Isolasi Senyawa Annonaceous Acetogenin dari Daun Sirsak
(Annona Muricata) dengan Menggunakan
Kolom Kromatografi Terbuka
Kamarza Mulia
a, Silvester Widyo Winarcahyo
b, Elsa Krisanti, Dewi Kurniasuci
aDepartemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424 E-mail: [email protected]
b
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424 E-mail: [email protected]
Abstrak
Acetogenin Annonaceous adalah senyawa bioaktif hadir dalam daun Annona muricata. Dalam penelitian ini, isolasi senyawa asetogenin dilakukan dengan menggunakan tiga-fase kromatografi kolom terbuka pada ekstrak daun sirsak, fraksi F005. Melalui isolasi kromatografi kolom terbuka, senyawa asetogenin dalam fraksi dapat dipisahkan sehingga dapat digunakan sebagai senyawa standar murni untuk analisis kuantitatif. Kedde reagen ditambahkan, yang bereaksi terhadap kelompok lakton asetogenin, untuk memilih fraksi yang kaya akan senyawa asetogenin. Fraksi yang mengandung asetogenin hasil isolasi kolom terbuka dianalisis secara kualitatif dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Pengamatan dengan HPLC menunjukkan bahwa fraksi F005, isolat dari tahap kedua dan ketiga isolasi, yang dipilih oleh reagen Kedde, terbukti mengandung senyawa asetogenin sebagai berikut: bullatacin, squamocin, squamostatin-A, dan squamostatin-D. Hasil analisis kualitatif FTIR memperkuat keberadaan senyawa asetogenin dengan puncak serapan pada bilangan gelombang 1.750 cm-1, yang merupakan puncak serapan untuk kelompok lakton asetogenin. Isolasi dengan kolom HPLC menghasilkan bullatacin yang dapat digunakan sebagai senyawa standar untuk analisis kuantitatif senyawa asetogenin lain yang terkandung dalam fraksi daun sirsak.
Abstract
Annonaceous acetogenin are bioactive compounds present in the leaves of Annona muricata. In this study, the isolation of compounds asetogenin performed using three-phase open column chromatography on soursop leaf extract, fractions F005. Through a simple open-column chromatography isolation, acetogenin compounds in these fractions can be separated so that it can be used as a pure standard compounds for quantitative analysis. Kedde reagent is added to select the content-rich fraction acetogenin compounds, which react to the acetogenin lactone group. Fractions containing isolate of acetogenin were analyzed qualitatively using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) and Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Observations by HPLC showed that the fraction of F005, the isolates from second and third stages of isolation, which are selected by Kedde, shown to contain asetogenin compounds as follows: bullatacin, squamocin, squamostatin-A, and squamostatin-D. FTIR results reinforce the existence of acetogenin compound with the absorption peak at the wave number 1750 cm-1, which is the absorption peak for the acetogenin lactone group. Isolation with HPLC columns produced bullatacin that can be used as a standard compound for quantitative analysis of other acetogenin compounds contained in the fraction of soursop leaves.
