• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 Karya Habiburrahman El Shirazy (Kajian Struktural dan Nilai Didik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 Karya Habiburrahman El Shirazy (Kajian Struktural dan Nilai Didik)"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

i

Novel ketika cinta bertasbih 1 dan 2

Karya habiburrahman el shirazy

(kajian struktural dan nilai didik)

SKRIPSI

Disusun oleh :

Septiningtyas Dwi Hapsari

K1205005

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH 1 DAN 2

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

(Kajian Struktural dan Nilai Didik)

Oleh

SEPTININGTYAS DWI HAPSARI

NIM K1205005

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Persetujuan Pembimbing,

Pembimbing I,

Drs. Swandono, M.Hum. NIP 19470919 196806 1 001

Pembimbing II,

(4)

iv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah karya seni yang mengandung unsur keindahan yang dapat memberikan penyucian jiwa atau katarsis. Karya sastra dapat memberikan bimbingan kepada manusia untuk mencari nilai-nilai kehidupan agar menemukan hakikat manusia untuk berkepribadian yang baik. Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca pada khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang diungkap oleh pengarang lahir dari pandangan hidup dan daya imajinasi yang tentu mengandung keterkaitan yang kuat dengan kehidupan. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat terlepas dari konteks sejarah dan sosial budaya masyarakat. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1997: 223) bahwa karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. Ini berarti bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan konvensi masyarakat.

Karya sastra juga merupakan tanggapan seorang pengarang terhadap dunia yang dihadapinya, di dalamnya berisi pengalaman-pengalaman pengarang sendiri, pengalaman orang lain, dan atau pengalaman sekelompok masyarakat. Seorang sastrawan dalam menuangkan karyanya bukan hanya sekedar mengambil dari lingkungan sekitarnya semata, namun penyerapan berawal dari bahan mentah yang telah merasuki pikirannya sebagai bekal penghayatan yang dalam benak sastrawan menjadi sebuah rasa yang menggelora, mengkristal menjadi kata-kata yang siap dituangkan, yang pada akhirnya membentuk rangkaian kalimat hingga layak menjadi sebuah karya sastra.

Atar Semi (1993: 8) mengatakan bahwa karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa sangatlah penting dalam proses terciptanya sebuah karya sastra yang mempunyai “rasa” tinggi. Karya sastra juga harus mempunyai nilai edukatif yang baik karena karya sastra hasil dari perasaan penulisnya.

(5)

v

Jadi sebuah karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam sebuah bentuk konkret yang membangkitkan pesona dengan media bahasa. Karya sastra menurut ragamnya terbagi atas tiga, yaitu prosa, puisi dan drama. Dalam bentuk karya sastra prosa, terdapat bentuk yang disebut cerita rekaan. Cerita rekaan merupakan cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannya mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi serta pengolahan tentang peristiwa yang hanya berlaku dalam khayalannya saja.

Setiap karya sastra yang berupa puisi, cerpen, essai sastra atau novel yang bertemakan pornografi dapat diangkat dengan mudah oleh penulis kemudian dinikmati oleh khalayak penikmat sastra. Karya sastra yang bertemakan seks, pornografi dan hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia dapat dijumpai dengan mudah di toko toko buku, persewaan buku, internet dan akses lain ke dunia sastra. Hal ini sangat memprihatinkan karena karya sastra dapat dinikmati siapa saja tanpa membedakan usia. Anak-anak dapat dengan mudah mendapatkan bacaan tanpa melalui kontrol dari orang tua. Karya sastra yang semula dapat mendidik manusia ke arah peradaban yang humanistis menjadikan manusia yang santun dan bermoral tidak bisa terwujud karena karya sastra yang tidak bernilai.

(6)

vi

Nilai didik adalah nilai yang diperlukan bagi karya sastra yang hendak diajarkan di bangku sekolah. Untuk mendidik manusia Indonesia supaya bermoral salah satunya adalah melalui bangku sekolah yaitu melalui apa yang dipelajari siswa di sekolah. Sebagai bahan ajar novel sebaiknya dipilih secara selektif, novel mana yang sesuai dengan kebiasaan dan novel mana yang di dalamnya terdapat nilai yang mendidik. Apabila saat ini seorang guru menggunakan karya sastra lama dengan bahasa yang kaku maka novel tersebut akan sulit dipahami oleh anak didik sekarang, dan seandainya pun memilih karya yang merupakan terbitan baru maka tidak semua novel mempunyai nilai yang sesuai dengan harapan guru yaitu yang mempunyai nilai edukatif yang dapat memperbaiki budi pekerti anak didiknya.

Habiburrahman El Shirazy adalah novelis yang masih baru di dunia sastra Indonesia, namun novel-novel hasil karyanya selalu bisa membuat hati tergugah, larut dalam kisah yang dipaparkannya, bahkan seakan-akan pembaca berada di dalam kisah tersebut dan menyaksikannya secara langsung. Novel tulisannya selalu disisipi dengan ilmu dan pesan moral yang membangun jiwa. Kelihaian Habiburrahman El Shirazy dalam menyisipkan ilmu sebagai dakwahnya menjadikan pesan tersebut amat mudah diterima pembaca, tanpa merasa digurui. Contoh novel yang membangun jiwa adalah novel Ketika Cinta Bertasbih.

(7)

vii

dengan dimensi spritual, pencarian-pencarian kebenaran, dan pembangunan karakter bangsa. Pembaca akan merasakan adanya pelatihan mental kalau melahap novel ini dengan penuh pemahaman dan penuh kontemplasi.

Pendidikan merupakan bagian dari integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Menurut Oemar Hamalik (2001: 3) mengatakan pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi secara adekwat dalam kehidupan masyarakat. Berarti bahwa pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Pengajaran sastra pada dasarnya adalah pengajaran tentang kehidupan. Karya sastra menyajikan para tokoh dengan latar belakang tertentu mengalami peristiwa atau konflik. Dalam karya sastra, pengarang menampilkan bagaimana para tokoh cerita menyikapi serta keluar dari konflik tersebut. Karena itu, harga karya sastra terletak pada cara pengarang menyampaikan tindak-tanduk, sikap, penilaian tokoh cerita atas konflik yang dihadapi melalui berbagai tinjauan. Melalui tinjauan tersebut pembaca memperoleh pembandingan atau pelajaran yang berharga untuk menyikapi kehidupan sehari-hari. Karena karya sastra bukanlah petunjuk praktis untuk menghadapi kehidupan sehari-hari, maka para siswa perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana membaca karya sastra. Di sinilah pentingnya pengajaran apresiasi sastra. Pengajaran ini bermanfaat untuk memberikan bekal teoretis kesusastraan dan latihan-latihan praktis membaca karya sastra.

(8)

viii

Berdasarkan asumsi di atas, penulis mengangkat novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy menjadi objek penelitian. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada kajian struktural dan nilai didik dalam novel

Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

B. Rumusan Masalah

Sesuai uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permaslahannya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah stuktur novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy?

2. Nilai didik apa sajakah yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy?

3. Tepatkah novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui stuktur novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Untuk mengetahui nilai didik apa yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy.

3. Untuk mengetahui ketepatan novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy bila digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademis maupun praktis. Adapun manfaat dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

(9)

ix

Sebagai sarana untuk memperkaya khazanah dalam pengetahuan sastra indonesia dan memberikan masukan atau sumbangan terhadap pengajaran bahasa Indonesia terutama di bidang sastra.

2. manfaat praktis

a. bagi pengarang penelitian ini dapat memberikan masukan untuk dapat menciptakan karya yang lebih baik lagi.

b. bagi pembaca penelitian ini dapat menambah minat pembaca dalam mengapresiasi karya sastra.

c. bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra.

d. bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia penelitian ini dapat menjadi bahan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia karena di dalamnya sarat nilai didiknya.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakikat Novel

Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.(Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9). Sedangkan dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata

noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis jenis lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995: 164).

(10)

x

tidak ada. Selain novel ada pula roman dan cerita pendek (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 2).

Karya sastra terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya ada puisi, drama, essai sastra atau novel dan lain lain. Di antara berbagai macam karya sastra, novel adalah salah satu jenis karya sastra yang lebih banyak diminati oleh banyak kalangan, karena novel menampilkan kehidupan manusia dalam bentuk cerita. Dibandingkan dengan puisi yang banyak bermain dengan kata-kata indah. Begitu pula dengan drama yang hanya menampilkan sepenggal kisah manusia saja, tidak selengkap dalam cerita novel.

Penciptaan karya sastra memerlukan daya imajinasi yang tinggi. Menurut Umar Junus (1985: 91), mendefinisikan novel adalah meniru “dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus ada dalam dunia nyata, namun harus dapat juga diterima oleh nalar.

Novel merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk uraian prosa. Jakob Sumardjo dan Saini (1991: 29), novel diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran luas ini tidak mutlak, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fisiknya saja. Misalnya setting, sedangkan tema, karakter, alur di dalamnya tidak luas dan kompleks. Dalam novel bisa saja menguatkan ceritanya dengan menggunakan salah satu unsurnya.

Karya sastra yang berupa novel terdapat unsur yang membangun ceritanya yaitu berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Sesuai pendapat Abrams (dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono, 2002: 224) menyatakan bahwa kajian yang bersifat intrinsik, mengkaji hal-hal yang ada di dalam karya sastra itu sendiri. Maksudnya hal-hal yang dibahas dalam unsur intrinsik, semuanya terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, unsur intrinsik adalah hal-hal yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri.

Tema dalam novel terdapat banyak hal. Novel dengan unsur pembangunnya berupa tema yang mengandung nilai baik. Menurut Goldmann (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 87) mendefinisikan novel merupakan cerita

(11)

xi

mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi, pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Maksudnya bahwa masalah yang terkandung di dalam novel yaitu penyelesaian suatu masalah oleh seorang ‘pahlawan’. Jadi, setiap masalah diselesaikan oleh seseorang yang mempunyai sifat yang baik.

Proses kreatif dalam pembuatan novel sangat penting. Sesuai pendapat E.M Foster (dalam Roger Allen, 2008: 2) mengatakan novel merupakan jalinan yang luar biasa dan hampir-hampir tidak mempunyai bentuk, sesuatu yang benar-benar berbeda di wilayah kesusastraan yang basah, diairi ribuan sungai kecil yang terkadang berubah menjadi rawa-rawa. Pendapat yang apik tersebut maksudya bahwa novel tidak dapat dianggap sebelah mata karena novel dapat memberikan imajinasi dari hal kecil hingga besar.

Taylor (dalam Harris Effendi Thahar, 2006: 712) mengemukakan tiga unsur konseptual dalam novel, yaitu action (tindakan: peristiwa dan urutan kejadian), character (watak: agen yang memotivasi dan memberi reaksi terhadap peristiwa), dan setting (referensi bagi karakter dan tindakan tokoh). Sementara itu, tema dan amanat merupakan simpulan dari jalinan ketiga unsur yang dikemukakan di atas, sedangkan sudut pandang (point of view) dan gaya bahasa adalah kulit luar yang berfungsi sebagai sarana untuk membungkus karya sastra fiksi naratif.

(12)

xii

Burhan Nurgiyantoro (2005: 4), yang menyebutkan bahwa novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia. Dunia yang berisi model kehidupan yang ideal. Dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif. Dalam novel karya fiksi dibangun oleh beberapa unsur pembentukannya mulai dari penokohan, alur, tema, amanat, serta bahasa. Jadi, dari segala unsur pembangun novel terjadi keterjalinan unsur intrinsiknya.

Beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu wujud cerita rekaan, di dalamnya menceritakan kehidupan tokoh-tokoh dengan segala pergolakan jiwa yang kompleks, sehingga mengalihkan jalan nasib mereka ke dunia kemungkinan yang bersifat imajinatif. Novel sebagai karya fiksi dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti beberapa macam unsur antara lain penokohan, alur, tema, amanat, serta bahasa.

1. Tokoh atau Penokohan

Tokoh adalah pemeran dalam cerita dalam sebuah novel. Menurut Fand Djibran (2008: 58) penokohan mencakup pembentukan identitas, watak, kebiasaan dan karakter tokoh yang diceritakan. Penokohan merupakan hal yang penting dalam sebuah cerita karena tanpa tokoh yang diceritakan sebuah cerita tidak akan berjalan. Jadi, novel tidak akan menjadi cerita melainkan hanya deskripsi atau narasi jika tanpa adanya penokohan.

Novel yang baik jika tokoh-tokohnya mempunyai peranan yang sesuai. Menurut M. Atar Semi (1993: 47) mengatakan tokoh dalam cerita ada bermacam-macam. Jika ditinjau dari keterlibatan dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menajdi dua, yakni tokoh sentral (tokoh utama) dan tokoh periferal (tokoh tambahan). Jadi, tokoh sentral (utama) adalah tokoh yang mempunyai porsi peran lebih banyak dibandingkan dengan tokoh tambahan.

(13)

xiii

berdasarkan pembangun konflik cerita. Berdasarkan fungsi, tokoh dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral atau yang disebut dengan tokoh utama. Sedangkan, tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. Berdasarkan pembangun konflik cerita, terdapat tokoh protogonis dan tokoh antagonis. Tokoh protogonis adalah tokoh yang baik dan terpuji oleh karena itu biasanya menarik simpati pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang jahat atau tokoh yang salah.

Waluyo (2002: 19) mengemukakan cara pelukisan watak pelaku dalam karya prosa secara lebih rinci, yaitu:

1) Physical Description: pengarang menggambarkan watak pelaku cerita melalui pemerian atau deskripsi bentuk lahir atau temperamen pelaku. 2) Portrayal of Thought Stream or of Conscious Thought: pengarang

melukiskan jalan pikiran pelaku atau sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.

3) Reaction to Events: pengarang melukiskan reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu.

4) Direct Author Analysis: pengarang secara langsung menganalisis atau melukiskan watak pelaku.

5) Discussion of Environment: pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku sehingga pembaca dapat menyimpulkan watak pelaku tersebut.

6) Reaction of Others to Character: pengarang menuliskan pandangan-pandangan tokoh atau pelaku lain (tokoh bawahan) dalam suatu cerita tentang pelaku utama.

(14)

xiv

pada kualitas pribadi sang tokohnya. Seorang tokoh dapat dikategorikan ke sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Di sisi lain, Herman J. Waluyo, (2002: 165) berpendapat bahwa penokohan berarti cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh itu.

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh Utama adalah tokoh yang mendominasi dari cerita tersebut, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali, dalam posisi yang relatife pendek, karyanya hanya berfungsi sebagai pelengkap saja. Ini sesuai pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 176).

b. Tokoh Protagonis dan Antagonis

Tokoh protgonis adalah tokoh yang disenangi atau kagumi yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd dan Lewis dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 178), sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.

c. Tokoh Tipikal dan Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, tetapi lebih banyak ditonjolkan dari sisi pekerjaannya, sedangkan tokoh netral adalah tokoh yang ditampilkan oleh pengarang (Altenbernd dan Lewis dalam Burhan Nuigiyantoro, 2005: 190).

Beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh atau penokohan adalah sesuatu yang harus ada karena tokoh atau penokohan mempunyai sifat, cirri atau watak yang dapat menghidupkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita.

(15)

xv

Alur dalam cerita juga mempengaruhi keseluruhan cerita. Rangkaian cerita yang terbingkai indah, menjadikan cerita juga akan menarik. Menurut Boulton (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 145) menyatakan bahwa alur merupakan seleksi peristiwa yang disusun dalam rangkaian waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang. Plot tidak sekedar menyangkut peristiwa, namun juga cara pengarang mengurutkan peristiwa-peristiwa, motif, konsekuensi, dan hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya.

Plot terdiri dari beberapa tahapan yang penting. Sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 147) membagi alur cerita atau plot meliputi tujuh tahapan, yaitu eksposisi, inciting moment, ricing action, complication, klimaks, falling action, dan denovement. Eksposisi berarti pemaparan awal dalam cerita. Inciting moment berarti peristiwa mulai terjadi problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Ricing action berarti penanjakan konflik dan selanjutnya terus terjadi peningkatan konflik. Complication artinya konflik yang semakin ruwet. Klimaks berarti cerita mencapai puncak dari keseluruhan cerita itu dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk menonjolkan saat klimaks tersebut. Falling action berarti konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Denovement berarti penyelesaian dari semua problem yang ada.

Alur merupakan rangkain peristiwa yang dapat dibagi menjadi beberapa kriteria. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 153) membagi alur ke dalam beberapa jenis perbedaan berdasarkan pada kriteria urutan waktu, kriteria jumlah, kriteria kepadatan.

a. Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu

(16)

xvi

1) Kronologis, jalan cerita yang dibuat adalah dengan jalur yang lurus maju atau lebih dikenal dengan alur progresif.

2) Tidak Kronologis, jalan cerita yang dibuat adalah menggunakan alur mundur, sorot balik, flash back, atau lebih dikenal dengan alur regresif.

b. Berdasarkan Kriteria Jumlah

Berdasarkan jumlah adalah banyaknya jalur alur dalam karya fiksi. Ada kemungkinan karya fiksi hanya terdiri atas :

1) Satu Jalur Saja (alur tunggal)

Hanya menampilkan kisah tentang seorang tokoh saja, yang dikembangkan hanya hal-hal yang berkaitan dengan sang tokoh. 2) Lebih dari satu alur (sub-sub alur)

Sedangkan sub-sub plot memiliki alur cerita lebih dari satu. Terdiri dari alur utama dan alur pendukung (sub-sub alur).

c. Berdasarkan Kriteria Kepadatan

Kriteria kepadatan yang dimaksud adalah :

1) Alur Padat, alur yang dipaparkan secara tepat, peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan rapat, sehingga seolah-olah pembaca diharuskan untuk terus-menerus mengikuti jalan cerita. Dan ketika salah satu bagian cerita tersebut dihilangkan maka cerita tersebut tidak akan menjadi utuh.

2) Alur Longgar, cerita fiksi yang memiliki alur longgar, pergeseran cerita cerita yang satu dengan cerita selanjutnya berlangsung lambat. Sekalipun alur terbagi menjadi beberapa bagian, tidak menutup kemungkinan jika dalam satu karya terdapat berbagai kategori alur. Asalakan alur tersebut haruslah bersifat padu, unity, sehingga cerita yang ditampilkan dapat dipahami secara menyeluruh.

(17)

xvii 1) Plot Lurus (progesif)

Plot dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. 2) Plot Sorot-balik (flash-back)

Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang beralur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), tetapi mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.

3) Plot Campuran

Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak beralur lurus-kronologis atau sebalinya sorot-balik. Secara garis besar, plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya, bahkan sebenarnya boleh dikatakan tidak mungkin ada sebuah ceritapun yang mutlak flash-back. Hal itu disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit mengikuti cerita yang dikisahkan yang secara terus-menerus dilakukan secara mundur (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 153-157; Waluyo, 2006: 6).

Sesuai beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan alur adalah seleksi peristiwa yang disusun dalam rangkaian waktu yang meliputi meliputi tujuh tahapan. Alur juga di bagi ke dalam beberapa jenis perbedaan berdasarkan pada kriteria urutan waktu, kriteria jumlah, kriteria kepadatan.

3. Tema dan Amanat

(18)

xviii

cerita itu sendiri. Jadi tema dan pesan adalah hal terpenting yang akan disampaikan oleh penulis.

Tema karangan merupakan pernyataan, pandangan, pendirian mengenai topik (Vero Sudiati dan Widyamartaya, 1995: 3). Jadi dapat diartikan tema merupakan pusat atau inti dari sebuah cerita atau gagasan pokok. Tema adalah hal yang menjadikan induk yang melahirkan gagasan dalam bentuk karangan atau cerita. Tema dalam sebuah karya sastra dapat ditampilkan melalui dialog antar tokoh-tokohnya, melalui konflik-konflik yang dibuat. Ada juga tema tidak ditampilkan secara lugas oleh pengarang tetapi menyelesaikan tema diberikan pada keputusan pembaca.

