ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
1
ORGANISASI SANTRI DALAM MEMBENTUK KARAKTER
DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN
Sopian Lubis
Dosen Tetap STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi, Jalan, Gatot Subroto KM. 3 No. 3 Kota Tebing Tinggi, E-mail: sopianlubis1975@gmail.com
Abstract: Organization as a soft-ware that loaded with the values of the individuals and groups lives.
Understanding the importance of togetherness and complementary between one and another is very important for the members of the organization. In Islamic boarding school educational institutions, the organization driven by students is the second alternative in instilling character education. The student organization (organissasi santri) becomes a forum for and assignments from head master (kiai) and teachers to develop the character of responsibility for students. Development of student organization and the development of professional resources will bring success to the organization its self and the actors for future. There are so many characters that can be developed in students through this organizational activity, starting from discipline, and the most important thing is instillation a sense of responsibility among students. The results of the literature analysis conducted show that: (1) Student organization within the boarding school institution is part of the boarding school education system. (2) Character building in the boarding school institution can be carried out through various activities, one of its “student organizations”. (3) The organizational system carried out by students in the boarding school environment cannot be separated from the guidance and direction of the head master, teachers who are carried out by senior students.
Keywords: Student Organization (Organisasi Santri), Character, Islamic Boarding Schools.
PENDAHULUAN
Membangun karakter pada generasi anak bangsa merupakan bahagian yang sangat penting dalam proses pendidikan. Anugrah Mulia Tampubolon menyebutkan dalam jurnal ilmiahnya bahwa pembelajaran adalah suatu proses belajar yang dibangun guru untuk meningkatkan moral, intelektual, serta mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh siswa, baik itu kemampuan berfikir, kemampuan kreativitas, kemampuan mengkonstruksi pengetahuan, kemampuan pemecahan masalah, hingga kemampuan penguasaan materi pembelajaran dengan baik. ( 2018 : 1-2). Lebih lanjut Anugrah
Mulia Tampubolon menyebutkan dalam terbitan jurnal ilmiah yang lain bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui jalur pendidikan dapat membantu siswa ataupun peserta didik mengembangkan karakter, nilai, sikap dan kemampuan untuk dapat mempersiapkan peserta didik melanjutkan ke jenjang berikutnya dan untuk hidup bermasyarakat. (2020 : 15).
Dalam Undang-Undang no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 (tiga) menyatakan bahwa:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
2 rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan serta bertanggung jawab”. (UU-RI; 2008: 50)
Berdasarkan pengertian pembelajaran, fungsi dan tujuan pendidikan Nasional tersebut, jelas bahwa proses pendidikan pada tiap jenjangnya harus diselenggarakan secara sistematis, terstruktur, dan terrencana. Hal ini dilakukan terkait dengan penenanam karakter pada peserta didik sebagai modal magi mereka dalam kompetisi kehidupan dengan tetap mempertimbangkan etika, moral, dan kearifan likan sebagai tatanan social yang tak tertulis.
Maka dalam konteks universalitas pendidikan, pendidikan karakter muncul dan berkembag dengan landasan pemikiran bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab pada pengembangan kecerdasan akadimik saja, tetapi juga harus bertanggung jawab untuk memberdayakan semua potensi siswa agar mimiliki nilai-nilai moral yang dapat memandunya dalam kehidupan sehari-hari. (Mansur Muchlis; 2011: 10)
Pelakasnaan pendidikan karakater di Indonesia saat sekarang ini sangat dibutuhkan sekali. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat, melali pola prilaku remaja sebagai generasi penerus bangsa hingga pejabat public, politikus, dan bahkan menjangkit pada perilaku beragama. Timbulnya tindakan kekeransan di kalangan remaja, penyalah gunaan wewenang (korupsi) pada pejabat public dan politikus, dan timbulnya kalangan “ekstrimis” dalam beragama merupakan kumpulan permasalahan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Semua persoalan yang di paparkan di atas terjadi atas kegagalan dunia pendidikan dalam menjalankan misinya untuk membentuk manusia yang bermoral dan beretika. Maka dianggap sangat perlu adanya suatu usaha revitalisasi pendidikan karakter di semua sector kehidupan khususnya pada lembaga pendidikan formal. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan tugas (amanah) pada siswa sebagai upaya menumbuh kembangkan potensi tanggung jawab. Jadi tidak cukup dengan komunikasi verbal saja, sehingga terjadi suatu system pembelajaran learning by doing belajar sambil berbuat.
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
3 Menyikapi kompleksitas problematika kehidupan bermasyarakat, Pondok Pesantren mengambil bagaian yang tidak sedikit dalam menanamkan karakter di kalangan santrinya (siswa). Pondok pesanten sebagai salah satu lembaga pendidikan khas Indonesia sejak awal telah membarikan pendidikan karakter pada santri (siswa) yang dapat dilihat dari kemandirian santri, disiplin, rasa solidaritas, dan yang terpenting darinya adalah tertanamnya rasa hormat, sopan santun, serta rasa rendah diri dan bertanggung jawab. Salah satu usuha yang sudah dikembangkan lembaga pondok pesantren dalam membentuk karakter santri adalah memberikan kesempatan pada santri (siswa) untuk menjalankan roda organisasi di kalangan santri itu sendiri.
Berdasarkan pernyataan dan permasalahan yang diuraikan di atas, penulis mengankat sebuah judul kajian “Organisasi Santri dalam Membentuk Karakter di Lingkungan Pondok Pesantren”.
METODE
Desain penelitian yang digunkan dalam kajian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research)
menggunakan berbagai sumber kepustakaan sebagai sumber data
penelitian. Kajian ini merupakan telaah yang berkaitan dengan berbagai pemikiran tentang permasalahan tertentu, maka secara metodologis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan isi atau kepustakaan. (Ratna; 2010: 39) Maksudnya adalah penelitian berhubungan erat dengan pemikiran yang dituangkan dalam karya atau buku (isi), yaitu penelitian tentang pandangan mengenai keadaan yang semestinya dalam membangun suatu keadaan berdasarkan konsep yang telah disistematiskan.. Karena penelitian ini berhubungan dengan konsep berorganisasi dan kaitannya dengan pembentukan karakter santri di lingkungan Pondok Pesantren, maka pendekatan yang digunakan selain kualitatif juga dengan pendekatan objektif (berhubungan dengan teks). (Endraswara; 2003: 9)
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan teknik deskriptif, yaitu suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
4 antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. (Syaodiah; 2006: 72) Pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu pendapat yang berkembang. Furchan menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan. (Furchan; 2004; 447)
Untuk mengumpulkan data penelitian yang diperlukan, penulis mengunakan metode penelitian pustaka
(library research) yaitu penelitian yang
objek utamanya adalah buku-buku literatur yang ada hubungannya dengan pokok bahasan dan sumber pendukung lainnya. Penelitian ini disebut penelitian pustaka (library research), oleh karena itu sumber data diperoleh dalam dua bentuk data, yaitu data primer (materi-materi yang berkaitan dengan sasaran penelitian berupa literatur) dan data sekunder (umum).
Analisis data yang terkumpul, diklarifikasikan sesuai dengan kebutuhan dengan cara yang tepat. Dalam menganalisis data, teknik yang
digunakan adalah content analysis, yaitu menguraikan secara teratur tentang suatu konsepsi. (Bakeer; 2000: 65) Maksudnya bahwa semua ide dalam konsep berorganisasi dan relevansinya terhadap pendidikan karakter santri di lembaga Pondok Pesantren ditampilkan sebagaimana adanya.
Oleh karena itu, selain menggunakan content analysis, metode yang dipandang sesuai dan memiliki relevansi dan akurasi yang kuat dalam kajian ini adalah penelitian yang bersifat diskriptif kualitatif yang mempergunakan sumber-sumber tertulis yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan. (Azwar; 2010: 126) Selanjutnya di susun langkah-langkah yang sesuai untuk menunjang keakuratan penelitian ini. Penyajian ini memberikan gambaran mengenai distribusi subjek menurut kategori-kategori yang ditetapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Organisai Santri Pondok
Pesantren
Organisasi santri pada lembaga pondok pesantren merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dengan system pendidikan pesantren itu sendiri. Oleh karena itu santri di pondok pesantren membentuk wadah organisasi tersendiri
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
5 yang disesuaikan dengan dinamika kebutuhan kehidupan di pondok pesantren. Pembahasan tentang organisasi santri pondok pesantren akan dibagi dalam kegiatan organisasi di Pondok Pesantren Ashriyah (Modern) dan Pondok Pesantren Salafiyah
(Tradisional).
a. Organisasi Santri Pondok Pesantren Modern (Khalafiyah).
Kegiatan berorganisasi di pondok telah diadakan sejak awal berdirinya pondok pesantren. Hal ini dimaksudkan untuk memberi bekal dan pengalaman kepada santri untuk hidup di masyarakat kelak. Kegiatan berorganisasi ini merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan santri sehari-hari, sebab berorganisasi di pondok ini berarti pendidikan untuk mengurus diri sendiri dan tentu saja orang lain. Seluruh kehidupan santri selama berada di pondok diatur oleh mereka sendiri
(self-government) dengan dibimbing oleh
guru-guru dan dibantu santri-santri senior. Kegiatan-kegiatan ini selalu didasari oleh Panca Jiwa, falsafah, dan moto pendidikan dan pengajaran pondok.
Induk organisasi santri di pondok ada dua: Organisasi Pelajar
Pondok (OPPM) dan Gerakan Pramuka. Pengurus Organisasi Pelajar adalah santri-santri kelas V dan VI (setingkat dengan kelas II dan III SMU) yang terpilih melalui musyawarah.
Pimpinan pondok biasanya memberikan tanggapan, penilaian, koreksi, dan arahan-arahan pada acara pemilihan dan penetapan pengurus organisasi santri dengan menegaskan bahwa semua kegiatan tersebut adalah pendidikan. Setiap bagian-bagaian dari pengurus organisasi tersebut, menyusun program kerja masing-masing dan akan dilakukan laporan pertanggung jawaban pada tiap-tiap akhir masa jabatan. Seusai laporan pertanggungjawaban, diadakan serah terima jabatan dari pengurus lama ke pengurus baru terpilih.
Kegiatan-kegiatan santri di dalam pondok diurus oleh 18 bagian. Bagian-bagian tersebut terdiri dari pengurus harian: ketua, sekretaris, bendahara, dan keamanan, dan 14 bagian yang lain, yaitu: Bagian Pengajaran, Bagian Penerangan, Bagian Kesehatan, Bagian Olahraga, Bagian Kesenian, Bagian Perpustakaan, Bagian Koperasi
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
6 Pelajar, Bagian Penerimaan Tamu, Bagian Koperasi Dapur, Bagian Warung Pelajar, Bagian Penggerak Bahasa, Bagian Pembantu, Bagian Fotografi, dan Bagian Bersih Lingkungan. Bagian yang menonjol adalah Bagian Keamanan yang bertanggungjawab atas berjalannya disiplin dan sunnah-sunnah pondok serta terjaganya ketertiban dan ketentraman pondok. (Wirosukarto; 1996: 60)
b. Organisasi Santri Pondok
Pesantren Tradisional (Salafiyah) Organisasi santri intra pesantren sebagaimana halnya organisasi-organisasi lain, dipimpin oleh seorang ketua dibantu oleh anggota pengurus lainnya. Seorang ketua yang memimpin organisasi intra pesantren ini merupakan hasil pemilihan langsung secara demokratis oleh Majelis Perwakilan Santri (MPS) sebagai wakil-wakil santri dari tiap kamar atau cukup tiap kelompok asrama. Pemilihan pengurus (ketua) dilakukan dalam acara musyawarah tahunan yang khusus diadakan untuk acara tersebut.
Dalam musyawarah ini di samping pemilihan pengurus juga diadakan evaluasi terhadap
pelaksanaan pengurus periode lalu, merumuskan program kerja periode selanjutnya dan membuat rekomendasi-rekomendasi yang bersifat internal maupun eksternal. Lamanya masa jabatan pengurus maupun diadakannya musyawarah tahunan tergantung kesepakatan masing-masing, tidak ada keharusan yang pasti melainkan fleksibel.
