadakan
penelitian di sekolah tersebut .
B.Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh siswa - siswi kelas VII, dalam hal ini peneliti
mengambil kelas VII dengan alasan bahwasannya materi yang akan dipeneliti sampaikan
adalah untuk siswa kelas VII , alasan lainnya adalah pertimbangan perkembangan gender
remaja awal yang baru mulai, sehingga siswa akan terlebih dahulu paham akan gender.
C.Sampel
Peneliti mengambil sampel untuk penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII (b)
sebnyak 31 siswa yang terdiri dari 19 siwa laki – laki dan 12 siswa perempuan, dengan
alasan yakni sesuai dengan kebutuhan penelitian, dimana siswa di kelas VII (b) lebih
banyak siswa laki-laki dibandingkan dengan kelas lainnya, teknik yang digunakan adalah
teknik purposive sampling teknik ini digunakan apabila peneliti punya pertimbangan
tertentu dalam menetapkan sampel sesuai dengan tujuan penelitian ( Nana Sujana, 2001
,96 ).
Tujuan peneliti adalah ingin melihat tumbuhnya pemahaman gender paad siswa
74
perlakuan adalah seluruh siswa kelas VII (b), maka peneliti ingin melihat perkembangan
siswa secara keseluruhan. Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa – siswi kelas VII (b) dengan jumlah 31 siswa.
V. Langkah-Langkah Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis membagi beberapa tahapan dalam langkah-langkah
penelitian, yaitu:
A. Pra Pelaksanaan Penelitian
1. Observasi
Langkah pertama yang peneliti lakukan dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis
ini adalah observasi tempat, dalam artian meninjau langsung lokasi penelitian yang
diinginkan yakni, SLTP Lab Scool Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi
229 Bandung.
2. Menentukan Judul dan Topik Penelitian
Setelah melakukan survei tempat untuk dijadikan objek penelitian, selanjutnya
peneliti menentukan judul penelitian yang diikuti oleh rumusan masalah penelitian.
3. Pembuatan Proposal
Setelah melalui seleksi judul dan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah
menyususn proposal untuk penyususnan sidang proposal. Kegiatan ini dilakukan melalui
bimbingan langsung dengan pembimbing penelitian yang ditentukan oleh Ketua Prodi
75
4. Menyelesaikan Administrasi penelitian
Persiapan lain yang dilakukan sebelum terjun ke lapangan adalah menyelesaikan
masalah administrasi yang berhubungan erat dengan surat perjanjian, berupa:
a. SK pengangkatan Pembimbing I dan Pembimbing II
b. Surat permohonan izin rektor UPI melalui proses dengan bagian Akademik PPS
UPI
c. Mengurus surat rekomendasi dari pihak sekolah yang menjadai lokasi penelitian yakni
SLTP Lab School Universitas Pendidikan Indonesia.
d. Menentukan Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam
suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 1996: 50). Instrumen dalam penelitian ini
merupakan alat yang dapat mengumpulkan data-data tentang hasil penerapan model
pembelajaran role playing di SLTP Lab Scool Universitas Pendidikan Indonesia
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini berupa tes dan non-tes.
Dalam pembuatan instrumen ini, peneliti menggunakan metode wawancara (interviu),
observasi, diagram perkembangan siswa, dan penyebaran angket. Fungsi keseluruhan
dari instrumen ini adalah sebagai alat dalam pengumpulan data yang diperlukan.
Dalam pelaksanaannya instrumen ini digunakan sebagai pedoman ketika
mengumpulkan data yang diperoleh dari guru pengajar, kepala sekolah dan tentu saja
siswa itu sendiri. Setiap siswa yang merupakan variabel penelitian diujicobakan sebuah
model pembelajaran dengan tujuan menumbuhkan pemahaman gender. Peneliti
76
SLTP Lab Scool Universitas Pendidikan Indonesia ini dan tentu saja observasi langsung
ke tempat penelitian dan melakukan uji coba.
5. Sistem Penilaian
Penilaian dilakukan ketika awal kegiatan, selama kegiatan berlangsung dan terus
diamati sampai dengan akhir kegiatan. Hal yang dinilai oleh peneliti adalah tingkat
pemahaman gender siswa baik pikiran, sikap, maupun perilakunya. Kecenderungan dari
sistem penilaian dilakukan peneliti adalah untuk mengukur atau menilai secara objektif
mengenai hasil pembelajaran yang telah dilakukan peneliti. Kecenderungan dari sistem
penilaian yang dipergunakan peneliti adalah untuk mengukur atau menilai secara objektif
mengenai hasil pembelajaran yang telah dilakukan oleh peneliti. Mengingat penelitian
yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, maka dalam hal ini sisten penilaiannya
mengacu pada poin kriteria-kriteria yang dibuat peneliti. Hal ini diungkapkan oleh
Suharsimi Arikunto (1996: 346) bahwa “terhadap data yang bersifat kualitatif, maka
pengolahannya dibandingkan dengan suatu standar atau kriteria yang telah dibuat oleh
peneliti”.
6. Pelaksanaan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti menggunakan prosedur sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data peneliti dilakukan selama 6 bulan yakni dari bulan Januari 2009
sampai dengan Juni 2009. Hal ini meliputi kegiatan observasi, studi dokumentasi, studi
77
b. Konsultasi dengan Pembimbing
Proses bimbingan dilakukan peneliti dengan Pembimbing I dan Pembimbing II,
dimulai dari persiapan awal penelitian sampai dengan akhir penelitian menjelang sidang
tesis.
c. Pengolahan Data
Untuk menguji kebenaran informasi, dilakukan pengolahan data dengan cara
melengkapi dan memperjelas data yang telah disusun menjadi sebuah tulisan sehingga
data yang telah diolah tersebut menjadi akurat dan valid.
7. Penyusunan Laporan Penelitian
Dalam penyusunan laporan penelitian ini tersusun secara lengkap dan benar dari
halaman judul, Bab I sampai dengan Bab V termasuk didalamnya lampiran-lampiran. Di
dalam penyusunan laporan penelitian ini meliputi proses kegiatan.
a. Penyusunan Data
Penyusunan data atau informasi penelitian dilakukan setelah melalui tahap
pengolahan data. Langkah penyusunan data ini dilakukan agar penulisan laporan
penelitian menjadi sistematis.
b. Pengetikan Data
Proses ini dilakukan setelah data tersusun dengan sistematis melalui proses
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
I. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab IV, peneliti mencoba
menyimpulkan proses pembelajaran seni tari sebelum dan setelah perlakuan treatmen
dengan model role playing untuk meningkatkan pemahaman kesetaraan gender pada
siswa kelas VII SLTP Lab School UPI.
A. Proses Pembelajaran Seni Tari Sebelum Perlakuan
Berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa pembelajaran tari di kelas VII b SLTP
Lab School UPI, masih bias gender. Hal tersebut terlihat dari anggapan atau pandangan
siswa yang masih berpikir bahwa seni tari merupakan milik perempuan, sehingga siswa
laki-laki yang belajar tari akan diejek atau dicemooh oleh kawannya dan dikatakan
”banci”. Sayangnya keadaan tersebut tidak mendapat respon yang baik dari guru
bersangkutan. Seharusnya guru memberikan penjelasan secara bijak mengenai
kedudukan siswa laki-laki dalam pelajaran seni tari. Penjelasan tersebut sangat
dibutuhkan oleh siswa, karena para siswa belum memiliki persepsi mengenai konsep
gender. Para siswa masih mengikuti anggapan dan pandangan masyarakat yang
berpendapat bahwa seni tari adalah milik perempuan .
Disamping itu, guru tari masih melakukan pembelajaran yang dapat dikatakan kurang
kreatif, dimana guru tersebut masih mengajarkan para siswa tarian-tarian bentuk yang
notabene tari putri yang harus diikuti oleh seluruh siswa, baik siswa laki-laki ataupun
138
solah-olah dipermalukan karena menarikan tari untuk perempuan. Guru kurang mengolah
metode yang dapat merangsang siswa untuk mengikuti pembelajaran tari. Perlu diingat
bahwa pembelajaran tari disekolah formal bertujuan bukan untuk menjadikan siswa
sebagai penari yang hebat atau seniman tari, melainkan untuk memberikan pengalaman
estetis serta membantu mengasah emosinalnya agar dapat berkomunikasi secara wajar
dengan lawan jenisnya.
Pembelajaran seni tari yang dilaksanakan oleh guru di sekolah tersebut, memang
tidak sepenuhnya salah, namun alangkah baiknya apabila guru tersebut lebih peka dan
cermat dalam memilih materi serta harus senantiasa menggali berbagai macam model
pembelajaran, sehingga terwujud suatu kegiatan pembelajaran yang kreatif dan
berwawasan gender.
B. Proses Pembelajaran Seni Tari dengan Menggunakan Model Role Playing.
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti tentukan, dalam poin pertama peneliti
ingin melihat tahapan model role playing untuk meningkatkan pemahaman gender dalam
pembelajaran seni tari pada siswa kelas VII SLTP Lab Scool UPI dan poin kedu peneliti
ingin melihat bagaimana siswa menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara
laki-laki dan perempuan dalam pembelajran seni tari. Dari data yang berhasil peneliti
kumpulkan dan peneliti olah, maka melalui model role playing, para siswa mengalami
peningkatan pemahaman gender yang terlihat dalam pola pikir, sikap dan prilaku
motorik. Siswa lebih memahami persamaan dan perbedaan peran dalam pembelajaran
seni tari. Untuk lebih jelasnya berikut ini peneliti akan menjelaskan tahapan model role
139
siswa menyikapi persamaan dan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam
pembelajaran seni tari dalam bentuk bagan.
Bagan VII
Desain Tahapan Pembelajaran Seni TariDengan Model Role Playing untuk Meningkatkan Pemahaman Gender Pada Siswa
Peningkatan aspek pikir, sikap, dan prilaku motorik dalam memahami persamaan dan perbedaan peran
140
Bagan di atas merupakan desain tahapan penelitian dalam pembelajaran seni tari
dengan menggunakan model role playing untuk menumbuhkan pemahaman gender
siswa. Desain tersebut menjelaskan mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan oleh
peneliti dan dampak yang dihasilkan dari treatment yang peneliti berikan. Adapun
treatment yang peneliti berikan terdiri dari 4 treatment yang memilki pola stimulus
berbeda. Pertama peneliti memperkenalkan konsep gender pada siswa melalui metode
ceramah dan tanya jawab. Dalam hal ini peneliti memberikan pengayaan pemikiran pada
siswa terkait persamaan dan perbedaan peran gender siswa dalam pembelajaran seni tari.
Kedua peneliti mulai menerapkan model role playing melalui stimulus cerita dengan
menggunakan dialog. Siswa dibebaskan untuk bermain peran sesuai dengan imajinasinya
Dampak yang muncul adalah kemampuan siswa dalam aspek pikir dan sikap. Siswa
mampu mengeluarkan ide dan gagasannya serta siswa dapat mengaplikasikan idenya dan
terakhir siswa dapat menganalisis pemeranan melalui diskusi bersama. Dalam aspek
sikap, siswa mulai dapat menerima persamaan dan perbedaan peran gender dalam
pemeranan, kemudian siswapun mampu memberikan tanggapan dan menghargai
persamaan dan perbedaan tersebut.
Treatment yang ketiga adalah dengan memunculkan masalah yang sedang hangat
dibicarakan baik di televisi maupun di masyarakat. Masalah atau isu itu diperagakan oleh
siswa sebagai salah satu cara untuk mengatasinya, dalam pemeranannya peneliti
melarang siswa untuk menggunakan dialog. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih
menekankan kemampuan gerak siswa, serta memberikan kesempatan siswa untuk lebih
berekspresi (Fox, dalam Dahlan, 1990:128). Dampak yang didapat adalah kemampuan
141
pemeranan tanpa dialog ini siswa dituntut untuk lebih banyak berfikir dalam menungkan
ide pemeranan dan ide geraknya agar maksud pemeranan dapat lebih dapat dimengerti
oleh penonton. Selain itu aspek sikap yang dapat dilihat adalah penerimaan, respon serta
penghargaan siswa dalam pemeranan dan pada saat diskusi. Prilaku motorik siswa mulai
muncul walau belum terkoordinasi namun memperlihatkan sebuah awal yang baik untuk
pengolahan selanjutnya.
Treatment yang keempat di bagi menjadi dua tahapan dengan stimulus yang sama,
adapun stimulusnya adalah kata benda dan profesi. Tahapan pertama peneliti menentukan
beberapa kata benda dan profesi, kemudian siswa diajak untuk merespon kata tersebut
melalui gerak sesuai dengan imajinasinya. Gerak tersebut disepakati oleh seluruh siswa,
baik siswa laki-laki ataupun siswa perempuan. Untuk awal peneliti memandu siswa
dalam mengkordinasikan kata dengan gerak, namun setelah melakukan beberapa kali
latihan, peneliti mencoba memeberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan dan
memikirkan kata dan respon geraknya. Hasil yang didapat adalah kemampuan prilaku
motorik siswa yang meningkat, dimana siswa mampu memahami persamaan dan
perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan, dengan cara melakukan
gerakkan lembut dan kasar serta gerakan kuat dan lemah. Tahapan yang kedua masih
sama dengan pola tahapan yang pertama yakni merespon kata benda atau profesi dengan
gerak. Penambahan kegiatan pada tahap ini adalah memasukan unsur cerita kedalam
kegiatan tersebut, sehingga siswa setelah merespon beberapa kata benda atau profesi
dengan gerak, siswa diinstruksikan untuk merangkai geraknya melalui sebuah cerita
sederhana. Damapak dari treatment ke tiga ini adalah kemampuan siswa dalam aspek
142
Berani Tam pil Berani Melakukan Gerak Berani Merangkai Ge
diberikan, maka desain model pembelajarn role playing ini berhasil mencapai
indikator-indikator peningkatan pemahaman gender yang peneliti tentukan. Proses pembelajaran
tersebut dapat menjawab rumusan peneliti poin pertama yakni tahapan model role
playing dalam meningkatkan pemahaman gender siswa serta pon kedua yakni cara
menyikapi persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam
pembelajaran seni tari. Data lain yang peneliti kumpulkan untuk memperkuat temuan
peneliti diatas adalah diagram perkembangan kemampuan siswa dalam aspek pikir, sikap
dan prilaku motorik.
Dalam penelitian ini, peneliti membuat diagram yang bertujuan untuk memonitor
perkembangan siswa secara klasikal. Pegolahan data diagram, menunjukan hasil yang
cukup memuaskan dimana pemahaman siswa dalam aspek pikir meningkat 27% - 10% =
17%. Kemudian pemahaman siswa dalam sikap meningkat 20% - 5% = 15%. Selanjutnya
pemahaman siswa dalam prilaku motorik mulai muncul sekitar 15% - 5% = 10% . Hasil
analisis tersebut menunjukan bahwa dengan model role playing dapat meningkatkan
143
Bentuk pemahaman dari persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan
perempuan dalam pembelajaran tari ini, terlihat juga dari jawaban siswa terhadap
pertanyaan peneliti yang peneliti sebar dalam bentuk angket. Angket ini merupakan
bentuk evaluasi akhir yang peneliti buat untuk melihat peningkatan pemahaman gender
siswa. Dari jumlah 31 siswa yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan
peneliti mendapatkan jawaban yang sanngat membanggakan. Rata-rata siswa laki-laki
tidak berfikir lagi, bahwa pembelajaran seni tari milik siswa perempuan saja, dan bila
lakilaki belajar seni tari bukan berarti banci. Siswa perempuanpun banyak yang
mendukung siswa laki-laki untuk belajar seni tari. Artinya kemampuan siswa dalam
memahami persamaan dan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam
pembelajaran seni tari mengalami peningkatan yang signifikan, hal tersebut tercermin
dari meningkatnya pemahaman gender siswa dalam aspek pikir, sikap dan prilaku
motorik.
II. Rekomendasi
A. Bagi Sekolah
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, peneliti memiliki beberapa catatan bagi
pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, sehubungan dengan pembelajaran seni
tari. Pertama, peneliti menyarankan untuk adanya sebuah ruang tari yang khusus, dimana
siswa serta guru tari dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan maksimal dan
penuh kreativitas. Kedua, diharapkan pihak sekolah melalui bagian kurikulum lebih
memperhatikan pelajaran seni budaya, berkaitan dengan waktu belajar yang dirasakan
144
berkaitan dengan pemahaman gender pada siswa dalam pembelajaran seni tari,
diharapkan pihak sekolah dapat memberikan apresiasi kepada siswa melalui
kegiatan-kegiatan kesenian yang melibatkan seluruh siswa baik siswa laki-laki ataupun siswa
prempuan.
B. Bagi Guru
Sesuai dengan pembahasan peneliti dalam penelitian ini, seorang guru tari diharapkan
dapat terus menggali berbagai macam metode dan model pembelajaran yang dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran tari. Kemudian, guru tari diharapkan dapat melihat
keluhan-keluhan yang disampaikan oleh siswa dalam pembelajaran seni tari sehingga
tidak terjadi ketidakadilan gender dalam pembelajaran seni tari. Permasalahan siswa
laki-laki tidak mau mengikuti pembelajaran seni tari memang sampai saat ini masih banyak
dibicarakan dalam berbagai kegiatan oleh para guru tari. Mudah-mudahan penelitian ini
dapat dijadikan bahan apresiasi dan bahan kajian bagi para guru tari yang memilki
permasalahan seperti tersebut diatas.
C. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian yang peneliti lakukan ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif
untuk menumbuhkan pemahamn gender pada siswa dalam pembelajaran seni tari. Oleh
sebab itu diharapkan para peneliti selanjutnya dapat menggali dan melihat lebih dalam
mengenai alternatif serta jawaban untuk dapat menjadikan pembelajaran seni tari
berwawasan gender.