• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Definisi - Prevalensi Asma Pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahunajaran 2014/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Definisi - Prevalensi Asma Pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahunajaran 2014/2015"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Definisi

Kata “asma” berasal dari bahasa Yunani, yang dapat diartikan sebagai

“napas yang pendek” (Holgate, 2010). Menurut RISKESDAS, asma adalah

penyakit kronis yang disebabkan oleh peradangan saluran napas. Peradangan

saluran napas ini mengakibatkan lapisan dalam saluran membengkak dan sekresi

mukus berlebih. Selain itu, otot sekeliling saluran juga mengalami konstriksi

(Asthma Foundations Australia, 2009).

Dari sisi lain, WHO (2014) menyebutkan bahwa asma adalah suatu

penyakit yang tidak menular, yang mempunyai karakteristik berupa serangan

sesak napas dan wheezing yang berulang. Gejala tersebut bervariasi berdasarkan

keparahan dan frekuensi penyakit. Gejala asma yang berulang menyebabkan

kekurangan tidur, sehingga akan berdampak terhadap aktivitas seseorang.

Dibandingkan dengan penyakit kronis lain, asma mempunyai tingkat fatalitas

yang rendah.

1.2. Epidemiologi

Sekitar 1960-an dan 1980-an, terjadi epidemik asma diakibatkan oleh

pemakaian bronkodilator (Holgate,2010). Prevalensi asma meningkat pesat

selama 30 tahun, sebelum akhirnya menjadi stabil, dengan sekitar 10-12% orang

dewasa dan 15% anak-anak menderita asma (Barnes, 2012). WHO(2014)

memperkirakan sebanyak 235 juta penduduk di dunia menderita asma. GINA

(Global Initiative for Asthma) menggabungkan data dari fase I ISAAC pada tahun

1992-1996 dan data dari ECRHS pada tahun 1988-1994. Hasil menunjukkan

bahwa prevalensi asma terendah sebesar 0,7% di Macau dan tertinggi sebesar

18,4% di Scotland. Hasil ini mengestimasi sekitar 300 juta penduduk di dunia

menderita asma, dan akan bertambah menjadi 400 juta pada tahun 2025, oleh

(2)

Berdasarkan hasil ISAAC fase tiga, anak-anak umur 6-7 tahun dan 13-14

tahun yang memiliki current wheezing terbanyak terdapat di negara berbahasa

Inggris (21% dan 22,9%) dan Amerika Latin (17,3%) . Prevalensi terendah

terdapat di India (6,8% dan 7%), Eropa bagian Utara dan Timur (8,7% dan

9,7%),Mediteranea Timur (9,4% dan 9,3%), dan Asia Pasifik (9,8% dan 8,8%).

Sedangkan benua Afrika memiliki tingkat prevalensi asma berat dengan current

wheezing tertinggi (55,2% dan 55,1%), diikuti oleh Mediteranea Timur (44,2% dan 47,2%) dan India (44,2% dan 48,2%). Prevalensi negara tersebut lebih tinggi

daripada negara berbahasa Inggris yang hanya sebesar 43,6% dan 46%. Ini

menunjukkan bahwa penyakit asma cenderung lebih parah di negara berkembang

dibandingkan negara maju, walaupun negara maju memiliki prevalensi gejala

asma yang tinggi. Ada beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena ini. Pertama,

penatalaksanaan asma masih kurang di negara berkembang, walaupun telah

diterbitkan berbagai guideline managemen asma. Kedua, wheezing tidak diasumsikan sebagai gejala dari asma. Hal ini didukung dari banyaknya asma

berat yang tidak terdiagnosa pada negara berpendapatan rendah. Anak-anak yang

tidak terdiagnosa ini tidak akan ditangani sesuai dengan penyakitnya. Ketiga,

faktor lingkungan seperti polusi udara dan agen infeksius mempunyai pengaruh

terhadap angka kejadian asma. Sebuah penelitian meneliti prevalensi asma dalam

kurun waktu tertentu. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi asma berkurang pada

negara yang sebelumnya memiliki tingkat prevalensi yang tinggi (negara

berbahasa Inggris) dan prevalensi asma meningkat pada negara yang sebelumnya

memiliki tingkat prevalensi yang rendah (negara berkembang) (Lai, 2009).

Penelitian ISAAC fase III tahun 2001-2002 menunjukkan perbedaan

antara prevalensi asma pada Indonesia dan Malaysia. ISAAC mempunyai 3 pusat

pada masing-masing negara. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi asma pada

anak usia 13-14 tahun di Alor Setar, Klang Valley, dan Kota Bharu

masing-masing adalah 17%, 21,6%, dan 12%. Sedangkan pada anak usia 6-7 tahun,

prevalensi pada masing-masing negara 9,4%, 11,9%, dan 7%. Di Indonesia

(3)

masing-masing adalah 8,7%, 12,4%, dan 11,1%. Penelitian prevalensi asma pada

anak umur 6-7 tahun di kota Bandung sebanyak 4,8% (ISAAC, 2013).

1.3. Tipe Asma

Rackemann mengklasifikasikan asma menjadi 2 yaitu asma atopik (asma

ekstrinsik) dan asma non-atopik (asma intrinsik). Asma ekstrinsik dicetuskan oleh

faktor dari luar, sedangkan asma instrinsik tidak (Pillai, 2011).

a) Asma atopik

Atopik adalah kecenderungan seseorang menderita penyakit alergi,

seperti rinitis alergi, asma dan eksema. Tipe asma atopik sering dihubungkan

dengan peningkatan respon imun terhadap alergen (AAAAI, 2014). Pasien asma

umumnya juga menderita penyakit atopik lain, seperti rinitis alergi dan eksema.

Sebanyak 80% pasien asma juga menderita rinitis alergi. Akan tetapi, faktor atopi

harus dibarengi dengan faktor lingkungan. Alergen yang memicu sensitisasi

umumnya tersusun dari protein yang mempunyai aktivitas protease. Contoh

umum alergen ini adalah tungau (Dermatophagoides pteronyssinus), bulu kucing

dan anjing, kecoak, rumput-rumputan, dan serbuk bunga serta tikus (Barnes,

2012).

b) Asma non-atopik

Dari sekian penderita asma, kira-kira terdapat 10% mempunyai tes kulit

yang negatif terhadap alergen umum dan konsentrasi serum IgE yang normal.

Asma tipe ini muncul sewaktu dewasa (adult-onset asthma). Umumnya penyakit

asma ini cenderung persisten. Mekanisme asma intrinsik masih belum begitu

jelas.Penelitian terbaru mengasumsikan bahwa terjadi produksi IgE lokal pada

asma intrinsik. Hasil biopsi dari kedua tipe asma ini tidak menunjukkan

perbedaan yang bermakna. (Barnes, 2012).

1.4. Penyebab asma a) Sistem imun

Dalam hipotesis kebersihan disebutkan bahwa keseimbangan antara

(4)

dominan Th1 dapat mencegah infeksi, sebaliknya pada sistem imun dengan

dominan Th2 menyebabkan seseorang menderita penyakit alergi (NHLBI, 2007).

Hipotesis ini mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat kebersihan anak pada

tahun-tahun awal kehidupannya, semakin tinggipula resiko terjadinya asma pada

anak tersebut. Kebersihan akan mengurangi tingkat paparan anak terhadap agen

infeksius, mikroorganisme simbiotik (flora usus atau probiotik), dan parasit. Hal

ini akan menghambat pematangan sistem imun alami dan menimbulkan defek

pada toleransi imunitas (Barnes, 2012). Anak-anak yang mempunyai saudara lebih

tua, hidup di lingkungan yang rentan terpapar infeksi (lingkungan pertanian,

tempat penitipan anak), terpapar infeksi cacing dan bakteri, dan jarang

menggunakan antibiotik ditemukan mempunyai Th1 yang lebih tinggi dan

insidensi asma cenderung rendah (NHLBI, 2007).

b) Faktor Intrinsik 1) Riwayat keluarga

Adanya anggota keluarga yang menderita asma meningkatkan resiko

terjadinya asma pada seseorang (Subbarao, 2009). Analisis univariat Werff

(2013), mendapati bahwa seseorang dengan adanya riwayat keluarga menderita

penyakit atopik beresiko 2,12 kali lebih besar terkena asma dibanding orang

normal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa gen ORMDL3 berhubungan erat

dengan angka kejadian asma.

2) Gender

Jenis kelamin perempuan diteliti sebagai faktor resiko asma. Lawson

(2014) mendapati bahwa perempuan berusia 16-18 tahun beresiko 2,13 kali lebih

besar menderita asma daripada laki-laki. Laporan Wormald (1977) dalam

penelitian Choi (2011) menyebutkan bahwa insidensi asma dengan tes kulit positif

terhadap alergen tungau debu rumah tiga kali lebih besar pada laki-laki berumur

dibawah 10 tahun dibandingkan dengan insidensi perempuan seusianya.

Tingginya prevalensi asma pada anak laki-laki dikarenakan perkembangan saluran

napas yang lambat dibandingkan dengan volum paru. Anak laki-laki lebih rentan

(5)

perempuan cenderung ditangani ketika penyakitnya memberat (Sindrom Yentl).

Keadaan berbalik pada populasi berumur dekade ketiga dan keempat. Didapati

bahwa perempuan berusia dekade tiga dan empat 1,5 dan 1,6 kali lebih beresiko

terkena asma dibanding laki-laki seusianya. Ini dikarenakan setelah pubertas,

diameter saluran napas dan fungsi paru pada laki-laki lebih dari perempuan

seusianya. Diameter saluran napas yang kecil lebih meningkatkan resistensi

saluran napas. Akibatnya, dengan derajat obstruksi yang sama, retensi CO2 dalam

darah lebih awal muncul pada perempuan dibandingkan laki-laki.

3) Etnis

Anak-anak bangsa Afro-Amerika 20% lebih sering terdiagnosa menderita

asma dibandingkan bangsa Amerika Latin dalam setahun (McDaniel, 2006).

Claudio (2006) mendapati bahwa anak-anak Puerto Rican memiliki prevalensi

asma yang lebih tinggi dari anak-anak Amerika Latin (OR=2,28), sedangkan

anak-anak Asia memiliki prevalensi yang lebih rendah dari anak-anak Amerika

Latin (OR=0,604).

4) Usia

Dari hasil penelitian Vega (2008) di Hulvea, Spanyol, prevalensi asma

pada anak-anak usia 11-16 tahun tiga kali lipat dari prevalensi orang dewasa umur

20-44 tahun. Sedangkan dari hasil penelitian Lawson pada tahun 2014

menunjukkan bahwa remaja perempuan usia 16-18 tahun memiliki prevalensi

asma lebih tinggi daripada remaja perempuan usia 12-13 tahun.

5) Faktor Hormonal

Perempuan yang menarche sebelum umur 12 tahun beresiko 2,08 kali

lipat terkena asma setelah pubertas dibandingkan perempuan yang menarche

setelah umur 12 tahun. Resiko terkena asma berkurang sebanyak 7% per tahun

sewaktu periode penggunaan pil kontrasepsi pada wanita dan meningkat 2,29 kali

ketika hormone replacement therapy pada wanita postmenopausal (Choi, 2011).

6) Obesitas

Camargo et al (1999) yang dikutip Choi (2011) melaporkan bahwa resiko

terjadinya asma adalah 2,7 kali lebih besar pada perempuan yang obesitas.

(6)

mekanis-volum paru yang kecil dan diameter saluran napas perifer yang sempit,

2) komorbid GERD, 3) inflamasi sistemik yang disebabkan oleh adipokines –

IL-6, TNF-α dan eotaksin, 4)berkurangnya adiponektin-hormon dengan efek anti

inflamasi, 5) hiperesponsif saluran napas disebabkan oleh leptin, yang mempunyai

struktur mirip IL-6, dan 6) peningkatan stress oksidatif.

c) Faktor lingkungan 1) Infeksi

Infeksi virus yang umum menyebabkan asma adalah RSV dan rhinovirus

(NHLBI, 2007). Walaupun infeksi virus adalah pemicu umum terjadinya asma

eksaserbasi, masih belum dipastikan bahwa mereka yang menyebabkan asma.

Terdapat hubungan antara infeksi virus pada respirasi bayi dan perkembangan

asma, tetapi patogenesis hubungan tersebut masih susah dijelaskan. Bakteri

atipikal seperti Mycoplasma dan Chlamydia dianggap mempunyai peran pada perkembangan asma yang berat (Barnes, 2012).

2) Diet

Peranan gizi terhadap asma masih menjadi kontroversi. Studi observasi

menunjukkan bahwa pola makan yang kurang antioksidan (vitamin C dan vitamin

A), magnesium, selenium dan omega-3) diasosiasikan terhadap peningkatan

resiko asma. Tetapi pada studi intervensional tidak ditemukan hubungan ini

(Barnes, 2012).

