• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT JIWA “X” JAWA TENGAH PERIODE JANUARI – SEPTEMBER Potensi Interaksi Obat Antidepresan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Periode Januari September Tahun 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT JIWA “X” JAWA TENGAH PERIODE JANUARI – SEPTEMBER Potensi Interaksi Obat Antidepresan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang Periode Januari September Tahun 2015."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TAHUN 2015

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

IRNA FITRIANA

K 100 120 158

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA

2015

(2)

 

(3)

POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT JIWA “X” JAWA TENGAH PERIODE JANUARI – SEPTEMBER TAHUN 2015

 

POTENTIAL DRUG INTERACTION OF ANTIDEPRESSANTS IN “X” MENTAL HOSPITAL CENTRAL JAVA IN THE PERIOD OF JANUARY TO SEPTEMBER

2015

Irna Fitriana, Nurul Mutmainah

Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl AYani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura Surakarta 57102

#E-mail: irnafitriana88@gmail.com

ABSTRAK

Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) sehingga yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Depresi lebih banyak dijumpai pada seseorang dengan kepribadian tertentu yang banyak ditentukan oleh genetik. Antidepresan pada pasien yang mengalami gangguan depresi,

banyak dikonsumsi bersamaan dengan obat lain sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya interaksi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi antidepresan di Rumah Sakit Jiwa “X” Jawa Tengah periode Januari - September tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan analisis deskriptif dan pengambilan data rekam medik secara retrospektif. Sampel diambil menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 73 yang memenuhi kriteria inklusi meliputi pasien yang mendapatkan terapi antidepresan, mendapatkan minimal 2 obat dan data rekam medik lengkap, terdiri dari 52 pasien rawat inap dan 21 rawat jalan. Kemudian data dianalisis secara deskriptif menggunakan buku-buku standar dan database seperti www.medscape.com pada menu drugs interaction checker.Hasil penelitian menunjukkan obat antidepresan yang paling banyak digunakan adalah amitriptilin sebanyak 65,3%. Pasien yang mengalami potensi interaksi farmakokinetik sebanyak 59,19%, interaksi farmakodinamik 40,80%. Pasien yang mengalami potensi interaksi dengan level minor sebanyak 0,61%, level signifikan sebanyak 51,18% dan level serius sebanyak 41,21%.

Kata kunci: Depresi,obat, antidepresan, potensi interaksi.

ABSTRACT

Drug interaction is one kind of drug related problems (DRPs), therefore it can influence the clinical outcome of patient. Depression is commonly found in someone with a certain personality which is merely determined by genetics. Antidepressant for the patient who suffers from depression is usually consumed together with other drugs. In this case, it has tendency to the potential cause of interaction incident. This research was aimed to find out the possibility of the potential drug interaction incident occurred in patients having an antidepressant therapy at “X” Mental Hospital in Central Java in the period of January to September 2015. This is non experimental research was done by using a descriptive analysis design and medical record data which was conducted retrospectively. The sample was taken by using purposive sampling method. The number of sample taken was 73 people who met the criteria of inclusion including the patients who had an antidepressant therapy, with minimum of two drugs and complete medical record data, consisting of 52 inpatients and21 outpatients. Then, the data were analyzed descriptively by using standard books and database such as www.medscape.com on the menu of drugs interaction checker. The results of the research showed that the antidepressant drug that was commonly used is amitriptilin, 65.3%. Patients whohad the potential of pharmacokinetic interaction were a 59.19%, pharmacodynamic interaction was 40.80%. Patients who had the potential of interaction with a minor level were 0.61%, the level of significance was 51.18% and the level of severe reaction was 41.21%.

(4)

PENDAHULUAN

Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih

merupakan masalah. Adanya penggunaan polifarmasi lebih dari 50% menerima 4 atau

lebih obat untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotika yang berlebihan (43%),

waktu konsultasi yang singkat yang rata-rata berkisar 3 menit saja serta tidak adanya

kepatuhan (Syamsudin, 2011). Penggunaan antidepresan pada pasien yang mengalami

gangguan depresi, banyak dikonsumsi bersamaan dengan obat lain sehingga berpotensi

mengakibatkan terjadinya interaksi, prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah

50% hingga 60%, obat-obatan yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika

menunjukkan prevalensi sekitar 5% hingga 9%, sekitar 7% efek samping pemberian obat

di rumah sakit disebabkan oleh interaksi obat (Syamsudin, 2011).

