• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reproduksi Sapi Brahman dengan Skor Kondisi Tubuh saat Beranak Berbeda pada Peternak di Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reproduksi Sapi Brahman dengan Skor Kondisi Tubuh saat Beranak Berbeda pada Peternak di Jawa Timur"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Reproduksi Sapi Brahman dengan Skor Kondisi Tubuh saat

Beranak Berbeda pada Peternak di Jawa Timur

(Reproduction status of Brahman Cattle in Various Body Score

Condition at Farmer in East Java)

Dian Ratnawati1, Affandhy L1, Indrakusuma DA1, Mariyono1, Mayberry D2, Poppi D3

1Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati-Pasuruan, Jawa Timur 67184 2Schoolof Agriculture and Food Sciences, The University of Queensland, Gatton, Queensland, Australia

3CSIRO Ecosystem Sciences, Dutton Park, Queensland, Australia dian_sapo@yahoo.co.id

ABSTRACT

Body condition score (BCS) is a subjective measurement that uses a numeric score to estimate cattle energy reverses. The aim of this research was to determine the reproductive performance of Brahman cows that have different BCS at calving. This research was done in the Lamongan District of East Java Province and used 74 heads of Brahman cows. Cows were divided into two groups based on BCS (1-5 scale) at calving: (1). BCS<3 at calving (13 heads) and (2). BCS>3 at calving (61 heads). Between 2011 and 2013 we recorded dates of oestrus, mating, calving and weaning. This information was used to calculate post partum anoestrus interval, time from cycling to conception, length of lactation, and inter-calving interval. Differences between the two groups of cattle were compares using t-tests. There was no difference in the reproductive performance between cows with BCS <3 and ≥3. However, all of cows in this study were in good condition, with a minimum BCS at calving of 2.5. It is likely that factors other than BCS had a bigger impact on the reproductive performance of these animals.

Key Words: Brahman, Reproduction, Body Score Condition (BCS)

ABSTRAK

Skor kondisi tubuh (SKT) merupakan salah satu bentuk penilaian subyektif yang menggunakan skor angka untuk memperkirakan cadangan energi pada ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan tampilan reproduksi sapi Brahman induk yang mempunyai tampilan SKT (skala 1-5) berbeda pada saat beranak. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lamongan (Jawa Timur) dengan menggunakan 74 ekor sapi induk Brahman. Ternak dibagi dalam dua kelompok berdasarkan SKT saat beranak, yaitu SKT <3 (13 ekor) dan SKT ≥3 (61 ekor). Dalam rentang waktu antara 2011-2013 dilakukan pencatatan birahi, kawin, beranak dan penyapihan. Informasi yang didapat digunakan untuk menghitung interval anoestrus setelah beranak, waktu birahi sampai terjadi kebuntingan, panjang laktasi dan jarak beranak. Perbedaan antara 2 kelompok dibandingkan menggunakan t-test. Hasil menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada tampilan reproduksi pada sapi induk dengan SKT saat beranak <3 dan ≥3. Namun demikian, semua ternak dalam penelitian ini dalam kondisi baik dan mempunyai SKT minimum adalah 2,5. Terdapat kemungkinan adanya faktor lain yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap tampilan reproduksi ternak selain daripada SKT.

Kata Kunci: Sapi Brahman, Reproduksi, Skor Kondisi Tubuh (SKT)

PENDAHULUAN

Importasi sapi Brahman pada tahun 2007 merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan populasi ternak nasional. Sebagian besar sapi Brahman dikembangkan pada usaha ternak rakyat berskala kecil-sedang. Manajemen yang diterapkan pada sapi

kecil-sedang. Dalam perkembangannya, diketahui bahwa tampilan reproduksi sapi Brahman di skala peternak kecil masih rendah. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan rendahnya skor kondisi tubuh ternak di peternak.

(2)

untuk memperkirakan cadangan lemak dalam tubuh sapi. SKT dapat berguna untuk menduga status kecukupan nutrien, reproduksi dan atau kesehatan ternak berkaitan dengan kasus penyakit tertentu. Nilai numerik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1-5 (Anonymous 2014a; b). Nilai SKT 1 adalah sapi yang kurus dan memiliki otot sangat sedikit sedangkan skor 5 menunjukkan sapi yang gemuk dengan tonjolan tulang pinggul dan rusuk yang tidak kelihatan.