Tema adalah makna cerita, seperti yang dikemukakan Kenney (1966: 88) bahwa “theme is the meaning of the story” (“tema adalah makna cerita”). Lebih lanjut dijelaskan oleh Kenney (1966: 91),

“… theme is not the moral, not the subject, not a “hidden meaning” illustrated by the story, what is it? Theme is meaning, but it is not “hidden,”

it is not illustrated. Theme is the meaning the story releases; it may be the

meaning the story discovers. By theme we mean the necessary implications

of the whole story, not a separable part of a story” (“… tema bukan nasihat, bukan subjek, bukan sebuah “makna yang disembunyikan” dari cerita, apakah tema? Tema adalah makna, tetapi tidak “disembunyikan”, tidak dilukiskan. Tema adalah makna yang tersirat; mungkin makna untuk mengetahui cerita. Dengan tema, pembaca memaknai implikasi penting dari keseluruhan cerita, bukan suatu bagian yang dapat dipisahkan dari sebuah cerita”).

(19)

xix

khazanah kehidupan sehari-hari dengan maksud untuk memberikan saksi sejarah atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Menurutnya tema adalah masalah hakiki manusia, seperti cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya.

Tema adalah inti dari cerita sehingga peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita semua berpusat pada tema. Selain itu tema juga disebut ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi penciptaan karya sastra. Tema sebagai makna yang dikandung oleh cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menunjang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semampis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 68). Tema dapat persoalan moral, etika, agama, budaya, teknologi, namun tema dapat juga berupa pandangan, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1985: 10) amanat atau pesan yang dalam bahasa Inggris Massage adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya ( cerpen atau novel ) kepada pembaca atau pendengar. Pada sastra lama sebagian besar amanat yang disampaikan tersurat, sedangkan dalam karya sastra modern pesan yang disampaikan sebagian besar dikemukakan secara tersirat, sehingga pembaca dapat menafsirkan amanat yang disampaikan penulis.

(20)

xx

Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Hal baik itu dapat berupa pengajaran tentang moral. Hal ini sesuai dengan pendapa Panuti Sudjiman (1988: 57) yang menyatakan amanat adalah suatu pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang. Wujud amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasihat, firman Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat dari tindakan tokoh cerita. Jadi amanat adalah pesan yang disampaikan penulis yang berupa nasihat.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu gagasan ataupun ide yang mengilhami karya sastra. Sedangkan amanat adalah jawaban dari sebuah tema.

4. Latar / Setting

Latar merupakan salah satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting. Elemen tersebut akan menentukan situasi umum sebuah karya.

Setting adalah soal waktu tempat cerita. Menurut Fand Djibran (2008: 56) mengatakan bahkan cerita yang ‘katanya’ tidak memiliki waktu dan tempatpun tetap memiliki setting, yakni ketiadaan tempat dan waktu itu sendiri. Jadi setiap cerita selalu memiliki setting.

Latar berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Menurut Atar Semi (1993: 46) berpendapat bahwa latar atau setting merupakan lingkungan terjadinya peristiwa, termasuk di dalamnya tempat dan waktu dalam cerita. Artinya bahwa latar meliputi tempat terjadinya peristiwa dan juga menunjuk pada waktunya. Jadi latar meliputi unsur waktu, tempat dan lingkungan peristiwa terjadi.

(21)

xxi

Latar belakang (background) dalam menampilkan setting dapat berupa latar belakang sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat memperhidup cerita itu. Dengan deskripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul dan jika diperkaya dengan latar belakang lain, cerita akan lebih hidup. Waktu cerita ialah lamanya waktu penceritaan tokoh utama dari awal hingga akhir cerita, sedangkan waktu penceritaan ialah waktu pembacaan, biasanya lamanya jam.

Latar adalah gambaran situasi mengenai peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita. Suminto A. Sayuti (1997: 80) membagi latar dalam tiga kategori yakni, latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat merupakan hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Latar mempengaruhi penokohan yang dapat membentuk suasana tokoh cerita. Jadi latar berpengaruh dalam keseluruhan cerita.

Pendapat Suminto A. Sayuti di atas didukung dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok. Adapun penjelasan mengenai tiga unsur pokok tersebut sebagai berikut :

a. Latar tempat

Latar adalah tempat menunjuk pada lokasi peristiwa. Nama tempat yang digunakan yaitu nama tempat yang nyata misalnya saja nama kota, instasi atau tempat-tempat tertentu. Penggunaan nama tempat haruslah tidak bertentangan dengan sifat atau geografis tempat yang bersangkutan, karena setiap latar tempat memiliki karakteristik dan ciri khas sendiri. b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan kapan peristiwa tersebut terjadi. Latar yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Penekanan waktu lebih pada keadaan hari misalnya saja pada pagi, siang, atau malam.

c. Latar sosial

(22)

xxii

tersebut meliputi masalah kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, serta hal-hal yang termasuk latar spiritual.

Latar mempengaruhi penokohan dan kadang-kadang membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang buruk mempengaruhi perasaan tokoh. Dalam hal ini Montaque dan Henshaw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan tiga fungsi setting yaitu mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita dan memperjelas tema yang disampaikan.

Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan pengertian latar atau

setting adalah keseluruhan keterangan yang meliputi aspek tempat kejadian, waktu kejadian dan juga sosial yang akan menentukan karakter dari masing-masing tokohnya.

5. Sudut Pandang (point of view)

Sudut pandang adalah bagian dari unsur intrinsik dalam karya sastra. Berkenaan dengan sudut pandang ada yang mengartikan sudut pandang dari pengarang dan ada juga yang mengartikan dari pencerita, bahkan ada pula yang menyamakan antara keduanya. Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi adalah strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang merupakan masalah teknis yang digunakan pengarang untuk menyampaikan makna, karya, artistiknya untuk sampai dan berhubungan dengan pembaca. (Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 249).

(23)

xxiii

Sudut pandang juga berarti cara pengarang berperan dalam cerita, apakah melibatkan diri langsung dalam cerita atau pengobservasi ataukan orang di luar cerita. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 256-271) membagi sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan atas dua macam persona, persona pertama “gaya” “aku” dan persona ketiga “gaya” “dia” atau kombinasi antara keduanya.

a. Sudut Pandang Persona Pertama “aku”

Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang “aku”, berarti pengarang terlibat dalam cerita secara langsung. Pengarang adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dunia, menceritakan peristiwa yang dialami, dirasakan, serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Oleh sebab itu persona pertama memiliki jangkauan yang sangat terbatas, karena ia hanya dapat memberikan informasi yang sangat terbatas kepada pembaca, seperti yang dilihat dan dirasakan oleh sang tokoh “aku”. Sudut pandang orang pertama dibedakan dalam dua golongan. Berdasarkan peran dan kedudukan “aku” dalam cerita yaitu “aku” yang menduduki peran utama dan “aku” yang menduduki peran tambahan/berlaku sebagai saksi.

a. “Aku” tokoh utama

Sudut pandang “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya. Tokoh “aku” menjadi pusat cerita, segala sesuatu di luar diri tokoh diceritakan jika berhubungan dengan tokoh “aku” atau dipandang penting.

b. “Aku” tokoh tambahan

Tokoh “aku” yang muncul bukan sebagai tokoh utama, akan tetapi sebagai tokoh tambahan. Tokoh “aku” dalam hal ini tampil sebagai saksi.

b. Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia”

(24)

xxiv

mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Untuk mempermudah pembaca mengenali siapa tokoh yang diceritakan, narator terus-menerus menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita.

c. Sudut Pandang Campuran

Jika dalam suatu cerita digunakan model “aku” dan “dia”, maka dia menggunakan sudut pandang campuran. Hal tersebut bergantung pada kreatifitas pengarang bagaimana memanfaatkan berbagai teknik yang ada untuk mencapai efektifitas yang ideal (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 266).

