• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Konser Mozart di Wina hingga Stream

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Konser Mozart di Wina hingga Stream"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Makalah ini termasuk dalam buku prosiding “

Arts and Beyond

”. Konferensi

Nasional Pengkajian Seni ini berlangsung pada tanggal 5 September 2015,

Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Dari Konser Mozart di Wina

hingga Streaming Youtube Justin Bieber

Relasi Musik, Teknologi dan Industri dari Masa ke Masa

Oleh: Gardika Gigih Pradipta

Gang Asem Jawa V, Jalan Nusa Indah, Candi Gebang, Yogyakart

Forum Musik Tembi

musikgigih@gmail.com

Abstract:

This papers discuss about relationship between music and technology, especially the invention of printing machine, recording technology, and digital media and internet. Written by historical period, after Johannes Gutenberg found printing machine in Europe in the middle of 15 century, until digital media and internet era now.

In the music world, technology development had a big impact on musical activities, such as an issue about popular culture and celebrity images for musicians.

Beside that, technology development which makes the new possibilites of mass producing, starting from music sheets, vinyl, cassete, CD, until streaming and download on internet create a new mechanism: comodities, publicity, and market. It has change how we consume music

Keywords: music, technology, media, industry, mass culture

Intisari:

Makalah ini membahas tentang relasi antara musik dan teknologi, khususnya penemuan mesin cetak, alat perekam dan pemutar musik, serta media digital dan internet. Disusun dalam lintas waktu sejarah, dari sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Jerman pertengahan abad 15, hingga di zaman media digital saat ini dengan adanya internet.

(2)

2 Selain itu perkembangan teknologi yang mendorong kemungkinan terjadinya penggandaan musik mulai dari buku partitur, rekaman piringan hitam, kaset, CD hingga streaming dan download di internet telah memunculkan mekanisme musik yang lain, yakni komoditas, publisitas dan pasar. Hal ini telah merubah cara kita mengkonsumsi musik.

Kata kunci: musik, teknologi, media, industri, budaya massa

Pengantar

Praktik musik senyatanya tidak bisa terlepas dari perkembangan teknologi dari masa ke masa. Relasi ini melahirkan berbagai mekanisme dalam dunia musik, termasuk salah satunya adalah cara masyarakat dalam menikmati musik dan cara musisi berkarya. Penelitian ini ingin membahas relasi keduanya dengan melihat berbagai contoh praktik-praktik musik baik di masa lampau maupun di era media digital dan internet saat ini.

Pertanyaan yang ingin dijawab dalam pembahasan makalah ini ada dua, pertama, bagaimana perkembangan teknologi dalam dunia musik dari masa ke

masa?, kedua bagaimana dampak perkembangan tersebut terhadap praktik-praktik musik, termasuk di dalamnya cara masyarakat menikmati musik?

Metode penelitian makalah ini adalah tinjauan pustaka, baik dari berbagai buku, artikel, maupun situs internet mengenai musik dan teknologi, media, maupun budaya massa. Selain itu, penulis membandingkannya dengan pengalaman dan pengamatan sehari-hari tentang bagaimana masyarakat saat ini menikmati musik dalam kehidupan sehari-hari.

Pembahasan

Mari kita kembali ke perputaran musik di dunia 200 tahun yang lalu. Pada abad 19 di Eropa komponis-komponis masyhur seperti Beethoven, Frederic Chopin,

(3)

3 maupun di tengah masyarakat dalam bentuk ritual, upacara adat, maupun hiburan misalnya.

Intinya, semua karya musik berarti sebuah pertunjukan langsung dalam sebuah ruang dan waktu yang sama antara musisi dan penikmat musik. Dengan demikian, kehadiran kaya-karya komposisi musik juga terbatas ruang dan waktu, meskipun saat itu tradisi pencetakan buku partitur maupun transkrip ulang sudah dikenal luas. Sebagai contoh, tiap komponis besar memiliki potensi untuk diterbitkan partitur karya-karya musik mereka melalui berbagai perusahaan percetakan.

Perubahan besar berawal dari revolusi mesin cetak yang dipelopori oleh Johannes Gutenberg di Jerman sekitar tahun 1450. Saat itu, Gutenberg dengan mesin cetak temuannya, untuk pertamakali mengawali tradisi percetakan dengan menggandakan Alkitab, hingga disebut Gutenberg Bible. Hingga pada tahun 1965, berangkat dari mesin penemuan Gutenberg, sebuah partitur nyanyian liturgis dicetak di Jerman. Selanjutnya, tradisi pencetakan dan penggandaan buku partitur musik dimulai. Dan sejak saat itu pula isu royalti atas karya komponis dan hak cipta telah mulai bergulir. Sejarah mencatat misalnya di Jerman pada tahun 1754 lahir

Bernhard Christoph Breitkopf of Leipzig, perusahaan penerbit khusus untuk partitur-partitur musik1.

Dengan adanya industri percetakan buku partitur, medan jelajah sebuah karya musik dari para komponis bertambah luas. Para musisi bisa memainkannya di mana pun asal membeli buku partitur yang telah diterbitkan oleh perusahaan percetakan. Meskipun demikian tetap saja karya musik dari para komponis masih terbatas ruang dan waktu, sekali lagi menyangkut pertunjukan langsung. Bunyi-bunyian tercatat dan terekam di atas kertas.

Hingga kemudian sejarah baru dalam pencatatan dan perekaman musik dimulai. Pada tahun 1870-an, Thomas Alfa Edison menemukan Phonograf – sebuah alat untuk merekam percakapan telpon pada kertas berlapis lilin (wax) menggunakan sistem elektromagnetik dan selanjutnya bisa memproduksi kembali rekaman suara tersebut melalui corong pengeras. Getaran suara dari telpon rupanya meniggalkan jejak pada kertas yang telah dilapisi lilin. Temuan Edison ini ternyata menjadi awal sebuah sejarah panjang yang berlangsung hingga saat ini dan akrab dengan kehidupan masyarakat di berbagai penjuru dunia, yakni industri rekaman musik.

(4)

4 Dengan mengembangkan sistem phonograph temuan Edison, pada tahun 1882 Emile Berliner penemu asal Amerika Serikat menemukan sebuah alat yang ia namakan gramophone yang akan meledak di pasaran dan begitu populer di waktu-waktu mendatang. Jika phonograph menggunakan sistem kertas berlapis lilin untuk merekam jejak bunyi, maka gramophone temua Berliner menggunakan sistem flatdisc

piringan datar, yang lebih praktis dan baik secara kualitas.

Selanjutnya pada tahun 1894, Emile Berliner mendirikan perusahaan Berliner Gramaphone yang memulai usaha pasar rekaman saat itu bekerjasama dengan ahli manufaktur Elridge R. Johnson. Keduanya kemudian mengembangkan perusahaan Victor Talking Machine Company.Pada tahun 1906, perusahaan ini berhasil memproduksi grampahone berkualitas bagus yang bisa digunakan di rumah-rumah. Seri produk ini bernama Victrola dan cepat menjadi primadona di pasaran saat itu.

Logo Victor Talking Machine Company

Gramaphone berikutnya menjadi sebuah business machine dalam industri rekaman awal pada dekade 1920-an hingga 1950-an sebelum ditemukannya teknologi

(5)

5 menjadi gelombang massa yang semakin besar. Radio menjadi corong dengar bagi karya-karya musik, bertemu audiens yang makin luas.

Teknologi Rekam Musik yang Berdampak pada Budaya Massa dan Industri Musik

Sebagai pengantar dalam bahasan ini, dalam buku An Introduction to Theories of Popular Culture, Dominic Strinati membahas bahwa Budaya Populer terkait erat dengan apa yang dinamakan budaya massa (mass culture) dan perkumpulan massa (mass society). Lebih lanjut Strinati membahas bahwa budaya massa tidak bisa dilepaskan daripengaruh industrialisasi dan urbanisasi – yang lahir dari proses produksi massal yang jika ditarik lagi dalam rentang sejarah tentu akan sampai pada titik awalnya, revolusi industri di Inggris pada 1750-an.

Produksi massal terkait dengan kata pabrik, factory – di mana mesin-mesin

bisa memproduksi sebuah komoditi dalam jumlah yang banyak untuk dijual ke pasaran, atau penggandaan. Logika inilah yang juga berjalan di dunia industri rekaman sejak awalnya hingga saat ini.

