2.1. PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM BIDANG CIPTA KARYA
alam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan
berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta
Karya disusun dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan
amanat perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan
pembangunan permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami
arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan pembiayaan
pembangunan Bidang Cipta Karya.
Perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya, membagi amanat pembangunan
infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan ruang/spasial,
amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat pembangunan Bidang Pekerjaan
Umum, serta amanat internasional. Konsep perencanaan ini disajikan dalam gambar 2.1.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan pada
beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi,
kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu
umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masing- masing daerah, sehingga dukungan
seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.
D
BAB
ArAHAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
BIDANG CIPTA KARYA
Gambar 2.1 Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
Sumber: Direktorat Bina Program, 2014
2.2. AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT BIDANG CIPTA KARYA
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut
berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan,
maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting
dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.
2.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen
perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara
menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam
dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang
Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal
sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air
minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar
transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand
responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan
lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.
b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan
pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air
minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi
masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan
profesional, dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air
minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan
adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman
kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan
sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana
akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.
d. Upaya perwujudan k a b u p a t e n / kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap
tahapan RPJMN, yaitu:
RPJMN ke 2 (2010-2014) : Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui
percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama
antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan
permukiman.
RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh
masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan
perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu
semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.
RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa
2.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010
menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi
masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang
layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan
bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan
sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.
Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada
periode 2010-2014, yaitu :
a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan
perincian akses air minum perpipaan 32 % dan akses air minum non-perpipaan
terlindungi 38 %.
b. Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir tahun 2014,
yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat
(off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat
skala kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal
sebesar 5 % serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air
limbah setempat (on-site) yang layak bagi 90 % total penduduk.
c. Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah
perkotaan.
d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan
aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai, melalui:
a. menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
b. memastikan ketersediaan air baku air minum,
c. meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,
d. meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan
pengelolaan persampahan,
e. meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,
g. meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS),
h. mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,
i. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j. mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Ekonomi Indonesia
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia: Masterplan for
Acceleration and Expansion of Indonesia's Economic Development) dengan singkatan MP3EI
adalah sebuah pola induk perencanaan dari pemerintah Indonesia untuk dapat mempercepat
realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati
secara merata di kalangan masyarakat.
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini akan didukung berdasarkan potensi
demografi dan kekayaan sumber daya alam, dan dengan keuntungan geografis masing-masing
daerah.
Untuk Kabupaten Tana Tidung tidak termasuk ke dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2.2.4. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia
Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi dengan
upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana
semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka
kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di
semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun
2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:
a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu
melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,
b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia di masa mendatang,
c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin dan
rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan regional dengan
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam
pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
(PNPM- Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.
2.2.5. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan dengan
batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK
dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan
geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan
ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona
ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen
Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada
kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
2.2.6. Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur,
Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi Program
pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki
peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk
rakyat dan program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam
pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air
minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.
2.3. PERATURAN PERUNDANGAN BIDANG PU/CIPTA KARYA
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan
perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU
No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Persampahan.
2.3.1. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang
perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi
nasional dan provinsi.
b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan
kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian,
dan kawasan permukiman.
d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.
f. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.
h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.
i. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan
permukiman.
j. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.
Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:
a. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota.
b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan
dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota.
e. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan
f. Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat
kabupaten/kota.
g. Memfasilitasi kerjasama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan
badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
h. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
i. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh
pada tingkat kabupaten/kota.
Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan
pembiayaan, hak kewajiban dan peran masyarakat.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan
serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya
pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta
upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman
kembali.
2.3.2. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung
adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan
konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi
bangunan gedung. Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status
kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis
meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan
tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur
bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus
seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, sistem penghawaan,
pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).
b. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan,
pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya
hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya
yang dikandungnya.
c. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan
keharusan bagi semua bangunan gedung.
2.3.3. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air, termasuk di
dalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak setiap orang
untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan
pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara dan/atau badan
usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga tersebut merupakan air
dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan
sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem
penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan
sarana sanitasi.
2.3.4. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai
sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga
dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah
dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan
kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi:
a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis,
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke
tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu,
c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke
tempat pemrosesan akhir,
d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di tempat
pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan
akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA
dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.
2.3.5. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta dalam
pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam
undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian
yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini
juga mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan
pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan
wewenang, hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.
2.4. AMANAT INTERNASIONAL BIDANG CIPTA KARYA
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan perumusan
kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya meliputi Agenda
Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium Development Goals, serta Agenda Pembangunan
2.4.1. Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II sebagai
kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi tersebut menghasilkan
Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran pembangunan permukiman
yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam menciptakan permukiman yang layak
dan berkelanjutan.
Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia, adalah
penyediaan tempat hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta
meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.
2.4.2. Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT Pembangunan
Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi tersebut menyepakati
dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan penguatan
komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio
Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks pembangunan
berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan kerangka kelembagaan
pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan. Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable
Development Goals (SDGs) post- 2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan
secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs). Bagi
Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan
nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025).
2.4.3. Millenium Development Goals (MDGs)
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi Millenium sebagai
(Millenium Development Goals). Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah
mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai
pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja
Tahunan berikut dokumen penganggarannya.
Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki kepentingan dalam pemenuhan target
7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan
terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015. Di bidang
air minum, cakupan pelayan air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan target
cakupan pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai pada tahun 2015. Di samping itu,
akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai 58,60%, masih kurang dibandingkan target
2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan
target 7D yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di
permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia
menargetkan luas permukiman kumuh 6%, padahal data terakhir (2009) proporsi penduduk
kumuh mencapai 12,57%.
Untuk memenuhi target MDGs di bidang permukiman, diperlukan perhatian khusus dari
seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu,
pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur
permukiman dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs.
2.4.4. Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk memberi masukan
kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini diketuai bersama oleh
Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari
Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan beranggotakan 24 orang dari
berbagai negara. Pada Mei 2013, panel tersebut mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris
Jenderal PBB berjudul “A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies
Through Sustainable Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan pembangunan
global pasca-2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus
pelajaran yang diambil dari implementasi MDGs.
Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif pembangunan global pasca 2015,
a. Mengakhiri kemiskinan
b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender
c. Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup
d. Menjamin kehidupan yang sehat
e. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik
f. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi
g. Menjamin energi yang berkelanjutan
h. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan
berkeadilan
i. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan
j. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif
k. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai
l. Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong
m. P embiayaan jangka panjang.
Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam pencapaian sasaran 6
yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun target yang diusulkan dalam
pencapaian sasaran tersebut adalah:
a. Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di sekolah,
puskesmas, dan kamp pengungsi,
b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke sanitasi di
sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah tangga sebanyak x%,
c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan pasokan air minum,
serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri sebanyak y% dan
daerah-daerah perkotaan sebanyak z%,
d. Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari
industri sebelum dilepaskan.
Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan tersebut juga menekankan
pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar pemangku kepentingan
pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka, dan akuntabel
dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja bukan tentang bantuan saja,
2.5. PRIORITAS PENANGANAN INFRASTRUKTUR BIDANG CIPTA KARYA
Penyelenggaraan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya salah satunya mengacu pada
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan mengacu
kepada peraturan perundangan tersebut, maka prioritas penanganan infrastruktur Bidang Cipta
Karya diarahkan pada kabupaten/kota yang berfungsi strategis secara nasional. Pada
pelaksanaannya, alokasi APBN Bidang Cipta Karya terdapat 5 (lima) klaster penanganan Bidang
Cipta Karya sebagai berikut:
a. Klaster A, merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk dalam
Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di dalam
KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya
(KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW dan Perda Bangunan Gedung.
b. Klaster B, merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk dalam
Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di dalam
KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya
(KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW.
c. Klaster C, terdiri dari kabupaten/kota yang menjadi prioritas pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal (SPM), berdasarkan karakteristik antara lain daerah yang rawan bencana alam,
memiliki cakupan air minum/sanitasi rendah, permukiman kumuh, dan daerah kritis atau
miskin.
d. Klaster D, ditujukan dalam rangka pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat
Bidang Cipta Karya yang bertujuan penanggulangan kemiskinan di perkotaan dan
perdesaan.
e. Klaster E, ditujukan untuk kabupaten/kota yang memiliki program inovasi baru Bidang
Cipta Karya yang diusulkan secara kompetitif dan selektif.
2.5.1. Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster A
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional pada Klaster A merupakan kabupaten/ kota yang
merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di
dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya
perhitungan yang telah dilakukan dengan menggunakan kriteria-kriteria di atas, sampai dengan
tanggal 30 Mei 2014 diidentifikasi sebanyak 142 (seratus empat puluh dua) kabupaten/kota di
Indonesia yang termasuk pada Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster A. Wilayah
kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Utara yang masuk dalam klaster A tersaji pada tabel
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional pada Klaster C adalah kabupaten/kota yang
merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di
dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya
(KEK, MP3EI) yang memiliki Perda RTRW. Sampai dengan tanggal 30 Mei 2014, diidentifikasi
sebanyak 111 (seratus sebelas ) kabupaten/kota yang masuk dalam klaster B. Wilayah provinsi
Kalimantan Utara yang masuk dalam klaster B tersaji pada tabel berikut :
2.5.3. Kabupaten/Kota Klaster C dalam Rangka Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Klaster C merupakan kabupaten/kota yang menjadi prioritas penanganan dalam rangka
pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Cipta Karya, yaitu kabupaten/kota di luar
Klaster A dan Klaster B. Pemilihan prioritas kabupaten/kota dalam pemenuhan SPM ditentukan
berdasarkan karakteristik masing-masing daerah, antara lain daerah yang rawan bencana alam,
memiliki cakupan air minum/sanitasi rendah, permukiman kumuh, dan daerah kritis atau miskin.
Selain memenuhi karakteristik tersebut, daerah juga harus memiliki komitmen yang tinggi
terhadap pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dan memiliki program yang
responsif.
2.5.4. Pemberdayaan Masyarakat (Klaster D)
Klaster D khusus dialokasikan bagi program-program pemberdayaan masyarakat Bidang Cipta
Karya, baik di perkotaan maupun perdesaan. Program pemberdayaan masyarakat ini
diperuntukkan dalam rangka pengentasan kemiskinan, sesuai dengan amanat pembangunan
nasional.
2.5.5. Kabupaten/Kota Klaster E bagi Daerah dengan Program dan Inovasi yang Kreatif
Klaster E diperuntukkan untuk kabupaten/kota yang memiliki program yang kreatif dan
inovasi baru bagi pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dan tercantum pada Rencana
Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya.