• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Internasional (3) hubungan internasional (1) hubungan internasional (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Internasional (3) hubungan internasional (1) hubungan internasional (1)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Internasional

Hubungan internasional adalah hubungan antarnegara atau antarindividu dari negara yang berbeda dalam bidang tertentu untuk kepentingan kedua belah pihak. Setiap negara tentunya tidak dapat terlepas dari hubungan internasional. Hal ini karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga hubungan internasional melengkapi itu.

Hubungan internasional tidak hanya terjadi karena ingin bekerjasama. Persahabatan, persengketaan, permusuhan, ataupun peperangan juga termasuk hubungan internasional. Hubungan internasional bisa antar individu, antar kelompok, maupun antar negara di negara yang berbeda. Menurut Sam Suhaedi, hubungan antar internasional juga terdapat hukum internasional yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat internasional.

1. Pengertian Hubungan Internasional Secara Umum

Arti hubungan internasional secara umum adalah kerjasama antar negara, yaitu unit politikyang didefinisikan secara global untuk menyelesaikan berbagai masalah. Menurut UU No. 37 Tahun 1999, hubungan internasional adalah kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, LSM atau Warga Negara.

(2)

Hubungan internasional dianggap penting dalam rangka untuk menumbuhkan saling pengertian antarbangsa, mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan antarbangsa, saling mencukupi kebutuhan masing-masing bangsa yang bekerja sama, memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan, dan membina dan menegakkan perdamaian dan ketertiban dunia. Suatu negara yang tidak mau mengadakan hubungan internasional dengan negara lain akan terkucilkan dalam pergaulan dunia. Akibatnya, negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Pengertian Hubungan Internasional Menurut Para Ahli

Berikut adalah beberapa pengertian hubungan internasional menurut para ahli: 1. Menurut J.C. Johari, hubungan internasional merupakan sebuah studi tentang interaksi yang berlangsung diantara negara-negara berdaulat disamping itu juga studi tentang pelaku-pelaku non negara (non states actors) yang perilakunya memiliki dampak terhadap tugas-tugas negara.

2. Menurut Mohtar Mas’oed, hubungan internasional adalah hubungan yang melibatkan bangsa-bangsa yang masing-masing berdaulat sehingga diperlukan mekanisme yang kompleks dan melibatkan banyak negara.

3. Menurut Tygve Nathlessen, hubungan internasional adalah bagian dari ilmu politik, oleh karena itu komponen hubungan internasional sendiri tak lepas dari politik internasional, organisasi dan administrasi internasional serta hukum internasional.

4. Menurut Warsito Sunaryo, hubungan internasional merupakan studi tentang interaksi antara jenis kesatuan-kesatuan sosial tertentu, termasuk studi tentang keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.

1.1. Hubungan Internasional, Pengertian, Pola, Arti Penting

dan

Sarananya.

1.1. Hubungan Internasional, Pengertian, Pola, Arti Penting dan Sarananya.

1.1.1. Pengertian Hubungan Internasional

Hubungan internasional atau hubungan antarbangsa merupakan interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.

1.1.2. Pola Hubungan Antarbangsa

(3)

Penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, ketergantungan suatu bangsa atas bangsa lain dan hubungan sama derajat.

1. Pola Penjajahan:

Penjajahan pada hakekatnya adalah penghisapan oleh suatu bangsa atas bangsa lain yang ditimbulkan oleh perkembangan paham kapitalis, di mana negara penjajah membutuhkan bahan mentah bagi industrinya dan juga pasar bagi hasil industrinya. Inti dari penjajahan ini adalah penguasaan wilayah bangsa lain.

1. Pola Ketergantungan:

Umumnya terjadi pada negara-negara berkembang yang karena kekurangan modal dan tekhnologi untuk membangun negaranya, terpaksa mengandalkan bantuan negara maju yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan pada negara-negara maju tersebut. Pola hubungan ini dikenal sebagai neo-kolonialisme (penjajahan dalam bentuk baru).