Sudut pandang merupakan suatu hal yang menyaran pada persoalan teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar dari sudut pandang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184) menyatakan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah sebagai pencerita yang tahu segala-galanya ataukah sebagai orang terbatas. Lebih lanjut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) membagi point of view menjadi tiga, yaitu:

a. Teknik “akuan” yaitu pengarang sebagai orang pertama dan menyebut pelakunya sebagai “aku”

b. Teknik “diaan” yaitu pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”

c. Pengarang serba tahu atau omniscient naratif, yaitu pengarang menceritakan segalanya dan memasuki berbagai peran bebas.

Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan, penentuam sudut pandang dalam cerita sangat penting karena akan berpengaruh dalam cerita. Sudut pandang difungsikan pengarang untuk sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita kepada pembaca.

6. Bahasa

(25)

xxv

mungkin agar berbeda dengan bahasa nonsastra. Menurut Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 273) menyatakan bahwa pada umumnya bahasa yang ada dalam karya sastra berbeda dengan bahasa nonsastra. Bahasa yang digunakan mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif. Serta adanya juga gaya bahasa.

Bahasa yang digunakan dalam penulisan sastra dapat digunakan untuk mengungkapan segalanya dengan kata atau kalimat yang indah. Menurut Supomo (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 217) berpendapat adanya ragam bahasa sastra ditimbulkan oleh suasana hati yang haru, terpesona, trenyuh, dan sebagainya. Ragam sastra bertujuan untuk menimbulkan kesan yang sama kepada pembaca. Jadi bahasa dapat mengungkapkan suasana hati seseorang.

Bahasa yang digunakan dalam penulisan sastra dapat berwujud gaya bahasa. Menurut Gorys Keraf (2004: 113) mengungkapkan bahwa gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa. Artinya gaya bahasa memiliki kekhasan yang berbeda dengan bahasa secara umum.

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seoarang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 276). Gaya bahasa dapat ditemui dalam sebuah karya sastra. Tidak setiap penulisan menggunakan gaya bahasa. Ditambahkan menurut Leech dan Sort dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 276) juga berpendapat bahwa gaya bahasa adalah suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam waktu tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu dan sebagainya.

(26)

xxvi

mendapatkan efek-efek tertentu. Dalam karya sastra efek ini adalah efek estetik yang turut menyebabkan karya sastra bernilai seni. Meskipun nilai seni karya sastra tidak hanya semata-mata disebabkn gaya bahasa saja, namun gaya bahasa sangat besar sumbangannya terhadap pencapaian nilai seni karya sastra

Sesuai beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahasa cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang tidak mengandung unsur kontroversial yang ditimbulkan oleh suasana hati.

B. Hakikat Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra menurut kaum stuktualisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheresif oleh berbagai unsur pembangunnya. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 36).

Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif yang memiliki otonomi penuh, maka bila hendak dikaji atau diteliti, yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya sastra itu seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra yang utuh dan penuh dengan nilai estetik. (Musa, 2006)

(27)

xxvii

Menurut Jean Paget (dalam Suwardi Endraswara 2003: 50) strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, sistem itu otonom terhadap rujukan sistem lain.

Pendekatan struktural merupakan awal dalam sebuah penelitian sastra. Drosden (dalam Teeuw, 1995: 165). Dalam strukturalisme, konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori ini dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Oleh karenanya, struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya. Karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium. Karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Dengan demikian, antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Pada gilirannya, unsur-unsur memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur.

Analisis struktural karya sastra yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 37).

(28)

xxviii

dan fungsi masing-masing unusr karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh”.

Tujuan analisis struktural menurut Herman J. Waluyo (2002: 136) untuk membedah karya sastra dan memeparkan secara cermat, teliti, detail, dan medalam megenai struktur yang bagian-bagiannya saling berhubungan, terkait dan menghasilkan arti yang menyeluruh. Jadi analisis struktural bertujuan untuk mendapatkan makna yang dimaksudkan penulis dengan cara menggali karya sastra tersebut melalui strukturnya.

Sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo, Teeuw (1995: 135) juga berpendapat analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Analisis struktural berkaitan langsung dengan struktur karya sastra itu sendiri. Suwardi Endraswara (2003: 61) menyatakan teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model dialektik. Model dialektik mengutamakan makna yang koheren.

C. Nilai Didik dalam Karya Sastra

1. Pengertian Nilai Didik

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mempunyai bermacam-macam wawasan dan nilai edukatif. Nilai edukatif tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan pembacanya. Nilai edukatif yang diambil oleh pembaca dengan memahami rangkaian cerita tersebut secara eksplisit maupun implisit.

(29)

xxix

Pendidikan sering diartikan sebagai sekolah (Redja Mudyaharjo, 2001: 6). Sekolah dianggap sebagai satu-satunya wahana mendidik dan mengorganisasikan orang-orang untuk memperoleh pengetahuan yang ingin dicapainya, pendangan yang mendukung batasan pendidikan sebagai sekolah ini adalah pandangan Behabiorisme. B.F. Skinner (dalam Redja Mudyaharjo, 2001: 8) berpendapat bahwa pendidikan formal seperti lembaga sekolah sangat penting sebab pengaruh lingkungan alam bentuk ajaran dan latihan sangat menentukan bagi pembentukan kemampuan seseorang. Jadi dalam pandangan behaviorisme, kemampuan orang sangat ditentukan oleh lingkungan disekitarnya.

Untuk memperoleh nilai edukatif yang baik, maka pembacapun harus selektif dalam memilih bacaan karya sastra. Tidak semua karya sastra mempunyai nilai yang baik, masih banyak karya sastra yang ‘berbau’ pornografi. Papper dan Perry (dalam Munandar Soelaeman, 1998: 20) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang baik atau buruk, atau segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Jadi nilai berhubungan dengan sikap atau tingkah laku manusia.

