• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 31 - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 31 - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN

A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Bentuk- bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi

yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal UU No. 31Tahun 1999 yang

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Rumusan tersebut yang mempunyai

unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan

tertentu pula. Jenis tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal 5,

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13.

Maka di dalam bab ini akan menjabar kan jenis tindak pidana korupsi tersebut

berdasarkan setiap pasal di atas.

1) Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan dari pasal 2 ayat (1) di atas dapat ditarik

(2)

1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Pada dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan

dengan mana si pelaku bertambah kekayaan oleh karena perbuatan tersebut.

Misalnya, dengan membeli,menjual,mengambil,memindahbukukan rekening,

menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi

bertambah kekayaannya.28

2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum

Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara

“melawan hukum” sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti

formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tidak diatur dalam

undang-undang, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak

sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.29

3. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara

Pengertian keuangan negara yang dimaksud pasal 2 ayat 1 adalah seluruh

kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan,

termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan

kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pegurusan dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan,pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN,

BUMD, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal       

28

Lilik Mulyadi, Tindak pidana korupsi, PT. Citra aditya bakti, bandung, 2000, Halaman 17

(3)

negara, atau perusahaan yang menyertakan modal dari pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

Menurut Barda Nawawi Arief, dengan dicantumkannya kata “dapat” di depan

unsur merugikan keuangan negara pada kedua pasal in, merubah delik ini menjadi

“delik formil”.30 Pandangan pembuat undang-undang menetapkan kedua pasal ini

menjadi delik formil, nampakya merujuk kepada ajaran formele

wederrechtelijkheid, yang menyatakan sesuatu perbuatan hanya dapat dipandang

sebagai bersifat “wederrechtelijk”, yaitu apabila perbuatan memenuhi semua

unsur yang terdapat didalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang.31

Maka berdasarkan dari hal tersebut akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan

terdakwa tidak perlu dibuktikan. Pengertian perekono,iam negara menurut

penjelasan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun

2001 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan azas kekeluargaan, ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang

didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertujuan

memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.

Pasal 2 ayat 2, diancam dengan pidana mati, dalam hal tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika dilakukan dalam keadaan tertentu.

Yang dimaksud keadaan tertentu :

      

30

Barda Nawawi Arief, Masalah penegaka hukum & kebijakan penanggulangan kejahatan, PT. Citra aditya bakti,Bandung,2001, Halaman 149

31

(4)

a. Apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan terhadap dana-dana yang

diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional.

b. Apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan terhadap dana-dana

penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas.

c. Apabila tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan

krisis ekonomi dan moneter,dan

d. Apabila tindak pidana korupsi itu merupakan pengulangan (residive) .

2) Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dari ketentuan Pasal 3 tersebut dapatlah ditarik unsur-unsur deliknya sebagai

berikut:

1. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan.

Pengertian menyalahgunakan kewenangan berarti menyalahgunakan

kewajiban yang dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan atau kedudukan

yang menunjukan kepada “posisi” subyek hukum selaku Pegawai Negri di

institusi tempat dia bekerja, kenudian menyalahgunakan kesempatan berarti

menyalahgunakan peluang atau waktu yang ada yang seharusnya dipergunakan

menjalankan kewajibannya sesuai dengan jabatan dan kedudukan yang telah

(5)

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan

atribut yang menjadi instrumen kewajiban sesuai denga tujuan pokok dan fungsi

institusi. 32 Menurut Andi Hamzah, dengan menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, berarti

telah melawan hukum.33

2. Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi

Apabila ditinjau dari aspek pembuktian, maka elemen “menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”, dapat lebih mudah dibuktikan

jaksa/Penuntut Umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi

apakah tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi menjadi kaya atau bertambah

kaya karenanya. Lain dengan aspek “memperkaya diri sendiri atau orang lai atau

suatu korporasi” sebagaimana ketentuan pasal 2 UUPTK, dimana relatif lebih

sulit membuktikannya.34

3. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara

Konteks merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah

dijelaskan sebagaimana pembahasan ketentuan Pasal 2 UUPTK.

3) Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:       

32

Marwan Effendy, Tipologi kejahatan perbankan dari perspektif hukum pidana, Sumber ilmu jaya, Jakarta, 2012, Halaman 84

33

Andi Hamzah, loc cit, halaman 164 34

(6)

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawainegeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dapat dikualifikasikan sebagai “actieve omkooping

atau suap aktif akan tetapi pasal 5 ayat 2 dikualifikasikan sebagai suap pasif yang

di adopsi dari Pasal 209 KUHP.

Dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a, unsurnya terdiri dari:

a. Setiap orang

b. Dengan maksud memberi atau menjanjikan sesuatu

c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

d. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan

dengan kewajibannya.

Pengertian pegawai negeri adalh sebagaimana yang diatur dalam pasal 1

angka 2 UUTPK, meliputi:

a. Pegawai negeri sebbagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang

kepegawaian (Undang-Undang No. 43 tahun 1999).

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 KUHP.

(7)

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah;atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lan yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.35

Pengertian penyelenggara negara menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang

No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme adalah : pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif

atau judikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggara negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Pengertian “dengan maksud” disini, terkait dengan batin subjek hukum

berupa niat (oogmerk). Menurut Sudarto adalah untuk menggerakkan seorang

pejabat agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut,

berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselebung yang diinginkannya,

yang di dorong oleh kepentingan pribadi, agar pegawai negeri yang akan diberi

hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang

bertentagan dengan kewajibannya. Meskipun pegawai negeri tersebut menolak

pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan

delik dan dapat dijerat oleh delik ini, mengingat perbuatan sudah selesai (voltoid).

Pasal 5 ayat 1 huruf b, unsurnya terdiri dari:

a. Setiap orang

      

35

(8)

b. Memberi sesuatu

c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggar negara.

d. Karena atau hubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.36

Sama halnya dengan pasal 5 ayat 1 huruf a, tujuan subjek hukum memberikan

sesuatu disini karena adanya “pamrih” yang di dorong kepentingan pribadi,

karean ada hubungan yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri yang

bersangkutan, baik dilakukan atau tidak dalam jabatannya tersebut. Rumusan

unsur a dan b, sama halnya dengan rumusan unsur pasal 5 ayat 1 huruf a, hanya

bedanya mengenal wujud sesuatu baik barang atau uang di dalam pasal 5 ayat 1

huruf b sudah nyata, sedangkan di dalam pasal 5 ayat 1 huruf a belum nyata baru

berupa penawaran untuk memberi sesuatu atau berjanji.37

Pasal 5 ayat 2, unsurnya terdiri dari :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

b. Menerima pemberian atau janji.

c. Untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam

jabatannya.

Mengenai pengertian pegawai negeri dan penyelenggara negara telah

dibicarakan di atas sehingga tidak pelu dibicarakan lagi.pegawai negeri atau

penyelenggara menurut rumusan korupsi suap ayat (2) ini adalah si pembuatnya.

Berbeda pada korupsi suap bentuk pertama dan kedua kualitas pegawai negeri

      

36

Marwan Effendy, Op.cit, Halaman 94 37

(9)

dalam rumusanitu adalah sebagai subjek hukum yang kepentingan hukumnya

dilindungi dalam hal kepentingan hukum dalam hal kepentingan hukum mengenai

kelancaran dan ketertiban pelaksanaan tugas pekerjaannya yang bersifat umum.38

Perbuatan menerima suap menurut rumusan ayat (2) ini cenderung

merupakan tindak pidana materil, bukan merupakan tindak pidana formil murni.

Apabila pemberian itu belum berpindah ke dalam kekuasaan oknum pegawai

negeri si pembuat dan secara nyata dan mutlak misalnya sejumlah uang dalam

map plastik oleh si pemberi telah di arahkan kepada orrang yang duduk

dibelakang meja untuk diserahkan dan belum dipegang dalam tangannya secara

utuh, tiba-tiba terhenti karena digrebek oleh anggota polisi maka adegan

perbuatan memberikan itu belum selesai dan kejadian itu barulah merupakan

percobaan menerima pemberian yang in casu percobaan suap korupsi ayat (2)

pasal 5. Demikian halnya dengan perbuatan yang kedua yakni menerima janji

dianggap selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaan –keadaan sebagai

pertanda/indikator bahwa apa isi yang diperjanjikan telah diterima oleh pegawai

negeri tersebut, tetapi tidak dapat terjadi dengan tidak memberi isyarat apapun

atau diam.39

4) Pasal 6

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

      

38

Adami Chazami, Hukum pidana materil dan formil di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, Halaman 78

(10)

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dapat dikualifikasikan sebagai pacieve

omkooping atau suap pasif. Rumusan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 210 KUHP. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUTPK merumuskan tinddak

pidana korupsi suap oleh hakim dan advokat, tetapi ketentuan tindak pidana

korupsi suap dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang No. 20

tahun 2001 oleh hakim merupakan korupsi suap bersifat khusus, walaupun hakim

adalah pegawai negeri yang telah juga dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 sebagaimana telah di uraikan tetapi tidak

diberlakukan kepada hakim. Karena pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2)

Undang-Undang No. 20 tahun 2001 diberlakukan secara khusus atas tindak pidana korupsi

suap oleh hakim, maka ketentuan yang bersifat khusu yang diterapkan, karena hal

ini sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP: “jika suatu perbuatan yang

(11)

yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”, dan juga sesuai

dengan asas “lex specialis derogat legi generali”.40

5) Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau

penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Rumusan tindk pidana korupsi dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang ini merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari pasal 387 dan 388

KUHP. Dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 20

tahun 2001 terdapat lima jenis tindak pidana korupsi, yaitu:

      

40

(12)

1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemborong bangunan, ahli pembuat bangunan, penjual bahan bangunan pada saat menyerahkan bahan bangunan dengan melakukan kecurangan yang dapat membahayakan orang atau barang, atau keselamatan negara kalau dalam keadaan perang.

2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengawas bangunan, dan

pengawas penyerahan bahan bangunan yang membiarkan perbuatan curang pada saat pelaksanaan pembangunan dan penyerahan bahan bangunan.

3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas penyerahan barang

keperluan tentara nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena melakukan kecurangan yang dapat membahayakan keselamatan negara yang dalam keadaan perang.

4) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas pengawas penyerahan

barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang pada saat penyerahan barang tersebut.

5) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas penerima penyerahan

bahan bangunan atau penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negaran Republik Indonesia, karena

membiarkan perbuatan curang dalam penyerahan tersebut.41

6) Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 8, Unsurnya terdiri:

a. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri

b. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu.

c. Dengan sengaja.

      

41

(13)

d. Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya,

atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau

digelapkan oleh orang lain, atau membantu melakukan perbuatan tersebut.

Delik ini identik dengan delik penggelapan dalam jabatan, seperti yang

dirumuskan oleh pasal 415 KUHP. Subjek hukum pasal 8 ini adalah seseorang

dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri sebagaimana telah dijelaskan dalam

pasal 5 ayat 1 huruf a. Larangan yang dirumuskan oleh pasal ini, terkait dengan

perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggung jawab

jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau

digelapkan orang lain.42

7) Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Apabila dirinci maka pasal 9 ini terdiri atas unsur:

1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri.

2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

untuk sementara waktu.

3. Dengan sengaja.

4. Memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusu untuk pemeriksaan

administrasi.

      

42

(14)

Perbuatan memalsu menurut pasal 9 ini merupakan perbuatan dengan cara

bagaimanapun mengubah tulisan pada buku-buku atau daftar-daftar yang sudah

ada sehingga isinya menjadi lain dari yang sebenarnya atau menjadi palsu.

Buku-buku atau daftar-daftar yang dibuat isinya dapat bermacam-macam, misalnya

memuat daftar barang-barang atau alat-alat invetaris kantor, pengeluaran atau

belanja dan pemasukan uang, pengadaan alat-alat keperluan kantor, daftar

mengenai uang perjalanan, daftar pemeliharaan kendaraan dinas, dan tidak

terbatas banyaknya. Buku-buku atau daftar-daftar itulah yang dipalsu dengan

perbuatan memalsu seperti yang diterangkan diatas.

Dengan sengaja dalam pasal 9 harus diartikan si pembuat memang

menghendaki untuk melakukan perbuatan memalsu dan dia mengetahui bahwa

objek yang dia palsu itu mengenai buku-buku atau daftar-daftar. Selain itu dia

juga mengetahui bahwa buku-buku atau daftar-daftar dibuat khusus untuk bagi

pemeriksaan administrasi.

8) Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

(15)

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 20

tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari pasal 417 KUHP yang

merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUHP

tentang kejahatan jabatan. Dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 20 tahun 2001

terdapat tiga jenis tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan pada huruf a,

huruf b, dan huruf c, yaitu :

1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang

selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menurus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang

selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yag berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang

selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang

dikuasai karena jabatannya.43

      

43

(16)

9) Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Jika diperhatikan Pasal 11 terdiri atas unsur-unsur :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

b. Menerima hadiah atau janji.

c. Dikettahui atau patut diduga.

d. Bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau

kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran

orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan

jabatannya.

Pasal 11 ini dapat di golongkan sebagai penyuapan pasif (passive omkooping)

yang berasal dari Pasal 418 KUHP yang diambil oper oleh Undang-Undang ini.

Rumusan delik ini merupakan kebalikan dari Pasal 5 ayat 2. Konsekuensi logis

dipenuhi unsur menerima hadiah atau janji tersebut, oleh subjek hukum akan

menimbulkan beban moril untuk memenuhi permintaan dari si pemberi hadiah

atau janji, sebagai imbal balik dari pemberian hadiah atau janji yang diterimanya.

Sebaliknya jika ia menolak, maka yang dapat dijerat oleh Pasal 5 ayat 1 huruf a

Undang-Undang ini adalah si pemberi hadiah atau janji tersebut.44

      

44

(17)

10) Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

(18)

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11) Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12B huruf a terdiri atas unsur:

a. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara.

b. Menerima pemberian suap (gratifikasi)

c. Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban

atau tugasnya.

(19)

Pengertian gratifikasi menurut penjelasan 12B ayat 1 adalah pemberian dalam

arti luas, dapat berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman

tanpa bunga, ticket perjalanan, fasilitas, penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan Cuma-Cuma dan faslitas lainnya, seperti ditraktir main golf, yang

nilainya Rp. 10 juta. Perbuatan subjek hukum disini sebagai pegawai negeri

menurut pasal 1 angak 2 merupakan kewajibannya secara biasa mendapatkan

imbalan jasa dari orang yang urusannya pada bank tersebut menjadi lancar, karena

ada bantuan dari pegawai negeri tersebut. Pembuktian bahwa gratifikasi tersebut

bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang bersangkutan).45

Pasal 12B huruf b unsurnya terdiri:

a. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara.

b. Menerima pemberian suap (gratifikasi).

c. Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban

atau tugasnya.

d. Nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Pasal ini identik dengan pasal 12B huruf a, bedanya hanya terletak ada nilai

nominal yang diterima sebagai gratifikasi dan pembuktiannya dilakukan ooleh

penuntut umum.

12) Pasal 13

Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan

      

45

(20)

atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Apabila dilihat secara rinci Pasal 13 memiliki unsur yang terdiri :

a. Setiap orang

b. Memberi hadiah atau jaji.

c. Kepada pegawai negeri

d. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan

atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat

pada jabatan atau kedudukan.

Pasal 13 ini dapat digolongkan sebagai penyuapan aktif (actieve omkooping).

Unsurnya identik dengan Pasal 12 hruf b dan c. Menurut Andi Hamzah dengan

adanya pasal 13 ini, maka hilanglah arti pasal 209 KUHP yang ditarik menjadi

delik korupsi. Pasal 13 ini lebih luas jangkauan perumusannya, sehingga lebih

mudah pembuktiannya. Orang disuap meliputi pegawai negeri dalam bentuk

membujuk pegawai negeri supaya berbuat atau mengalpakan sesuatu berlawanan

dengan kewajibannya seperti tercantum dalam Pasal 209 KUHP.

Sebenarnya jika diamati dengan seksama, delik ini lebih ditujukan untuk

menjaring segala macam bentuk hadiah atau janji yang tidak terjaring dalam delik

penuapan aktif lainnya, seperti hadiah ulang tahun, bingkisan lebaran, kado

perkawinan atau lain yang sejenis yang sifatnya berlebih-lebihan dengan tujuan

untuk mencari muka terhadap pegawain negeri tersebut. Dalam hal ini menurut

sudarto, apabila tidak berlebih-lebihan artinya tidak melampui kewajaran, maka

(21)

masyarakat terhadapnya. Jadi kalau masyarakat memang memandang hal tersebut

wajar, maka sifat melawan hukumnya perbuatan tidak ada, meskipun

perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang.46

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur jenis

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak

pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut dirumuskan

dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. KPK mengelompokkan tindak pidana lain yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi sebagai berikut:

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi:

Pasal 21.

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar:

Pasal 22 jo. Pasal 28.

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka:

Pasal 22 jo. Pasal 29.

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan

palsu:

Pasal 22 jo. Pasal 35.

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau

memberi keterangan palsu: Pasal 22 jo. Pasal 36.

6. Pengaduan palsu dalam perkara korupsi:

Pasal 23 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 220 KUHP.

7. Menarik, menyembunyikan, menghancurkan, melakukan atau

membiarkan dilakukan kejahatan baik sengaja maupun karena kealpaan terhadap barang sitaan dalam perkara korupsi:

Pasal 23 Undang-undang tindak pidana korupsi jo. Pasal 231 KUHP.

8. Pejabat dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang

melakukan atau membiarkan sesuatu dalam perkara korupsi:

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP.

9. Pejabat dalam perkara korupsi secara memaksa untuk memeras

pengakuan atau mendapatkan keterangan:

      

46

(22)

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 422 KUHP.

10.Pejabat dengan melampui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara

yang ditentukan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan memaksa masuk rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain atau berada disitu secara melawan hukum, dan tidak segera pergi atas permintaan yang berhak atau atas nama orang itu atau memeriksa, merampas surat-surat, buku-buku, atau kertas-kertas lain:

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 429 KUHP.

11.Pejabat yang melampui kekuasaannya menyuruh memperlihatkan

kepadanya atau merampas surat-surat yang diserahkan pada lembaga pengangkutan umum, atau menyuruh pejabat telepon atau orang lain ditugasi untuk memberi keterangan suatu percakapan yang dilakukan melalui lembaga tersebut:

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 430 KUHP.

12.Saksi yang membuka identitas pelapor:

Pasal 24 jo. Pasal 31.47

Berbagai jenis tindak pidana korupsi seperti diuraikan di atas tidak

seluruhnya mengandung rumusan secara melawan hukum. Hanya terdapat pada

dua ketentuan, yaitu : Pasal 2 ayat (1) dan pasal 12 huruf e.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12 huruf e Undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

      

47

(23)

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseoarang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan

pemotongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;48

Apabila mengikuti pendapat POMPE maka perumusan tindak pidana korupsi

dalam UUPTK, meskipun tidak secara eksplisit menyebut secara melawan hukum

kecuali Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e namun menggunakan istilah lain

yang menunjukkan makna secara melawan hukum. Di antara istilah atau frasa

yang dipergunakan dalam UUPTK yang memiliki pengertian secara melawan

hukum melalui penafsiran teleogis diantranya :

1. Dalam Pasal 3 : menyalgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

2. Dalam pasal 5 : berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya,

yang bertentang dengan kewajibannya;

3. Dalam pasal 6 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan

maksud untuk mempengaruhi keputusan...; juga memberi atau

menjanjikan sesuatu kepada .. advokat .. untuk mempengaruhi nasihat ...

4. Dalam pasal 7 : melakukan perbuatan curang; membiarkan perbuatan

curang;

5. Dalam Pasal 8 : dengan sengaja menggelapkan;

6. Dalam psal 9 : dengan sengaja memalsu;

7. Dalam pasal 10 : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai alat bukti; juga membiarkan orang lain

      

48

(24)

menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai alat bukti; serta membantu orang lain menghilangkan,

menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat

bukti;

8. Dalam pasal 11 : menerima hadiah atau janji yang diberikan karena

kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan;

9. Dalam pasal 12 (selain huruf e) : yang bertentangan dengan

kewajibannya; untuk mempengaruhi putusan; untuk mempengaruhi

nasihat atau pendapat; meminta, menerima, atau memotong pembayaran

seoalah-olah mempunyai utang atau merupakan utang; telah merugikan

yang berhak dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

turut serta dalam pemborongan yang ditugaskan untuk mengurus atau

mengawasi;

10.Pasal 12 B : berlwanan dengan kewajibannya atau tugasnya.49

Perbendaannya dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e UUPTK,

dalam hal pembuktian, sifat melawan hukum dalam pasal-pasal di atas selain

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e tidak perlu dibuktikan oleh penuntut umum

dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Perbuatan-perbuatan tersebut kareana

secara formil telah ditentukan sebagai perbuatan yang terlarang, maka tidak perlu

dipermasalahkan bersifat melawan hukum ataukah tidak. Artinya, sifat melawan

hukum implisit dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Lain halnya dengan

pembuktian unsur secara melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12

      

49

(25)

huruf e UUPTK, perbuatan-perbuatan yang dilakukan harus dibuktikan bersifat

melawan hukum.

B. Pengaturan tindak pidana perbankan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Tindak pidana perbankan sebagai bagian dari tindak pidana di bidang

ekonomi. Tindak pidana di bidang ekonomi lazim disebut white collar crime yaitu

tindak pidana yang mempunyai motif ekonomi dan sering dilakukan oleh orang

yang mempunyai kemampuan intelektualdan mempunyai posisi penting dalam

suatu masyarakat atau ditempat pekerjaannya. Terdapat dua istilah yang seringkali

dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda.

Pertama, adalah Tindak Pidana Perbankan dan kedua, Tindak Pidana di Bidang

Perbankan.

Tindak pidana perbankan mengandung pengertian tindak pidana itu

semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan tindak pidana di bidang

perbankan tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak

pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank .

Istilah tindak pidana di bidang perbankan dimaksudkan untuk menampung

segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan

kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak

pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular,

(26)

sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes

against the bank).

Di dalam Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan terdapat 13

tindak pidana yang di atur di dalamnya. Dari 13 tindak pidana yang diatur hany 1

(satu) pasal yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran yaitu pasal 48 ayat (2),

sedangkan 12 pasal lainnya diklasifikasikan sebagai kejahatan. Maka akan

dijelaskan setiap pasal yang terdapat tindak pidana di dalam Undang-Undang No.

10 tahun 1998 tentang perbankan:

1) Pasal 46

(1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, di ancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paking banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntuttan terhadap badan-bdan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Pasal 46 ini memiliki unsur yang terdiri :

a. Barang siapa

b. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan.

c. Tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia.

Praktek bank tanpa izin biasa dikenal dengan istilah “bank gelap”, yaitu

menghimpun dana dari masyakrakat sebagaimana fungsi bank yang lazim tanpa

(27)

berupa tabungan, deposito berjangka, tabungan atau giro, atau dalam bentuk lain

yang dipersamakan dengan itu. Tindak pidana menyangkut perizinan, yaitu

melaksanakan kegiatan bank tanpa izin pimpinan Bank Indonesia yang dalam

praktek antara lain dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a) Melakukan usaha bank dalam bank, yang umumnnya dilakukan oleh

pejabat bank dengan tidak membukukan setoran nasabah sesuai

ketentuan, tetapi atas rekening pejabat yang bersangkutan dengan

menggunakan prasarana bank yang bersangkutan dan pembukuan

keuangannya dibuat tersendiri diluar yang dilaporkan kepada Bank

Indonesia.

b) Menjalankan usaha bank tanpa izin, kasus ini dulu banyak muncul

sebelum deregulasi dibidang perbankan sewaktu perizinan masih tetap.

c) Menjalankan usaha serupa bank.50

Subyek hukumnya adalah orang, baik secara sendiri bersama-sama sebagai

pengurus badan (korporasi) yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum,

melakukan usaha layaknya seperti bank, baik bank umum atau bank perkreditan

rakyat (BPR). Untuk memenuhi rumusan delik ini, terlebih dahulu harus

dibuktikan subyek hukum tersebut, perbuatannya tidak mengindahkan

syarat-syarat pendirian suatu bank.51

      

50

Marwan Effendy, Op.cit, Halaman 14 51

(28)

2) Pasal 47

(1) Barang siapa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank

Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2(dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi

lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).

Dalam Pasal 47 ayat 1, memiliki unsur yaitu :

a. Siapa saja.

b. Yang senganja memaksa Bank atau Pihak Terafliasi.

c. Untuk membocorkan rahasia bank.

d. Tanpa membawa perintah atau izin dari pimpinan Bank Indonesia.

Subjek hukum dalam pasal 47 ayat 1 ini adalah setiap orang yang mampu

bertanggung jawab menurut Undang-Undang, sedangkan yang dimaksud dengan

unsur “yang sengaja memaksa” ini identik dengan unsur “dengan sengaja”.

Menurut smidt, Wetboek van Strafrecht (WvS) yang menjadi induk KUHP

menganut paham, bahwa setiap delik yang dikualifikasikan sebagai kejahatan

selalu diperlukan adanya kesengajaan, kecuali jika ditentukan dengan nyata lain

(kealpaan).52 Simon juga berpandang, bahwa dalam hal demikian harus dianggap

      

52

(29)

bahwa semua unsur delik diliputi oleh kesengajaan, kecuali pasal itu ada alasan

untuk menentukan lain.53

Mengenai rahasia bank ini, menurut pasal 1 angka 28 Undang-Undang No.10

tahun 1998 adalah “ segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan

mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. Jadi, rahasia bank tersebut

menyangkut identitas diri nasabah dan simpanannya, seperti giro, deposito,

sertifikat deposito dan tabungan.

Pasal 47 ayat 2 unsur-unsurnya terdiri dari :

a. Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafliasi

lainnya

b. Dengan sengaja

c. Memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan mengenai nasabah

penyimpan dan simpanannya menurut pasal 40, kecuali dalam hal

sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41A, pasal 42, pasal 43,

pasal 44, dan pasal 44A.

Pengertian unsur “dengan sengaja” dalam Pasal 48 ayat (1) adalah delik dolus

yang tunduk kepada tafsir sengaja atau opzet. Mengenai arti “sengaja” atau opzet

ini tidak diterangkan, baik di dalam Undang-undang ini maupun di dalam

penjelasan begitu juga KUHP. Menurut Van Hattum, seengaja (opzet) secara ilmu

bahasa berarti “oog merk” (maksud), dalam arti tujuan dan kehendak menurut

istilah Undang-Undang, opzettelijk (dengan sengaja) diganti dengan “willens en

wetens”. Memorie van Toelichting (MvT) menjelaskan bahwa willens en wetens, artinya mengetahui dan mengkehendaki. Sedangkan pengertian mengetahui dan

mengkehendaki, ada dua teori yang menjelasannya. Pertama, teori kehendak

      

53

(30)

(wilstheorie) dikemukakan oleh von Hippel yang kemudian diikuti oleh Simons dan kedua, teori pengetahuan (voortellingstheorie) dikemukakan oleh Frank yang

kemudian diikuti von Hamel.54

Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada

terwujudnya perbuatan, seperti dirumuskan dalam Undang-Undang (de op

verwerkelijking der wettwlijke omschrijving gerichte wil), sedangkan menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan

mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut Undang-Undang (de wil tot

handelen bij voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende bestandelen).55

Pasal 47 ayat 2 merupakan kebalikan pasal 47 ayat 1, pasal ini justru

melarang pihak internal bank atau pihak terafliasi lainnya membocorkan

keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya. Pengertian nasabha penyimpan

dan simpanannya, ini sama halnya dengan telah dijelaskan dalam pasal 47 ayat 1.

Perbuatan ini sebenarnya identik dengan insider trading, jika dapat

menguntungkan pihak lain dan merugikan nasabah atau bank. Perbuatan tersebut

dilakukan oleh subyek hukum dengan cara bekerja sama dengan pihak internal

bank, memalsukan atau mengambil keuntungan dari surat berharga atau simpana

milik nasabah pada bank tersebut.

3) Pasal 47 A

Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).

      

54

Marwan Effendi, Op.cit, halaman 18 55

(31)

Pasal 47 A memilki unsur :

a. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank.

b. Dengan sengaja

c. Tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana

dimaksud dalam pasal 42 A dan pasal 44 A.

Subyek hukumnya adalah internal bank, pengertian dengan sengaja tafsirnya

sama dengan pasal 47 ayat 2. Jika pada pasal 40 ayat 1 dinyatakan wajib

merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, tetapi

pasal 47 A justru memberikan ancaman pidana bagi direksi yang tidak

memberikan keterangan apabila mengabaikan sesuai dengan keterangan yang

wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 A dan pasal 44 A.

4) Pasal 48

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja

tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana penjara sekurag-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dpn paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus milyar rupiah).

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang lalai memberikan

keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling ama 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).

Pasal 48 ayat 1 memiliki unsur yaitu:

a. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank.

(32)

c. Tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana

dimaksud dalam pasal 30 ayat 1 dan ayat 2 dana pasal 34 ayat 1

dan ayat 2.

Sesuai dengan penjelasan pasal 30 ayat 1 dan 2, subyek hukumnya dapat

dijerat oleh pasal ini apabila mengabaikan ketentuan yang berkaitan dengan

pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Keterangan tentang kegiatan usaha suatu

bank diberikan kepada Bank Indonesia diperlukan, mengingat keterangan tersebut

dibutuhkan untuk memantau keadaan suatu bank. Pemantauan keadaan bank perlu

dilakukan dalam rangka melindungi dana masyarakat dan menjaga keberadaan

institusi perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan hanya

dapat tumbuh kembang jika kesehatan bank terjaga lebih lajut dalam penjelasan

pasal 34 ayat 1 dan ayat 2 digariskan juga bahwa pertama, bank wajib

menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan

serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang

telah ditetapkan Bank Indonesia. Kedua, neraca serta perhitungan laba/rugi

tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib terlebih dahulu diaudit oleh

akuntan pubik.56

5) Pasal 49

(1) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan

sengaja:

a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam

pembukuan atau laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;

b. Mebhilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak

dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan;

      

56

(33)

maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;

c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau

menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah,mengaburkan,menghilangkan,menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan terebut diamcam dengan pidana penjara seurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar).

(2) Anggota dewan komisars, direksi, atau pegawai bank yang dengan

sengaja:

a. Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk

menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uanag atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskotoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat prmoes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;

b. Tidak melaksanakan lanngkah-langkah yang diperlukan untuk

memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuaa-ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank; diancam dengan pidana penjaa sekurang-kurangnya 3 (tiga) yahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).

