• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI. kualitatif. Menurut Yusuf (2014), kualitatif adalah metodologi pengumpulan data

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI. kualitatif. Menurut Yusuf (2014), kualitatif adalah metodologi pengumpulan data"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI

3.1. Metodologi Pengumpulan Data

Metodologi pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan metodologi kualitatif. Menurut Yusuf (2014), kualitatif adalah metodologi pengumpulan data yang mencari sebuah makna, pengertian, atau pemahaman suatu fenomena dengan terlibat langsung atau tidak langsung dengan objek yang diteliti. Metodologi ini membutuhkan proses bertahap untuk kemudian disimpukan hasilnya secara naratif (hlm. 328).

Dalam pengumpulan data dengan pedekatan kualitatif, penulis menggunakan metode wawancara yang dilakukan dengan dokter spesialis kulit dan dua penderita eksim, Focus Group Discussion (FGD) oleh 6 penderita eksim, dan juga disertai dengan studi eksisting dan studi refrensi.

3.1.1. Wawancara

Menurut Yusuf (2014), wawancara adalah proses interaksi antara pewawancara dan yang di wawancara untuk mendapatkan suatu informasi secara langsung (hlm. 372). Wawancara penulis lakukan dengan dokter spesialis kulit dan kelamin di Rumah Sakit Eka Hospital dan dua orang penderita eksim. Tujuan penulis melakukan wawancara adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyakit eksim, dan pandangan penderita eksim mengenai penyakit yang dideritanya sehari-hari.

(2)

Hasil Wawancara:

1. Dr. Elly Esther Christy Oroh, Sp.KK selaku doker spesialis kulit dan kelamin

Gambar 3.1. Wawancara dengan dokter spesialis kulit

Wawancara dengan dr. Elly Esther Christy Oroh, Sp.KK selaku dokter spesialis kulit dan kelamin di RS Eka Hospital pada Kamis, 31 Oktober 2019 pukul 09.10 WIB dilakukan secara langsung. Beliau merupakan dokter kulit yang sering menangani kasus penyakit kulit alergi imunologi yang salah satunya adalah eksim. Beliau mengatakan bahwa eksim merupakan bentuk peradangan kulit yang biasanya berlangsung menahun

(3)

dari makanan, cuaca tertentu, debu, dan lain-lainnya. Setiap orang memiliki faktor pencetus yang berbeda dan biasanya berhubungan dengan faktor hereditas11. Jadi ada faktor genetik dan gangguan terutamanya terjadi pada Immunoglobulin E. Beliau juga mengatakan bahwa eksim ini tidak bisa dikatakan sebagai penyakit yang umum, namun cukup banyak ditemukan di Indonesia. Eksim pada rumah sakit - rumah sakit besar di Indonesia menempati 3 teratas penyakit kulit yang diderita masyarakat.

Usia yang terbanyak menderita adalah usia anak-anak, kemudian usia lanjut. Tentu gambaran eksim pada anak-anak berbeda pada gambaran eksim pada usia lanjut. Eksim ini tidak menular, tapi menurun secara genetik. Eksim ini juga tidak membahayakan dalam level yang mengancam nyawa, namun yang sering dikeluhkan adalah menjengkelkan, karena bersifat hilang-timbul dan kambuhan. Komplikasi yang paling berat adalah infeksi sekunder dengan bakteri, jamur, atau virus. Jadi orang-orang yang dengan bakat kulit eksim itu mudah terinfeksi dengan jamur, bakteri, maupun virus.

Cara membedakan eksim dengan penyakit kulit lainnya adalah dari segi gatal contohnya dengan psoriasis vulgaris yang tidak bersifat gatal tapi hanya rasa panas, sedangkan eksim itu gatal. Kemudian eksim memiliki bercak pada tempat-tempat khusus, mislanya lipatan pada tubuh seperti lipatan siku, lipatan leher, belakang lutut, dan bokong. Pada bayi biasanya di daerah wajah, dan terkadang bisa berlanjut sampai usia remaja.

(4)

Sedangkan psoriasis itu pada daerah tubuh yang mudah terkena benturan seperti siku, punggung jari-jari tangan, lutut, bokong, tapi bisa juga menyebar ke permukaan tubuh yang lain dan kulit kepala.

Dr. Elly Ester mengatakan bahwa eksim bisa dideteksi secara dini oleh pasien, namun beliau lebih menganjurkan untuk konsultasi ke dokter karena eksim cenderung bisa menyerupai penyakit kulit yang lain. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah eksim terus dianggap jamur dan menyebabkan pasien membeli obat sendiri (obat jamur) dan tidak sembuh-sembuh karena ditangani dengan cara yang salah. Eksim dan jamur pun berbeda. Jamur terjadi pada orang yang suka berkeringat dan juga memakai pakaian ketat, dan tidak didukung dengan faktor internal.

Terakhir, beliau menambahkan bahwa eksim ini penting untuk diketahui oleh penderitanya karena penyakit ini akan kambuhan jadi bukan bergantung pada obatnya, tetapi bagaimana penderita mencari tahu faktor pencetusnya apa, sehingga jika penderita sudah tahu faktor pencetusnya, akan menghindari sehingga tidak kambuhan. Jadi eksim ini bukan suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan tapi penyakit yang bisa dikontrol. Dikontrol dengan cara mengetahui faktor pencetusnya apa. Sehingga penting untuk masyarakat yang menderita eksim untuk tahu cara dalam menangani eksim ini.

(5)

2. Wawancara dengan Alfiah Ainun selaku penderita eksim

Gambar 3.2. Wawancara dengan penderita eksim 1

Wawancara dengan Alfiah Ainun yang merupakan mahasiswi berumur 22 tahun di UMN. Wawancara dilakukan pada Rabu, 6 November 2019 pukul 12.18 WIB secara langsung. Alfiah merupakan penderita eksim yang sudah menderita sejak ia SMP yaitu pada tahun 2013. Ia mengalami eksim di tangan bagian siku, kaki, dan juga muka. Menurutnya tingkat keparahan yang dimilikinya cukup parah, namun ia pernah melihat penderita yang jauh lebih parah daripada apa yang ia derita. Alfiah mengatasi eksimnya dengan berkonsultasi ke dokter kulit, namun hanya rutin dilakukan selama beberapa bulan. Setelah itu ia hanya membeli obat dari apotek, karena ia merasa obat yang ia beli sudah cukup mengobati tanpa harus ke dokter. Kemudian ia juga merasa bahwa kondisi ini memang sangat menganggu apalagi kalau sedang beraktivitas di luar rumah. Aktivitas yang dilakukan menjadi tidak nyaman.

(6)

Menurut Alfiah di Indonesia sendiri masih kurang infromasi mengenai eksim. Ia berkata bahwa informasi yang diberikan di website yang pernah ia akses masih membingungkan dan kurang jelas. Menurut Alfiah, ia sebagai penderita sangat membutuhkan informasi mengenai eksim, tapi menurutnya lebih baik yang praktis dan digital seperti e-book atau website.

3. Wawancara dengan Alifianisa Sufira selaku penderita eksim

Gambar 3.3. Wawancara dengan penderita eksim 2

Alifianisa Sufira atau yang akrab disapa Ulla merupakan mahasiswi berumur 21 tahun yang tinggal di Jakarta. Wawancara dengan Ulla dilakukan pada Selasa, 15 September 2020 pukul 13.09 WIB. Wawancara dilakukan melalui Line dikarenakan kendala bertemu di saat PSBB. Ulla merupakan penderita eksim yang sudah menderita sejak SMP saat berumur 14 tahun. Eksim yang ia alami sering berpindah-pindah. Dulu ia

(7)

mengalaminya di bagian leher, belakang telinga, lipatan tangan, lipatan belakang kaki, bawah ketiak, dan di tulang ekor, namun sekarang ia mengalami di siku, mata kaki, belakang kaki, dan telapak kaki. Ia menderita eksim disebabkan oleh faktor keturunan. Walaupun di keluarganya tidak ada yang menderita eksim, namun banyak keluarganya yang menderita asma. Ulla diberitahukan oleh dokternya kalau memang jika mempunyai keturunan asma, kesempatan untuk menderita eksim tinggi.

Ulla berkata bahwa eksim yang paling parah ia alami ada di mata kaki. Jika sedang kambuh ia suka menggaruk area tersebut tanpa sadar hingga berdarah. Dulu ia sempat rutin untuk cek ke dokter, namun lama-kelaamaan ia merasa muak dengan masalah eksimnya yang mengharuskan ia membeli dan menggunakan berbagai macam krim. Akhirnya ia membiarkan eksimnya itu dan berusaha untuk tidak memikirkan tentang eksimnya agar tidak stress dan nanti eksimnya akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, ia tetap memilih produk sabun dan lotion yang tidak mengandung pewangi sehingga tidak mengiritasi kulitnya yang sensitif dan juga memilih produk yang melembabkan sehingga kulitnya tidak kering. Ia merasa bahwa eksim yang dideritanya megganggu kehidupan sehari-hari, karena kalau sedang kambuh, memakai baju tertentu, dan duduk dengan posisi tertentu menjadi tidak nyaman dan yang paling menyakitkan adalah ketika mandi karena luka yang terkena air menjadi perih.

(8)

Menurut Ulla, informasi mengenai eksim masih sulit didapatkan. Ia harus pergi ke dokter untuk mendapatkan informasi mengenai eksim. Menurutnya buku digital adalah media yang cocok untuk digunakan di era sekarang yang sudah penuh dengan media digital.

4. Kesimpulan Wawancara

Dari wawancara yang penulis lakukan dengan ketiga narasumber, penulis bisa menyimpulkan bahwa eksim adalah penyakit keturunan yang tidak bisa disembuhkan namun bisa dikontrol sehingga gejalanya tidak kambuh. Dari kedua wawancara penulis bersama penderita eksim, penulis mendapatkan bahwa eksim ini cukup mengganggu kehidupan mereka sehari-hari. Menurut Alfiah dan Ulla informasi mengenai eksim masih kurang dan membingungkan di Indonesia. Selain itu, menurut mereka penggunaan media yang tepat adalah media digital seperti e-book. Menurut dokter Elly eskim ini penting diketahui oleh penderitanya sehingga penyakitnya ini bisa dikontrol.

(9)

3.1.2. Focus Group Discussion (FGD)

Gambar 3.4. Focus Group Discussion

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan oleh 6 orang penderita eksim berumur 18-22 tahun. Enam orang tersebut terdiri dari 5 perempuan dan 1 laki-laki yaitu Mayang, Olala, Oliv, Sheila, Alfiah, dan Jonathan. Mereka masing-masing menceritakan pengalaman eksim mereka. Mayang yang berumur 21 tahun menceritakan bahwa dirinya terkena eksim karena memiliki keturunan dan keluarganya memiliki riwayat penyakit asma. Eksim yang dialaminya baru muncul ketika SMP. Saat itu ia tidak mengetahui harus apa. Akhirnya ke dokter dan diberi salep, namun lama-kelamaan lelah ke dokter, akhirnya hanya menggunakan lotion saja untuk kontrol eksimnya. Setelah itu Olala yang berumur 18 tahun menceritakan bahwa seluruh keluarganya memiliki gen asma dan alergi sehingga ia rentan terkena. Eksim yang dialaminya termasuk eksim basah, dan sampai sekarang masih sering kambuh. Dulu ia rajin ke dokter dan menggunakan obat minum dari dokter,

(10)

tetapi ia terkena efek samping dari obat minumnya tersebut. Ia memiliki kelainan di rahimnya karena overdosis obat yg diberikan oleh dokter.

Setelah itu Oliv yang berumur 19 tahun menceritakan pengalamannya yaitu awalnya ia mengalami luka di kaki saat SMA. Lama-kelamaan lukanya itu digaruk dan tambah besar. Awalnya Oliv bingung dengan penyebab lukanya ini, kemudian ia mencari informasi di internet namun tidak menemukan. Akhirnya ia cek ke dokter dan katanya lukanya itu merupakan eksim dan kemudian diberi obat steroid, namun obat tersebut membuatnya ketergantungan karena kalau tidak menggunakannya, eskimnya semakin parah. Akhirnya ia mencoba ecsecussion diet, dengan cara mengatur pola makan dan tidak menggunakan obat sama sekali. Awalnya dengan ia tidak memakai obat, eksimnya menjadi semakin parah, tapi makin lama semakin ia ketat menjalani dietnya semakin sembuh eksimnya dan sekarang tinggal bekas saja. Kemudian Jonathan yang berumur 19 tahun menceritakan bahwa awalnya eksim yang ia derita mulai mucul saat masih SD dan muncul di kepala. Ia kira awalnya itu merupakan ketombe. Kemudian menyebar ke muka yang ia kira adalah cacar, namun ketika cek ke dokter ternyata itu adalah eksim. Kemudian saat kuliah kambuh lagi, kata dokter karena terlalu banyak aktifitas kampus jadi memicu stress.

Setelah itu Sheila yang berumur 20 tahun meceritakan pengalamannya yaitu eksim yang dideritanya awalnya muncul saat SMP di lengan kiri dan kanan. Kemudian saat kuliah muncul di muka. Awalnya ia kira jerawat dan diberi obat jerawat, namun kemudian makin parah dan akhirnya ke dokter dan ternyata eksim. Terakhir Alfiah yang berumur 22 tahun menceritakan pengalamannya yaitu eksim

(11)

yang ia derita memang merupakan keturunan dari keluarga karena ada keluarganya yang menderita eksim dan juga asma. Awalnya muncul saat SMP di tangan. Setelah itu ke dokter dan katanya eksim karena alergi makanan dari seafood. Sempat sembuh namun saat kuliah kambuh lagi karena stress tetapi tidak pernah ke dokter. Ia hanya menggunakan lotion dari apotek saja yang merknya Inerson, Sebamed, dan Cerave.

Semua peserta FGD mengaku tidak pernah medapatkan informasi yang jelas dari dokter ataupun mendapatkan informasi lengkap dari brosur dan website. Menurut beberapa peserta informasi yang paling lengkap adalah dari Instargram @seputareksim. Akan tetapi, di Instagram @seputareksim lebih banyak dijelaskan mengenai ecsecussion diet dan tidak ada penjelasan mengenai cara mengontrol eksim dari segi penggunaan lotion dan sebagainya. Kalau Oliv mengaku ia sangat terbantu dengan informasi dari @seputareksim karena ia memang menerapkan diet yang ada di @seputareksim. Berbeda dengan Oliv, Olala tidak terbantu dengan informasi yang ada di @seputareksim karena ia tidak sanggup mengikuti diet yang ada di @seputareksim dan tidak ada alternatif cara menangani eksim selain dengan diet. Kemudian Olala juga menceritakan ketika ia ke dokter hanya langsung didiagnosa bahwa dirinya mengalami eksim dan diresepkan obat tanpa dijelaskan cara mengontrolnya seperti apa. Kalau Mayang hanya pernah mendapat informasi dari Instagram @eczemahoneyco namun di Instagram itu lebih fokus untuk penjualan produk perawatan eksim yang hanya diselingi sedikit informasi mengenai eksim. Selain itu @eczemahoneyco adalah produk yang berbasis di

(12)

Amerika. Selain Oliv, Olala, dan Mayang, peserta FGD lainnya belum pernah menemukan informasi lengkap mengenai eksim.

Menurut mereka, penggunaan e-book lebih cocok digunakan dibandingkan buku biasa karena zaman sekarang segala hal lebih mudah diakses secara digital. Mereka pun sangat tertarik dan sangat senang jika ada buku dengan informasi lengkap mengenai eksim. Semua peserta merasa bahwa buku yang menarik untuk umur-umur mereka adalah yang bernuansa cerah dan fresh dan dipenuhi dengan ilustrasi. Menurut mereka buku yang hanya berisikan foto akan terasa membosankan. Beberapa berkata bahwa visual yang tepat adalah penggabungan antara illustrasi dan foto, namun Olala berkata bahwa menurutnya lebih cocok ilustrasi saja karena dirinya sendiri yang mengalami eksim terkadang masih merasa jijik ketika melihat foto eksim. Jadi takutnya kalau menunjukan foto akan terlalu sensitif ke beberapa orang. Mereka menyarankan bahwa isi dari e-book tersebut berisi penyebab, pencegah, definisi, sesuatu yang positif mengenai eksim, jenis, dan juga ciri-ciri eskim.

(13)

3.1.3. Studi Eksisting

1. The Eczema Pocketbook

Gambar 3.5. Buku Saku Eksim

(https://vulcanpost.com/559171/simple-itch-kickstarted-singapores-first-ever-teenage-eczema-campaign/, n.d.)

The Eczema Pocketbook adalah buku saku yang dibuat dari kolaborasi antara Starting from Scratch Singpore dan National Skin Centre Singapore. Buku ini ditargetkan kepada kalangan remaja khususnya berusia 12 hingga 17 tahun yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai eksim dalam bentuk buku saku. Buku ini antara lain berisi tentang hal-hal yang harus dihindari penderita eksim, bagaimana mengolah stres, dan juga tips mengatasi eksim yang terjadi karena keringat. Menurut penulis, visual dari buku ini sudah tepat dengan target audience nya, namun sayangnya informasi yang disampaikan sangat terbatas.

(14)

Gambar 3.6. Isi Buku Saku Eksim

(https://issuu.com/startingfromscratchsg/docs/bookmerged/, 2016, 14 Maret)

2. The Sick Rose: Disease and the Art of Medical Illustration

Gambar 3.7. The Sick Rose

(15)

(https://www.parkablogs.com/content/book-review-sick-rose-disease-and-art-of-Buku ilustrasi ini adalah buku yang berisikan tentang pernyakit-penyakit seperti penyakit kulit, pertumbuhan abnormal, sel yang terpengaruh, dan bentuk manifestasi penyakit lainnya yang digambar dengan cermat. Buku ini ditulis oleh Richard Barnett dan diterbitkan pada tanggal 31 May 2014 di Inggris. Zaman dahulu ketika belum diciptakannya kamera, satu-satunya cara untuk mendokumentasikan penyakit adalah dengan digambar. Di buku inilah gambar-gambar tersebut dikumpulkan dan dibuat menjadi sebuah buku. Buku ini menampilkan gambar-gambar penyakit secara realistis dan sangat detil seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.8. Walaupun gambarnya terkesan formal dan menjijikan, namun buku ini masih menarik untuk dibaca dan gaya ilustrasi yang realistis merupakan pilihan yang tepat untuk menunjukkan suatu penyakit secara detil.

(16)

Gambar 3.8. Isi Buku The Sick Rose

(https://www.parkablogs.com/content/book-review-sick-rose-disease-and-art-of-medical-illustration, 2017, 9 September)

3. #88 Love Life

(17)

#88 Love Life adalah buku ilustrasi yang diterbitkan di Indonesia yang merupakan kolaborasi antara Diana Rikasari dan Dinda Puspitasari. Buku ini berisi mengenai kutipan-kutipan kehidupan yang dilengkapi dengan ilustrasi yang lucu dan menarik. Pemilihan warna feminim yang mencolok juga membuat buku ini menarik untuk kalangan perempuan remaja dan juga dewasa muda seperti yang ditunjukkan gambar 3.10 dan 3.11.

Gambar 3.10. Isi Buku #88 Love Life

(https://id.pinterest.com/nana4287/88-love-life/, n.d.)

Gambar 3.11. Isi Buku #88 Love Life 2

(18)

3.1.4. Studi Referensi 1. My Name Is Girl

Gambar 3.12. My Name is Girl

(https://www.amazon.com/My-Name-Girl-Illustrated-Female/dp/1849498008, n.d.)

My Name is Girl adalah buku ilustrasi yang diterbitkan pada tahun 2016 di Inggris. Buku ini menunjukkan realitas seorang perempuan dengan ilustrasi yang sederhana. Buku ini dibuat oleh Nina Cosford yang merupakan ilustrator dari Inggris. Ilustrasi yang ditampilkan dalam buku ini cocok untuk pembaca remaja dan dewasa muda perempuan karena ditampilkan dengan sederhana namun dengan warna yang cerah dan juga menarik. Cara penyampaian isi buku ini juga menarik dengan lebih banyak ilustrasi yang ditampilkan dibandingkan teks penjelasan. Selain itu font yang digunakan menyerupai tulisan tangan sehingga mengesankan bahwa ini merupakan visual journal yang ditulis tangan. Hal ini menunjukkan kesan buku yang ringan dan tidak formal sehingga pembacanya juga merasa lebih ringan ketika membaca buku ini. Warna yang digunakan

(19)

merupakan warna-warna cerah seperti pink, merah, biru muda, dan lain-lain dengan latar warna yang sederhana yaitu putih seperti yang ditunjukkan gambar 3.13.

Gambar 3.13. Isi Buku My Name is Girl

(https://www.amazon.com/My-Name-Girl-Illustrated-Female/dp/1849498008, n.d.)

3.2. Metodologi Perancangan

Menurut Landa (2014), dalam perancangan sebuah proyek terdapat 5 fase, yaitu orientation, analysis, ideas, conception, design, dan implementation. Berdasarkan fase tersebut, penulis merancang proses sebagai berikut:

(20)

1. Orientation

Tahap orientation adalah proses untuk menjadi familiar dengan masalah desain (hlm.73). Dalam tahap ini penulis mengumpulkan data melalui wawancara dan FGD kepada penderita eksim berumur 15-25 tahun dan juga wawancara dengan dokter spesialis kulit dan kelamin. Penulis juga menggunakan kajian pustaka yang dapat mendukung penelitian penulis. Hal ini dilakukan sehingga penulis menjadi lebih familiar dengan permasalahan yang ada.

2. Analysis

Di tahap ini, dilakukan analisis dari data permasalahan yang ada (hlm. 78). Penulis melakukan tahap analysis dari data yang ada. Di tahapan ini juga ditentukan media yang tepat dalam membuat perancangan ini sebagai solusi dari permasalahan yang diangkat.

3. Conception

Di tahap ini, dibuat konsep desain. Konsep desain adalah sebuah fondasi dari sebuah desain yang akan memandu dalam perancangan desain (hlm. 82). Penulis melakukan tahap conception dengan mencari ide dan konsep berdasarkan data yang telah di analisis.

4. Design

Setelah conception, penulis melakukan tahap design dengan mengembangkan ide-ide penulis menjadi sebuah desain yang terstruktur dan juga membuat beberapa alternatifnya.

(21)

5. Implementation

Setelah design, penulis melakukan tahap yang terakhir yaitu implementation dengan mengaplikasikan ebook yang telah penulis buat kepada target market yang telah ditentukan.

Gambar

Gambar 3.1. Wawancara dengan dokter spesialis kulit
Gambar 3.2. Wawancara dengan penderita eksim 1
Gambar 3.3. Wawancara dengan penderita eksim 2
Gambar 3.4. Focus Group Discussion
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Sobar, nama “Kampung Gerabah” diperoleh dari pemerintah sehingga desa Anjun Gempol tersebut mulai dikenal dengan nama Kampung Gerabah, namun Kampung

Healthbar yang dirancang menggunakan studi referensi dari “Kamen Rider Battride War”, awal perancangan penulis menambahkan kepala main character dalam healthbar untuk

Dari wawancara yang penulis lakukan, dapat disimpulkan persepsi wisatawan mancanegara yang menjadi narasumber terhadap Tanjung Kelayang adalah destinasi wisata

Kemudian reason to believe yang user yakini adalah penggunaanya yang flexibility dikarenakan diakses menggunakan smartphone yang merupakan alat komunikasi yang sering

Flat vector dinilai cocok untuk mewakili tujuan kampanye sosial E-Tilang karena kesan yang ditunjukkan tidak kompleks, sesuai dengan inspirasi konsep dan pesan

Penulis memperoleh data yang mengatakan bahwa mayoritas responden lebih mengutamakan alur cerita dari sebuah komik, diikuti dengan hasil terbanyak kedua

Pengaplikasian terhadap buku informasi yang dirancang adalah perawatan kulit anak dan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memberikan penanganan awal penyakit kulit

Sebanyak 83 responden yang berpartisipasi dan penulis mendapatkan data bahwa 72,8% atau sebanyak 79 orang tertarik untuk membaca buku ilustrasi tentang kesenian Burok,