• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN

KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR

Oleh: I Made Sedana, S.Pd., M.Pd.. Abstrak

Sekolah merupakan institusi sosial yang dibangun untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Realita di masyarakat dimana masyarakat disuguhi pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik tentang kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah. Penanaman nilai pada anak menjadi salah satu faktor penting dalam membangun jiwa anak didik, sehingga anak tidak akan terombang-ambing dalam menerima pengaruh buruk dari lingkungan. Tantangan terbesar bagi sebuah bangsa dalam membangun peradabannya adalah bagaimana Bangsa tersebut dapat membentuk karakter dari masyarakatnya. Pendidikan merupakan salah satu upaya strategis untuk dapat membangun karakter, namun banyak pertanyaan yang mengindikasi keraguan sistem pendidikan yang dibangun dapat menumbuhkan karakter dari anak didik. Kurikulum di tingkat dasar harus dikembangkan secara terpadu sesuai dengan latar sosial dan budaya dengan menempatkan nilai moral menjadi rohnya. Aktifitas keseharian menempatkan pendidik dalam hal ini guru sebagai model untuk bertindak adil dan mengambangkan rasa kasih sayang.

I. Latar Belakang Masalah

Sekolah merupakan institusi sosial yang dibangun untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seorang anak diserahkan oleh orangtuanya ke sekolah dengan tujuan yang sudah pasti agar si anak kelak memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Orangtua memberikan kepercayaan yang besar terhadap sekolah untuk membentuk si anak menjadi manusia yang lebih baik. Biaya yang dikeluarkan oleh orangtua untuk menyekolahkan anaknya tidak bisa dibilang sedikit. Orangtua bahkan mengatur keungannya dengan sangat baik agar bisa memenuhi biaya sekolah, bahkan ada orangtua yang harus mencari hutang kesana kemari hanya untuk biaya sekolah anaknya.

Realita di masyarakat dimana masyarakat disuguhi pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik tentang kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah. Tawuran antar sesama pelajar, pencurian yang dilakukan oleh anak yang masih duduk di bangku sekolah, anak sekolah yang masuk geng motor, kebut-kebutan di jalan, seks bebas, dan masih banyak lagi. Kondisi ini tentunya bukan merupakan harapan dari orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah. Bukan juga merupakan harapan dari guru-guru yang mengajar disekolah. Guru dalam hal ini berupaya penuh menerapkan berbagai metode pembelajaran agar bisa menjadikan anak didiknya menjadi anak yang diharapkan oleh semua orang.

(2)

Melihat banyaknya terjadi kasus kekerasan oleh pelajar, kadang terjadi upaya untuk mencari kambing hitam terhadap siapa yang bertanggungjawab terhadap prilaku siswa tersebut. Orangtua kadang menyalahkan pola pendidikan guru di sekolah, sehingga membuat anak-anak mereka melakukan hal tersebut, sementara guru disekolah berdalih dengan waktu yang sangat terbatas disekolah yang tidak lebih dari 5 jam dan selebihnya anak berada di sekolah. Orangtua yang memiliki waktu lebih banyak di rumah mestinya memberikan pemantauan dan pengawasan terhadap anak. Ada juga pendapat yang muncul di masyarakat yang menyalahkan sistem pendidikan di Indonesia, sehingga lewat wakil rakyatnya mengharapkan pemerintah menganti system pendidikan yang ada. Alhasil, di Indonesia terjadi sebuah perubahan yang berkesinambungan terhadap sistem pendidikan yang ada. Kurikulum berganti-ganti namun tetap hasil yang diharapkan tidak maksimal. Hal yang membuat miris adalah ketika kurikulum yang baru diterapkan ternyata terjadi sebuah kesalahan sehingga kurikulum di kembalikan ke kurikulum lama.

Menyimak UU No.20/2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menguraikan fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan tujuannya adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dikaitkan dengan banyaknya penyimpangan yang dilakukan siswa, semestinya UU No.20/2003 dijadikan landasan dalam mengembangkan pola pendidikan di sekolah.

Penanaman nilai pada anak menjadi salah satu faktor penting dalam membangun jiwa anak didik, sehingga anak tidak akan terombang-ambing dalam menerima pengaruh buruk dari lingkungan. Dalam mendidika anak, setiap daerah memiliki kearifan lokal yang mungkin terlupakan oleh orangtua, yang bisa diangkat kembali sebagai sebuah pendekatan dalam mendidika anak. Kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun, yang selama ini terbukti membentuk sebuah peradaban berkarakter dari sebuah Bangsa mestinya diajarkan secara sinergi antara orangtua dan guru disekolah dari tingkat Dasar, sehingga akan membangun karakter dari anak nantinya.

II. Pembahasan

2.1. Pentingnya Pendidikan Karakter di Tingkat Sekolah Dasar

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan sikap

(3)

mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata kerama, budaya, adat istiadat, dan estetika (Samani, 2011: 41)

Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku ( Tim Penyusun, 2010 ). Nilai yang unik-baik itu selanjutnya dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik.

2.2. Kearifan Lokal Dalam Membangun Karakter

Tantangan terbesar bagi sebuah bangsa dalam membangun peradabannya

adalah bagaimana Bangsa tersebut dapat membentuk karakter dari masyarakatnya.

Pendidikan merupakan salah satu upaya strategis untuk dapat membangun karakter,

namun banyak pertanyaan yang mengindikasi keraguan sistem pendidikan yang

dibangun dapat menumbuhkan karakter dari anak didik. Segala upaya dilakukan dalam

menanamkan karakter untuk dapat menciptakan sebuah generasi yang tangguh dalam

artian memiliki kecerdasan yang bagus sekaligus disertai dengan moral yang bagus

juga. Namun yang terlihat dari wajah pendidikan di Indonesia adalah munculnya

berbagai permasalahan, dari tauran antar pelajar, narkoba, seks bebas dan lain

sebagainya.

Kearifan lokal yang ada disetiap daerah merupakan salah satu resep dalam

membangun karakter, yang selama ini didengung-dengungkan namun dalam

realisasinya belum terlihat. Yang harus digarisbawahi bahwa tujuan pendidikan tidak

hanya menjadikan insan cerdas, insan kompeten dan berguna, insan well-adaptive, insan

agent of change, dan insan bertaqwa, melainkan insan yang utuh, dalam hal ini insane

yang dilengkapi dengan sikap dan moral yang baik. Proses pendidikan memandang

peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi moral, mental, fisik, sosial, dan

emosional dengan keunikannya. Peserta didik sebagai co-subject-object yang memiliki

kebebasan memilih. Karena itu, kurikulum pendidikan tidak hanya berupa kurikulum

(4)

yang bererientasi pada peseta didik, masyarakat, atau pengetahuan dan teknologi, tetapi

merupakan kurikulum komprehensif yang mencakup keempat ranah tersebut.

Dalam membangun dan menanamkan karakter pada anak, diperlukan sebuah

situasi sosial yang mendukung, sehingga guru tidak bisa lepas melihat situasi sosial

kemasyarakatan dalam mendidik seorang siswa. Apa yang baik dari situasi sosial yang

ada hendaknya dijadikan sebagai sebuah tolak ukur dalam mengembangkan situasi

pendidikan bagi siswanya. Guru harus senantiasa mengupayakan peningkatan diri, serta

menjadi soritauladan bagi siswa. Pengelolaan pendidikan dapat diupayakan melalui

pendidikan sekolah berbasis masyarakat dengan melihat kearifan lokal yang ada dalam

sebuah masyarakat. Proses pendidikan terpadu dengan menjadikan spiritualitas sebagai

rohnya.

2.3. Integrasi Kearifan Lokal dalam Membangun Karakter Anak Dimulai Dari

Tingkat Dasar

Usia sekolah Dasar merupakan usia yang paling menentukan berhasil tidaknya

pembangunan karakter bagi seorang anak. Ibarat membangun rumah, sekolah Dasar

ibarat pondasi dari rumah. Dengan pondasi yang kokoh, maka rumah akan menjadi

kokoh, begitupula sebaliknya apabila pondasinya lemah, maka sekuat apapun rumah itu

tidak akan kuat. Oleh Karenanya integrasi kearifan lokan dalam membangun karakter,

harus dimulai sejak anak usia Sekolah Dasar.