Pada pasal 49 ayat 1 huruf a larangan yang dirumuskan dalam pasal itu

bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat sebagai nasabah penyimpan,

agar terhindar kecurangan yang dilakukan oleh annggota

Dewan,Komisaris,Direksi atau semua pejabat dan karyawan bank yang dapat

merugikan para nasabah bank. Selain itu untuk mencegah anggota komisaris,

direksi atau semua pejabat dan karyaawan bank berlaku tidak jujur di dalam

(34)

keadaan neraca yang layak diumumkan melalui mass media atau yang dilaporkan

kepada Bank Indonesia, yang dilakukan dengan cara membuat atau menyebabkan

pembukuan, proses laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, transaksi atau

laporan rekening bank secara tidak benar, tidak sesuai dengan posisi yang

sesungguhnya. Sedangkan, pasal 49 ayat 1 huruf b rumusan larangannya sama

dengan pasal 49 ayat 1 huruf a tetapi perbedaannya terletak pada pengertian

pegawai bank. Kalau pada 49 ayat 1 huruf a subyek hukumnya dalah semua

pejabat dan karyawan bank, sedangkan pada pasal 49 ayat 1 huruf b subyek

hukumnya selain anggota dewan komisaris dan direksi, pengertian pegawai bank

terbatas hanya kepada pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung

jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.57

Pada pasal 49 ayat 1 huruf c larangannya yang dirumuskan identik dengan

pasal 417 KUHP sebelum diambil oper oleh pasal 10 UUTPK. Perbedaannya

terletak pada ancaman pidananya. Ancaman pidana pasal 49 ayat 1 huruf c lebih

berat dibandingkan dengan pasal 10 UUTPK.

Pada pasal 49 ayat 2 huruf a, perbuatan subyek hukum yang berasal dari

internal bank tersebut akan menimbulkan beban moril bagi dirinya, sehingga di

dalam memberikan pelayanan jasa atau fasilitas perbankan tersebut, akan

mengesampingkan Prudential Banking. Dalam praktek yang sering dijumpai di

dalam pemberian kredit.larangan terhadap Anggota Dewan Komisaris, direksi,

atau pegawai bank identik dengan rumusan delik yang diatur di dalam pasal 418,

423 dan pasal 425 KUHP berupa menerima suap (passieve omkooping) atau

      

(35)

pemerasan dengan jabatan (knevelarij). Pasal pasal KUHP ini telah diambil oper oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentan pemberantasan tindak pidana korupsi dan dinyatakan tidak

berlaku lagi.58

Pada pasal 49 ayat 2 huruf b, setiap Anggota Dewan Komisaris, Direksi,

pegawai bank harus mengindahkan segala ketentuan yang diatur didalam

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan dan segala peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh

bank. Seperti mengenai syarat-syarat pemberian kredit, bank garantie, pembukaan

L/C dan lain sebagainya. Berbagai kasus tindak pidana yang sering dijumpai,

adalah menyangkut pengaturan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit

(BMPK) yang dikenal dengan Legal Lending Limit (L3) ini terdapat dalam Pasal

11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Sebelumnya

secara formal diatur dalam Paket Deragulasi Perbankan 27 Oktober 1988 (Pakto

27), yang kemudian disempurnakan paket Februari 1991 (Pakfeb), yang

merupakan penyempurnaan pengawasan dan pembinaan bank yang juga

memperjelas ketentuan Legal Lending Limit sebelumnya. Ketentuan L3 ini

bertujuan untuk memelihara kesehatan dan tingkat daya tahan serta kelangsungan

usaha perbankan. Agar pengucuran kredit dapat diberikan kepada debitur yang

memenuhi syarat, bukan terhadap debitur di dalam kelompok bank tersebut.

Terhadap L3 ini disamping ada sanksi pidana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan pasal 49 ayat (2) huruf b bagi anggota

      

(36)

Komisaris, Direksi atau pegawai bank, di atur juga sanksi administratif dalam hal

penilaian tingkat kesehatan bank tidak sesuai dengan SK Direksi Bank

Indonesia.59

Menurut penjelasan pasal 49 ayat 2 istilah pegawai bank dalam pasal tersebut

memiliki pengertian pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung

jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.60 Di

pasal tersebut tidak ada menyinggung mengenai penyalahgunaan wewenang akan

tetapi dengan adanya delik pidana yang mengatur didalam pasal tersebut jelas

bahwa seorang pegawai bank yang melakukan suatu perbuatan yang di luar

wewenang dapat dihukum dengan sanksi pidana yang berlaku di dalam pasal

tersebut. Melakukan suatu perbuatan yang diluar wewenangnya yang berarti

melakukan penyalahgunaan wewenang yang ada pada jabatannya dengan ada

kesempatan dan kesengajaan dengan alasan-alasan yang bisa seperti

menguntungkan diri sendiri atau keluarganya, mendapatkan sesuatu untuk orang

lain seperti uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam

rangka pembelian atau pendiskotoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat

promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam

rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan

dana yang melebihi batas kredit pada bank.

      

59 Ibid 60

(37)

6) Pasal 50

Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadapa ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).

Pasal ini tidak berbeda dengan pasal 49 ayat 2 huruf b hanya bedanya pada

subjek hukumnya saja. Dalam pasal ini yang menjadi subjek hukumnya pihak

yang terafiliasi seperti akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan

lainnya.

7) Pasal 50 A

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank umtuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ii dengan ketentuan perundang-undangan lainnya yang beraku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).

Sama halnya dengan pasal 49 ayat 2 huruf b dan pasal 50, pasal 50 A hanya

berbeda pada subyek hukumnya yaitu larangan ini ditujukan untuk pemegang

saham yang menyuruh para anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank.

Selain sanksi pidana, pihak-pihak yang melakukan tindak pidana di bidang

perbankan juga akan dikenakan sanksi tambahan, yaitu sanksi administrative. Hal

(38)

7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat(1): Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administrative kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.

Ayat (2): Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah:

a. Denda Uang;

b. Teguran tertulis;

c. Penurunan tingkat kesehatan bank;

d. Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;

e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang

tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;

f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan

mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;

g. Pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham

dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Ayat (3): Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administrative ditetapkan oleh BankIndonesia.

C. Titik singgung dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan

Secara formal terhadap perbuatan pidana perbankan dapat dikenakan delik

pidana tertentu, yaitu tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana ekonomi.

Dalam praktek tindak pidana tertentu yang sering terjadi di lingkungan usaha

perbankan adalah tindak pidana korupsi, sedangkan tindak pidana ekonomi belum

ada yang diterapkan selama ini, meskipun secara umum tindak pidana perbankan

(39)

Tindak pidana korupsi saat ini dipandang sebagai extraordinary crime

sehingga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa (extraordinary crime),

karena itu penanggulangannya tidak lagi ditempuh dengan cara-cara konvesional.

Berbagai upaya dilakukan, salah satunya adalah mengganti Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 dengan Undang Nomor 31 tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Administrative Penal Law (APL) adalah semua undang undang dalam lingkup

administrasi negara yang memiliki sanksi pidana misalnya Undangundang No 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang undang No 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 10Tahun1998. UU

Perbankan bersifat administratif yang diperkuat dengan sanksi pidana, sehingga

disebut juga dengan admistrative penal law. Di samping itu, ketentuan dalam UU

perbankan menganut azas ultimum remedium. Artinya hukum pidana sebagai

upaya terakhir dalam penegakan hukum. Tetapi, Undang-Undang perbankan tidak

mengatur tentang pengembalian kerugian negaranya jadi peraturan UUTPK dalam

masalah prudential banking tujuannya adalah untuk mengembalikan kerugian

yang di derita pihak perbankan yang pada dasarnya adalah uang negara.

Saat ini sistem hukum Indonesia, terutama kaitannya dengan tindak pidana

korupsi, masih mendua didalam mengedepankan asas pidana lex specialis atau

logische specialiteit(kekhususan yang logis) terhadap administrative penal law

(40)

specialis, karena tindak pidana korupsi dipandang sebagai extraordinary crime61.

Terkait dengan prudential banking ini, Indriyanto Seno Adji berbeda pandangan,

dan menurutnya jika menyangkut pelanggaran prudential banking principles

(prinsip kehatia-hatian perbankan), maka deliknya telah di atur dalam

Undang-Undang Perbankan, tidak dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif.62

Berdasarkan dari pandangan Indriyanto tersebut pelanggaran terhadap prinsip

kehati-hatian perbankan adalah area tindak pidana perbankan bukan tindak pidana

korupsi. Walaupun demikian pandangan berbagai pakar hukum pun akan tetapi

dalam prakteknya penanganan perkara-perkara yang berkaitan prudential banking

tetap diterapkan UUTPK guna mengembalikan keuangan negara. Jika dilihat

maka hal tersebut wajar dilakukan demi mendapatkan kembali uang negara

karena pada dasarnya bank adalah BUMN yang sebagaian atau seluruhnya

memakai uang negara.

Titik singgung dimana tindak pidana perbankan dan tindak pidana korupsi

biasanya terjadi di dalam fasilitas kredit, hal ini terjadi ketika seorang oknum

internal bank seperti direksi atau pegawai bank dan lainnya dengan memberikan

fasilitas kredit kepada nasabah akan tetapi tidak memenuhi prosedur yang ada

dalam pemberian kredit dengan cara memalsukan dokumen, jaminan fiktif atau

proyek fiktif maka oknum internal bank tersebut dapat dijatuhi pasal tindak

pidana perbankan. Akan tetapi bila di dalam pemberian fasilitas kredit tersebut

oknum internal bank menerima uang atau barang yang digunakan demi kelancaran

      

61

Marwan effendy, Op.cit, Halaman 86 62

(41)

pemberian fasilitas kredit yang diberikan oleh nasabah dan kemudian terjadi

kredit macet yang menimbulkan kerugian keuangan negara maka hal tersebut

sudah memenuhi delik tindak pidana korupsi.

Berdasarkan dari penjelasan diatas walaupun oknum internal bank sudah bisa

dijatuhkan hukuman dengan tindak pidana perbankan yang tertuang di dalam

pasal 49 UU No. 10 Tahun 1998 akan tetapi didalam penerapannya

Undang-Undang tindak pidana korupsi yang selalu kelihatan digunakan. Hal ini karena

UUTPK dianggap lex spesialis karena korupsi merupakan perbuatan yang

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

14 Saya mernceritakan kepada teman atau kerabat saya bahwa makanan di Cafe Indomie Abang Adek itu enak 15 Saya suka menceritkan hal – hal yang positif tentang.

Hasil penjajaran urutan asam amino penyusun sitrat sintase antar spesies Pseudomonas menunjukkan adanya kemiripan yang tinggi satu dengan lainnya.. Namun, urutan asam

Hal ini disebabkan karena pengeringan menggunakan oven blower memiliki prinsip konveksi dimana perpindahan panas yang disertai dengan zat perantaranya, sedangkan

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

Pada penulisan skripsi ini peramalan saham bertujuan untuk mendapatkan prediksi harga saham secara teknis dari sebuah perusahaan dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Formulate Share Listen Create (FSLC) terhadap kemampuan komunikasi matematis.. Populasi