Nilai berkaitan dengan hal yang baik, tentang kemanusiaan. Menurut Bloom (dalam Soelaeman, 1988: 44) masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang psikomotorik dan kognitif, akan tetapi juga untuk perealisasinya dengan penuh kesadaran dan penuh tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang efektif. Maksudnya adalah sebuah nilai jika dihayati seseorang maka akan mempengaruhi cara berpikir dan cara bersikap seseorang tersebut agar tujuan hidupnya dapat tewujud.

Kata edukatif berasal dari bahasa Inggris educate yang berarti mendidik. Education artinya pendidikan, sedang pelakunya disebut educator

(30)

xxx

dapat mengambil nilai yang terdapat dalam karya sastra, dan tidak setiap pembaca memiliki pengertian yang diharapkan penulis karena nilai yang dapat diambil juga berhubungan dengan perasaan pembacanya.

Dari berbagai pengertian nilai di atas dapat disimpulkan nilai adalah sesuatu yang positif yang berguna untuk kehidupan seseorang. Nilai di sini sesuatu yang berhubungan dengan estetika (indah dan jelek), etika (baik dan buruk) dan logika (benar dan salah).

Pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Guna mewujudkan tujuan di atas diperlukan usaha yang keras dari masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah berat, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai peranan yang penting dalam dunia pendidikan.

Pendidikan adalah proses pembelajaran. Menurut Imam Barnadib (1987: 16) mengartikan pendidikan adalah usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin bangsa dan masyarakat. Maksudnya pendidikan bertujuan meningkatkan kehidupan dalam masyarakat agar sejahtera berkehidupan berdampingan dengan masyarakat lain.

Pendidikan berpengaruh terhadap sikap kedewasaan seseorang. Menurut Soedomo Hadi (1993: 15) pendidikan merupakan suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha atau upaya mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Jadi dalam pendidikan bertujuan untuk menjadikan seseorang lebih bersikap dewasa dalam kehidupan.

(31)

xxxi

seseorang yang diperoleh melalui sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.

2. Pembagian Nilai Didik dalam Sastra

Hubungan antara sastra dan pendidikan adalah erat dan tidak terpisahkan. Suyitno (1986: 3) mengatakan bahwa berbicara mengenai nilai pendidikan atau nilai didik dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. Karya sastra sebagai olahan sastrawan yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikan pengetahuan yang tidak dapat dimiliki oleh pengetahuan yang lain. Hal ini merupakan kelebihan karya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadapat cara berfikir menegnai hidup baik, buruk, benar, salah mengenai hidupnya di atas, terdapat hubungan yang erat antara sastra dan pendidikan.

Karya sastra adalah karya seni yang mengandung unsur keindahan yang dapat memberikan penyucian jiwa atau katarsis. Dalam karya sastra terdapat nilai edukatif yang dapat diambil oleh pembacanya. Melalui sastra khususnya novel pembaca dapat menghayati nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan contoh atau ‘pegangan’ hidup. Berbagai nilai luhur yang dapat dicapai oleh karya sastra memungkinkan pembaca memiliki penghargaan yang tinggi terhadap karya sastra.

Mardiatmadja (1986: 55) membagi nilai menjadi empat, yaitu nilai cultural, nilai kesosialan, nilai kesusilaan dan nilai keagamaan. Sedangkan Dendy Sugono (2003: 181) membagi nilai menjadi tiga, yaitu nilai estetika, nilai sastra dan nilai moral. Lebih lanjut Notonagoro (dalam Elly M. Setiadi, Kama Abdul Hakam, Ridwan Effendi, 2006: 113) membagi nilai yang berguna bagi rohani manusia menjadi empat, yaitu nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau moral dan nilai religius. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dalam penelitian ini, nilai edukatif (pendidikan) dalam karya sastra dibagi menjadi empat, yaitu: 1) nilai religius atau agama: 2) nilai sosial; 3) nilai moral atau etika; dan 4) nilai estetika.

(32)

xxxii

Untuk mencapai manusia yang religius, maka diperlukan ‘tiang’ yang kuat yaitu agama. Dalam Undang-undang Dasar kitapun mengatur masalah agama ini, yang disangkutkan dengan pendidikan. Ini ditunjukan bahwa dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan selalu terdapat nilai agamanya.

Agama adalah tiang dari kehidupan. Nilai agama memberikan pengaruh terhadap kehidupan religius seseorang. Menurut Atar Semi (1993: 22) memberikan uraian hubungan karya sastra dengan agama adalah “bahwa agama merupakan dorongan penciptaan sastra, sebagai sumber ilham, dan sekaligus karya sastra bermuara kepada agama.” Jadi maksudnya agama dapat menberikan inspirasi dalam terciptanya sebuah karya sastra yang baik.

Sastra dengan nilai agama berkaitan, karena dalam sastra yang baik pasti akan ada nilai agama yang tersirat maupun tersurat. Menurut Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 326) bependapat “kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius.”

Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 328) menambahkan bahwa agama lebih menunjukkan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum resmi. Religiositas di pihak lain, melihat aspek di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi.

2) Nilai Pendidikan Sosial

(33)

xxxiii

Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan cara hidup sosial. Menurut Arifin L. Betrand (dalam Munandar Soelaeman, 1998: 9) mengemukakan bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan atau orang. Jadi nilai sosial bersumber pada kenyataan yang ada di lingkungan masyarakat.

Ilham sastra adalah kehidupan seutuhnya dengan fenomena-fenomena yang kaya dan unik. Kenyataan bahwa dalam kehidupan sosial itu kompleks dan penuh konflik dengan hal yang pahit dan manis, penuh hal-hal yang menarik untuk didramatisasikan dalam sebuah karya sastra. Menurut Allport, Vernon dan Lindzey (dalam Jujun S. Suriasumantri, 2001: 263) menyatakan bahwa nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Artinya bahwa nilai sosial berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat.

3) Nilai Pendidikan Moral

(34)

xxxiv

Nilai moral berkaitan dengan semua unsur, karena nilai moral adalah nilai yang luas. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 322) menyatakan bahwa moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Maksudnya bahwa nilai moral tersebut berisi tentang bagaimana cara bersikap dan bertingkah laku yang baik dalam bermasyarakat, melalui tokoh masing-masing yang disampaikan oleh pengarangnya.

Nilai moral terdapat beberapa cirinya. Sesuai dengan pendapat Bertens (1999: 143-144) yang mengemukakan ciri-ciri nilai moral sebagai berikut:

a) Berkaitan dengan tanggung jawab, dalam arti nilai-nilai moral mengakibatkan seseorang bersalah atau tidak bersalah karena ia bertanggung jawab.

b) Berkaitan dengan hati nurani. Hal ini mengandung pengertian bahwa nilai moral menimbulkan suara dari hati yang menuduh pembaca bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji pembaca bila mewujudkan nilai tersebut.

c) Mewajibkan. Hal ini mengandung pengertian bahwa nilai moral harus diakui dan harus direalisasikan. Keharusan tersebut bersifat mutlak tanpa syarat.

d) Bersifat formal, dalam arti nilai-nilai moral tidak ada yang murni melainkan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam tingkah laku moral.

Masalah moral sering dikaitkan dengan budi pekerti dan teladan. Jika dikaitkan dengan karya sastra maka dalam karya sastra yang baik akan terdapat petikan suri tauladan yang dapat diambil hikmahnya oleh pembaca. Dengan demikian sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral.

(35)

xxxv

Nilai estetika atau yang lebih dikenal dengan nilai keindahan, selalu hadir dalam karya sastra. Munandar Sulaeman (1998: 65) berpendapat bahwa batasan keindahan sulit dirumuskan karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran. Nilai keindahan dimaksudkan agar seseorang mampu merasakan dan mencintai suatu yang indah. James Joyce (dalam Atar Semi, 1993: 26) menerangkan bahwa keindahan itu mempunyai tiga ciri atau unsur pokok, yaitu: (1) kepaduan (integrrity); (2) keselarasan (harmony); dan (3) kekhasan

(individuation).

Nilai estetika dalam karya sastra berarti keindahan yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Menurut pendapat Dendy Sugono (2003: 182) menyatakan bahwa karya sastra disebut memiliki nilai estetika apabila karya sastra itu: 1) mampu menghidupkan atau memperbaharui pengetahuan pembaca, menuntunnya melihat kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap yang dimiliki; 2) karya sastra itu mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berfikir dan berbuat lebih banyak dan lebih baik bagi penyempurnaan kehidupannya; 3) karya sastra itu mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, atau politik masa lalu dalam kaitannya dengan peristiwa masa kini dan masa datang. Itulah sebabnya pengalaman (batin) yang diperoleh pembaca dari karya sastra yang dibacanya disebut pengalaman yang estetika.

(36)

xxxvi

sikap dan ucapannya. Nilai-nilai keindahan dalam karya sastra tercermin dalam penggunaan diksi, gaya bahasa dan lain sebagainya.

Ditambahkan Atar Semi (1993: 56) berpendapat sebuah karya sastra dapat memberi kenikmatan dan rasa keindahan (bersifat estetis) bagi pembacanya. Jadi, dasar dari pendidikan estetis ini adalah bahwa karya sastra itu sebenarnya mengandung nilai-nilai keindahan yang sangat bermanfaat bagi perasaan pembaca atau penikmat sastra agar lebih halus sikap dan ucapannya, lebih santun dan estetis tindakannya.

D. Peranan Nilai Edukatif bagi Siswa

Pendidikan memegang peranan yang penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Guna mewujudkan tujuan di atas diperlukan usaha yang keras dari masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah berat, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai peranan yang penting dalam dunia pendidikan.

Pembelajaran merupakan proses belajar yang dilakukan oleh siswa dalam memahami kajian yang tersirat dalam pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses dari kegiatan belajar mengajar. Moedjiono dan Dimyati (1992: 1) menjelaskan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan tersebut yaitu kegiatan belajar dan mengajar. Belajar adalah kegiatan primer dalam kegiatan belajar mengajar, sedangkan kegiatan mengajar merupakan kegiatan sekunder yang dimaksudkan untuk dapat terjadinya kegiatan pembelajaran yang optimal. Belajar dan mengajar merupakan kesatuan kegiatan yang harus ada dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.

(37)

xxxvii

memperkaya moral, (2) Siswa memahami sastra dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) meningkatkan rasa keimanan pembaca sebagai bangsa yang bermoral dan beragama (4) Siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis) yang terikat dengan norma agama, (5) Siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) Siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.Untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa Indonesia, pengajarannya dilakukan sejak dini, yakni mulai dari sekolah dasar yang nantinya digunakan sebagai landasan untuk jenjang yang lebih lanjut. Pembelajaran bahasa Indonesia ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa Indonesia yang baik dapat diketahui dari standar kompetensi yang meliputi, membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan (menyimak).

E. Kurikulum Pendidikan

1. Pengertian Kurikulum

Masa depan bangsa terletak pada tangan generasi muda. Mutu bangsa di kemudiana hari bergantung pada pendidikan yang di kecap oleh anak-anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang di terima di sekolah. Apa yang akan dicapai di sekolah, ditentukan oleh kurikulum di sekolah itu.

(38)

xxxviii

pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Pengajaran disekolah mempunyai pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan. Pedoman yang digunakan adalah dengan menggunakan kurikulum. Menurut S. Nasution (1999: 5) mengatakan pengertian kurikulum adalah suatu rencana yang disussun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya. Jadi, kurikulum merupakan pedoman yang menjadi tanggung jawab semua pihak di sekolah.

Kedudukan sastra di dalam kurikulum sekolah memang tidak berdiri secara otonom. Pengajaran sastra merupakan bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia. Dengan demikian, kedudukan novel dalam bahan pembelajaran sastra agar siswa dapat mengikuti dan memiliki rasa peka terhadap materi yang disajikan yakni novel. Oleh karena itu, guru harus mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam tentang proses pembelajaran sastra agar siswa dapat mengikuti dan memiliki rasa peka terhadap materi yang disajikan yakni novel. Oleh karena itu, guru harus mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam tentang proses pembelajaran sastra.

Sebuah karya sastra yang bermutu, di dalamnya pasti akan terkandung nilai-nilai pendidikan yang berguna bagi kehidupan manusia. Dalam pengajaran terdapat acuan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar, yang disebut kurikulum. Menurut Jhon Dewey (1986) mengatakan, “The traditional curriculum undoubtedly entailed rigid regimentation and a discipline that ignored the capacities and interests of

child nature.” ( “Kurikulum tradisional jelas mengusung sebuah pahamyang kaku dan merupakan suatu disiplin keilmuan yang tidak memperdulikan sifat-sifat alami anak seperti kapasitas dan minat mereka.”)

(39)

pendapat-xxxix

pendapat baru tentang hakikat dan perkembangan anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan, dan lain-lain, yang memaksa diadakan perubahan kurikulum. Menurut S. Nasution (2003: 3) mengatakan pengembangan kurikulum adalah proses yang tak henti-hentinya, yang harus dilakukan secara kontinu. Jika tidak, maka kurikulum menjadi usang atau ketinggalan zaman. Makin cepat perubahan pada masyarakat, makin sering dilakuakn penyesuaian kurikulum.

Pendidikan merupakan bagian dari integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri.Paul G. Paris (2003: 234) mengatakan, “An international curriculum that is servicing global needs and demands would not necessarily be

sensitive to local needs or demands and would not consider options such as

weighing tertiary entrance grades because its focus is on global …..” (Sebuah kurikulum internasional yang mengampu kebutuhan dan tuntunan global tidak akan mengetengahkan pilihan-pilihan seperti dari tingkatanapakah bobot masukan tersiernya karena hanya terfokus pada kesetaraan secara global….”)

