• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktik Lapang Kondisi Umum Ekos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Praktik Lapang Kondisi Umum Ekos"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KEADAAN UMUM EKOSISTEM LAMUN DI PERAIRAN DESA TANJUNG SEBAUK KECAMATAN TANJUNGPINANG KOTA

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

LAPORAN PRAKTIK LAPANG

Oleh

RAHADATUL ‘AISY

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

(2)

KEADAAN UMUM EKOSISTEM LAMUN DI PERAIRAN DESA TANJUNG SEBAUK KECAMATAN TANJUNGPINANG KOTA

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

LAPORAN PRAKTIK LAPANG

Hasil praktik lapangan ini diajukan untuk memenuhi persyaratan melaksanakan tugas akhir (Skripsi) di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Maritim Raja Ali Haji

Oleh

RAHADATUL ‘AISY NIM. 1302 5424 1023

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan praktik lapang dengan judul Keadaan Umum Ekosistem Lamun di Perairan Desa Tanjung Sebauk Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau.

Laporan praktik lapang ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan Ibu Ita Karlina, S. Pi., M. Si., sebagai Dosen Pembimbing praktik lapangan. Laporan kegiatan ini belumlah sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan penulisan dimasa yang akan datang.

Tanjungpinang, 12 Juni 2016

(5)

DAFTAR ISI

2.2 Siklus Aliran Energi Pada Ekosistem Lamun... ...4

2.3 Deskripsi Bioekologis Lamun... ...5

2.3.1 Lamun (seagrass)... ...5

2.3.2 Klasifikasi Lamun (seagrass)... ...6

2.3.3 Morfologi Lamun (seagrass)... ...6

2.3.4 Ciri Ekologis Lamun (seagrass)... ...9

2.3.5 Peran dan Fungsi Ekosistem Lamun (seagrass)... ...9

2.4 Parameter Lingkungan Perairan... ...10

2.4.1 Parameter Kimia... ...10

2.4.2 Parameter Fisika... ...10

2.4.3 Parameter Biologi ...11

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat ...12

3.2. Alat dan Bahan ...12

3.3. Metode Pengumpulan Data ...14

3.3.1 Data Primer... ...14

3.3.2 Data Sekunder... ...14

3.4 Pengolahan dan Analisis Data ...14

3.4.1 Data Primer... ...14

3.4.2 Data Sekunder... ...14

3.4.3 Parameter Kimia Perairan... ...15

3.4.5 Parameter Fisika Perairan... ...15

(6)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Letak Geografi ... 17

4.2 Demografi ... 18

4.2.1 Penduduk ... 18

4.2.2 Pendidikan ... 18

4.2.3 Mata Pencaharian ... 19

4.2.4 Agama ... 20

4.2.5 Sarana dan Prasarana ... 21

4.3 Keadaan Umum Perairan ... 21

4.3.1 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan ... 21

4.3.2 Sumberdaya Perikanan ... 32

V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37 DAFTAR PUSTAKA

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Bahan yang digunakan untuk PL ...13

2. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin ...18

3. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ...19

4. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ...20

5. Jumlah penduduk berdasarkan agama ...20

6. Sarana dan prasarana ...21

7. Hasil pengukuran parameter fisika perairan ...22

8. Hasil pengukuran parameter kimia perairan ...23

9. Jenis lamun di perairan Desa Tanjung Sebauk ...24

10.Jenis fauna di perairan Desa Tanjung Sebauk ...24

11.Keterkaitan kualitas perairan lamun dibandingkan baku mutu 31

(8)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Gambar Lamun ...41

2. Gambar Fauna Asosiasi ...42

3. Dokumentasi ...43

4. Rincian Anggaran Biaya ...44

5. Jadwal Pelaksanaan ...45

6. Organisasi Praktik Lapang ...46

7. Outline Laporan ...47

(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Tanjungpinang terletak di koordinat 1º5'0” LU dan 104º29'0” BT, tepatnya di Pulau Bintan. Luas wilayah Kota Tanjungpinang mencapai 313,8 bt2. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Tanjungpinang Timur dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Tanjungpinang Barat. Kota Tanjungpinang saat ini terdiri dari 5 pulau selain Pulau Bintan. Kota Tanjungpinang memiliki kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang sangat berlimpah dikarenakan lautan lebih luas dibandingkan daratannya. Hal ini menyebabkan sumberdayanya menjadi beragam yang salah satunya adalah sumberdaya perikanan pada ekosistem lamun.

Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan bagian wilayah Kota Tanjungpinang. Kecamatan Tanjungpinang Kota dibentuk berdasarkan Undang-undang No.5 Tahun 2001, sejalan dengan pembentukan Kota Tanjungpinang dan bagian-bagiannya. Luas wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota mencapai 52,5 km2.

Sekitar pesisir wilayah Desa Tanjung Sebauk sebagian besar ditempati penduduk, sehingga semua aktivitas penduduk berkontak langsung dengan laut dan mengakibatkan kondisi perairan yang terganggu. Keadaan ini akan berdampak pada kondisi perikanan yang ada. Berbagai macam limbah rumah tangga dan rumah makan yang ada akan mempengaruhi kondisi perairan sehingga bisa berdampak pada kondisi perikanan yang ada.

(12)

1.2 Tujuan

Tujuan dari pratik lapang ini adalah :

1. Mengetahui jenis lamun dan fauna asosiasi di Desa Tanjung Sebauk. 2. Mengetahui kondisi perairan fisika dan kimia di Desa Tanjung Sebauk. 3. Mengetahui permasalahan lingkungan yang dihadapi masyarakat di

Desa Tanjung Sebauk.

1.3 Manfaat

(13)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Lamun

Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut, lamun pada kawasan pesisir membentuk hamparan padang lamun yang terdiri dari beberapa jenis lamun (Polyspesifik) atau hanya satu jenis lamun saja yang mendominasi (Monospesifik). Padang lamun tersebut membentuk sebuah ekosistem kompleks dengan beragam biota – biota asosiasi (Alfiansyah, 2014). Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Azkab, 2010), fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berada diperairan sekitarnya, ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium. Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan lamun di dunia telah mengalami degradasi sebesar 54% (Bjork, et all, 2008).

Ekosistem padang lamun memiliki biota – biota asosiasi yang bernilai ekonomis tinggi (Alfiansyah, 2014). Beberapa di antaranya adalah kerang-kerangan (bivalve), keong-keongan (gastropoda), teripang-teripangan (echinodermata), udang, berbagai jenis ikan dan rumput laut (algae).

Dari sekian banyak hewan laut, penyu hijau (Chelonia mydas) dan ikan duyung atau dugong (dugong dugon) adalah dua hewan “pecinta berat” padang

lamun. Boleh dikatakan dua hewan ini amat bergantung pada lamun. Hal ini tak lain karena tumbuhan tersebut merupakan sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu hijau biasanya menyantap jenis lamun Cymodocee, Thalasia, dan

(14)

Menurut Syahid (2014), lamun mempunyai peran di perairan dangkal yang sangat penting sebagai produsen primer, habitat biota, penangkap sedimen, dan pendaur zat hara.

2.2 Siklus Aliran Energi Pada Ekosistem Lamun

Aliran energi dan efisiensinya dialirkan melalui tingkat makanan (trophic levels). Dimana efisiensi pemindahan tersebut sebesar 10%. Hal ini sesuai dengan Hukum Thermodinamika II yang menjelaskan bahwa perilaku energi dalam ekosistem dapat diistilahkan sebagai arus energi, karena transformasi energi berlangsung satu arah dimana arus energi tersebut berkurang pada setiap tahap.

Siklus aliran energi yang terjadi pada ekosistem lamun meliputi siklus dalam proses makan – memakan. Pada rantai makanan (food chain) di ekosistem lamun dimana produsen (penghasil/pembuat makanan) yaitu produsen utama, atau tumbuhan autotrof (penghasil makanan sendiri), sebagai produsen yang meerupakan dasar dari semua rantai makanan. Produsen yang terdapat pada ekosistem lamun adalah lamun, phytoplankton, dan microphytobenthos. Lamun dan produsen lainnya biasa memproduksi hasil metabolisme dari proses fotosintesis yang hasilnya akan dikonsumsi oleh tingkat konsumen pertama yang dihuni oleh organisme seperti: zooplankton, bivalves, gastropods, dan ikan kecil. Beberapa anggota dari Aplysidae dan bulu babi diketahui aktif memakan lamun, tetapi makanan utamanya bukan daun yang hijau (segar) tetapi algae yang berassosiasi dengan lamun. Para organisme ini memanfaatkan dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di lamun untuk menjadi bahan-bahan makanannya.

Untuk konsumen tingkat kedua yaitu ditempati oleh karnivora yang memangsa konsumen tingkat pertama sebagai makanannya, mereka bertindak sebagai predator yang mengkonsumsi moluska, crustacean, dan ikan-ikan kecil.

(15)

nutrien yang diperlukan oleh produsen yang akan membentuk rantai makanan kembali.

Sumber: shifadini.wordpress.com

Gambar 1. Siklus Energi Ekosistem Lamun

2.3 Deskripsi Bioekologis Lamun

2.3.1 Lamun (seagrass)

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizome, daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-uku dimana tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta berakar (Nontji, 2007).

(16)

2.3.2 Klasifikasi Lamun (seagrass)

Menurut ITK-IPB (2007) dalam Septiyadi (2011) di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu:

Hydrocharitacea (9 marga, 35 jenis) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis Thalassia hemprichii tersebar luas di seluruh Indonesia dan tumbuh merambat secara vertikal dari zna intertidal bawah ke zona subtidal, sedangkan

Halophila ovalis juga tersebar dan tumbuh secara vertikal dari zona intertidal dengan kedalaman 20 meter dan tumbuh dengan baik dalam sedimen dasar (Kuirandewa et al (2003) dalam Green & Frederick, 2003 dalam Septiyadi, 2011). Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez,

Genus: Zostera, Phyllospadix, Heterozostera

Sub famili: Posidoniodeae

Genus: Posidonia

Sub famili: Cymodoceoideae

Genus: Halodule, Cymodeceae, Syprongodium, Amphibolis, Thallassodendron

2.3.3 Morfologi Lamun (seagrass)

Secara morfologis, tumbuhan lamun mempunyai bentuk yang hampir sama, terdiri dari akar, batang, dan daun. Daun umumnya memanjang, kecuali jenis

(17)

Sumber: Tuwo, 2011

Gambar 2. Morfologi Lamun

2.3.3.1 Akar

Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti

Halophila dan Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat. Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan

(18)

2.3.3.2 Rhizome dan Batang

Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku dimana tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta berakar.

Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah

herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Kemampuannya untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan T. ciliatum

memiliki energi yang kuat dan dapat hidup berkoloni disepanjang hamparan terumbu karang.

Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun (Laidat, 2014).

2.3.3.3 Daun

Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun

Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata

(19)

daun muda. Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah (Laidat, 2014).

2.3.4 Ciri Ekologis Lamun (seagrass)

Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) dalam Septiyadi (2011) ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain:

1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir

2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang

3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung

4. Sangat bergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan

5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif

6. Mampu hidup di media air asin

7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang biak.

Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) dalam Septiyadi (2011) perbedaan ekologik lamun mempunyai kaitan terhadap berbagai bentuk

pertumbuhan lamun. Misalnya bentuk „Parvozosterid’ dan „Halophilid’ dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasir sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam dan mulai dari laut terbuka sampai estuaria.