1. Pola Hubungan Sama Derajat:

Pola hubungan ini sangat sulit diwujudkan, namun merupakan pola hubungan yang paling ideal karena berusaha mewujudkan kesejahteraan bersama, sesuai dengan jiwa sila kedua Pancasila, yang menuntut penghormatan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang sederajat tanpa memandang ideologi, bentuk negara ataupun sistem pemerintahannya. Politik luar negeri bebas aktif yang kita pilih menghindarkan bangsa kita jatuh ke paham kebangsaan yang sempit atau Chauvinisme yang mengagung-agungkan bangsa sendiri namun memandang rendah bangsa lain. Juga menghindarkan paham Kosmopolitisme yang memandang seluruh dunia sebagai negeri yang satu dan sama sehingga mengabaikan negeri sendiri.

Dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif ini bangsa Indonesia menjalin pergaulan dan kerjasama antar bangsa, dipimpin oleh presiden sebagai kepala negara.Dalam melakukan kerjasama dan hubungan internasional ini presiden dibantu oleh departemen luar negeri yang dipimpin seorang menteri luar negeri, para duta dan konsul yang diangkat presiden untuk negara-negara lain serta duta-duta dan konsul-konsul negara lain yang diterima oleh presiden. Hak mengangkat duta dan konsul ini sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Dasar 1945 dipegang oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam menerima duta dan konsul negara lain, presiden juga harus meminta persetujuan dari kepala negara asal duta dan konsul tersebut dalam bentuk Surat Kepercayaan (lettre de credance).

1.1.3. Arti Penting Hubungan dan Kerjasama Internasional.

(4)

seluruh dunia sehingga terjadi saling ketergantungan antara bangsa dan negara yang berbeda.Karena hubungan dan kerjasama ini terjadi terus menerus, sangatlah penting untuk memelihara dan mengaturnya sehingga bermanfaat dalam pengaturan khusus sehingga tumbuh rasa persahabatan dan saling pengertian antar bangsa di dunia.

1.1.4. Sarana Hubungan Internasional

Menurut J. Frankel (1980) ada berbagai sarana yang dapat dipergunakan oleh negara-negara dalam melakukan hubungan internasional, yaitu: diplomasi, propaganda, hubungan ekonomi dan militer.

1. Diplomasi

Diplomasi merupakan seluruh kegiatan untuk melaksanakan politik luar negeri suatu negara dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain. Diplomasi dapat bersifat bilateral (melibatkan dua negara) atau multilateral (melibatkan lebih dari dua negara). Instrumen diplomasi ada dua yaitu deplu yang berkedudukan di ibukota negara, merupakan “otak”nya dan perwakilan diplomatik yang berkedudukan di ibukota negara penerima yang merupakan “panca indera dan penyambung lidahnya.”

Dalam mewakili negara dan bangsanya, seorang diplomat memiliki tiga fungsi dasar yaitu sebagai lambang, sebagai wakil yuridis yang sah sesuai hukum internasional dan sebagai perwakilan politik.

Sedangkan tugas seorang diplomat dapat dibagi menjadi empat fase pokok diplomasi, yaitu: perwakilan (representation), perundingan (negotiation), laporan (reporting) dan perlindungan kepentingan bangsa, negara, dan warga negaranya di luar negeri.

1. Propaganda

Propaganda adalah usaha sistematis untuk mempengaruhi pikiran, emosi dan tindakan suatu kelompok demi kepentingan masyarakat umum. Ada dua hal yang membedakan diplomasi dan propaganda:

1. Propaganda ditujukan kepada rakyat negara tersebut, bukan pemerintahnya. 2. Propaganda dilakukan hanya demi kepentingan negara pembuat propaganda. 1. Ekonomi

(5)

dari perdagangan internasional adalah diperolehnya suatu barang melalui sistem produksi yang paling efisien dan murah.

1. Kekuatan Militer dan Perang

Berlawanan dengan ekonomi, bidang militer benar-benar dikuasai oleh pemerintah. Bidang militer sangat mempengaruhi diplomasi karena memiliki kekuatan militer yang tangguh akan menambah rasa percaya diri, sehingga bisa mengabaikan ancaman-ancaman dan tekanan lawan yang dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Kekuatan militer diperlihatkan dalam parade militer di hari-hari nasional untuk menggertak dan memperingatkan negara-negara lawan sehingga perang dapat dihindarkan. Perang adalah pilihan terakhir.

Pengertian Budaya Politik, Ciri-Ciri,

Macam-Macam & Definisi Para Ahli

Pengertian Budaya Politik, Ciri-Ciri, Macam-Macam & Definisi Para Ahli| Secara umum, Pengertian Budaya Politik adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati terhadap seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat secara sadar untuk berpartisipasi dalam mengambil kepetusan kolektif dan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Secara sederhana, Pengertian Budaya politik adalah nilai-nilai yang berkembang dan dipratikan suatu masyarakat tertentu dalam bidang politik

(6)

yang dimana banyak para ahli ilmu politik yang mendefinisikan budaya politik antara lain sebagai berikut...

Austin Ranney: Menurut Austin Ranney, pengertian budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola oreintasi-orientasi terhadap objek-objek politik.

Gabriel A. Almond dan G.Bingham Powell, Jr. : Menurutnya, pengertian budaya politik adalah sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.

Sidney Verba: Menurut Sidney Verba, budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekskpresif dan nilai-nilai yang menegaskansuatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.

Moctar Massoed: Menurut Moctar Massoed, pengertian budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.

Miriam Budiardjo: Menurut Mirriam Budiardji, budaya politik adalah keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya.

Ciri-Ciri Budaya Politik

 Terdapat pengaturan kekuasaan

 Perilaku dari aparat-aparat negara

 Proses pembuatan kebijakan pemerintah

 Adanya kegiatan partai-partai politik

 Adanya gejolak masyarkat terhadap kekuasaan yang memerintah

 Mengenai pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat

 Adanya budaya politik mengenai masalah legitimasi.

Bagian-Bagian Budaya Politik - Secara umum, budaya politik terbagi dalam tiga jenis antara lain sebagai berikut

1. Budaya politik apatis (masa bodoh, pasif, dan acuh)

(7)

3. Budaya politik partisipasif (aktif)

Macam-Macam Budaya Politik - Budaya politik dibagi dalam beberapa tipe berdasarkan dari oritentasi politiknya. Macam-macam budaya politik atau tipe-tipe budaya politik adalah sebagai berikut...

a. Budaya Politik Parokial

Pengertian Budaya Politik - Budaya Politik Parokial adalah budaya politik dengan tingkat partisipasi politik yang sangat rendah. Budaya politik parokial umumnya terdapat dalam masyarakat tradisional dan lebih bersifat sederhana. Berdasarkan pendapat Moctar Masoed dan Colin Mc. Andrew, yang mengatakan budaya politik parokial adalah orang-orang yang tidak mengetahui sama

sekali adanya pemerintahan dan politik.

Ciri-Ciri Budaya Politik Parokial

 Apatis

 Lingkupnya sempit dan kecil

 Pengetahuan politik rendah

 Masyarakatnya yang sederhana dan tradisional

 Adanya ke tidak peduli dan juga menarik diri dari kehidupan politik

 Anggota masyarakat condong tidak berminat terhadap objek politik yang luas

 Kesadaran anggota masyarakat mengenai adanya pusat kewenangan dan kekuasaan dalam masyarakatnya rendah

 Tidak ada peranan politik bersifat khusus

 Warga negara tidak sering berhadap dalam sistem politik

b. Budaya Politik Kaula/Subjek

Pengertian Budaya Politik Kaula - Budaya politik kaula adalah budaya politik dengan masyarakat yang suda relatif maju baik sosial maupun ekonominya, namun masih relatif pasif. Budaya politik kaula atau subjek berada pada orang secara pasif patuf pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, akan tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan. Budaya politik kaula memiliki tingkat perhatian pada sistem politik sangat rendah. Ciri-Ciri Budaya Politik Kaula/Subjek

(8)

 Sedikit warga memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, namun dapat menerima apa yang berasal dari pemerintah

 Menerima putusan yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dikoreksi, terlebih lagi ditentang.

 Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif, artinya warga tidak dapat berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.

 Warga menaruh keadaran, minat, dan perhatian pada sistem politik secara umum dan khusus terhadap objek output, sedangkan untuk kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor polirik masih rendah.

c. Budaya Politik Partisipan

Pengertian Budaya Politik Partisipan - Budaya politk partisipan adalah budaya politik yang ditandai adanya kesadaran politik yang sangat tinggi. Budaya politik partisipan dapat dikatakan suatu bentuk budaya yang anggota masyarakatnya condong diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Budaya politik yang ditandai dengan adanya kesadaran dirinya atau orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. Umumnya masyarakat budaya politik partisipan sadar bahwa betapapun kecil partisipasi dalam sistem politik, tetap saja merasa berarti dan berperan dalam berlangsungnya sistem politik. Begitu pun dengan budaya politik partisipan, masyarakat tidak menerima langsung keputusan politik, karena merasa sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik yang memiliki hak

dan tanggung jawab.

Ciri-Ciri Budaya Politik Partisipan

 Warga menyadari hak dan tanggung jawabnya dan dapat mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya

 Tidak begitu saja menerima keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik secara keseluruhan, input, output, maupun posisi dirinya sendiri.

 Kehidupan politik sebagai sarana transaksi, misalnya penjual dan pembeli. Warga menerima menurut kesadarannya tetapi dapat menolak menurut penilainnya sendiri.

 Menyadari sebagai warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.

Budaya Politik Indonesia

(9)

partisipatifnya masyarakat dan tidak tunduk dari keputusan atau kinerja pemerintah baru etika. Ketika era orde baru demokrasi dikekang, baik segala bentuk media dikontrol dan diawassi oleh pemerintah melalui departemen penerangan agar tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah.

Budaya politik Indonesia terus mengalami perubahan mengikut perkembangan zaman. Tetapi berubahnya terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi di daerah-daerah terpencil tidak terjadi perubahan karena kurangnya pendidikan dan informasi.

Saat ini budaya politik Indonesia adalah campuran dari parokial, kaula dan partisipan karena di Indonesia terdapat ciri-ciri parokial dan ciri-ciri budaya politik partisipan.

Karakteristik Budaya Politik Parokial, Kaula dan Partisipan

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, ternyata masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut.

1. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya, tingkat pendidikan relatif rendah). 2. Budaya politik kaula (subject political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

3. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangattinggi.

Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah. Dalam budaya politik ini masyarakat tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut.

Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik. Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik.

(10)

dalam budaya politik parokial hanya dapat dibangun jika terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya politik parokial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

 Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

 Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

 Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan terhadap perubahan komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

 Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.

 Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana ketika spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

 Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

Budaya politik kaula atau subjek lebih rendah satu derajat dari budaya politik partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman jika membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subjek karena tiap-tiap warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu, mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah sehingga sangat sukar untuk mengharapkan partisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya kaula atau subjek sebagai berikut.

 Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu. Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

(11)

 Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

 Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

Tipe budaya kaula atau subjek ini antara lain diterapkan oleh golongan bangsawan Prancis. Mereka sangat menyadari adanya institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan kepada mereka.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan. Mereka juga memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes jika terdapat praktikpraktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi karena adanya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah. Hal itu ditunjukkan oleh tingkat kompetensi politik warga negara yang tinggi dalam menyelesaikan sesuatu hal secara politik. Warga negara merasa memiliki peran politik. Mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik.

Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela karena adanya saling percaya (trust) antarwarga negara. Oleh karena itu, dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya partisipan sebagai berikut.

 Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objekobjek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

 Bentuk kultur politik anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit. Masyarakat pun aktif terhadap sistem politik secara komprehensif. Selain itu, masyarakat juga aktif terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik).

 Anggota masyarakat bersikap partisipatif terhadap objek politik (tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi).

 Masyarakat berperan sebagai aktivis.

(12)

tipe (partisipan, parokial, dan subjek) tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik sebagai berikut.

1. Budaya Politik Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)

Bentuk budaya campuran (subjek-parokial) ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik). Contoh budaya ini adalah bentuk-bentuk klasik kerajaan, seperti kerajaankerajaan di Afrika, Rusia (Jerman), dan Kekaisaran Turki.

2. Budaya Politik Subjek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)

Bentuk budaya campuran (subjek-partisipan) merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik) menuju budaya partisipan (demokratis). Contoh negara yang memiliki tipe budaya campuran ini adalah Prancis, Jerman, dan Italia.

3. Budaya Politik Parokial-Partisipan (The Parochial-Participant Culture)

Bentuk budaya campuran (parokial-partisipan) ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial menuju budaya partisipan. Tipe budaya campuran ini terdapat banyak di negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Pada umumnya, di negara-negara berkembang budaya politik yang dominan adalah budaya parokial.

Meskipun demikian, norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan. Hal ini sering menimbulkan ketimpangan antara struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alami yang masih bersifat parokial.

BUDAYA POLITIK

1. 1. Tipe-tipe Budaya Politik

Menemukan tipe budaya politik pada masyarakat Cineam dapat dilakukan melalui analisis beberapa teori mengenai tipe-tipe budaya politik dari para ahli. Berikut ini adalah tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia

menurut para ahli:

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan

(13)

Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

1. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

2. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa

tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.

1. 2. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan.

Budaya Politik berdasarkan sikap terhadap terbagi atas :

1. a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

1. b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

(14)

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

1. 3. Berdasarkan Orientasi Politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almondmengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

1. Budaya politik parokial(parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Secara relatif parokialisme murni itu berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana sehingga spesialisasi politik berada pada jenjang yang paling rendah. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif ketimbang kognitif. Contohnya suku bangsa terpencil di Nigeria atau Ghana, dapat saja menyadari akan suramnya rezim politik sentral dengan berbagai cara. Akan tetapi perasaannya terhadap hal tersebut bersifat tidak menentu dan mereka tidak membakukan norma-norma untuk mengatur hubunganya dengan hal tersebut.

2. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. Di sini terdapat frekuensi orientasi yang tinggi

terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu. Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus dan terhadap pribadi sebagai partisipan aktif. Subjek politik menyadari otoritas pemerintah, mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut dan mereka mungkin menunjukan kebanggaanya terhadap sistem itu. Akan tetapi hubungan terhadap sistem secara umum dan hasilnya bersifat pasif. Walaupun ada bentuk kompetensi yang terbatas dan tersedia di dalam kebudayaan subjek.

3. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Dengan kata lain bentuk kultur dimana anggota masyarakat cenderung diarahkan secara eksplisit kepada sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur serta proses politik serta administratif. Dengan kata lain, budaya partisipan diarahkan kepada aspek input dan output sistem politik itu sendiri.

(15)

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

N

O BUDAYAPOLITIK URAIAN/KETERANGAN

1. Parokial

1. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

2. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

3. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang

komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik. 4. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari

sistem politik.

5. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana

spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

6. Parokialisme dalam sistem politik yang

diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

2. Subyek/Kaula

1. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

2. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah

3. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

4. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang

terdiferensiansikan.

5. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

(16)

2. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara

komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif

(aspek input danoutput sistem politik)

3. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik

4. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau

keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan

perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan

berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan

kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk

mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

(17)

negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada

perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan

masalah-masalah politik.

Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika

berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru.

Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.

Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya

menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :

 Kebudayaan Subjek-Parokial

 Ø Suatu tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kesukuan, desa, atau otoritas feodal. Sejarah dan rentetan peristiwa berbagai bangsa

melibatkan peralihan awal dari parokialisme lokal menuju pemerintah desentralisasi. Akan tetapi, peralihan ini dapat diselaskan pada situasi dimana berlangsung pengembangan budaya subjek. Dengan

demikian, Anda dapat mengatakan bahwa perubahan kebudayaan politik parokial menuju kebudayaan politik subjek dapat dimantapkan pada sejumlah hal tertentu yang menjadi fokus pengamatan. Hal itu menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan budayal yang

berbeda-beda. Keadaan tersebut menegaskan bahwa jenis perpaduan yang dihasilkan mempunyai manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik tersebut.

 Kebudayaan Partisipan-Subjek

 Ø Model kebudayaan ini merupakan proses cara peralihan dari kebudayaan parokial menuju kebudayaan subjek. Hal yang dilakukan pasti akan mempengaruhi berlangsungnya proses peralihan dari budaya subjek menuju budaya. Dalam budaya subjek partisipan yang bersifat campuran itu, sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi input yang bersifat

khusus. Di Eropa Barat contoh tipe kebudayaan politik seperti ini dilaksanakan di Prancis, Jerman, dan Italia sejak abad 19 sampai sekarang ini.

 Kebudayaan Parokial-Partisipan

 Ø Dalam kebudayaan ini, terdapat masalah

(18)

semua negara berkembang, budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan. Demi

keselarasan, mereka menuntut suatu budaya partisipan. Perkembangan dari budaya parokial ke arah budaya

partisipan dilihat dari satu segi nampaknya menjadi suatu hal yang tidak mempunyai harapan. Akan tetapi, jika

diingat semua kekuasaan dan loyalitas parokial yang hidup subur di sejumlah negara muda, paling tidak kita boleh berkata bahwa perkembangan ke arah budaya partisipasi. 1. 2. Perkembangan Budaya Politik Indonesia

Pembagian budaya politik di Indonesia yang lebih didasarkan pada gaya berpolitik yang berkembang di Indonesia ada 3 tipe yaitu :

1. Budaya politik tradisional

Budaya politik tradisional ialah budaya politik yang mengedepankan satu

budaya dari etnis tertentu yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, budaya politik yang berangkat dari paham masyarakat Jawa.

Selain itu, budaya politik tradisional juga ditandai oleh hubungan yang bersifat patron-klien, seperti hubungan antara tuan dan pelayannya.

Budaya politik semacam ini masih cukup kuat di beberapa daerah, khususnya dalam masyarakat etnis yang sangat konservatif. Masyarakat tradisional seperti ini biasanya berafiliasi pada partai-partai sekuler (bukan partai agama).

1. Budaya politik Islam

Budaya politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada suatu keyakinan dan nilai agama tertentu (Islam). Agama Islam di Indonesia menjadi agama mayoritas dan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sehingga Islam menjadi salah satu budaya politik yang cukup mewarnai kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi budaya politik yang mendasarkan pada nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri bangsa membangun negeri ini.

Budaya politik Islam biasanya dipelopori oleh kelompok santri. Kelompok ini identik dengan pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Kelompok masyarakat ini terdiri dari dua yakni tradisional dan modern. Kelompok

tradisional biasanya diwakili oleh masyarakat santri yang berasal dari organisasi NU (Nahdlatul Ulama). Sementara yang modern biasanya diwakili oleh

(19)

Pada masa lalu, kelompok santri biasanya berafiliasi pada partai seperti Masyumi dan partai NU. Kedua partai ini memiliki basis pada kelompok masyarakat Islam.

1. Budaya politik modern

Budaya politik modern adalah budaya politik yang mencoba meninggalkan karakter etnis tertentu atau pendasaran pada agama tertentu.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, dikembangkan budaya politik modern yang dimaksudkan untuk tidak mengedepankan budaya etnis atau agama tertentu. Pada masapemerintahan ini ada dua tujuan yang ingin dicapai yakni stabilitas keamanan dan kemajuan.

Seperti halnya budaya politik Islam, budaya politik modern juga bersifat kuat dan berpengaruh. Di dalamnya terdapat beragam subkultur seperti kelompok birokrat, intelektual, dan militer. Nyatanya hanya ada dua kelompok (birokrat dan militer) yang paling berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pada masa Orde baru.

1. 3. Tipe Budaya Politik Petani Salak Cineam

Untuk mengetahui tiipe budaya politik pada petani salak cineam dapat dilihat dari beberapa teori yang telah dipaparkan di atas. Masyarakat petani salak Cineam yang lebih bersifat tradisional dan juga masyarakat transisi antara pedesaan dan perkotaan serta nilai-nilai religi Islam yang teguh, mempegaruhi pada budaya politik yang di anutnya. Melihat indikator tersebut maka budaya politik para petani salak Cineam dapat dikategorikan ke dalam budaya politik parochial partisipan serta budaya politik Islam.

1. 4. Perkembangan Tipe Budaya Politik sejalan dengan Perkembangan Sistem Politik yang Berlaku

Pada negara-negara demokratis umumnya, partisipasi politik warga negaranya dapat mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan (policy).Hal tersebut sejalan dengan pendapat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual dan atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.

1. Makna Sosialisasi Kesadaran Politik

Menurut M. Taopan, Kesadaran politik (political awwarnes) merupakan proses bathin yang menampakkan keinsyafan dari setiap warga negara akan

(20)

Kesadaran politik yang terbangun dalam diri petani salak dapat terwujud melalui sosialisasi politik.

Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.

Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.

Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka

perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi

1.Pengertian Menurut Para ahli

Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.

1. David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization

Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu

(21)

1. Gabriel A. Almond

Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan

keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.

1. Irvin L. Child

Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk

mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.

1. Richard E. Dawson dkk.

Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.

1. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration

Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi

kebudayaan.

1. Denis Kavanagh

Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.

1. Alfian

Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:

pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.

Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak politik langsung.

(22)

1. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.

2. Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan

kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap. 3. Sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja

(walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.

4. Bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.

Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip Althof, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.

Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih lagi

pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.

Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan

kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati menyebarkan

ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi, merupakan hasil eksperimen;

karena semua itu berlangsung secara tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.

Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu

(23)

berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.

Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada perubahan,

tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif

terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.

2.Proses Sosialisasi Politik

Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil risetDavid Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti “keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka“, bahwa mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik. Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting.

Menurut Easton dan Hess,anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh

kekuasaan. Eastondan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.

1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.

2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.

3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu). 4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka

yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.

(24)

1. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya

2. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.

3. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.

4. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.

5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.

6. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.

Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai

perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :

1) Keluarga (family)

Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.

2) Sekolah

Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang

kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.

3) Partai Politik

Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpatisannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu menciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan

senantiasa dapat memenangkan pemilu.

Budaya politik yang parokial partisipan serta budaya politik Islam yang sangat kental memengaruhi pilihan petani salak Cineam dalam memilih partai politik. Partai politik Islam tentunya akan lebih berpeluang memenangkan pemilih dari kalangan petani salak, walaupun tidak tertutup kemungkinan partai yang bersifat nasionalis serta memiliki citra yang positif berpeluang yang sama.

4.Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang atau Petani

(25)

Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk

memodernisasi Turki, tidak hanya secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana. Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :

1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk “memodernisasi” keluarga tradisonal lewat indus-trialisasi dan pendidikan.

2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.

Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu

Referensi

Dokumen terkait

Analysis of Relevance of Mathematics Curriculum. Development by

Ada beberapa kelemahan tafsir pada masa klasik, antara lain: (1) belum mencakup keseluruhan penafsiran ayat Al Qur’an, sehinga masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang

1. Mengenal secara cermat lingkungan, fisik, administratif, akademik dan lingkungan sosial sekolah dasar. Memberikan pengetahuan dalam merencanakan , melaksanakan

10 Refleksi pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa praktikan dan guru pamong atau guru kelas setelah selesai melakukan suatu pembelajaran

individual sampai kepada pembelahan seldan pembentukan organ.Salah satu masalah penting dengan hormon ini adalah, keberadaannya biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan sangat

Golden Mississipi ingin menamakan produknya Puritas, tetapi dengan saran Eulindra Lim nama produk Air Minum Dalam Kemasan yang di produksi menjadi AQUA, nama tersebut di pilih

Meskipun upaya mem-branding UMKM di Kecamatan Sumpiuh sudah dilaksanakan dengan seringnya pemberitaan lewat media massa, beroperasinya stasiun radio Komunitas Peduli Sumpiuh