Pengajaran sastra meliputi teori sastra, apresiasi sastra, dan kritik sastra. Pengajaran sastra di Sekolah Menengah Atas biasanya adalah dengan mencari unsure intrinsic yang ada pada karya sastra. Karya sastra yang digunakan dalam pengajaran sastra di SMA adalah berdentuk puisi, cerpen, novel dan roman. Pengajaran sastra di SMA berpedoman pada kurikulum yang berlaku. Kurikulum yang berlaku saat ini adalah kurikulum 2006 atau lebih dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Definisi KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap datuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

(40)

xl

dasar menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan. Materi pembelajarannya berupa novel Indonesia dan novel terjemahan yang meliputi unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar dan amanat) dan unsur ekstinsik dalam novel terjemahan (nilai budaya, sosial, moral dan lain-lain).

Berikut adalah silabus kela XI mata pelajaran bahasa Indonesia, dengan standar kompetensi memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan:

(Terlampir)

2. Psikologi Remaja

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spirirual, intelektual, emosional maupun sosial. Syamsu Yusuf LN (2002: 3) mengatakan psikologi perkembangan adalah merupakan salah satu bidang psikologi yang memfokuskan kajian atau pembahasannya mengenai perubahan tingkah laku dan proses perkembangan dari masa konsepsi (pra-natal) sampai mati.

Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase) remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan pada perkembangan masa dewasa yang sehat. Sarlito Wirawan Sarwono (2000: 4) mengatakan konsep tentang remaja bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan berasal dari bidang ilmu-ilmu sosial lainnya seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi.

(41)

xli

memperoleh bentuk yang sempurna dan fungsi sempurna. Sarlito Wirawan Sarwono (2000: 6)

Kematangan remaja belumlah sempurna jika tidak memiliki kode moral yang dapat diterima secara universal. Menurut William Kay (dalam Syamsu Yusuf LN 2002: 72) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut:

1) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.

2) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas.

3) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individu maupun kelompok.

4) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

5) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

6) Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup. (Weltanschauung).

7) Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.

Bila ditinjau secara teoretis, masa remaja terdiri dari remaja puber dan remaja adolsen. Zulkifli L (1986: 87) membagi cirri-ciri remaja yang harus diketahui adalah sebagai berikut:

1) Pertumbuhan fisik, mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan masa kanak-kanak dan masa dewasa.

2) Perkembangan seksual, mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri dan sebagainya.

3) Cara berfikir kausalitas, menyangkut hubungan sebab dan akibat.

(42)

xlii

5) Mulai tertarik kepada lawan jenisnya, dalam kehidupan sosial remaja mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya dan mulai pacaran.

6) Menarik perhatian lingkungan, berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampong yang diberi peranan.

7) Terikat dengan kelompok, dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orangtua dinomorduakan sedangkan kelompoknya dinomorsatukan.

Inteligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) C.P. Chaplin (dalam Syamsu Yusuf LN 2002: 106) inteligensi itu sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.

Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugrah dari Allah SWT, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesame manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisiskan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya. Syamsu Yusuf LN (2002 :118).

Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa:

1) Faktor kesehatan, berpengaruh pada usia awal kehidupan anak.

2) Inteligensi, perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya.

3) Status sosial ekonomi keluarga, anak yang dari keluarga miskin mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya.

4) Jenis kelamin, anak wanita menunjukkan perkembangannya lebih cepat dari anak pria.

5) Hubungan keluarga, proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga. Syamsu Yusuf LN (2002 :121-122).

(43)

xliii

(dalam Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2004: 123) dapat dibagi kedalam empat komponen, yaitu:

1) Fonologi (phonology), bagaimana cara individu menghasilkan bunyi bahasa.

2) Semantik (semantics), merujuk pada makna kata atau cara yang mendasari konsep-konsep yang diekspresikan dalam kata-kata atau kombinasi kata.

3) Tata bahasa (grammar), merujuk pada penguasaan kosakata dan memodifikasikan cara-cara yang bermakna.

4) Pragmatik (pragmatics), merujuk pada komunikatif dari bahasa.

3. Kriteria Novel Sebagai Bahan Ajar

Perkembangan karya sastra dalam kehidupan masyarakat terasa begitu cepat, sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak. Oleh karena itu, tidak semua gender sastra yang ada dapat dijadikan materi pengajaran, demikian juga halnya terhadap novel. Untuk menetapkan novel sebagai bahan ajar, memerlukan pertimbnagan dasar, baikkah sebuah novel itu dipilih sebagai bahan ajar? Pertanyaan demikian akan terjawab, bila dilalui dengan proses penilaian dan penyeleksian. Menilai sebuah novel, bukanlah suatu hal yang mudah, kompleksnya konvensi atau sistem organisme yang terkandung dalam sebuah novel mengakibatkan sulitnya seseorang memahami dan mencerna isi secara keseluruhan. Kesulitan inilah di antaranya yang menyebabkan tujuan pengajaran sastra kurang tercapai.

(44)

xliv

Novel memungkinkan seorang siswa dengan kemampuan membacanya, hanyut dalam keasyikan (Rahmantoro, 1988: 65). Novel-novel ini jelas dapat membantu dan menunjang sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan para siswa disamping novel-novel tertentu yang dijadikan bahan pembelajaran oleh guru sastra. Adanya novel dalam KTSP membuka pencerahan baru agar siswa dapat lebih aktif dan konstruktif terhadap gejala atau situasi yang terjadi saat ini.

Menurut Ahmad Sudrajat (2008) membagi prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi: (a) prinsip relevansi, (b) konsistensi, dan (c) kecukupan. Prinsip relevansi artinya materi pembelajaran hendaknya relevan memiliki keterkaitan dengan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Prinsip konsistensi artinya adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Misalnya, kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya.

Gambar

Tabel 1. Rincian Kegiatan, Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Verba majemuk yang paling sering muncul ada dua jenis, yaitu verba majemuk dasar yang komponen pertama berupa verba dan komponen kedua berupa nomina, dan verba majemuk

Berdasarkan berbagai teori sosiologi sastra yang telah dikemukakan tersebut, pokok-pokok ajaran Islam karya Habiburrahman El shirazy dalam novel Ketika Cinta Bertasbih

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. 3) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan. perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu

Tesis yang berjudul Makna Religi Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy: Analisis Semiotik dan Aplikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Madrasah Aliyah

Peristiwa di samping adalah peristiwa campur kode klausa bentuk dialog yang dilakukan tokoh Fadhil, masuknya unsur bahasa Arab ‗jazakallah‘ ke dalam tuturan bahasa

Dakwah tidak hanya dipahami sebagai proses penyampaian pesan Islam dalam bentuk ceramah, khutbah di podium atau mimbar saja yang biasa dilakukan oleh penceramah atau

Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English” dapat pula kita peroleh keterangan yang mengatakan, “novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup

[r]