Key Word:
Annonaceous acetogenin, soursop, isolation, column chromatography, bullatacin
a
1. PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu penyakit
mematikan yang dapat mengancam
kelangsungan hidup manusia. Istilah kanker digunakan untuk penyakit di mana sel-sel abnormal membelah tanpa kontrol dan mampu menyerang jaringan lain. Kanker merupakan penyebab kematian nomer tujuh terbesar di Indonesia (sekitar 5,7%) setelah stroke, TB, hipertensi, cedera, perinatal, dan diabetes
melitus. Akan tetapi kanker merupakan penyebab
kematian nomer satu pada wanita di Indonesia [1]. World Health Statistics 2012 menyebutkan, kanker merupakan penyebab kematian nomer dua di dunia setelah penyakit kardiovaskuler [2]. Dewasa ini pengobatan non-medis (tradisional) menjadi alternatif yang marak dilakukan oleh
penderita kanker. Banyak tanaman yang
mengandung senyawa bioaktif yang bersifat antikanker. Beberapa senyawa yang telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antikanker, antara lain golongan acetogenin, alkaloid, terpenoid, flavonoid, santon, dan kumarin. Salah satu tumbuhan yang sering digunakan untuk pengobatan kanker adalah sirsak (Anonna
muricata). Di dalam sirsak ini ditemukan
senyawa bioaktif yang disebut annonaceous
acetogenin. Pada sirsak sendiri telah ditemukan
50 jenis annonaceous acetogenin dari biji, kulit batang, daging buah, dan daun sirsak. Pada bagian daunnya telah ditemukan 19 jenis
annonaceous acetogenin dan telah terbukti
secara in vitro bersifat sitotoksik 10.000 kali lebih kuat daripada terapi kemoterapi [3],[4]. Senyawa-senyawa ini merupakan inhibitor yang paling kuat terhadap kompleks I pada sistem
transpor elektron mitokondria. Selain itu
senyawa ini juga mengihibisi NADH oksidase yang ditemukan di dalam plasma membran sel tumor yang dapat menurunkan tingkat ATP, sehingga dapat menyebabkan sel tumor tersebut mati (McLaughlin et al., 2003). Annonaceous
acetogenin relatif tidak menyerang sel normal,
dan hanya menyerang sel kanker secara spesifik. Contoh annonaceous acetogenin adalah cis- dan
trans-annomuricin-D-ones dan bullatacin yang
campurannya sitotoksik terhadap sel kanker paru-paru, usus besar, dan pankreas dengan potensi sama atau melebihi adriamycin yang merupakan obat antikanker [3].
Untuk mendapatkan senyawa annonaceous
acetogenin pada sirsak, perlu dilakukan ekstraksi. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh beberapa peneliti, ekstraksi asetogenin dari sirsak dilakukan menggunakan pelarut etanol [3], [5], [6]. Setelah diesktraksi, difraksinasi, dan diisolasi, maka diperoleh
senyawa-senyawa asetogenin, dengan
karakteristik berbeda tapi tetap bersifat toksisitas tinggi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel kanker.
Suatu teknik separasi atau isolasi yang mudah dan murah diperlukan untuk mendapatkan senyawa asetogenin murni yang diperlukan untuk penentuan kuantitatif kandungan senyawa-senyawa asetogenin dari sampel daun sirsak. Seperti halnya analisa bahan alami lainnya, analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa asetogenin dari daun sirsak menghadapi masalah sukarnya mendapatkan senyawa asetogenin murni sebagai standar. Karena hal ini maka diperlukan cara isolasi yang praktis, tidak terlalu lama, untuk memperoleh senyawa asetogenin murni. Pada penelitian ini, isolasi difokuskan untuk mendapatkan senyawa bullatacin, yang merupakan asetogenin terbanyak dalam ekstrak daun sirsak.
Isolasi bertingkat dalam kolom kromatografi terbuka dilakukan menggunakan eluen dengan berbagai tingkat kepolaran terhadap hasil ekstraksi dan fraksinasi daun sirsak. Analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa asetogenin dilakukan menggunakan High Performance
Liquid Chromatography (HPLC) dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR).
2. METODE PENELITIAN
2.1 Bahan
Fraksi yang kaya akan asetogenin, F005, didapatkan dari fraksinasi metanol-air ekstrak daun sirsak dengan etanol 95%. Heksana, diklorometan, dan aseton digunakan sebagai eluen, sedangkan silica gel 60 (<0.063 mm) digunakan sebagai fase stasioner dalam kolom kromatografi terbuka.
2.2 Instrumentasi Kolom Kromatografi
Terbuka, HPLC, dan FTIR
Kolom kromatografi terbuka yang digunakan memiliki diameter 0,7cm dan 0,5 cm dengan
panjang 35 cm. Kolom yang digunakan pada HPLC adalah Thermal Extend reversed-phase
C18 column (250mm×4.6mm, 5µm). Panjang gelombang deteksi diset pada panjang gelombang 220 nm. Fase bergerak terdiri dari A (metanol) and B (deionized water/akuabides), selama 60 menit dengan komposisi tertentu (85% A – 15% B). Laju alir eluen diatur sebesar 1,0 mL/menit. Instrumen FTIR yang digunakan adalah SHIMADZU IRPrestige-21, dengan sampel asetogenin yang diamati dibuat dengan
metode larutan. CHCl3 digunakan sebagai
pelarut. Bilangan gelombang berada pada daerah IR tengah (4000 – 400 cm-1).
2.3 Isolasi
Fraksi metanol asetogenin yang telah kering (F005) diambil sebanyak 5 gram untuk dilakukan isolasi. Sampel tersebut dilarutkan dalam etanol 95% sampai 10 mL, dan kemudian dimasukan ke dalam kolom kromatografi yang telah berisi
silica gel 60, lalu dimasukkan kedalamnya eluen
secara berturut-turut satu per satu yaitu, heksana, heksana-aseton dengan perbandingan volume 1:1, dan aseton, sebanyak masing-masing 20 mL. Setelah didapatkan fraksi-fraksi dalam botol kecil, kemudian dilakukan uji kandungan senyawa annonaceous acetogenin secara cepat dengan menggunakan reagen Kedde.
Fraksi yang mengandung banyak senyawa asetogenin ditunjukkan dengan perubahan warna larutan menjadi warna merah muda sampai merah keunguan. Fraksi yang secara signifikan menunjukkan hasil positif dengan penambahan reagen Kedde ini, kemudian digabung dan dilakukan tahap isolasi berikutnya. Isolasi berikutnya dilakukan dengan memasukan fraksi ini ke dalam kolom kromatografi terbuka kedua dengan diameter yang lebih kecil.
Fase bergerak yang digunakan pada isolasi tahap dua ini adalah campuran diklorometan-aseton dengan perbandingan volume diklorometan aseton sebesar 10:0, 9:1, dan 7:3, sebanyak masing-masing 20 mL. Setelah tahap isolasi diatas, didapatkan fraksi-fraksi asetogenin dalam
botol kecil, yang kemudian diseleksi
menggunakan reagen Kedde untuk menentukan fraksi yang mengandung asetogenin.
Fraksi asetogenin ini kemudian diisolasi kembali di dalam kolom kromatografi dengan fase bergerak yang lebih polar, yaitu
diklorometan-aseton dengan perbandingan volume 1:1. Fraksi larutan yang lebih polar kemudian diambil untuk dianalisis menggunakan HPLC dan FTIR. Isolasi senyawa bullatacin murni dilakukan dengan menampung sampel keluaran dari kolom HPLC sampai selesai puncak bullatacin tampak
dalam kromatogram. Dengan demikian
didapatkan senyawa murni bullatacin yang dapat digunakan sebagai standar.
2.4 Uji Kandungan Lakton Asetogenin
Menggunakan reagen Kedde
Uji ini dilakukan dengan mengambil 1 mL sampel dan kemudian menambahkannya dengan 1 mL dinitrobenzen dan 1 mL KOH. Kemudian mengamati perubahan warna yang terjadi yaitu warna larutan menjadi warna merah muda sampai merah keunguan yang menunjukkan adanya gugus lakton dalam sampel tersebut.
2.5 Metode Analisis Kualitatif
Melalui kromatogram dari HPLC dapat terlihat puncak-puncak absorpsi pada retention time (waktu tinggal) tertentu yang diduga merupakan senyawa asetogenin dengan merujuk pada hasil penelitian Yang (2008). Kondisi operasi analisis HPLC yang dilakukan pada penelitian ini diset sama dengan kondisi operasi analisis HPLC pada penelitian Yang untuk memudahkan validasi
puncak-puncak pada kromatogram yang
diperoleh. Untuk memvalidasi adanya senyawa asetogenin pada fraksi yang terkumpul, spektra FTIR yang diperoleh dibandingkan dengan spektra FTIR senyawa standar annonaceous
acetogenin dari hasil penelitian Hoe dan
kawan-kawan [7].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Isolasi dengan Kolom Kromatografi
Terbuka
Dari isolasi tahap pertama, kedua, dan ketiga didapatkan beberapa buah fraksi isolasi dari masing-masing tahapan isolasi. Setiap fraksi yang dihasilkan pada setiap tahap isolasi akan memiliki polaritas yang lebih besar dari fraksi sebelumnya.
Isolasi tahap pertama dengan eluen heksana dan aseton menghasilkan enam buah fraksi. Fraksi yang paling banyak mengandung asetogenin berdasarkan uji menggunakan reagen Kedde adalah fraksi yang terdapat pada tabung ke-4 dan ke-5. Fraksi ini awalnya berwarna hijau tua, ketika ditetesi dengan reagen Kedde, warnanya berubah menjadi merah keunguan. Di dalam fraksi ini diduga terdapat asetogenin yang bersifat sedikit non-polar dan sedikit polar. Hal ini dipengaruhi oleh eluen heksana dan aseton yang bersifat semi polar, sehingga akan mengikat senyawa-senyawa yang bersifat semi polar pula ketika mengelusi kolom kromatografi.
Isolasi tahap kedua yang berasal dari tabung ke-4 dan ke-5 dari fraksi pertama ini menghasilkan empat buah fraksi. Pada dasarnya asetogenin yang ada pada tabung ke-4 dan ke-5 dari isolasi pertama bersifat semi polar, sehingga eluen yang digunakan untuk mengisolasi sampel pada isolasi kedua dibuat lebih bergradien. Dengan demikian akan didapatkan senyawa asetogenin yang sesuai dengan tingkat kepolarannya, mulai dari yang
sedikit non-polar hingga sampel polar.
Berdasarkan uji dengan menggunakan reagen
Kedde terhadap fraksi-fraksi hasil isolasi kedua,
fraksi pada tabung ketiga (fraksi I2T3) terbukti mengandung asetogenin. Fraksi ini berwarna hijau tua, ketika ditetesi dengan reagen Kedde warnanya berubah menjadi merah keunguan.
Fraksi ini diduga mengandung senyawa
asetogenin yang bersifat sedikit polar, karena berasal dari eluen diklorometan-aseton (7:3) yang bersifat sedikit polar pula.
Isolasi ketiga berasal dari botol ketiga isolasi kedua. Pada tahapan isolasi ini dihasilkan 5 buah fraksi. Dengan penggunaan eluen diklorometan-aseton dengan perbandingan 1:1 ini diharapkan senyawa-senyawa asetogenin dengan sifatnya yang sedikit polar bisa seluruhnya terelusi dan terkumpul pada wadah yang sama, sedangkan senyawa lain yang kepolarannya lebih kecil terelusi pada tabung-tabung awal. Uji dengan
menggunakan reagen Kedde menunjukkan
bahwa fraksi tabung ke-3 (I3T3) memperlihatkan perubahan warna dari hijau tua menjadi merah muda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Tabel 1. Kepolaran Eluen dan Hasil Isolasi
Isolasi Eluen Kepolaran (Indeks
Polaritas) Hasil (Tabung Fraksi) Warna Hasil Uji Kedde Isolasi I Heksana Non-polar (0) 1 Bening - 2 Bening - Heksana-Aseton (1:1)
Sedikit non- polar (2,6) 3 Hijau muda - 4 Hijau tua + 5 Hijau tua + Aseton Polar (5,1) 6 Hijau tua - 7 Hijau muda - Isolasi II
Diklorometan Sedikit non-polar (3,1) 1 Bening -
Diklorometan-Aseton (9:1) Sedikit non-polar (3,3) 2
Hijau tua
-
Diklorometan-Aseton (7:3)
Sedikit lebih polar
(3.7) 3
Hijau tua
+
Aseton Polar (5,1) 4 Hijau muda -
Ioslasi III
Diklorometan-Aseton (1:1) Sedikit polar (4,1)
1 Bening -
2 Hijau muda -
3 Hijau tua +
4 Hijau tua -
5 Hijau muda -
fraksi inilah yang mengandung senyawa asetogenin. Fraksi ini bersifat sedikit polar karena eluen pengelusi juga bersifat sedikit polar.
Uji dengan menggunakan reagen Kedde terhadap fraksi-fraksi hasil isolasi pertama, kedua, dan ketiga merupakan uji yang paling cepat dalam menentukan keberadaan senyawa asetogenin di dalam suatu sampel, yang ditunjukkan dengan adanya perubahan warna hijau menjadi merah muda sampai merah keunguan. Perubahan warna ini menunjukkan adanya gugus lakton di dalam sampel. Pada daun sirsak hanya senyawa asetogenin yang mengandung gugus lakton [6]. Untuk lebih jelas mengamati hasil isolasi menggunakan kolom kromatografi dapat dilihat pada Tabel 1. Tampak pada Tabel 1 di atas perubahan kepolaran eluen berdasarkan indeks polaritasnya, sehingga fraksi-fraksi hasil isolasi tersebut juga dapat diketahui sifat kepolarannya.
Indeks polaritas menggambarkan tingkat
polaritas suatu pelarut atau campuran pelarut [8]. Semakin polar suatu pelarut maka akan semakin besar pula indeks polaritasnya. Tabel 1 diatas
merangkum pembahasan dari hasil isolasi I, II, dan III. Tanda “+” pada hasil uji Kedde menandakan bahwa di fraksi isolasi terkandung
gugus lakton yang menandakan adanya
asetogenin, sedangkan tanda “–“ menandakan fraksi tersebut tidak mengandung gugus lakton.
3.2 Hasil Analisis dengan HPLC
Hasil yang diperoleh dari analisis sampel menggunakan HPLC dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Pada fraksi I2T3, eluen sedikit polar, masih terdapat 30 senyawa di dalamnya, senyawa pada waktu retensi 21,088 merupakan senyawa yang paling banyak terdapat dalam fraksi I2T3. Sedangkan senyawa kedua terbanyak terdapat pada waktu retensi 15,777. Hal ini didasarkan pada luas area pada puncak kromatogram pada waktu retensi tersebut.
Pada fraksi I3T3, eluen sedikit lebih polar, dapat dilihat hanya terdapat 13 puncak, dan terdapat 4 puncak yang paling dominan. puncak senyawa dengan waktu retensi 21,942 menit merupakan Gambar 1. Kromatogram Fraksi Isolasi Kedua Tabung Ketiga (I2T3), eluen diklorometan-aseton (7:3)
puncak dengan luas area yang terbesar, sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa yang terelusi pada waktu retensi tersebut merupakan senyawa yang paling banyak terkandung di dalam fraksi I3T3 tersebut. Dari waktu retensi yang ada, dapat dilihat bahwa senyawa-senyawa dominan pada sampel I3T3 juga dominan pada sampel I2T2. Hal ini menandakan bahwa senyawa dominan dari I2T2 terelusi dengan baik dan berkumpul pada satu wadah yang sama.
Untuk membuktikan bahwa senyawa hasil isolasi dengan waktu retensi tersebut merupakan senyawa asetogenin, dilakukan pembandingan
kromatogram dengan kromatogram hasil
penelitian Haijun Yang dan kawan-kawan [9]. Hal ini dapat dilakukan karena kondisi operasi HPLC pada penelitian ini dibuat sama dengan kondisi operasi HPLC pada penelitian Yang dan kawan-kawan. Diharapkan dengan pendekatan ini, puncak-puncak absorpsi dengan waktu retensi yang sama seperti pada penelitian rujukan dapat teridentifikasi.
Senyawa-senyawa asetogenin yang terdapat pada fraksi I2T3 dan I3T3 dapat dilhat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa pada sampel-sampel yang diisolasi mengandung senyawa asetogenin. Senyawa yang paling dominan terkandung di dalam fraksi I3T3 sama seperti pada fraksi I2T3, yaitu bullatacin,
D, squamocin, dan squamostatin-A. Berdasarkan luas puncaknya, pada fraksi I2T3
rasio luas puncak bullatacin : squamostatin-D :
squamocin : squamostatin-A = 4 : 1,15 : 1 :
1,84; sedangkan pada fraksi I3T3 rasio luas puncak bullatacin : squamostatin-D : squamocin : squamostatin-A = 5,12 : 1,37 : 1,69 : 1. Dari
perbandingan luas puncak dapat dilihat bahwa senyawa yang paling dominan dari kedua fraksi adalah bullatacin. Pada I2T3 senyawa terbanyak
berikutnya secara berturut-turut adalah
squamostatin-A, squamostatin-D, dan
squamocin, namun pada I3T3 senyawa terbanyak
berikutnya secara berturut-turut adalah
squamocin, D, dan squamostatin-A. Perbedaan ini kemungkinan besar dipengaruhi
bahwa pada I3T3 adalah sejumlah squamostatin
A yang ikut terelusi pada tabung sebelum T3,
sehingga jumlah squamostatin-A pada I3T3 lebih sedikit daripada squamocin.
3.3 Isolasi Bullatacin
Di dalam fraksi I2T3 dan I3T3 senyawa yang paling dominan adalah bullatacin. Hal ini sama seperti yang telah diteliti bahwa senyawa annonaceous acetogenin yang paling dominan di dalam daun sirsak adalah bullatacin [10]. Oleh karena itu dilakukan penampungan senyawa
bullatacin saat proses HPLC berlangsung,
setelah munculnya puncak absorpsi pada waktu Tabel 2. Hasil HPLC pada Fraksi I2T3, dan Fraksi I3T3 dibandingkan dengan hasil pada penelitian
Yang [9] untuk senyawa-senyawa asetogenin Nama Senyawa
Asetogenin
Yang et al., 2009
Isolasi Kedua Tabung Ketiga (I2T3)
Isolasi Ketiga Tabung Ketiga (I3T3)
Waktu Retensi Waktu
Retensi
Luas Area Waktu
Retensi Luas Area 12,15-Cis-squamostatin-A 9 – 10 11,19 100.484 - - Squamostatin-A 15 – 18 15,777 205.655 16,79 38.861 Bullatacin 19 – 21 21,088 446.034 21,942 199.072 Squamostatin-D 24 – 25 24,353 128.701 25,075 53.597 Squamocin 25 – 27 25,713 111.305 26,363 66.016 Isodesacetyluvaricin 31 – 34 30,717 61.808 - - Asiminecin 36 – 39 36,395 47.016 - - Desacetyluvaricin 54 – 57 - - - -
Gambar 3. Kromatogram Sampel Bullatacin hasil isolasi dengan HPLC
retensi senyawa tersebut. Gambar 3 menunjukkan hasil analisa sampel bullatacin yang ditampung dari fraksi I3T3. Puncak
terbesar merupakan senyawa bullatacin
berdasarkan waktu retensi munculnya puncak tersebut. Puncak absorpsi kecil yang menyertai
bullatacin kemungkinan besar adalah sisa dari
senyawa asetogenin sebelumnya yang tersisa di dalam kolom. Larutan yang terkumpul dari isolasi HPLC ini sudah dapat dijadikan sebagai senyawa standar untuk analisis kuantitatif pada penelitian lebih lanjut.
3.4 Hasil Analisis dengan FTIR
Pada penelitian ini, sampel yang diujikan berada pada keadaan cair, sehingga pelarut yang terdapat pada sampel mempengaruhi proses pengujian, yaitu pelarut menyebabkan energi pada IR akan menurun sehingga frekuensi akan turun dan panjang gelombang bergeser.
Pada Gambar 4, terlihat spektrum lemah pada bilangan gelombang sekitar 1750.49 cm-1 yang menunjukkan bilangan gelombang absorpsi vibrasi gugus C=O dari gugus lakton tak jenuh (γ-lakton). Sedangkan pada Gambar 5, bilangan gelombang yang menunjukkan lakton tak jenuh adalah 1749.55 cm-1. Dan bilangan gelombang yang menunjukkan lakton tak jenuh pada Gambar 6 adalah 1750.57 cm-1. Lakton tak jenuh ini juga merupakan gugus yang selalu terdapat pada struktur senyawa asetogenin. Berdasarkan hasil penelitian Chang sebagai rujukan, gugus lakton tak jenuh berada pada
bilangan gelombang 1740 - 1760 cm-1 [11].
Sehingga disimpulkan bahwa pada fraksi F005, fraksi I2T3, dan fraksi I3T3 dari hasil isolasi terbukti mengandung senyawa asetogenin.
Gambar 4. Spektrum IR fraksi F005 (dalam metanol)
Gambar 5. Spektrum IR fraksi I2T3(dalam diklorometan:aseton, 7:3)
Gambar 6. Spektrum IR fraksi I3T3 (dalam diklorometan: aseton, 1:1)
4. KESIMPULAN
• Teknik isolasi yang mudah, dan singkat untuk
mengisolasi senyawa-senyawa annonaceous
acetogenin adalah dengan melakukan elusi
sampel pada kolom kromatografi terbuka
dengan eluen yang bervariasi tingkat
kepolarannya serta seleksi fraksi mengandung asetogenin dengan reagen Kedde.
• Annonaceous acetogenin kebanyakan bersifat
sedikit polar. Oleh karena itu eluen pengelusi sampel juga harus bersifat sedikit polar agar didapatkan fraksi yang kaya akan asetogenin. Eluen yang dianggap paling baik untuk mengelusi senyawa ini adalah gabungan heksana-aseton dan diklorometan-aseton.
• Senyawa asetogenin yang berhasil
diidentifikasi di dalam fraksi isolasi kedua tabung ketiga dan isolasi ketiga tabung ketiga
adalah bullatacin, squamostatin-D,
squamocin, dan squamostatin-A.
• Senyawa murni bullatacin berhasil diperoleh dengan mengambil sampel keluaran isolasi HPLC pada waktu retensi munculnya puncak
• Dari spektra uji FTIR, dapat dilihat bahwa
pada bilangan gelombang 1750 cm-1 terdapat
puncak absorpsi gugus C=O dari gugus lakton tak jenuh (γ-lakton) pada setiap sampel. Hal ini menunjukkan bahwa sampel dari fraksi F005, fraksi I2T3, dan fraksi I3T3
hasil isolasi mengandung senyawa
annonaceous acetogenin.
5. DAFTAR RUJUKAN
[1] Chang, F.R., Chen, J.L., Chiu, H.F., Wu, M.J., dan Wu, Y.C. (1998). Acetogenins from Seeds of
Annona reticulata. Phytochemistry, 47,
pp.1057-1061.
[2] Fontana, J.D., Lancas, F.M., Passos M. dan Foerster L.A. (1998). Selective Polarity-and-Adsorption-Guided Extraction/Purification of
Annona sp. Polar Acetogenins and Biological
Assay Against Agricultural Pests. Applied
Biochemisty and Biotechnology, 70, pp.67-76.
[3] Hoe, P.K., Yiu, P.H., Wong, S.C., Rajan, A., dan Bong, C.F. (2010). Biological Activity of Annona
muricata Seed Extract. Malaysian Journal of Science, 29(2), pp.153-159.
[4] Kim, G.S., Zeng, L., Alali, F., Rogers, L.L., Wu, F.E., dan McLaughlin, J.L. (1998). Murioceracin and Murihexocin C, Mono Tetrahydrofuran Acetogenins from the Leaves of Annona
muricata. Phytochemistry, 49(2), pp.565-571.
[5] McLaughlin, J.L., Hui, Y.H., Anderson, J.E., dan Liu, Y.M. (1989). Bullatacin and Bullatacinone: Two Highly Potent Bioactive Acetogenins from
Annona bullata. Journal of Natural Products, 52,
pp.463-477.
[6] McLaughin, J.L., Benson, B., dan James W.F. (2003). A Novel Mechanism for the control of clinical cancer : Inhibition of the Production of Adenosine Triphosphate (ATP) with a Standardized Extract of Paw Paw (Asimincz
triloba, Anonaceae). Phytochemistry, 54(1),
pp.423-425.
[7] Riskesdas. (2009). Data Statistik Kesehatan di
Indonesia 2009. Jakarta : Kementrian Kesehatan
[8] Villo, Piret, Vares,L., dan Toom, L. (2008).
Synthesis of Acetogenin Analogues. Master
Thesis in Organic Chemistry, University of Tartu. pp.25-32.
[9] World Health Organization. (2012). World
Helath Statisics 2012. New York : WHO.
[10]Wypych, George. (2001). Handbook of Solvents. Toronto : ChemTec Publishing. pp.575-576 [11]Yang, H. (2008). Study the Optimum Extraction
of Annonaceous Acetogenin from Seeds of Glabara L. by Supercritical Fluid CO2 Extraction (SFE). Journal of US-China Medical Science. 5 (1), pp.56-59.
[12]Zeng, L., Ye, Q., Oberlies, N. H., Shi, G., Gu, Z., He, K., dan McLaughlin, J. L. (1996). Recent
Advances in Annonaceous Acetogenins. Natural