3) Polusi udara

Polusi udara, seperti sulfur dioksida, ozon dan hasil pembakaran bahan

bakar dipastikan sebagai pemicu asma. Polusi udara luar rumah yang disebabkan

oleh kendaraan bermotor seperti mobil dan truk yang menghasilkan asap karbon

monoksida (Barnes, 2012). Jerrett (2011) mendapati ada hubungan antara karbon

monoksida dan munculnya asma (HR=1,29). Polusi dalam ruangan bersumber

dari nitrogen oksida yang dihasilkan tungku dan paparan terhadap rokok. Di

lingkungan kerja, bahan-bahan kimia seperti toluene diisosianat dan trimelitik

anhidrid menyebabkan sensitisasi alergen dan mengakibatkan asma (Barnes,

(7)

4) Rokok

Broekema (2009) membandingkan 3 kelompok sampel yang menderita

asma, diantaranya 66 orang bukan perokok, 46 sampel yang pernah merokok, dan

35 sampel yang merokok. Hasil pemeriksaan fungsi paru mendapati bahwa

sampel perokok dengan asma memiliki FEV1 yang lebih rendah. Dari

pemeriksaan sputum ditemukan sel goblet yang lebih banyak. Sampel yang pernah

merokok juga memiliki ciri-ciri yang sama dengan sampel yang bukan perokok.

Kedua sampel tersebut memiliki tingkat proliferasi dan ketebalan epitel yang

sama serta jumlah sel goblet dan sel mast yang serupa.

5) Alergen organik

Faktor alergen yang berasal dari hewan peliharaan kurang dapat diteliti

karena pasien asma cenderung untuk tidak memelihara kucing, anjing, atau

burung. Svanes (2006) mendapati bahwa penghindaran dari kucing memiliki

faktor protektif (OR=0,83). Almqvist (2005) memaparkan bahwa Lanphear (2001)

melakukan studi cross-sectional dan mendapati bahwa ada asosiasi hewan

peliharaan berupa anjing dan terjadinya asma (OR=24). Hasil penelitian Bener

(2004) yang dipaparkan Gorman dan Cook (2009) mendapati bahwa terdapat

asosiasi antara asma dan hewan peliharaan berupa burung. Hewan peliharaan ini

(8)

1.5. Patofisiologi asma

1.5.1. Perubahan yang Terjadi

Gambar 2.1. Faktor yang menyempitkan saluran napas pada asma akut dan persisten

Sumber: NHLBI, 2007

Penyempitan saluran napas pada asma bersifat rekuren dan disebabkan oleh

perubahan yang bervariasi. Perubahan yang dimaksud tediri dari:

a) Bronkokonstriksi. Pada kasus asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bronkial terjadi secara cepat dan menyempitkan saluran napas. Kontraksi ini

merupakan suatu respon terhadap pajanan seperti alergen atau iritan. Alergen

memicu sel mast melalui perantaraan IgE untuk mengeluarkan mediator

inflamasi meliputi histamine, triptase, leukotrien dan prostaglandin. Aspirin

dan obat NSAID juga dapat menyebabkan penyempitan saluran napas pada

sebagian orang, melalui perangsangan sel mast melalui jalur non

IgE-dependen. Olahraga, udara dingin dan stres juga dapat menyebabkan

bronkokonstriksi. Mekanisme terjadinya bronkokonstriksi oleh pemicu

tersebut belum diketahui secara pasti (NHLBI, 2007).

(9)

aliran udara. Faktor tersebut meliputi edema, inflamasi, hipersekresi mukosa

dan pembentukan plak mukus yang kental. Pada tingkat lanjut, terjadi

perubahan struktur seperti hipertrofi dan hiperplasia otot polos (NHLBI,

2007).

c) Hiperesponsif saluran napas. Hiperesponsif ini merupakan abnormalitas fisiologis pada asma. Pada penderita asma terjadi respon bronkokonstriksi

berlebih terhadap pemicu yang biasanya tidak akan berefek pada orang normal

(Barnes, 2012). Mekanisme meliputi inflamasi, neuroregulasi disfungsional,

dan perubahan struktur. Diantara faktor-faktor tersebut, inflamasi adalah

faktor yang berperan penting dalam tingkat keparahan hiperesponsif.

Penatalaksanaan untuk mengurangi inflamasi akan mengurangi hiperesponsif

saluran napas dan meningkatkan kontrol asma (NHLBI, 2007).

d) Remodeling saluran napas. Perubahan struktur ini meliputi penebalan sub-basement, fibrosis subepitelial, hipertrofi dan hiperplasia otot polos,

angiogenesis dan hiperplasi kelenjar mukus. Perubahan ini menimbulkan

penyempitan yang ireversibel dan mengurangi fungsi paru. Kontrol asma yang

tepat akan mencegah proses remodeling ini (NHLBI, 2007).

1.5.2. Penyebab inflamasi

Inflamasi terjadi pada mukosa saluran mulai dari trakea sampai bronkial

terminalis, dengan predominannya terdapat pada bronki. Pola inflamasi pada asma

mencerminkan karakteristik dari penyakit alergi, dengan sel inflamatori yang

sama dengan yang ditemukan pada alergi rhinitis. Akan tetapi, pola yang sama

ditemukan juga pada asma intrinsik, walaupun produksi IgE asma intrinsik

bersifat lokal, bukan sistemik (Barnes, 2012).

Ada banyak sel dan mediator inflamasi yang berperan dalam mekanisme

terjadinya asma. Sel-sel inflamasi yang memberikan kontribusi terhadap kejadian

asma diantaranya limfosit, sel mast, eosinofil, neutrofil, makrofag, sel dendritik,

dan sel struktural. Mediator inflamasi yang berperan diantaranya kemokin,

sitokin, NO, dan IgE.

(10)

a. Limfosit

Limfosit T memainkan peran penting dalam respon inflamasi asma. Sistem

imun naïve pada orang normal cenderung berkembang menjadi TH1, sedangkan

pada penderita asmatik TH2 menjadi predominan. TH2 akan mengeluarkan

mediator inflamasi berupa IL-5, yang akan memperpanjang usia eosinofil, IL-4

dan IL -13, yang turut berperan meningkatkan formasi IgE (Barnes, 2012).

b. Sel mast

Sel mast dapat dipicu dengan perantaraan IgE ataupun dengan aktivasi

langsung (Bratawidjaja,2010). Pemicu asma seperti olahraga dan udara dingin

dapat mengakibatkan asma eksaserbasi tanpa mengeluarkan IgE (Barnes,2012).

Aktivasi sel mast juga dapat memicu pelepasan mediator bronkokonstriksi seperti

histamine, kemokin, leukotrien dan prostaglandin (Bratawidjaja,2010).

c. Eosinofil

Inhalasi alergen meningkatkan jumlah eosinofil yang aktif di saluran napas

(Barnes,2012). IL-5 yang dihasilkan TH2 akan menuju ke sumsum tulang dan

membantu proses diferensiasi eosinofil. Eosinofil akan bersikulasi ke dalam

darah dan menuju daerah inflamasi (paru). Eosinofil bermigrasi dengan berputar

(rolling) sambil berinteraksi dengan selektin dan kemudian menempel pada

pembuluh darah dengan protein adhesi VCAM-1 (vascular-cell adhesion molecule

1) dan ICAM-1 (intercellular adhesion molecule 1). Percobaan pengobatan asma

dengan anti-IL-5 berhasil menurunkan jumlah eosinofil tanpa ada perbaikan gejala

asma. Jadi, eosinofil bukan sel efektor utama pada asma (NHLBI, 2007).

d. Neutrofil

Peningkatan neutrofil aktif terdapat pada saluran napas dan sputum

penderita asma kronik atau selama akut eksaserbasi (Barnes, 2012). Aktifasi dan

patofisiologi peran neutrofil masih diteliti, dan diduga leukotrien B4 memberikan

kontribusi pada proses ini (NHLBI, 2007).

e. Makrofag

Sel makrofag adalah sel terbanyak pada saluran napas dan diaktifasi

(11)

proses inflamasi melalui pelepasan mediator IL-10. Fungsi dari interleukin ini

masih belum jelas (Barnes, 2012).

f. Sel dendritik

Sel dendritik adalah sel yang mirip makrofag pada epitel saluran napas

(Barnes, 2012). Fungsi dari sel dendritik ini adalah sebagai APC

(antigen-presenting cell) yang akan berinteraksi dengan alergen dari udara, mengubah

alergen menjadi peptida, dan bermigrasi ke nodus limfa sekitar untuk

menstimulasi pembentukan sel TH2 (NHLBI, 2007).