Kurikulum di tingkat dasar harus dikembangkan secara terpadu sesuai dengan

latar sosial dan budaya dengan menempatkan nilai moral menjadi rohnya. Aktifitas

keseharian menempatkan pendidik dalam hal ini guru sebagai model untuk bertindak

adil dan mengambangkan rasa kasih sayang. Banyak kearifan lokal yang bisa digali di

masing-masing daerah, yang dikembangkan oleh guru dan disesuaikan dengan kondisi

jaman. Terkadang guru perlu memberikan pemahaman baru terhadap suatu kearifan

lokal yang ada disuatu daerah, karena bisa saja kearifan lokal dimaksud tidak sesuai

dengan jaman sekarang apabila tidak diberikan sebuah pemaknaan baru. Seperti

misalnya kearifan lokal masyarakat Bali yang melarang anak menduduki bantal karena

bisa bisul. Hal ini tentunya tidak akan diterima dengan mudah oleh siswa, karena

terbukti hal itu tidak benar, namun apabila diberikan makna berbeda seperti misalnya

(5)

kalau duduk di bantal, maka secara etika tidak baik dan bisa membuat bantal kotor,

maka siswa akan lebih dapat menerima.

Perlu diperhatikan juga dalam memberikan penilaian, tidak hanya pada aspek

akademik, tetapi juga aspek nonakademik dalam hal ini sikap dan moral dari peserta

didik. Dalam membangun karakter, lingkungan pendidikan harus mengarah pada

penciptaan lingkungan keluarga yang sarat dengan nilai kearifan lokal. Kehidupan di

lingkungan sekolah harus mengupayakan lingkungan sekolah yang kondusif

bagipengembangan nilai. Dalam hal ini, sekolah harus mampu mengondisikan

lingkungan masyarakat dengan nilai-nilai yang baik dan mengendalikannya dengan

memainkan peran filter terhadap nilai-nilai asing yang masuk. Di samping itu,

pemangku kepentingan pendidikan harus dapat mengawal isi media masa yang

memberikan manfaat bagi penyebaran nilai-nilai dan mengendalikan isi media masa

yang berpotensi merusak kepribadian anak dan bangsa.

III. Simpulan

Pendidikan merupakan salah satu upaya strategis untuk dapat membangun

karakter. Kearifan lokal yang ada disetiap daerah merupakan salah satu resep dalam

membangun karakter, yang selama ini didengung-dengungkan namun dalam

realisasinya belum terlihat. Usia sekolah Dasar merupakan usia yang paling menentukan

berhasil tidaknya pembangunan karakter bagi seorang anak. Ibarat membangun rumah,

sekolah Dasar ibarat pondasi dari rumah. Dengan pondasi yang kokoh, maka rumah

akan menjadi kokoh, begitupula sebaliknya apabila pondasinya lemah.

Daftar Pustaka

Mantik, Agus M. 2007. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.

Samani. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sudarsana, I. K. (2016, May). Membentuk Karakter Siswa Sekolah Dasar melalui Pendidikan

Alam Terbuka. In Seminar Nasional (No. ISBN : 978-602-72630-6-2, pp. 214-221). Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Hindu Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar.

Sudarsana, I. K. (2016, April). Meningkatkan Perilaku Kewirausahaan Wanita Hindu melalui Pemberian Pelatihan Upakara. In Seminar Nasional (No. ISBN : 978-602-72630-5-5, pp. 79-85). Pusat Studi Gender dan Anak LP2M IHDN Denpasar.

(6)

Sudharta, Tjok Rai. 2004. Slokantara. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut. 2006. Memahami Perbedaan Catur Warna, Kasta dan Wangsa. Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional: Balai Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Selama magang peserta akan menerima dan melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan baik oleh Mitra Magang dengan bimbingan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Tugas dan

Adapun sampel dalam penelitian ini peneliti mengambil dua kelas, yaitu kelas X IIS 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X Bahasa sebagai kelas kontrol.. Adapun

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”.. “Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” Jawab

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan moral sopan santun pada siswa sekolah menengah pertama negeri 01 Bandar

Penyusunan atau perancangan basis data secara relasional mengacu pada aliran data untuk membentuk hubungan diantara entitas yang ada, sedangkan untuk penyimpanan

Dia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar‟u al - mafasid muqaddamun „ala jalbi al -mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang

Sutabri (2012:46) mengatakan sistem informasi adalah suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang

Agar masalah dalam penelitian ini tidak menyimpang dari apa yang diteliti, maka penulis membatasi penelitian ini pada masalah: Hubungan antara motivasi