2.3.5 Peran dan Fungsi Ekosistem Lamun (seagrass)

(20)

Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, juvenil ikan dan lainnya (Dahuri (2003) dalam Ngangi, 2003 diacu dalam Septiyadi, 2011)

2.4 Parameter Lingkungan Perairan

2.4.1 Parameter Kimia

Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) adalah jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air (ppt). Oksigen terlarut umumnya berasal dari difusi udara melalui permukaan air, aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau tumbuhan air.

Derajat keasaman adalah pH yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut.

2.4.2 Parameter Fisika

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 - 30°C, fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C (Hutomo, 1999).

Salinitas menunjukkan kadar garam pada suatu perairan. Kadar garam merupakan ciri pembeda antara ekosistem air tawar dan air asin.

(21)

Kecepatan arus atau aliran air adalah parameter fisika yang dapat dijadikan pembeda beberapa ekosistem perairan tawar. Perbedaan utama ekosistem lotik dan lentik adalah arus. Pada padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh yang sangat nyata. Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus perairan, dimana mempunyai kemampuan maksimum

menghasilkan “standing crop” pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/det (Dahuri,

2001).

2.4.3 Parameter Biologi

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan untuk hidup terbenam dalam laut yang morfologinya terdiri dari rhizome, daun, dan akar.

(22)

III.METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Praktik lapang ini dilaksanakan pada bulan April 2016 yang berlokasi di Desa Tanjung Sebauk Kecamatan Tanjungpinang Kota, Provinsi Kepulauan Riau. Adapun lokasi praktik lapang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 3. Peta Lokasi Praktik Lapang 3.2 Alat dan Bahan

(23)

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan untuk Praktik Lapang

No Parameter Pengukuran Alat dan

Bahan

Teteskan beberapa sampel air. Kemudian di cek skala salinitasnya pada angka terakhir yang bergerak.

5. Kecepatan Arus Botol dan

Tali

Meletakkan botol pada permukaan air dan memegang ujung tali.

Botol dibiarkan mengapung

mengikuti gerak arus hingga tali menegang sambil dihitung waktunya dengan menggunakan stopwatch.

 Hasil dari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tali

7 Fauna asosiasi Pengamatan

Langsung

Diamati langsung pada lokasi praktik untuk mengetahui jenis

(24)

3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Data Primer

Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah jenis-jenis parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan ekosistem lamun seperti jenis lamun pada perairan Desa Tanjung Sebauk. Kebutuhan data kondisi parameter kimia, dan fisika perairan dan biologi perairan dilakukan dengan metode survei yaitu pengamatan langsung dengan pengambilan contoh lapangan di tiga stasiun sebagai perwakilan dari kondisi perairan.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder didapatkan dari penelusuran berbagai pustaka serta dari instansi terkait seperti dinas kelautan dan perikanan, dan Kantor desa.

3.4 Pengolahan dan Analisis Data

3.4.1 Data Primer

Data primer yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, skema dan gambar. Data tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif setelah ditabulasikan. Data primer merupakan data yang akan diperoleh dari lapangan praktik langsung. Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah jenis-jenis parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan ekosistem lamun dan keadaan kimia, biologi dan fisika lingkungan perairan. Parameter yang berkaitan dengan keadaan padang lamun pada perairan Desa Tanjung Sebauk yaitu parameter keadaan kimia dan fisik lingkungan tersebut yang akan diukur, dan parameter biologi yang berupa mengidentifikasi jenis lamun dan fauna asosiasi.

3.4.2 Data Sekunder

(25)

iklim, curah hujan, topografi, penggunaan lahan, luas pemukiman, tingkat pendidikan, mata pencaharian penduduk, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

3.4.3 Parameter Kimia Perairan

a. Oksigen Terlarut (DO)

Untuk mengukur oksigen terlarut digunakan multi tester dengan menyambung kabel probe DO ke badan multi tester kemudian hidupkan multi tester. Kalibrasi multitester sesuai Standar Oprasional Pemakaian. Setelah itu multitester siap digunakan dengan cara mencelupkan probe ke air untuk mengukur oksigen terlarut.

b. Derajat Keasaman (pH )

Untuk mengukur oksigen terlarut digunakan multi tester dengan menyambung kabel probe pH ke badan multi tester kemudian hidupkan multi tester. Kalibrasi multitester dengan buffer 4 sesuai Standar Oprasional Pemakaian. Setelah itu multitester siap digunakan dengan cara mencelupkan probe ke air untuk mengukur pH. Lihat angka yang tertera di monitor untuk melihat hasil akhirnya.

3.4.4 Parameter Fisika Perairan

a. Suhu

Suhu diukur dengan menggunakan Multi Tester menggunakan Multi Tester dengan menyambung probe suhu ke badan multi tester kemudian hidupkan multi tester. Kalibrasi multitester sesuai Standar Oprasional Pemakaian. Setelah itu multitester siap digunakan dengan cara mencelupkan probe ke air untuk mengukur suhu. Lihat angka yang tertera di monitor untuk melihat hasil akhirnya.

b. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan pada setiap stasiun dengan menggunakan hand refraktometer.

(26)

1. Dengan dikalibrasi dengan menggunakan aquades

2. Di cek skala salinitasnya ( dengan memasukkan beberapa tetes air sample ). Melihat angka terakhir yang bergerak, maka itulah hasil salinitas yang diperoleh, maka salinitasnya akan ditunjukkan pada alat

dengan satuan ‰.

c. Kecepatan Arus

Prosedur kerjanya yaitu botol diikat dengan tali sepanjang 2 meter ke permukaan perairan dan dibiarkan tali botol menegang dengan menggunakan stopwatch. Kemudian diukur dan hasil pengukuran tersebut dinyatakan dalam centimeter/detik (cm/t). Dengan demikian rumus perhitungan kecepatan arus adalah :

Velocity (v) meter / second = jarak (cm) / waktu (s)