g. Sel struktural

Sel struktural pada saluran napas meliputi sel epitel, fibroblas dan sel otot

polos juga merupakan sumber penting mediator inflamasi (sitokin dan mediator

lipid). Oleh karena jumlahnya yang lebih banyak dari sel inflamatori, mereka turut

berperan dalam inflamasi asma kronis. Sel epitel mentranslasikan signal

lingkungan menjadi respon inflamasi (Barnes, 2012). Sel otot polos memproduksi

mediator pro-inflamasi. Akibat dari inflamasi dan produksi faktor pertumbuhan,

sel otot polos berproliferasi dan menjadi hipertrofi. Hal ini akan menyebabkan

disfungsi jalan napas pada asma (NHLBI, 2007).

b) Mediator inflamasi

a. Kemokin

Kemokin adalah mediator inflamasi yang menarik sel inflamatori ke

saluran napas khusunya pada sel epitel (NHLBI, 2007). Eotaksin (CCL11)

menarik eosinofil via CCR3, sedangkan thymus and activation-regulated

chemokine (CCL17) dan macrophage-derived chemokine (CCK22) menarik TH2

via CCR4 (Barnes,2012).

b. Sitokin

Sitokin adalah bronkokonstriktor poten yang diproduksi oleh sel mast.

Mediator sitokin adalah satu-satunya mediator yang secara spesifik berhubungan

dengan fungsi paru dan gejala asma (NHLBI, 2007). Sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13

(12)

sitokin seperti IL-10 dan IL-12 berperan sebagai anti-inflamasi, dan menurun pada

penderita asma (Barnes, 2012).

c. Nitrit Oxide (NO)

NO diproduksi oleh NO sintase pada sel epitel dan makrofag. Fungsi NO

adalah sebagai vasodilator poten. Kadar NO pada udara ekspirasi pasien asma

lebih tinggi dari normal dan berhubungan dengan inflamasi eosinofil (Barnes,

2012). Perhitungan FeNO (fractional exhaled NO) dapat digunakan untuk

memonitor asma, walaupun jarang digunakan dalam keseharian (NHLBI, 2007).

d. Imunoglobulin E

IgE adalah antibodi yang bertanggung jawab dalam pengaktifan reaksi

alergi. Sel mast mempunyai banyak reseptor IgE, yang akan mengikat antigen dan

mengeluarkan berbagai mediator inflamasi (Barnes, 2012).

1.5.3. Efek Inflamasi Jangka Panjang

Reaksi inflamasi kronis akan menimbulkan beberapa efek terhadap sel-sel saluran

napas. Perubahan yang terjadi bersifat khas pada penderita asma., berupa:

a) Epitel saluran napas

Paparan terhadap ozon, virus, zat kimia dan alergen dapat menyebabkan

kerusakan epitel. Kerusakan fungsi pertahanan ini mengakibatkan penetrasi

alergen, pengurangan enzim endopeptidase yang berfungsi mendegradasi

mediator inflamasi, hilangnya faktor relaksan, dan tereksposnya saraf sensoris.

b) Fibrosis

Pada pasien asma, membrane basal menebal akibat penumpukan kolagen

tipe III dan V. Penumpukan kolagen tersebut diakibatkan pelepasan mediator profibrotik seperti faktor pertumbuhan β. Di tingkat parah, fibrosis ini dapat menyebabkan penyempitan ireversibel saluran napas.

c) Otot polos saluran napas

Masih terjadi perdebatan mengenai peran otot polos patologis pada pasien

asma. Otot polos pasien asma cenderung mengalami hipertrofi dan hiperplasia.

Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor pertumbuhan seperti endothelin-1 dan

(13)

d) Respon vaskuler

Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah pada pasien asma. Proses

angiogenesis ini adalah sebagai bentuk respon terhadap faktor pertumbuhan,

khususnya vascular-endothelial growth factor. Mikrovaskular vena kapiler dapat bocor akibat mediator inflamasi, sehingga menyebabkan edema saluran dan

eksudasi plasma ke dalam lumen.

e) Hipersekresi mukus

Peningkatan sekresi mukus biasanya terjadi pada asma yang berat. Sekresi

mukus meningkat disebabkan oleh hiperplasia dari kelenjar submukosa dan sel

goblet. Pelepasan mediator IL-4 dan IL-13 diteliti sebagai penyebab terjadinya

respon tersebut.

f) Efek neural

Mediator inflamasi mengaktifan saraf kolinergik, melalui pelepasan

asetilkolin yang mengikat reseptor muskarinik, dan menimbulkan

bronkokonstriksi saluran napas. Mediator tersebut juga mengikat reseptor pada

epitel dan menyebabkan saraf menjadi hiperalgesik. Salah satu mediator inflamasi

yang dihasilkan oleh jaringan perifer, neurotropin, dapat menyebabkan ploriferasi

dan peningkatan sensitisasi saraf sensori (Barnes, 2012).

