• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRAK MURABAHAH PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN ASTRA CREDIT COMPANIES (ACC) SYARIAH BINTARO DITINJAU DARI FATWA (DSN-MUI), POJK DAN SEOJK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONTRAK MURABAHAH PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN ASTRA CREDIT COMPANIES (ACC) SYARIAH BINTARO DITINJAU DARI FATWA (DSN-MUI), POJK DAN SEOJK."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRAK MURABAHAH PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN ASTRA CREDIT COMPANIES (ACC) SYARIAH BINTARO DITINJAU DARI

FATWA (DSN-MUI), POJK DAN SEOJK

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Rifka Anistiani 11150490000093

HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

Rifka Anistiani. NIM 11150490000093. KONTRAK MURABAHAH PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN ASTRA CREDIT COMPANIES (ACC) SYARIAH BINTARO DITINJAU DARI FATWA (DSN-MUI), POJK DAN SEOJK. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui substansi atau isi dan struktur kontrak baku pembiayaan murabahah pada sebuah lembaga pembiayaan syariah/multifinance syariah, serta analisis kontrak perjanjiannya yang ditinjau dari hukum kontrak syariah, fatwa-fatwa DSN-MUI, POJK Nomor 10/POJK.05/2019 Tentang penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan dan SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan dengan teknik pengumpulan data

library research (kepustakaan) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan

perundang-undangan, kitab-kitab fiqih, buku-buku, dan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa struktur dan anatomi kontrak pada perjanjian murabahah yang ada pada Astra Credit Companies Bintaro sudah sesuai dengan fatwa-fatwa DSN-MUI terkait dan juga telah memenuhi kriteria ketentuan perjanjian pembiayaan syariah yang ditentukan oleh POJK Nomor 10/POJK.05/2019 Tentang penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan. Namun penulis menemukan ketidaksesuaian kontrak murabahah dengan format perjanjian baku yang terdapat pada SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku pada bagian klausula definisi, dan klausula hak dan kewajiban dan juga ketidaksesuaian kontrak murabahah dengan prinsip syariah dalam hukum kontrak syariah pada bagian pembuka dan klausula force majeur.

Kata Kunci : Hukum Kontrak Syariah, fatwa, Murabahah, Akad. Pembimbing : Dr. Alimin, M.Ag., dan Mu‟min Roup, M.A. Daftar Pustaka : 1994 s.d. 2019

(6)

vi KATA PENGANTAR مسب الله ن ٰمحّرلا ميحّرلا

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat, berkah dan hidayah-Nya kepada Penulis. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Dengan Rahmat serta pertolongan Allah SWT, Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KONTRAK MURABAHAH PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN ASTRA CREDIT COMPANIES (ACC) SYARIAH BINTARO DITINJAU DARI FATWA (DSN-MUI) DAN POJK DAN SEOJK”. Banyak pihak yang membantu Penulis dalam menyelsaikan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perkenankan Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Para Pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan saran yang terbaik untuk Penulis.

4. Dr. Alimin, M.Ag., dan Mu‟min Roup, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan semangat, arahan, dukungan serta meluangkan waktu untuk memberikan masukan yang baik kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Bapak senantiasa selalu dalam lindungan Allah SWT.

5. Kepada ibu Winarti, S.H., yang telah membantu penulis dalam memperoleh data sebagai bahan penelitian di PT. Astra Credit Companies. 6. Kepada Orang tua tercinta, Bapak Sukron dan Ibu Ita Mulyatie serta

(7)

vii

atas segala do‟a, cinta, kasih sayang, dukungan dan semangat yang telah kalian berikan untukku.

7. Kepada kakek dan nenek, paman, bibi, dan saudara-saudaraku yang selalu mendo‟akan kemudahan dan yang terbaik bagi penulis.

8. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah Angkatan 2015, serta teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas do‟a-do‟a terbaiknya.

Jakarta, 25 Februari 2020

(8)

viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu……… 7

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan... 14

BAB II KERANGKA TEORI A. Akad Murabahah ... 15

1. Pengertian Akad Murabahah ... 15

2. Rukun dan syarat Murabahah ... 17

3. Murabahah dalam Perusahaan Pembiayaan Syariah ... 18

4. Fatwa DSN-MUI Tentang Murabahah………..…19

5. Regulasi Tentang Perusahaan Pembiayaan Syariah….…..21

B. Hukum Perjanjian Syariah ... 22

1. Perikatan, Perjanjian dan Kontrak Baku ... 22

2. Akad ... 25

3. Rukun dan Syarat Akad ... 26

4. Macam-macam Akad………...…..27

(9)

ix

6. Prinsip-prinsip Pembuatan Akta Perjanjian Syariah……..34 7. Asas-asas Akad Perjanjian Syariah………36 8. Format dan Susunan Akta Perjanjian……….38 BAB III GAMBARAN UMUM ASTRA CREDIT COMPANIES

A. Profil Singkat Astra Credit Companies ... 41 B. Visi, Misi dan Nilai ... 42 C. Struktur Organisasi Astra Credit Companies Bintaro ... 43 D. Produk dan Layanan Pembiayaan Astra Credit Companies .... 44 E. Astra Credit Companies (ACC) Syariah Bintaro ... 46 BAB IV KONTRAK MURABAHAH PADA ACC SYARIAH

BINTARO DITINJAU DARI FATWA (DSN-MUI), POJK DAN SEOJK

A. Substansi Kontrak Pembiayaan Murabahah di Astra Credit Companies Bintaro ... 47 B. Kesesuaian Kontrak Murabahah dengan Fatwa DSN-MUI,

POJK dan Hukum Kontrak Syariah ... 51 1. Kontrak Murabahah Ditinjau dari Fatwa DSN-MUI...51 2. Kontrak Murabahah Ditinjau dari POJK dan SEOJK…...60 3. Kontrak Murabahah Ditinjau dari Hukum Kontrak

Syariah………...75 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia memang fitrahnya hidup bermasyarakat dan sebagai makhluk sosial manusia juga tidak bisa lepas dari peran orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi seseorang tidak akan mampu untuk memenuhinya dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan harus terdapat aturan yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya tersebut kemudian dikenal dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.1 Manusia tidak pernah lepas dari akad, dan untuk melegalkan suatu hubungan maka akad menjadi acuan dalam kehidupan. Akad merupakan bingkai transaksi dalam ekonomi syariah karena melalui akad berbagai macam kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad yang digunakan dalam bertransaksipun tentu sangat beragam sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhannya.

Islam telah memberikan aturan yang cukup jelas dalam perihal akad, untuk kemudian dapat diimplementasikan dalam setiap waktu. Islam juga telah merumuskan sebuah sitem ekonomi yang sama sekali berbeda dengan sistem ekonomi lainmya. Ekonomi Islam memiliki akar dari syariah yang kemudian menjadi sumber dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan segala macam aktivitasnya.2 Kemudian hukum Islam yang mengatur hubungan antar

1 Nur‟ain Harahap, Akad Syariah Dalam Bisnis, (Jurnal Ilmiah Kohesi, Vol. 2 No. 3 Agustus 2018).

2

Muhammad Firdaus, Mudah Memahami Akad-Akad Syariah, (Jakarta : Renaisan, 2005), h.25.

(11)

2

sesama manusia mengenai muamalah ini disebut dengan fiqih muamalah yang didalamnya memuat norma atau aturan dasar sebagai suatu pedoman dalam menjalankan kegiatan bermuamalah baik itu berupa jual beli, sewa-menyewa, dan lain sebagainya. Akad jual beli dalam Islam terdiri dari berbagai macam diantaranya ada murabahah, mudharabah, musyarakah, ijarah dan lain sebagainya, namun dari sekian banyak akad yang paling banyak digunakan dalam skema pembiayaan diperbankan maupun lembaga keuangan lainnya adalah akad murabahah. Murabahah berasal dari kosa kata bahasa Arab yaitu

rabaha, yurabbihu, murabahatan, yang berarti untung atau menguntungkan, kata murabahah juga berasal dari kata ribhun atau rubhun yang berarti tumbuh,

berkembang, dan bertambah. Murabahah sendiri secara istilah menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) adalah “al-bai‟ bira‟sil maal waribhun ma‟lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui.3

Dalam pelaksanaannya transaksi murabahah maupun bentuk transaksi lainnya yang dilakukan secara tidak tunai maka harus dibuat secara tertulis sebagaimana yang telah disyariatkan, bentuk transaksi tertulis tersebut umumnya disebut dengan “Kontrak atau Perjanjian.” Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan, fungsinya sangat penting yaitu untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak serta mengatur tentang pola penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul dikemudian hari, apabila terjadi wanprestasi diantara kedua belah pihak dikemudian hari, maka dokumen kontrak atau perjanjian inilah yang nantinya akan menjadi sebuah dokumen hukum yang dirujuk.

Dalam praktiknya kontrak atau perjanjian disetiap perbankan maupun lembaga keuangan lainnya menggunakan jenis kontrak baku yang sebelumnya telah disiapkan isi klausul-klausulnya, ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat (dalam hal ini adalah kreditur) dan telah dipersiapkan

3 Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah (Buku Perkuliahan Program Studi Muamalah), (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya), h. 104.

(12)

3

dalam jumlah yang banyak/kolektif.4 Seperti halnya pada perusahaan pembiayaan atau multifinance di Astra Credit Companies Syariah/ACC Syariah Bintaro juga menggunakan kontrak baku dalam proses berakadnya. Kontrak baku digunakan dengan tujuan agar perjanjian dapat dilakukan secara praktis dan cepat sehingga isi kontrak/perjanjiannya cenderung tidak seimbang dan berat sebelah. Terkadang suatu kontrak juga dibuat dengan bahasa yang sulit dipahami orang awam, serta aturan detail lainnya yang membuat nasabah enggan untuk membacanya bahkan demi kepentingan lain terkadang substansinya lebih menguntungkan salah satu pihak dan pihak yang berada dalam posisi lebih kuat berusaha untuk merebut dominasi atas pihak lainnya dan asas-asas berkontrakpun seakan terabaikan dalam hal ini, terutama asas kebebasan berkontrak yang merupakan domain terpenting dalam hukum kontrak banyak disalahgunakan.

Pada dasarnya baik didalam hukum positif maupun didalam hukum Islam sudah ditetapkan bahwa setiap orang diberikan suatu kebebasan untuk melakukan suatu akad atau perjanjian. Sahnya suatu akad atau perjanjian yaitu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau KUH Perdata Pasal 1320 diantaranya kecakapan, kata sepakat, objek perjanjian, dan sebab yang halal sedangkan dalam hukum Islam tidak jauh berbeda dengan aturan yang ada dalam KUH Perdata Pasal 1320 tersebut. Namun hal lainnya harus diperhatikan pula kesesuaiannya dengan hukum kontrak syariah, yang mana hal-hal yang harus diperhatikan dalam kontrak syariah tersebut adalah hal dan objek yang diperjanjikan sesuai syariah, tidak terdapat ketidakjelasan dalam prestasi maupun rumusan akad yang diperjanjikan, transaksi tidak mengandung unsur perjudian dan adil, adanya prinsip kehati-hatian, para pihak tidak saling mendzalimi, dan tidak mengandung riba.5

4 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 146.

5Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), h. 207.

(13)

4

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara yang berfungsi menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan telah mengeluarkan beberapa peraturan dan surat edaran mengenai penyelenggaraan perusahaan pembiayaan berbasis syariah baik tata cara serta ketentuan operasionalnya, hingga peraturan mengenai ketentuan pembuatan perjanjian pembiayaannya yang teretera dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan, serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 13/SEOJK.2017/2014 Tentang Perjanjian Baku. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) juga telah mengeluarkan fatwa tentang Murabahah yaitu fatwa nomor 04 tahun 2000, dalam fatwa tertuang mengenai ketentuan umum Murabahah dalam bank/lembaga keuangan lainnya, mengenai ketentuan nasabah, ketentuan jaminan, ketentuan utang dalam Murabahah serta ketentuan lainnya yang berkaitan.

Peran aktif dari OJK sangatlah diperlukan guna menyusun peraturan dan melakukan pengawasan terhadap produk dan layanan dalam suatu pembiayaan

murabahah diperusahaan pembiayaan atau unit usaha perusahaan pembiayaan

syariah dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan konsumen. OJK sebagai regulator dan pengawas memiliki tugas melindungi hak konsumen dalam transaksi. Seperti dalam transaksi pembiayaan lainnya biasanya perusahaan sudah menyiapkan bentuk atau format kontrak dengan jenis kontrak baku, meskipun mengenai kontrak baku telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, akan tetapi masih ada kontrak baku yang tidak sepenunya memenuhi peraturan yang ada. OJK sendiri telah mengeluarkan surat edaran nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku yang menginduk pada Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

(14)

5

Dalam penelitian ini penulis menjadikan kontrak pembiayaan pada unit usaha syariah perusahaan pembiayaan Astra Credit Companies (ACC) Bintaro sebagai objek penelitian. ACC merupakan perusahaan pembiayaan kendaraan dan alat berat yang didirikan pada tanggal 15 juli 1982 dengan nama PT. Rahardja Sedaya lalu ditahun 1990 berganti nama menjadi PT. Astra Sedaya Finance yang kemudian melakukan perluasan dibeberapa bidang seperti investasi, pembiayaan modal kerja, pembiayaan multiguna serta sewa operasi.

Sebagai unit usaha syariah maka sudah seharusnya bentuk pelayanan produk serta pelaksanaannya terpisah dengan perusahaan induknya dan mengimplementasikan fatwa DSN-MUI terkait sebagai sebagai salah satu panduan untuk memenuhi aspek syariahnya. Kemudian untuk melihat terpenuhinya ketentuan-ketentuan perjanjian/kontrak yang telah ditetapkan dalam POJK Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan, dan melihat dari sisi kesesuaian kontrak baku dengan SEOJK nomor 13 tahun 2014 tentang perjanjian baku maka penulis akan meneliti kesesuaian kontrak pembiayaan murabahah tersebut dengan meninjau melalui POJK, SEOJK dan fatwa.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mendapatkan identifikasi dari beberapa permasalahan yang ada, diantaranya:

1. Apakah substansi/isi kontrak baku pada perusahaan pembiayaan ACC Syariah Bintaro sudah sesuai dengan panduan hukum yang berlaku?

2. Apakah kontrak tersebut sudah memenuhi unsur-unsur dan prinsip-prinsip dari akad syariah?

3. Bagaimana isi perjanjian agar dapat mencapai keadilan bagi kedua belah pihak?

(15)

6

4. Bagaimana struktur dan anatomi kontrak murabahah pada perusahaan pembiayaan ACC Syariah Bintaro?

5. Bagaimana kesesuaian materi kontrak dengan hukum kontrak syariah, fatwa dan POJK?

C. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan yang dikaji menjadi fokus dan terarah dan mempermudah agar permasalahan tidak melebar dalam penulisan ini, maka penulis membatasi penelitian di Astra Credit Companies (ACC) Syariah Bintaro sebatas kesesuaian kontrak baku dengan prinsip syariah pada fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah dan SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku serta POJK Nomor 10/POJK.05/2019 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan ruang lingkup penelitian yang telah ditetapkan tersebut, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana Substansi Kontrak Pembiayaan Murabahah di Astra Credit Companies Bintaro?

b. Bagaimana Kesesuaian Kontrak dengan Fatwa DSN-MUI, POJK dan SEOJK serta Hukum Kontrak Syariah?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan uraian diatas penelitian ini ditujukkan untuk mendapatkan data dan informasi atau keterangan guna :

a. Mengetahui substansi/isi kontrak perjanjian pembiayaan murabahah pada lembaga pembiayaan syariah/multifinance syariah.

(16)

7

b. Mengetahui struktur kontrak yang sesuai dengan hukum kontrak syariah. c. Mengetahui substansi kontrak yang memberikan keadilan bagi para pihak. 2. Manfaat Penelitian

Pada permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat. Terdapat dua hal yang dapat memberikan manfaat dari penelitian ini, yaitu manfaat secara teoritis dan praktis.

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat diharapkan memberikan sumbangan pemikiran ilmiah dan pemahaman masyarakat khususnya akademisi terkait penerapan asas-asas hukum perjanjian/kontrak syariah dalam klausula baku pembiayaan syariah.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini, secara praktis diharapkan bisa memberikan manfaat bagi penulis guna menambah wawasan dan pengetahuan serta menambah rujukan kepada para praktisi terkait penerapan asas-asas hukum perjanjian syariah dalam klausula baku pembiayaan syariah pada multifinance syariah.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. “Klausul-Klausul Kontrak Baku dan Model Kontrak Dalam Perspektif Hukum Islam”

Skripsi ini ditulis oleh Rita Putri Lestari tahun 2016. Rita meneliti tentang klausul-klausul kontrak baku dan model kontrak dalam perspektif hukum Islam, dalam penelitiannya Rita menyimpulkan bahwa Kontrak baku dalam hukum Islam diperbolehkan sepanjang tidak merugikan dan memperhatikan aspek-aspek dalam masyarakat seperti at tara‟din dan prinsip keadilan. Jika dalam sebuah perjanjian terdapat unsur paksaan maka tidak sah perjanjian tersebut. Dalam setiap jenis kontrak baku memilki aspek masing-masing dan kaidah yang berbeda-beda dalam Islam. Undang-undang telah

(17)

8

menetapkan batas-batas pembuatan kontrak baku agar semua perjanjian yang mengandung unsur perjanjian baku dapat terstandar dan tidak merugikan pihak kedua khusunya kontrak baku sepihak. Meskipun demikian, banyak sekali perjanjian baku sepihak yang tidak memperhatikan undang-undang tersebut. Dengan demikian kontrak baku di Indonesia belum terstandar karena belum memperhatikan undang-undang perlindungan konsumen. Jika ditinjau dari hukum Islam, kontrak baku yang ditetapkan pemerintah dan kontrak baku dalam lingkungan Notaris atau Advokat sudah terstandar, namun tidak dengan kontrak baku sepihak jika tidak memperhatikan beberapa aspek seperti at

tara‟din dan prinsip keadilan.6

Perbedaan skripsi Rita dengan penulis dalam penelitian adalah terletak pada fokus penelitiannya dimana penulis lebih fokus pada analisis penerapan hukum perjanjian syariah dan POJK Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan Syariah terhadap struktur dan anatomi perjanjian diperusahaan multifinance syariah.

2. “Penerapan Kontrak Baku Pada Akad Musyarakah di BPRS Amanah Insani KC Mawar dan BPRS Patriot Bekasi (ditinjau dari Fatwa DSN-MUI dan KUH Perdata)”

Skripsi ini ditulis Yuanita Nindyas Rakhmawati tahun 2019. Yuanita menulis tentang bagaimana tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata dalam penerapan kontrak baku pada akad musyarakah di BPRS Amanah dan BPRS Patriot Bekasi, dalam tulisannya ia menyimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukan beberapa klausa dalam kontrak pembiayaan akad musyarakah yang disediakan oleh BPRS Amanah dan BPRS Patriot kepada nasabah masih terdapat ketidaksesuaian dengan fatwa DSN-MUI secara umum maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang tentunya secara khusus lebih mengatur mengenai permasalahan yang ada dalam klausula kontrak

6Rita Putri Lestari, Klausul-klausul Kontrak Baku dan Model Kontrak Dalam Perspektif Hukum Islam, skripsi, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016).

(18)

9

pembiayaan musyarakah.7 Perbedaan penelitian penulis dengan Yuanita adalah terletak pada fokusnya, dalam hal ini penulis lebih memfokuskan untuk meninjau penerapan suatu akad atau perjanjian murabahah di suatu perusahaan pembiayaan dari segi substansi dan anatomi apakah sudah sesuai dengan standard yang telah ditentukan atau sebaliknya.

3. “Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan Akad Murabahah” Jurnal ini ditulis oleh Wardah Yuspin tahun 2007, Yuspin menulis tentang bagaimana penerapan prinsip syariah dalam pelaksanaan akad murabahah di perbankan syariah, dalam tulisannya ia menyimpulkan bahwa perbankan syariah sebagai lembaga yang berperan untuk menampung dana dari pihak yang surplus dana dan menyalurkan pada pihak yang kekurangan dana, dalam pelasanaannya tidak boleh bertentangan dengan hukum positif yang ada yaitu hukum adat, hukum perdata yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata juga hukum Islam. Salah satu ciri bank syariah adalah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya tidak menggunakan bunga akan tetapi menggunakan mekanisme bagi hasil dan selalu diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah dalam setiap kegiatan operasionalnya, sehingga diharapkan bank syariah tersebut akan selalu berada dalam koridor hukum Islam. Selain itu, juga tidak boleh mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh syara‟ yakni,

maisyir (perjudian), gharar (ketidakjelasan), riba (tambahan) dan bathil

(ketidak adilan).8 Perbedaan penelitian penulis dengan Yuspin adalah dalam fokus kajiannya, dalam hal ini Yuspin lebih fokus pada perihal pelaksanaan operasional serta prinsip-prinsip apa saja yang harus terpenuhi dalam akad murabahah di perbankan syariah, sedangkan peneliti akan membahas tentang

7Yuanita Nindyas Rakhmawati, “Penerapan Kontrak Baku Pada Akad Musyarakah di BPRS Amanah dan BPRS Patriot ,“ (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019)

8Wardah Yuspin, Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan Akad Murabahah, Jurnal Ilmu Hukum No. 1 Vol. 10, Maret (2007).

(19)

10

bagaimana penerapan prinsip-prinsip perjanjian syariah dan pengaplikasiannya kedalam substansi/isi dari kontrak perjanjian pembiayaan murabahahnya secara lebih detail dan mendalam dan menganalisanya sesuai dengan standar akad/kontrak yang sudah ditentukan, selain itu perbedaan juga terdapat pada lembaga yang akan menjadi objek penelitiannya dimana dalam hal ini penulis fokus pada perusahaan pembiayaan multifinance.

4. “Pengaturan Klausula Baku dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai Keadilan Berkontrak,”

Jurnal ini ditulis oleh Muhamad Hasan Muaziz dan Achmad Busro tahun 2015. Mereka menulis bagaimana untuk mencapai keadilan dalam berkontrak, dalam tulisannya disimpulkan bahwa Klausula baku lahir dari adanya kebutuhan para pihak untuk membuat suatu kontrak yang cepat, dan efisien. Meski demikian adanya klausula baku cenderung menguntungkan pihak yang membuatnya dalam hal ini adalah pihak perusahaan atau kreditur, dimana pihak kreditur memiliki waktu yang cukup banyak untuk membuat klausula perjanjian, sedangkan masyarakat/ debitur tidak memiliki ruang yang cukup untuk melakukan negosiasi atas klausula dalam perjanjian tersebut, bahkan masyarakat sendiri tidak atau bahkan belum familiar dengan istilah-istilah yang terdapat di dalam klausula tersebut. Selain itu, kondisi dan keadaan debitur yang berada pada posisi lemah tidak memiliki pilihan lain selain menerima atau menolak klausula yang telah ditentukan tersebut. Isi perjanjian agar dapat mencapai keadilan berkontrak tidak dapat dilepaskan dari beberapa unsur yang ada di dalam perjanjian itu sendiri, yaitu posisi tawar para pihak atau kedudukan yang dimiliki oleh para pihak dalam melakukan perjanjian tersebut. Adanya negosiasi dalam perjanjian merupakan hal terpenting dalam proses perumusan kotrak, sehingga para pihak mengerti dan memahami setiap klausula yang diperjanjikan. Selain itu, kejujuran dan keterbukaan para pihak terkait dengan hal-hal yang diperjanjikan beserta

(20)

11

resiko yang mungkin akan dialami dalam proses pelaksanaan perjanjian merupakan salah satu hal terpenting untuk dilakukan prapihak dalam proses perancangan dan pelaksanaan kontraktual sehingga diharapkan mampu menghasilkan suatu hubungan perjanjian yang adil dan proporsional.9

5. “Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan Mudharabah Pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain,”

skripsi ini ditulis oleh Muhammad Syafiq Umam tahun 2011, Umam meneliti tentang kontrak-kontrak yang ada pada BMT dalam tulisannya ia menyimpulkan bahwa struktur dan anatomi kontrak yang ada di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain berdasarkan isi struktur anatomi yang dibuat terdapat pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup, namun pada bagian-bagian tersebut masih ada kekurangan, seperti pada BMT BUS yaitu pada bagian pembuka tidak mencantumkan tanggal dan tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak tersebut, selain itu pada bagian isi, klausula definisi tidak dicantumkan dan juga tidak adanya bahasan mengenai force majeur di dalam format kontrak tersebut. Sedangkan struktur dan anatomi kontrak yang tidak terpenuhi pada BMT Husnayain yaitu pada bagian isi mengenai klausula definisi. Secara umum struktur dan anatomi kontrak yang ada pada BMT BUS dan BMT Husnayain masih terbilang kurang lengkap. Akan tetapi jika dilihat dari segi bentuk pemaknaan kalimat BMT Husnayain lebih mudah untuk dicerna bagi kalangan nasabah. Sementara untuk akad pembiayaan yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain secara garis besar ada beberapa hal yang kurang dan tidak sesuai dengan perjanjian syariah. Perbedaannya terletak pada jenis kontrak akad yang akan diteliti, penulis

9 Muhamad Hasan Muaziz dan Achmad Busro, Pengaturan Klausula Baku Dalam Hukum Perjanjian Untuk Mencapai Keadilan Berkontrak, Jurnal Law Reform No. 1 Vol. 11 (2015).

(21)

12

disini akan meneliti mengenai kontrak akad murabahah di multifinance syariah.10

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif dengan menguraikan, manggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analisis bagaimana tinjauan fatwa DSN-MUI, POJK, SEOJK serta hukum kontrak syariah terhadap kontrak baku perjanjian pembiayaan murabahah pada perusahaan pembiayaan/multifinance.

2. Pendekatan Penelitian

Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka/data sekunder belaka.11 Kajian yang dilakukan menyelaraskan masalah dengan hukum kontrak syariah, fatwa DSN-MUI, POJK dan SEOJK serta peraturan lainnya yang berlaku.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini menggunakan dua macam sumber data yang digunakan yaitu, sebagai berikut:

a. Data Primer adalah sumber data yang secara langsung diperoleh dari objek penelitian sebagai sumber informasi. Data primer disini diperoleh dalam bentuk kontrak baku perjanjian pembiayaan

murabahah pada perusahaan mutifinance Astra Credit Companies

(ACC) Bintaro.

10 Muhammad Syafiq Umam, Kontrak Bisnis Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain, skripsi, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2011).

11Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali press, 2011), h. 13

(22)

b. Data Sekunder adalah sumber data yang berupa pendapat hukum atau doktrin-doktrin, teori-teori yang diperoleh dari literartur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang terkait dengan penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengkaji data-data yang diperoleh dari buku-buku, bahan-bahan presentasi, artikel, brosur dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

b. Field Research (lapangan), studi lapangan adalah studi yang dilakukan langsung oleh penulis untuk mendapatkan data yang akurat. Studi ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data primer yang merupakan data utama dalam penelitian ini.

5. Teknik Analisis Data

Metode dalam menganalisa bahan hukum tersebut adalah deskriptif kualitatif, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari penelitian dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian.

b. Hasil klasifikasi bahan yang kemudian selanjutnya akan di sistemasikan. c. Bahan hukum yang telah disistemasikan kemudian dianalisis untuk

dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan. 6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.”

(23)

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara umum dari penelitian ini secara menyeluruh perlu adanya sistematika penulisan yang dibuat oleh penulis. Dengan demikian, sistematika penulisan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini memuat latar belakang penelitian, identifikasi masalah, ruang lingkup masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam bab ini menjelaskan tentang kontrak, Akad Murabahah, fatwa, POJK dan Hukum Kontrak/Perjanjian Syariah.

BAB III GAMBARAN UMUM

Membahas tentang sejarah singkat dan perkembangan pembiayaan pada Multifinance Syariah Astra Credit Companies (ACC) yang terdiri dari profile singkat, latar belakang dan produk-produk, visi dan misi, serta struktur organisasi.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pembahasan masalah tentang analisis dan interpretasi temuan dalam penelitian. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(24)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Akad Murabahah

1. Pengertian Akad Murabahah

Murabahah merupakan suatu transaksi penjualan barang seharga

barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati atau lebih singkatnya adalah murabahah merupakan akad jual beli barang yang menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.12

Murabahah merupakan suatu bentuk pergeseran kepemilikan sesuatu yang

dimiliki lalu kemudian dijual dengan harga pertama dan diberikan sedikit tambahan keuntungan. Jual beli murabahah adalah jenis jual beli yang dibenarkan oleh syariah dan merupakan implementasi muamalat tijariyah (interaksi bisnis). Dasar hukum diperbolehkannya jual beli murabahah yaitu terdapat dalam Al-Qur‟an dan hadits.

a. Surat Al-Baqarah ayat 275

“…Dan Allah telah ,menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba…”

b. Surat An-Nissa’ ayat 29

“Hai orang-orang yan beriman janganlah kalian memakan harta

sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantara kamu…”

12 Adiwarman. A. Karim, Bank Islam “Analisis Fiqih dan Keuangan” Edisi Kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 113

(25)

c. Surat Al-Maidah ayat 1

“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu…”

Selain itu beberapa hadist nabi juga mendukung keabsahan jual beli

murabahah, yakni hadits:

a. Hadits riwayat Aisyah r.a.

Bahwa Ketika Rasulullah SAW ingin hijrah, Abu Bakar membeli dua ekor unta kemudian Rasulullah berkata “serahkan salah satunya

untukku (dengan harga yang sepadan) Abu Bakar menjawab “ya, dia untukmu tanpa sesuatu apapun‟ kemudian Rasulullah mengatakaan “kalau tanpa harga jual (tsaman), maka tidak jadi saya ambil” (HR.

Bukhari dan Ahmad).13 b. Hadits riwayat Ibn Majah

Nabi SAW. Bersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah:

(1) jual beli tidak secara tunai, (2) muqaradhah (Mudharabah) dan (3) mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibn Majah dari Shuhaib).

c. Hadits riwayat Baihaqi dan Ibn Majah

Dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. Al-Baihaqi dan Ibn Majah, dan dinilai shahih oleh Ibn Hibban).

Dalam jual beli murabahah ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam hal-hal berikut yaitu:

13

(26)

a. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.

b. Kejelasan informasi tentang besarnya modal atau harga pembelian dan biaya-biaya lainnya.

c. Kejelasan informasi mengenai keuntungan baik secara nominal maupun persentase.

d. Diperbolehkan bagi penjual menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak terhadap barang, akan tetapi lebih baik syarat ini tidak ditetapkan karena pada hakikatnya pengawasan barang merupakan kewajiban penjual.

e. Dalam transaksi pertama harus sah, apabila tidak sah maka tidak boleh dilakukan jual beli murabahah.14

2. Rukun dan Syarat Murabahah Rukun jual beli murabahah antara lain:

a. Ba‟i (penjual) b. Musytari (pembeli) c. Mabi‟ (barang/objek) d. Tsaman (harga)

e. Sighat (ijab dan qabul)

Syarat jual beli murabahah antara lain:

a. Harga awal harus diketahui oleh pembeli karena dengan mengetahui harga barang adalah salah satu syarat sahnya jual beli.

b. Keuntungan dalam jual beli harus diketahui oleh kedua belah pihak. c. Modal harus proporsional, seperti takaran, beban dan jumlahnya.15

14

Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 120

15 Isnawati Rais, dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h.89-90

(27)

d. Kontrak murabahah harus bebas riba, jika didalam kontrak terdapat unsur riba maka otomatis keuntungan yang didapatkan tergolong sebagai riba.

e. Kontrak jual beli pertama harus sah secara syara‟ apabila kontrak pertama batal atau tidak sah maka pembiayaan murabahah tidak dapat dilaksanakan.16

3. Murabahah dalam Perusahaan Pembiayaan Syariah

Pembiayaan murabahah merupakan pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang atau jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut pada saat jatuh tempo, kemudian perusahaan pembiayaan atau multifinance memperoleh margin keuntungan dari transaksi jual beli antara perusahaan dengan pemasok dan antara perusahaan dengan nasabah.

(2) Akad jual beli

(6) Bayar (5)

Terima barang & dokumen (3) Beli barang (4) Kirim

Skema 1.1 Akad Murabahah

Pada praktiknya diperusahaan pembiayaan syariah (multifinance syariah),

multifinance bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli,

16 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh, h.370.

(1) Negosiasi & Persyaratan Perusahaan Pembiayaan Nasabah Suplier penjual

(28)

kemudian setelah ada kata kesepakatan melalui negosiasi dengan berbagai persyaratan yang diajukan multifinance kepada nasabah maka kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual merupakan harga beli multifinance dari pemasok ditambah keuntungan, lalu harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati maka tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan atau lembaga keuangan syariah lainnya termasuk perusahaan pembiayaan multifinance,

murabahah biasanya dilakukan dengan cara dicicil (bitsaman ajil) dalam

transaksi ini barang diserahkan setelah akad dan pembayaran ditangguhkan.17 4. Fatwa DSN-MUI Tentang Murabahah

Fatwa secara bahasa berarti jawaban mengenai sesuatu, sedangkan menurut syara‟ adalah menerangkan tentang hukum syara‟ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan baik si penanya itu jelas identitasnya atau tidak dan baik secara perseorangan maupun kolektif.18 Fatwa merupakan jawaban resmi dari pertanyaan dan persoalan yang berkaitan dengan masalah hukum, dan fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat tanpa dasar.19 Menurut Quraish Shihab fatwa merupakan penjelasan hukum tentang persoalan yang musykil, sedangkan menurut Zamakhsyari fatwa merupakan penjelasan hukum syara‟ mengenai suatu masalah atas pertanyaan seseorang maupun kelompok.20 Fatwa menurut MUI sendiri adalah jawaban/penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum, dari sekian banyaknya definisi mengenai fatwa diatas maka dapat disimpulkan bahwa fatwa merupakan jawaban dari suatu

17 Isnawati Rais, dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h.91-92

18

Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997) h. 5.

19

Ahyar A. Gayo, Kedudukan Fatwa MUI Dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi

Syariah, (Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI,

2011), h. 13. 20

(29)

pertanyaan atau penjelasan hukum tentang persoalan yang musykil, yang diberikan seseorang atu lembaga yang telah diakaui kredibilitasnya secara umum, dimana fatwa tersebut merupakan hasil ijtihad para mufti.21

Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang dan memiliki tugas dalam hal menumbuh kembangkan diterapkannya nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian dan keuangan, membuat atau mengeluarkan fatwa-fatwa serta mengawasi penerapan fatwa yang telah digunakan tersebut.22

Fatwa DSN-MUI mengenai murabahah diatur dalam beberapa fatwa berikut ini:

a. Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. b. Fatwa DSN No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.

c. Fatwa DSN No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam

Murabahah.

d. Fatwa DSN No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam

Murabahah.

e. Fatwa DSN No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Pelunasan Dalam

Murabahah.

f. Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta‟widh).

g. Fatwa DSN No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan

Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah).

h. Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang

Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar.

i. Fatwa DSN No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah.

21 M. Sholeh Mauluddin, PEMBIAYAAN MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI, Jurnal Qawanin Vol.2 No.1 Januari 2018.

22

M. Ichwan Sam dkk, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta: Erlangga, 2014), h. 5.

(30)

j. Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad

Murabahah.

k. Fatwa DSN No. 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan Al-Tamwil Bi Al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

l. Fatwa DSN No. 90/DSN-MUI/XII/2013 tentang Pengalihan

Murabahah antar Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

5. Regulasi Tentang Perusahaan Pembiayaan Syariah

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 26 februari 2019 telah merilis sebuah peraturan baru bagi industri pembiayaan syariah yaitu peraturan OJK No. 10/POJK.05/2019 tentang penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini merupakan penyempurnaan dari Peraturan OJK No. 31/POJK.05/2014 dan Surat Edaran OJK No.48/SEOJK.05/2016. Adanya peraturan terbaru ini diharapkan mampu meningkatkan bisnis perusahaan pembiayaan syariah serta menciptakan perusahaan yang amanah dan kompetitif serta lebih sehat.

Dalam pelaksanaannya pembiayaan syariah wajib memenuhi prinsip Keadilan („adl), kemaslahatan (maslahah), keseimbangan (tawazun), universalisme, serta tidak mengandung riba, gharar, maysir, zhulm, dan

risywah. Untuk transparansi, OJK telah menyatakan bahwa seluruh perjanjian

pembiayaan antara perusahaan atau perusahaan pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) dengan konsumen wajib dilakukan secara tertulis dan salinan perjanjian pembiayaan harus diserahkan oleh perusahaan pembiayaan kepada konsumen paling lama 3 bulan sejak tanggal perjanjian tersebut dilaksanakan, selain itu diwajibkan pula untuk menjelaskan ilustrasi

(31)

perhitungan pokok pembiayaan, margin, nisbah, imbal jasa, denda/ ta‟zir dan ganti rugi/ta‟widh kepada konsumen.23

B. Hukum Kontrak Syariah

1. Perikatan, Perjanjian dan Kontrak Baku a. Perikatan

Perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan dimana salah satu pihak berhak atas prestasi yaitu kreditur dan pihak yang lain yaitu debitur berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.24

Sedangkan menurut Prof. Subekti perikatan merupakan sebuah hubungan hukum/perhubungan hukum, antara dua pihak dimana berdasarkan hal itu pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lainnya dan pihak yang lainnya wajib memenuhi tuntutan tersebut.25 b. Perjanjian

Perjanjian sebagaimana tertulis dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) merupakan “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dan dari peristiwa itu maka timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan diantara orang yang membuatnya dan dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.26

23 www.kreditpedia.net, diakses pada tanggal: 10/06/2020, pada pukul 23.12 WIB.

24 H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. alumni, 2010), h. 196.

25 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), h. 1

(32)

Perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perjanjian, karena perjanjian hanya berupa salah satu sumber hukum dari perikatan. Perikatan mengandung pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum yang konkret. Perjanjian dan undang-undang merupakan peristiwa konkret yang melahirkan perikatan sesuatu yang abstrak.27

c. Kontrak Baku

Kontrak adalah suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.28

Kontrak merupakan suatu perjanjian yang dituangkan dalam tulisan, istilah kontrak mempunyai konotasi yang lebih sempit yakni terbatas pada perjanjian-perjanjian tertulis dan menjurus pada pembuatan akta.29 Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan perjanjian, kontrak muncul karena kebutuhan praktis apalagi dalam lingkungan bisnis.

Kontrak baku merupakan kontrak yang klausul-klausulnya telah dirancang oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan lebih tinggi (debitur) dan dibuat secara kolektif. Menurut Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kontrak baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam sebuah dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Kemudian perihal ketentuan dalam pencantuman klausula baku pada kontrak baku, disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan ketentuan sebagai berikut:

27Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 11

28 Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2009), h. 11 29

Setiawan, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Jual Beli, Tukar

(33)

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak

penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan

barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi

manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa:

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada

pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(34)

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.30 2. Akad

Akad secara etimologi adalah ikatan sedangkan secara terminologi adalah pertalian antara ijab dan qabul. Akad merupakan kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perubatan hukum tertentu.31 Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa akad merupakan suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syariat dan menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.32 Menurut H. Aiyub Ahmad akad merupakan suatu perbuatan kesepakatan beberapa orang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dan transaksi terjadi antara dua orang atau lebih dengan sukarela serta menimbulkan kewajiban pada tiap-tiap pihak secara timbal balik.33 Sedangkan dalam pengertian lain akad adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, mau pun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.34

30 Pasal 18 Undang-Unang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 31 Pasal 20 ayat 1, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

32 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Perikatan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Prress, 2009), h. 65

33 Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam, (Banda Aceh: Kiswah, 2004)

34

Dahrul Muftadin, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya Dalam

(35)

3. Rukun dan Syarat Akad

Syarat sahnya akad adalah harus terpenuhinya rukun dan syaratnya, yang dimaksud dengan rukun merupakan unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap kontrak. Apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka menurut hukum perdata Islam kontrak itu dianggap tidak pernah ada. Sedangkan syarat merupakan suatu sifat yang harus ada pada setiap rukun, akan tetapi bukan esensi akad.

Ada beberapa syarat akad diantaranya yaitu syarat terjadinya akad (syuruth al-in‟iqad), syarat sah akad (syuruth al-shihhah), syarat pelaksanaan akad (syuruth an-nafidz), dan syarat kepastian hukum (syuruth al-iltizam).35

a. Syarat terjadinya akad

Dalam hal syarat terjadinya akad/kontrak yaitu ada syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum yaitu rukun-rukun yang harus ada pada setiap akad seperti orang yang berakad, objek akad objeknya bermanfaat dan tidak dilarang dalam syara‟. Sedangkan syarat khusus yaitu syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya seperti syarat harus adanya saksi pada akad nikah („aqd al-jawaz) dan keharusan penyerahan barang atau objek akad pada al-„uqud al-„ainiyyah.

b. Syarat Sahnya akad

1) Al-Jahalah yaitu ketidakjelasan mengenai harga, jenis dan spesifikasi, waktu pembayaran atau lamanya opsi serta penanggung atau penanggungjawab.

2) Al-Ikhrah atau keterpaksaan. 3) Attauqit atau pembatasan waktu.

4) Al-Gharar atau adanya unsur kemudharatan.

35Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 40

(36)

5) Al-syarthu al-fasid yaitu syarat-syaratnya rusak seperti pemberian syarat terhadap pembeli untuk menjual kembali barang yang dibelinya kepada penjual dengan harga yang lebih murah.

c. Syarat pelaksanaan akad

Adanya syarat ini dimaksudkan agar berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin orang lain. Dalam sebuah akad syarat berlakunya antara lain yaitu adanya kepemilikan terhadap barang/adanya otoritas untuk mengadakan akad, baik secara langsung maupun perwakilan serta pada barang dan jasa tersebut tidak terdapat hak orang lain. d. Syarat kepastian hukum

Suatu akad bisa dikatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila terbebas dari segala macam hak khiyar (hak pilih bagi penjuual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad yang sedang dilakukan). Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun kontrak/akad yaitu meliputi pihak-pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan.36

4. Macam-macam Akad

a. Berdasarkan Ketentuan Valid dan Tidak Validnya

1) Akad Shahih, merupakan akad yang menjadi sebab yang legal untuk melahirkan pengaruhnya dengan cara diucapkan oleh orang mempunyai wewenang, sah hukumnya, selamat dari segala cacat dalam rukun dan sifatnya. Dalam segi wajib atau tidaknya akad shahih dibagi menjadi:

a) Akad Lazim, merupakan akad shahih yang nafidz

(dilaksanakan secara langsung), satu pihak tidak mempunyai hak fasakh (membatalkan dan melepaskannya). Akad lazim terbagi dua yaitu:

36

(37)

(1) Akad lazim yang tidak bisa dibatalkan sama sekali walaupun kedua belah pihak sepakat untuk membatalkannya seperti akad nikah.

(2) Akad Lazim yang bsas dibatalkan apabila kedua belah pihak mau membatalkannya seperti akad jual beli, sewa-menyewa, muzara‟ah, musaqah dan shulhu (perdamaian). b) Akad yang tidak lazim, merupakan akad dimana kedua belah

pihak memilik hak untuk membatalkan akad dengan cara

fasakh tanpa harus menunggu kerelaan pihak;lain misalnya

akad titipan, peminjaman dan hibah. 2) Akad Tidak Shahih

Adalah akad tidak shahih merupakan akad yang tidak terpenuhinya unsur dan syaratnya.

b. Berdasarkan Penamaannya

1) Akad Musamma, akad yang telah ditetapkan syara‟,dan sudah ada hukum-hukumnya seperti akad jual beli, hibah dan ijarah.

2) Akad Ghairu Musamma, akad yang belum ditetapkan oleh syara‟ dan hukum-hukumnya belum ditentukan

c. Berdasarkan Motifnya

1) Akad Tijarah, berbagai macam bentuk akad/perjanjian yang tujuannya bersifat komersil seperti investasi, jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya.

2) Akad Tabarru, berbagai macam bentuk akad/perjanjian yang tujuannya dalam rangka tolong-menolong seperti qard, rahn,

kafalah, wadi‟ah, hiwalah, hibah, hadiah, wakaf, shadaqah, hadiah dan lain sebagainya.

d. Berdasarkan Tujuan dan Alasan Dilaksanakannya

1) Akad Kepemilikan („uqud at-tamlikat/acquiring of ownership), misalnya jual beli, sewa-menyewa, valas (sharf).

(38)

2) Akad Melepaskan Hak („uqud al-isqathat/release), misalnya melepaskan hak tanggungan atas utang dan menarik diri dari hak. 3) Akad Pemberian Izin („uqud al-ithlaqat/permissions), misalnya

akad wakalah.

4) Akad Pembatasan („uqud al-taqdiyat/restriction), misalnya adalah larangan yang diberikan oleh hakim terhadap orang muflis (pailit) untuk bertindak atas harta yang dipailitkan.

5) Akad Kepercayaan („uqud al-tausiqat/security), yaitu akad yang dimaksudkan untuk menjamin hutang atau memberikan penjaminan terhadap piutang, misalnya akad rahn, kafalah dan

hawalah.

6) Akad Kerjasama („uqud al-isytiraq/partnership), misalnya akad

musyarakah, muzara‟ah dan musaqah.

7) Akad Penjagaan/simpanan („uqud al-hifdh/ safe custody), akad yang dimaksudkan untuk menjaga keselamatan atas barang yang dititipkan misalnya akad wadi‟ah dan wakalah.

e. Berdasarkan Zatnya

1) Akad „Ainiyah, merupakan akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.

2) Akad Ghair „Ainiyah, merupakan akad yang tidak disertai penyerahan barang-barang seperti akad amanah.

f. Berdasarkan Sifatnya

1) Akad Pokok (al-Ashli), merupakan akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan sesuatu yang lain seperti jual beli dan ijarah.

2) Akad Asesoir (al-Taba‟i), merupakan akad yang membutuhkan sesuatu yang lainnya seperti akad rahn tidak dilakukan apabila tidak adanya hutang.

(39)

g. Berdasarkan Segi Terjadinya

1) Akad Formalistik (al-„aqd al syakli), merupakan akad yang tunduk pada syarat-syarat formal yang ditentukan oleh pembuat hukum. 2) Akad Konsensual (al-„aqd al-radahai), merupakan perjanjian yang

terjadi hanya karena adanya kehendak dan kesepakatan para pihak. 3) Akad riil (al-„aqd al-„aini), merupakan akad yang apabila

terjadinya diharuskan adanya penyerahan objek. h. Berdasarkan Pengaruhnya

1) Akad Munjaz (akad tanpa syarat), merupakan akad yang diucapkan seseorang tanpa memberi batasan/tanpa menetapkan suatu syarat. 2) Akad Mudhaf‟ila mustaqbal, merupakan akad yang disandarkan

kepada waktu yang akan datang.

3) Akad Mu‟allaq, merupakan akad yang digantung atas adanya syarat tertentu.

i. Berdasarkan Pertanggungan (Dhaman)

1) Akad Dhaman, merupakan akad yang memberikan tanggungjawab kepada penanggung untuk menjaga barang agar tidak rusak dan jika rusak menjadi tanggungjawab penanggung seperti akad jual beli, akad al-qismah dan akad al-mukharajah.

2) Akad Amanah, merupakan akad yang memberikan tanggungjawab suatu barang pada penanggung untuk dijaga dan penanggung tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan seperti akad as-syirkah,

al-wakalah dan al-washaya.

3) Akad Muzdajah al-atsar, merupakan akad yang sebagian terbentuk dari unsur dhaman dan sebagian dari unsur amanah seperti akad

al-ijarah dan akad rahn.

(40)

1) Akad al-Murakkab, akad ini dalam fatwa merupakan penggabungan dua akad atau lebih dimana akad-akad tersebut kemudian dicantumkan dalam satu akad.

2) Akad al-Basith, merupakan akad penggunaan akad tunggal. k. Berdasarkan Unsur Tempo dalam Akad

1) Aqd Al-Zamani (akad bertempo), merupakan akad yang didalamnya terdapat unsur waktu dan merupakan bagian dari isi perjanjian seperti akad sewa-menyewa, akad pemberian kuasa dan sebagainya.

2) Aqd al-Fauri (akad tidak bertempo), merupakan akad yang tidak terdapat unsur waktu didalamnya.

l. Berdasarkan Dibolehkan atau Dilarang

1) Akad Masyru‟ah, merupakan akad-akad yang diperbolehkan seperti jual beli.

2) Akad Mamnu‟ah, merupakan akad-akad yang dilarang seperti jual beli yang terdapat unsur gharar.

m. Berdasarkan Bentuk dan Cara Melakukannya

1) Akad-akad yang harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, misalnya pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah yang menurut undang-undang harus dicatat dikantor agraria.

2) Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara, seperti jual beli yang tidak memerlukan tempat tertentu dan tidak perlu dihadapan pejabat.

n. Berdasarkan Dapat Tidaknya Dibatalkan

1) Akad yang tidak dapat dibatalkan („aqduzziwaj), seperti akad nikah yang tidak dapat dicabut meskipun terjadinya dengan persetujuan dua pihak.

(41)

2) Akad yang dibatalkan atas persetujuan dua pihak, seperti jual beli,

shulhu, dan lain sebagainya.

3) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama, seperti akad rahn dan kafalah.

4) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak kedua, seperti akad wadi‟ah, „ariyah dan wakalah.

o. Berdasarkan Tukar Menukar Hak

1) Akad Mu‟awadlah, merupakan akad-akad yang berlaku atas dasartimbal balik seperti jual beli, dansewa-menyewa.

2) Akad Tabarru, merupakan akad-akad atas dasar pemberian dan pertolongan seperti „ariyah dan hibah.37

5. Hal-hal yang dapat Merusak dan Berakhirnya Akad

Berakhirnya akad karena adanya fasakh (pihak-pihak akad sepakat membatalkan akad) atau infisakh (membatalkan akad karena adanya sebab-sebab darurat).

a. Berakhirnya akad dengan fasakh 1) Akad yang tidak lazim (jaiz)

Merupakan akad yang memungkinkan para pihak untuk membatalkan akad walaupun tanpa persetujuan pihak yang lain selama tidak terkait hak orang lain.

2) Khiyar

Dalam akad lazim semisal akad ba‟i dan ijarah bisa difasakh dengan hak khiyar yang dimiliki pihak akad, baik khiyar yang timbul karena ijab qabul maupun karena adanya syarat atau kesepakatan pihak akad. 3) Iqalah

Yaitu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak untuk memutuskan akad yang telah disepakati. Iqalah biasanya dilakukan

37

(42)

karena salah satu pihak menhyesal dan ingin mencabut kembali kontrak yang telah dilakukannya.

4) „Uyub ridha (cacat ridha)

Apabila salah satu pihak tidak ridha seperti ketika terjadi ghoban,

tadlis, galath maka pihak yang dirugikan memilik hak untuk

memfasakh akad atau melanjutkannya. 5) Syarat dan sebab fasakh

Kontrak diperbolehkan dilakukannya fasakh apabila terpenuhinya syarat-syarat berikut:

a) Tidak terpenuhinya unsur kerelaan dalam kontrak.

b) Kontrak yang difasakh bersifat mengikat kedua belah pihak.

c) Adanya pelanggaran dan tidak terpenuhinya syarat yang telah ditetapkan dalam kontrak oleh salah para pihak.

b. Berakhirnya akad dengan infisakh

Berakhirnya akad dengan infisakh yaitu putus dengan sendirinya (dinyatakan putus atau putus demi hukum). Kontrak dinyatakan putus apabila isi kontrak tidak mungkin dapat dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan afat samawiyah/force majeure.

1) Selesai masa kontrak

Dengan berakhirnya masa kontrak maka akad telah berakhir. Apabila akad tersebut ditentukan waktunya dan jika waktu yang ditentukan tersebut telah berakhir atau tujuan akadnya telah tercapai maka dengan ssendirinya akad tersebut berakhir.

2) Kontrak tidak mungkin dilanjutkan

Apabila akad tidak mungkin lagi dilanjutkan seperti objek yang diperjualbelikan rusak maka dengan sendirinya akad itu berakhir. 3) Pelaku akad meninggal

Apabila salah satu pihak meninggal dunia maka dengan sendirinya akad telah berakhir.

(43)

4) Akad yang fasid

Suatu akad yang fasid dapat difasakh oleh kedua belah pihak yang berakad atau oleh pengadilan untuk menghindari fasid dalam akad.38

6. Prinsip-prinsip Pembuatan Akad Perjanjian Syariah

a. Dari Segi Subjek Hukum atau Para Pihak yang Membuat Perjanjian 1) Para pihak yang terlibat melakukan perbuatan hukum harus cakap

hukum.

2) Kedudukan dan identitas para pihak harus jelas.

3) Syarat dan tempat perjanjian harus disebutkan dengan jelas. b. Dari Segi Tujuan dan Objek Akad

1) Harus disebutkan dengan jelas tujuan dari dibuatnya akad misalnya sewa-menyewa, jual beli dan lain sebagainya.

2) Meskipun diberikan kebebasan dalam hal menentukan objek akad, namun jangan sampai menyalahi ketentuan syariat dalam artian obejk akad harus halal.

c. Adanya Kesepakatan dalam Hal yang Berkaitan

1) Objek yang telah diperjanjikan dan cara pelaksanaannya

2) Jumlah dana yang dibutuhkan, nisbah/margin yang telah disepakati, biaya-biaya yang diperlukan serta hal-hal lainnya yang diperlukan. 3) Waktu perjanjian, yaitu ketika bermula atau berakhirnya perjanjian,

jangka waktu angsuran dan berakhirnya harus disepakati diawal akad oleh kedua belah pihak serta tidak boleh berubah ditengah maupun diujung perjalanan kesepakatan kecuali hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak.

4) Jaminan, yaitu bagaimana dengan kedudukan jaminan, berapa besar jumlah dan kegunaan jaminannya serta hal lain yang berkaitan.

38Oni Sahroni, dan Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), h. 185-192

(44)

5) Mekanisme kerja, yaitu disepakati sejauh mana diperbolehkan melakukan pengawasan dan penilaian terhadap suatu usaha misalnya dalam hal pembiayaan dengan skema mudharabah dan musyarakah. 6) Dalam hal penyelesaian, apabila terjadi penyelesaian atau

ketidaksesuaian antara kedua belah pihak, cara penyelesaian yang disepakati, serta tahapan apa saja yang harus dilakukan selanjutnya. d. Pilihan Hukum

Berkaitan dengan hukum manakah yang akan digunakan dalam pembuatan kontrak tersebut, dalam hal ini perihal pilihan hukum harus ditegaskan dengan jelas.39

Selain itu hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak syariah antara lain:

a. Objek dan hal yang diperjanjikan harus sesuai syariat dan halal. b. Kedua belah pihak tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.

c. Tidak ada unsur ketidakjelasan dalam rumusan akad maupun prestasi yang diperjanjikan.

d. Transaksi harus adil dan tidak mengandung unsur perjudian/maysir.

e. Adanya prinsip kehati-hatian. f. Tidak mengandung riba.

g. Tidak membuat barang najis dan tidak bermanfaat dalam Islam. Dan beberapa prinsip lainnya yang harus dijadikan pedoman dalam membuat kontrak syariah yaitu prinsip kehati-hatian atau al-ikhtiyat, prinsip saling rela atau „an-taradhin, prinsip tanggungjawab sosial atau

al-takaful al-ijtima‟i, prinsip transparansi dan administrasi keuangan yang

benar atau al-idariyah, prinsip saling menguntungkan dalam hal yang

39

Referensi

Dokumen terkait

Kajian Kajian ini mengadaptasi borang soal selidik Schwartz dan Drager (2008) untuk mengkaji latihan ini mengadaptasi borang soal selidik Schwartz dan Drager (2008)

Berdasarkan peningkatan hasil belajar yang dicapai pada pembelajaran pra siklus, siklus 1 dan siklus 2, dapat diketahui perbandingan hasil belajar tema Berbagai

Metoda geotermometri dapat dipakai untuk mempre- diksi suhu reservoar secara tidak langsung dengan biaya yang tidak terlalu mahal, namun hasilnya tidak melenceng jauh

Adalah lazim untuk mencatat s untuk mencatat suatu hasil penguku uatu hasil pengukuran dengan me ran dengan menggunakan nggunakan semua angka yang kita yakini paling mendekati

Berikut dijabarkan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen terhadap daging ayam broiler : Income (pendapatan), Harga barang subtitusi (Harga

Pengujian dan penempatan sistem dilakukan didalam sebuah greenhouse dimana pada beberapa parameter ukur seperti suhu udara dan pH dengan menggunkan

Ekoran persaingan dengan sengit yang dihadapi dalam kalangan penerbit media, serta kebangkitan media baharu yang semakin tidak terkawal, industri permajalahan di Indonesia

Permasalahan anak jalanan masih harus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan untuk menyelesaikan beberapa masalah seperti: banyak anak jalanan yang masih duduk di bangku