• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL Internasional. Perspektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL Internasional. Perspektif"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Teori hubungan internasional adalah studi hubungan internasional dari sudut pandang teoretis; studi ini berusaha memberikan kerangka kerja konseptual sehingga hubungan internasional dapat dianalisis.[1] Ole Holsti mendeskripsikan teori hubungan internasional bertindak sebagai sepasang kaca mata berwarna, sehingga si pemakai hanya bisa melihat

peristiwa-peristiwa menonjol terkait dengan teori tersebut. Seorang penganut realismemungkin menolak penuh suatu peristiwa yang dianggap krusial oleh seorang konstruktivis, dan sebaliknya. Tiga teori paling populer adalah realisme,

liberalisme, dan konstruktivisme.[2]

Teori hubungan internasional dapat dibagi menjadi teori “positivis/rasionalis” yang berfokus pada analisis tingkat negara, dan “pascapositivis/reflektivis” yang mencakup arti keamanan yang lebih luas, mulai dari keamanan kelas, jenis kelamin, hingga pascakolonial. Banyak cara berpikir yang bertentangan dalam teori HI,

termasukkonstruktivisme, institusionalisme, Marxisme, neo-Gramscianisme, dan lain-lain. Bagaimanapun juga, dua pemikiran positivis muncul sebagai teori dominan,

yaitu realismedan liberalisme; meski konstruktivisme terus memosisikan diri sebagai arus utama.[3]

(2)

Teori-teori Utama Foreign policy adalah Realisme

Neorealisme Idealisme Liberalisme Neoliberalisme Marxisme Teori dependensi Teori kritis Konstruksivisme Fungsionalisme Neofungsiionalisme

Secara garis besar teori-teori foreign policy dapat dibagi

menjadi dua pandangan epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak

kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran

kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” foreign policy adalah tidak mungkin.

Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada

(3)

direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap foreign policy, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam foreign policy “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama

periode akforeign policyr 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga.

Pengertian Konstruktivisme (Sosial konstruktivisme)

Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk

dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan

kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang

menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior),sedangkan konstruktivisme sosial muncul sebagai sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan liberalisme. Teori ini muncul sebagai penjembatan antara

(4)

Konstruktivisme sosial berada pada posisi tengah antara

meanstream utama realisme, neorealisme, liberalisme di satu sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan teori, konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational choice dengan postmodernisme. Konstruktivisme berperan penting dalam menjembatani perbedaan sudut pandang antara kaum rasionalis dan reflektivis (Zehfuss : 252). Dengan

demikian, konstruktivisme sebenarnya mencoba memposisikan dunia material tidak independen tetapi selalu berinteraksi

dengan dunia sosial dalam konteks sentral intersubyektivitas dalam memposisikan mazhabnya sebagai penengah dari berbagai teori HI.

Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia. Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan

konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya alamiah dan tidak juga sepenuhnya nihil.

(5)

sosial. Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial).

Kritik Konstruktivisme terhadap Neoliberal & Neorealis

Kritik terhadap neoliberalisme

Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan

mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga

asumsi orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya

mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor

(6)

Neorealisme menurut pandangan Konstruktivisme adalah matrealistis,yang dimaksudkan disini adalah power (kekuatan militer) dan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara sebagai pembentukan identitas yang dimiliki, tentu hal ini sangat bertentangan dengan konstruktivisme. Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neoliberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun

neorealis dan neoliberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan

Asumsi dasar Konstruktivisme

(7)

Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan

lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan

oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara-negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap rekannya. Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme

memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengancollective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.

Pandangan Konstruktivisme mengenai negara menurut Alexander Wendt adalah sebagai berikut :

(1) Negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori politik internasional

(8)

(3) Identitas dan kepentingan negara lebih membangun

struktur-struktur sosial tersebut, dari pada diserahkan secara eksogen pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik domestik.

Pandangan anarki dalam sistem Internasional

“Anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan

denganpeperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis. Para pendukung

pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan

konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis

yanglain.Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki

(9)

Peranan Ide dalam Hubungan Internasional

Bagi perkembangan hubungan internasional teori mengenai konstruktivisme memberikan suatu“brainstorming” bagi teori-teori yang lainnya. Kehadiran konstruktivisme yang sering disebut sebagai perantara antara teori-teori rasionalis dengan reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan cara pandang baru atas realitas hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat

terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis yang cukup diperhitungkan ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa

menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara.

Pandangan tentang perang dan damai

Konstruktivisme memberikan sumbangan untuk mengkaji persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan memberikan pemahaman bagi negara untuk merespon kondisi sekitarnya. Konstruktivisme beranggapan bahwa perang terjadi akibat adanya pilihan secara sadar dari suatu negara.Interaksi yang terjadi antar negara saling

(10)

Pandangan tentang Individu

Dalam teori Konstruktivisme Manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling

memahaminya. Interaksi sosial antar individu akan

menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.

Varian-varian Konstruktivisme

Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama,

konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik.

(11)

Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang

penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. (Alexander Wendt, Anarchy is what states make of it ,1992).

Konstruktivisme Level unit berusaha melihat hubungan pengaruh norma-norma sosial dan legal di tingkat domestik bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan negara. Peter Katzenstein merupakan salah figur penting konstruktivisme dari varian ini, Katzenstein berusaha

menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman yang sama, sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju

(12)

antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda.( Peter

Katzenstein, Cultural Norms and National Security: Police and Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany in Europa (1999))

konstruktivisme holistik berusaha menjembatani kedua posisi dua varian konstruktivisme yang bertolak belakang di atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai dua aspek berbeda dari tatanan sosial dan politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika

perubahan global terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini

ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993). Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang

Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena

(13)

sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia.

Realisme dan Neorealisme

· Realisme sebagaimana seperti sebuah teori yang lain, memiliki landasan pemikiran yang mendasar. Realisme sejak pertama muncul sebagai sebuah teori terus mangalami

perubahan, terutama perubahan dalam memahami konsep dasar, mulai dari teori realisme klasik yang dikemukakan oleh Thucydides pada tahun 430-400 sebelum masehi sampai dengan teori neorealisme yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz pada tahun 1979 masehi.

· Seiring perkembangan dalam studi Hubungan

Internasional, maka terjadi pula perkembangan atau mungkin juga perubahan dalam teori realisme. Realisme klasik sebagai teori realisme yang pertama muncul secara perlahan kemudian berkembang dan berubah menjadi teori neorealisme. Dalam realisme klasik dan neoklasik, pandangan subjektif dari para pemimpin negara merupakan pusat perhatiannya. Realisme klasik begitu menekankan pada asumsi dasar manusia yang bersifat pesimis dan skeptis. Bahkan Morgenthau

(14)

memfokuskan pada struktur sistem dan bukan pada manusia sebagai pencipta dan pengoperasi sistem.

· Inti dari ajaran realisme adalah mengenai keamanan dan kelangsungan hidup negara dimana hal ini semua dirangkum dalam satu kata yang disebut “power”. Perbedaan pendekatan mengenai gambaran power inilah yang akhirnya membedakan aliran teori realis. Ketika para penganut teori realisme klasik dan neoklasik berpendapat bahwa sesungguhnya power itu adalah kekuatan militer, maka pro kontra mucul sebagai bagian dari kritik terhadap realisme klasik dan neoklasik. Perkara

mengenai kekuatan militer sebagai power tidak dibenarkan seluruhnya oleh para penganut realisme lain. Neorealisme muncul sebagai pembenahan dari pendekatan realis klasik mengenai power tersebut. Neorealisme melihat power bukan hanya sekedar kekuatan sumber daya militer tetapi juga dengan kemampuan memaksa dan mengontrol negara lain yang berada dalam sistem, Adapun perbedaan mendasar lainnya antara realisme klasik dan kontemporer, yaitu sikap negara menghadapi kondisi anarkis. Bagi realis klasik,

(15)

internasional menurut realisme klasik yaitu tidak ada kekuatan (negara) yang mengatur dunia ini sebab tidak boleh ada

kekuasaan yang berlebihan. Namun semua kembali kepada sifat dasar manusia yang selalu merasa cemas akan keamanan negara serta kepentingan nasionalnya, maka sistem yang

diciptakan manusia tersebut menjadi anarkis sebab banyak terjadi pengabaian dalam pelaksanaan sistem tersebut. Namun bagi neorealisme, negara-negara adalah para pencari kekuasaan dan sadar keamanan, bukan karena sifat dasar manusia tetapi lebih disebabkan karena struktur sistem internasional mendorong mereka melakukan demikian. Sejak dimulainya pemikiran mengenai tatakelola hubungan antar negara terutama ketika teori realisme lahir, sebuah agenda utama telah ditetapkan secara tidak langsung, yakni keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Agenda itu masih tetap dipertahankan oleh seluruh saliran realisme, entah itu realisme klasik maupun neorealisme. Mungkin terdapat sedikit perbedaan dari cara melihat akar permasalahan serta

kesimpulan yang diambil.

Perspektif-perspektif dalam Hubungan Internasional

Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :

(16)

2. Perhatian fundamental manusia terhadap perang memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.

3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya

yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak yang lainnya, termasuk perang.

4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang

mendorongnya.

5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha

kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh

sebab itulah

6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk menghapus

(17)

III. REALISME POLITIK

Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja

sama. I. CURRENT HISTORY

Hubungan internasional sebagai ladang penyelidikan

intelektual sebagian besar dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik.

Sejarah diplomatik merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk

kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.

(18)

harapan bahwa persenjataan bisa diawasi dan Eropa takkan mengalami perang lagi.

Namun harapan itu hancur karena Perang Dunia I yang pecah mulai 1914. Pengalaman menyakitkan ini melahirkan

pencarian pengetahuan mengenai sebab-sebab perang, misalnya, dalam konteks teori. Oleh karena itulah para pengambil kebijakan dan pakar memerlukan sebuah

teori untuk meramalkan pecahnya perang dan bagaimana mencegahnya.

IDEALISME POLITIK

Perang Dunia I membuka pintu terhadap revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian aliran current history masih memiliki pengikutnya.

Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :

1. Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.

(19)

3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya

yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak yang lainnya, termasuk perang.

4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang

mendorongnya.

5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha

kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh

sebab itulah

6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk menghapus

institusi yang mendorong terjadinya perang.

REALISME POLITIK

(20)

marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.

Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja

sama.

PENDEKATAN PERILAKU (THE BEHAVIORAL APPROACH)

Aliran realisme klasik menyiapkan secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan kaitan empiris. Namun demikian ketidakpuasan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesulitan dalam peristilahan dan metode,

mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an.

Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi hubungan internasional maka banyak mempengaruhi

pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian.

(21)

Perdebatan panas sering mewarnai para ilmuwan mengenai prinsip-prinsip dan prosedur yang paling tepat dalam meneliti hasil-hasil fenomena internasional. Debat itu berpusat pada makan teori dan syarat-syarat teori yang memadai dan

metode terbaik yang tepat untuk pengujian teori.

Sebagian besar perdebatan berlangsung antara penganut perilaku dan kubu tradisionalis sangat hangat. Memang benar “berteori mengenai teori” dan berteori tentang

hubungan internasional sering bercirikan perdebatan. Literatur pada periode ini diwarnai dengan isu-isu metodologis,

bukannya masalah substantif.

Asumsi yang sama dan preskripsi analitik merupakan ini dari gerakan perilaku. Aliran Perilaku mengusahakan generalisasi seperti hukum mengenai fenomena internasional. Yakni, pernyataan mengenai pola-pola dan keteraturan melintasi waktu dan tempat.

Ilmu, kata kaum penganut perilaku, adalah aktivitas membuat generalisasi. Oleh sebab itu tujuan penelitian ilmiah adalah menemukan pola-pola ajeg perilaku antar negara dan penyebab-penyebabnya.

(22)

berlangsung dan menjelaskan mengapa hubungan itu bisa berlangsung.

Untuk menemukan teori-teori itu, penganut perilaku

condong kepada analisa komparatif lintas nasional tak hanya sekedar studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu seperti terlihat dalam pendekatan Current History.

Kubu perilaku juga menekankan perlunya mengumpulkan data mengenai karakteristik negara dan bagaiman

berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itulah gerakan perilaku ini diwarani dengan studi kuantitatif hubungan internasional.

PENDEKATAN NEOREALISME STRUKTURAL (THE NEOREALIST STRUCTURAL APPROACH)

Pendekatan realisme politik masih penting sebagai perspektif teoritis yang mendasari analisa masalah keamanan nasional. Namun juga mendapat popularitasnya setelah terbentuk dalam teori umum politik internasional yang disebut neorealisme atau realisme struktural.

Neorealisme membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi

(23)

Apa yang neorealis inginkan adalah “mensistemasikan realisme politik kedalam teoris sistem yang kuat, deduktif dari politik internasional.”

Seperti dikemukakan Kenneth M Waltz dalam bukunya yang berpengaruh Theory of International Politics (1979) dan dianggap sebagai karya utama pemikiran neorealis, “struktur internasional muncul dari intreraksi negara dan kemudian hambatan yang dihadapi dalam mengambil tindakan tertentu saat terdorong ke negara lain.”

Seperti dalam realisme klasik, anarki dan ketiadaaan

lembaga sentral (sebuah pemerintah) menjadi ciri struktur sistem. Negara masih menjadi aktor utama. Mereka bertindak sesuai dengan prinsip menolong diri sendiri dan semuanya mengusahakan agar bisa bertahan.

Oleh karena itu menurut realisme struktural, negara tak berbeda dalam tugas-tugasnya yang dihadapinya. Yang berbeda adalah kapabilitasnya. Kapabilitas mendefinisikan posisi negara dalam sistem dan distribusi kapabilitas

mendefinisikan sistem struktur.

Demikian pula perubahan dalam distribusi kapabilitas

(24)

Kekuatan juga masih menjadi konsep sentral realisme

struktural. Namun demikian, masalah merebut kekuasaan tak lagi dianggap tujuan seperti dalam realisme klasik. Hal itu juga tidak dilihat sebagai karakter manusia.

Seperti dijelaskan Waltz, “negara berusaha dalam cara yang lebih kurang masuk akal menggunakan cara yang ada untuk mencapai tujuan yang terjangkau”.

Cara-cara itu digolongkan dalam dua kategori yakni usaha internal seperti meningkatkan kemampuan ekonomi, kekuatan militer, mengembangkan strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal seperti memperkuat dan memperluas aliansi atau memperlemah dan membubarkan aliansi musuhnya.

Keseimbangan kekuatan (balance of power) muncul lebih kurang secara otomatis dari instink untuk bertahan.

“Kencenderungan keseimbangan kekuatan untuk membentuk apakah sejumlah negara semua negara secara sadar

bertujuan membentuk dan mempertahankan keseimbangan atau apakah sejumlah atau beberapa negara bertujuan

dominasi universal,” tulis Waltz (1979).

(25)

menempatkan mereka antara niat mereka dan hasil dari tindakan mereka.”

INSTITUSIONALISME NEOLIBERAL

Seperti halnya neorealis, institusionalis neoliberal menggunakan teori struktural politik internasional. Mereka terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit didalamnya.

Namun mereka memberi lebih banyak perhatian cara lembaga internasional dan aktor non negara lainnya

mempromosikan kerja sama internasional.

Daripada hanya menggambarkan dunia dimana negara-negara di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan terancam oleh yang

lainnya, institusionalis neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih diantara entitas politik yang berdaulat.

Sebagai tambahan dari idealisme klasik, akar intelektual pendekatan yang biasa disebut pula neoliberalisme dapat dilacak dari studi integrasi regional yang mulai merebak pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an saat para pakar

(26)

Untuk mengkaji konsep dalam pemikiran neoliberalis, perlu kita

lihat tiga perspektif yang berdekatan dengannya.

Interdependensi yang kompleks (Complex Interdependence)

sebagai sebuah Pandangan Dunia

Sebagai sebuah perspektif analitik yang eksplisit, inderdendensi kompleks (complex interdependence) muncul pada tahun 1970-an untuk menantang asumsi-asumsi kunci kerangka teoritis saingannya, khususnya realisme klasik.

Pertama, menantang asumsi yang ada bahwa negara bangsa hanya satu-satunya aktor penting dalam politik dunia.

Lalu mereka memperlakukan aktor lain seperti perusahaan multinasional dan bank-bank transnasional sebagai

“penting bukan karena hanya kegiatannya dalam mengejar kepentingan mereka, namun juga karena

mereka bertindak sabuk transmisi sehingga membuat kebijakan pemerintah di sejumlah negara lebih sensitif terhadap negara lain (Keohane dan Nye, 1988).

(27)

dunia sebagai jumlah interaksi banyak bagian dalam “masyarakat global” (Holsti, 1988).

Kedua, intedependen kompleks mempertanyakan apakah isu keamanan nasional mendominasi agenda keputusan negara bangsa. Berdasarkan kondisi interdependensi, agenda politik luar negeri menjadi “semakin luas dan beragam” karena jangkauan luas kebijakan “pemerintah”, meskipun

sebelumnya dipandang sebagai kebijakan domestik.

Ketiga, perspektif yang dipertikaikan dalam konsep populer bahwa kekuatan militer satu-satunya alat dominan dalam menggunakan pengaruh di politik internasioal, khsusnya

diantara negara industri dan masyarakat demokratis di Eropa dan Amerika Utara.

2. Rejim-rejim internasional

Meskipun sistem internasional masih memiliki karakter

anarkis, sifatnya dapat lebih dikonseptualisasikan sebagai anarki yang tertib dan sistem secara keseluruhan sebagai “masyarakat anarkis” karena kerja sama, bukan konflik, sering hasil yang dapat diamati dalam hubungan antar negara.

Karena realitas ini, masalah baru muncul : bagaimana prosedur dan aturan yang terlembagakan untuk manajemen kolektif masalah kebijakan global dapat dibentuk dan dipertahankan ? Kepentingan dalam masalah itu muncul dari dua tujuan

(28)

memahami seberapa jauh hambatan bersama

mempengaruhi perilaku negara”. Kedua, kepentingan dalam merancang strategi untuk menciptakan “tatanan dunia” yang lebih tertib.

Menuru sebuah definisi, rejim adalah sistem terlembaga kerja sama dalam isu-isu tertentu. Krasner (1982) menjelaskan, “ini adalah pemasukan perilaku dengan prinsip dan norma yang membedakan aktivitas rejim yang diperintah dalam sistem internasional dari aktivitas yang lebih konvensional oleh kepentingan sempit yang terukur”. Oleh karena itu esensi dari sebuah rejim adalah terdiri dari “sistem aturan perilaku internasional”.

Sistem moneter global dan sistem perdagangan yang

tercipta setelah Perang Dunia II merupakan ekspresi jelas dari rejim-rejim internasional.

Teori Stabilitas Hegemoni

Seperti ditekankan oleh perspektif institusionalis neoliberal, aktor-aktor non negara memainkan peran penting dalam kerja sama internasional yang menjadi karakter Tatanan Ekonomi Internasional Liberal.

Perspektif ini juga mengajak memperhatikan peran menentukan kekuatan besar Amerika Serikat dalam

(29)

Masalah yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya kekuasaan AS seperti dipersepsikan banyak pihak tehadap lembaga rancangannya untuk mendorong kerja sama internasional ? Apakah menurunnya pengaruh itu bisa menjelaskan ketidaktertiban tatanan ekonomi global yang muncul sejak 1970-an ? Masalah-masalah inilah yang jadi perhatian khusus bagi analis yang tertarik pada stabilitas hegemoni.

Teoritisi stabilitas hegemoni membedakan definisi hegemoni dengan menekankan kapasitas kekuatan militer untuk

mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk menentukan dan mendikte aturan yang

mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi internasional.

Dalam konteks institusionalisme neoliberal, teori stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa negara-negara penting (hegemonik) di hirarki tertinggi

(seperti AS setelah Perang Dunia II) termotivasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian terdahulu yang menganalisis tentang pengaruh variabel ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran

Pemberian pupuk organik kombinasi dengan atau tanpa pupuk anorganik berbeda nyata dibandingkan kontrol terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga, hasil

a. Lembaga dan Pusat Pengembangan PPL UNNES yang memberikan layanan akademik PPL kepada mahasiswa semester VII tahun akademik 2011/2012 dengan optimal. Layanan bimbingan

Signifi - cant difference was not emerged when testing whether there is any difference in terms of level of using travel guidebook by tourists with dif- ferent length of stay in

Menciptakan karya ini dengan tujuan agar masyarakat dapat memahami karya yang berangkat dari tradisi ke modern baik secara konsep, bentuk, teknik maupun

Laporan yang dapat dipilih adalah Laporan yang dihasilkan oleh sistem tersebut adalah Penerimaan Barang, Transaksi Penjualan per Bulan, Transaksi Pembayaran

Sebuah paradigma dalam setiap disiplin ilmu, memiliki asumsi, metode dan pendekatan tertentu yang berbeda dari paradigma ilmu yang lain. Paradigma merupakan

As noted above, CIRCA does not know how long the light has been green when it is observed; therefore, in the worst case, it is assumed that the temporal transition to the yellow state