Terdapat hubungan antara status nutrisi ternak dengan tampilan reproduksinya. Pada sapi induk setelah beranak, kecukupan nutrisi menjadi sangat penting karena akan berpengaruh terhadap estrus setelah beranak (postpartum anoestrus interval). Sapi induk dengan skor kondisi tubuh lebih tinggi saat beranak mempunyai periode anoestrus lebih pendek sebagaimana sapi induk dengan konsumsi pakan lebih tinggi (Wright et al. 1992). Nutrisi yang kurang (under nutrition) merupakan faktor utama yang menghambat produksi ternak, terutama di daerah tropis dan menyebabkan panjangnya estrus setelah beranak. Perubahan nutrisi dan kondisi status endokrin induk setelah beranak dapat mempengaruhi tingkat degradasi protein otot yang ditandai dengan penurunan bobot badan pada sebagian ternak. Terdapat batas penurunan bobot badan 25% tanpa mengubah fungsi tubuh utamanya (Montiel & Ahuja 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tampilan reproduksi sapi Brahman induk yang mempunyai tampilan SKT berbeda pada saat beranak.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kecamatan Modo dan Sambeng Kabupaten Lamongan pada tahun 2011-2013. Kegiatan ini merupakan bagian dari Proyek ACIAR LPS No. LPS/2008/038. Penelitian menggunakan materi 74 ekor sapi Brahman induk yang terbagi dalam dua kelompok SKT saat beranak yaitu <3 dan ≥3 (menggunakan skala 1-5). Sebanyak 61 ekor mempunyai SKT ≥3 dan sisanya 13 ekor dengan SKT <3. Pengamatan dan

pencatatan data meliputi kejadian birahi, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, penyapihan dan SKT saat beranak. Perkawinan dilakukan dengan cara IB atau kawin alam. Manajemen pemeliharaan lainnya mengikuti pola yang sudah diterapkan sebelumnya (existing management system). Pakan yang diberikan terdiri atas limbah pertanian setempat sesuai dengan perguliran musim tanaman pangan. Hanya sebagian kecil peternak yang memberikan pakan tambahan berkualitas, misalnya dedak padi dan ampas tahu.

Pada kegiatan ini, semua sapi diberikan pakan tambahan konsentrat sebanyak 2 kg/hari yang diberikan pada dua bulan akhir kebuntingan hingga dua bulan setelah beranak. Skor kondisi tubuh pada saat beranak dicatat untuk digunakan sebagai dasar pengelompokan perlakuan. Peubah yang diamati adalah birahi pertama kali terlihat (postpartum anoestrus interval), lama siklus birahi (cycling to

conception), lama menyusui (length of

lactation) dan jarak beranak (inter-calving

interval). Postpartum anoestrus interval

merupakan jarak antara induk beranak sampai dengan estrus pertama setelah beranak.

Cycling to conception adalah jarak antara dimulainya siklus/birahi sampai dengan terjadinya konsepsi. Lama laktasi adalah waktu dimana induk menyusui pedetnya dan inter calving interval adalah jarak antar beranak. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan t-test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil tampilan reproduksi sapi Brahman induk yang mempunyai tampilan SKT berbeda pada saat beranak disajikan pada Tabel 1.

Data dalam Tabel 1 menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada semua peubah reproduksi pada sapi yang mempunyai SKT <3 atau ≥3. Meskipun tidak terdapat perbedaan reproduksi antar kedua perlakuan, namun secara umum kondisi tubuh induk masih tergolong baik yaitu SKT >2,5. daripada SKT, diantaranya adanya silent heat sehingga birahi dan perkawinan kurang tepat dan keberhasilan kebuntingan rendah.

(3)

Tabel 1. Tampilan reproduksi sapi Brahman induk

Peubah Skor kondisi tubuh (skala 1-5) <3 ≥3

Jumlah sapi (n) 13 61

Range skor kondisi tubuh (skala 1-5) 2,5-2,90 3,0-4,30 Rataan skor kondisi tubuh (skala 1-5) 2,7±0,00 3,4±0,00 Jarak estrus pertama setelah beranak (hari) 174,6±16,1 136,5±9,10 Jarak siklus/birahi sampai terjadi konsepsi (hari) 57,2±11,3 64,1±12,1 Panjang laktasi (hari) 179,9±4,20 165,9±3,70 Jarak beranak (hari) 514,2±35,2 479,3±19,8

Reproduksi induk setelah beranak dimulai dengan adanya estrus pertama setelah beranak. Durasi antara kelahiran dan estrus pertama disebut dengan PAI. Faktor utama yang mempengaruhi PAI adalah status nutrisi dan penyapihan. Namun terdapat beberapa faktor lain yang dapat berpengaruh, diantaranya

breed, umur, jumlah beranak, produksi susu, musim beranak, ketersediaan pejantan, status uterine, distokian dan kesehatan ternak (Montiel & Ahuja 2005).

