• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batubara dan Residu Pembakaran 2.2. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batubara dan Residu Pembakaran 2.2. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara dan Residu Pembakaran

Berdasarkan pada kandungan relatif antara unsur C dan H2O, maka

batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan, yaitu : antracit, bituminus, subbituminus, lignit dan gambut. Pada antracit kandungan C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O. Pada bituminus kandungan C lebih rendah

dibandingkan dengan kandungan H2O, namun kandungan C pada bituminus lebih

rendah dibandingkan dengan antracit, tetapi kandungan air lebih tinggi dari antracit. Antracit adalah jenis batubara keras, mineralnya kompak sehingga mempunyai kilauan tinggi, memiliki jumlah karbon paling tinggi dan memiliki pengotor paling sedikit. Lignit juga dikenal sebagai batubara coklat, menempati tingkatan batubara paling rendah (Jala dan Goyal, 2006).

Batubara tersusun dari bahan-bahan organik yang mudah terbakar bersama-sama dengan bahan-bahan anorganik yang sukar terbakar. Pembakaran batubara (antracit, bituminus, subbituminus dan lignit) akan menghasilkan limbah padat yang berasal dari fraksi yang sukar terbakar. Limbah padat terdiri dari fly-ash (abu terbang) berjumlah 70%, bottom ash berjumlah 10-12%, boiler slag berjumlah 4-6% dan materi flue gas desulphurization (FGD) berjumlah 10-12% dari total padatan yang dihasilkan. Bahan FGD adalah bahan padat dari reaksi antara gas SO2 dengan kapur menghasilkan CaSO4 (Basu et al., 2009).

2.2. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang

Sifat-sifat mineralogi, fisika dan kimia dari abu terbang tergantung pada bahan induk batubara di alam, kondisi pembakaran, tipe alat kontrol emisi dan penyimpanan serta metode pengelolaannya (Jala dan Goyal, 2006; Basu et al., 2009; Pandey et al., 2009; Haynes, 2009), sehingga pembakaran batubara antracit, bituminus dan lignit akan menghasilkan abu terbang yang berbeda komposisinya.

Abu terbang memiliki ukuran yang sangat halus, yaitu 0,01 – 100 µm (65-90% berukuran < 10 µm), bulk density (bobot isi) rendah (1,01- 1,43 gr cm3), luas permukaan tinggi dan tekstur ringan (silt loam), daya ikat air berkisar dari 6,1% pada tekanan 15 bar dan 13,4% pada tekanan 1/3 bar. Abu terbang dari

(2)

batubara bituminus umumnya lebih halus dibandingkan dengan batubara lignit. Partikel abu terbang sebagian besar berbentuk bola, sebagian berongga (cenospheres) dan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristal-kristal yang lebih kecil (plerospheres). Fraksi cenospheres merupakan bagian terbanyak dalam abu terbang khususnya pada fraksi yang sangat halus (Basu et al., 2009).

Abu terbang tersusun dari 90-99% Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na dan K. Karbon dan nitrogen teroksidasi membentuk gas selama pembakaran sehingga jumlahnya di dalam abu terbang dapat diabaikan (sangat kecil). Abu terbang umumnya bersifat alkalin di alam, namun pH abu terbang dapat bervariasi dari 4,5 – 12. Nilai pH abu terbang sebagian besar ditentukan oleh kandungan S dalam bahan induk batubara, tipe batubara yang digunakan selama pembakaran dan kandungan S dalam abu terbang (Haynes, 2009). Selain hara essensial, abu terbang mengandung beberapa logam toksik seperti Cr, Pb, Hg, As dan Cd yang membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia (Gupta et al., 2007).

Berdasarkan pada kandungan silika, alumina dan besi oksida, abu terbang diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu : Klas F (kandungan kapur rendah) dan klas C (kandungan kapur tinggi) (Basu et al., 2009). Pada pembakaran dengan suhu yang lebih tinggi, batubara antracit atau bituminus akan menghasilkan abu terbang klas F, sedangkan pembakaran batubara lignit atau subbituminus menghasilkan abu terbang klas C. Kandungan alkali dan SO4 umumnya lebih tinggi pada abu

terbang klas C daripada klas F (Basu et al., 2009).

Abu terbang dapat digunakan untuk tujuan pengapuran karena mengandung CaO dan MgO. Kemampuan pengapuran atau daya netralisasi dari abu terbang mempunyai variasi yang besar tergantung pada sumber abu dan proses pelapukan. Daya netralisasi abu terbang berkorelasi negatif dengan kandungan Fe dan Si dan berkorelasi positif dengan Ca dan Mg. Daya netralisasi dari abu terbang klas C (mengandung CaO>15%) lebih besar dari daya netralisasi abu terbang klas F (mengandung CaO<10%). Oleh sebab itu meskipun abu terbang klas F menunjukkan pH yang tinggi, tetapi daya netralisasinya ketika kontak dengan tanah akan lebih rendah karena rendahnya kandungan CaO. Daya netralisasi abu terbang equivalen 20-30% CaCO3 (Haynes, 2009).

(3)

Kandungan boron tersedia pada abu terbang berkisar 20-60% dan dapat melebihi 250 mgkg-1. Pada konsentrasi > 30 mgkg-1 B bersifat toksik bagi tanaman. Berdasarkan kandungan B terlarut dalam abu terbang maka kriteria B dibagi menjadi : non-toxic (<4 mgkg-1), slightly toxic (4-10 mgkg-1), moderately toxic (11-20 mgkg-1), toxic (21-30 mgkg-1) dan highly toxic (>30 mgkg-1) (Haynes, 2009). Boron bersifat mobil, sehingga B akan berkurang secara bertahap sesuai waktu karena terjadi pelapukan dan pencucian (Haynes, 2009).

Abu terbang memiliki sifat pozzolan. Jika bereaksi dengan kapur bebas dan air akan membentuk semen. Secara karakteristik abu terbang klas C memiliki sifat-sifat pozzolan, sementara abu terbang klas F jarang membentuk semen ketika bercampur dengan air. Pada beberapa kasus timbunan abu terbang klas C berkembang membentuk semen atau lapisan yang kompak sehingga mengurangi aerasi, infiltrasi dan penetrasi akar (Jala dan Goyal, 2006).

2.3. Fitoremediasi

Fitoremediasi adalah suatu teknologi penggunaan tumbuhan untuk memindahkan, menguapkan dan menstabilkan kontaminan logam berat dari dalam tanah. Ada beberapa proses dalam fitoremediasi, yaitu: fitoekstraksi, fitovolatilisasi dan fitostabilisasi (Kidd et al., 2009). Fitoekstraksi menurut Vassilev et al. (2002) harus mencakup 4 hal berikut ini : (1) pengelolaan tanaman pada lokasi tercemar, (2) pemindahahan logam melalui biomassa yang dipanen, (3) dilakukan perlakuan terhadap biomassa yang dipanen berikut pelenyapan biomassa sebagai limbah berbahaya, dan (4) akhirnya penghilangan logam dari biomassa yang dipanen.

Fitoremediasi menurut Ghosh dan Singh (2005) terdiri dari 5 proses utama, yaitu: rizofiltrasi, fitostabilisasi, fitoekstraksi, fitovolatilisasi dan fitodegradasi seperti disajikan dalam Tabel 1.

Rizofiltrasi didefinisikan sebagai penggunaan tanaman, baik tanaman darat maupun air untuk menyerap atau mengendapkan kontaminan dari sumber pencemar yang berair dengan konsentrasi kontaminan yang rendah di akar. Rizofiltrasi dapat diperlakukan untuk menahan kontaminan dari limbah industri, aliran permukaan kegiatan pertanian dan drainase asam tambang. Proses ini

(4)

dapat digunakan terhadap logam-logam Pb, Cd, Cu, Ni, Zn dan Cr yang paling utama terikat di akar. Keuntungan dari proses rizofiltrasi bahwa kemungkinannya untuk diterapkan baik secara in-situ maupun secara ex-situ dan dengan menggunakan species tanaman hiperakumulator (Ghosh dan Singh, 2005).

Tabel 1. Proses fitoremediasi, mekanisme dan kontaminan yang dipindahkan

No. Proses Mekanisme Kontaminan

1. Rizofiltrasi Akumulasi rizosfer Organik /anorganik

2. Fitostabilisasi Kompleksasi Anorganik

3. Fitoekstraksi Hiperakumulasi atau akumulasi

Anorganik

4. Fitovolatilisasi Volatilisasi melalui daun

Organik/anorganik

5. Fitodegradasi Degradasi dalam tanaman

Organik

Fitostabilisasi paling banyak digunakan untuk meremediasi tanah, sedimen atau sludge. Kemampuan akar dalam proses fitostabilisasi tergantung dari mobilitas kontaminan dan ketersediaannya di tanah. Fitostabilisasi dapat terjadi melalui penyerapan, pengendapan, kompleksasi ataupun pengurangan valensi logam. Tujuan utama penggunaan tanaman dengan proses ini adalah mengurangi jumlah perkolasi air melalui matrik tanah, yang mengakibatkan pembentukan leachate yang berbahaya dan mencegah erosi tanah dan penyebaran logam-logam toksik ke daerah lain. Kerapatan sistem perakaran akan menstabilkan tanah dan mencegah erosi. Proses ini sangat efektif untuk mengimmobilisasi dengan cepat air permukaan dan air tanah dan tidak membutuhkan pembuangan biomassa, namun kerugiannya bahwa kontaminan dapat kembali ke dalam tanah, sehingga dibutuhkan monitoring yang berkelanjutan (Kidd et al., 2009).

