KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Terdapat sedikitnya empat teori belajar yang melandasi model Problem Based Learning. Keempat teori belajar tersebut adalah teori belajar Jean Piaget, teori belajar Vygotsky, teori belajar Driver dan Bell , dan teori belajar Hanbury. Selanjutnya masing-masing teori belajar akan dijelaskan sebagai berikut:
Teori belajar Piaget (dalam Suyono dan Harianto 2011:107) berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “schema/skema (jamak =
schemata/skemata)”, atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya. Lebih lanjut Piaget mengatakan bahwa struktur kognitif anak meningatkan sesuai dengan perkembangan usianya, bergerak dari sekedar refleks-refleks awal seperti
menangis dan menyusu, menuju aktivitas mental yang kompleks. Dasarnya tentu saja teori perkembangan kognitif, sehingga beberapa konsep pokok seperti skema, asimilasi dan akomodasi tetap relevan karena memang teori kognitivisme Piaget memiliki kesinambungan hubungan dengan teori konstruktivisme. Menurut teori konstruktivisme pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Sehubungan
dengan itu, Tasker (1992:30) oleh hamzah dalam Harianto dan Suyono
(2011:108) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut: Pertama, peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga, mengkkaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Teori belajar Vigotsky dalam Thobroni dan Mustofa (2011:112) berbeda dengan konstruktivisme kognitif yang dikemukaan oleh Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky memiliki pengertian bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Dalam penjelasan lain, Tanjung mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan eksternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Teori belajar Driver dan Bell (dalam Thobroni dan Mustofa 2011:111) mengajukan karakteristik teori belajar konstruktivisme sebagai berikut: Pertama, siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif, tetapi memiliki tujuan. Kedua, belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa. Ketiga, pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal. Keempat, pembelajaran bukanlah transmisi
bermakna karena siswa mengerti. Ketiga, strategi siswa lebih dinilai. Empat, siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Kaitan antara teori belajar Piaget, Vygotsky, Drivell dan Bell, dan Hanbury pandangan konstruktivisme dengan model problem based learning adalah prinsip-prinsip model problem based learning sejalan dengan pandangan teori belajar tersebut. Dimana siswa secara aktif mengontruksi sendiri
pemahamannya dengan cara interaksi dengan lingkungannya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Siswa diarahkan untuk belajar melalui bekerja pada kelompok-kelompok kecil dimana siswa diberikan penekanan pada soal berbentuk pemecahan masalah.
B. Pendekatan Saintifik (Scientific Approach)
Model pembelajaran proses saintific dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran yang memandu siswa untuk memecahkan masalah melalui kegiatan perencanaan yang matang, pengumpulan data yang cermat, dan analisis data yang teliti untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Dalam pandangan Barrienger (dalam Abidin 2014:125) pembelajaran proses saintifik merupakan pembelajaran yang menuntut siswa berpikir secara sistematis dan kritis dalam upaya
memecahkan masalah yang penyelesaiaan tidak mudah dilihat.
Abidin (2014:127) berpendapat bahwa model pembelajaran saintifik proses merupakan model pembelajaran yang meminjami konsep-konsep penelitian untuk diterapkan dalam pembelajaran. Dengan kata lain, model saintifik proses pada dasarnya adalah model pembelajaran yang dilandasi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran yang diorientasikan guna membina kemampuan siswa memecahkan masalah melalui serangkaian aktivitas inkuiri yang menuntut kemampuan
berpikikir kritis, berpikir kreatif, dan berkomunikasi dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa.
Menurut Abidin ( 2014:149) terdapat empat model pembelajaran berbasis pendekatan saintifik, yaitu
1. Model Pembelajaran Inkuiri
Model pembelajaran inkuiri adalah suatu model pembelajaran yang dikembangkan agar siswa menemukan dan menggunakan berbagai sumber informasi dan ide-ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tetang masalah, topik, atau isu tertentu.
Model pembelajaran berbasis masalah yang berakar dari keyakinan John Dewey dalam Abidin (2014;158) bahwa guru harus mengajar dengan menarik naluri alami siswa untuk menyelidiki dan menciptakan. Dewey menulis bahwa pendekatan utama yang seyogyanya digunakan untuk setiap mata pelajaran di sekolah adalah pendekatan yang mampu merangsang pikiran siswa untuk memperoleh segala keterampilan belajar yang bersifat nonskolastik. 3. Model Pembelajaran Berbasis Proyek
Model pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran yang secara langsung melibatkan siswa dalam proses pembelajaran melalui kegiatan penelitian untuk mengerjakan dan menyelesaikan suatu proyek pembelajaran tertentu.
4. Model Pembelajaran Discovery
Metode Pembelajaran Discovery didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila siswa disajikan materi pembelajaran yang masih bersifat belum tuntas atau belum lengkap sehingga menuntut siswa menyiapkan beberapa informasi yang diperlukan untuk melengkapi materi ajar.
C. Model Problem Based Learning
a. Pengertian Problem Based Learning (PBL)
Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow dan Tamblyn yang pertama kali diterapkan pada sekolah kedokteran di McMaster University di Kanada pada tahun 60-an. PBL sangat efektif dilakukan pada sekolah kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk menyelesaikannya. Walaupun pada awalnya diterapkan pada sekolah kedokteran namun pada perkembangan selanjutnya diterapkan pada pembelajaran secara umum.“Pada dasarnya, problem based learning hampir sama dengan cased-based learning, salah satu model pembelajaran dalam bidang
hukum; goal-based scenario model; dan just-in-time training model dalam
pembelajaran manajemen dan bisnis; project-based learning model dalam
pembelajaran MIPA di sekolah dasar dan menengah.Semuanya berfokus pada
penyajian suatu permasalahan (nyata ataupun simulasi) kepada siswa, kemudian
siswa diminta mencari pemecahannya melalui serangkaian penelitian dan
investigasi berdasarkan teori, konsep, prinsip yang dipelajarinya dari berbagai
bidang ilmu (multiple perspective)” (Pannen, dkk. 2001:85). Sudarman (2007)
Duch, Groh, dan Allen (2001) dalam Abidin (2014:161) berpendapat bahawa model pembelajaran Problem Based Learning diorientasikan agar siswa mampu: a. Berpikir kritis, menganalisis, serta memecahkan masalah kehidupan yang
kompleks
b. Menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan berbagai sumber belajar c. Bekerja secara kooperatif dalam tim.
b. Tahapan-tahapan Problem Based Learning (PBL)
Menurut Nurhadi, dkk (2004:60) “pembelajaran berbasis masalah terdiri
dari lima tahapan utama yaitu dimulai dengan guru memperkenalkan siswa
dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil
kerja”. Secara lengkap lima tahapan dalam pembelajaran bebasis masalah
disajikan dalam Tabel .1 berikut ini.
Tabel 2.1 Tahap-tahap Problem Based Learning Tahapan Tingkah Laku Guru
Tahap 1: Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
Orientasi siswa kepada menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi Masalah siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan
masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 : Guru membantu siswa mendefnisikan dan
Mengorganisasi siswa mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut untuk belajar
Tahap 3 :
Membimbing penyelidikan Penyelidikan individual dan Kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap 4 : Guru membantu siswa merencanakan dan Mengembangkan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, menyajikan hasil karya video, dan model serta membantu mereka berbagi
Tahap 5 : Guru membantu siswa melakukan refeksi atau Menganalisa dan evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-mengevaluasi proses proses yang mereka gunakan
pemecahan masalah
Sumber : Nurhadi, dkk (2004:60)
Dapat dilihat dari tabel diatas bahwa problem based learning memiliki
gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai dan tertanam didalam diri siswa jika
dipusatkan pada pemberian tugas pemecahan masalah yang real, otentik dan
relevan. Penerapan PBL terpusat kepada siswa sehingga pendidik memiliki peran
menyajikan masalah-masalah, sebagai narasumber, meluruskan pemikiran siswa
agar sesuai dengan tujuan pembelajaran serta memberikan penguatan-penguatan
kepada siswa.
c. Keunggulan dan Kelemahan Problem Based Learning (PBL)
Sebagai suatu strategi pembelajaran, Sanjaya (2006: 220) merumuskan keunggulan dan kelemahan Problem Based Learning seperti berikut ini. Keunggulan Problem Based Learning antara lain:
1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan abru bagi siswa. 3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa. 4. Peemcahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer
pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan
pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekadar belajar dari guru atau dari buku-buku saja.
7. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan diskusi siswa. 8. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
9. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. Sedangkan kelemahan dari Problem Based Learning diantaranya:
1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit unruk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui Problem Based Learning membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Berdasasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi
pembelajaran PBL harus dimulai dengan kesadaran adanya masalah yang harus dipecahkan. Pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada kesadaran adanya kesenjangan atau gap yang dirasakan oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pada pembelajaran PBL masalah diselesaikan dengan cara diskusi dan dibutuhkan penelitian mengenai masalah tersebut.
D. Penerapan Model Problem Based Learning dengan Media Kotak Kartu Misterius (KOKAMI)
a. Pengertian Penerapan Model Problem Based Learning dengan Media Kotak Kartu Misterius (KOKAMI)
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan
pembelajaran dimana siswa memecahkan permasalahan yang autentik dengan
masalah-masalah pendidik dapat menggunakan media pembelajaran yang inovatif.
Media pembelajaran mempunyai arti yang penting dalam suatu proses
pembelajaran. Penggunaan media dapat membangkitkan kemampuan penyelesaian
masalah belajar serta membawa dampak positif terhadap psikologi siswa.
Menurut Kadir (dalam Suryadi ,2013) menyatakan bahwa salah satu jenis
media pembelajaran inovatif adalah KOKAMI (Kotak Kartu Misterius) yaitu jenis
media visual yang dikombinasikan dengan permainan bahasa. Media KOKAMI
merupakan media pembelajaran yang berdasarkan pada permainan dalam
penggunaannya. Media ini berbentuk kartu yang didalamnya terdapat pertanyaan
dan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh kelompok siswa. Pembelajaran
menggunakan KOKAMI ini berlangsung dengan cara setiap kelompok siswa
mengambil kartu yang berisi tugas dikotak. Setelah mengetahui tugasnya,
kelompok siswa akan melakukan diskusi untuk menyelesaikan tugas
kelompoknya.
Permainan ini mempunyai kelebihan yaitu menanamkan pengetahuan
kepada siswa dengan menarik dan merangsang minat dan perhatian siswa. Kadir
(dalam Suryadi ,2013) berpendapat bahwa gabungan antara media pembelajaran
dengan permainan KOKAMI mampu secara signifkan memberikan motivasi dan
menarik minat siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model PBL dengan media
dipecahkan oleh sekelompok siswa melalui media kartu yang dimainakn sehingga
siswa dapat menggembangkan cara berpikir kritis dan meningkatkan hasil
belajarnya.
Untuk melakukan pembelajaran ini, perlu disiapkan terlebih dulu sebuah kotak tempat amplop-amplop berisi kartu pesan. Sedangkan kartu pesan berisi materi pelajaran yang ingin disampaikan kepada siswa, diformulasikan dalam bentuk perintah, petunjuk, pertanyaan, pemahaman gambar, bonus, atau sanksi. Aturan permainan KOKAMI yaitu:
1) masing-masing terdiri atas delapan siswa (jika siswa 40 orang per kelas). Jadi terdapat lima kelompok permaianan dengan duduk menghadap ke papan tulis. Media Kokami dengan kelengkapannya di letakkan di depan papan tulis di atas sebuah meja, sedangkan pada papan tulis guru sudah menyiapkan sebuah tabel skor,
2) anggota setiap kelompok diwakili seorang ketua yang dipilih oleh guru bersama-sama siswa,
3) selama permaianan berlangsung, ketua dibantu sepenuhnya oleh anggota, 4) ketua kelompok selain bertugas mengambil satu amplop dari dalam
kokami secara acak dan tidak boleh dilihat, juga membacakan isi amplop dengan keras (boleh juga dibacakan anggota lain) dan harus diperhatikan oleh seluruh anggota,
5) kelompok lain berhak menyelesaikan tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh salah satu kelompok,
jumlah skor pada setiap kartu pesan akan dikenakan sanksi.
Media KOKAMI yang digunakan berupa kartu-kartu yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang pembelajaran akuntansi. Materi tentang pembelajaran
akuntansi dapat disampaikan melalui media KOKAMI dikarenakan materi
pembelajaran akuntansi berhubungan dengan kehidupan nyata yang terjadi sehari-hari disekitar siswa. Siswa dihadapkan pada permasalahan nyata tentang
pembelajaran akuntansi melalui media menarik dengan harapan siswa lebih memahami materi yang disampaikan.
b. Kelebihan dan Kelemahan Penerapan Model Problem Based Learning dengan Media Kotak Kartu Misterius (KOKAMI)
Kelebihan model PBI berbantuan media kokami antara lain: (1) siswa akan terbiasa untuk dapat menyelesaikan masalah yang muncul tidak hanya dalam pembelajaran, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari; (2) siswa dapat terbiasa berdiskusi dengan teman sekelas; (3) makin mengakrabkan guru dengan siswa; (4) mengaktifkan siswa dalam pembelajaran dengan mengajak siswa melakukan permainan menggunakan media kokami; dan (5) meningkatkan motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran. Kekurangan dari model PBL berbantuan media kokami antara lain: (1) memerlukan waktu yang panjang; (2) memerlukan pengelolaan kelas yang sesuai
Upaya-upaya yang dapat guru lakukan untuk menangani kekurangan daripenerapan model Problem Based Learning (PBL) berbantuan media
seperti mengatur tempat duduk kelompok agar duduk secara berhadap-hadapan, sehingga ditengah pembelajaran guru tidak kerepotan mengatur kelas kembali. Selain itu guru juga dapat membuat peraturan-peraturan yang wajib ditaati oleh seluruh siswa. Peraturan yang dibuat juga harus melibatkan siswa sehingga siswa akan mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap siswa yang melanggar
peraturan tersebut dapat dikenai sanksi. Sanksi yang diterapkan kepada pelanggar juga merupakan kesepakatan antara guru dan siswa.
H. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu proses
belajar. Sudjana (2009: 3) juga mendefnisikan “hasil belajar siswa pada
hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian
yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik”.
Proses belajar yang baik akan menghasilkan hasil belajar yang baik. Hasil belajar
yang diperoleh oleh siswa di evaluasi yang biasa disebut evaluasi hasil belajar.
Imron (2011:116) menyatakan evaluasi hasil belajar terhadap peserta didik perlu
dilakukan agar diketahui perkembangan mereka dari waktu ke waktu. Sejalan
dengan pernyataan tersebut Ralph Tyler dalam Arikunto (2013:3) mengatakan
bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan
sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai.
Dimyati dan Mudjiono (2009: 200) juga menyatakan, tujuan dari evaluasi hasil
setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan
tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau simbol”.
Sebagai kegiatan yang berupaya untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa
dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, maka evaluasi hasil belajar memiliki
sasaran berupa ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan.Adapun ranah yang
dimaksud yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ranah kognitif adalah hal-hal yang terkait dengan intelektual seseorang,
misalnya menghafal, memberikan defnisi, mengerjakan soal, mengarang dan
sebagainya. Menurut Anderson dalam Yustisianisa dan Arifah (2012:21) terdapat
6 tahapan proses kognitif yaitu:
1. Mengingat (remembering)
2. Memahami (understand)
3. Mengaplikasi (apply)
4. Menganalisis (analyze)
5. Mengevaluasi (evaluate)
6. Mencipta (create)
Ranah Afektif adalah hal-hal yang terkait dengan sikap seseorang. Menurut
Anderson dalam Yustisianisa dan Arifah (2012:22) tahapan proses afektif adalah:
1. Penerimaan (receiring)
2. Responsi (responding)
4. Organisasi (organization)
5. Karakterisasi (menjadi karakter)
Ranah psikomotorik menekankan pada keterampilan neuro-mascular, yaitu
keterampilan yang bersangkutan dengan gerakan otot. Taksonomi oleh Harrow
dalam Yustisianisa dan Arifah (2012:23) yaitu, meniru, manipulasi, ketepatan
gerakan, artikulasi dan naturalisasi. Terdapat 6 tingkatan dalam domain
psikomotorik sebagai berikut:
1. Gerakan refeks (gerakan yang tidak disadari)
2. Gerakan dasar (basic fundamental movements). Gerakan dasar adalah gerakan
yang muncul tanpa latihan tapi dapat diperhalus melalui praktik.
3. Gerakan perseptual (perceptual ability), adalah gabungan dari kemampuan
perseptual dan fungsi gerak.
4. Gerakan kemampuan fsik (psysical abilities), gerak yang lebih efsien,
berkembang melalui kematangan dan belajar.
5. Gerakan terampil (skilled movements), gerakan yang dapat mengontrol berbagai
tingkatan gerak, terampil, tangkas, cekatan, melakukan gerak yang sulit dan
rumit.
6. Gerakan indah dan kreatif (non-discursive communication), mengomunikasikan
perasaan melalui gerakan.
Berdasarkan hasil belajar di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut meliputi tiga aspek yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat dari kegiatan
evaluasi belajar yang akan menunjukan data yang dapat menunjukan sampai
dimana tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
I. Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir merupakan salah satu aktivitas mental yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Berpikir merupakan salah satu daya paling utama dan menjadi ciri khas yang membedakan manusia dari hewan. Berpikir adalah memanipulasi dan mengubah informasi dalam memori, Santrok (2014:9). Salah satu bentuk berpikir adalah berpikir kritis (critical thinking).Cara berpikir kritis seseorang dengan orang lainnya akan berbeda, oleh karena itulah harus ditanamkan sejak dini. Banyak ahli yang mengungkapkan pendapatnya mengenai kemampuan berpikir kritis, diantaranya yaitu: Pertama, Jacqueline dan Martin Brooks (dalam Santrok, 2014) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah berpikir reflektif, produktif, dan mengevaluasi bukti. Kedua, menurut Halpen (dalam Achmad, 2007) berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Dari kedua pendapat tersebut dapat
diterimanya lalu mampu untuk mengevaluasi dan kemudian menyimpulkannya secara sistematis lalu mampu mengemukakan pendapat dengan cara yang terorganisasi.
Pada dasarnya kemampuan atau keterampilan berpikir kritis oleh Ennis, 1962 (dalam Muhfahroyin , 2009) dikembangkan menjadi indikator-indikator yang terdiri dari lima kelompok besar dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
No. Aspek Indikator Sub-Indikator
1. Memberikan
penjelasan sederhana
Memfokuskan pertanyaan
Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan Mengidentifikasi atau
merumuskan kriteria untuk
Mengidentifikasi alas an yang dinyatakan
Mengidentifikasi alas an yang tidak dinyatakan Mengidentifikasi dan
menangani suatu
Apa yang dimaksud dengan…?
Apa yang menjadi contoh
Apa yang bukan contoh
Apa yang menjadikan perbedaan?
Apa yang akan kamu katakan tentang itu?
2. Membangun
Kemampuan untuk memberikan alasan
Laporan dilakukan oleh pengamat sendiri Mencatat hal-hal yang
perlu dilakukan
Mengemukakan hal yang umum
Menarik kesimpulan sesuai fakta
Menarik kesimpulan dari hasil meyelidiki
penjelasan lebih lanjut
istilah dan
mempertimbangkan definisi
rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan non contoh
Strategi membuat definisi bertindak dengan memberikan penjelasan lanjut
Membuat isi definisi Mengidentifikasi
asumsi
Alasan yang tidak dinyatakan
Mengonstruksi argument
5. Mengatur strategi dan taktik
Menentukan suatu tindakan
Mengungkap masalah Memilih kriteria untuk
mempertimbangkan solusi yang mungkin
Merumuskan solusi alternatif
Menentukan tindakan sementara
Berdasarkan aspek-aspek kemampuan berpikir kritis tersebut, indikator kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1962), dan berpikir kritis dalam akuntansi oleh Reinstein dan Bayou (1997), maka dalam penelitian ini disusun pedoman penilaian kemampuan berpikir kritis yang disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Pedoman Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis siswa
No. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
1. Merumuskan masalah
2. Keterampilan siswa bertanya
3. Keterampilan menjawab pertanyaan 4. Melakukan Diskusi
5. Melakukan kredibilitas (menganalisis, mensintesis, dan menilai secara kritis) 6. Melakukan observasi
8. Mengevaluasi hasil laporan
J. Kajian dari Penelitian Terdahulu
Penelitian Tindakan Kelas berbasis Lesson Study di Indonesia masih sangat terbatas.Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan lesson study mualai diikuti oleh negara lain, termasuk di Indonesia. Di Indonesia lesson study mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa.
Tabel 2.4 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Sekarang dengan Terdahulu No. Nama, Tahun dan Judul
Penelitian
Jenis Penelitian
Hasil Peneitian 1. Penelitian Andana Imantaka
(2015) “Penerapan Problem Based Learning berbasis Lesson Study pada Mata Pelajaran Akuntansi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas X Keuangan di SMK
Muhammadiah 5 Kepanjen”
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Imantaka menunjukkan kenaikan hasil belajar siswa yang signifikan yaitu rata-rata dari kasus pertama adalah 58,48 dan hasil rata-rata kasus kedua adalah 82,67, mengalami
peningkatan sebanyak 24,19. Dengan
demikian pemberian tindakan telah berhasil meningkatkan hasil belajar.
2. Penelitian Galuh Edytiantaka ( 2012)
“Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) disertai Mind Mapping untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas XI-SSI SMA Laboratorium
Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
UM” terjadi peningkatan 3. Penelitian Awal Restiono
(2013) “Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Mengembangkan Aktivitas Berkarakter Dan Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Kelas Xi”
Eksperimen
Semu Hasil penelitan tersebut,disimpulkan bahwa model pembelajarn Problem Based Learning berpengaruh positif terhadap aktifitas dan pemahaman konsep siswa.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Persamaan dan perbedaan tersebut terdapat pada pengkajian topik, jenis dan pendekatan penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan hasil penelitian. Pada beberapa penelitian sebelumnya juga menggunakan model problem based learning
berpanduan lesson study namun variabel yang terikat yang diteliti aktivitas belajar dan hasil belajar. Sedangkan penelitian ini menggunakan model problem based learning dengan media KOKAMI dan variabel terikatnya kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar. Subjek penelitian dilakukan pada siswa kelas X akuntansi SMK Cendika Bangsa Kepanjen.
K. Kerangka Berpikir
Permasalahan yang dihadapi oleh peneliti dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah, motivasi yang dimiliki siswa juga sangat rendah, di dalam proses pembelajara hanya terpusat pada guru dan hasil belajar siswa masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Berdasarkan permasalahan tersebut maka akan lebih cocok jika menggunakan model
dikerjakan secara berkelompok. Diharapkan dengan menerapkan model dan media pembelajaran tersebut peserta didik mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memiliki minat dan juga motivasi yang tinggi untuk mengikuti
pembelajaran dan juga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Untuk lebih jelasnya berikut akan digambarkan kerangka berpikirnya.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran: Hasil belajar akuntansi rendah
KBM berpusat pada guru
Kurangnya motivasi dan minat siswa
Kemampuan berpikir siswa yang masih rendah
Gambar 2.1 Kerangka berpikir Hasil belajar akuntansi meningkat
KBM dapat berpusat pada peserta didik dan dilakukan secara dua arah
Kemampuan berpikir siswa meningkat