Penyapihan pedet merupakan faktor yang mempengaruhi postpartum interval. Penyapihan pedet yang lebih awal akan mendukung induk untuk segera estrus dan kawin lagi karena terjadinya mekanisme hormonal yaitu feedback

negative karena tidak terjadinya proses

penyusuan. Berhentinya proses penyusuan akan menstimulasi hypothalamus untuk

menstimulasi hypophyse anterior

mensekresikan GNRH yang akan

mempengaruhi sekresi FSH dan LH sehingga terjadi pembentukan folikel dan kejadian birahi (Hafez 2000). Pada SKT ≥3 penyapihan pedet dilakukan lebih awal dengan alasan pedet telah cukup besar dan telah siap untuk disapih. Kondisi ini dapat diduga, bahwa produksi susu induk lebih tinggi dibandingkan dengan yang melahirkan dengan SKT <3.

Perpendekan PAI berdampak terhadap perpendekan jarak beranak. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa SKT induk saat beranak yang lebih baik (3,5-5 dalam

range 1-9) menunjukkan nilai perbedaan yang signifikan pada nilai PAI (106,6 hari) terhadap induk dengan SKT sedang dan rendah, yaitu

bahwa tidak terdapat perbedaan antara induk dengan skor kondisi tubuh sedang (<5) dan tinggi (>5) dalam range 1-9 terhadap nilai PAI.

Penentuan SKT merupakan salah satu cara sederhana untuk mengetahui status kecukupan gizi ternak. Sapi dengan SKT rendah (<3) menunjukkan bahwa sapi membutuhkan asupan pakan yang lebih baik. Titik kritis reproduksi sapi induk adalah saat induk bunting tua dan awal laktasi. Asupan pakan yang masuk dalam tubuh induk digunakan untuk memenuhi tiga kebutuhan utama, diantaranya produksi susu, pemulihan kondisi induk pascaberanak dan memenuhi kebutuhan hidup pokok (Affandhy et al. 2008). Disarankan untuk dilakukan suplementasi pakan saat titik kritis tersebut sebagai upaya untuk menjaga kondisi tubuh tetap optimal. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa SKT induk saat sebelum melahirkan dan saat melahirkan tidak mempengaruhi angka kebuntingan selanjutnya (Morrison et al. 1999). Tampilan reproduksi induk dengan SKT ≥3 cenderung lebih baik karena kecukupan energi yang lebih baik akan mendukung reproduksi ternak (Derouen et al.1994).

Kecukupan nutrien sangat menentukan keberhasilan produktivitas dan reproduktivitas ternak. Pakan pokok sapi Brahman yang digunakan sebagai materi penelitian sebagian besar terdiri atas limbah pertanian dengan komposisi utama jerami padi dan tebon jagung. Sebagaimana diketahui, bahwa pakan limbah pertanian secara umum berkualitas rendah yaitu rendah protein dan TDN serta tinggi kandungan serat. Hanya sejumlah kecil saja

(4)

tahu dll. Hijauan lainnya yang cukup banyak diberikan diantaranya: rumput lapang, rumput gajah, gamal atau pucuk tebu. Pemberian hijauan cenderung meningkat pada akhir dan awal tahun karena pada waktu tersebut adalah musim hujan sehingga pakan hijauan tersedia cukup melimpah. Lents et al. (2008) menyatakan bahwa suplementasi induk pada awal laktasi berkaitan erat dengan fungsi produksi susu untuk pedet dan tidak berefek pada perubahan skor kondisi tubuh induk selama suplementasi. Sapi Brahman tergolong sapi besar sehingga membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi Bali, Madura dan bangsa sapi kecil lainnya. Kebutuhan konsumsi bahan kering sapi Brahman induk pada umumnya lebih dari 10 kg/ekor/hari. Montiel & Ahuja (2005); Syarifuddin & Wahdi (2008) menyatakan bahwa penyebab panjangnya anestrus postpartum sapi induk Brahman cross ditinjau dari aspek pakan, adalah under nutrition atau kandungan nutrisi ransum yang diberikan di bawah standar kebutuhan.

KESIMPULAN

Nilai SKT semua sapi Brahman dalam penelitian ini adalah >2,5 dan tampilan reproduksi sapi Brahman induk tidak dipengaruhi oleh perbedaan SKT pada saat beranak. Terdapat kemungkinan adanya faktor lain yang mempengaruhi reproduksi selain daripada SKT, diantaranya adalah birahi tenang (silent heat) yang menyulitkan deteksi birahi/perkawinan sehingga angka kebuntingan rendah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terimakasih kepada Australian Centre for International Agricultural Research

(ACIAR), Meat and Livestock Australia

(MLA) dan segenap tim peneliti yang terlibat atas pembiayaan dan kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Affandhy L, Pamungkas D, Ratnawati D. 2008. Respons reproduksi sapi potong induk pada umur penyapihan pedet berbeda di kondisi peternakan rakyat di lahan kering. Dalam: Sani Y, Martindah E, Nurhayati , Puastuti W,

Sartika T, Parede L, Anggraeni A, Natalia L, penyunting. Inovasi teknologi mendukung pengembangan agribisnis peternakan ramah lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 November 2008. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 132-136.