Fitoekstraksi merupakan pendekatan yang paling baik untuk memindahkan kontaminan, terutama dari tanah dan mengisolasinya tanpa merusak struktur tanah dan kesuburan tanah. Proses ini juga dikenal dengan istilah fitoakumulasi. Faktor yang harus diperhatikan agar metode ini sesuai adalah tanaman yang digunakan

(5)

harus dapat mengekstrak logam dalam konsentrasi yang besar ke dalam akar, kemudian mentranslokasikannya ke tajuk dan memproduksi biomassa tanaman dalam jumlah besar. Pemindahan logam berat dapat didaur ulang kembali dari biomassa tanaman yang telah terkontaminasi. Faktor-faktor tanaman seperti laju pertumbuhan, selektifitas elemen, resisten terhadap penyakit, metode panen juga penting untuk diperhatikan. Namun pertumbuhan yang lambat, sistem perakaran yang dangkal, produksi biomassa yang kecil dan pembuangan akhir dapat menjadi pembatas penggunaan species hiperakumulator (Kidd et al., 2009).

Fitovolatilisasi mencakup penggunaan tanaman untuk mengambil kontaminan dari dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk volatil dan kemudian mentranspirasikan ke atmosfer. Proses ini biasanya dilakukan oleh tanaman berbentuk pohon atau tanaman lain yang dapat mengambil air dan kontaminan, baik organik maupun anorganik. Beberapa kontaminan dapat melewati tanaman menuju ke daun untuk kemudian diuapkan ke atmosfer dalam perbandingan konsentrasi yang lebih rendah. Fitovolatilisasi biasanya digunakan untuk memindahkan merkuri. Ion merkuri ini diubah ke dalam elemen merkuri yang memiliki daya toksik kecil (Ghosh dan Singh, 2005).

Fitodegradasi memutuskan kontaminan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga dapat masuk ke dalam jaringan tanaman. Tanaman memiliki enzim yang dapat memutuskan dan dapat mengubah limbah pelarut organik seperti trichloroethylene dan herbisida lainnya. Enzim tersebut adalah dehalogenase, oksigenase dan reduktase. Rizodegradasi adalah pemutusan senyawa organik dalam tanah melalui aktifitas mikroorganisme yang berada di rizosfer dan sebagian besar proses ini lebih lambat dari fitodegradasi. Ragi, jamur, bakteri dan organisme lainnya dapat mengkonsumsi dan menghancurkan bahan-bahan organik seperti minyak dan pelarut organik. Semua penggunaan teknologi fitoremediasi dapat digunakan secara simultan, tetapi kemampuan dalam mengekstrak logam tergantung pada ketersediaan logam di dalam tanah (Ghosh dan Singh, 2005).

2.4. Respon Tanaman terhadap Logam Berat

Menurut Ghosh dan Singh (2005), tanaman memiliki 3 strategi dasar untuk tumbuh pada tanah yang terkontaminasi logam, yaitu:

(6)

2.4.1. Ekskluder logam

Tanaman memiliki kemampuan dari dalam untuk mencegah masuknya logam dari luar untuk masuk ke dalam jaringan tanaman atau mempertahankan konsentrasi logam tetap rendah atau konstan di bagian dalam dibandingkan konsentrasi di luar tanaman. Tanaman biasanya membatasi penyerapan logam hanya di bagian akar. Tanaman dapat mengubah permeabilitas membrannya, mengubah kemampuan pengikatan logam terhadap dinding sel atau mengeluarkan bahan-bahan untuk mengkelat.

2.4.2. Indikator Logam

Species tanaman secara aktif mengakumulasi logam dalam jaringan dan umumnya merespon peningkatan logam dalam tanah. Tanaman ini memiliki kemampuan toleransi terhadap konsentrasi logam berlebihan dengan memproduksi senyawa yang dapat mengikat logam intrasellular (chelator), atau mengubah bentuk penyimpanan logam melalui penyimpanan logam pada bagian yang tidak sensitif.

2.4.3. Akumulator Logam

Tanaman akumulator logam adalah tanaman yang dapat mengakumulasi logam pada bagian tanaman pada tingkat yang jauh melebihi kadar logam dalam tanah. Hiperakumulator adalah tanaman yang dapat menyerap kontaminan dalam jumlah yang tinggi dan dikonsentrasikan pada akar, tajuk atau daun. Brooks (2000) mendefinisikan tanaman hiperakumulator logam sebagai tanaman yang mengandung ≥ 0,1% (≥ 1000 mg/kg) logam Cu, Cr, Pb, Ni dan Co, mengandung ≥ 1% (≥ 10.000 mg/kg) logam Zn dan Mn dalam berat kering serta ≥ 0,01% untuk Cd dan logam-logam yang jarang lainnya. Para peneliti mengidentifikasi tanaman hiperakumulator melalui pengumpulan tanaman dari area yang tercemar, dimana kandungan logamnya lebih tinggi dari kandungan logam-logam tersebut dalam tanah pada umumnya. Ada sekitar 400 species tanaman hiperakumulator dari 22 famili yang telah diidentifikasi. Famili Brassicaceae memiliki species yang bersifat hiperakumulator paling banyak, yaitu 87 species dari 11 genus, serta

(7)

memiliki keberagaman logam paling besar. Secara konsep respon tanaman terhadap logam berat ditampilkan pada Gambar 2.