1.6. Gejala

Tabel 2.1. Gejala dan Derajat Keparahan Asma Gejala asma yang

(14)

Wheezing

• Biasanya muncul tiba-tiba

• Umumnya episodic • Dapat hilang dengan

sendirinya

• Bisa bertambah berat saat malam hari atau dini hari

• Bertambah berat jika bernapas di udara

Pertanyaan yang diajukan pada saat anamnesis menurut NHLBI (2007)

adalah

1. Gejala: batuk, mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan produksi

sputum.

2. Pola gejala: onset, durasi, frekuensi,sepanjang tahun atau musiman,

terus menerus atau episodik, dan variasi diurnal.

3. Faktor pencetus dan faktor yang memperberat gejala: infeksi virus,

alergen lingkungan, karakteristik lingkungan, rokok, olahraga, zat

kimia, perubahan lingkungan, iritan, emosi, stres, obat-obatan,

perubahan cuaca, faktor endokrin, dan kondisi komorbid.

4. riwayat perjalanan penyakit dan terapi: usia awitan, riwayat trauma

jalan napas, perkembangan penyakit, tata laksana dan respon terapi,

(15)

5. riwayat keluarga: riwayat keluarga dengan asma, alergi sinusitis,

rinitis, eksem atau polip nasal

6. riwayat sosial: lingkungan sosial, faktor sosial, dukungan sosial,

tingkat pendidikan, dan status pekerjaan.

7. riwayat serangan asma: gejala prondomal, kecepatan onset, durasi,

frekuensi, derajat keparahan, serangan yang mengancam jiwa,

frekuensi, dan derajat keparahan asma tahun sebelumnya.

8. dampak asma terhadap pasien dan keluarga: episode terapi yang tidak

terjadwal, keterbatasan aktivitas, riwayat terbangun malam hari,

pengaruh terhadap tumbuh kembang, pengaruh terhadap rutinitas

keluarga, dan pengaruh ekonomi

9. penilaian terhadap persepsi pasien dan : pengetahuan pasien, persepsi

pasien, kemampuan pasien, tingkat dukungan keluarga, sumber

keuangan, dan kepercayaan sosiokultural.

1.7.2. Pemeriksaan fisik

Saluran pernapasan atas, dada dan kulit adalah fokus utama dalam

pemeriksaan fisik untuk asma. Tampilan fisik meningkatkan kemungkinan

terdiagnosa asma. Tidak adanya ciri-ciri dibawah ini tidak menyingkirkan

diagnosa asma karena tanda-tanda obstruksi sering tidak ditemukan diantara

selang serangan asma (NHLBI, 2007).

a) Hiperekspansi thoraks − terutama pada anak -anak, penggunaan otot

aksesorius, posisi tubuh membungkuk, dan deformitas dada

b) Suara wheezing pada pernapasan normal atau fase ekspirasi memanjang. Wheezing hanya terdengar saat ekspirasi dipaksa

c) Peningkatan sekresi nasal, pembengkakan mukosa, dan/atau polip nasal

d) Dermatitis atopik/eksema atau manifestasi penyakit alergi lain

(16)

Uji ini bertujuan untuk mengukur volume udara yang masuk dan keluar

dari paru. Hasil kapasitas vital paksa (KVP) dibagi volume ekspirasi paksa dalam

1 detik (VEP1) dapat memperkirakan derajat obstruksi.

Tabel 2.2. Interpretasi Nilai VEP1

VEP1< 40% Obstruksi berat

VEP140-59% Obstruksi sedang

VEP160-79% Obstruksi ringan

VEP1> 80% Normal

Sumber: Clark, 2011

b) Uji pra- dan pasca- bronkodilator

Uji ini dilakukan dengan uji spirometri sebelum dan sesudah diberi

bronkodilator. Jika terjadi peningkatan VEP1 ≥ 10% setelah diberi bronkodilator,

maka digolongkan sebagai obstruksi saluran napas yang reversibel (asma).

c) Uji bronkoprovokasi

Uji ini mirip seperti uji pra- dan pasca- bronkodilator. Uji ini

menggunakan metakolin yang bekerja sebagai bronkokonstriktor. Histamin,

adenosin, bradikinin, udara dingin, dan olahraga juga bisa dilakukan pada uji ini.

Penurunan VEP1 sebanyak 20% dari nilai normal menunjukkan positif asma

(Clark, 2011).

1.8. Tata laksana farmakologi asma a) Terapi brokodilator

1) β2-agonis

β2-agonis akan mengaktifasi reseptor β2–adrenergik. Efek dari

penggunaan β2-agonis adalah untuk relaksasi otot polos saluran napas (bagian

proksimal dan distal), inhibisi pelepasan mediator sel mast, inhibisi eksudasi

plasma, inhibisi edema saluran napas, peningkatan pembersihan mukosiliar,

peningkatan sekresi mukus, dan pengurangan batuk.

2) anti kolinergik

Anti kolinergik akan berikatan dengan reseptor muskarinik dan mencegah

(17)

Penggunaan anti kolinergik kurang efektif sebagai terapi asma dibandingkan β2

-agonis karena kerja obat anti kolinergik hanya menghambat refleks kolinergik,

sedangkan β2-agonis menghambat seluruh mekanisme bronkokonstriksi. Anti

kolinergik hanya dipakai sebagai tambahan terapi pada asma tidak terkontrol.

3) Teofilin

Efek teofilin sebagai bronkodilator meningkat dengan penambahan dosis.

Seiring dengan peningkatan dosis, efek samping obat juga semakin meningkat.

Hal ini yang menyebabkan terapi menggunakan teofilin ditinggalkan.

b) Terapi kontroler

1) Kortikosteroid

Terapi kortikosteroid melalui dua metode, inhalasi dan sistemik. Terapi

inhalasi lebih dipilih karena efek sistemik lebih minimal. Kortikosteroid akan

memperbaiki gejala simptomatis melalui pengurangan jumlah sel radang.

2) Antileukotrien

Sistenil leukotrien adalah bronkokonstriktor poten yang menyebabkan

bocornya eosinofil melalui aktivasi reseptor cys-LT1. Antileukotrien memblok

reseptor tersebut dan memperbaiki klinis asma. Terapi ini kurang efektif untuk mengontrol dibanding β2-agonis.

3) Kromolin

Kromolin menginhibisi sel mast dan aktivasi saraf sensoris. Terapi ini

kurang bermanfaat sebagai terapi jangka panjang disebabkan oleh durasi kerja

obat yang pendek. Kromolin sangat aman untuk anak-anak, tetapi penggunaannya

sudah mulai berkurang sejak munculnya kortikosteroid inhaler.

4) Anti-IgE

Anti Ig-E seperti omalizumab dapat memblok IgE di sirkulasi dan

mengurangi angka eksaserbasi asma berat. Akan tetapi, terapi ini sangat mahal

dan hanya cocok pada pasien asma berat yang sudah tidak bisa dikontrol dengan

Gambar

Gambar 2.1. Faktor yang menyempitkan saluran napas pada asma akut dan persisten
Tabel 2.1. Gejala dan Derajat Keparahan Asma
Tabel 2.2. Interpretasi Nilai VEP1

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi hambatan minimal dari zink sulfat dibaca dan dicatat sebagai konsentrasi terendah dari zink sulfat yang menyebabkan hambatan lengkap terhadap biakan pada lempeng agar

Karena efek toksiknya maka tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak dibawah 14 tahun dan wanita hamil dan pemberian tidk lebih dari 7 hari.. Digunakan untuk pengobatan

Selanjutnya penumpang penerbangan domestik yang datang ke Provinsi Aceh melalui bandar udara Sultan Iskandar Muda pada bulan Agustus 2011 mencapai 19.217 orang, angka ini

Melibatkan semua karyawan pada semua tingkatan organisasi agar mencurahkan semua keterampilan dan pengetahuannya secara penuh pada semua kegiatan dalam mencapai tujuan yang

Yang dimaksud dengan ”urusan wajib yang disusun dan diterapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah urusan wajib sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan Pasal

Ikrar taklik talak meskipun tidak dibacakan oleh suami, namun karena ditandatangani sebagai bukti adanya janji suami terhadap sighat taklik talak, maka jika suami

ilmu Pendidikan Islam, tiada istilah terlambat untuk mendalami ilmu dalam. 3 Akhbar

Berdasarkan data numeric yang ditunjukkan dari nilai output dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui seberapa besar nilai daya output dari motor tersebut, sesuai