Obat antidepresan memiliki banyak interaksi yang bermakna klinis dengan obat-obat

yang lain. Penelitian (Miguel and Albuquerque, 2011) menunjukkan adanya interaksi obat

antidepresan golongan trisiklik dengan obat antineoplastik, dimana antidepresan trisiklik

menghambat isoenzim CYP2C19 dan CYP2D6, selain itu antidepresan golongan SSRI

juga dapat menghambat isoenzim CYP2C19,sehingga interaksi tersebut dapat mengganggu

efektivitasantineoplastikdanmeningkatkantoksisitas.Banyaknya interaksi yang bermakna

klinis ini melandasi adanya penelitian tentang interaksi obat antidepresan di RSJ “X” Jawa

Tengah.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dilakukan dengan

mengumpulkan data rekam medik pasien rawat inap dan rawat jalan megunakan studi

retrospektif yang kemudian dianalisis dengan metode deskriptif. Data dicatat dalam lembar

pengumpulan data. Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien yang mendapatkan

obat antidepresan dan yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di RSJ “X” Jawa Tengah.

ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpulan data,

buku-buku standar seperti Stockley’s Drug Interaction 8th Edition dan Drug Interaction Fact

serta programdatabase seperti www.medscape.com pada menu drug interaction

checker.Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien yang

(5)

JALANNYA PENELITIAN

1. Tahap pertama adalah tahap perijinan

Surat ijin penelitian dari fakultas diberikan kepada bagian penelitian dan

pengembangan RSJ “X” Jawa Tengah untuk mendapatkan ijin melakukan penelitian.

2. Tahap kedua adalah presentasi proposal

Presentasi dilakukan untuk menilai kelayakan dari sisi etik dan hukum. Proposal

yang sudah dinilai layak dapat dilanjutkan untuk melakukan penelitian.

3. Tahap ketiga adalah penelusuran data

Proses penelusuran data dimulai dengan permohonan pengambilan sampel di

Instalasi Rekam Medik (IRM). IRM, berdasarkan kebijakan rumah sakit, memberikan

sampel yang berupa daftar nama pasien dan nomor rekam medik beserta obat antidepresan

yang diterima sebanyak 110 sampel, cara pengambilan sampel ditentukan dengan

menyeleksi sampel-sampel tersebut sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan,

kemudian dilakukan pencatatan semua data dari rekam medis meliputi nomer rekam medik

pasien, usia, diagnosa, nama obat , dosis yang diberikan, rute pemberian, frekuensi, lama

pemberian, tanggal pemberian dan waktu pemberian obat.

4. Tahap keempat adalah pengolahan data

Data rekam medis yang terpilih diolah untuk dianalisis apakah ada potensi interaksi

secara teori berdasarkan hasil program databasewww.medscape.compada menu drug

interaction checker, kemudian dari hasil tersebut dihitung persentase kejadian interaksi

yang berpotensial. Data disajikan dalam bentuk tabel meliputi karakteristik pasien,

distribusi penggunaan obat, dan persentase hasil potensi interaksi yang meliputi interaksi

obat berdasarkan mekanisme, dan interaksi obat berdasarkan level signifikansinya.

5. Tahap kelima adalah presentasi hasil penelitian

Presentasi dilakukan melaporkan seluruh hasil penelitian yang dilakukan sebagai

syarat untuk mendapatkan surat keterangan selesai penelitian.

ANALISIS DATA

Analisis data diperoleh dengan cara mengolah data penggunaan obat pada rekam

medik pasien yang mendapatkan terapi antidepresan menggunakan

programdatabasewww.medscape.com pada menu drug interaction checker. Hasil dari

analisis data tersebut dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui persentase kejadian

interaksi obat yang meliputi interaksi minor, signifikan dan serius. Data pemberian obat

dianalisis dengan buku Drug Interaction Handbook (Stockley, 2008)dan Drug Interaction

(6)

HASIL & PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dari penelitian ini menggunakan data rekam medik pasien

rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) “X” Jawa Tengah. Sepanjang

periode Januari-September tahun 2015 terdapat 2382 pasien rawat inapdan rawat jalan

dengan profil pengobatan menggunakan satu atau lebih obat antidepresan. Kebijakan

Rumah Sakit mengijinkan pengambilan sampel sebanyak 110 data rekam medik.

Sampel-sampel tersebut selanjutnya diseleksi menggunakan kriteria inklusi dan didapatkan 73 data

yang memenuhi kriteria tersebut.