Hiperakumulator Konsentrasi logam dalam tanaman Indikator Ekskluder

Konsentrasi logam dalam tanah

Gambar 2. Strategi respon tanaman terhadap logam berat dalam tanah

2.5. Tanaman Hiperakumulator dan Akumulator

Kunci efesien tidaknya fitoremediasi dalam proses fitoekstraksi yang dilaksanakan tergantung pada tumbuhan yang digunakan apakah memiliki karakteristik hiperakumulator atau akumulator. Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang sering ditemukan dan dapat tumbuh pada tempat tercemar serta secara alami dapat mengakumulasi logam berat dalam jumlah tinggi di bagian tajuk dibanding dengan bagian akar (Haque et al., 2008). Karakteristik utama tumbuhan hiperakumulator (Wei et al., 2008) adalah sebagai berikut : (1) kemampuan akumulasi logam tinggi (untuk As, Pb, Cu, Ni dan Co ≥ 1000 mg kg-1 berat kering, Zn dan Mn ≥ 10.000 mg kg-1, Au≥ 1 mg kg-1 dan Cd ≥ 100 mg kg-1); (2) konsentrasi logam di tajuk lebih tinggi dari akar (Translocation Factor > 1); (3) konsentrasi logam di tajuk lebih tinggi dari tanah (Enrichment Capability/Enrichment Factor = EF > 1); dan (4) tanaman hiperakumulator mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kontaminan toksik (Tolerance Capability 10 -500 kali > dari lahan tidak tercemar).

(8)

Malayeri et al. (2008) mengungkapkan bahwa kemampuan tanaman untuk menyerap logam dari lingkungan tempat tumbuhnya dapat diketahui melalui ratio antara konsentrasi logam di dalam tanaman dengan konsentrasi logam di dalam tanah yang disebut dengan BAC (Biological Absorption Coefficient). Pengelompokan tanaman berdasarkan kemampuannya dalam mengangkut atau menyerap logam berat dan sensitifitasnya terhadap pencemaran logam yang tinggi dibagi menjadi 4 kelompok (Malayeri et al., 2008):

1. Species tanaman yang mempunyai BAC antara 1-10 disebut tanaman akumulator tinggi.

2. Species tanaman yang mempunyai BAC antara 0,1-1 disebut tanaman akumulator sedang.

3. Species tanaman yang mempunyai BAC antara 0,01-0,1 disebut tanaman akumulator rendah.

4. Species tanaman yang mempunyai BAC < 0,01 disebut tanaman non akumulator.

2.6. Tipe-Tipe Fitoekstraksi 2.6.1. Fitoekstraksi secara alami

Pada kondisi alami, tanaman tertentu telah diidentifikasi memiliki kemampuan menyerap logam berat. Sekurang-kurangnya ada 45 famili yang berfungsi sebagai tanaman hiperakumulator, diantaranya: Brassicaceae, Fabaceae, Euphorbiaceae, Asteraceae, Lamiaceae dan Scrophulariaceae. Diantara hiperakumulator yang paling baik adalah Thlaspi caerulescens yang mampu menyerap Zn sebanyak 26.000 mgkg-1 dan hingga 22% Cd tertukar dari lokasi terkontaminasi (Kidd et al., 2009). Brassica juncea juga diketahui memiliki kemampuan yang baik dalam mentransfer Pb dari akar ke tajuk, dengan nilai koefisien fitoekstraksi 1,7 dan pada konsentrasi Pb 500 mg/l, Brassica juncea tidak menunjukan toksik. Koefisien fitoekstraksi adalah perbandingan antara konsentrasi logam di tajuk dengan konsentrasi logam dalam tanah. Brassica juncea mampu memindahkan Pb 1.155 kg Pb per acre. Tanaman Pteris

vitatta menunjukkan kemampuan mengakumulasi As sebanyak 14.500 mgkg-1

(9)

2.6.2. Peningkatan fitoekstraksi

Adanya logam berat di dalam sel tanaman telah memicu tanaman untuk memproduksi ligan oligopeptida yang dikenal dengan phytochelatin (PCs) dan metallothionin (MTs). Peptida ini dapat mengikat logam menjadi komplek yang stabil dan selanjutnya dapat menetralisir toksik dari ion logam. PCs memiliki fungsi yang hampir sama dengan MTs (Kidd et al., 2009).

Chelat dapat diisolasikan pada tanaman dan dapat memperbaiki pengambilan logam berat dan mendetoksifikasi. Agen chelat seperti ethylenediamine tetra acetic acid (EDTA) yang diaplikasikan terhadap tanah yang terkontaminasi Pb dapat meningkatkan jumlah ketersediaan Pb dalam tanah dan menyebabkan akumulasi Pb menjadi lebih besar dalam tanaman. Penambahan chelat pada tanaman yang terkontaminasi Pb (total Pb tanah 2500 mgkg-1) meningkatkan konsentrasi Pb di tajuk tanaman jagung dan kacang kapri (> 10.000 mgkg-1). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan chelat akan mendorong pemindahan Pb dalam xilem selanjutnya meningkatkan translokasi Pb dari akar ke tajuk (Ghosh dan Singh, 2005).

2.7. Bentuk Total dan Ketersediaan Logam Berat dalam Tanah

Logam berat termasuk zat pencemar karena sifatnya yang stabil dan sulit untuk diuraikan. Logam berat adalah elemen yang mempunyai berat atom antara 63,54 - 200,50 dan kerapatan jenis > 6 g cm-3 (Ghosh dan Singh, 2005), selain itu mempunyai affinitas yang tinggi terhadap asam humik, organo dan oksida liat yang diselimuti oleh bahan organik. Di dalam tanah logam berat terdiri atas berbagai bentuk, yaitu bentuk terikat pada partikel organik, bentuk tereduksi (hidroksida), karbonat, sulfida dan bentuk terlarut dalam tanah. Bentuk larut berada dalam fase koloid (ion dan chelat) dimana bentuk ini sangat membahayakan pada kehidupan organisme dan lingkungan.

Kelarutan logam, baik di dalam tanah maupun air tanah, dipengaruhi oleh pH, jumlah logam, kapasitas tukar kation, kandungan bahan organik, kondisi oksidasi dari komponen mineral serta potensial redoks. Secara umum pH tanah mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kelarutan dan retensi logam di dalam tanah dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya. Retensi yang tinggi

(10)

dengan kelarutan yang rendah terjadi pada pH yang tinggi. Oleh sebab itu kation logam lebih banyak bergerak dalam kondisi asam (Lasat, 2002).

Efek toksik logam berat lebih ditentukan oleh bentuknya daripada konsentrasinya (Alloway, 1995). Bentuk ion utama Cd dalam tanah adalah Cd2+ tapi bisa juga membentuk ion kompleks seperti CdCl+, CdOH+, CdHCO3-, CdCl3-,

CdCl42-, Cd(OH)3- dan Cd(OH)42-. Cd cenderung lebih mobil dibandingkan

dengan Pb dan Zn dalam tanah sehingga lebih tersedia untuk tanaman. Jika pH menurun, maka kadar Cd akan cenderung meningkat. Logam Zn diketahui memiliki efek antagonistik terhadap penyerapan Cd dalam tanah, artinya adanya Zn bisa mengurangi keberadaan Cd dalam tanah (Alloway, 1995).

2.8. Serapan Tanaman terhadap Logam Berat

Kadar logam berat dalam tanaman dipengaruhi oleh jangka waktu tanaman kontak dengan logam berat, kadar logam dalam tanah, marfologi dan fisiologi tanaman, umur tanaman serta jenis tanaman yang tumbuh di sekelilingnya (Oppelt, 2000). Pengikatan logam berat oleh tanaman diantaranya berlangsung melalui pembentukan senyawa kompleks. Akar tanaman secara langsung dapat menyerap logam berat yang larut, khususnya kation logam berat bebas. Logam berat dalam tanah dapat berdifusi ke permukaan akar melalui pertukaran ion dan melalui hubungan langsung antara akar dengan fraksi liat tanah. Logam berat dapat pula masuk ke dalam sistem perakaran karena adanya asam-asam organik berupa asam malat, sitrat, fumarat dan fenolat yang menyebabkan pH di sekitar perakaran menurun. Akibatnya banyak senyawa dan ion logam menjadi larut sehingga terserap oleh akar tanaman (Lasat, 2002). Selain itu asam-asam organik dapat pula berikatan dengan logam dan bergerak masuk ke dalam vakuola sel.

Menurut Alloway (1995), serapan tanaman terhadap ion logam berat dalam tanah secara luas ditentukan oleh jumlah total ion logam berat dalam tanah, tapi dalam kasus ion yang teradsorpsi secara kuat, penyerapan lebih tergantung pada jumlah akar yang diproduksi tanaman. Penyerapan logam berat oleh akar tanaman bisa berbentuk proses pasif atau aktif (metabolik). Penyerapan pasif (non metabolik) merupakan difusi ion-ion dalam tanah ke dalam endodermis akar, sedangkan penyerapan aktif terjadi melawan suatu gradien konsentrasi dan

(11)

membutuhkan energi metabolik. Penyerapan Pb termasuk proses pasif, sedangkan penyerapan Cu, Mo, Zn termasuk proses aktif atau keduanya. Mekanisme penyerapan bisa beragam untuk ion-ion logam berat yang berbeda, tapi ion-ion yang diserap akar dengan mekanisme sama akan cenderung berkompetisi satu sama lain. Perbedaan relatif dalam penyerapan ion-ion logam berat antara spesies-spesies tanaman dan kultivar-kultivar secara genetik dipengaruhi oleh faktor-faktor : daerah permukaan akar, KTK akar, eksudat akar dan kecepatan evapotranspirasi. Dari proses fisiologis tanaman, beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan logam berat adalah (Oppelt, 2000) :

1. Tipe akar. Sistem perakaran serabut memiliki akar-akar halus yang tersebar di dalam tanah, sehingga akan terjadi kontak maksimum dengan tanah karena besarnya luasan akar.

2. Kedalaman akar. Kedalaman akar berbeda untuk berbagai jenis tanaman, dipengaruhi oleh kondisi lokal diantaranya adalah : kedalaman air, kadar air tanah, srtuktur tanah, densitas tanah dan kesuburan tanah. Kedalaman efektif tanaman fitoremediasi (tidak berkayu) adalah 1-2 ft (30-60 cm).

3. Kecepatan pertumbuhan. Kecepatan pertumbuhan secara langsung akan mempengaruhi kecepatan remediasi. Untuk fitoekstraksi, yang diharapkan adalah kecepatan pertumbuhan tanaman di atas tanah. Dengan tingginya massa akar dan tingginya biomassa tanaman, maka besarnya kontaminan yang diakumulasi, traspirasi air, asimilasi dan metabolisme kontaminan atau produksi eksudat dan enzim akan meningkat. Kecepatan tumbuh yang tinggi akan memperpendek waktu yang diperlukan untuk mencapai biomassa yang tinggi.

4. Kecepatan transpirasi. Kecepatan transpirasi tanaman penting untuk teknologi fitoremediasi yang mempengaruhi pengangkutan kontaminan dan kontrol hidrolik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan transpirasi antara lain species tanaman, umur, massa, ukuran, faktor iklim dan musim.

(12)

2.9. Mekanisme Akumulasi dan Translokasi Logam dalam Tanaman Akumulator atau Hiperakumulator

Tanaman dalam mengakumulasi logam terdiri dari beberapa proses, yaitu: (1) pelarutan logam dalam tanah, (2) penyerapan logam ke dalam akar, (3) translokasi logam ke daun, (4) detoksifikasi logam atau khelatasi, dan (5) sekuesterasi atau volatilisasi. Mekanisme toleransi tanaman terhadap beberapa logam, sebagai berikut:

2.9.1. Arsen (As)

Arsenit adalah AsO2- atau (AsIII) dan arsenat (AsO43- atau (AsV) adalah

bentuk As anorganik yang dominan didapatkan pada tanaman darat. Kedua bentuk ini bersifat fitotoksik. Arsenat marupakan bentuk paling dominan yang didapatkan pada tanah aerob yang hampir sama dengan posfor. Arsenit dapat menyebabkan kematian sel melalui pengikatan dan menghambat enzim dari grup sulfhydryl. Contoh tanaman hiperakumulator As adalah Pteris vittata, yang dapat mengakumulasi As hingga 10.000 mgkg-1, sedangkan pada tanaman non-akumulator sudah memperlihatkan gejala fitotoksik pada konsentrasi 5-100 mgkg-1 As per berat kering (Kidd et al., 2009).

Akumulasi As berkorelasi dengan konsentrasi posfor dari media sekitar. Kelaparan posfat mengakibatkan peningkatan pengambilan As sebesar 2,5 kali, sementara keberadaan posfat dapat mengambat akumulasi As. Pada tanaman P. vittata, arsenit lebih mudah ditranslokasikan dari akar ke tajuk daripada arsenat. Pada tingkat posfor tinggi menunjukkan berkurangnya konsentrasi As di tajuk secara signifikan (Wang et al., 2002).

Untuk mengurangi sifat racun As pada tanaman, maka tanaman dapat mengubah arsenat menjadi arsenit dengan bantuan enzim reduktase atau secara non-enzim dengan menggunakan glutathion yang selanjutnya membentuk komplek arsenit-thiol (AsO2-SH). Komplek arsenit thiol ini selanjutnya disimpan

di vakuola sel. Arsenit sedikit berbahaya bagi tanaman, namun lebih berbahaya bagi hewan terlebih jika masuk ke dalam rantai makanan (Wang et al., 2002).

(13)

2.9.2. Kadmium (Cd)

Cd merupakan logam toksik dan dapat menyebabkan karsinogen. Arabidopsis halleri dan Thlaspi caerulescens merupakan tanaman hiperakmulator Cd, yang dapat menyerap 10.000 mgkg-1 Cd (Brooks, 2000). Pengambilan Cd oleh tanaman dipengaruhi ion divalen lainnya seperti Zn. Kelebihan Zn dalam media dapat mengurangi pengambilan Cd pada beberapa species tananaman. T. caerulescens memiliki kemampuan membentuk enzim antioksidan seperti katalase sehingga memiliki kemampuan untuk toleran terhadap Cd. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa Cd lebih banyak disekuesterasi di apoplast dan vakuola daun pada T. caerulescens, sedangkan menurut Cosio dan Keller (2004), 35% Cd diakumulasi di dinding sel atau apoplast pada daun T. caerulescens.

2.9.3. Kromium (Cr)

Cr (III) merupakan unsur essensial untuk hewan dan tidak termasuk unsur essensial bagi tanaman. Cr (III) merupakan bentuk yang paling stabil. Bentuk Cr yang paling banyak adalah dalam bentuk Cr (0), Cr (III) dan Cr (VI). Cr (0) biasanya dihasilkan dari proses industri. Cr (VI) dianggap 1000 kali lebih toksik dari Cr (III). Tanaman umumnya mengambil Cr dalam bentuk Cr (VI) dan bersifat karsinogenik. Meskipun Cr (IV) yang teroksidasi relatif tidak berbahaya dari Cr (III), namun Cr (IV) dan Cr (VI) yang tercuci ke dalam air tanah dapat membahayakan kesehatan dan merusak ekosistem.

2.9.4. Tembaga (Cu)

Cu merupakan unsur essensial bagi hewan dan tanaman. Kontaminasi Cu terhadap tanah dan air tanah umumnya dihasilkan dari daerah penambangan. Pada konsentrasi yang sangat tinggi, Cu dapat bersifat toksik bagi tanaman. Sebagian besar tanaman yang toleran terhadap Cu bersifat ekskluder. Salix nigra menunjukkan akumulasi yang lebih tinggi terhadap Cd dan Cu bila dibandingkan dengan species Salix lainnnya dan dari percobaan lapangan telah terbukti kemampuan species ini untuk fitoremediasi, sedangkan untuk kontaminan Cu di air, Eichornia crassipes dapat mengakumulasi 21,62 kgha-1 Cu, dan dapat

(14)

berpotensi digunakan untuk fitoremediasi kontaminan Cu pada konsentrasi rendah di dalam limbah cair (Liao dan Chang, 2004).

2.9.5. Merkuri (Hg)

Merkuri bersifat toksik terhadap manusia. Hg masuk ke manusia melalui konsumsi ikan. Bentuk Hg yang paling toksik adalah organomerkuri seperti methil-Hg dan phenil merkuri asetat, diikuti ion Hg (II) dan Hg (0). Hg (0) merupakan bentuk Hg yang sifat toksiknya kecil. Organomerkuri dan ion Hg (II) bersifat toksik bagi tanaman, tetapi tanaman yang bersifat hiperakumulator terhadap Hg belum ditemukan. Jamur Amanita muscaria bersifat hiperakumulator Hg, karena dapat mengakumulasi 96-1900 µgg-1 Hg di bagian tudung, dan dapat mengakumulasi 61-920 µgg-1 Hg di bagian tangkai. Tanaman Salix spp dapat mengakumulasi Hg dan disimpan di dinding sel akar, namun yang ditranslokasikan ke tajuk hanya 0,45-0,65% (Wang dan Greger, 2004).

2.9.6. Nikel (Ni)

Ni merupakan unsur yang bersifat toksik dan menyebabkan karsinogenik pada konsentrasi tinggi. Logam As, Cd, Pb dan Ni sering ditemukan pada daerah penambangan. Konsentrasi Ni dalam tanah dan air air tanah pada daerah penambangan sering melebihi batas aman yang telah ditetapkan. Alyssum lesbiacum dan Thlaspi goesingense adalah tanaman yang bersifat hiperakumulator Ni. Ada 48 species Alyssum yang ditemukan dapat mengakumulasi 1000-30.000 µgg-1 Ni di daun. Thlaspi goesingense dilaporkan dapat mengakumulasi 9.490 mgkg-1 berat kering. (Brooks, 2000).

2.9.7. Timbal (Pb)

Pb merupakan logam berat yang sangat toksik. Pb dapat masuk melalui pernafasan dan dapat mempengaruhi kesehatan terutama anak-anak. Elemen Pb tidak larut, bentuk yang paling larut dari senyawa Pb adalah Pb asetat, Pb klorida dan Pb nitrat. Pb di atmosfer berada dalam bentuk PbSO4 dan PbCO3. Meskipun

beberapa tanaman bersifat ekskluder terhadap Pb seperti Thlaspi praecax, tetapi bersifat hiperakumulator terhadap Zn dan Cd (Sahi et al., 2002). Sesbania

(15)

drummondii (leguminoceae) dan beberapa species Brassica dapat mengakumulasi Pb dalam jumlah yang siginifikan di akar. Tanaman S. drummondii dapat mentoleransi Pb hingga 1500 mgL-1dan mengakumulasi hingga 40 gkg-1 per berat kering di tajuk. Tanaman Brassica juncea yang ditanam pada tanah dengan konsentrasi Pb 645 µgg-1 menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, namun masih dapat mengakumulasi Pb sebanyak 34500 gkg-1 pada bagian tajuk (Sahi et al., 2002).

Tantangan yang paling besar dalam meremediasi Pb adalah bahwa kelarutan Pb dalam tanah sangat rendah dan diperkirakan hanya 0,1% Pb yang tersedia (Huang et al., 1997). Usaha fitoremediasi terhadap Pb dapat dilakukan dengan penggunaan pembenah tanah seperti EDTA untuk meningkatkan pengambilan Pb. Walaupun chelat dapat meningkatkan kelarutan dan pengambilan Pb, tetapi konsentrasi Pb yang ditransfer di tajuk masih rendah dibandingkan dengan konsentrasi Pb dalam tanah, sehingga dapat memicu mobilitas Pb-EDTA untuk tercuci dan mengontaminasi air tanah. Keberhasilan fitoremediasi Pb akan tergantung pada kelarutan Pb dan kemampuan mentranslokasikan ke daun (Ghosh dan Singh, 2005).

2.9.8. Seng (Zn)

Zn merupakan unsur mikro essensial, tetapi pada konsentrasi tinggi bersifat toksik terhadap hewan dan tanaman. Tanaman hiperakumulator Zn yang telah teridentifikasi adalah Thlaspi caerulescens. Tanaman ini dapat mengakumulasi Zn 25.000-30.000 µgg-1, dan belum menunjukkan gejala toksisitas walaupun telah mengakumulasi Zn sebanyak 40.000 µgg-1 bagian tajuk. Tanaman Arabidopsis halleri juga dapat mengakumulasi Zn pada bagian tajuknya hingga 32.000 µgg-1 (Zhao et al., 2000). Terdapat perbedaan antara tanaman hiperakumulator dan tanaman non-akumulator dalam mentransfer Zn. Tanaman hiperakumulator dan non-akumulator (Thlaspi arvense) memiliki affinitas yang sama terhadap Zn, tetapi hiperakumulator memiliki laju pengambilan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan terjadinya transpor Zn yang lebih baik ke daun pada hiperakumulator. T. caerulescens memiliki kemampuan 5 kali lebih dalam mengalirkan Zn ke dalam xilem dan 10 kali lebih dalam mentranslokasikan Zn ke tajuk dibandingkan T. arvense (Zhao et al., 2000).

(16)

Mekanisme detoksifikasi, khelatasi dan sekuesterasi pada tanaman bersifat spesifik species. Zn sebagian besar berikatan dengan malat dalam daun A. halleri. Meskipun malat yang merupakan asam organik paling banyak terdapat pada tajuk T. caerulescens, tetapi tidak ada pengikatan antara malat dan Zn. Malahan pada tanaman T. caerulescens, Zn paling dominan berikatan dengan histidin di akar, sekitar 30% Zn-malat diikat di dinding sel, sedangkan di xilem sebagai Zn-citrat 20%, sementara di daun Zn berikatan dengan malat, citrat dan histidin dan paling dominan Zn berikatan dengan citrat (Sarret et al., 2002).

Tanaman T. caerulescens dan T. arvense sama dalam menyimpan Zn di akar, yaitu di apoplast. Hal ini mengindikasikan bahwa dinding sel tidak toleran tehadap mekanisme ini. Pada tanaman non-akumulator, konsentrasi Zn yang tinggi di akar disimpan di vakuola. Akumulasi Zn di vakuola akar pada tanaman non akumulator sebagai mekanisme toleransi tanaman non-akumulator, sehingga menyebabkan transpor Zn ke daun rendah. Tempat sekuestrasi Zn yang utama di daun pada T. caerulescens adalah vakuola tepatnya pada sel epidermis dan sub-epidermis (Frey et al., 2000), sedangkan pada A. helleri, sekuesterasi Zn terletak di vakuola sel mesofil (Kupper et al., 2000).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang didapat dari hasil simulasi CFD maka dapat disimpulkan dengan penambahan skeg pada bagian belakang kapal menambah hambatan viskos kapal

Respon tanaman dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan dapat terjadi pada tingkat morphologi, fisiologi dan biokimia dengan durasi waktu yang berbeda mulai beberapa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah selama sistem ini berjalan sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna serta dapat memberikan kemudahan

Metode spektrofotometri ultraviolet konvensional dengan pengukuran pada panjang gelombang maksimum tidak dapat digunakan secara langsung untuk penentuan terfenadin dalam

Dari hasil penelitian ini yang dilakukan mulai dari tahap awal hingga pengujian penerapan sistem pendukung keputusan untuk menentukan ranking calon penerima

(2) What are the translation procedures applied in translating the cultural words employed in “Jogja Destination” news in TVRI DIY station.. (3) What are the problems

Minyak nilam produksi daerah kabupaten Buol memiliki kualitas yang baik dari segi bilangan asam, bilangan ester dan kelarutannya dalam alkohol yaitu rata-rata memenuhi standar

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi sifat kimia, seperti pH, kandungan bakteri asam laktat, dan kadar laktosa dalam yogurt yang difermentasi dengan ragi