3.4.5 Parameter Biologi

a. Lamun

Prosedur kerjanya yaitu lamun diamati secara langsung mulai dari struktur tubuh yang berupa rhizoma, daun dan akar. Pengamatan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi jenis lamun.

b. Fauna Asosiasi

(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Letak Geografi

Wilayah Desa Tanjung Sebauk merupakan bagian dari Kelurahan Senggarang Kecamatan Tanjungpinang Kota. Desa Tanjung Sebauk secara geografis berada pada posisi 104o25‟10”BT – 104o23‟45”BT dan 0o58‟25”LU – 0o59‟44”LU. Secara administrasi Desa Tanjung Sebuk terletak di wilayah Kelurahan Senggarang Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah Desa Tanjung Sebauk secara administratif dibatasi oleh:

Sebelah Utara berbatasan dengan Pemerintah Kabupaten Bintan Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Senggarang Besar Sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Geliga

Sebelah Timur berbatasan dengan Senggarang Pusat

Luas wilayah Desa Tanjung Sebauk yaitu 6 Km2. Luas lahan yang terbagi dalam beberapa peruntukan seperti untuk perladangan, perikanan, pertambangan/galian, fasilitas umum, pemukiman, kegiatan sekolah dan hutan.

(28)

4.2 Demografi

4.2.1 Penduduk

Jumlah penduduk Desa Tanjung Sebauk sampai akhir tahun 2015 mencapai 90 jiwa. Penduduk Desa Tanjung Sebauk berdasarkan data yang diperoleh dari kepala desa sampai akhir 2015 terdiri dari laki-laki berjumlah sebanyak 50 jiwa dan perempuan berjumlah 40 jiwa. Mayoritas suku bangsa yang mendiami desa ini terdiri dari suku asli Melayu, dan suku pendatang seperti Jawa dan Tionghoa. Dan untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat dari tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah (jiwa)

1 Laki-laki 50

2 Perempuan 40

Jumlah 90

Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk

4.2.2 Pendidikan

(29)

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.

No. Lulusan Jumlah (jiwa)

1 Belum Tamat SD 19

2 SD 9

3 SMP 20

4 SMA 25

5 D1-D3/Akademi 9

6 Sarjana (S1) 8

Jumlah 90

Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk

4.2.3 Mata Pencaharian

(30)

Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

1 Tidak bekerja 20

Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk

4.2.4 Agama

Agama merupakan kepercayaan manusia yang di dapat melalui wahyu Tuhan terhadap keberadaan Tuhan dan digunakan sebagai pedoman hidup manusia. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk desa Tanjung Sebauk berdasarkan kepercayaan atau agama yang mereka anut.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No. Agama Jumlah (jiwa)

1 Islam 65

5 Budha 25

Jumlah 90

Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk

(31)

4.2.5 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana merupakan salah satu penunjang bagi kemajuan desa khususnya bagi pembangunan dan pengembangan daerah. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Tanjung Sebauk dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 6. Sarana dan Prasarana

No. Nama Objek Jumlah

1 Masjid 1

2 Mushalla 1

3 TPA/TPQ 1

4 PAUD 1

5 Pos Kamling 1

6 Lapangan Voli 1

7 Lapangan Sepak Bola 1

8 Posyandu 1

9 Sumur Umum 1

10 Pelabuhan Nelayan 1

Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk

4.3 Keadaan Umum Perairan

4.3.1 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan

(32)

Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Perairan

Parameter

Fisika Tanggal

Nilai dan Stasiun

Rata-rata Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore

(33)

Tabel 8. Hasil Pengukuran Parameter Kimia Perairan

Parameter

Kimia Tanggal

Nilai dan Stasiun

Rata-rata Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore

Dari tabel diatas dapat dilihat hasil pengukuran parameter kimia selama praktik lapang. Parameter pH yang terendah pada tanggal 13 April di stasiun II saat pagi dan sore dengan nilai 7, dan yang tertinggi pada tanggal 15 April di stasiun I saat pagi dengan nilai 7,9. Parameter DO yang terendah yaitu 8, dan yang tertinggi yang didapati dengan nilai 8,4.

Grafik 1. Hasil pengukuran kualitas perairan yang telah dirata-ratakan

(34)

salinitas yang telah dirata-ratakan adalah 30,8%0, kecepatan arus yang telah dirata-ratakan 6,6 cm/s, pH yang telah dirata-ratakan adalah 7,6 , dan DO yang telah dirata-ratakan adalah 8,2 mg/L.

Hasil pengamatan parameter biologi yang berupa identifikasi jenis lamun dan fauna asosiasi di lapangan yang diamati pada tanggal 13 April sampai 17 April 2016, maka di dapat beberapa jenis dari lamun dan fauna asosiasi, di sajikan pada tabel 10 dan 11.

Tabel 9. Jenis lamun di perairan Desa Tanjung Sebauk

Famili Spesies

Tabel 10. Jenis Fauna di Perairan Desa Tanjung Sebauk

Nama lokal Spesies

Bintang laut Protoreaster nodulosus

Protoreaster nodosus

Rajungan Syclla serrata

Ikan Pranaesus duodecimalis

Gerres macrosoma

Kerang Polymesoda expansa

Udang Macrobacium sp

4.3.1.1 Suhu perairan

(35)

Suhu perairan untuk Enhalus acoroides

Dharmayanthi (1989) dalam Faiqoh (2006) dalam Hasanah (2014) menemukan bahwa kisaran suhu Enhalus acoroides yang tumbuh di pulau Lima (Serang, Banten) adalah 26-270C. Sedangkan menurut Erftemeijer and Middelburg (1993) dalam Hasanah (2014) Enhalus tumbuh pada temperatur 26,5-32,50C yang pada saat siang hari di perairan dangkal dan pada saat air sedang surut suhu ini dapat mencapai 380C.

Suhu perairan untuk Halophila minor

Sambara (2014) mendapatkan Halophila sp hidup pada kisaran suhu 29 – 32 0

C di Pulau Barrang Lompo.

Suhu perairan untuk Thalassia heprichii

Sambara (2014) mendapatkan Thalassia hemprichii hidup pada kisaran suhu 29 – 32 0C di Pulau Barrang Lompo.

Suhu perairan untuk Syringodium isoetifolium

Hendra (2011) menemukan Syringodium isoetifolium tumbuh pada temperatur 300C di perairan Pulau Barrang Lompo.

Suhu perairan untuk Cymodocea serrulata

(36)

4.3.1.2 Kecepatan arus perairan

Terjadi perbedaan kecepatan arus pada saat pagi dan sore. Hal ini disebabkan oleh tiupan angin dan arus yang tidak menentu sehingga mampu mengubah gerakan air yang berada di permukaan perairan.

Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktifitas padang lamun. Arus tidak memengaruhi penetrasi cahaya, kecuali jika mengangkat sedimen sehingga mengurangi cahaya yang masuk dalam suatu perairan (Moore, 1996). Lamun mempunyai kemampuan maksimal untuk menghasilkan standing crop pada saat kecepatan arus 0,5 m/detik yang masih termasuk kondisi yang baik untuk pertumbuhan lamun (Dahuri et al., 2001 ; Irwanto, 2010; Hasanah 2014).

Kecepatan arus untuk Enhalus acoroides

Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Enhalus acoroides (Sambara, 2014).

Kecepatan arus untuk Halophila minor

Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Halophila sp (Sambara, 2014).

Kecepatan arus untuk Thalassia hemprichii

(37)

Kecepatan arus untuk Syringodium isoetifolium

Kecepatan arus perairan dilokasi penelitian untuk stasiun Syringodium isoetifolium adalah 0,0214 m/s (Hendra, 2011).

Kecepatan arus untuk Cymodocea serrulata

Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Cymodocea sp (Sambara, 2014).

4.3.1.3 Salinitas

Salinitas perairan Desa Tanjung Sebauk berkisar antara 25,5‰ -35,5‰. Hal ini didukung oleh Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40‰. Nilai salinitas yang optimum untuk

lamun adalah 35‰. Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10-30 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis.

Salinitas untuk Enhalus acoroides

Hasil penelitian Lanuru (2011) dalam Hasanah (2014) menyatakan bahwa lamun Enhalus acoroides dapat hidup pada kisaran salinitas antara 28-32 ‰ di Pulau Lae lae, Makassar.

Salinitas untuk Halophila minor

Hasil penelitian Sambara (2014) menemukan pada bentuk vegetatif lamun yang salah satunya adalah Halophila sp hidup pada kisaran salinitas antara 30 -

(38)

Salinitas untuk Thalassia sp

Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 ‰, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 ‰ (Azkab, 1999 dalam Hendra, 2011).

Salinitas untuk Syringodium isoetifolium

Hasil penelitian Hendra (2011) menyatakan bahwa lamun Syringodium isoetifolium dapat hidup pada salinitas 35 ‰ di Pulau Barrang Lompo.

Salinitas untuk Cymodocea serrulata

Hasil penelitian Sambara (2014) menemukan pada bentuk vegetatif lamun yang salah satunya adalah Cymodocea sp hidup pada kisaran salinitas antara 30 -

35‰ di Pulau Barrang Lompo.

4.3.1.4 Oksigen Terlarut

Kandungan oksigen terlarut yang optimum bagi pertumbuhan lamun dan organisme asosiasinya pada suatu perairan adalah lebih dari 5 mg/L (Baku Mutu air laut Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Th. 2004). Rata-rata oksigen terlarut di Desa Tanjung Sebauk adalah 8<x<8,5 yang menandakan oksigen terlarut di lokasi ini termasuk dalam kategori optimum bagi pertumbuhan lamun organisme asosiasinya.

Oksigen Terlarut untuk Enhalus acoroides

(39)

Oksigen Terlarut untuk Halophila minor

Kisaran oksigen terlarut (DO) yang didapatkan di perairan Pulau Mantehage, Sulawesi Utara yang ada pada vegetasi Halophila minor adalah antara 4,19 – 5,99 mg/L (Patty, et al., 2013).

Oksigen Terlarut untuk Thalassia hemprichii

Kisaran oksigen terlarut yang didapatkan di perairan Pulau Bonetambung yang ada pada vegetasi Thalassia hemprichii adalah 3,4 – 5,47 mg/L (Qurahman, 2013).

Oksigen Terlarut untuk Syringodium isoetifolium

Hasil penelitian Hendra (2011) menyatakan bahwa lamun Syringodium isoetifolium dapat hidup pada kandungan DO 4,86 mg/L di Pulau Barrang Lompo.

Oksigen Terlarut untuk Cymodocea serrulata

Hasil penelitian Syahid (2014) menyatakan bahwa lamun Cymodocea sp

dapat hidup pada kandungan DO 7,2 – 7,6 mg/L di Pulau Miangas. 4.3.1.5 Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran kandungan derajat keasaman di perairan Desa Tanjung Sebauk Kecamatan Tanjungpinang Kota Kepulauan Riau adalah 6,9<x<8 yang menandakan bahwa perairan ini memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Menurut Odum (1971) air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas dengan pH relatif stabil sebesar 7,0-8,5. Ini membuktikan bahwa perairan Desa Tanjung Sebauk tergolong stabil berdasarkan pH.

pH perairan untuk Enhalus acoroides

(40)

pH perairan untuk Halophila minor

pH perairan untuk Halophila sp ditemukan pada kisaran nilai 8 (Feryatun, et al. 2012).

pH perairan untuk Thalassia hemprichii

pH perairan untuk Thalassia hemprichii ditemukan pada kisaran nilai 6 – 8 (Feryatun, et al. 2012).

pH perairan untuk Syringodium isoetifolium

pH perairan untuk Syringodium isoetifolium ditemukan pada kisaran nilai 7

– 8 (Feryatun, et al. 2012).

pH perairan untuk Cymodocea serrulata

pH perairan untuk Cymodocea serrulata ditemukan pada kisaran nilai 6 – 8 (Feryatun, et al. 2012).

4.3.1.6 Lamun

Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya bisa berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, Pendukung lain adalah kecerahan perairan yang tinggi, suhu yang stabil, dengan kedalaman sekitar 1 – 10 meter. Pada perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh di kedalaman 8 hingga 15 meter.

4.3.1.7 Fauna Asosiasi Perairan

(41)

4.3.1.8 Keterkaitan Kualitas Perairan dan Lamun

Perairan Desa Tanjung Sebauk merupakan perairan ekosistem lamun masih berada dalam batas toleransi bagi lamun dan biota asosiasi sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan referensi yang mendukung bagi lamun dan biota asosiasinya. Berikut tabel pengukuran kualitas perairan Desa Tanjung Sebauk yang dibandingkan dengan KepMen. LH No. 51 tahun 2004 dan referensi terkait. Tabel 11. Keterkaitan kualitas perairan lamun dibandingkan baku mutu

No. Parameter

Menurut Hutomo (1985) suhu yang

normal untuk pertumbuhan lamun di perairan tropis berkisar antara 24 °C – 35 °C..

2 Salinitas (%0) 30,8 33 – 34

Hutomo (1999), lamun memiliki

kemampuan toleransi yang berbeda

terhadap salinitas, namun sebagian

besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40‰.

3 Kecepatan arus

(cm/s) 6,6 - -

4 pH 7,6 7 – 8,5

Odum (1971) air laut merupakan

sistem penyangga yang sangat luas

dengan pH relatif stabil sebesar 7,0-8,5.

5 DO (mg/L) 8,2 >5

Effendi (2003), perairan yang

mempunyai konsentrasi oksigen

terlarut >5 mg/L merupakan perairan

yang tidak tercemar.

Sumber: *Data Primer

**KepMen. LH no. 51 tahun 2004, tentang baku mutu air laut untuk biota laut

(42)

4.3.2. Sumberdaya Perikanan

4.3.2.1 Kondisi Umum Perikanan

Desa Tanjung Sebauk adalah salah satu Desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah perairan di Desa Tanjung Sebauk banyak dilakukan juga aktivitas nelayan, desa ini juga terdapat Tempat Penjualan Ikan yang bermanfaat bagi perekonomian warga setempat.

4.3.2.2 Perikanan Tangkap

a. Masyarakat Nelayan

Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Desa Tanjung Sebauk diketahui bahwa kegiatan perikanan di desa ini secara umum dilakukan secara turun temurun. Jika dilihat dari jenis usaha penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, maka perikanan di daerah ini termasuk perikanan pantai dan perikanan lepas pantai.

Nelayan yang ada di desa Tanjung Sebauk umumnya merupakan nelayan tetap dimana profesi nelayan dijadikan mata pencaharian utama. Kehidupan masyarakat nelayan desa pengujan tergolong sederhana. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan desa Tanjung Sebauk sebagian kecil untuk dikonsumsi sendiri oleh nelayan atau di jual kepada masyarakat desa. Ikan yang tersisa dibawa langsung ke Tempat Penjualan Ikan. Dalam menjual hasil perikanan yang menentukan harga adalah para pengumpul.

Faktor pendidikan merupakan prioritas utama bagi setiap nelayan karena walaupun aktivitas penangkapan yang mereka lakukan bersifat tradisional, masyarakat nelayan Desa Tanjung Sebauk tetap menjunjung nilai pendidikan. Ini didukung dengan data dari Kepala Desa dimana nelayan desa Tanjung Sebauk rata

(43)

b. Musim tangkap

Nelayan yang ada di Desa Tanjung Sebauk dipengaruhi oleh musim di saat akan melakukan penangkapan. Pada musim angin bertiup dari arah utara angin sangat kencang dan laut berombak besar, sehingga mereka tidak turun untuk melaut.

Biasanya nelayan akan turun melaut pada saat musim timur, karena angin bertiup pelan dan laut relatif tidak berombak. Ada juga musim selatan meskipun angin agak kencang dan laut relatif berombak nelayan masih bisa juga melaut. Ada juga musim barat keadaan angin relatif tidak stabil sehingga terkadang mereka harus turun melaut dan bahkan tidak bisa sama sekali.

c. Alat penangkapan ikan

Alat tangkap merupakan salah satu faktor utama dari beberapa faktor yang akan menentukan keberhasilan suatu usaha perikanan. Dari info yang didapatkan dari Kepala Desa di dapat hasil yaitu alat tangkap yang biasa dipakai oleh masyarakat di Desa Tanjung Sebauk yaitu jaring, kelong, sondong dan bubu.

Alat tangkap yang biasa digunakan di daerah pengujan salah satunya adalah jaring insang. Jaring insang adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Jaring ini disebut jaring insang karena cara tertangkapnya ikan adalah ikan terjerat di bagian insangnya di mata jaring. Ukuran ikan yang tertangkap relatif seragam.

(44)

Kelong merupakan suatu kreasi manusia untuk menangkap ikan, dalam hal ini masyarakat Desa Tanjung Sebauk menggunakan kelong sebagai menangkap ikan bilis/teri.

Selain dari jaring insang, kelong, adalagi bubu yang merupakan salah satu alat tangkap yang di pakai oleh masyarakat desa pengujan alat tangkap ini dikenal pada kalangan masyarakat desa pengujan yang berupa jebakan yang bersifat pasif. Sebagian besar yang digunakan oleh masyarakat Desa Tanjung Sebauk ini adalah bubu kepiting. Cara pengoperasian dengan menurunkan alat dan mengulurkan tali sampai kedalaman tertentu. Adapun hewan yang ditangkap seperti ketam bakau (Scylla serrsts).

Sondong merupakan alat tradisional yang biasa digunakan oleh masyarakat Desa Tanjung Sebauk untuk menangkap udang. Mereka biasa memakai alat sondong ini pada saat air laut sedang mau surut hongga mau pasang. Alat ini digunakan dengan cara di dorong agar udang bisa masuk kedalam alat sondong ini. Biasanya mereka bisa mendapatkan hasil tangkapannya berupa udang.

Peningkatan produksi perikanan tidak terlepas dari tersedianya kapal perikanan, operasi penangkapan pada areal yang luas dan keterampilan dari nelayan itu sendiri. Armada perikanan yang ada di desa Tanjung Sebauk berdasarkan data yang diperoleh dari Kepala Desa serta berdasarkan hasil observasi langsung ke lapangan adalah perahu motor dan perahu tanpa motor.

Armada penangkapan didesa Tanjung Sebauk sudah tergolong menuju modern karena dapat dilihat sebagian besar nelayan menggunakan perahu motor untuk menangkap ikan. Hal ini karena nelayan setempat memikirkan waktu yang ditempuh dengan perahu motor akan lebih cepat sehingga waktu penangkapan ikan lebih banyak.

(45)

karena melihat dari keadaan nelayan yang lebih sering melaut dan tidak adanya ketenagakerjaan yang bisa berbudidaya.

Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di Desa Tanjung Sebauk dijual ke Tempat Penjualan Ikan Desa Tanjung Sebauk. Ada juga hasil tangkapan yang dikonsumsi sendiri oleh nelayan. Dalam menjual hasil perikanan yang menentukan harga adalah para pengumpul, jadi nelayan memperoleh hasil tangkapan dari pengumpulnya masing-masing.

Desa Tanjung Sebauk memliki hasil perikanan yang bervariasi contohnya seperti ikan selar, dingkis, sembilang, dan lain – lain. Sedangkan satuan harga jual yaitu per kilogram untuk lebih jelasnya di lihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis Hasil Tangkapan

No. Jenis Ikan Harga (Rp/kg)

1 Ikan selar (Selaroides sp) Rp. 35.000,- 2 Ikan kembung (Rastrelliger branchysoma) Rp. 30.000,- 3 Ikan dingkis (Siganus canaliculatus) Rp. 20.000,- 4 Ikan bilis kasar (Stolephorus commersoni) Rp. 90.000,- 5 Ikan bilis halus (Stolephorus sp) Rp. 95.000,- 6. Ikan sembilang (Plotosus sp) Rp. 20.000,-

Harga ikan di atas dapat berubah pada saat – saat tertentu. Sesuai dengan musim ikan. Jika pada musim timur harga ikan dapat menjadi lebih murah namun sebaliknya pada saat angin tak menentu harga ikan bisa menjadi lebih mahal.

d. Isu Permasalahan

(46)

Isu permasalahan :

1. Tidak adanya peraturan penangkapan ikan dari ukuran kecil sampai besar, yang sesuai dengan peraturan perikanan tangkap.

2. Penangkapan ikan masih bersekala sedang dengan menggunakan sampan bermotor. Jika hanya diarea itu saja sebagai area penangkapan maka stok ikan akan berkurang, karena masih belum ada peraturan ukuran penangkapan ikan.

(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktik lapang yang dilakukan pada ekosistem lamun Desa Tanjung Sebauk, maka didapatkan kesimpulan diantaranya:

1. Hasil pengukuran kualitas perairan pada ekosistem lamun Desa Tanjung Sebauk sangat mendukung untuk kehidupan dan pertumbuhan biota laut pada ekosistem tersebut sesuai standar yang ditentukan karena nilai kualitas perairan masih dalam ambang batas kewajaran dan toleransi untuk biota laut tersebut.

2. Ditemui 5 jenis lamun dan 7 jenis fauna asosiasi yang berada pada ekosisem lamun Desa Tanjung Sebauk.

3. Kegiatan masyarakat Desa Tanjung Sebauk yang sehari-hari menangkap ikan hanya di sekitar desa secara terus-menerus akan membuat stok ikan di daerah tersebut berkurang karena tidak adanya peraturan penangkapan ikan yang sesuai dengan perikanan tangkap.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil praktik lapang maka saran yang diberikan perlu adanya : 1. Perlu diberlakukan peraturan penangkapan ikan sesuai dengan

undang-undang perikanan tangkap.

2. Perlu dilakukan penangkapan ikan di lokasi lain untuk menghindari pengurangan stok ikan di lokasi Desa Tanjung Sebauk dan konservasi sumberdaya laut bagi pengguna perikanan supaya menjaga kelestarian sumberdaya yang ada.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Alfiansyah, A. 2014. Struktur Komunitas Bivalvia Pada Kawasan Padang Lamun di Perairan Teluk Dalam. Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Hal (3) dari 12 hal.

Azkab, H, M. 2010. Bahan Ajar Tentang Lamun. Lembaga Penelitian Oseanografi-LIPI: Jakarta.

Baku Mutu air laut Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Th. 2004

Bengen, G.,D. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB: Bogor. 61 hal.

Bjork, Uku, Weil, McLeod and Beer. 1999. Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical intertidal seagrass. Marine Ecology Progress Science, 191p :121-126.

Dahuri, R., 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT . Pradnya Paramita: Jakarta. Hal 11.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius: Yogyakarta.

Feryatun F, Hendrarto B, Widyorini N. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Riau. Journal of Management of Aquatic Resources. Hal 6 dari 7 hal.

Hasanah. 2014. Efek Umur Semaian Lamun Enhalus acoroides Terhadap Pertumbuhan dan Sintasannya Saat ditanam di Pulau Barranglompo. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hassanudin. Makassar. Hal 22.

Hendra. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Biomassa Daun Lamun Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hassanudin. Makassar. Hal 43-44 dari 81 hal.

(49)

Hutomo, M., 1999. Proses Peningkatan Nutrient Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Lamun-LIPI: Jakarta. Hal 79-95.

Laidat, A., Y. 2014. Botani Lamun. Makalah Botani Laut. Fakultas Sains dan Teknik. Universitas Nusa Cendana Kupang. Hal (6-7) dari 18 hal.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara Edisi Revisi-Djambatan Jakarta: Jakarta. 368 hal. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. W.E Saunders, Philadelphia. 574p. Patty SI., Rifai H. 2013. Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Pulau

Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 1:(4), September 2013. ISSN: 2302-3589. Hal 6 dari 10 hal.

Pramanda. 2009. http:Lamun/dta%20lmun/persebaran-padang-lamun.html. diakses tanggal 4 Januari 2016.

Qurahman, T. 2013. Studi Densitas Terhadap Biomassa Daun Lamun Thalassia hemprichii dengan Enhalus acoroides pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau Bonetambung, Kota Makassar. Skripsi. Makassar. Universitas Hassanudin. Hal 48 dari 77 hal.

Sambara, Z.R. 2014. Laju Penalaran Rhizoma Lamun yang Ditranplantasi Secara Multispesies di Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Makassar. Universitas Hassanudin. Hal (58-59) dari 79 hal.

Septiyadi, A. 2011. Pengaruh Material Lamun Buatan Terhadap Keanekaragaman dan Kelimpahan Crustacea di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Skripsi: Jakarta. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Hal (18-24) dari 104 hal.

Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia: Jakarta. Hal (156) dari 246 hal.

Syahid, S. 2014. Pengamatan Kerapatan Lamun di Pulau Miangas Kecamatan Khusus Miangas. Laporan Praktek Kerja Lapang. Universitas Hasanuddin. Hal (4-8) dari 36 hal.

Tuwo, H.A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brillian Internasional. Sidoarjo. Hal (191-196) dari 412 hal.

(50)
(51)
(52)
(53)
(54)

RINCIAN ANGGARAN BIAYA

No Kegiatan Biaya

1. Biaya Penyusunan Laporan

a. Pengetikan Laporan Rp. 50.000,-

b. Kertas kuarto, Map dan Alat Tulis Rp. 100.000,-

c. Pencetakan Laporan Rp. 100.000,-

d. Penjilidan dan Perbanyak Rp. 250.000,-

2. Biaya Pelaksanaan Penelitian

a. Transportasi Rp. 250.000,-

b. Dokumentasi Rp. 50.000,-

c. Akomodasi Selama Survei Rp. 350.000,-

Total Rp. 1.150.000,-

(55)

JADWAL PELAKSANAAN

NO KEGIATAN

BULAN

MARET APRIL MEI

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Persiapan

2

Pengajuan Proposal Usulan PL

3 Pelaksanaan PL

4

(56)

ORGANISASI PRAKTEK LAPANGAN

1. Pelaksana Kegiatan

Nama : Rahadatul „Aisy

NIM : 130254241023

Prodi : Ilmu Kelautan Alamat Rumah : Jalan Riau 19 No Hp : 0831-8460-4775

2. Dosen Pembimbing

Nama : Ita Karlina, S.Pi., M.Si

NIDN : 0028098602

(57)

OUTLINE LAPORAN

2.2 Siklus Aliran Energi Pada Ekosistem Lamun 2.3 Deskripsi Bioekologis Lamun

2.3.1 Lamun (seagrass)

2.3.2 Klasifikasi Lamun (seagrass)

2.3.3 Morfologi Lamun (seagrass)

2.3.4 Ciri Ekologis Lamun (seagrass)

2.3.5 Peran dan Fungsi Ekosistem Lamun (seagrass)

(58)

6.4.Pengolahan dan Analisis Data 3.4.1 Data Primer

3.4.2 Data Sekunder

3.4.3 Parameter Kimia Perairan 3.4.5 Parameter Fisika Perairan 3.4.6 Parameter Biologi

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Letak Geografi ...

4.2 Demografi ...

4.2.1 Penduduk ...

4.2.2 Pendidikan ...

4.2.3 Mata Pencaharian ...

4.2.4 Agama ...

4.2.5 Sarana dan Prasarana

4.3 Keadaan Umum Perairan ...

4.3.1 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan ...

4.3.2 Sumberdaya Perikanan ...

V.KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...

5.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA

Gambar

Gambar 1. Siklus Energi Ekosistem Lamun
Gambar 2. Morfologi Lamun
Gambar 3. Peta Lokasi Praktik Lapang
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang telah dilakukan penulis ini menunjukkan bahwa pendiri komunitas AEC memiliki kecintaan terhadap budaya lokal sunda, karena bendo juga sebagai wujud

Berbagai hotel atau penginapan syariah dan non syariah di obyek wisata Telaga Sarangan terdapat 18 hotel yang tidak efisien, hal ini ditunjukkan dengan TE

Kemudian dari segi keamanan dan kenyamanan, pasien yang diterapi dengan ESWL pada umumnya tidak memerlukan obat bius atau penahan sakit saat terapi dilakukan,

Pada table ini juga menunjukkan bahwa komposisi BSK yang paling banyak adalah kalsium oksalat yang ditemukan pada semua penderita laki-laki maupun perempuan

 Guru bersama dengan peserta didik membuat simpulan kegiatan Guru bersama dengan peserta didik membuat simpulan

Untuk mengevaluasi kinerja dosen dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah, maka dilakukan penyebaran kuesioner yang harus diisi mahasiswa serta pemberian kritik dan saran

Strategi guru dalam membelajarkan matematika pada materi lingkaran kepada anak tunagrahita di SLB Muhammadiyah Cepu adalah strategi guru dalam membelajarkan

Gambar 11 : Subordinate Pass Proses 2 Semua tahap tersebut dari melakukan level dekomposisi DWT untuk transformasi citranya yang berguna menampilkan nilai citra