Jejak Victor Talking Machine Company diikuti dengan munculnya perusahaan-perusahaan rekaman (recording label) seperti Columbia Record, Crystalate, Decca Records, Edison Bell, The Gramophone Company, Invicta, dan masih banyak lagi. Maka mulailah sebuah era baru yakni system mekanisme industri dan pasar yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Data statistik menunjukkan, pada tahun pada tahun 1907 saja, atau satu tahun sejak mesin pemutar piringan hitam, Victrola diluncurkan angka penjualan dari produk ini mencapai 98,000 unit di pasaran2. Kehadiran musik yang pada abad sebelumnya merupakan kehadiran seorang musisi langsung, maka mulai awal abad 20, piringan hitam dan gramophone menjadi wakil para musisi, menjadi sebuah perantara bunyi. Ruang dan waktu bunyi tak lagi dibatasi.

Kata ‘industri rekaman’ lambat laun semakin familier di dunia musik global. Para musisi yang sebelumnya ‘hanya’ bisa memperdengarkan musiknya di ruang

pentas, maka dengan adanya industri rekaman daya jangkau musik mereka semakin

luas dan seakan tak terbatas ruang dan waktu. Selain pengalaman menikmati dan

2 DeGraaf, Leonard, Confronting The Mass Market: Thomas Edison and the Entertainment Ponograph, Edison

(6)

6 mendengarkan musik dalam dimensi yang berbeda, ada sebuah mekanisme baru yang terbentuk di sini, yakni perusahaan rekaman atau biasa disebut dengan label. Label menduduki posisi sebagai produsen di pasar, kemudian para musisi sebagai kreator, dan tentu yang ketiga adalah masyarakat sebagai pangsa pasar produk industri rekaman itu sendiri. Di awali dengan teknologi gramophone menggunakan piringan hitam yang bisa menghadirkan para musisi ke ruang-ruang pendengarnya kapan pun dimaui.Sekali lagi, logika business machine terus bergulir di sini.

Industri rekaman membentuk budaya baru di tengah masyarakat dan musisi. Perusahaan rekaman besar mulai mendominasi pasar musik di seluruh dunia. Seperti Universal, Decca, Sony BMG, dan lainnya. Dari dekade ke dekade perkembangan industri music semakin cepat berjalan. Pasar industri ini telah membentuk cara baru yang sangat ampuh dalam ‘memasarkan’ – membagikan musik kepada masyarakat. Musik dikemas sedemikian rupa untuk dijual menjadi produk dalam bentuk kaset, CD, maupun video music. Kontras jika dibandingkan dengan 1 abad sebelumnya dimana masyarakat hanya akan menjumpai musisi dan musik di ruang-ruang pertunjukan.

Industri rekaman juga mulai membentuk logika idola dalam budaya massa, yakni musisi idola para masyarakat. Begitu banyak contohnya. Tengok saja, The Beatles dengan Beatle Mania, Justin Bieber, Michael Jakson, bintang-bintang K-Pop dalam gelombang budaya Korea, Afgan, Raisa, Isyana Sarasvati yang menyebar ke berbagai pelosok tanah air hingga berbagai penjuru dunia.

Sebagai sebuah catatan penting, mari tengok statistik keseluruhan penjualan album The Beatles yang dirilis oleh RIAA, Apple Records, EMI pada tanggal 23 Juli 20123. Statistiknya sangat fantastis. Terhitung mulai album pertama The Beatles,

Please-Please Me yang dirilis tahun 1963 dan album-album selanjutnya telah terjual sebanyak 2,303,500,000 di seluruh dunia. Sebuah angka statistik pasar album-album The Beatles yang luar biasa diikuti dengan sebuah gerakan budaya populer yang kuat. Kekuatan musik The Beatles dan industri musik yang mendorongnya, membuat di antaranya para muda-mudi di seluruh dunia gandrung. Dari musik merambah hingga patron gaya rambut shaggy, gaya kacamata bundar John Lennon, gaya berpakaian jas, hingga yang menyangkut daerah asal Paul McCartney dan

(7)

7 kawan-kawan, yakni aksen bahasa Inggris scouse yang begitu kental dari para pemuda asal kota pelabuhan, Liverpool ini.

Fenomena ini merupakan ledakan budaya popular yang sangat luar biasa. Budaya populer dalam industri rekaman memang berpotensi membangun citra musisi yang sifatnya global. Mulai ada mekanisme ‘selebriti’ dalam perputaran ini. Jika mulai tahun 60-an ada pesona The Beatles yang merebak ke seluruh dunia, maka dalam seiring berjalannya waktu mekanisme ‘selebriti’ dalam dunia industri rekaman terus memunculkan para bintang dengan pangsa pasar masing-masing.

Tengok saja cover-cover album para penyanyi tenar, contohnya di sini adalah album baru Agnes Monica berjudul AGNEZ MO, album Thriller dari Michael Jackson, dan album Believe Me dari Justin Bieber. Mereka menjadi idola di hati masyarakat. Jika dikaitkan antara musik dan visualitas, selalu ada kekuatan citra berkait dengan identitas sang musisi di titik ini. Agnes Monica semakin menampilkan citranya yang muda dan energik, seksi. Agnes bahkan benar-benar bekerja keras di gymn untuk membentuk otot-otot tubuhnya agar terkesan perkasa, sesuai dengan hentakan musiknya yang makin energik. Berbeda dengan fase kekaryaannya sebelumnya yang

masih banyak lagu mendayu seperti ‘Cintaku tlah di Ujung Jalan’. Agnes, seiring rintisannya ke jalan internasional melalui industri musik Amerika, memulai gaya

musiknya yang sangat ekspresif seperti pada single ‘Choke Bottle’, featuring Timbaland.

(8)

8

Selain melahirkan ‘mekanisme kebintangan’, dunia industri rekaman juga

menggulirkan mekanisme kehidupan baru di dalamnya. Selain meroketkan para musisi menjadi selebriti idola, muncul juga mata rantai baru seperti manajemen artis, bagian promosional – marketing artis, dan masih banyak lagi. Perputaran di dunia industri musik terus berkembang hingga saat ini. Ada struktur bisnis besar yang berjalan di atas dasar kekuatan perpuataran kapital yang besar di dunia global. Ini adalah sebuah industri hiburan, showbiz berskala masif.

(9)

9 komoditi besar yang bisa diledakkan pada pasar global setiap saat, asalkan ada kekuatan pendukung, power yang berjalan dengan baik di belakangnya.

Adorno selalu mengkaitkan antara budaya komersil (commercial culture), produksi massal (mass produced), hingga pasar massal (a mass market). Proses produksi massal selalu bergantung pada mekanisme pasar potensial bagi penjualan dan persebaran produk-produk massal. Lewat mekanisme pasar inilah, menurut Adorno perputaran industri bisa berjalan.Harus ada kekuatan modal yang terus berjalan melalui keuntungan penjualan produk-produk massal. Jika hal ini tidak berjalan, maka proses produksi juga tidak akan berjalan.

Tengok saja apa yang terjadi pada K-Pop (Korean Pop) dengan Korean Waves, gelombang demam Korea yang melanda dunia, termasuk sampai juga ke Indonesia. Sebut saja nama-nama musisi seperti Suju (Super Junior), Psy yang menjadi ‘virus’ lewat Gangnam Style-nya, SNSD- sekumpulan cewek bersuara indah yang

cantik-cantik memikat mata, hingga Big Bang yang digilai banyak remaja putri.

Sebuah catatan, tiket konser Suju “SUPERSHOW4-SUPERJUNIOR WORLD

TOUR” yang dilangsungkan pada 28 dan 29 April lalu di Mata Elang International Stadium, Ancol, Jakarta terjual habis dalam waktu singkat. Tepatnya hanya dalam hitungan beberapa jam setelah loket dibuka panitia di lobby Twin Tower Jakarta pada tanggal 7 April. Pasca habisnya tiket, masih ada ratusan penggemar yang terpaksa gigit jari karena tidak mendapatkan tiket, padahal mereka sudah mengantri sejak tengah malam. Yang menjadi fakta fantastis lainnya, harga tiket konser Superjunior yang paling murah adalah Rp. 500,000,00, hingga tiket tertinggi kelas Super Box seharga Rp. 1.700.000,00. Sebuah fenomena budaya populer yang dahsyat.

(10)

10 termahal dijual hingga Rp. 3.000.000,00. Fantastis, penghargaan yang harus dikeluarkan demi musisi idola4.

Selain pertunjukan Super Junior dalam rangkaian Korean Waves di berbagai dunia, di zaman media digital ini, kita juga mengenal praktik menikmati musik melalui internet, yakni dengan cara streaming maupun mengunduh sebuah karya musik, baik gratis maupun berbayar. Mekanisme ini semakin marak ketika beberapa produsen elektronik juga menggarap sisi ini sebagai lahan bisnis yang subur, salah satunya perusahaan Apple yang dipimpin oleh Steve Jobs saat meluncurkan iTunes, pada tahun 1998, beriringan dengan produk pemutar musik, iPod5. Belum pernah terbayangkan di era sebelumnya, bahwa perputaran unduhan berbayar di iTunes telah menjadi komoditas global dan menghasilkan jutaan dollar baik bagi perusahaan Apple maupun para musisi sendiri6.

Ya, begitulah perkembangan teknologi dan industri rekaman dan media telah membentuk budaya material dalam dunia musik dengan begitu dominan. Sudah berbeda jauh bagaimana cara masyarakat menikmati musik, dibandingkan 200 tahun lalu ketika Mozart bermain piano di Wina. Satu-satunya jalan jika kita ingin bertemu

dengan permainan musik Mozart tanpa teknologi perantara bunyi yang lain.

Kesimpulan

Perkembangan teknologi, khususnya dimulai dari penemuan mesin cetak, kemudian teknologi rekam musik, hingga media digital dan internet telah banyak mengubah praktik-praktik dalam dunia musik, terutama cara masyarakat dunia menikmati musik.

Seakan, persebaran musik menjadi tanpa batas. Jika dahulu kita harus datang kesebuah konser untuk menikmati musik, maka kemudian teknologi rekaman menjadi medium baru yang bisa menghantarkan musik kepada kita. Dimulai dari yang berbentuk fisik, mulai dari vinyl, lalu casette, CD hingga era media digital dan internet. Jikalau vinyl dan casette masih dibatasi oleh bentuk fisik, maka di era media digital seperti sekarang, medium fisik tak lagi membatasi kehadiran musik. Semua berkaitan dengan data.

4 http://entertainment.kompas.com/read/2015/04/09/022215910/.Super.Show.6.Jadi.Konser.Terakhir.Suju 5 https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_iTunes

(11)

11 Relasi perkembangan teknologi dan musik tidak hanya berdampak pada cara masyarakat menikmati musik. Relasi ini juga telah membentuk mekanisme yang baru, yakni mekanisme pasar dengan adanya produsen, distributor dan konsumen atau penikmat musik.

Daftar Pustaka

Bell, David. Introduction to Cybercultures. London: Routledge. 2001

DeGraaf, Leonard, Confronting The Mass Market: Thomas Edison and the Entertainment Ponograph. New Jersey: Edison National Historic Site, 1995

Godin, Seth. Unleashing The Ideavirus. New York. Hyperion. 2001

Heryanto, Ariel. Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. 2012 Hills, Matt. Fan Cultures. London: Routledge. 2001

Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. Dialectics of Enlightment. California: Stanford University Press, 2002

Strinatti, Dominic. An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge, 1995

http://entertainment.kompas.com/read/2015/04/09/022215910/.Super.Show.6.Ja

di.Konser.Terakhir.Suju

http://fortune.com/2014/04/20/how-much-revenue-did-itunes-generate-for-apple-last-quarter-2/

http://www.statisticbrain.com/the-beatles-total-album-sales/

https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_iTunes

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pasien ke fasyankes tingkat tiga yang lebih mampu P rose d u r ad m in ist ra ti f Format informed concent telah ditandatangani Data pribadi pasien Surat rujukan pasien

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji strategi manajemen Suara Merdeka untuk mempertahankan eksistensi perusahaan dalam menghadapi media kompetitor di

Dari strategi altenatif matriks QSPM, dihasilkan nilai TAS tertinggi yaitu sebesar 6,266 adalah pada Strategi ST (strategi menggukanakan kekuatan (S) untuk mengatasi

untuk mendukung teknologi VLAN maka di perlukan Switch yang mendukung VLAN dan konsep Trunk sebgai Backbone antar VLAN.maka di pilih Mikrotik Type CRS untuk mendukung konsep di

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Laju Potensial dan Kelimpahan Bakteri Nitrifikasi Denitrifikasi dan

Desain dan pembuatan pendukung mekanik pada prototipe perangkat pencitraan peti kemas dengan teknik serapan sinar gamma telah dilakukan sebagai kelengkapan

Algoritma yang telah diuji adalah metode NN, dari hasil yang telah di uji kemudian dibandingkan dengan metode KNN yang digunakan untuk memprediksi data penjualan

Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang