• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengakuan Negara atas Agama Kaharingan dan Kontestasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Kalimantan Tengah A. Pendahuluan Oleh: Mirza Satria Buana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengakuan Negara atas Agama Kaharingan dan Kontestasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Kalimantan Tengah A. Pendahuluan Oleh: Mirza Satria Buana"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Pengakuan Negara atas ‘Agama’ Kaharingan dan Kontestasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Kalimantan Tengah

Oleh:

Mirza Satria Buana A. Pendahuluan

Penelitian ini menganalisa fenomena kebangkitan aspirasi pemeluk kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah agar dapat diakui sebagai entitas ‘agama.’ Isu ini terkait dengan isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Freedom of Religion and Belief) terutama dalam konteks pengakuan negara terhadap kepercayaan leluhur untuk dapat mengakui keimanan/kepercayaan mereka baik secara bathinian (forum internum), maupun dalam ekpresi ke ranah publik (forum externum) dengan berhak mendirikan tempat ibadah, menggunakan simbol-simbol agama dan mencantumkan identitas agama dalam dokumen-dokumen kependudukan. Hak-hak turunan tersebut, akan lebih mudah diakses oleh penganut kepercayaan Kaharingan apabila kepercayaan keagamaan mereka mendapat pengakuan legal formal dari negara sebagai salah satu ‘agama’ di Indonesia.

Perjuangan aspirasi penganut kepercayaan Kaharingan dan beberapa kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan rentan merupakan sebuah dinamika panjang berliku agar hak-hak komunal dan kearifan lokal (termasuk kepercayaan lokal) masyarakat minoritas tersebut dapat diakui oleh pemerintah. Selama beberapa dekade, masyarakat minoritas dan pemeluk agama/kepercayaan lokal dipaksa beradaptasi dengan model pembangunan homogenis khas Pemerintah Soeharto yang berlanggam otoritarian; penyeragaman, stabilitas politik dan ketertiban umum harus terjaga dipermukaan lewat kontrol represif baik dalam jejaring formal maupun informal.1

Salah satu contoh politik penyeragaman khas pemerintah Orde Baru adalah dengan melakukan seleksi dan penyerderhanaan keberagaman agama dan kepercayaan berdasarkan kategorisasi ‘agama dunia’ yang berkarakter modernis, monoteis dan berorientasi pada kemajuan. Kebijakan ‘5 (lima) agama yang diakui pemerintah’ adalah wujud konkrit politik penyeragaman dan kategorisasi pemerintah. Selain itu penting untuk dicatat bahwa pemerintahan Orde Baru sebagai sistem pemerintahan yang tertutup, kerap menghindari dari diski ‘agama resmi’ yang bersifat pasti, namun lebih terkesan ambigu dan pragmatis dengan menggunakan istilah “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia.”2

Dalam konteks Kalimantan Tengah pada masa Orde Baru, pemeluk kepercayaan/agama Kaharingan berintegrasi dengan agama Hindu dengan alasan untuk mempermudah proses

1 M. Syamsudin, “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru”, Jurnal Dakwah, Vol XI, Nomor 2 (Juli-Desember 2010):

140.

(8)

administrasi kependudukan dan asimilasi sosial. Secara teologis, Hindu juga dianggap lebih memiliki kesamaan spiritualitas dengan kepercayaan lokal Kaharingan.3

Sekarang, politik integritas Hindu-Kaharingan yang sudah berlangsung sejak tahun 1980an menghadiri tantangan dari aspirasi-aspirasi kelompok penganut kepercayaan/agama Kaharingan yang ingin keluar dari integrasi dan berjuang untuk mendapatkan status otonomi sebagai salah satu ‘agama yang diakui di Indonesia’.

Setidaknya ada 2 (dua) aspirasi yang membangun narasi adanya kontestasi umat beragama di Kalimantan Tengah. Pertama, aspirasi pemeluk kepercayaan/agama Kaharingan menjadi agama yang otonom atau dengan kata lain keluar dari konsepsi agama resmi Hindu; dan yang kedua, aspirasi pemeluk agama Hindu-Kaharingan yang tetap ingin berintegrasi pada agama Hindu, sembari masih mengapresiasi Kaharingan sebagai varian aliran dalam Hindu. Kedua aspirasi dan pilihan tersebut tentunya memiliki konsekuensinya masing-masing.

Dikarenakan locus kontestasi terjadi di Kalimantan Tengah, maka aspirasi umat beragama/berkeyakinan diatas berkelindan dengan isu masyarakat adat Dayak. Namun dalam konteks tulisan ini, perlu diperhatikan bahwa kedua konsep: masyarakat adat Dayak dan pemeluk agama Kaharingan, belum tentu dapat disamakan secara kumulatif karena tidak semua penganut agama Kaharingan adalah masyarakat adat Dayak yang secara religio-magis memiliki relasi kuat dengan tanah adat (ulayat) mereka. Pemeluk agama Kaharingan juga banyak tersebar di perkotaan dan sudah tidak memiliki relasi religio-magis dengan tanah ulayat mereka lagi. Oleh karena itu, penelitian ini hanya akan fokus pada pemeluk kepercayaan/agama Kaharingan saja.

Fenomena perjuangan penganut agama Kaharingan diatas, tidak berdiri dalam ruang hampa, namun dipengaruhi oleh dinamika konstelasi politik nasional. Reformasi 1998 ibarat ‘kotak pandora’ yang memberi nafas segar pada tumbuh kembangnya taman sari demokrasi lokal yang menjadi motor penggerak perjuangan desentralisasi di segala bidang, terutama di daerah-daerah yang dulunya direpresi oleh pemerintah pusat. Indonesia menjadi negara pasca-otoritarian yang merasakan ‘loncatan paradigmatik’ dari negara yang paling sentralistik, menjadi negara yang paling desentralistik, dalam kurun waktu yang relatif singkat.4

Lewat kuasa otonomi daerah dan desentralisasi, wujud formalisasi terhadap hukum adat dan kearifan lokal masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah pada khususnya mulai terlihat pada masa awal pemberlakuan otonomi daerah. Semisal dalam proses penyusunan beberapa Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan/atau Kabupaten di Kalimantan Tengah yang mengakomodir terbentuknya lembaga-lembaga dan pelembagaan pranata-pranata adat.5

Selain itu, reformasi hukum yang bersifat institusional membawa dampak signifikan terhadap orientasi negara hukum Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang lahir dari ‘rahim’ reformasi memberi kesempatan kepada kelompok minoritas berbasis identitas ras dan

3 A. Schiller, ‘An “Old” Religion in “New Order” Indonesia: Notes on Ethnicity and Religious Affiliation’, Sociology

of Religion, 57: 4, 409-417, 410.

4 J. Alm, R. H Aten & R. Bahl, “Can Indonesia Decentralise Sucessfully? Plans, Problems and Prospects” Bulletin of

Indonesian Economic Studies, Vol 37 (1) (April 2001): 85.

(9)

agama/kepercayaan untuk dapat menantang norma-norma perundangan-undangan yang dirasa mencederai hak-hak asasi dan kebebasan mereka sebagai warga negara. Adalah putusan MK tentang judicial review terhadap Undang-Undang tentang Kehutanan yang menjadi momentum krusial dari masyarakat adat dan lokal. MK secara deklaratif menyatakan “hutan adat, bukan hutan negara,”6 menjadi basis utama advokasi masyarakat adat dan lokal untuk mendapatkan rekognisi

dari pemerintah.

Beberapa tahun berselang, MK kembali mengeluarkan putusan yang mengafirmasi penulisan nama agama dan/atau kepercayaan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang secara signifikan menjadi daya ungkit (leverage) legal-formil terhadap tumbuh kembangnya aspirasi pemeluk kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah (selanjutanya disebut MK 97).7

Deskripsi isu-isu kontestasi, kebebasan beragama/berkeyakinan dan politik identitas diatas akan dianalisa lewat beberapa pertanyaan-pertanyaan penelitian, sebagai berikut: bagaimana pengakuan, penghormatan dan perlindungan agama/kepercayaan dalam optik hukum negara dan idealitas HAM? bagaimana kontestasi kelompok-kelompok pemeluk agama Hindu-Kaharingan (pro integritas) dan pemeluk agama Kaharingan (kontra integritas) pasca Putusan MK 97 yang mengafirmasi penulisan nama agama/kepercayaan di kolom E-KTP? Dan tidak kalah penting, bagaimana persepsi dan pemahaman mereka terhadap Putusan MK tersebut?

Tulisan ini menggunakan pendekatan penelitian hukum sosiologis yang mencandra permasalahan lewat pendekatan inter-disipliner; perspektif hukum negara yang instrumentalis akan dipaparkan guna melengkapi analisa hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama konsep Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang erat terkait dengan relasi agama dan negara. Sedangkan dalam analisa terhadap aspirasi empiris pemeluk agama/kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah, perspektif sosiologi agama klasik akan didedahkan.

Dalam perspektif teori sosiologi agama klasik, fenomena aspirasi keagamaan dapat dicandra dalam 2 (dua) perspektif: pertama, dalam perspektif idealisme, aspirasi untuk meningkatkan status kepercayaan Kaharingan menjadi agama dapat dimaknai sebagai sebuah perwujudan ide-ide transendental yang dapat mengubah realitas. Dengan kata lain, nilai-nilai kepercayaan dan keagamaan memiliki unsur pembaruan yang berorientasi pada kemajuan akal budi manusia (“religion was part of the process of developing self-consciousness”).8

Perspektif kedua, adalah perspektif Materialisme, yang memaknai agama dan/atau kepercayaan sebagai entitas yang ‘historis’ (berhubungan dengan hal yang riil) dan juga ideologis. Dalam konteks ini, bukan ide (dalam hal ini agama/kepercayaan) yang merubah realitas, namun sebaliknya (“… but their social existence that determines their consciousness.”)9 Kedua 6 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XI/2013.

7 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016.

8 M. Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (New York: Routledge, 1930), 130. Lihat juga, George

Albert Coe, Religion as a Factor in Individual and Social Development, The Biblical Word, Vol 23, No 1 (January, 1904), 37-47, 34.

9 K. Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, (Moscow: Progress Publishers, 1977). Lihat juga,

(10)

pendekatan teori sosiologi agama klasik diatas berguna untuk dapat mengetahui arah politik keagamaan yang digunakan oleh pemeluk agama/kepercayaan Kaharingan. Apakah aspirasi keagamaan tersebut bertujuan merubah realitas (idealisme), atau bernuasa ideologis (materialisme).

Tulisan ini disusun dalam beberapa lapisan-lapisan argumen (layers of arguments), sebagai berikut: Pertama, aspek pengakuan oleh negara sebagai otoritas pemberi status hukum terhadap ‘agama’ Kaharingan akan dielaborasi. Apa yang menjadi pre-text dari kewenangan negara memberi pengakuan? Dan sejauh mana kewenangan instrumentalis tersebut dijalankan, akan dipaparkan. Kedua, aspek pengakuan dan ketertundukan negara kepada Hak Asasi Manusia (HAM) akan dielaborasi, guna melihat dinamika pengakuan dan penghormatan HAM oleh negara. Lapisan terakhir adalah aspek empiris dengan mencermati persepsi dan aspirasi pemeluk agama Kaharingan di Kalimantan Tengah. Dalam penelitian ini, ‘agama’ Kaharingan tidak hanya dimaknai sebagai sistem nilai normatif per se, namun melihat pemahaman atau budaya keagamaan yang dikembangkan oleh komunitas pemeluk agama tersebut yang tentu multi-facets. Semua bagian analisa memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan ‘kerangka hukum’ dalam penulisan ini.

B. Pengakuan Negara terhadap Agama – Akal Budi Instrumentalis Negara

Pembahasan pada bagian ini bernuasa sentralisme hukum (legal centralism), dimana hukum negara dianggap sebagai satu-satunya regulator dan operator hukum di masyarakat. Aspirasi untuk formalisasi kepercayaan Kaharingan untuk menjadi entitas keagamaan lewat instrumen pengakuan formal dari negara adalah salah satu contoh ketertundukan entitas-entitas non-negara (hukum informal) kepada negara. Instrumen pengakuan dalam optik negara (yang terejawantahkan dalam sistem pemerintahan dan birokrasi), menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya administrator dan pembuat kebijakan dalam suatu negara. Perspektif instrumentalis yang semata melihat aspek institusionalisasi (perangkat dan prosedur) dalam negara tersebut beririsan dengan beebread paradigma-paradigma filosofis terkait peran dan fungsi negara sebagai manifestasi kedaulatan yang sah (state as a legitimate sovereignty).10

Dalam tataran teoritik-filosofis, posisi negara sebagai pemberi pengakuan atas hak warga negara berjangkar pada perspektif positivistik-instrumentalis; dimana negara ditekankan sebagai institusi yang berdaulat (sovereign), yang dijalankan lewat peraturan politik (rules created by political authorities) dan sanksi hukum (enforced by sanctions).11 Perspektif ini dielaborasi oleh John

Austin dan Jeremy Bentham di Inggris Raya guna menantang tradisi hukum common law yang bermula berjangkar pada tradisi hukum judge made law. Doktrin judge made law dikembangkan oleh Hakim Blackstone, dianggap rawan terhadap praktek juristokrasi. Dalam era Austin dan Bentham kekuasaan negara hukum, beralih dari kekuasaan judisial, kepada kedaulatan parlemen (parliamentary sovereignty).12 Namun perlu diingat, bahwa baik doktrin judge made law dan

yurisprudensi memiliki kedudukan hukum (negara) yang sama dengan perundang-undangan.

https://kuscholarworks.ku.edu/bitstream/handle/1808/9057/Auslegung.v10.n01%2602.020-036.pdf?sequence=1&isAllowed=y> diakses pada tanggal 21 Juli 2019.

10 J. Austin, The Province of Jurisprudence Determined (Weidenfeld and Nicolson, 1954), Lecture 5, 117. 11 Ibid.

(11)

Dengan kata lain, tradisi hukum common law sendiri masih berada dalam langgam positivistik-instrumentalis karena pengadilan (negara) dan yurisprudensi adalah satu-satunya instrumen yang legitimate dalam negara.

Perspektif positivistik-instrumentalis diatas menempatkan pemerintah dalam posisi inti (epicentre of power) yang berperan krusial dalam memberi pengakuan dan menentukan hadir atau tidak negara dalam ranah interaksi antar individual. Kedaulatan negaralah yang menciptakan pranata-paranata turunan sosial di masyarakat (“the sovereign makes all of the rules.”) 13

Dalam perdebatan tentang fungsi dan peran negara (pemerintah) terhadap warga negaranya, postulat diatas ditentang oleh H.L.A Hart, yang menyatakan sebaliknya: pranata-pranata (baik yang tertulis maupun tidak tertulislah yang menimbulkan kedaulatan (the rules make the sovereign, not on contrary).14 Rules atau pranata-pranata inilah yang dianggap baik oleh masyarakat yang

menjadi inti dari hukum. Hart tidak pernah memaknai ‘rules’ semata sebagai ‘aturan,’ karena dalam elaborasinya, rules dianggap sebagai pranata-pranata yang terbagi atas dua elemen.

Elemen pertama adalah apa yang disebut Hart sebagai primary rules (pranata-pranata utama) yang memberi kewajiban kepada seseorang atau komunitas tentang bagaimana berprilaku yang baik, primary rules juga kerap disamakan dengan rules of conduct. Pranata ini memiliki aspek yang sangat luas, bisa bermakna sebagai adat atau kebiasaan yang baik (customary law) yang menjadi cikal bakal tradisi hukum common law, dan bisa juga dimaknai sebagai pranata agama dan/atau kepercayaan yang beorientasi pada pembangunan diri individu dan masyarakat.

Elemen kedua adalah secondary rules (pranata-pranata kedua) yang dibentuk oleh kumpulan dan seleksi dari pranata utama, dan sekaligus berfungsi sebagai pengesah (authorization) terhadap pranata-pranata utama mana yang layak diakui dan/atau dilestarikan oleh negara (“… accept the rule’s criteria as standards that empower and govern their actions …”).15 Fungsi dan kewenangan

inilah yang disematkan pada negara dengan sebutan rules of recognition.16

Dalam pemahaman Hart, pranata-pranata utama (primary rules) adalah pranata tradisional yang semata berdasar pada ikatan tradisionalis antara masyarakat; apa yang disetujui dan dipraktek kan dalam masyarakat. Dengan kata lain, budaya masyarakat membentuk hukum, adat, kebiasaan dan juga ideologi (dalam perspektif Marxis, agama adalah juga ‘ideologi’) dalam masyarakat. Hart menganggap (dalam bias pemikiran modernis-Barat) bahwa pranata-pranata utama tersebut tidak layak menjadi ‘kekuatan kedaulatan’ suatu negara, karena memiliki banyak norma-norma yang tidak pasti namun kontekstual-sosiologis dan multi-tafsir (semisal ajaran agama/kepercayaan masing-masing, yang bahkan kerap saling menegasikan satu sama lainnya).

Norma-norma yang tidak pasti (normative uncertainties) tersebut menurut Hart, mungkin tidak menjadi masalah besar dalam konteks perkumpulan masyarakat yang masih terikat dalam solidaritas mekanik; dimana masyarakat masih homogen, mata pencaharian masih tunggal dan

13 J. S. Barkin dan B. Cronin, The State and The Nation: Changing Norms and the Rules of Sovereign in International

Relations, International Organization, Vol. 48 No. 1 (Winter, 1994), 107-130.

14 H.L.A. Hart, The Concept of Law (Clarendon Press, 1994) 119-132.

15 H.L.A Hart, ‘Positivism and the Separation of Law and Morals’ (1957) 71 4 Harvard Law Review 539-629. 16 Ibid.

(12)

kerekatan kekeluargaan masih kuat (strong bonds of kinship) semisal diwilayah pedesaan atau masyarakat adat.17 Namun ketika masyarakat mulai berkembang dimana penduduk semakin

heterogen dan individualisme semakin kuat maka solidaritas akan bersifat lebih mekanik yang tentu membawa dampak pada kohesi masyarakat yang semakin memerlukan perangkat norma yang lebih berkepastian.18

Dalam konteks heterogenitas aturan-aturan dalam masyarakat inilah negara lahir untuk membangun suatu kesepahaman kolektif masyarakat dalam pranata-pranata yang lebih instrumentalis (secondary rules) lewat sistem seleksi negara terhadap entitas-entitas primary rules diatas. Dengan kata lain, pranata-pranata utama hanya layak diposisikan sebagai ‘bahan mentah’ dari paham negara hukum moderen yang sudah mengalami proses ‘penyaringan.’ Proses penyaringan inilah yang disebut sebagai rule of recognition, dimana pemerintah memakai parameter-parameter yang terukur menilai norma-norma mana yang layak dan konstruktif menjadi bagian dari negara (“Hart often characterized the rule of recognition as a test of what the law is in a particular legal system.”)19

Kewenangan negara lewat pemerintah untuk memberi pengakuan terhadap entitas-entitas yang liyan menjadi bagian dari negara dianggap sebagai aras tertinggi kedaulatan negara. Dalam artian, negara (pemerintah) lah yang berwenang menerapkan standar-standar akal budi yang paling rasional sekaligus bijaksana. Inilah yang disebut sebagai akal budi instrumentalis.

Pemahaman instrumentalis diatas penting guna memahami reasoning kebijakan negara ketika berhadapan dengan kelompok liyan. Dalam konteks pemenuhan keadilan dan kesama rataan dihadapan hukum, teori pengakuan oleh negara tidaklah mencukupi, karena semata instrumentalis, negara seolah menjadi ‘robot’ yang nir-empati terhadap aspirasi rakyat. Kebijakan negara dalam proses pengakuan dianggap tidak hanya benar secara moral (morally correct), namun juga harus rasional.

Rasionalitas negara dianggap dapat menjadi antidote bagi semua permasalahan dalam relasi negara dan masyarakat. Paradigma yang terkesan rasional tersebut sejatinya lahir dari pemahaman teori ilmu eksakta yang digagas oleh Descartes (1596-1650) yang berjangkar pada upaya manusia rasional untuk mencapai proposisi-proposisi umum yang netral dengan cara deduksi atau induksi. Netralitas adalah tujuan akhir yang ingin dicapai dari suatu pengetahuan, tanpa perlu menyelami obyek dan anasir-anasir lain yang mempengaruhi obyek. Descrates memandang ilmu, baik ilmu pasti maupun sosial, sudah mencukupi (self-sufficient), berdikari (independent) dan bebas nilai (neutral).20

Namun dalam perspektif ilmu yang bersinggungan langsung dengan entitas masyarakat yang hidup dan berkembang secara dinamis, ‘netralitas’ bukanlah jawaban. Karena yang diperlukan masyarakat adalah hadirnya negara dalam ruang-ruang dimana hadirnya negara sangat diperlukan, atau negara tidak perlu turut campur dalam ruang-ruang privat masyarakat. Dengan kata lain,

17 Ibid, 14. 18 Ibid, 103.

19 V. Villa, ‘A Definition of Legal Positivism’ in M. Pavcnik and G. Zanetti (ed), Legal Systems and Legal Science

(ARSP, 1997) 27, 35.

(13)

masyarakat tidak memerlukan ‘netralitas’ negara, namun memerlukan keberpihakan dan sensitifitas negara terhadap kebutuhan publik.

Netralitas negara juga dianggap sebagai selubung kepalsuan karena sejatinya negara berpihak kepada tatanan kemapanan status quo: bersikap netral dalam kondisi yang tidak adil dan diskriminatif, sejatinya adalah wujud keberpihak. Dengan kata lain, netralitas sejatinya ideologis, karena negara tidak bertanya pada masyarakat kenapa realitas (ketidak adilan, diskriminasi dan lain sebagainya) sampai terjadi. Negara hanya menerima dan membenarkan realitas dengan begitu saja (taken for granted, without reservation). Netralitas negara merupakan selubung kepalsuan untuk menutupi ‘kelemahan’ negara yang tidak mau mengubah realitas, karena sudah terlalu nyaman dengan kemapaman status quo.

Selain aspek netralitas yang jelas ideologis diatas, mekanisme rule of recognition yang dijalankan oleh pemerintah atas nama kedaulatan hukum juga ahistoris. Dalam artian, mekanisme pemerintah yang merupakah wujud akal budi rasional semata menjadi alat (instrument) bagi kekuasaan. Karena sudah menjadi alat, maka akal budi tersebut sudah terkooptasi dan tidak bisa lagi memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Melawan perspektif instrumentalis diatas yang mendaku netral namun semata menjadi alat, tulisan ini memaparkan kontra argumen dari perspektif kritis yang berorientasi pada pemenuhan tujuan negara: keadilan dan kesamaan dihadapan hukum, dimana hukum tidak diletakkan dalam posisi yang netral, namun pro-aktif melindungi masyarakat dan bahkan liyan. Hukum juga harus ‘historis’ dalam artian melihat fakta rill di masyarakat ketimbang semata bermain dalam ranah proposisi-proposisi umum. Dengan kata lain, diperlukan hukum negara yang memiliki tujuan-tujuan emansipatoris, hal yang hanya dapat dicapai apabila negara mampu memanusiakan manusia lewat instrumen HAM dan pengakuan terhadap keberagaman.

C. HAM dan Pluralisme: Instrumen Emansipatoris Negara

Dalam bagian ini akan dibahas beberapa prinsip-prinsip penting dalam Hukum HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun proses ratifikasi tidak langsung menyelesaikan masalah, problematika relativisme dalam sistem hukum dan ideologi Pancasila yang dianggap patrikularis banyak berkontribusi pada perdebatan-perdebatan hukum-filosofis. Diskursus terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, secara yuridis, berjangkar pada norma kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005. Pasal 18 menjamin hak warga negara dalam beragama dan berkeyakinan.

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. ”21

21 Pasal 18, Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political

(14)

Pasal 18 diatas kerap bersinggungan dengan eksistensi agama/kepercayaan yang dianut oleh kaum minoritas, mana prinsip-prinsip Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan juga berkolerasi dengan hak minoritas dalam Pasal 27 ICCPR.

“Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.”22

Norma HAM diatas telah diratifikasi oleh Indonesia sehingga dapat dianggap sebagai norma yang mengikat bagi pemerintah. Menukik dalam hukum nasional, UUD 1945 juga memberi jaminan sebagai berikut: “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya …”23

Sedangkan dalam ‘berkeyakinan’, UUD 1945 mengatur: “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”24 Dalam

konsepsi HAM, hak beragama dan berkeyakinan termasuk dalam kategori non-derogable right atau hak yang tidak bisa diderogasi (dinafikan), sehingga UUD 1945 pun dengan tegas menyatakan: “hak beragama … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”25

Selain berkolerasi dengan norma konstitusi, kebebasan beragama dan berkumpul juga memiliki relasi dengan falsafah negara; Pancasila. Nilai Ketuhanan tidak dapat dilepaskan dalam konteks bernegara. Namun nilai Ketuhanan tersebut bersifat umum, tidak menyasar pada nilai Ketuhanan suatu agama tertentu, apalagi agama mayoritas. Setiap pemeluk agama di Indonesia bebas menafsirkan nilai Ketuhanan sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Pemerintah berdiri ditengah untuk mengakomodir dan melindungi seluruh hak-hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pancasila, terutama dalam Sila pertama; “Ketuhanan Yang Maha Esa,” harus dimaknai sebagai theistic-secular democratic state.26

Pancasila sebagai dasar negara haruslah ditafsirkan sebagai prinsip-prinsip moral yang sejajar dan saling berhubungan, bukan bersifat hierarkis. Sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa” haruslah dimaknai sebagai semangat transendental-universal yang menjiwai prilaku bangsa dan negara. Bertuhan adalah ‘hak’ warga negara dan negara dijiwai oleh semangat transendental-universal tersebut, namun bukan berarti negara, atas nama ‘Tuhan’ bisa memberi kemudahan, pengaturan berbeda dan pengecualian (privileges and exceptions) kepada umat beragama mayoritas dan/atau mendiskriminasi pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks relasi agama-negara, sila pertama Ketuhanan harus dibaca bersamaan dengan sila “Kemanusian yang Adil dan Beradab”, dimana titik tekannya dalam kata ‘adil’. Pemerintah harus memberi instrumen yang adil, tidak memihak,

22 Pasal 27, Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political

Rights (ICCPR).

23 Pasal 28E (1), Undang-Undang Dasar 1945 (Pasca Amandemen). 24 Pasal 28E (2), Undang-Undang Dasar 1945 (Pasca Amandemen). 25 Pasal 28I (1), Undang-Undang Dasar 1945 (Pasca Amandemen).

26 Al-Khanif, Questioning a theistic, secular Pancasila to protect Religion, The Jakarta Post, June, 1, 2015

(15)

dan tidak bias terhadap penganut agama-agama di Indonesia, sehingga tercipta relasi antar umat beragama yang emansipatoris dan berkeadilan.

Terlepas dari adanya jaminan filosofis-konstitusional, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan masing dipertentangkan dan diperdebatkan, karena berhadapan langsung dengan hegemoni pemerintah lewat pengakuan legal-formal terhadap agama/kepercayaan. Penolakan HAM terhadap hegemoni instrumentalis-mayoritarian setidaknya berjangkar pada prinsip-prinsip HAM Universal, sebagai berikut:

1. Martabat Manusia (Human Dignity) Yang Bersifat Azazi (Inherent)

Prinsip pertama yang paling penting yakni berkaitan dengan esensi subtantif manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang bermartabat sedari lahir. Prinsip ini dapat terbaca dalam rumusan Deklarasi HAM Internasional yang menyebutkan: “the recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.”27 Martabat manusia yang sedari lahir didapat oleh manusia sejatinya merupakan fondasi dari hak-hak turunan lain yang penting bagi manusia, terutama dalam bingkai bernegara.

Prinsip penghormatan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia inilah yang memberi validitas moral terhadap penghormatan dan perlindungan hak-hak kepada rakyat, terutama ketika rakyat berhadap-hadapan langsung dengan rezim pemerintah. Dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, ada atau tidak adanya pengakuan formal negara terhadap entitas pemeluk agama/kepercayaan minoritas tidaklah menggugurkan hak-hak asasi kelompok pemeluk agama/kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama, dimana kebebasan ini dianggap sebagai kebebasan yang hakiki dari manusia sehingga tidak bisa direbut atau diintervensi oleh siapapun termasuk negara. Seseorang harus memeluk suatu kepercayaan/agama berdasar pada panggilan hati nuraninya sendiri dan tidak boleh lewat cara-cara pemaksaan dan intimidasi.

Harkat dan martabat manusia yang merupakan prinsip utama dan yang terpenting dari HAM Internasional memiliki prinsip-prinsip turunan lain, semisal: kesetaraan dan non-diskriminasi.

2. Kesetaraan (Equality)

Kesetaraan adalah jangkar utama HAM, dimana dimaknai sebagai perlakuan terhadap individu/masyarakat kolektif pada situasi yang sama, harus diperlakukan dengan treatment yang sama juga, sedang pada situasi yang berbeda, diberlakukan juga secara berbeda.

Prinsip ini adalah salah satu syarat dari tumbuh kembangnya paham demokrasi dan konstitusionalisme disuatu negara, dimana ada kesetaraan di depan hukum, kesetaraan akses terhadap Sumber Daya Alam, kesetaraan terhadap kesempatan yang sama, dan kesetaraan dalam

27 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), <

(16)

memeluk dan menjalankan agama tanpa memandang status individu/masyarakat kolektif tersebut sebagai mayoritas maupun minoritas (atas dasar latar belakang keagamaan dan ras).

Dalam konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, setiap pemeluk agama berhak menikmati kebebasannya untuk memeluk suatu agama/kepercayaan tanpa dibeda-bedakan dengan agama-agama resmi negara. Diski ‘agama-agama resmi’ mengindikasikan ada agama-agama- agama-agama/kepercayaan-kepercayaan yang tidak resmi/belum diakui oleh negara. Hal tersebut berimplikasi pada treatment yang berbeda oleh negara.

Konteks ‘kesetaraan’ menjadi penting dalam menganalisa dikotomi ‘agama’ dan ‘kepercayaan’. Hegemoni konseptual ‘agama’ terhadap ‘kepercayaan’ dijawab oleh ICCPR terutama dalam General Comment No. 22 yang telah memberi tafsir yang luas dan mendalam tentang apa yang dimaksud dengan kepercayaan itu, termasuk meliputi kepercayaan-kepercayaan tauhid, non tauhid dan ateisme serta termasuk pula hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun (“The right to religion which includes the freedom to hold beliefs is far-reaching and profound; it encompasses freedom of thought on all matters … The terms ‘belief’ and ‘religion’ are to be broadly construed”).28 HAM Internasional menekankan bahwa konsep ‘agama’ dan ‘kepercayaan’

harus dimaknai secara utuh, menyeluruh dan holistik.29

Dalam rumusan beberapa instrumen hukum HAM internasional diatas, aspek keberagaman yang ditafsirkan sebagai hak atas berbudaya (right to culture) sangat ditekankan. Budaya dianggap sebagai genus dari segala ragam cipta, rasa dan karsa manusia; dari bahasa, filosofi, agama/kepercayaan, ilmu pengetahuan sampai pada sistem ideologi.30 Hal tersebut berkorelasi

dengan pendapat ilmuwan sosial yang mencandra agama dan kepercayaan sebagai entitas sosial yang ‘cair’, semisal Berger31 memaknai agama dalam kerangka eksternalisasi – obyektifikasi –

internalisasi. Dimana manusia melahirkan masyarakat yang tumbuh atas ekspresi dan eksistensi manusia itu sendiri (tahap eksternalisasi), kemudian masyarakat tersebut melahirkan kebudayaan yang berfungsi sebagai pranata moral untuk mencegah prilaku homo homoni lupus (tahap obyektifitas), tahap selanjutnya pranata moral tersebut kembali merasuk dalam kesadaran subyektif manusia dengan diberi stempel sakral dan suci (tahap internalisasi agama).

Lewat rotasi kosmologis inilah suatu agama terbentuk sebagai suatu sistem kepercayaan yang diberi tugas untuk menafsir tindakan manusia. Kosmologis yang percaya akan kekuatan gaib dan mukzijat, masa akhir zaman dan kehidupan sesudah mati yang terwujud dalam ketaatan dan pemujaan adalah esensi dari agama dan kepercayaan itu sendiri. Lewat penjelasan diatas, jelas

28 General Comment No. 22 (1) dan (2) The right to Freedom of thought, conscience and religion (Art 18):

30.07.1993.CCPR/C/21/Rev.1/Add.4

29 Selain itu ada banyak lagi instrumen HAM International lain yang menyokong keberagaman budaya dan agama

dan anti-diskriminasi terhadap minoritas, semisal: Pasal 27 (1) the Universal Declaration on Human Rights (UDHR), Pasal 13 dan 15 the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Pasal 31 the

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD), Pasal 7 the Declaration of Minorities dan the UNESCO Declration of the Principles of International Cultural Co-operation.

30 P. Thornberry, International Law and the Rights of Minorities (Clarendon Publisher 1993) 67 31 P. L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (LP3ES 1991) 45

(17)

bahwa sejatinya tidak ada sekat yang tebal antara ‘agama’ dengan ‘kepercayaan’, yang membedakan hanya keterikan institusional agama terhadap relasi kuasa.

3. Non-Diskriminasi (Non-Discrimination)

Prinsip kedua ini beririsan dengan prinsip kesetaraan diatas, dimana setiap individu maupun masyarakat kolektif harus terhindar dari kebijakan-kebijakan yang diskriminatif oleh negara, sebagai pemangku kewajiban. Sebuah kebijakan dinyatakan diskriminatif bila diaplikasikan pada situasi sama diberlakukan secara berbeda, dan/atau situasi berbeda diperlakukan sama (“… if like situations are treated differently or different situations are treated similarly).

No. Kondisi Perlakuan Hasil Status

1. Sama Berbeda Berbeda Diskriminatif

2. Berbeda Sama Berbeda Diskriminatif

Diskriminalisasi dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat terjadi baik secara langsung (direct) ataupun tidak langsung (indirect). Diskriminalisasi secara langsung semisal seorang penganut agama minoritas diberlakukan berbeda dengan penganut agama mayoritas atau resmi. Selain itu, tidak adanya pengakuan negara terhadap agama/kepercayaan minoritas tersebut membawa dampak-dampak turunan yang secara langsung juga mendiskriminalisasi penganut agama/kepercayaan minoritas tertentu. Diskriminalisasi tidak langsung terjadi karena karakter hak yang saling bergantung (interdependent) dan saling terkait (interrelated).

Dalam kaitannya dengan hak pemeluk keyakinan minoritas, rumusan kebebasan berkeyakinan berkolerasi dengan prinsip non-diskriminatif dengan memberikan tempat tersendiri bagi kelompok agama lokal-minoritas untuk menikmati hak-hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinannya, sebagai berikut: “In those States in which ethnic, religious or linguistic minorities exist, persons belonging to such minorities shall not be denied the right, in community with the other members of their group, to enjoy their own culture, to profess and practice their own religion, or to use their own language.”32

Lewat deskripsi teoritik diatas, diambil suatu kesimpulan bahwa pengakuan formal negara atas agama/kepercayaan merupakan kebijakan instrumentalis yang dapat menimbulkan ketimbangan/ketidaksetaraan antar pemeluk agama dan cenderung dapat mendiskriminasi pemeluk agama minoritas.

Kebijakan politik hukum pengakuan atas agama/kepercayaan tersebut lekat dengan karaktekter state law pluralism yang bernuasa positivistik, dimana pendekatan yang digunakan mirip dengan rule of recognition yang diberikan oleh Hart.33 Pendekatan ini dianggap sebagai suatu keniscayaan

dari perkembangan modernisasi dan konsep negara bangsa-bangsa (nations state). Dikarenakan

32 Pasal 27, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 33 Hart, Ibid 14, 130.

(18)

adanya jurang pemisah yang jelas antara hukum negara dengan hukum non-negara, maka proses modernisasi dapat terhambat. Dengan kata lain, hukum negara tidak bisa memakai nilai-nilai lokal yang sosiologis tersebut sebagai penghubung (medium) dengan masyarakat lokal. Pendekatan state law pluralism juga kerap dianggap terlalu simplistik karena cenderung mengabaikan kompleksitas hukum dalam ranah masyarakat lokal yang disebut Moore sebagai semi-autonomous social fields.34

Menganut dan mempercayai agama/kepercayaan sejatinya merupakan suatu ‘hak alamiah’ dari warga negara, namun peran negara sebagai administrator kerap mempenetrasi ruang privat tersebut dengan beberapa kebijakan-kebijakan administrasi, dalam konteks Indonesia adalah dalam norma-norma hukum Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang akan dideskripsikan dalam bagian berikut.

D. Nalar Konstitusionalisme Mahkamah Konstitusi

Latar belakang legal-historis yang penting dalam wacana pengakuan ‘agama’ nenek moyang adalah ketika Undang-Undang tentang Administrasi Kependuduan (Adminduk) dibawa keharibaan MK untuk dilakukan uji materiil (judicial review) terhadap substansi norma-norma hukum berikut: Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ Keterangan mengenai kolom agama … penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.” Dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) yang menyatakan: “ … bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Dalam Pertimbangan Hukumnya, MK mendalilkan tentang hak beragama termasuk hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan hak mendapatkan layanan publik merupakan Hak Asasi Manusia sekaligus hak konstitusional (constitutional rights) warga negara. Dalam artian hak tersebut bukan pemberian negara, namun merupakan hak-hak alamiah (natural rights); hak ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia. Hak ini adalah termasuk dalam kelompok hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (terkecuali dalam lingkup forum externum).35

Selain itu MK juga melakukan penafsiran filosofis terhadap esensi perlindungan dan perhormatan negara terhadap HAM, dengan mengutip Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945: “melindugi segenap bangsa Indonesia”, yang dimaknai tidak hanya berarti melindungi raga dan jiwa warga negara Indonesia, termasuk tatkala berada di luar yurisdiksi Indonesia, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara itu, lebih-lebih hak-hak yang merupakan hak-hak asasinya.36

Lewat argumentasi-argumentasi diatas tergambar bahwa, MK memakai perspektif HAM Berkeyakinan dan Beragama, tidak semata mencermati aspek pelayanan administrasi publik.

34 S F Moore, ‘Law and Social Changes: The Semi-Autonomous Field as an Appropriate Subject of Study’ (1973) 7

(4) Law and Society Review 720, 721.

35 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, h.138-139. 36 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, h.140.

(19)

Sehingga sebagai konsekuensinya, pemerintah; tidak hanya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun juga Kementerian Agama (Kemenag) yang membawahi administrasi dan managerial organisasi umat agama dan keyakinan harus melalukan beberapa kerja harmonisasi kebijakan pasca putusan MK tersebut.

Kuatnya esensi HAM Beragama dan Berkeyakinan dalam Putusan MK tersebut dapat dilihat pada penggunaan ‘batu uji’ konstitusional (constitutional touchstone) yang digunakan MK adalah Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selanjutnya dalam Pasal 28E ayat (2) ditegaskan pula: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dalam penafsiran historis yang digunakan MK, majelis hakim berpendapat bahwa ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ secara historis ketatanegaraan Indonesia memang dipahami sebagai dua hal berbeda, namun keduanya setara dihadapan hukum.37 MK juga mendalilkan bahwa mekanisme

atau upaya melakukan tertib administrasi kependudukan sama sekali tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara dimaksud termasuk hak-hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama untuk penganut kepercayaan.38

Berdasarkan penafsiran-penafsiran diatas, MK memutuskan bahwa Pasal 61 (1) dan (2) meletakkan agama sebagai pemberian negara, sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mana agama adalah hak lahiriah dari manusia.39 MK juga berpendapat bahwa Pasal

61 (1) dan (2) diskriminatif dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta melanggar jaminan kesamaan warga negara di hadapan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.40 Dengan jatuhnya vonis inkonstitusional terhadap Pasal 61 (1) dan (2), maka

secara sistematis juga berdampak pada Pasal 64 (1) dan (5) yang juga dinyatakan MK inkonstitusional.

Lewat argumentasi ini, MK secara eksplit menyatakan bahwa hak konstitusional yang merupakan pengejawantahan dari HAM merupakan entitas yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi; abainya negara (pemerintah) dalam memberi pelayanan administrasi kependudukan dapat berpotensi menjadi penghalang sulitnya penganut agama leluhur untuk mendapatkan askes terhadap pelayanan-pelayanan administrasi lain, dan secara tidak langsung mendiskriminasi mereka berdasarkan parameter ‘agama resmi’.

Kebijakan politik hukum pengakuan atas agama/kepercayaan baik oleh pemerintah/DPR lewat undang-undang maupun lewat MK lewat judicial review perundang-undangan dapat memberi

37 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, h. 141. 38 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, h. 147. 39 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, h. 150. 40 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, h. 151-152.

(20)

stimulus terhadap kontestasi agama/kepercayaan minoritas dengan agama-agama mayoritas dan/atau resmi. Selain itu juga memberi multi pemahaman terhadap putusan MK tersebut; apakah putusan MK 97 membawa akibat hukum kepada pengakuan kepercayaan setara dengan agama resmi dan/atau kepercayaan dapat menjadi agama, hal ini tentu merupakan kewenangan dari Kementerian Agama, atau Putusan MK 97 semata menegaskan pentingnya aksesibilitas terhadap administrasi kependudukan untuk warga negara? Kontestasi dan pemahaman tersebut akan dideskripsikan dalam kasus pemeluk ‘agama’ Kaharingan di Kalimantan Tengah dalam bagian berikut.

E. Kontestasi ‘Agama’ Kaharingan di Kalimantan Tengah

Bagian ini mendeskripsikan data-data wawancara baik dari pemangku ajaran agama Hindu-Kaharingan yang pro terhadap politik integrasi Hindu-Kaharingan dengan Hindu dan tokoh-tokoh pemeluk agama/kepercayaan Kaharingan yang kontra dengan kebijakan/politik integrasi. Responden dipilih berdasarkan kedudukan, kompetensi, dan pengalamannya selaku penyuluh, dosen dan penganut agama/ajaran Kaharingan dan agama Hindu-Kaharingan. Bagian ini hanya memaparkan hasil-hasil wawancara dengan segala dinamika dan argumentasi dari kedua perspektif. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penilaian yang preskritif atas kedua argumentasi tersebut, namun semata hanya memberi deskripsi empiris.

1. Kaharingan: Agama Leluhur yang Harmonis

Kaharingan adalah agama asli masyarakat adat Dayak di Pulau Kalimantan, kerap juga disebut sebagai agama helo.41 Secara teologis, agama Kaharingan tidak saja bernuasa kultural-geneologis

terhadap suatu suku tertentu (suku Dayak), namun juga memiliki universalitas keagamaan. Dengan kata lain, agama kaharingan dapat dipeluk oleh orang-orang yang berasal dari luar ikatan geneologis masyarakat Dayak. Semua manusia (terlepas dari ras dan suku) dapat memeluk agama Kaharingan.42 Konversi seorang pemeluk agama lain ke agama Kaharingan biasanya dilakukan

lewat medium perkawinan. Janji untuk memeluk agama Kaharingan dengan mengucap lima pengakuan agama Kaharingan, kemudian diikuti dengan ritual mandi air kelapa, sebagai ‘pengikat’ janji.43

Dalam agama Kaharingan yang ditumbuh kembangkan oleh praktek keseharian masyarakat Dayak, masyarakat merupakan penggabungan antara institusionalisasi agama dan mistik: dimana manusia adalah bagian dari ruang kosmos alam dan dunia roh leluhur. Masyarakat Dayak penganut Kaharingan percaya bahwa alam tidak akan mengusik manusia, bila manusia tidak terlebih dahulu merusak alam. Dengan kata lain, ada keterikatan dan ketergantungan magis-ekologis antara manusia dengan alam sekitar.44

Masyarakat Dayak penganut Kaharingan memiliki basis nilai-nilai universal tentang bagaimana manusia dan alam (kosmik dan kosmos) berjalan secara harmonis. Kepercayaan Kaharingan

41 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019. 42 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019. 43 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019. 44 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019.

(21)

masyarakat adat Dayak merupakan penggabungan antara ‘kepercayaan’ yang bersifat illahiah (godsdienst) dengan cerita-cerita mistik (bijgeloof), oleh karenanya kepercayaan lokal tersebut kerap disebut sebagai religio-magis.

Agama Kaharingan kerap disangka hanya sebagai aliran kepercayaan yang belum terinstitusionalisasi, padahal agama Kaharingan juga memiliki beberapa prasyarat ‘modernitas’ (bila merujuk pada teori Weber), semisal: memiliki kitab suci yang bernama Panaturan; memiliki tempat ibadah yang dilakukan di Balai Kaharingan; memiliki kidung atau nyanyian persembahan yang bernama Kandayu. Pemeluk agama Kaharingan juga memiliki Tanah Suci, semisal: Bukit Tantan Sama Tuan dan Bukit Raya. Konsep Tuhan Yang Maha Esa juga dimiliki oleh pemeluk agama Kaharingan, dengan menyembah Ranying Hatalla Katamparan.45

Konsep tauhid (ke-Esaan Tuhan) dalam Ranying Hatalla Katamparan yang merupakan awal mula dan terakhir dari siklus kehidupan terejawantah dalam beberapa bagian kehidupan yang satu-sama lain berhubungan dan mencipta harmoni. Dalam ajaran Kaharingan, setidaknya ada 4 (empat) alam kosmos, dimana Ranying Hatalla Katamparan menjadi intinya.

Pertama, Langit Katambuan adalah langit yg diciptakan oleh Ranying Hatalla tempat manusia

dan makhluk lainnya bernaung. Semua makhluk hidup didunia ini adalah hidup dibawah kolong langit;

Kedua, Petak Tapajakan adalah bumi yg diciptakan oleh Tuhan YME, tempat semua makhluk

termasuk manusia hidup, bercocok tanam, mencari nafkah, beranak pinak dan berladang berpindah. Agama Kaharingan percaya bahwa bumi adalah salah satu elemen penting bagi semua makhluk hidup di dunia ini;

Ketiga, Nyalung Kapanduian adalah air (sungai dan laut) yg diciptakan oleh Tuhan YME yang

bermanfaat dan berguna bagi kelangsungan hidup semua makhluk hidup di dunia ini. Agama Kaharingan percaya bahwa mata air merupakan salah satu sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup. Bagi umat manusia air kehidupan yg kekal dan abadi adalah anugerah kehidupan abadi bagi umat manusia bahwa hidup berasal, disucikan dan di mandikan oleh air kehidupan milik Tuhan (Ranying Hatalla); dan

Terakhir, Kalata Padadukan adalah kandungan ibu yang merupakan awal kehidupan manusia

terjadi; manusia lahir, dipelihara dan dibesarkan oleh seorang ibu sehingga tumbuh dan berkembang menjadi manusia yg dewasa dan berguna. Agama Kaharingan percaya bahwa surga berada dibawah telapak kaki seorang ibu, wajib hukumnya bagi pemeluk agama Kaharingan untuk selalu menghormati dan menyayangi seorang ibu.46

Konsep manusia pertama juga dikenal dalam agama Kaharinga, adalah seseorang bernama Manyamei Tunggul Garing sebagai suami dan Kameluh Putak Bulau sebagai istri. Mereka

45 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019. 46 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019.

(22)

melahirkan 3 (tiga) anar kembar yang elak menjadi raja, yaitu: Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu. Keturunan dari Raja Bunu lah orang Dayak saat ini.47

Kelima aspek ketuhanan dari agama Kaharingan diatas memberi makna bahkan agama Kaharingan memiliki instrumen moral yang dapat digunakan manusia untuk berkembang dan berorientasi pada kemajuan akal budi manusia (“religion was part of the process of developing self-consciousness”),48 hal ini merupakan salah satu prasyarat agama moderen. Selain itu, bila

meminjam perspektif Berger tentang tahapan beragama, agama Kaharingan telah memenuhi tahapan awal: eksternalisasi, dimana masyarakat tumbuh dan berkembang atas ekspresi dan eksistensi manusia itu sendiri. Kemudian telah mencapai tahap obyektifitas dengan memberi pranata moral bersikap; memberi batas antara yang baik dan buruk. Selanjutnya pranata moral tersebut terinternalisasi dalam kesadaran subyektif manusia dengan diberi label sakral dan suci.49 2. Kontestasi Agama Kaharingan: Dua Perspektif

a. Perspektif Pemeluk Agama/Kepercayaan Kaharingan Kontra Integrasi

Sebagai ajaran leluhur minoritas, kepercayaan agama Kaharingan tidak mendapatkan perhatian dan prioritas yang sepatutnya oleh rezim pemerintahan pusat maupun daerah, terutama di zaman Orde Baru, dimana kesamaan dan unifikasi menjadi kata kunci. Agama Kaharingan terpaksa berintegrasi dengan agama Hindu pada tahun 1980 untuk mempermudah administrasi kependudukan. Pada saat itu, integrasi adalah satu-satunya jalan politis yang dapat ditempuh agar kepercayaan dan adat istiadat leluhur masyarakat Dayak dapat dilindungi. Namun penting untuk digaris bawahi bahwa pilihan integrasi dengan Hindu bersifat sementara.50

Agama Kaharingan dalam konteks perjuangan dan bertahan dari hegemoni ‘agama resmi’ telah pernah mencoba untuk mencari wadah ‘agama’ sendiri. Sembilan hari setelah integrasi dilakukan ikhtiar pengakuan agama Kaharingan dilakukan, namun terbentur dengan persyaratan formal dan prosedural menjadi ‘agama’ yang sangat ketat dan birokratis ‘Weberian’. Penganut agama Kaharingan akhirnya pasrah saja berintegrasi dengan agama resmi Hindu.51 Perjuangan untuk

menentukan nasib sendiri (self-determination) para penganut agama Kaharingan dimulai kembali pada tahun 1987 namun dikerenakan kurang kuat konsolidasi maka ikhtiar gagal ditengah jalan. Pada masa lalu, integrasi instrumentalis Kaharingan dengan Hindu sebagai agama resmi sangat cepat dan masif karena masyarakat-masyarakat Dayak di kampung tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) pada masa itu yang masih sangat rendah, masyarakat Dayak dengan mudahnya menerima anjuran dan masukan dari pemerintah untuk menerima Hindu sebagai ‘pintu administrasi’ keagamaan.52 Dengan kata lain,

pemerintah Orde Baru yang memang berorientasi untuk melakukan ‘penyamaan’ dan

47 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

48 Weber, Ibid 8, 34.

49 Berger, Ibid 13, 44.

50 Wawancara dengan Suel, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

51 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019. 52 Wawancara dengan Suel, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

(23)

‘penyederhanaan’ pluralisme, ‘memaksa’ penganut agama Kaharingan menjadi penganut agama Hindu. Praktik-praktik administrasi inilah yang masih membekas sampai sekarang.

Aspirasi memerdekakan diri dari kooptasi ‘agama resmi’ Hindu kembali menguat pada awal tahun 2000, dimana Pimpinan Presidium Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan mendeklarasikan Agama Kaharingan (tanpa Hindu) sebagai agama leluhur yang perlu segera diakui dan mendapatkan pelayanan yang sepatutnya oleh pemerintah.53 Namun disayangkan, aspirasi masih

dinafikan oleh pemerintah. Kemudian pada tahun 2006, didirikanlah Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) sebagai wadah perjuangan pemeluk agama Kaharingan.54 Selain MAKI,

Gerakan Dayak Nasional (GDN) yang dipimpin oleh Nico R.Toun cukup memberi warna pergerakan identitas Dayak dan penganut agama Kaharingan.

Dalam perspektif pemerintah (Kementerian Agama), pemisahan agama Kaharingan dari administrasi agama Hindu, dianggap sebagai kegiatan pemecah belah umat Hindu berdasarkan etnis dimana Hindu dianut di wilayah daerah tertentu. Hindu hanya satu, tidak ada Hindu Kaharingan.55 Pendapat ini sejatinya merupakan penegasan bahwa antara agama Hindu dan agama

Kaharingan sangatlah berbeda secara teologis. Salah satu alasan yang masuk akal, kenapa Hindu enggan melepas pemeluk agama Kaharingan menjadi pemeluk agama sendiri adalah motif ekonomi dan politik dari oknum-oknum elite agama tersebut. Elite Hindu-Kaharingan kebanyakan memiliki posisi/jabatan strategis di pemerintahan dan politik lokal.56

Selain permasalahan administrasi diatas, aspek pendidikan keagamaan juga menjadi konsen pemeluk agama Kaharingan. Kota Palangkaraya memiliki Sekolah Tinggi Ilmu Hindu-Kaharingan (STIH-K) yang kemudian setelah berubah status menjadi Institut Agama Hindu (IAH) dibawah administrasi Kementerian Agama tidak lagi mencantumkan kata ‘Kaharingan’. Menurut penelusuran salah satu responden, calon-calon guru agama di sekolah/institut tersebut lebih banyak diajarkan Hindu Darma ketimbang nilai-nilai Kaharingan, efeknya adalah ketika guru-guru tersebut menyebar ke beberapa wilayah terpencil yang diajarkan kepada generasi muda Dayak adalah agama Hindu, nir nilai-nilai Kaharingan.57

b. Perspektif Pemeluk Agama Hindu-Kaharingan Pro Integrasi

Guna memberi perimbangan (cover both sides) terhadap diskursus pengakuan ‘agama’ Kaharingan di Kalimantan Tengah, maka wawancara juga dilakukan kepada beberapa responden. Menurut keterangan beberapa responden, sebenarnya kehidupan beragama dan berkeyakinan di Kalimantan Tengah sangat harmonis, namun memang ada beberapa oknum-oknum yang ingin mengembalikan romansa masa lalu dengan menolak komitmen integrasi tahun 1980.58 Oknum-oknum yang 53 Surat Keputusan Rapat Pimpinan Presidium Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, ditetapkan di Palangkaraya,

30 April 2000.

54 ‘Kaharingan Desak Jadi Agama’, Banjarmasin Post, Rabu, 2 Juni 2010.

55 Pendapat dari Dirjen Bimas Hindu Prof Dr IBG Yudha Triguna MS, dalam ‘Dirjen: Tak Ada Hindu Kaharingan’,

Kompas, Kamis, 15 Oktober 2006.

56 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019. 57 Wawancara dengan Anonim (responden tidak mengijinkan penulis untuk menulis nama/identitas), Palangkaraya,

29 Agustus 2019.

(24)

menolak integrasi hari ini sebenarnya adalah salah satu pihak yang dulu getol memperjuangankan integrasi Kaharingan dengan Hindu. Oknum-oknum tersebut adalah ‘orang yang gagal’ dan tidak punya integritas, sekarang ingin berkuasa lewat instrumen politik identitas dengan mendompleng aktivisme masyarakat adat Dayak, terutama ketua Gerakan Dayak Nasional (GDN) dan kroni-kroninya.59 Dengan kata lain, perjuangan kontra integrasi tidak berasal dari ‘akar rumput’, namun

elitis dan politis. Ada kepentingan Pilkada 2020 disana.60

Responden menceritakan kisah awal mula terjadinya integrasi Kaharingan dengan Hindu, perjuangan pemeluk agama Kaharingan disalurkan lewat organisasai bernama Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) pada tahun 1950 yang berjuang secara politik untuk dapat diakui sebagai agama. Pada saat ini di awal masa Orde Baru, kolom agama pemeluk agama Kaharingan pada beberapa dokumen kependudukan sengaja dikosongkan atau diberi tanda (-). Kemudian pada tahun 1969 lewat organisasi yang bernama Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI) tokoh-tokoh Dayak Kaharingan bermusyawarah mencari jalan terbaik bagi Kaharingan, salah satu cara adalah dengan beradaptasi/menyesuaikan diri dengan persyaratan-persyaratan agama moderen sebagaimana sudah diatur dan diakui legalitasnya oleh negara. Pada masa-masa itulah tokoh alim ulama Kaharingan mengkompilasi kitab agama Kaharingan yang bernama: Panaturan, agar memenuhi salah satu kriteria agama menurut pemerintah.61

Akhirnya pada tahun 1980 dipilihlah opsi integrasi dengan agama Hindu. Agama Hindu dipilih karena dianggap sebagai agama paling dekat dengan ajaran Kaharingan. Dalam perjalanan integrasi dengan Agama Hindu, pada praktiknya agama Hindu tidak mencoba menghilangkan tradisi-tradisi atau aliran-aliran setempat, sehingga tidak ada tradisi dan ritual kepercayaan Kaharingan yang hilang, malah dijaga dan dilestarikan oleh agama Hindu.62 Lewat politik

integrase Hindu-Kaharingan, banyak dinikmati beberapa kemudahan-kemudahan yang dirasakan oleh pemeluk agama Kaharingan, semisal dapat mencetak buku-buku pelajaran agama, membuat Pendidikan Guru Agama (PGA) Parentas di Palangkaraya (1982-1983) yang merupakan cikal bakal dari STIH-K yang kemudian berubah status menjadi IAH.63

Secara teologis, sebenarnya agama Kaharingan adalah agama yang sangat pluralistik. Dari 13 (tiga belas) kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah tidak semuanya seragam dalam memahami teologi Kaharingan. Kitab suci Panaturan sendiri sejatinya merupakan kitab kompilasi ajaran-ajaran kuno dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ngaju, sedangkan masyarakat Dayak di Seruyan, Katingan dan Maayan memiliki keberagaman persepsi tentang ajaran Panaturan.64 Suku Dayak

sendiri terbagi dari beberapa sub-sub suku (Ngaju, Barito/Maayan, dan lain lain). Tidak bisa dipungkiri ada proses Ngajunisasi dalam agama/kepercayaan Kaharingan, terutama ketika Bapak Tjilik Riwut menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, dimana identitas orang Dayak Ngaju lebih ditonjolkan.65

59 Wawancara dengan Sisto Hartati, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019. 60 Wawancara dengan Pranata, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019.

61 Wawancara dengan Walter S Peyang, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019. 62 Wawancara dengan Pranata, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019.

63 Wawancara dengan Walter S Peyang, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019. 64 Wawancara dengan Nali Eka, Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya, 20 September 2019.

(25)

Salah seorang responden menyatakan bahwa kalau ada klaim dan tuduhan dari oknum-oknum bahwa ada Hindunisasi, maka kami (komunitas pro integrasi Hindu-Kaharingan) juga bisa menuntut balik bahwa ada Ngajunisasi/Ngaju-sentris dalam gerakan Kaharingan kontra integrasi.66 Dayak sebagai suku yang heterogen juga dapat terlihat dari banyak dan beragamnya

tradisi, ritual dan pranata adatnya, semisal; jabatan Damang/Mantir Adat hanya lebih dikenal oleh komunitas Dayak Ngaju, sedangkan pada wilayah sub-sub suku Dayak lain, jabatan tersebut tidaklah dikenal dan bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Ketika Dayak Ngaju menguasai pemerintah daerah maka jabatan Damang/Mantir Adat menjadi sangat politis.67

Selain memberikan klarifikasi dan sanggahan terhadap kelompok kontra integrasi, responden bersikap lebih moderat, dengan secara terang-terangan menghormati kalau ada pemeluk Hindu-Kaharingan yang ingin keluar dari Hindu dan kembali memeluk Hindu-Kaharingan. Sebagai perwujudan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi, namun secara administrasi kependudukan dan kegamaan tentu ada konsekuensinya.68

Mensikapi adalanya klaim atau tuduhan bahwa Institut Agama Hindu (IAH) hanya mengajarkan ajaran-ajaran Hindu kepada mahasiswa/i calon guru/penyuluh agama, responden menyatakan klaim tersebut jelas tidak benar. Menurut responden, materi kuliah tentang Kaharingan diajarkan (40% materi kuliah induk), sementara memang 70% ajaran Hindu. Namun bahasa Sangiang diajarkan kepada mahasiswa/i, tidak hanya bahasa Sangkrit.69 Beberapa materi kuliah bermuatan

lokal masih diajarkan, semisal beberapa seremoni adat: panaturan, tandak, balian dan lawang sekepeng. Pelajaran kepercayaan dan ritual Kaharingan terutama ritual adat diajarkan di Prodi Seni Keagamaan.

Sedangkan berkaitan dengan hilangnya kata ‘Kaharingan’ ketika STIH-K berubah status menjadi IAH, responden menyatakan hal tersebut terjadi semata karena nomenklatur Kementerian Agama yang hanya mengenal Hindu sebagai agama resmi. Namun dalam praktiknya, semua mahasiswa/i IAH diperbolehkan sembahyang ke Balai Kaharingan dan sekali-kali ke Pura dan Kuil, sesuai dengan keyakinan mereka sendiri yang sangat personal.70

Lewat deskripsi berimbang kedua kelompok diatas, dapat dipahami bahwa integrasi pemeluk Kaharingan ke agama Hindu merupakan pilihan politik rasional pada zamannya. Politik sebagai jalan/sarana untuk mendapatkan pemenuhan terhadap kepentingan tentu merupakan sarana yang sah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagian selanjutnya akan lebih mengupas terkait anasir politik dalam konstensi kedua kelompok tersebut.

3. Nuansa Politik Identitas

Lewat penelusuran data empiris yang dilakukan lewat proses wawancara, tidak dapat dinafikan bahwa kedua kelompok yang saling berseberangan tersebut memakai tuduhan ‘politik identitas’

66 Wawancara dengan Nali Eka, Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya, 20 September 2019.

67 Wawancara dengan Sisto Hartati, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019.

68 Wawancara dengan Nali Eka, Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya, 20 September 2019. 69 Wawancara dengan Nali Eka, Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya, 20 September 2019. 70 Wawancara dengan Nali Eka, Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya, 20 September 2019.

(26)

kepada lawannya masing-masing. Terlepas dari perjuangan dan ikhtiar pemeluk agama Kaharingan untuk dapat menentukan nasib mereka sendiri (self-determination) diatas, tidak dapat dipungkiri bahwa kepentingan politik berbasis identitas berkelindan dengan aspirasi keagamaan. Hal ini pun diakui oleh salah seorang responden kunci. Perjuangan penganut agama Kaharingan memang politis, karena memang itulah satu-satunya strategi jitu untuk mendapat pengakuan pemerintah pusat sebagai agama ‘resmi’ negara Indonesia.71

Aspirasi penganut agama Kaharingan berbanding lurus dengan penguatan politik identitas di Kalimantan Tengah. Awal masa otonomi daerah di tahun 1999 sampai pasca Putusan MK 35 tentang Hutan Adat, hegemoni identitas adat membuncah. Formalisasi hukum dan pranata adat manifes terjadi, semisal dengan penguatan instrumen hukum adat Dayak dalam penyelesaian sengketa keluarga (perdata) maupun ranah pidana. Pluralisme hukum secara terang benderang muncul menantang hukum negara, terutama dalam aspek penguasaan tanah adat yang secara eksplisit sudah dinyatakan keluar dari tanah adat lewat Putusan MK 35, walaupun implementasi putusan tersebut masih ‘jauh panggang dari api.’

Namun semangat pluralisme tersebut tidak selamanya konstruktif bagi tumbuh kembang negara demokrasi. Semisal dalam pengisian ‘jabatan adat’ semisal damang (ketua adat) tidak lagi dipilih lewat jalur komunal musyawarah mufakat tapi dipilih oleh kepala daerah, semisal Walikota/Bupati.72

Selain itu, guna memperkuat posisi tawar dan memperjuangan pengakuan agama Kaharingan di tingkat pusat, pemeluk agama Kaharingan yang kontra terhadap integrasi dengan Hindu beserta anggota Dewan Adat Dayak (DAD) juga telah melakukan kunjungan ke Istana Merdeka dengan tujuan untuk bertemu dengan Presiden Jokowi, acara kunjungan disebut dengan Maja Jokowi pada tanggal 29 Agustus 2019, responden mengaku bahwa tujuan silaturahmi sebenarnya bertujuan untuk mendukung perpindahan ibu kota ke Kalimantan dan meminta jatah menteri dari Kalimantan (khususnya Kalimantan Tengah) kepada Presiden Jokowi.73 Hal tersebut dapat dipahami dalam

logika politik elektoral karena Provinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu ‘Markas Banteng’ yang menyumbang banyak suara dalam pemilu serentak 2019 silam. Selain kepentingan pengakuan agama Kaharingan dan reposisi menteri dari Kalimantan, kepentingan Pilkada 2020 juga cukup kuat bermain. Aspirasi lokal masih menyasar isu-isu etnis dan kesukuan, semisal mempromosikan untuk memilih pemimpin asli Kalimantan (terutama dari etnis Dayak) dibanding suku lain pada Pilkada 2020 mendatang.74

Pergerakan politis lain yang dilakukan pemeluk agama Kaharingan bersama-sama dengan tokoh-tokoh adat Dayak adalah melakukan acara Ekspedisi Napak Tilas Perjanjian Tumbang Anoi 1894, pada tanggal 20 – 24 Juli 2019. Kelompok agama Hindu diundang untuk menghadiri, namun menurut responden urung datang.75 Walau menurut kesaksian kelompok HIndu-Kaharingan,

mereka memang tidak pernah diundang.76 Dalam pertemuan konsolidasi di Tumbang Anoi 71 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 28 Agustus 2019. 72 Wawancara dengan Nali Eka, Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang, Palangkaraya, 20 September 2019. 73 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

74 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

75 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

(27)

tersebut, tercatat beberapa poin-poin penting dalam kesimpulan dan juga rekomendasi, semisal: mendukung kebijakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan dan menuntut Otonomi Khusus Kebudayaan Suku Dayak (kesimpulan nomor 1); mendesak pemerintah pusat untuk menjalankan program Afffirmative Action untuk masyarakat Dayak terutama dalam bidang pendidikan dan penerimaan pegawai (kesimpulan nomor 3); mendesak pemerintah mengembalikan lahan ‘tanah adat’ pasca Putusan MK 35 (kesimpulan nomor 4); dan menginisiasi perubahan nama Pulau Kalimantan menjadi Pulau Dayak (rekomendasi nomor 9).77

Pertemuan selanjutnya dengan agenda konsolidasi masyarakat Dayak seluruh Kalimantan akan dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2019. Beberapa pihak/oknum pemeluk agama Hindu-Kaharingan merasa berkeberatan dengan acara tersebut, karena dianggap menjadi ajang politik identitas semata dan dapat menciptakan kekacauan antara masyarakat adat Dayak sendiri.78

Kelompok Hindu-Kaharingan menolak klaim MAKI sebagai manifestasi aspirasi warga pemeluk agama Kaharingan, karena menurut responden orang Dayak Kaharingan sudah nyaman dengan Hindu yang akomodatif terhadap nilai-nilai Kaharingan.

Kegiatan berkumpul dan menyampaikan pendapat yang direncanakan pada tanggal 5 Oktober 2019 urung dilaksanakan, namun ditunda pada tanggal 17 Oktober 2019 dengan tema kegiatan berkumpul: Bangsa Dayak Menuntut Kesetaraan dan Menggugat Keadilan demi Keutuhan NKRI. Aspirasi dan tuntutan masyarakat Dayak yang dimotori oleh MAKI dengan mengundang semua perwakilan organisasi Dayak diseluruh pulau Kalimantan tetap sama dengan kegiatan konsolidasi sebelumnya yaitu meminta perhatian pemerintah pusat kepada tokoh-tokoh Dayak agar dapat menjadi menteri pada kabinet pemerintah, memperjuangkan tanah adat dan hak-hak peladang berpindah yang telah lama diperjuangkan oleh gerakan Dayak Misik dan meminta pengakuan atas agama leluhur Kaharingan79 Namun tuntutan aspirasi tersebut tidak dideklarasikan secara

langsung atau oral, tapi disampaikan secara tertulis kepada Gubernur Kalimantan Tengah yang berhadir pada acara tersebut. Adapun alasan dari tidak dibacakannya tuntutan tersebut, terutama untuk poin tuntutan pengakuan agama Kaharingan adalah untuk menjaga keharmonisasi dan kerukunan antar beragama di Kalimantan Tengah dan Kota Palangkaraya. 80 Lewat

terselenggaranya acara konsolidasi tersebut, kelompok kontra integritas mengklaim memiliki dukungan politik lokal dari beberapa kepala daerah dan Gubernur Kalimantan Tengah yang berhadir pada acara konsolidasi tersebut.

Kelompok Hindu juga menolak putusan MK tentang kolom agama bagi kepercayaan. Beberapa responden pro integrasi dengan Hindu memiliki persepsi menolak Putusan MK tersebut yang menurut mereka berpotensi menimbulkan konflik sosial, menurunkan derajat Hindu-Kaharingan yang sudah diakui sebagai agama, menjadi Kaharingan yang hanya kepercayaan semata.81 Selain

itu, responden juga memiliki persepsi bahwa sebenarnya Putusan MK tidak mengatur dan mewajibkan pemerintah untuk mengakui kepercayaan Kaharingan sebagai agama, namun hanya memberi penegasan terhadap pentingnya pemenuhan administrasi kependudukan bagi kelompok

77 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya 23 September 2019.

78 Wawancara dengan Pranata, Majelis Agama Hindu-Kaharingan Pusat Palangkaraya, 23 September 2019. 79 Wawancara dengan Suel, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya, 21 Oktober 2019.

80 Wawancara dengan Christiana Bangkang, Majelis Agama Kaharingan Indonesia, Palangkaraya, 22 Oktober 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama

Menyatakan Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai

menggabungkan promoter dan gen antivirus pada penelitian ini merupakan konstruksi gen all-shrimp pertama yang dilaporkan untuk digunakan dalam rangka produksi udang windu

Ada dua sensor yang harus dipasang, sensor 1 dipasang di dalam pipa dekat kolektor surya yang dapat mewakili suhu kolektor. Sensor 2 dipasang di dalam ruang

 Ketentuan produksi yang digunakan metoda recursive descent adalah : Jika terdapat dua atau lebih produksi dengan ruas kiri yang sama maka karakter pertama dari

 Pencemaran spesimen bisa terjadi ketika tabung yang mengandung penambah diambil pada urutan yang.

Sesuai dengan kerangka teori tersebut, maka dapat diajukan Anggapan Dasar: Bahwasanya pembaca lebih mudah mengingat pesan sebuah komunikasi yang tersusun dengan