Struktur organisasinya, biasanya bersifat luwes dan menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Dengan kata lain struktur organisasi sangat tergantung dari besar atau kecilnya sebuah pesantren. Tetapi sebagaimana lazimnya sebuah organisasi, di dalam struktur tersebut komposisinya terdiri dari: Penasehat, pengurus harian yang terdiri dari ketua dan beberapa wakil ketua, sekretaris dan beberapa wakil sekretaris, bendahara dan beberapa wakil bendahara. Sedangkan untuk seksi-seksi dapat dibentuk berdasarkan kebutuhan serta sumber daya manusia (santri) yang tersedia.
Dalam struktur organisasi pesantren tradisional, peran kyai sangat menonjol. Pembahasan tentang peranan kyai dalam kepemimpinan masyarakat
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
7 tradisional tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan gaya kepemimpinan kyai dalam pesantren. Gaya kepemimpinan seorang kyai merupakan salah satu ciri khas atau bahkan menjadi bagian, meminjam istilah Gus Dur, subculture sebuah masyarakat tradisional (pesantren). (Wahid; 21: 35)
Berbeda dengan gaya kepemimpinan lainnya, kyai pesantren sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. (Wahid; tt: 168) Anehnya, sebagaimana dikemukakan Gus Dur, hal demikian berlangsung secara alamiah. Keberadaannya tidak melalui proses pembinaan dan pemberdayaan yang tetap dan baku. Berawal dari kesabaran, kegigihan, dan kemandirian sang kyai untuk mengimplementasikan cita-cita luhurnya dalam bentuk pendirian pondok pesantren, segala sesuatunya berjalan layaknya air yang mengikuti laju arusnya, dan arus tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah heriditas. Implikasinya, quality gap
(kesenjangan kualitas) antara seorang
pemimpin dengan lainnya tidak bisa dihindarkan.
Dari gaya kepemimpinan kharismatik ini, Mastuhu kemudian menemukan dua pola hubungan yang unik antara kyai dan santri sebagai berikut:
Pertama, pola hubungan
otoriter-paternalistik. Yaitu pola hubungan antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scott,
patron-client relationship; dan tentunya sang kyailah yang menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya sangat kecil, untuk mengatakan tidak ada; dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan sang kyai. Seiring dengan itu, pola hubungan ini kemudian dihadapkan dengan pola hubungan diplomatik-partisipatif. Artinya, semakin kuat pola hubungan yang satu semakin lemah yang lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire.
Yaitu pola hubungan kyai santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah, sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Pola hubungan ini kemudian dihadapkan dengan pola hubungan birokratik. Yaitu pola hubungan di mana pembagian kerja dan fungsi dalam lembaga pendidikan pesantren sudah diatur dalam sebuah struktur organisasi yang jelas. (Mastuhu; 1990: 91-95)
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
8 2. Belajar dari Ber-Organisasi
Pondok pesantren dari dahulu sampai sekarang adalah lembaga pendidikan yang senantiasa mencetak pemimpin-pemimpin yang akan dapat menjadi figur saat mereka keluar dari pondok pesantren, baik menjadi seorang guru agama, khatib, imam, kepala dusun, dan atau bahkan kepala desa. Karena masa depan kebangkitan umat manusia tergantung sejak saat ini dan tergantung kualitas manusia yang memimpin yang dipersiapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan kepemimpinan. (As-Suwai; 2002: 19)
Pemimpin yang dilahirkan pondok pesantren adalah pemimpin yang mempunyai kredibelitas dan integritas diri dalam memegang amanah kepemimpinan, artinya dapat menciptakan pemimpin yang religius. Kondisi multikultural dan perkembangan jumlah santri dari pondok pesantren semakin menunjukkan peningkatan, terutama pada pondok pesantren yang semi khalafi dan pondok pesantren salafi. Jumlah santri pada pondok ini biasanya lebih kurang 700 orang dan bahkan sampai ribuan orang. Jumlah santri yang begitu besar, tentu keberadaan kyai tidak akan dapat menyentuh seluruh aspek santri.
Oleh karena itu biasanya kekuasaan dan otoritas didelegasikan kepada orang yang dipercaya yaitu para
asatid (guru), dan aspek-aspek yang
tidak dapat disentuh oleh para asatidz didelegasikan kepada santri senior. Dengan keadaan seperti ini, maka potensi menciptakan dan melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik dan disempurnakan oleh karakter yang baik di masa mendatang sangatlah besar. Karena pada dasarnya pemimpin dapat diciptakan, karakter dan potensi pada diri manusia dapat diasah.
Wadah pembelajaran
kepemimpinan yang berkarakter saat ini tentu adalah manusia itu sendiri, yang mana dalam organisasi pondok pesantren modern maupun semi modern telah banyak ditemukan wadah-wadah pembelajaran organisasi yang memungkinkan santri dapat belajar sebagai pemimpin. Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibelitas dan kapabilitas.”
Kredibelitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
9 maupun oleh lingkungannya. Sedangkan kapabilitas adalah kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah kepemimpinannya.” Kredibelitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral
character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/wilayah akan menimbulkan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/ wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Pada hakikatnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin dirinya sendiri. Dan setiap pemimpin akan dihadapkan pada tanggung jawaban atas kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Sabda Rasulullah Saw. “Ingatlah! Setiap kamu
adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami
adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, dan seorang pembantu adalah pemimpin pada harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (Sulaiman;
2000: 145)
3. Pembentukan Karakter
Karakter dapat diartikan sebagai cara untuk berpikir dan berperilaku tiap individu untuk hidup dan bersosialisasi, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. (Muchlas; 2012: 4) Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas memiliki jejak pendidikan karakter yang jelas dan sistematis. (Fuad; 2013:75) Karakter dapat didefinisikan sebagai sikap dan perilaku tiap individu yang bisa mempermudah tindakan moral. (Samani&Hartoyo; 2012: 42)
Berdasarkan definisi di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
10 merupakan upaya yang dibentuk dan dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan supaya peserta didik dapat memahami nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan semua aspek yaitu: tuhan yang maha esa, diri sendiri, sesama manusia serta lingkungan yang bisa diwujudkan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, budaya, adat istiadat.
Tujuan dari pendidikan karakter adalah meningkatkan kualitas pelaksanaan dan hasil pendidikan oleh peserta didik baik secara terpadu, seimbang dan menyeluruh terhadap pencapaian karakter dan akhlak mulia. Dengan adanya hal tersebut maka peserta didik diharapkan dapat menggunakan dan meningkatkan pengetahuan yang dimiliki, serta dapat mempersonalisasikan nilai akhlak dan karakter secara mandiri sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam perilaku sehari-hari. (Muslih; 2011:81)
Pendidikan karakter merupakan suatu hal yang sangat penting karena melibatkan semua pihak, baik di lingkungan keluarga, masyarakat serta lingkungan pendidikan. Sedangkan tujuan dari pendidikan karakter di
lingkungan pendidikan adalah membentuk dan membangun peserta didik supaya dapat tumbuh menjadi pribadi yang positif, pola pikir yang bagus, serta berakhlakul karimah dan punya rasa tanggung jawab yang tinggi.
Pembentukan karakter merupakan suatu hal yang penting untuk diterapkan di lembaga pendidikan. Karena penanaman karakter menjadi sebuah pijakan dalam setiap setiap kegiatan dan bisa menjadi penentu bagi siswa untuk mengantarkan dirinya menjadi insan
kamil. Pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan karakter yang baik bisa menjadi pendorong bagi siswa untuk melakukan hal positif dan memiliki tujuan hidup yang benar.
Lingkungan sebuah lembaga pendidikan tidak dapat menjadi suatu-satunya yang mutlak bagi anak untuk mendapatkan pendidikan karakter secara utuh. Oleh karena itu orang tua, keluarga, lingkungan dan masyarakat juga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Karakter dapat dibentuk melalui beberapa tahap, di antaranya:
a. Tahap pengetahuan. Pendidikan karakter dapat ditanamkan melalui pengetahuan, yaitu lewat setiap mata
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
11 pelajaran yang diberikan kepada anak.
b. Tahap pelaksanaan. Pendidikan karakter bisa dilaksanakan di manapun dan dalam situasi apapun. Pendidikan karakter di lingkungan sekolah bisa dilaksanakan mulai dari sebelum proses belajar mengajar sampai pembelajaran usai. Beberapa contoh diantaranya: disiplin (peserta didik dilatih dan ditanamkan untuk disiplin baik itu disiplin waktu dan disiplin dalam menjalani tata tertib di sekolah), jujur (peserta didik bisa dilatih untuk jujur dalam semua hal, mengerjakan dan mengumpulkan tugas dengan benar, tidak menyontek atau memberi contekan kepada siswa, membangun kantin kejujuran di sekolah), religious (bisa ditanamkan melalui pembiasaan mengucapkan salam dan berdoa bersama sebelum proses belajar mengajar dimulai dan sesudah pembelajaran usai, berorganisasi, dan seterusnya. c. Tahap pembiasaan. Karakter tidak
hanya ditanamkan lewat pengetahuan dan pelaksanaan saja, tetapi harus dibiasakan. Karena orang yang memiliki pengetahuan belum tentu bisa bertindak dan berperilaku sesuai dengan ilmu yang ia miliki apabila
tidak dibiasakan untuk melakukan kebaikan.
Emosi dan kebiasaan diri juga termasuk wilayah jangkauan dari pendidikan karakter. Dengan demikian dibutuhkan beberapa komponen yang berkaitan dengan hal tersebut, di antaranya: moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan atau penguatan emosi), moral action (penerapan moral). Ketiga komponen tersebut sangat diperlukan untuk membentuk karakter pada seseorang terutama dalam sistem pendidikan. 4. Dasar Pembentukan Karakter
Manusia pada dasarnya memilki dua potensi, yakni baik dan buruk. Di dalam Al-Quran Al-Syams (91:8) dijelaskan dengan istilah Fujur
(celaka/fasik) dan takwa (takut kepada Tuhan). Manusia memiliki dua kemungkinan jalan, yaitu menjadi makhluk yang beriman atau ingkar terhadap Tuhannya. Keberuntungan berpihak pada orang yang senantiasa mensucikan dirinya dan kerugian berpihak pada orang-orang yang mengotori dirinya,
Dengan dua potensi di atas, manusia dapat menentukan dirinya untuk menjadi baik atau buruk. Sifat baik manusia digerakkan oleh hati yang baik
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
12 pula (qolbun salim), jiwa yang tenang (nasfsul mutmainnah), akal sehat (aqlus
salim), dan pribadi yang sehat (jismu
salim). Potensi menjadi buruk
digerakkan oleh hati yang sakit (qolbun
maridh), nafsu pemarah (amarah), lacur
(lawwamah), rakus (saba’iyah), hewani (bahimah), dan pikiran yang kotor (aqlussu’i). Sikap manusia yang dapat menghacurkan diri sendiri antara lain dusta (bohong, menipu), munafik, sombong, congkak (takabbur), riya’, sum’ah, materialistik (duniawi), egois, dan sifat syaithoniyah yang melahirkan manusia-manusia yang berkarakter buruk. Sebaliknya, sikap jujur, rendah hati, qona’ah, dan sifat positif lainnya dapat melahirkan manusia-manusia yang berkarakter baik.
Dalam teori lama yang dikembangkan oleh dunia Barat disebutkan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme). Sebagai lawannya, berkembang pula teori yang berpendapat bahwa seseorang hanya ditentukan oleh pengaruh lingkungan (empirisme). Sebagai sintesisnya, kemudian dikembangkan teori ketiga yang berpendapat bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan (konvergensi).
Pengaruh itu terjadi baik pada aspek jasmani, akal, maupun rohani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain pembawaan); aspek akal banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain pembawaan); aspek rohani banyak dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain pembawaan). Pengaruh itu menurut Al-Syaibani dalam Ahmad Tafsir, dimulai sejak bayi berupa embrio dan barulah berakhir setelah orang disebut mati. (Tafsir; 1995: 35)
Tingkat dan kadar pengaruh tersebut berbeda antara seorang dengan orang lain, sesuai dengan segi-segi pertumbuhan masing-masing. Kadar pengaruh tersebut juga berbeda, sesuai perbedaan umur dan perbedaan fase perkembangan. Faktor pembawaan lebih dominan pengaruhnya saat orang masih bayi. Lingkungan (alam dan budaya) lebih dominan pengaruhnya saat orang mulai tumbuh dewasa. Manusia mempunyai banyak kecenderungan yang disebabkan oleh banyaknya potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang jahat. Oleh sebab itu, pendidikan karakter harus dapat memfasilitasi dan
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
13 mengembangkan nilai-nilai positif agar secara alamiah-naturalistik dapat membangun dan membentuk seseorang menjadi pribadi-pribadi unggul dan berakhlak mulia.
5. Organisasi dalam Membentuk
Karakter Santri
Santri merupakan bahagian dari generasi bangasa yang secara khusus bertugas menuntut ilmu pengetahuan Agama Islam di lingkungan pondok pesantren. Santri diharapkan tidak hanya melakukan tugas pokoknya semata (belajar), tetapi juga mengabdi dan melaksanakan perannya di lingkungan pondok. Maka sebagai santri, ia harus dapat mengais pengalaman atau kesuksessan dengan mengikuti berbagau kegiatan organisasi.
Organisasi santri memiliki peran penting yang dapat merencanakan dan melaksanakan sebuah program kerja dan berfikir kritis tentang bagaimana pemecahan masalah dengan nuansa penuh kedewasaan dan tanggung jawab. Keberhasilan untuk memecahkan masalah, akan sangat berguna ketika di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya tempat untuk menampung atau untuk sebagai wadah tetapi juga sebagai tempat penambah wawasan untuk terjun ke dunia
pekerjaan (Septiani, 2017). Hanya dengn bermodalkan nilai saja dianggap kurang cukup untuk bekerja instansi diperlukan pengalaman lebih dan berfikir secara kritis. (Ngongo dan Gafur, 2017).
Melalui organisasi dapat membentuk dan mengembangkan karkter pada diri masing-masing santri (Alfan, 2014). Sebagai tempat penyalur dan wadah bagi para santri, seperti mengatus perputaran keuangan organisasi, mengembangkan usaha koperasi dan seterusnya. Maka dengan berorganisasinya santri di pondok pesantren, maka mereka akan terdidik secara tidak langsung untuk maupun mengurus, mengorganisir serta kecakapan dalam berintaeraksi. Yang terpenting dari semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan pada pengurus organisasi santri adalah tertanamnya karakter bartanggung jawab santri pada pondok, kiai, dan hingga agamanya. Inilah yang lazim disebut sebagai mendidik dengan member tugas untuk bertanggung jawab.
Santri yang sudah diberi tugas mengurus organisasi, wajib mampu membagi waktunya dengan baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada kondisi ini seorang pengurus organisasi santri harus mampu
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
14 membuat keseimbangan yang baik antara tugas utama sebagai penuntut ilmu dengan tugas berorganisai. Meskipun demikian mereka telah membuktikan diri bahwa mereka dapat melakukan kegiatan seperti seminar, workshop, event-event olahraga dan seni dan lain-lain dengan sangat baik walaupun dihadapkan pada resiko tentunya.
Proses pembentukan karakter pada santri dapat diterapkan di luar pembelajaran terstruktur, yaitu melalui pemberian tugas tambahan dalam berorganisasi. Pembentukan karakter paada system berorganisasi tersebut dapat dilihat dari interaksi keseharian santri denga lingkungan sekitarnya. Interaksi seseorang dengan orang lain dilingkungan tersebut menumbuhkan karakter yang matang. Oleh karena itu,pembentukan karakter individu seseorang di lingkungan tergantung bagaimana individu tersebut beradaptasi dan berinteraksi dalam berorganisasi yang ia jalankan dan naungi. Selain interaksi, faktor pikiran adalah faktor terpenting lainnya untuk pembentukan karakter seseorang. Dalam sebuah pikran terdapat pengalaman-pengalaman yang membentuk pola pikir dan kemudian mempengaruhi perilaku. Perilaku
individu juga bisa dipengaruhi oleh fakror bawaan lahir.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman Organisasi sangat bermanfaat dalam proses pembentukan kepribadian dan pembentukan karakter seseorang. Proses pembentukan karakter akan terbentuk dengan sendirinya ketika individu berorganisasi dan diberi tanggung jawab. Karena di dalam berorganisasi seoranag diajarkan untuk saling menghargai, memecahkan berbagai masalah, berfikir kritis yang pastinya akan berguna bagi lingkungan sekitar.
KESIMPULAN
Melalui deskripsi dan analisis organisasi santri dalam membentuk karakter dilingkungan ppondok pesantren, maka dapat diterik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Organisasi santri di lingkungan lembaga pondok pesantren adalah bahagian dari system pendidikan pondok pesantren dengan memberi tugas dan tanggung jawab pada santri untuk menjalankan roda organiasi. 2. Pembangunan karakter di lingkungan
lembaga pondok peantren dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan santri, salah satunya organisasi santri. Karakter utama
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
15 yang tertanam dalam kegiatan berorganisasi santri adalah amanah atau tanggung jawab secara spiritual maupaun moral. Selain itu, pendidikan karakter yang diperoleh dari kegiatan organisasi santri ini antara lain: disiplin, kerja keras, team
work, peduli lingkungan dan
kecakapan-kecakapan lain.
3. System berorganisasi yang dilakukan santri dilingkungan pondok pesantren tidak lepas dari bimbingan dan arahan kiai, guru-guru yang dilaksankan oleh santri-santri senior. Sifat organisasi ini berlangsung secara periodik dan akan dilanjutkan oleh santri berikutnya setelah menjalankan roda organisasi selama setahu dan di akhiri dengan laoran pertanggung jawaban.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Suryadharma, (2013), Paradigma
Pesantren; Memperluar Horizon Kajian dan Aksi, Malang; UIN
Malang Press
Al-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman ibn Ashash ibn Ishaq Ibn Basyir ibn Syaddad ibn ‘Amr al-Azdy, (2000), Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Fikr
Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta
As-Suwai, Thariq M. dan Basyarahil, Faisal Umar, (2002), Melahirkan
Pemimpin Masa Depan, Jakarta:
GIP
Azwar, Saifudin, (2010), Metodologi
penelitian Yogyakarta: Pustaka
pelajar
Bakeer, Anton dan Zubair, Ahmad Charis, (2000), Metode Penelitian
Filsafat Yogyakarta: Kanisius
Endraswara, Suwardi, (2003),
Metodelogi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Caps
Furchan, Arif, (2004), Pengantar Penelitian dalam Pendidikan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Fuad, Jauhar, (2013), “Pendidikan
Karakter Dalam Pesantren
Tasawuf,” Jurnal Pemikiran
Keislaman 23, no. 1 (February 28) Muhajir, Noeng, (1990), Metodologi
Penelitian Kwalitatitf,
Yogyakarta: Rakesarasin,
Muslich, Mansur, (2011), Pendidikan
Karakter; Menjawab Tantangan Krisis Multi Dimensional, Jakarta;
ISSN : 2620-6692
Volume 04 No. 01 Januari-Juni 2021
Murabbi : Jurnal Ilmiah dalam Bidang Pendidikan STIT Al-Hikmah Tebing Tinggi
16 Mastuhu, (1990), Gaya dan Suksesi
Kepemimpinan Pesantren, Jakarta:
Jurnal Ulumul Qur’an
Nawawi & Martini, (2003), Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Nazir, (2009), Metode Penelitian,
Jakarta: Ghalia Indonesia
Ratna, Nyoman Kutha, (2010), Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Wacana Naratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Samani, Muchlas dan Hariyanto, (2012),
Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Syaodih, Nana, dan Sukmadinata, (2006), Landasan Psikologi
Proses Pendidikan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad, (1994), Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Tampubolon, Anugrah Mulia. 2018.
Peningkatan Kemampuan
Komunikasi Matematis Siswa
dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah di Kelas X MAN 4 Maetubung Medan. Jurnal Axiom, Vol. VII
N0. 1, P-ISSN : 2087 – 8249, E-ISSN: 2580 – 0450. Halaman 1-9.
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ axiom/article/view/1762/1403.
_______________, 2020. Peningkatan
Prestasi Belajar Operasi Hitung
Campuran Bilangan Bulat
Menggunakan Permainan Puzzle Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 167649 Kota Tebing Tinggi.
Jurnal Mubtada, Vol. 3. ISSN 2621-9034. Halaman 15-33.
https://ejournal.stitalhikmah-tt.ac.id/index.php/mubtada/article/ view/65/66
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI No 20 Tahun
2003, (2008), Jakarta; Sinar
Grafika.
Wahid, Abdurrahman, (2001),
Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS
________________, (tt), Bunga Rampai
Pesantren, Jakarta: Dharma Bhakti
Wirosukarto, Amir Hamzah, (1999),
Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern,