• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu Tafsir Metode Tafsir Maudhui.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ilmu Tafsir Metode Tafsir Maudhui.docx"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril secara mutawatir. Di dalam al-Qur’an sendiri tidak semua ayat adalah muhkam (tidak perlu penafsiran), namun ada juga yang mutasyabih (perlu penafsiran). Bahkan jika kita telaah lebih lanjut, antara ayat yang muhkam dan mutasyabih,

maka disitu ayat-ayat mutasyabih lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang

muhkam. Oleh karena itu, karena al-Qur’an adalah sumber hukum utama bagi kita umat islam, serta sebagai pedoman dalam hidup, maka haruslah bagi kita untuk bisa mengetahui arti atau kandungan yang ada di al-Qur’an baik itu mengenai yang muhkam maupun

mutasyabih. Dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabih, tentu para mufassir menggunakan metode-metode penafsiran. Diantara metode penafsiran yang umum dipakai oleh para mufassir ada 4 yaitu, tahlili (terperinci), ijmali (global), maudhu’i (tematik) , dan

(2)

BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN AL-MAUDHU’I

Kata al-Maudhu’i (يعوضوملا) berasal dari kata عوضوم yang secara bahasa berarti tema pokok atau topik. Dari kata itu, kemudian ditambahkan dengan ya’ nisbah menjadi maudhu’i

yang artinya menjadi bersifat tema atau tematik. 1

Secara istilah, metode tafsir maudhu’i adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mempunyai topik dan kandungan yang sama, kemudian menjelaskannya dengan ayat lain ataupun hadist, yang kemudian disimpulkan dalam suatu pandangan yang menyeluruh dan tuntas mengenai tema yang sedang dibahas. Tafsir

maudhu’i sudah mulai diterapkanj dalam masa nabi, dimana beliau seringkali menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, seperti ketika menjelaskan arti Zhulum dalam QS. Al-An’am ayat 82,

نودتهم مهو نملا مهل كئلوأ ملظب مهنميإ اوسبلي ملو اونمأ نيذلا

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Nabi saw menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah dalam QS. Luqman ayat 13,

ميظع ملظل كرشلا نا

“Sesungguhnya syirik adalah zhulum (penganiyayaan) yang besar.”

Demikian juga penafsiran rasul saw dalam surat al-An’am ayat 59,

وه لا اهملعي ل بيغلا حتافم هدنعو

“Disisi Allah mafatih al ghaib (kunci-kunci pembuka ghaib), tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.”

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa rasulullah saw memaknai mafatih al-ghaib itu dengan firman Allah dalam QS. Luqman ayat 34,

(3)

...

ةيلا

ةعاسلا ملع هدنع هللا نا

.

Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang sehingga lahir kitab-kitab tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat dengan ayat. Tafsir Ath-Thabary (839-923 M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama dalam bidang ini, lalu lahir lagi kitab-kitab tafsir yang tidak lagi secara khusus bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi lebih fokus pada penafsiran ayat-ayat bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671 H), dan lain-lain.2

Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.3

Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam penafsiran secara maudhu’i.

1. Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya.

2. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan.

B. LANGKAH LANGKAH MENGGUNAKAN METODE MAUDHU’I

M. Quraisy Syihab dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an Masa Kini mengemukakan langkah yang harus ditempuh:

1. Menetapkan masalah atau judul;

2. Menghimpun atau menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut;

2M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 387

(4)

3. Menyusun ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan priode Mekkah dan Madinah;

4. Memahami korelasi ayat tersebut dalam surat masing-masing;

5. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang menyangkut masalah tersebut; 6. Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna;

7. Studi tentang ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan ‘amm dan khas (umum dan khusus) muthlaq dan muqayyad (yang bersyarat dan tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti;

8.Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut.4

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang menggunakan metode ini ialah:

1. Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari bahwa tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa; tugas utamanya ialah mencari dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan dilalah ayat tersebut.

2. Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah itu haris dibahas dan semua rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan kedalaman (balaghah) Al-Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-bagian dari Al-Qur’an.

3. Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan lain, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja. 4. Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang sesuai

dengan petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak kabur.5

C. CONTOH TAFSIR MAUDHU’I

 Perintah Untuk Makan

(5)

Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kataakala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas"makan". Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-matadalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi iaberarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnyasurat Al-Nisa 14): 4:

Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkantidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat inimenggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut.Firman Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)

Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya)

Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud --mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitasmembutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.

Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayatyang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan,baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orangmukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengankata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwamakanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifattersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yangmemerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima diantaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Duadirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikanmakanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteksmemakan sembelihan yang disebut nama Allah ketikamenyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.

Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbukapuasa maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingatpesan-pesan-Nya.6

(6)

D. KEISTIMEWAAN TAFSIR MAUDHU’I

1. Dengan tafsir madhu’i, hidayah Al-Qur’an dapat digali secara lebih mudah dan hasilnya ialah permasalahan hidup praktis dapat dipecahkan dengan baik. Oleh karena itu, tafsir memberikan jawaban secara langsung terhadap sementara dugaan bahwa Al-Qur’an hanya berisi teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.

2. Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam, setelah sebagian mereka sempat terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia, bahkan kini merasa bahwa Al-Qur’an dapat menjawab tantangan hidup yang senantiasa berubah.

3. Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an dalam satu maudhu’i.

4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir maudhu’i adalah cara terbaik yang telah disepakati.

5. Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih sempurna dan mendalam.7

E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAFSIR MAUDHU’I

 Kelebihan Metode Tafsir Maudhu’i Antara Lain:

a) Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.

b) Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.

c) Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.

d) Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas

 Kekurangan Metode Tafsir Maudhu’i, Antara Lain:

(7)

a) Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.

b) Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.

(8)

Dari seluruh penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya penafsiran dalam metode maudhu’i (tematik) adalah metode tafsir dengan menggunakan jenis tema tertentu yang diambil. Jika misalnya ada keinginan untuk mengetahui metode tafsir maudhu’i mengenai makan, maka cara mencarinya adalah dengan mengumpulkan semua ayat ayat yang berhubungan dengan makan, setelah itu baru dihubungkan. Oleh karena itu metode tafsir maudhu’i ini juga disebut dengan metode tafsir tematik, karena mengangkat suatu permasalahan berdasarkan tema yang ada. Adapun kelebihan dan kekurangan tafsir maudhu’i sudah terdapat dalam penjelasan diatas. Menurut pemakalah sendiri dalam tafsir maudhu’i akan lebih mudah dalam menyelesaikan suatu permasalahan, oleh karena itu kita disarankan ntuk menggunakan tafsir maudhu’i, namun dalam pengumpulan ayat-ayat yang berhubungan dengan suatu tema tidak menghabiskan waktu yang sebentar, sehingga hanya untuk persiapan saja kita butuh waktu yang tidak sebentar.

DAFTAR PUSTAKA

(9)

Shihab, M. Quraish (2013). Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati

Syafe’i, Rachmat (2006). Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kajian tematik maudhu'i yaitu mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama

Metode tafsir Ijmali adalah metode tafsir yang telah digunakan oleh Nabi Muhammad sebagai al-Mufassir al-Awwal untuk menafsirkan al-Qur`an dengan cara singkat dan

Buku Tafsir Al-Misbah menggunakan metode tafsir tahlili (analitik), yaitu suatu metode tafsir Al-qu‟ran yang bermaksud ingin menjelaskan kandungan-kandungan ayat

Sementara itu, menurut Nashruddin Baidan (2011: 67) ilmu tafsir membahas teori-teori yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an, jadi penafsiran Al-Qur`an

Corak tafsir fiqhi adalah menafsirkan al-Qur’an yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an atau penafsiran ayat- ayat al-Qur’an yang berkaitan

Kalau ternyata tidak punya sama sekali latar belakang dalam Ilmu Al-Quran dan Tafsir, dan ternyata dia banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, maka bisa kita cek

Seperti diketahui, tafsir tematik memiliki dua bentuk, pertama menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu topik tertentu, baik dari keseluruhan surah-surah Alquran maupun

Tafsir tahlili atau yang juga disebut dengan tafsir tajzi‟i merupakan suatu metode yang bermaksud menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat Al- Qur‟an dari