A. Karakteristik Pasien

Tabel 1. Distribusi Pasien yang Menerima Pengobatan Antidepresan di RSJ “X” Jawa Tengah periode Januari-September tahun 2015 (n= 73)

Kriteria Jumlah Persentase

(%)

Depresi tipe skizoafektif Skizofrenia paranoid Depresi pasca skizofrenia Skizofrenia residual Depresi berat Depresi akut Skizofrenia katatonik Depresi gejala paranoid

Status perawatan

Berdasarkan usia, pasien dengan rentang usia 31-46 memiliki prevalensi tertinggi

mendapatkan terapi antidepresan. Gangguan depresi umumnya mulai muncul pada masa

remaja dan terjadi dalam satu keluarga. Walaupun depresi dapat terjadi pada semua usia,

namun kejadian terbesar gangguan depresi terjadi pada usia 18-44 tahun (Pieter et al.,

2011).

Hasil penelitian ini menunjukkan pengguna obat antidepresan lebih banyak pada

laki-laki (Tabel 1). Secara teoritis, karakteristik gender pada kejadian depresi klinis

maupun subklinis lebih tinggi dialami oleh perempuan(Darmayanti, 2002).

Diagnosa terbanyak dari pasien yang didapat adalahSkizoafektif tipe depresi (Tabel

1). Skizoafektif tipe depresi dapat ditegakan apabila terdapat suatu tanda yaitu pada saat

(7)

skizofrenia yakni halusinasi, disorganisasi dalam berbicara, prilaku yang tidak terkontrol,

katatonik, gejala negatif dan lain-lain. Dasar utama dari farmakoterapi untuk gangguan

skizoafektif adalah pemberian protokol antidepresan dan antimania jika semuanya

diindikasikan dan diberikan antipsikotik hanya digunakan jika diperlukan untuk

pengendalian jangka pendek (Surbakti, 2014).

B. Karakteristik Obat

Distribusi penggunaan obat pada pasien di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang

dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Penggunaan Obat pada Pasien diRSJ. “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=73)

Kelas Terapi Golongan Nama Obat Jumlah Persentase

(% )

Antidepresan Antidepresan trisiklik (TCA) Amitriptilin 49 65,3

SSRI Fluoksetin 24 32

Proton pumb Inhibitor - Vitamin B complex Vitamin B1

Berdasarkan tabel 2, Pada penelitian ini antidepresan trisiklik paling banyak

digunakan yaitu amitriptilin yang diresepkan pada 49 pasien sedangkan golongan Selective

Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs (SSRI) diresepkan pada 26 pasien

(Tabel 2). Anderson, (2000) menyatakan bahwa TCA lebih menguntungkan dari pada

SSRI pada beberapa pasien rawat inap. Kedua obat memiliki efektifitas yang sama atau

sebanding sebagai antidepresan, namun SSRI lebih mudah ditoleransi oleh pasien

dibandingkan TCA.Golongan antidepresan trisiklik merupakan obat generasi pertama dan

digunakan secara luas pada penanganan depresi. Obat ini efektif karena meningkatkan efek

serotonergik dan noradrenergik. Namun antidepresan trisiklik juga memblok histamin,

(8)

peningkatan berat badan, mulut kering dan konstipasi (Feighner, 1999) . Dosis harian total

amitriptilin adalah 75-150mg/hari untuk rawat jalan dan 200-300mg/hari untuk rawat inap.

Berdasarkan tabel 2, antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah Risperidon

yang diresepkan pada 45 pasien atau sebesar 61,6% (tabel 2). Risperidon adalah

antipsikotik golongan atipikal. Risperidon merupakan obat utama pada penatalaksanaan

semua fase dan semua tipe skizofrenia (Evoy, 2008). Penambahan antagonis serotonin

pada antagonis dopamine (mekanisme neuroleptik klasik) diperkirakan dapat memperbaiki

gejala negatif dan menurunkan insiden efek samping ekstrapiramidal (Fuller and Sajatoviv,

2002).Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa hampir semua pasien menggunakan Triheksifenidil.

Triheksifenidil merupakan obat golongan antikolinergik. Antikolinergik digunakan

bersama dengan antipsikotik bertujuan untuk meniadakan efek samping ekstrapiramidal

dari antipsikotik (Stockley, 2008).

C. Interaksi Obat

Tabel 3. Distribusi Interaksi Obat Antidepresan dengan Obat Lain Berdasarkan Mekanisme pada Pasien di RSJ “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=174)

Mekanisme Obat A Obat B Rute Jumlah

Kejadian

Presentase (%)

Farmakokinetik Amitriptilin

(9)

Interaksi obat dengan mekanisme farmakokinetik memiliki tingkat kejadian yang

paling banyak yaitu 103 atau sebesar 59,19%.Interaksi dengan mekanisme

farmakodinamik terjadi sebanyak 71 kejadian atau sebesar 40,80% (tabel 4).Interaksi

farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi obat yang kedua dalam hal

ADME (Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi), sehingga kadar obat kedua dalam

plasma darah menjadi meningkat atau menurun, sedangkan interaksi farmakodinamik

merupakan interaksi antara 2 obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau

sistem fisiologi yang sama sehingga menimbulkan efek aditif, sinergis atau antagonis tanpa

menimbulkan perubahan kadar obat dalam plasma (Ganiswara, 2008).

Distribusi interaksi obat antidepresan dengan obat-obat lain berdasarkan level

signifikikansinya dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Interaksi Obat Antidepresan dengan Obat Lain berdasarkan Level Signifikansi pada Pasien di RSJ “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=165)

Level Signifikansi

Obat A Obat B Interaksi yang terjadi

((Medscape, 2015)

Jumlah kejadian

Persentase (%)

Minor Sertralin Trifluoroperazin Peningkatan kadar atau efek trifluoroperazin 1 0,61

Signifikan Amitriptilin

Menurunkan efek atau transmisi kolinergik Menyebabkan efek samping ekstrapiramidal Peningkatan efek sedasi

Peningkatan efek sedasi (sinergisme) Peningkatan efek sedasi (sinergisme) Peningkatan kadat atau efek amitriptilin Peningkatan kadar clozapin dalam darah Penurunan dosis haloperidol

Penurunan dosis clozapin

Peningkatan kadar atau efek ibuprofen Peningkatan kadar atau efek fluoksetin Peningkatan kadar atau efek klorprimazin Peningkatan QTC interval

Menyebabkan sindrom serotonin

43

Peningkatan QTC interval

Peningkatan kadar amitriptilin dalam darah Peningkatan kadar klorpromazin dalam darah Menyebabkan sindrom serotonin

Menyebabkan efek samping ekstrapiramidal Menyebabkan efek samping ekstrapiramidal Menyebabkan toksisitas

Peningkatan klorpromazin dalam darah

17

Interaksi obat paling banyak terjadi adalah interaksi dengan level signifikan, yaitu

sebanyak 96 kejadian atau sebesar 58,18%. Kemudian diikuti level signifikansi serius sebanyak 68 kejadian atau sebesar 41,21% dan level signifikansi minor sebanyak 1 kasus

(10)

Rincian penjelasan mengenai interaksi obat-obat diatas adalah sebagai berikut:

1. Interaksi obat berdasarkan level serius

a. Amitriptilin – Haloperidol

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan haloperidol menyebabkan

terjadinya peningkatan kadar amitriptilin dalam darah. Hal ini dikarenakan haloperidol

menurunkan metabolisme dari amitriptilin. Manajemen dari interaksi ini adalah dengan

memonitor konsentrasi serum dan efek amitriptilin. Dosis amitriptilin dapat dinaikan

apabila diperlukan(Tatro, 2009).

b. Amitriptilin – Klorpromazin

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan klorpromazin

menyebabkan peningkatan konsentrasi yang signifikan dari klorpromazin di dalam darah.

Jika terapi kombinasi ini diberikan, maka dosis klorpromazin (75-300mg/hari) harus

diturunkan atau saat pemberian dari kedua obat ini, dosis harus diturunkan untuk menjaga

kadar terapetik dari klorpromazin (Rasheed et al., 1994). Amitriptilin dan klorpromazin

sama-sama merupakan substrat CYP2D6 sehingga kompetisi antar keduanya untuk

menduduki reseptor enzim tersebut menyebabkan peningkatan klorpromazin dalam darah

(Mental, 2011).

c. Amitriptilin – Trifluoroperazin

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan trifluoroperazin

menyebabkankeduanya meningkatan QTC interval(Medscape, 2015)yaitu suatu bentuk

aritmia jantung dimana terjadi perpanjangan interval QT sehingga dapat menyebabkan

takikardi yang dapat berakibat fatal pada pasien bila tidak tertangani (Naibaho, 2008).

Abnormalitas dan perubahan pada EKG dapat disebabkan karena penggunaan dosis

amitriptilin yang berlebih dan diikuti oleh pemberian trifluoperazin pada dosis terapetik

(Yap & Camm, 2003).

d. Amitriptilin-Escitalopram

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan escitalopram dapat

meningkatkan kadar serotonin. Hal ini berpotensi serius dan merupakan interaksi yang

dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, kombinasi kedua obat ini dikontraindikasikan,

kecuali bila terdapat pertimbangan keuntungan yang lebih besar dari pada risikonya atau

ketidaktersediaan obat lain sebagai penggantinya (Medscape, 2015). Amitriptilin dengan

escitalopram menghambat reuptake serotonin akibatnya serotonin berada dalam jumlah

yang banyak di celah sinaps. Antidepresan serotonergik dimetabolisme oleh sitokrom

(11)

metabolisme ini sehingga berdampak dan menyebabkan terjadinya sindrom serotonin

(Bishop & Bishop, 2011). 

e. Fluoksetin – Risperidon

Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan risperidon dapat

menyebabkan ekstrapiramidal yang gejalanya yaitu distonia,akatisia, gangguan parkinson

(tremor, bradikardi) dan diduga terjadi peningkatan kadar prolaktin dan ginekomastia pada

pasien. Fluoksetin menghambat metabolisme risperidon dengan menghambat enzim

pemetabolismenya yaitu sitokrom P450 isoenzim CYP2D6. Reaksi lain seperti sedasi,

retensi urin, juga bisa terjadi sebagai efek samping dari pemberian risperidon dengan

fluoksetin (Stockley, 2008).

f. Fluoksetin – Haloperidol

Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan haloperidol menyebabkan

terjadinya gejala ekstrapiramidal seperti parkinson atau akhatisia. Pada kasus lain, pasien

yang mendapatkan kombinasi ini mengalami efek samping antimuskarinik yang parah,

selain itu juga mengalami tremor dan akhatisia. Kondisi pasien biasanya membaik setelah

satu minggu pemberian kedua obat ini dihentikan (Stockley, 2008). Kombinasi tersebut

perlu dimonitoring secara ketat terhadap efek ekstrapiramidal yang mungkin dialami

pasien (Hansten & Horn, 2000).

g. Fluoksetin – Amitriptilin

Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan amitriptilin dapat

menyebabkan peningkatan kadar amitriptilin dalam darah sehingga meningkatkan kadar

dari metabolit aktifnya nortriptilin. Walaupun kombinasi antara antidepresan trisiklik

(TCA) dan Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs (SSRI) sering

digunakan dan memberikan hasil yang positif, respon pasien terhadap TCA harus

dimonitoring secara ketat apabila SSRI dihentikan ataupun diubah dosisnya (Hansten &

Horn, 2000).

h. Fluoksetin – Klorpromazin

Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan klorpromazin, dapat

menyebabkan peningkatan kadar atau efek dari klorpromazin melalui mekanisme

penghambatan metabolisme oleh enzim CYP2D6 di hati. Interaksi ini berpotensi serius

atau mengancam jiwa sehingga perlu dimonitoring secara ketat dan diberikan obat lain

sebagai pengganti bila tersedia (Medscape, 2015). Fluoksetin dan klorpromazin sama-sama

merupakan substrat CYP2D6 sehingga kompetisi antar keduanya untuk menduduki

reseptor enzim tersebut menyebabkan peningkatan klorpromazin dalam darah (Mental,

(12)

2. Interaksi obat dengan level signifikan

a. Amitriptilin – Triheksifenidil

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan triheksifenidil dapat

menurunkan efek atau transmisi kolinergik. Interaksi bersifat potensial untuk terjadinya

efek aditif antikolinergik. Interaksi ini perlu dimonitoring secara ketat dan bila perlu

dilakukan penggantian obat (Medscape, 2015). Penggunaan obat-obat antidepresan

(amitriptilin) dengan antikolinergik (triheksifenidil) pada dosis terapetik dapat

menyebabkan delirium akut karena aktivitas kolinergik (Moreau et al., 1986).

b. Amitriptilin – Risperidon

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan risperidon dapat

menyebabkan terjadinya reaksi ekstrapiramidal karena efek samping dari risperidon,

mekanisme yang terjadi diduga karena terjadinya interaksi baik farmakokinetik maupun

farmakodinamik. Oleh karena itu peresepan kedua obat ini perlu mendapatkan perhatian

dan dimonitorng secara ketat(Stockley, 2008).

c. Amitriptilin – Clozapin

Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan clozapin dapat

menyebabkan peningkatan efek sedasi (sinergisme). Pemberian kedua obat ini memiliki

potensi interaksi yang besar sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya

(Medscape, 2015). Pemberian amitriptilin yang merupakan suatu antikolinergik bersamaan

dengan clozapin akan meningkatkan efek antikolinergik yang juga dimiliki oleh clozapin

(Young et al., 1998).

d. Amitriptilin- Olanzapin

Olanzapin mengeblok reseptor serotonin (5-HT2C) menyebabkan kadar serotonin

tinggi dan amitriptilin bekerja dengan memperpanjang aksi serotonin sedangkan salah satu

efek serotonin adalah menyebabkan sedasi (Sharpley et al., 2000). Penggunaan secara

bersamaan antara amitriptilin dengan olanzapin dapat menyebabkan peningkatan efek

sedasi (sinergisme). Pemberian kedua obat ini memiliki potensi interaksi yang besar

sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya (Medscape, 2015).

e. Amitriptilin-Alprazolam

Alprazolam dapat meningkatkan kadar serotonin dan amitriptilin bekerja dengan

memperpanjang aksi serotonin sedangkan salah satu efek serotonin adalah sedasi

(Bentue-Ferrer et al., 2001). Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan

(13)

obat ini memiliki potensi interaksi yang besar sehingga perlu monitoring terhadap

penggunaan keduanya (Medscape, 2015).

f. Amitriptilin- Clobazam

Clobazam merupakan inhibitor CYP2D6 sedangkan amitriptilin merupakan obat

yang dimetabolisme oleh CYPD26 sehingga penghambatan terhadap enzim tersebut

meningkatkan kadar amitriptilin(Walzer et al., 2012) Interaksi bersifat signifikan sehingga

perlu dimonitor secara ketat. Penurunan dosis obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6

diperlukan apabila kedua obat ini digunakan secara bersamaan (Medscape, 2015).

g. Escitalopram-Haloperidol

Escitalopram merupakan inhibitor sitokrom P450 isoenzim CYP2D6 sehingga

menghambat metabolisme haloperidol. Penanganan dari interaksi ini adalah dengan

menurunkan dosis haloperidol (Stockley, 2008).

h. Escitalopram-Clozapin

Escitalopram meningkatkan kadar clozapin dengan mempengaruhi CYP2D6

Interaksi bersifat signifikan sehingga perlu dimonitor secara ketat. Penurunan dosis

clozapin diperlukan apabila kedua obat ini digunakan secara bersamaan (Medscape, 2015).

Escitalopram merupakan inhibitor CYP2D6 yang dapat meningkatkan konsentrasi clozapin

dalam plasma dan risiko kejang (Ewald Howarth et al., 2004).

i. Fluoksetin- Clozapin

Fluoksetin meningkatkan kadar clozapin dengan mempengaruhi CYP2D6.

Interaksi bersifat signifikan sehingga perlu dimonitor secara ketat. Diperlukan penurunan

dosis clozapin(Stockley, 2008). Fluoksetin merupakan inhibitor yang poten dan selektif

untuk CYP2D6 sehingga penghambatan ini berdampak pada peningkatan clozapin dalam

darah (Wenzel-Seifert et al., 2011).

j. Fluoksetin-Ibuprofen

Ibuprofen merupakan substrat dari enzim sitokrom CYP2C9. Fluoksetin adalah

obat yang bekerja dengan menghambat (inhibitor) enzim sitokrom CYP2C9 (Lynch and

Price, 2007), sehingga adanya fluoksetin akan meningkatkan kadar atau efek dari

ibuprofen dengan mempengaruhi enzim CYP2C9. Interaksi ini memerlukan monitoring

yang ketat (Medscape, 2015).

k. Fluoksetin-Clobazam

Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan clobazam dapat

menyebabkan peningkatan kadar atau efek fluoksetin dengan mempengaruhi enzim

(14)

dosis fluoksetin obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6 diperlukan apabila kedua obat ini

digunakan secara bersamaan (Medscape, 2015). Clobazam yang memiliki aktivitas

menghambat CYP2D6 akan berdampak pada peningkatan serum fluoksetin secara

signifikan (Italiano et al., 2014).

l. Fluoksetin-Quetiapin

Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan quetiapin menyebabkan

keduanya meningkatkan QTC interval. Interaksi ini berpotensi membahayakan pasien. Hal

ini mengakibatkan penggunaan kedua obat ini perlu mendapatkan perhatian dan dimonitor

secara ketat (Medscape, 2015). Fluoksetin berpengaruh moderat terhadap prolongasi QTC

sedangkan quetiapin berpengaruh secara severesehingga kombinasi keduanya berpengaruh

signifikan terhadap peningkatan QTC interval (Wenzel-Seifert et al., 2011).

m. Fluoksetin-Lithium

Fluoksetin dan lithium menyebabkan sindrom serotonin (Stockley, 2008).

Fluoksetin merupakan inhibitor reuptake serotonin dan lithium adalah obat yang bekerja

sebagai agonis reseptor serotonin sehingga kombinasi keduanya menyebabkan peningkatan

kadar serotonin (Cooper & Sejnowski, 2013). Interaksi ini berpotensi membahayakan,

perlu perhatian dan monitoring secara ketat (Medscape, 2015).

3. Interaksi obat dengan level minor

a. Sertralin – Trifluoroperazin

Penggunaan secara bersamaan antara sertralin dengan trifluoperazin akan

menyebabkan peningkatan kadar atau efek dari trifluoroperazin dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP2D6 di hati. Interaksi ini bersifat tidak signifikan (Medscape,

2015). Sertralin merupakan inhibitor yang bersifat lemah terhadap CYP2D6 sehingga

peningkatan kadar atau efek trifluoroperazin yang terjadi juga tidak bermakna klinis

(Ewald Howarth et al., 2004).

Peran farmasis sangat penting dalam mengantisipasi atau menghindari

kemungkinan terjadinya interaksi obat. Strategi yang dapat dilakukan oleh farmasis untuk

mencegah dan menangani interaksi obat adalah:

1) Mencegah kombinasi secara keseluruhan. Kombinasi perlu dihindari apabila risiko

yang kemungkinan terjadi lebih besar dari manfaatnya.

2) Penyesuaian dosis obat obyek. Dua obat yang berinteraksi bisa diberikan secara aman

selama dosis obyeknya disesuaikan.

(15)

4) Monitoring untuk deteksi dini. Interaksi bisa diatasi dengan monitoring laboratorium

secara ketat untuk melihat, evidence based tentang interaksi obat sehingga bisa

dilakukan perubahan dosis atau penghentian obat jika pelu.

5) Pemberian informasi tentang faktor risiko pasien yang meningkatkan risiko outcome

negatif.

6) Perbaikan sistem terkomputerisasi.

(Syamsudin, 2011).

KESIMPULAN

1. Pasien yang diteliti sebanyak 73 orang dan terdapat potensi interaksi obat antidepresan

dengan obat-obat lain pada seluruh resep obat yang didapatkan oleh pasien-pasien

tersebut.

2. Obat antidepresan yang paling banyak digunakan adalah amitiptilin sebanyak 65,3%.

3. Berdasarkan mekanismenya, dari 174 potensi interaksi tersebut, terdapat interaksi

farmakokinetik sebanyak 103 atau sebesar 59,19% dan interaksi dengan mekanisme

farmakodinamik terjadi sebanyak 71 kasus atau sebesar 40,80%, sedangkan ditinjau

dari sisi dampaknya terdapat 165 potensi interaksi, dengan 1 potensi interaksi atau

sebersar 0,61% berdampak minor, 96 potensi interaksi sigifikan atau sebesar 58,18%,

dan 68 potensi interaksi serius atau sebesar 41,21%.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, I., 2000. Review : selective serotonin reuptake inhibitors are as effective as tricyclic antidepressants overall but may be less effective in some patient subgroups. Affect Disord 3, 2000.

Bentue-Ferrer, D., Reymann, J., Tribut, O., Allain, H., Vasar, E., Bourin, M., 2001. Role of dopaminergic and serotonergic systems on behavioral stimulatory effects of low-dose alprazolam and lorazepam. Eur Neuropsychopharmacol 11, 41–5.

Bishop, J.R., Bishop, D.L., 2011. How to prevent serotonin syndrome from drug-drug interactions. Curr. Psychiatr. 10, 81–83.

Cooper, B.E., Sejnowski, C.A., 2013. serotonin syndrome : Recognition and Treatment. AACN Adv. Crit. Care 24, 15–20.

Darmayanti, N., 2002. Meta Analisis : Gender Dan Depresi Pada Remaja 35, 164–180.

Evoy, G.K.M., 2008. American Society of health-system pharmacists formulary service. Bethesda.

(16)

Antiretrovirals : A Guide to Interactions For Clinical. In: NY/NJ AETC and the Columbia University HIV Mental Health Training Project.

Feighner, J., 1999. Mechanism of Action of Antidepressant Medications. J Clin Psychiatry 4, 11.

Fuller, M., Sajatoviv, M., 2002. Drug Information Handbook for Psychiatry. Lexy Comp, Kanada.

Ganiswara, S.G., 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI, Jakarta.

Hansten, philip D., Horn, J.R., 2000. Managing Clinically Important Drug Interactions. Fact & Comparisions.

Italiano, D., Spina, E., de Leon, J., 2014. Pharmacokinetic and pharmacodynamic interactions between antiepileptics and antidepressants. Expert Opin. Drug Metab. Toxicol. 10, 1457–89.

Lynch, T., Price, A., 2007. The effect of cytochrome P450 metabolism on drug response, interactions, and adverse effects. Am. Fam. Physician 76, 391–396.

Medscape, 2015. Drug Interaction Cheker [www Document]. online. URL http://www.reference.medscape.com/drug-interactionchecker

Mental, H., 2011. Graylands Hospital Drug Bulletin Cytochromes and Psychotripics. North Metrop. Area Heal. Serv. 18.

Miguel, C., Albuquerque, E., 2011. Drug interaction in psycho-oncology: Antidepressants and antineoplastics. Pharmacology 88, 333–339.

Moreau, A., Jones, B., Banno, J., 1986. Chronic central anticholinergic toxicity in manic depressive illness mimicking dementia. Can J Psychiatry 31, 339–41.

Naibaho, D., 2008. Hubungan Interval QTc Memanjang Dengan Derajat Disfungsi Hati pada. Uviversitas Sumatera Utara.

Pieter, H.Z., Janiwarti, B., Ns. Marti Saragih, 2011. Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan. Kencana, Jakarta.

Rahmawati, F., Handayani, R., Gosal, V., 2006. Kajian Retrospektif Interaksi Obat di Rumah Sakit Pendidikan Dr. SardjitoYogyakarta. Maj. Farm. Indones. 17, 177–183.

Rasheed, A., Javed, M., Nazir, S., Khawaja, O., 1994. Interaction of chlorpromazine with tricyclic anti-depressants in schizophrenic patients. J Pak Med Assoc 44, 233–4.

Sharpley, A.L., Vassallo, C.M., Cowen, P.J., 2000. Olanzapine increases slow-wave sleep: evidence for blockade of central 5-HT(2C) receptors in vivo. Biol Psychiatry 47, 468– 470.

(17)

Surbakti, R. br, 2014. Case Report A 30 Years Old Man With Depressed Type Of Schizoaffective Disorder. J Medula Unila 3, 89–95.

Syamsudin, 2011. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Tatro, D., 2001. Drug Interaction Fact 6Ty edition, Facts Comparison. a Wolter Kluwers, St Louis.

Tatro, D.., 2009. Drug Interaction Fact The Autority Drug Interactions, Fact And Comparison. Wolter Kluwers, St Louis.

Walzer, M., Bekersky, I., Blum, R., Tolbert, D., 2012. Pharmacokinetic drug interactions between clobazam and drugs metabolized by cytochrome P450 isoenzymes. Pharmacotherapy 32, 340–53.

Wenzel-Seifert, K., Wittmann, M., Haen, E., 2011. QTc prolongation by psychotropic drugs and the risk of Torsade de Pointes. Dtsch. Arztebl. Int. 108, 687–93.

Yap, G., Camm, A., 2003. Drug induced QT prolongation and Torsades de Pointes. Heart 89, 1363–1372.

Young, C.R., Bowers, M.B., Mazure, C.M., 1998. Management of the adverse effects of clozapine. Schizophr. Bull. 24, 381–390.

 

Gambar

Tabel 1. Distribusi Pasien yang Menerima Pengobatan Antidepresan di RSJ “X” Jawa Tengah periode Januari-September tahun 2015 (n= 73)
Tabel 2. Distribusi Penggunaan Obat pada Pasien diRSJ. “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=73)
Tabel 3. Distribusi Interaksi Obat Antidepresan dengan Obat Lain Berdasarkan Mekanisme pada Pasien di RSJ “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=174)
Tabel 5. Distribusi Interaksi Obat Antidepresan dengan Obat Lain berdasarkan Level Signifikansi pada Pasien di RSJ “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=165)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menemukan dari 352 pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 202 rekam medik (57,38%).. Obat- obat

Hasil penelitian menemukan dari 352 pasien pediatrik dengan diagnosis demam tifoid yang berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 202 rekam medik (57,38%).. Obat- obat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya potensi interaksi obat antihipertensi, frekuensi potensi interaksi obat, pola mekanisme interaksi, jenis obat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya potensi interaksi obat antihipertensi, frekuensi potensi interaksi obat, pola mekanisme interaksi, jenis obat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi interaksi penggunaan antibiotika golongan fluorokuinolon dengan obat-obat lain yang diberikan bersamaan padapasien dewasa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya potensi interaksi obat antidiabetik oral , frekuensi potensi interaksi obat, pola mekanisme interaksi, jenis obat

obat antidiabetik oral yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah metformin, pola mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi. farmakodinamik, farmakokinetik, dan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 kombinasi obat yang berpotensi terjadinya interaksi, yaitu potensi interaksi obat antara