ahSuku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Makanan Khas
[
sunting
|
sunting sumber
]
Bae - Bae
Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa
yang sudah di parut)
Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
Ratigae (pisang goreng)
Tamböyö (ketupat)
löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
Gae nibogö (pisang bakar)
Kazimone (terbuat dari sagu)
Wawayasö (nasi pulut)
Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan
tergantung kadar garam yang ditambahkan)
Peralatan Rumah Tangga di Nias
[
sunting
|
sunting sumber
]
Bowoa tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
Figa lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
Halu (alat menumbuk padi) - Alu
Lösu - lesung
Gala - dari kayu seperti talam
Sole mbanio - tempat minum dari tempurung
Katidi - anyaman dari bambu
Niru (Alat untuk menapik beras untuk memisahkan dedak)
Haru - sendok nasi
Famofu - alat niup api untuk memasak
Fogao Banio (alat pemarut kelapa)
Amaedola Nias
[
sunting
|
sunting sumber
]
Hulö harita, olifu ia gulinia (Bagaikan kacang lupa akan kulitnya) Artinya : Perumpamaan kepada seseorang yang
melupakan asal-usulnya atau yang melupakan seseorang yang telah berbuat baik kepadanya.
Böi bunu gulö fasalatö (Jangan membunuh ular setengah-setengah jikalau masih hidup ular itu akan mematokmu
kembali) Artinya: Hendaknya dalam melakukan sesuatu hal harusnya sampai tuntas agar tidak menjadi bumerang nantinya.
Hulö ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari pinggiran) Artinya: Dalam
Hulö la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak
bisa untuk di pisahkan.
Abakha zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang pertama) Artinya: Sesuatu
tindakan akan sangat terasa pada akhirnya.
Minuman
[
sunting
|
sunting sumber
]
Tuo nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla
nakhe" dan pohon kelapa (dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah diolah dengan cara penyulingan.
Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan (bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1
bisa mencapai kadar alkohol 43%.
Tuo mbanua / Sataha (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau pohon nira yang telah
diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk memberikan kadar alkohol)
Akses Ke Nias
[
sunting
|
sunting sumber
]
Udara
[
sunting
|
sunting sumber
]
Jarak tempuh menuju Kepulauan Nias berkisar 45 menit dari Bandar Udara Internasional Kualanamu (Medan) - Bandar Udara
Binaka (Nias) dengan harga tiket antara Rp 400.000 s/d Rp 700.000.
Darat
[
sunting
|
sunting sumber
]
Dari Kota Medan menuju Kota Sibolga berkisar 10 jam dengan mengendarai Jasa Angkutan Darat seperti Taxi, Mini Bus
dll harga tiket sekitar Rp 120.000
Dari Kota Medan menuju Kota Pelabuhan Aceh Singkil berkisar 8 jam dengan mengendarai Jasa Angkutan Darat seperti
Taxi, Mini Bus dll harga tiket sekitar Rp 120.000
Laut
[
sunting
|
sunting sumber
]
Sesampainya di Pelabuhan Sibolga, perjalanan laut menuju Pelabuhan Gunungsitoli dapat memakan waktu 10 jam
dengan menggunakan Kapal Penyeberangan dengan harga tiket sekitar Rp 80.000 s/d Rp 130.00. Kapal ini beroperasi setiap
hari dengan jadwal keberangkatan Malam dan sampai di Gunungsitoli pagi hari.
Dari Pelabuhan Aceh Singkil dapat menyeberang dengan menggunakan kapal penumpang yang beroperasi 2 kali
seminggu yaitu hari Selasa dan Kamis.
Fahombo (Lompat Batu)
Fahombo[7] (Lompat Batu)
Fataele/Foluaya(Tari Perang)
Maena (Tari berkoelompok)
Tari Moyo (Tari Elang)
Tari Mogaele
Fangowai (Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
Fame Ono nihalõ (Pernikahan)
Omo Hada (Rumah Adat)
Fame'e Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
Fasösö Lewuö (Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam
salam“Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan
sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut
memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai
sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono
Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara
umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup
dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah
pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk
mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih
ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a"
yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia
pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena
memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau
Nias.
Penelitian Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25
November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias
sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000
tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya
budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal
Budaya Nias
Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam
terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan
kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap:
perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut
memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai
sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam