• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pajak Daerah Dalam Perspektif Desentrali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pajak Daerah Dalam Perspektif Desentrali"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KERTAS KERJA

PAJAK DAERAH

DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI FISKAL DAN FUNGSI PAJAK

Oleh Bilal Dewansyah

Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran Bandung

(2)

BAB I dengan UU No. 18 Tahun 1997 dan perubahan pertamanya (UU No. 34 Tahun 2000), UU No. 28 Tahun 2009, mengatur jenis pajak daerah sistem daftar tertutup3. Artinya, daerah tidak dapat memungut pajak daerah selain yang ditentukan dalam UU tersebut.

UU No. 28 Tahun 2009 juga menambahkan jenis pajak daerah baru, masing –masing 1

untuk provinsi (pajak rokok) dan 3 untuk kabupaten/ kota (pajak sarang burung wallet, PBB pedesan dan perkotaan serta BPHTB).4 Sebelumnya, semua PBB, termasuk PBB pedesaan dan perkotaan menjadi kewenangan pusat, BPHTB. Walaupun tidak semua jenis PBB diberikan kewenangan kepada daerah, namun hal ini merupakan satu kemajuan dalam hal kewenangan daerah memungut pajak. Padahal jika dibandingkan dengan negara-negara asia tenggara lainnya, seperti Filipina, Thailand, Malaysia PBB atau secara umum dikenal sebagai property tax sudah diberikan kewenangannya kepada daerah sejak lama.5

1 RUU Pajak da Retri usi Daerah Disahka Jadi UU ,

Media Indonesia, Selasa, 18 Agustus 2009, http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU, diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.

2

Lihat Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009. 3

(3)

Pungutan atas usaha rokok sebelumnya, hanya dikenal pungutan cukai rokok, sementara dalam UU No. 28 Tahun 2009, selain cukai rokok yang menjadi kewenangan provinsi, cukai rokok pun tetap diberlakukan dan tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pajak rokok sebagai pajak daerah baru ditentukan untuk dipungut instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok.6 Pajak rokok ini baru berlaku 1 Januari 2014.7

Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokok yang ditetapkan pemetintah terhadap rokok dan tarif pajak rokok ditentukan sebesar 10% dari cukai rokok.8 Hasil penerimaan pajak tersebut juga merupakan objek pembagian antara kabupaten/ kota dan provinsi. Hasil penerimaan pajak tersebut sebesar 70% dialokasikan untuk kabupaten/kota9, sehingga provinsi menerima sisanya (30%). Sementara itu, pajak sarang burung walet merupakan pajak daerah yang dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya tersebut dengan tarif maksimal 10 %.10

Selain penambahan jenis pajak baru, UU No. 28 Tahun 2009 juga mengubah beberapa pengaturan pajak daerah yang sebelumnya telah ada dalam UU sebelumnya.

Pertama, pajak kendaraan bermotor menggunakan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya dengan tarif 2% sampai maksimal 10% di mana ketentuan progresivitasnya ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama ditetapkan tariff minimal 1% dan maksimal 2%.11 Kedua, tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan maksimal 10%12, namun tarif pajak untuk kendaraan umum dapat ditentukan 50% lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi.13 Bila terjadi kenaikan harga tinggi

Larry “ hroeder, Fis al De e tralizatio i “outh East Asia , Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003, hlm. 392, 393, 402, 405.

6

Pasal19 ayat(1) UU No. 28 Tahun 2009. 13

(4)

atas BBM, pemerintah pusat dapat mengubah besaran tarif Perda melalui Perpres.14 Ketiga, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang semula merupakan kewenangan Provinsi, digantikan istilahnya dengan pajak pengambilan dan pemanfatan air tanah dan air permukaan. Tidak sekedar menggantikan nomenklatur, UU tersebut juga menentukan bahwa pajak air tanah menjadi pajak daerah kabupaten/kota, sementara pajak air permukaan menjadi pajak daerah provinsi,15 dan air permukaan yang hanya di satu kabupaten/kota berlaku aturan khusus.16 Keempat, ada beberapa jenis pajak daerah yang sudah ada, basis pajaknya (tax base) diperluas, yaitu, Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah,17 Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel,18 Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering.19 Kelima, ada beberapa jenis pajak yang hasil penerimaan ditentukan penggunaannya, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (minimal 10% dari hasi penerimaan pajak ini untuk belanja infrastruktur jalan (pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan) serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum di daerahnya)20; Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang21; dan Pajak Penerangan Jalan juga sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.22

14 Pasal19 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009. 15

Lihat Pasal 2 ayat(1) huruf d, dan Pasal 2 ayat (2) huruf h UU No. 28 Tahun 2009. 16

Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). Lihat Pasal 94 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009.

17

Tarif pajak Kendaraan pemerintah (termasuk TNI/POLRI, dan Pemerintah Daerah) bersama Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Perda, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% dan paling tinggi sebesar 1%. Lihat Pasal 6 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009.

18

Pengertian hotel menjadi diperluas menjadi: fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Lihat Pasal 1 angka 21 UU No. 28 Tahun 2009.

19

(5)

Berdasarkan UU tersebut, ditentukan 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/ kota. Jumlah jenis pajak daerah tersebut lebih banyak dibandingkan pada masa UU sebelumnya.23 Alasan pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 melakukan pembaruan pajak daerah, karena:

“Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan….. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi”.24

Alasan di atas lebih menunjukkan bahwa tujuan pembentukan UU No. 28 Tahun 2009 adalah untuk memperbesar kemampuan keuangan daerah dari pendapatan pajak daerah. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap transfer dana dari pusat melalui mekanisme perimbangan keuangan. Hal tersebut menunjukkan fungsi budgeter dari pajak daerah.25 Namun demikian, pajak tidak hanya memiliki fungsi budgeter, tetapi juga fungsi mengatur, yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.26

23 Pada masa UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 terdapat 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 jenis

Pajak provinsi dan 7 jenis Pajak kabupaten/kota. 24

Penjelasan Umum paragraf 8 UU No. 28 Tahun 2009. 25

Menurut Rochmat Soemitro, fungsi budgeter, yaitu fungsi yang letaknya di sektor publik dan pajak di sini merupakan suatu alat atau sumber mendapatkan dana dari masyarakat untuk dimasukkan ke dalam kas negara. Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, 1982, hlm. 9.

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas sebagai berikut: 1. apakah dengan penambahan jenis-jenis pajak baru, penyesuaian tarif pajak,

restrukturisasi jenis-jenis pajak daerah yang telah ada, daerah lebih memiliki otonomi pendapat dalam konteks desentralisasi fiscal?

(7)

BAB II

TEORI DESENTRALISASI FISKAL DAN FUNGSI PAJAK

A. Desentralisasi Fiskal

Bahcrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat27. Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih luas dari sekedar pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam perspektif ilmu ekonomi, desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran – ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue (penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan kewenangan daerah.

Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu dikaitkan dengan persoalan efisiensi, misalnya Oates (1993) mengatakan bahwa peningkatan efisiensi ekonomi merupakan dasar ekonomis dari desentralisasi.28 Teori keuangan negara melekatkan desentralisasi dalam rangka mencapai efisiensi pada dua pelaku: konsumen dan produsen.29 Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang sesuai dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari aspek produsen didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan ketika sejumlah pengeluaran yang sama dapat menghasilkan barang dan jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang

27

Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002, hlm 26.

28 Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The

Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003,hlm. 13.

29

(8)

lebih baik, atau ketika sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih rendah.30

Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah yang sentralistik.31 Padahal, sepeti dikatakan oleh Bagir Manan bahwa hakikat dari otonomi yang merupakan wujud desentralisasi adalah kemandirian walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang merdeka.32 Otonomi juga berkaitan dengan gagasan demokrasi di mana masyarakat daerah berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Seperti dikatakan oleh Moh. Hatta, bahwa:

”[M]enurut dasar kedualatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, di daerah...jadi, bukan saja persekutuan yang besar, rakyat semuanya, mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri melainkan juga tiap-tiap bagian dari negeri atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiao tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlainan”.33

Dalam konteks desentralisasi fiskal, pendapat di atas sejalan dengan pendapat Roy Bahl yang mengatakan, bahwa ”as a working definition, fiscal decentralization as ”the

empowerment of people by fiscal empowerment of their local govenment” (pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan fiskal dari pemerintah daerahnya).34 Artinya, efisiensi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem desentralisasi, hanya memungkinkan jika terdapat kebebasan berotonomi, karena otonomilah ujung tombak usaha

30

Ibid.,hlm. 14.

31

Misalnya, untuk kasus Indonesia dalam fase awal desentralisasi fiskal (2001-masa efektif pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999), dikatakan oleh Joko mengutip pendapat Benyamin Hoesein

bahwa “Pola pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang semula bersifat sentralistik di masa Orde Baru yang diterjemahkan melalui Undang – Undang No 5 tahun 1974, telah dirubah dalam suatu pola hubungan yang lebih bersifat desentralisasi, dimanifestasikan melalui dasar hukum Undang - Undang No 22 tahun 1999 serta Undang – Undang No 25 tahun 1999. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah, dari “structural efficiency

model“ yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal dirubah menjadi local democracy model dengan penekanan pada nilai-nilai demokrasi dan keberagaman di dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal”. (cetak tebal oleh Tim Peneliti). Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”, makalah, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 1.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009.

32

Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit, hlm. 26.

33 Bagir Manan, Hubungan Antara…., op.cit, hlm. 33. 34

(9)

mewujudkan kesejahteraan tersebut.35 Hal ini sejalan dengan pendapat Bahcrul Elmi, bahwa :

”...salah satu makna dari desentralisasi fiskal dalam bentuk otonomi, penerimaan otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses mengintensifkan peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.36

Desentralisasi fiskal dapat menjadi salah satu ukuran keberhasilan otonomi. Pola dan ukuran dalam desentralisasi fiskal akan mencerminkan derajat otonomi yang dimiliki daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Bird (1986), bahwa:

”...a decentralization measure is the autonomy or power of decision making of regional government. In this context, a fiscal decentralization measure should be able to quantify the amount of independent decesion - making power (or discretion) in the provision of

public services at different level of government”.37

Anwar Shah mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal mencakup (1) the assignment of services responsibilities (penetapan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan), (2) assignment of local government revenue raising authority (penetapan kewenangan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan), dan (3) design of intergovernmental transfer system (desain sistem transfer antar susunan pemerintahan).38

Penetapan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan dibutuhkan agar tidak terjadi hasil yang tidak efektif ketika ada satu susunan pemerintahan atau lebih menyediakan pelayanan yang sama atau ketika satu susunan pemerintahan gagal menyediakan pelayanan dengan harapan, akan disediakan oleh susunan pemerintahan lainnya.39

Sementara itu, kewenangan untuk meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai belanja daerah, biasanya diperoleh dengan dua cara, yaitu pendapatan yang diperoleh oleh daerah sendiri (pendapatan asli- pen) dan transfer dana dari pemerintahan tingkat yang lain

35

Ibid.

36Ibid.

37 Dikutip dari Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization

and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm.`12.

38Anwar Shah, “The Reform of Intergovenmental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economy”,

World Bank Policy and Research Series No.23, The World Bank, Washington DC, 1994, sebagimana dikutip dalam Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, PrAcademic Press, 2003, hlm. 388.

39

(10)

(pinjaman daerah juga merupakan sumber pendapatan daerah lainnya yang harus dibayar kemudian dengan pendapatan asli atau transfer dana).40 Masalah yang umumnya dihadapi adalah kewenangan daerah yang sangat terbatas untuk dapat meningkatkan pendapatan asli (own revenue), misalnya melalui pajak daerah atau retribusi.41 Bahkan dengan kewenangan atas jenis-jenis pajak terbatas, daerah hanya memiliki otonomi dalam menentukan tarif pajak dan batas yang telah ditentukan (to rate setting within the limit).42 Dalam hal ini, adanya intergovernental fiscal transfer menjadi mekanisme yang diharapkan dapat menciptakan horizontal equity (kesamaan horizontal) antara susunan pemerintahan daerah.43 Hal tersebut (bersama keterbatasan pendapatan asli daerah), harus menjadi bagian dari desain transfer dana antara tingkatan pemerintahan.

Desentralisasi fiskal bagaimana pun kebijakannya harus dikaitkan dengan upaya membangun kemandirian daerah untuk membiayai urusan pemerintahannya baik dalam hal pendapatan daerah (termasuk alternatif lainnya) maupun kewenangan untuk membelanjakan pendapatan tersebut. Dalam hal ini, Shah menegaskan komponen desentralisasi fiskal yang menjadi ukuran keberhasilan desentralisasi fiskal, yaitu (a) revenue autonomy and adequacy (otonomi dan kecukupan pendapatan); (b) expenditure autonomy (otonomi dalam pengeluaran/ belanja) dan; (c) borrowing privileges (keleluasaan

untuk melakukan pinjaman).44 Terpenuhinya ukuran-ukuran tersebut merupakan kunci keberhasilan dari desentralisasi fiskal.

Prinsip otonomi dalam pendapatan artinya sejauh mana daerah memiliki sumber-sumber pendapatan yang merupakan pendapatan asli daerah. Dalam literatur, otonomi pendapatan secara dominan diukur dari kewenangan daerah memungut pajak.45 Artinya,

40Ibid. 41

Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004, hlm. 18.

42Ibid., hlm. 18 19. 43

Larry Schroeder, op.cit., hlm. 389.

44 Anwar Shah, Theresa Thompson, Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with

Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004, hlm. 8.

45

(11)

ukuran suatu daerah memiliki otonomi dalam pendapatan adalah seberapa besar kewenangan untuk memungut pajak daerah atau pungutan lain, termasuk dalam menentukan tarifnya. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa:

On the revenue side, this requires that subnational governments have the authority to own-finance locally provided services at the margin. More complete revenue autonomy requires a minimum of authority to set tax rates and an assignment of at least one significant tax source.46

Sementara itu, prinsip otonomi dalam pengeluaran artinya daerah memiliki keleluasaan untuk membelanjakan, termasuk menentukan prioritas-prioritas belanja daerah atas pendapatan daerah yang dimiliki. Dalam hal ini, prinsip otonomi pengeluaran berkaitan dengan alokasi penerimaan daerah dalam anggaran belanja daerah. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa: ”this requires subnational budget flexibility to decide – within limits

expenditure priorities and the choice of both the output mix and techniques of production”.47 Prinsip-prinsip tersebut akan terlihat dalam pengaturan sumber-sumber penerimaan pemerintahan daerah untuk memenuhi belanja daerah.

2. Fungsi Pajak

Menurut Rochmat Soemitro, terdapat dua fungsi pajak,yaitu: 48

1. Fungsi budgetair (budgeter), yaitu fungsi yang letaknya di sektor publik dan pajak di sini merupakan suatu alat atau sumber mendapatkan dana dari masyarakat untuk dimasukkan ke dalam kas negara.

2. Fungsi mengatur atau reguleren yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

Sindian Isa Djajadiningrat, mengutip pendapat Smeets, juga menekankan bahwa pajak dalam masa sekarang tidak hanya untuk mengisi kas negara (budgetaire functie), melainkan harus pula “mengatur” (regulerende functie).49

decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006, hlm. 663.

46 Norris, loc.cit. 47

Ibid.

48

(12)

Sebelumnya, ada juga pakar yang menambahkan fungsi lain dari pajak selain dua fungsi di atas. Adriani atau Mann, misalnya, menambahkan pemerataan ekonomi atau redistribusi sebagai salah satu fungsi pajak.50 Namun demikian, menurut Sindian Isa Djajadiningrat, fungsi redistribusi termasuk dalam fungsi mengatur.51

Sebelum tahun 1880, fungsi pajak yang lebih diutamakan adalah fungsi budgeter. Dalam konteks tersebut, pajak hanya semata-semata untuk mengusi kas negara, bahkan harus netral dalam arti tidak boleh membawa akibat-akibat sosial atau ekonomi.52 Dalam perkembangannya, muncul fungsi mengatur dari pajak. Bahkan Lerner dan Kreuniet berpendapat bahwa justru karena fungsi mengatur dari pajak adalah demikian luasnya, maka fungsi budgeter tidak diperlukan lagi, karena untuk itu Pemerintah selaku dapat meminjam uang atau mencetaknya.53

Dalam konteks kebijakan fiskal (fiscal policy), pendapat Soemitro Djojohadikoesoemo menengahi kedua pandangan di atas. Menurut Soemitro, fiscal policy sebagai suatu alat pembangunan harus mempunyai tujuan yang simultan, yaitu secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment, dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah sektor-sektor yang produktif, sekaligus digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan atau yang “mubazir” dalam berbagai bentuknya.54 Tujuan menemukan dana-dana yang digunakan untuk public investment di atas merupakan fungsi budgeter dari pajak, sementara mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan merupakan fungsi mengatur dari pajak. Dengan demikian, kedua-duanya sama pentingnya, dan harus dilakukan secara simultan (bersamaan). Artinya, pajak dapat mencapai tujuannya jika kedua fungsi tersebut tidak ditekan salah satunya, melainkan suatu kesatuan yang saling mendukung.

49 Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, Eresco, Bandung, 1965, hlm. 16.

50

(13)

Bohari menggambarkan beberapa bidang dalam konteks fungsi mengatur dari pajak, antara lain dalam bidang ekonomi, moneter, sosial, dan budaya.55 Dalam bidang ekonomi, pemberian tax holiday untuk menarik para investor asing merupakan salah satu contoh fungsi mengatur, sementara dalam bidang moneter dicontohkan pengampunan terhadap pengusutan fiskal wajib pajak tahun sebelumnya agar uang panas” yang belum terjangkau oleh aparat perpajakan dapat dimunculkan. Sementara itu, dalam bidang sosial, Bohari mencontohkan penerapan pajak barang mewah yang tinggi untuk mencegah gangguan sosial agar terjadi redistribusi pendapatan, dan dalam bidang budaya, fungsi mengatur dicontohkan dalam hal penghapusan pajak bagi para pengarang (penulis), agar lebih banyak buku yang terbit.

55

(14)

BAB III

PAJAK DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 DALAM

PERSPEKTIF DESENTRALISASI FISKAL DIKAITKAN DENGAN FUNGSI PAJAK

A. Pajak Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal

Dalam konteks desentralisasi fiskal, pengaturan pajak daerah dalam UU No. 28 Tahun 2009 tampaknya menjawab kritik-kritik terhadap UU sebelumnya yang dianggap tidak memberikan kecukupan sumber pendapatan asli daerah, terutama dari sektor pajak daerah. Roy Bahl, misalnya, mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, hasil yang terlihat adalah terlalu besarnya desentralisasi pengeluaran (expenditure decentralization)56. Bahl mengutip Fengler dan Hofman, menegaskan bahwa, desentralisasi di Indonesia dapat dikatakan sebagai a very successful decentralization that was comprehensive (suatu desentralisasi yang berhasil secaral komprehensif, namun kegagalan untuk mengatur masalah pajak daerah sampai saat ini menjadi tantangan yang belum terselesaikan.57 Tingginya desentralisasi pengeluaraan atau dalam istilah Shah, otonomi pengeluaran, dapat dilihat dari besarnya pengeluaran daerah dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD)58, sehingga daerah sangat bergantung pada transfer dana dari pusat59 (dana perimbangan), baik berupa DAU, DBH, maupun DAK. Daerah pun secara bebas dapat menggunakan dana-dana tersebut tanpa ditentukan peruntukannya, kecuali DBH sektor minyak dan gas, dan DAK yang ditentukan peruntukannya (ear marked).60 Sementara itu, dalam konteks rendahnya otonomi pendapatan, dalam konteks PAD dari pajak daerah, dapat dilihat dari kebijakan pajak yang tidak memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur kebijakan pajaknya

56

Roy Bahl, op.cit., hlm. 17. 57

Ibid., hlm. 20- 21.

58 Di tingkat kabupaten/ kota kontribusi PAD hanya menyumbang kurang dari 10% terhadap APBD. Tjip Ismail,

Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007, hlm. 263. 59

Ibid. 60

(15)

sesuai dengan kondisi dan kemampuan masyarakatnya.61 Pajak daerah dalam UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 lebih menekankan pada keseragaman antar daerah, dalam bentuk kewenangan memungut pajak tertentu (positive list) yang basis pajaknya/ objeknya telah ditetapkan dalam undang-undang.62

Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 telah memberikan harapan baru bagi daerah untuk memperbesar PAD-nya dari sektor pajak daerah, dengan adanya beberapa pajak daerah baru, pengaturan tentang tariff yang dianggap lebih disesuaikan dengan kondisi daerah. Namun demikian, dengan sistem penetapan jenis pajak daerah yang bersifat tertutup, apakah daerah masih memiliki otonomi pendapatan?

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa pengaturan pajak daerah dalam UU No. 28 Tahun 2009 ditujukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dari potensi yang ada di daerahnya sehingga daerah lebih akuntabel dan tidak terlalu bergantung pada dana perimbangan. Hal tersebut diakukan dengan memperluas basis pajak, baik ditetapkan pajak daerah baru maupun dengan perluasan objek pajak yang sudah ada. Namun demikian, dari jenis pajak daerah baru tersebut, hanya pajak rokok yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap PAD dengan tarif 10% dari cukai nasional dan sebagian lagi dari pajak hiburan yang dapat mencapai tariff maksium 75 % untuk hiburan-hiburan tertentu.63 Sementara itu, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(BPHTB) sebenarnya bukan pajak baru, karena hal tersebut merupakan pajak pusat yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada daerah sebagai dana bagi hasil(DBH) dari sektor pajak.64 Sementara itu, Pajak Sarang Burung Walet dipungut

61

Ibid., hlm. 264. 62

Ibid.

63 Hiburan tertentu yang dimaksud adalah Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan,

diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa. Lihat Pasal 45 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009.

64

(16)

bagi daerah-daerah yang memiliki potensi ini. Artinya, tidak semua daerah dapat memungut pajak daerah tersebut, karena tidak setiap daerah memiliki potensi sarang burung walet.

Perluasan objek pajak daerah, misalnya untuk pajak hotel dan restoran sebenarnya juga bukan hal baru. Beberapa daerah juga telah menetapkan jenis pajak daerah di luar UU No. 34 Tahun 2000, yang menyerupai perluasan objek pajak tersebut, misalnya pajak rumah kos di Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, perluasan objek pajak tersebut sebenarnya hanya mengambil dan mengukuhkan secara nasional pajak-pajak daerah yang sebelum telah dipungut di beberapa daerah.

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tarifnya ditentukan secara progresif pun di mulai dari prosentase tariff 1% untuk kepemilikan kendaraan pribadi yang pertama, walaupun untuk kendaraan kedua dan seterusnya dapat naikkan secara progresif hingga 10%. Artinya, hasil finansial dari perubahan pengaturan PKB tidak dapat didapatkan secara langsung. Begitu pula dengan pemecahan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan menjadi Pajak Air Tanah (kabupaten/ kota) dan Pajak Air Permukaan (untuk provinsi), pada dasarnya memiliki objek pajak yang tidak berubah, dengan tarif yang sama dengan UU sebelumnya untuk Pajak Air Tanah (maksimal 20%65), namun lebih rendah untuk Pajak Air Permukaan (maksimal 10%).66

Hal – hal di atas menunjukkan bahwa pemberian pajak baru, penyesuaian tariff pajak daerah tidak dapat dipastikan dapat meningkatkan PAD. Apalagi jika dikaitkan dengan kemungkinan masalah yang muncul dalam praktik, misalnya mekanisme pengawasan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dengan tariff pajak progresif. Jika mekanisme tersebut tidak dibentuk, maka pelaksanaan pemungutan pajak tersebut, berpotensi menimbulkan ketidakadilan.67 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka otonomi pendapatan yang diharapkan dapat meningkat dengan adanya UU ini, belum tentu dapat terwujud.

65

Pasal 70 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 66

Pasal 24 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009. 67

(17)

Jika asumsi PAD dari sektor pajak daerah belum dapat ditingkatkan dengan adanya UU No. 28 Tahun 2009, maka dengan sistem penetapan jenis pajak yang tertutup, daerah kurang dapat memanfaatkan potensi pajak daerah lain, selain yang telah ditetapkan secara limitatif dalam UU tersebut. Hal ini berbeda dengan UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 di mana daerah masih dapat menetapkan jenis pajak daerah baru dengan kriteria tertentu, walaupun kriteria-kriteria tersebut sulit dipenuhi.68

Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa sistem tertutup tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.69 Namun demikian, pembentukan UU tersebut tidak melihat bahwa otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia adalah otonomi seluas-luasnya di mana urusan pemerintahan daerah sangat luas, mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.70 Artinya, dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, sehingga hal tersebut harus didukung dengan sumber pendapatan yang juga sangat besar.

Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa dengan sistem pajak daerah selama ini, banyak daerah yang melanggar kriteria yang telah ditetapkan untuk menetapkan pajak daerah baru, ditambah dengan lemahnya pengawasan penetapan Perda Pajak Daerah dan perilaku banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda Pajak Daerah untuk dievaluasi.71 Namun demikian, UU No. 28 Tahun 2009 tetap menerapkan sistem yang semi terbuka untuk retribusi daerah. Artinya, selain retribusi daerah yang ditetapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat menetapkan jenis retribusi daerah lain, berdasarkan kriteria yang ditetapkan.72 Padahal pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 juga mengakui

balik nama, maka orang tersebut akan dikenakan tariff progresif jika akan membeli kendaraan bermotor lagi untuk jenis yang sama, padahal orang tersebut secara de facto hanya memiliki 1 kendaraan pribadi.

68

Tjip Ismail pada masa berlakunya UU No. 34 Tahun 2000, mengatakan: sangat sulit menemukan jenis pajak baru yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Tjip Ismail, op.cit., hlm. 266.

69

Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 70

Pasal 18 ayat Peru aha Kedua UUD 1 , e yataka : Pe eri taha daerah e jala ka oto o i seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat .

71

Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009. 72

(18)

bahwa penetapan retribusi daerah yang banyak melanggar kriteria yang telah ditetapkan disebabkan, hasil penerimaan dari jenis pajak daerah yang ditetapkan, tidak dapat memenuhi kebutuhan daerah.73 Padahal dengan sistem pajak daerah yang sifatnya tertutup maka, pelangggaran terhadap kriteria jenis retribusi daerah lain kemungkinan akan terulang kembali. Hal tersebut menunjukkan ambiguitas pemikiran para pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 dalam mendudukkan pajak daerah dan retribusi daerah.