Anonymous. 2014a. What’s the score: Beef cow: BCS Guide. [Internet]. [Cited 20 Juni 2013]. Available from http://www.agric.gov.ab.ca/ $department/deptdocs.nsf/all/agdex9622/$FIL E/bcs-beef-cow.pdf.

Anonymous. 2014b. Cattle body condition scoring. Queensland Government. [Internet]. [Cited 20 Juni 2013]. Available from https://www. daff.qld.gov.audata/assets/pdf_file/0015/5352 0/Animal-HD-Investigation-Condition-scores. pdf.

Derouen SM, Frangke DE, Morrison DG, Wyatt WE, Coombs DF, White TW, Humes PE, Greene BB. 1994. Prepartum body condition and weight influences on reproductive performance of first-calf beef cows. J Anim Sci. 72:1119-1125.

Dikman DM, Affandhy L, Wahyudi T, Mayberry DE, Fordyce G, Poppi DP. 2011. Performans reproduksi sapi PO dengan skor kondisi tubuh yang berbeda pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten Malang. Dalam: Prasetyo LH, Damayanti R, Iskandar S, Herawati T, Priyanto D, Puastuti P, Anggraeni A, Tarigan S, Wardhana AH, Darmayanti NLPI, penyunting. Teknologi peternakan dan veteriner untuk peningkatan produksi dan antisipatif terhadap dampak perubahan iklim. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Juni 2011. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 75-79.

Hafez B. 2000. Reproduction in farm animals. 7th

Edition. Reproductive health center. IVF Andrology International. South Carolina (US): Kiawah Island.

Lents CA, White FJ, Ciccioli NH, Wettemann RP, Spicer LJ, Lalman DL. 2008. Effects of body condition score at parturition and postpartum protein supplementation on estrous behavior and size of the dominant follicle in beef cows. J Anim Sci. 2008. 86:2549-256.

Montiel F, Ahuja C. 2005. Body condition and suckling as factors influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: a review. Anim Reprod Sci 85:1-26.

(5)

Morrison DG, Spitzer JC, Perkins JL. 1999. Influence of prepartum body condition score change on reproduction in multiparous beef cows calving in moderate body condition. J Anim Sci. 77:1048-1054.

Syarifuddin A, Wahdi A. 2008. Perbaikan efisiensi reproduksi sapi induk Brahman cross melalui percepatan berahi postpartum dan penerapan teknologi Radioimmunoassay (RIA).

Penelitian Hibah Pekerti, Dikti. Lampung (Indonesia): Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Wright IA, Rhind SM, Whyte TK, Smith AJ. 1992. Effects of body condition at calving and feeding level after calving on LH profiles and the duration of the postpartum anoestrous period in beef cows. Anim Prod. 55:41-46.

Gambar

Tabel 1. Tampilan reproduksi sapi Brahman induk

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji beda pengaruh antara kelompok kontrol yang diberikan senam hamil dan kelompok perlakuan yang diberikan kompres hangat dan massage terhadap penurunan

Data dari hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa motif mahasiswa memilih program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Purwokerto, antara lain:

Analisis populasi orbital atom utama menunjukkan bahwa antara pita dasar elektronik terjadi transisi yang menunjuk pada pengalihan muatan dari ligan NCS - ke ligan

Gambar 4.25 Distribusi Tegangan yang Terjadi Akibat Gaya Geser pada Fondasi Tiang Kelompok .... Gambar 4.26 Distribusi Tegangan yang Terjadi Akibat Gaya

Tahap ini dimaksudkan untuk mendapatkan bukti-bukti mengenai ketiga elemen dari tujuan pemeriksaan sementara (tentative audit objective) yaitu kriteria, penyebab dan

Para penganut paham ini meyakini bahwa setiap keputusan hakim harus didasari pada makna kata- kata atau kalimat yang dipahami melalui analisa sejarah dalam penyusunan dan

(1) Sekretaris Daerah atas nama Bupati menandatangani naskah dinas dalam bentuk dan susunan surat yang materinya merupakan penjelasan atau petunjuk pelaksanaan

Skripsi yang berjudul “Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Melalui Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kabupaten Hulu Sungai Utara”, ditulis oleh Siti