B. Fungsi Pajak Daerah Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa latar belakang ditetapkannya UU No. 28 Tahun 2009 adalah pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Lebih tegas lagi dalam Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009 dinyatakan bahwa hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Dengan demikian, dalam konteks pajak daerah, tujuan pembentukan UU No. 28 Tahun 2009 adalah untuk meningkatkan kontribusi pajak daerah terhadap APBD. Dalam konteks fungsi pajak, hal tersebut lebih mencerminkan fungsi budgeter. Namun demikian, seperti telah dibahas sebelumnya, menguatnya otonomi pendapatan dalam pemungutan pajak daerah tidak dapat dipastikan dapat terwujud, bahkan cenderung mengurangi otonomi pendapatan dengan penerapan sistem pajak daerah yang tertutup.

Sementara itu, UU No. 28 Tahun 2009 tidak menegaskan secara eksplisit fungsi mengatur dari pajak daerah. Walaupun demikian, secara implisit ada beberapa pajak daerah yang juga secara sekilas mencerminkan fungsi pajak yang bersifat mengatur, antara lain pajak progresif untuk PKB kendaraan pribadi, pengurangan tariff Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan umum dan sebagain hasilnya diharuskan digunakan untuk peningkatan infrastruktur jalan dan sarana transportasi umum, serta pajak rokok untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok dan sebagian hasilnya harus digunakan untuk

73

(19)

peningkatan pelayanan kesehatan dan penegakan hukum, serta Pajak Penerangan Jalan yang sebagian hasilnya digunakan untuk penyediaan penerangan jalan, serta tarif yang lebih tinggi untuk pajak hiburan tertentu.

Namun demikian, oleh karena target utama pembentukan UU No. 28 Tahun 2009 adalah untuk meningkatkan fungsi budgeter, bagaimanakah keberadaan fungsi mengatur dalam pajak-pajak tersebut?

Untuk tariff pajak PKB untuk kendaraan pribadi dan pengurangan tariff Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan umum, fungsi mengatur lebih dominan dari pada fungsi budgeter. Namun demikian, mekanisme praktik di lapangan perlu dipertimbangkan dengan baik agar pemungutan PKB tidak menimbulkan ketidakadilan. Begitu pula, pengaturan pengurangan pajak bahan bakar untuk kendaraan umum. Hal ini disebabkan, pajak bahan bakar kendaraan bermotor dipungut di tempat pembelian bahan bakar. Artinya, setiap tempat penjualan bahan bakar kendaraan bermotor akan memiliki harga penjualan yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan setiap. Jika aturan pelaksanaan pajak tersebut tidak mempertimbangkan kesulitan dari tempat penjualan bahan bakar minyak, maka pengurangan tariff tersebut justru dapat menimbulkan masalah baru. Sementara itu, untuk pajak penerangan jalan, walaupun ditentukan bahwa sebagian hasilnya digunakan untuk penyediaan penerangan jalan, namun karena tidak ditentukan berapa prosentase-nya, maka dikhawatirkan hasil penerimaan pajak penerangan jalan untuk penyediaan penerangan jalan dikhawatirkan sangat kecil prosentasenya. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa fungsi mengatur dari pajak tersebut tidak diatur dengan baik. Dengan kondisi pengaturan demikian, pemungutan pajak penerangan jalan akan lebih menekankan pada fungsi budgeter, dari pada menerapkannya secara simultan dengan fungsi mengatur.

Sementara itu, untuk pajak hiburan tertentu yang tarifnya lebih tinggi dari tariff maksimal dala UU sebelumnya, sebenarnya telah menunjukkan fungsi mengatur, dalam hal mencegah pengeluraan-pengeluaran yang tidak produktif.74 namun hal tersebut mengesampingkan keragaman kondisi budaya tiap-tiap daerah. Walaupun tariff pajak

74

(20)

hiburan tertentu cukup tinggi, namun hal tersebut tidak menjamin berkurangnya konsumsi masyarakat terhadap jasa-jasa hiburan tersebut. Untuk daerah yang daya beli masyarakatnya tinggi untuk hiburan-hiburan tersebut, maka tariff maksimal 75% tidak merupakan suatu jaminan untuk mengurangi jenis-jenis hiburan yang cenderung tidak produktif tersebut. Dalam hal ini, fungsi mengatur dalam hal tariff pajak hiburan tertentu, tidak mempertimbangkan lokalitas budaya daerah yang berbeda-beda. Dengan demikian, fungsi mengatur dari pajak hiburan akan lebih didominas oleh fungsi budgeter.

Untuk pajak rokok, walaupun hasilnya sebagian dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum, namun yang menjadi pertanyaan, mengapa hal tersebut tidak dilakukan dengan memperbesar cukai rokok lalu hasilnya dibagi-hasilkan kepada daerah? Pajak rokok lebih menunjukkan fungsi budgeter dari pada fungsi mengatur. Hal ini disebabkan sifat pajak rokok yang tidak sepenuhnya menunjukkan pajak daerah, karena dipungut oleh pemerintah pusat (instansi yang berwenang memungut cukai rokok) lalu disetorkan pada kas daerah provinsi. Hal tersebut menjadikan pola pemungutan pajak rokok sama seperti dana bagi hasil (DBH) seperti DBH dari PBB dan BPHTB sebelum ditetapkan menjadi pajak daerah, di mana semua hasil penerimaan pajak tersebut pada dasarnya dibagikan kepada daerah. Dengan demikian, pajak rokok lebih menunjukkan kompromi antara Pemerintah Pusat dan Provinsi yang selama ini tidak mendapatkan bagi hasil secara langsung dari penerimaan cukai rokok.

(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:

1. Ditetapkannya UU No. 28 Tahun 2009 ditujukan untuk meningkatan kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap APBD agar daerah tidak terlalu bergantung pada pusat. Namun demikian, ada pajak baru, penyesuain tariff, dan pengaturan peruntukan belum dapat dipastikan dapat memenuhi tujuan tersebut, karena beberapa hal: potensi pajak tiap-tiap daerah berbeda-beda sementara daerah tidak dapat memungut jenis pajak daerah lain selain yang ditetapkan UU tersebut. Pada akhirnya, tidak dapat dipastikan apakah otonomi pendapatan sebagai salah satu prinsip desentralisasi fiskal dapat menguat atau justru melemah.

2. Walaupun UU No. 28 Tahun 2009 lebih menekankan fungsi budgeter dari pada fungsi mengatur, namun secara implisit fungsi mengatur dari beberapa pajak daerah. Namun demikian, oleh karena pengaturan dalam UU No. 28 Tahun 2009 lebih ditujukan untuk meningkatkan hasil penerimaan pajak daerah maka fungsi mengatur dari beberapa pajak daerah belum tentu dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat di daerah.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut:

Pemerintah pusat perlu mempersiapkan aturan pelaksanaan yang dapat menjamin efekfitas pemungutan pajak daerah dalam meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak daerah.

(22)
(23)

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, Makalah

Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002. Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1994.

__________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH UII, Yogyakarta, cetakan ketiga, 2004. .

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajagrafindo Persada, Jakarta, cetakan keempat, 2004. Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting,

Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003. Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, 1982.

Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003.

Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008.

Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004.

Anwar Shah, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004.

Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009.

Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.

Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, Eresco, Bandung, 1965. R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1995.

Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007.

Sumber Internet

Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”, makalah, Jakarta, tanpa tahun. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009.

“RUU Pajak danRetribusi Daerah Disahkan Jadi UU”, Media Indonesia, Selasa, 18 Agustus 2009,

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU, diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.

“Pajak Daerah Dibatasi, Pelayanan kepada Masyarakat Wajib Ditingkatkan”, Kompas,

Rabu, 5 Agustus 2009, diakses dari

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul Implementasi Bahan Ajar Lembar Kerja Siswa (LKS) Sebagai Media Pembelajaran Fiqih Di Madrasah Tsanawiah Negeri 3 Tanah Laut Kabupaten Tanah Laut, ditulis oleh

Peraturan perundang-undangan ini, memacu pertumbuhan dan pertambahan jumlah perusahaan jasa penerbangan yang tergabung dalam International Air Transport Association

Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan profil keterampilan dasar geometri siswa kelas VII

Dewan komisaris adalah organ di dalam organisasi yang memiliki tugas untuk mengawasi dan memberikan nasehat kepada dewan direksi serta memastikan organisasi telah

Kriteria komplikasi kehamilannya adalah ≥3 kali kejadian keguguran secara berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu, ≥1 kali kematian janin yang tidak

Tumbuhan anggrek yang termasuk jenis anggrek epifit yang berhasil dieksplorasi dan di inventarisasi di kawasan Taman Nasional Kerinei Seblat eukup beragam dan tumbuh di

Selanjutnya jumlahkan lagi nilai kritis BNT5% = 6,88 dengan nilai rata-rata perlakuan terkecil kedua, yaitu 21,00 + 6,88 = 27,88 dan beri huruf “b” dari nilai rata- rata

Pajak Bumi dan Bangunan mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan/pembiayaan daerah, namun hal ini perlu diikuti dengan kesadaran dari para wajib pajak